-
Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan
Daerah Istimewa Yogyakarta Jalan Kenari No.2, Telp. 0274 - 517
327 Website : www.btkp-diy.or.id Email : [email protected],
[email protected]
ISSN 0125 - 0506 EDISI 1 TAHUN 2019
B U L E T I N
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKAN
BALAI TEKNOLOGI KOMUNIKASI PENDIDIKAN
30 DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA www.btkp-diy.or.id
-
Salam
redaksi
SALAM INDONESIA ,
SALAM PENDIDIKAN
Milenial sebuah istilah yang
marak di perbincangkan, baik
dalam tataran sosial maupun
politik. Mari kita sebagai
pendidik untuk menangkap
kelompok usia milenial itu sebagai usia “EMAS”
yang harus kita didik dan
dipersiapkan untuk menjadi
kelompok milenial yang
berkarakter Indonesia.
SALAM INDONESIA
Penasehat : Drs.R.Kadarmanta Baskara Aji
Penanggung jawab : Ir. Edy Wahyudi, M.Pd. Pemimpin Dewan Redaksi
: Dra. Sri Sunarsih
Penyunting/Editor : Drs. Yoko Rimy, M.Pd. Estu Miyarso, M.Pd.
Penata/Layout : Loko Kuswantoro, S.Pd
Sekretariat : Wahyu Widodo Dwi Budi Astutiek
DAFTAR ISI
Pendidikan Karakter Paperless School System Menuju Sekolah
Adiwiyata
...................................................................
1 Teknologi Pendidikan Penggunaan Smartphone Mendongkrak Motivasi
Belajar Bahasa Inggris......................... 4 Psikologi
Pendidikan Implementasi Gerakan Pramuka Sebagai Solusi Menghasilkan
Generasi Milenial Yang Berkarakter
............................................................... 8
Teknologi Pendidikan Inovasi Gerakan Literasi Sekolah Dalam Bentuk
Peduli Aksara Jawa............................... 12 Psikologi
Pendidikan Belajar IPA Menyenangkan Dengan Lima Level Of Inquiry
Materi Tekanan Zat Kelas VIII SMP Negeri 1 Yogyakarta .............
17 Opini Post-Truth, Pendidikan, dan Literasi Media
................................................ 20 Lensa BTKP
.......................................................... 25 Opini
Guru, Profesi Yang Mulia ................................... 29
Teknologi Pendidikan Pengaruh Kreativitas Guru Dan Fasilitas
Belajar Dalam Proses Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Siswa
.......................... 33 Pendidikan Karakter Kepribadian
Pancasila Sebagai Dasar Era Pendidikan Abad 21
............................................. 40 Teknologi
Pendidikan Bahan Bakar Alternatif Karya Inovatif Tangan-Tangan
Kreatif ....................................... 44 Ketentuan
Penulisan Artikel .......................... 52
Lensa BTKP
-
Pendidikan Karakter
Paperless School System Menuju Sekolah Adiwiyata
Oleh : Widiatmoko Herbimo*
PendahuluanTingginya kebutuhan terhadap kertas berdampak pada
ketersediaan kayu dimana
dalam industri kertas, kayu diolah menjadi bubur kertas (pulp)
dan kemudian diolah lagi menjadi kertas. Para ahli lingkungan
berpendapat bahwa rata-rata penggunaan kertas di perkantoran adalah
sebanyak 0,5 kg kertas per orang per hari. Dengan jumlah pekerja di
DIY sebanyak 3 juta jiwa-anggaplah setengahnya saja atau 1,5 juta
jiwa yang bekerja dengan menggunakan kertas, maka kurang lebih
sekitar 1 juta kg kertas yang dikonsumsi oleh aktivitas kerja
setiap harinya. Jika untuk memproduksi 1 ton kertas membutuhkan 10
batang pohon, maka dalam satu hari ada 10.000 batang pohon yang
ditebang demi konsumsi kertas aktivitas perkantoran di DIY saja.
Perubahan gaya hidup serta penyesuaian akan perkembangan jaman
menyebabkan penggunaan kertas terus meningkat, baik kertas untuk
kebutuhan tulis/cetak maupun kebutuhan kertas untuk sanitasi,
makanan/minuman dan penunjang gaya hidup lainnya.
Peningkatan kebutuhan kertas tentunya diiringi dengan
peningkatan k ebutuhan akan bahan baku dan bahan tambahan lainnya.
Konsekuensinya adalah terjadi peningkatan limbah dari proses
produksi kertas dan peningkatan jumlah kertas bekas. Untuk memenuhi
kebutuhan kertas nasional yang besarannya sekitar 5,6 juta
ton/tahun, diperlukan bahan baku kayu dalam jumlah sangat besar dan
mahal. Kebutuhan ini tidak dapat tercukupi dari Hutan Tanaman
Industri (HTI) Indonesia. Oleh karena itu melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Peraturan Menteri LH Nomor 5
Tahun 2013 membuat program Adiwiyata, yang bertujuan mewujudkan
sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan hidup melalui kegiatan
pembinaan, penilaian, dan pemberian penghargaan.
Dengan adanya sekolah Adiwiyata diharapkan menjadi awal pijakan
pembelajaran terhadap lingkungan sehingga dapat mewujudkan tujuan
dari negara Go Green. Pada dasarnya Go Green adalah mengajak untuk
melakukan efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar, efisiensi
pengelolaan sampah, efisiensi penggunaan lahan, efisiensi
penggunaan listrik, dan efisiensi penggunaan air. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut salah satunya adalah penggunaan Teknologi Informasi
dalam menuju sekolah paperless.
SEKOLAH ADIWIYATABerdasarkan Peraturan Menteri LH Nomor 5 Tahun
2013, sekolah adiwiyata
adalah sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan. Sekolah
Adiwiyata diharapkan melakukan program ini berdasarkan prinsip
edukatif, pastisipatif, dan berkelanjutan. Kegiatan utama diarahkan
pada terwujudnya kelembagaan sekolah yang peduli dan berbudaya
lingkungan bagi sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Disamping
pengembangan norma-norma dasar yang antara lain adalah kebersamaan,
keterbukaan, kesetaraan, kejujuran, keadilan, dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup maupun sumber daya alam. Prinsip dasar
Sekolah Adiwiyata adalah partisipatif dan berkelanjutan,
1Paperless School System Menuju Sekolah Adiwiyata
-
dimana komunitas sekolah terlibat dalam manajemen sekolah yang
meliputi keseluruhan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
sesuai tanggung jawab, dimana seluruh kegiatan harus dilakukan
secara terencana dan terus menerus secara komperensif.
Untuk mewujudkan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan,
maka diperlukan beberapa kebijakan sekolah yang mendukung
dilaksanakannya kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan hidup oleh
semua warga sekolah sesuai dengan prinsip dasar Program Adiwiyata
yaitu partisipatif dan berkelanjutan. Pengembangan kebijakan
sekolah tersebut antara lain :1. Visi dan misi sekolah yang peduli
dan berbudaya lingkungan.2. Kebijakan sekolah dalam mengembangkan
pembelajaran pendidikan lingkungan
hidup.3. Kebijakan peningkatan kapasitas sumber daya manusia
(tenaga kependidikan dan
non-kependidikan) di bidang pendidikan lingkungan hidup.4.
Kebijakan sekolah dalam upaya penghematan sumber daya alam.5.
Kebijakan sekolah yang mendukung terciptanya lingkungan sekolah
yang bersih
dan sehat.6. Kebijakan sekolah untuk pengalokasian dan
penggunaan dana bagi kegiatan yang
terkait dengan masalah lingkungan hidup.Penyampaian materi
lingkungan hidup kepada para peserta didik dapat dilakukan
melalui kurikulum secara terintegrasi atau monolitik.
Pengembangan materi, model pembelajaran dan metode belajar yang
bervariasi, dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada peserta
didik tentang lingkungan hidup yang dikaitkan dengan persoalan
lingkungan sehari-hari. Pengembangan kurikulum tersebut dapat
dilakukan antara lain :1. Pengembangan model pembelajaran lintas
mata pelajaran.2. Penggalian dan pengembangan materi dan persoalan
lingkungan hidup yang ada
di masyarakat sekitar.3. Pengembangan metode belajar berbasis
TIK, lingkungan, dan budaya.4. Pengembangan kegiatan kurikuler
untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
peserta didik tentang lingkungan hidup.
TIK UNTUK PAPERLESSKeberadaan teknologi informasi bagi suatu
sekolah merupakan hal yang sangat
penting. Dengan penerapan teknologi informasi secara tepat,
suatu sekolah dapat memiliki competitive advantage dalam kegiatan
pembelajarannya. Dalam tulisannya, Tjumina, mengutip dari majalah
SWA, mengemukakan bagaimana cara membangun sistem teknologi
informasi (TI) yang ideal, yaitu :
1. Harus mengetahui visi dan misi sekolah. Sistem teknologi
informasi yang dibangun harus sejalan dengan visi dan misi
tersebut.
2. Menentukan sistem teknologi informasi seperti apa yang
dibutuhkan. Ini perlu dirumuskan dengan jelas, apakah teknologi
informasi itu dibutuhkan secara sophisticated atau sekedar
pendukung.
3. Harus mampu memilih sistem teknologi informasi yang tepat,
yang mampu mengakomodasikan semua kebutuhan sekolah. Di sini
diperlukan adanya survey terlebih dahulu.
4. Proyek teknologi informasi bukan sekedar proyek orang IT,
tetapi harus menjadi proyek sekolah sehingga perlu melibatkan semua
pihak dalam sekolah.
Pada penerapannya. teknologi informasi sangat terlihat
manfaatnya yaitu dalam membangun infrastruktur untuk mengelola dan
distribusi dokumen, berkas, laporan-laporan, yang kesemuanya akan
terintegrasi langsung ke komputer. Sebagai contoh, pengiriman
laporan melalui email akan berakibat pada pengurangan penggunaan
kertas
2 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
yang tidak perlu. Langkah pengurangan penggunaan kertas untuk
aktivitas sekolah sudah teraplikasi dengan baik. Konsep ini dikenal
sebagai paperless School. Paperless School adalah lingkungan
sekolah di mana penggunaan kertas dihilangkan atau digunakan dengan
bijak. ”Going paperless” dapat menghemat anggaran, meningkatkan
produktivitas, menghemat ruang, membuat dokumentasi elektronik,
mempermudah berbagi informasi, dan meminimalkan penggunaan kertas.
Adanya perkembangan teknologi informasi turut mendukung
meningkatnya penerapan konsep paperless school di beberapa sekolah.
Manfaat jika Paperless School System diterapkan, antara lain adalah
:1. Efisien waktu
Kecepatan distribusi dan kecepatan pencarian menjadi
karakteristik penting dari keberadaan Paperless School System.
Keuntungan pada aspek waktu, akan terlihat jika individu-individu
yang terlibat pada sistem ini terdistribusi dalam wilayah yang
luas, dan memiliki mobilitas tinggi.
2. Manajemen dokumentasi lebih baik
Dengan penataan data yang rapi, maka semua dokumen dapat terekam
dan disimpan dengan baik. Jika suatu saat dilakukan pelacakan maka
akan sangat terasa manfaat dari adanya Paperless School System
ini.
3. Kenyamanan kerja lebih baik
Aspek ini menekankan pada pola komunikasi yang cepat dan akurat
yang dapat diwujudkan, sehingga dapat mengurangi
kesalahpahaman.
4. Mendukung terjadinya keputusan yang lebih baik
Pada aspek ini dimungkinkan terjadinya penyajian informasi dan
komunikasi yang lengkap, dan dapat dilakukan pelacakan permasalahan
berdasarkan dokumen yang tersimpan secara rapi.
5. Manajemen lebih terkendali
Maksud dari aspek ini yaitu bahwa penerapan Paperless School
System dapat dimungkinkan jika aplikasi yang diterapkan menyertakan
fasilitas evaluasi dan pemantauan setiap surat keputusan yang
diterbitkan yang memerlukan laporan dan evaluasi hasil kerja.
6. Membaiknya citra organisasi
Dengan semakin baiknya manajemen dan pelayanan yang diakibatkan
dengan berbagai penyajian informasi yang akurat dan cepat, maka
akan memberikan nilai positif bagi pihak manapun yang berhubungan
dengan organisasi tersebut.
PENUTUPDapat disimpulkan bahwa Paperless School System dapat
membantu sekolah,
khususnya Sekolah Menengah Kejuruan di Yogyakarta dalam
melaksanakan nawacita-nya sebagai Sekolah Adiwiyata. Penerapan
Paperless School System seutuhnya di masa depan akan bermanfaat
bagi kualitas lingkungan yang lebih baik, juga dapat mempermudah
urusan administrasi sekolah sehari-hari. Penerapan Paperless School
System dapat kita lakukan mulai dari hal yang sederhana, misalnya
mengurangi penggunaan kertas, dengan memaksimalkan penggunakan
media pembelajaran berbasis android. Oleh karena itu, diharapkan
adanya Paperless School System dapat mewujudkan SMK di Yogyakarta
menjadi Sekolah Adiwiyata.
*) Guru SMK Negeri 4 Yogyakarta
3Paperless School System Menuju Sekolah Adiwiyata
-
Penggunaan Smartphone Mendongkrak Motivasi Belajar Bahasa
Inggris
Oleh : A.H. Tanti Herawati*
PendahuluanSmartphone atau disebut ponsel cerdas mengalami
perkembangan yang semakin
pesat dengan berbagai inovasi. Kemajuan teknologi pada
smartphone ini merupakan daya tarik tersendiri sehingga semakin
mempunyai banyak peminatnya termasuk peserta didik SMK. Hampir 99%
peserta didik di SMK 2 Yogyakarta mempunyai Smartphone. Kemajuan
teknologi tersebut sangat menguntungkan bagi pembelajaran bahasa
Inggris karena akan mempermudah penyampaian materi pada peserta
didik. Sesuai namanya, smartphone (ponsel cerdas) maka seharusnya
bisa membuat peserta didik semakin cerdas. Artinya penggunaan alat
komunikasi tersebut seharusnya sebagai sarana untuk mendukung
belajar, tidak kontraproduktif atau menghambat belajar.
Bagi peserta didik, ponsel cerdas seharusnya bisa dioptimalkan
untuk meningkatkan hasil belajarnya. Akan tetapi, kenyataannya
ponsel cerdas cenderung membuat mereka semakin sibuk untuk
melakukan hal-hal yang tidak beguna dan semakin malas belajar.
Apalagi jika mereka ikut bergabung dalam banyak grup di media
sosial. Obrolan, bahkan informasi hoax pun memotivasi rasa
penasaran, sehingga memancing keinginan untuk berkomentar dan
membagi (forward) informasi kepada orang lain. Keadaan tersebut
semakin tidak terkendali apabila muncul adanya rasa ingin dikenal,
diakui atau diperhatikan yang menjadi motivasi utama peserta didik
usia remaja untuk selalu melakukan selfie menggunakan ponsel
cerdas.
Selfie menggunakan ponsel cerdas atau disebut juga kepanjangan
dari Selfie (Self Portrait) ala Smartphone (SaSp) merupakan
aktivitas yang sangat ngetren dalam menggunakan ponsel cerdas.
Aktivitas SaSp yaitu memotret diri dengan kamera ponsel menjadi hal
yang biasa dilakukan oleh para remaja saat ini. Beraneka ragam pose
foto dari foto yang bergaya sampai yang mengundang tawa, kini
seolah-olah bukan masalah ketika sedang ber-SaSp. Pada
perkembangannya SaSp tidak hanya dilakukan untuk memotret diri
sendiri, melainkan juga berpose bersama teman, bisa berdua atau
berkelompok. Kegiatan SaSp biasanya juga diikuti dengan mengunggah
hasil foto tersebut ke media sosial seperti instagram, facebook,
twitter, whatsapp, dan sebagainya.
SaSp dapat dipandang secara positif sebagai salah satu sarana
aktualisasi diri dan memperluas pergaulan tetapi jika dilakukan
pada saat pembelajaran maka SaSp dapat membuyarkan konsentrasi
belajar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka peserta didik
perlu diarahkan untuk mengoptimalisasi penggunaan ponsel cerdas
pada pembelajaran speaking, khususnya pada materi describing people
and places.
Selfie ala Smartphone (SaSp)SaSp merupakan aktivitas memotret
diri sendiri (Self Portrait), menggunakan
kamera ponsel cerdas yang kemudian hasilnya dapat diunggah ke
media sosial berdasarkan berbagai macam tujuan. Hasil foto SaSp
yang diunggah ke media sosial,
TeknologiPendidikan
4 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
misalnya whatsApp, instagram dengan tujuan untuk mencari
perhatian dan untuk memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri. SaSp
berkaitan erat dengan citra yang dipersepsikan seseorang atas
dirinya sendiri (self image). Melalui SaSp setiap orang ingin
menampilkan sisi terbaiknya kepada orang lain sehingga mendapatkan
kesan positif (Simatupang, 2015). Dengan kata lain SaSp ini menjadi
suatu ajang komunikasi. Tujuannya yaitu menilai diri sendiri dan
dinilai orang lain. Hal seperti ini sudah menjadi penomena yang
sedang booming di kalangan remaja dalam rangka memperkuat
penghargaan terhadap diri sendiri.
Pengertian BelajarManusia mengalami banyak perubahan dan
perkembangan di segala bidang
kehidupannya karena berinteraksi dengan sesama manusia maupun
dengan lingkungan. Interaksi ini membuat manusia mengerti akan
sesuatu dengan kata lain manusia belajar sesuatu. Belajar merupakan
sesuatu yang tidak bisa dihindari karena belajar terjadi sejak
manusia dilahirkan hingga akhir hayat.
Robert E. Slavin (2009 : 151) menyatakan “Learning involves the
acquisition of abilities that are not innate. Learning depends on
experience, including feedback from the environment”. Artinya bahwa
belajar meliputi tambahan kemampuan yang bukan merupakan pembawaan
lahir. Belajar tergantung dari pengalaman, termasuk pengaruh dari
lingkungan. Hal ini menyebabkan terjadi perubahan dalam diri
peserta didik. Seperti dikatakan Purwanto (2011: 85) bahwa “Belajar
sebagai suatu perubahan yang relatif mantap dalam tingkah laku
melalui latihan atau pengalaman yang menyangkut berbagai aspek
kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti perubahan dalam
pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir, ketrampilan,
kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.”
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan belajar peserta
didik dituntut akan adanya perubahan baik penambahan ilmu
pengetahuan, ketrampilan dan sikap menuju kearah perkembangan
manusia seutuhnya.
Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2014 : 22). Horwart
Kingsley dalam Sudjana (2014 : 22) menegaskan bahwa hasil belajar
dapat berupa: (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan
pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita. Artinya bahwa hasil belajar
adalah kemampuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh peserta
didik setelah ia belajar dan dapat mengkonstruksikan pengetahuan
itu dalam kehidupan sehari-hari. Sudah pasti hasil belajar
dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan lingkungan kualitas
pengajaran.
Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau
diperoleh peserta didik dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan
keterampilan dan sikap yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan
sehingga nampak pada diri mereka. Peserta didik dinyatakan telah
belajar apabila terjadi perubahan tingkah laku pada mereka,
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti
menjadi mengerti.
Materi Pelajaran Bahasa Inggris Describing People and Places
Materi pelajaran describing people and places menggambarkan
tentang
gambaran seseorang atau tempat tertentu. Tujuannya yaitu untuk
menjelaskan atau mengungkapkan orang dan tempat secara detail.
1. Materi describing people menggambarkan ciri-ciri orang
dilihat dari:a. Penampilan (performance): dapat dilihat dari warna
dan bentuk rambut,
mata, hidung, pipi, dagu, kulit, tinggi atau pendek, gemuk
ataupun kurus dll.
5Penggunaan Smartphone Mendongkrak Motivasi Belajar Bahasa
Inggris
-
Contoh kalimat berikut:She’s got straight hair and she’s
thin-faced (or she’s got a thin face).He’s got a beard and
moustache and has a chubby face.She’s got long, wavy hair and she’s
round-faced.He’s got receding hair and a few wrinkles. She’s a very
smart and elegant woman.b. Kepribadian (personality): dilihat dari
karakternya: ramah, pelit, pemarah,
murah hati dll. Contoh kata sifat yang dapat digunakan: •
Adventurous • Aggressive • Ambitious • Arrogant • Bossy • Brave •
Busy• Generous
• Gentle • Gorgeous • Happy • Hard-working • Helpful • Honest •
Hopeful • Humble
• Humorous • Wise • Organized• Passive• Determined • Selfish •
Sensitive • Stubborn
2. Materi pelajaran describing place menjelaskan tentang suatu
tempat berupa gambaran tempat tersebut: lokasi, situasi dan keadaan
dari tempat tersebut. Adapun ciri- ciri kebahasaan dari describing
people and places yaitu :• Pendahuluan , berupa gambaran umum
tentang topik• Mendeskripsikan tentang ciri-ciri khusus yang
dimiliki benda dan tempat.• Menggunakan simple present tense •
Menggunakan detailed noun phrase misalnya a sweet young lady.•
Menggunakan attribute verb, seperti be (am, is, are) • Menggunakan
berbagai macam adjectives, yang bersifat describing,
numbering, classifying, misalnya: two strong legs, two white
fangs, dsb.• Menggunakan relating verbs untuk memberikan informasi
tentang subjek,
misalnya, My mum is realy cool, It has very thick fur, dsb.•
Hanya fokus pada satu objek tertentu.
Analisis SWOT perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan
efisiensi dari penerapan SaSp pada materi describing people and
places. Analisis Swot dilihat dari: Kekuatan (strength), Kelemahan
(weakness), Peluang (opportunities) dan ancaman (treat) dengan
penjelasan seperti berikut:
SaSp untuk Belajar Describing People and PlacesPada materi
describing people, peserta didik memanfaatkan ponsel cerdas
untuk memotret diri sendiri bersama temannya. Pembelajaran
dimulai dari foto SaSp berpasangan di luar kelas. Pada materi
describing place, peserta didik diarahkan untuk menggunakan ponsel
cerdas untuk memotret ruangan yang terdapat di sekolah, misalnya
ruang guru, kelas, kantin, perpustakaan dll. Kemudian dilanjutkan
dengan penelusuran informasi di internet untuk mempelajari kata
sifat yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan orang dan tempat.
Selanjutnya peserta didik melakukan diskusi serta menjawab
pertanyaan yang ada di lembar kerja dan mempresentasikan
hasilnya.
6 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
Dengan demikian, peserta didik memiliki agenda kegiatan yang
cukup padat sehingga mengurangi peluang untuk SaSp berulang-ulang
yang dapat mengalihkan dari tujuan pembelajaran.
Pembelajaran SaSp sambil belajar describing people and places
ini menggunakan pendekatan saintifik. Kegiatan pengamatan dapat
dilakukan dengan lebih mudah dan dapat dilakukan berulang kali
karena telah terdokumentasi dalam bentuk foto. Dengan berdiskusi
menjawab pertanyaan di lembar kerja berdasarkan ciri-ciri yang ada
pada foto, peserta didik melakukan aktivitas saling menanya dan
mengumpulkan data. Setelah itu, peserta didik mengasosiasikan
data-data yang diperolehnya untuk dipresentasikan. Kegiatan
terakhir yaitu peserta didik mengomunikasikan hasil kerjanya dalam
bentuk presentasi.
Penerapan SaSp sangat membantu pada pembelajaran speaking
khususnya pada materi describing people and places. Selain dapat
mengoptimalkan pemanfaatan ponsel cerdas, SaSp ini juga dapat
meningkatkan keaktifan dan kreativitas peserta didik. Dengan
melakukan SaSp berpasangan, berarti semua peserta didik terlibat
aktif dalam pembelajaran. Mereka sangat antusias dalam menghasilkan
foto-foto yang terbaik dengan kamera ponsel. Bahkan saat mereka
menentukan pose merupakan salah satu sarana berkreativitas. Begitu
pula saat membuat video salah satu ruang yang ada di sekolah untuk
mendeskripsikan situasi dan keadaan ruang tersebut, dapat melatih
peserta didik untuk lebih mengenal lingkungannya secara detail.
SaSp berpasangan juga dapat melatih kemampuan peserta didik
untuk bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain. Peserta
didik harus berhati-hati dalam berkomentar ketika mengidentifikasi
dan membandingkan ciri-ciri antar-individu yang terdapat pada foto
SaSp. Hal ini disebabkan oleh ciri-ciri wajah merupakan hal yang
sensitif untuk diberi komentar. Akan tetapi, di sisi lain, variasi
ciri-ciri tersebut dapat digunakan untuk mempelajari berbagai kata
sifat yang digunakan.
SaSp sambil belajar describing people and places dengan berbagai
langkah belajar yang mengikutinya dapat meningkatkan efisiensi
pembelajaran. Materi describing people and places dalam satu kali
pertemuan (3 jam pelajaran @ 45 menit) dapat selesai. Keuntungannya
ponsel cerdas sebagai media pembelajaran selalu siap karena setiap
saat dibawa oleh peserta didik.
PenutupSaSp terbukti dapat dikemas sebagai kegiatan positif yang
mendukung
pembelajaran. Selain sebagai salah satu bentuk optimalisasi
penggunaan ponsel cerdas untuk mempelajari describing people and
places juga dapat meningkatkan keaktifan dan kreativitas peserta
didik. Mereka juga berlatih bekerja sama dan menghargai pendapat
orang lain. Dapat disimpulkan bahwa SaSp dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Dengan demikian, ponsel
cerdas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik,
dapat bernilai positif dan membuat peserta didik menjadi semakin
cerdas.
*) Guru Bahasa Inggris SMK Negeri 2 Yogyakarta
7Penggunaan Smartphone Mendongkrak Motivasi Belajar Bahasa
Inggris
-
Implementasi Gerakan Pramuka Sebagai Solusi Menghasilkan
Generasi Milenial
Yang BerkarakterOleh Agung Pujiharjono*
PendahuluanKepramukaan pada hakekatnya proses pendidikan yang
menyenangkan bagi anak
muda, dibawah tanggungjawab anggota dewasa, Pembina maupun
pelatih profesional pramuka yang dilaksanakan di luar lingkungan
pendidikan sekolah dan keluarga dengan tujuan, prinsip dasar, dan
metode pendidikan tertentu. Mengutip pesan Presiden Ir. Soekarno
pada saat menyerahkan panji gerakan pramuka kepada Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, pada tanggal 14 agustus 1961 “Berusahalah
sehebat-hebatnya untuk mengembangkan dan meluaskan gerakan kita.
Sampai pada suatu ketika setiap anak dan pemuda serta pemudi kita,
baik mahasiswa yang di kota maupun yang menggembala kerbau di desa,
dengan rasa bangga dan terhormat dapat menyatakan “aku pramuka
Indonesia”. Pesan itu menjadi amanah bahwa gerakan pramuka
berfungsi untuk membina, memantapkan, dan menguatkan karakter
generasi muda Indonesia pada era milenial. Hal ini dikarenakan
adanya nilai - nilai yang terkandung dasar gerakan pramuka.
Dalam sejarahnya, Pramuka yang merupakan singkatan dari Praja
Muda Karana merupakan organisasi kepanduan yang tidak hanya populer
di Indonesia, namun juga di kancah dunia. Robert Stephenson Smyth
Baden Powell atau Baden Powell, seorang bapak pandu dunia bahwa
kepanduan ini sebagai sarana pendidikan melalui kegiatan yang
menyenangkan. Tipologi menyenangkan ini tentu saja menarik simpati
dan minat anak-anak. Sehingga, kegiatan kepanduan ini cepat
menyebar ke seluruh dunia. Hingga saat ini, Pramuka menjadi
kosakata yang tidak asing lagi dalam dunia pendidikan, mulai SD
(Siaga dan Penggalang), SMP (Penggalang), SMA/K (Penegak), bahkan
di tingkat Perguruan Tinggi. Dan, diakui atau tidak keberadaan
kegiatan Pramuka di sekolah terbukti telah mampu memberikan arti
tersendiri terhadap proses pembelajaran dalam pendidikan karakter.
Pada titik inilah, kebijakan Pramuka yang dijadikan sebagai
ekstrakul wajib di sekolah menjadi faktor penting dalam mewujudkan
pendidikan karakter.
1. Gerakan PramukaGerakan Pramuka adalah suatu gerakan
pendidikan untuk generasi muda, yang bersifat
sukarela, terbuka untuk semua, tanpa membedakan asal-usul, ras,
suku dan agama yang menyelenggarakan kepramukaan melalui suatu
sistem nilai . Nilai tersebut adalah Satya dan Darma Pramuka
sebagai dasar gerakan pramuka, sedangkan sandi ambalan adalah
sebuah karya atau hasil karya semua anggota ambalan di gugus yang
bersangkutan. Sandi ambalan merujuk pada perbuatan positif dan
memicu perilaku kreatif sehingga dapat memupuk hasrat untuk
melakukan hal hal yang bersifat membangun diri sendiri atau orang
lain.
2. Pengertian Pendidikan Karaktera. Pendidikan Pendidikan
karakter berasal dari dua kata pendidikan dan karakter, menurut
beberapa
ahli, kata pendidikan mempunyai definisi yang berbeda-beda
tergantung pada sudut
PsikologiPendidikan
8 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
pandang, paradigma, metodologi dan disiplin keilmuan yang
digunakan. Ki Hadjar Dewantara ( Bapak pendidikan nasional
Indonesia, 1889-1959) menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya
untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan batin ), pikiran,
dan jasmani anak agar selaras dengan alam dan masyarakatnya.
UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Pada pasal 3, disebutkan “pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejalan dengan itu, guru sebagai pembina pramuka dan pelatih
professional pramuka memiliki peran yang bersifat multi fungsi,
lebih dari sekedar yang tertuang pada produk hukum tentang guru,
seperti UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk
mendukung terwujudnya pendidikan yang bermutu, maka kita harus
mengandalkan sumber daya seutuhnya, berorientasi jangka panjang,
mengutamakan karya nyata, mengandalkan value added yakni kejujuran
dan kebajikan, dan menganggap jabatan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan atau amanah yang dimintai pertanggungjawaban di depan sang
Khalik kelak di akhirat. Untuk mempersiapkan dalam mewujudkan
pendidikan berkarakter pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 87
tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Dalam Perpres
tersebut dalam pasal 3 tujuan Penguatan Pendidikan Karakter ( PPK )
mempunyai tujuan pendidikan membangun dan membekali peserta didik
sebagai generasi emas Indonesia tahun 2045 dengan jiwa pancasila
dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika
perubahan di masa depan.
b. Karakter Menurut Koesoema (2010:3) mengemukanan tentang
karakter. Karakter merupakan
struktur antropologis manusia, di sanalah manusia menghayati
kebebasan dan menghayati keterbatasan dirinya. Dalam hal ini
karakter bukan hanya sekedar tindakan saja, melainkan merupakan
suatu hasil dan proses. Untuk itu suatu pribadi diharapkan semakin
menghayati kebebasannya, sehingga ia dapat bertanggung jawab atas
tindakannya ,baik untuk dirinya sendiri sebagai pribadi atau
perkembangan dengan orang lain dan hidupnya. Karakter juga
merupakan evaluasi kualitas tahan lama suatu individu tertentu atau
disposisi untuk mengekspresikan perilaku dalam pola indakan yang
konsisten diberbagai situasi.
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi tentang pendidikan
dan karakter secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan
karakter adalah upaya sadar yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang (pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai
karakter pada seseorang yang lain (peserta didik) sebagai
pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir dan bertindak
secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi. Pendidikan
karakter menurut Thomas Lickona (1992:12-122) mengandung tiga unsur
pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai
kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the
good). Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai
sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang
baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter
mulia lainnya. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam
mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan knowing, loving, and
acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter
dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan
pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.
Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai upaya yang
terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan
menginternalisasikan nilai-nilai sehingga
9Implementasi Gerakan Pramuka Sebagai Solusi Menghasilkan
Generasi Milenial Yang Berkarakter
-
peserta didik menjadi insan kamil. Pendidikan karakter juga
dapat diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesana, lingkungan
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang sempurna.
3. Implementasi Gerakan Pramuka dan strategi sebagai
solusiPenanaman nilai pada peserta didik dalam mengikuti
kepramukaan bermakna bahwa
pendidikan karakter akan efektif apabila peserta didik,
pendidik, tenaga kependidikan dan semua warga disekolah harus
terlibat dalam menerapkan nilai-nilai Tri Satya, Darma Pramuka dan
Sandi Ambalan pada masing masing satuan pendidikan. Menerapkan
nilai-nilai Tri Satya, Darma Pramuka dan Sandi Ambalan dalam
pendidikan karakter adalah salah satu cara yang efektif dalam
pembentukan karakter. Nilai – nilai dari Tri Satya Pramuka adalah
demi kehormatanku aku berjanji akan bersungguh sungguh :1.
Menjalankan kewajibanku terhadap Tuhan dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia,
dan menjalankan Pancasila2. Menolong sesama hidup dan
mempersiapkan diri membangun masyarakat3. Menepati Dasa Darma
Sedangkan Butir – butir yang terkandung di dalam Dasa darma
Pramuka adalah Pramuka itu :
a. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.b. Cinta alam dan kasih
sayang sesama manusia.c. Patriot yang sopan dan ksatria.d. Patuh
dan suka bermusyawarah.e. Rela menolong dan tabah.f. Rajin,
terampil, dan gembira;g. Hemat, cermat, dan bersahaja;h. Disiplin,
berani, dan setia;i. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya;j. Suci
dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.Pendidikan karakter adalah
proses menanamkan dengan memberikan benih karakter
/ nilai – nilai tertentu sekaligus agar peserta didik mampu
menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalankan kehidupan.
Dengan kata lain, peserta didik tidak hanya memahami pendidikan
sebagai bentuk ilmu pengetahuan/kognitif, namun juga menjadikan
sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup berdasarkan pada
nilai tersebut. Gerakan Pramuka sebagai penyelenggara pendidikan
kepanduan Indonesia yang merupakan bagian pendidikan nasional,
bertujuan untuk membina generasi muda dalam mencapai sepenuhnya
potensi-potensi spiritual, sosial, intelektual dan fisiknya, agar
mampu untuk :1. Membentuk, kepribadian dan akhlak mulia generasi
muda 2. Menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan bela
negara bagi generasi
muda3. Meningkatkan keterampilan generasi muda berbasis
teknologi / digital sehingga siap
menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, patriot dan pejuang
yang tangguh, serta menjadi calon pemimpin bangsa yang handal pada
masa depan.
Gerakan Pramuka sebagai penyelenggara pendidikan kepanduan
berlandaskan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut :1. Beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa2. Peduli terhadap bangsa dan
tanah air, sesama hidup dan alam3. Mampu menjadi pribadi yang
jujur, mandiri dan bertanggungjawab4. Taat kepada Kode Kehormatan
Pramuka5. Menjalankan Sandi Ambalan secara mandiri dan pembina
sebagai panutan
Implementasi dan metode yang dilaksaankan sebagai upaya
membentuk dan memberikan pendidikan watak kepada generasi muda di
era milenial, yaitu dengan :
10 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
1. Pengamalan Kode Kehormatan Pramuka secara terbimbing2.
Pembimbangan dan pemahaman tanpa meninggalkan unsur budaya dan
kearifan lokal3. Belajar melakukan kegiatan yang menyenangkan atau
menghibur secara positif dan
bermartabat4. Kerjasama secara berkelompok dengan konsep yang
terstruktur5. Kegiatan yang mampu memberikan tatangan dan
meningkatkan proses pendidikan
karakter sesuai jenis karakter peserta didik dengan
memperhatikan perkembangan rohani dan jasmani
6. Kegiatan di alam terbuka7. Sistem tanda kecakapan melalui
tahap yang terbimbing8. Sistem satuan / sangga terpisah untuk
putera dan puteri
Menumbuhkembangkan karakter pada hakikatnya menjalankan
kehidupan, dengan kata lain gerakan pramuka harus menanamkan
Pertama, Pramuka dikenal sebagai sarana membentuk, kepribadian dan
akhlak mulia generasi muda kegiatannya berbasis bertaqwa, beretika
dan bermoral. Maka didalam menggunakan media digital penerapannya
berbasis selektif ( literasi, telaah, dan share). Gerakan pramuka
berarti harus memiliki tagline yaitu “setiap pramuka adalah kantor
berita”, yang artinya bahwa anggota pramuka harus lebih aktif,
produktif, dan kreatif dalam menyuarakan atau mengabarkan keadaan
di sekitarnya. Menolak berita palsu atau hoax. Pramuka tidak
sekedar hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga menjadi
produsen informasi. Selain memberitakan informasi di media sosial,
pramuka juga merespons dan menolongnya di tempat. Inilah spirit
baru gerakan pramuka di era digital. Keberadaan gerakan pramuka
baik di media sosial maupun di dunia nyata harus lebih terasa
kehadirannya. Kedua pramuka dikenal sebagai kegiatan yang
menyenangkan. Menyanyi, bermain, tepuk tangan, tali temali,
menjanur ( kearifan lokal ), sandi-sandi, penjelajahan, berkemah
adalah beberapa bentuk dari kegiatan pramuka yang berbasis fun,
menyenangkan. Kegiatan yang bisanya dilakukan di tempat terbuka ini
akan memberi “ruang baru” bagi siswa atas dominasi ruang kelas yang
selama ini “membelenggu”. Sehingga, dalam kegiatan outdoor ini
peserta didik mampu mengekspresikan bakat dan minatnya. Ketiga,
Pramuka merupakan salah satu media pendidikan yang berbasis pada
pengoptimalan otak kanan peserta didik. Sebagaimana kita ketahui
bersama bahwa proses pembelajaran di kelas lebih dominan pada
pengembangan otak kiri (IQ: Intelectual Quotient), sementara
pengembangan otak kanan (EQ: Emotional Quotient) seringkali
mendapatkan porsi yang sangat sedikit. Pramuka adalah wahana
pengembangan emosional otak kanan, di mana peserta didik dilatih
untuk berinteraksi, berkomunikasi, kreatif, dan berafiliasi dengan
teman-teman lainnya. Di sinilah kemampuan sosial peserta didik
dibangun, sehingga mampu mewujudkan salah satu pilar pendidikan
agar dapat life together. Keempat, Pramuka melatih, menanamkan
mental yang kuat. Melalui gerakan pramuka peserta didik dibekali
dengan sikap mental yang tangguh seperti disiplin, berani, loyal,
bertanggung jawab dan sifat-sifat lainnya, yang terdapat dalam Tri
Satya, Darma Pramuka dan Sandi Ambalan pada satuan pendidikan di
SMK N 1 Nanggulan Kulon Progo
Penutup Membangun karakter menjadi fokus bangsa kita kini dan ke
depan bagi generasi muda
di era milenial, karena kunci keberhasilan pembangunan bangsa
terletak pada sumberdaya manusia yang berkualitas. Di dalam
kegiatan pramuka bukan hanya konten materi atau isi pelajaran yang
lebih dipentingkan melainkan menumbuhkembangkan dan melahirkan
sikap-sikap dan perbuatan-perbuatan yang baik yang akan membentuk
intelegensia, kekuatan jasmani dan karakter dari diri peserta
didik. Dengan adanya gerakan pramuka secara rutin yang
berkesinambungan, maka penanaman pendidikan karakter dengan Tri
Satya, Darma Pramuka dan Sandi Ambalan SMK N 1 Nanggulan Kulon
Progo signifikan dalam menunjang pendidikan karakter.
*) Guru SMK N 1 Nanggulan sebagai Pembina Pramuka
11Implementasi Gerakan Pramuka Sebagai Solusi Menghasilkan
Generasi Milenial Yang Berkarakter
-
Inovasi Gerakan Literasi Sekolah Dalam Bentuk Peduli Aksara
Jawa
Oleh : Brigita Angga Wulan Wahyu Jayanti* Pendahuluan
Membaca merupakan salah satu bentuk nyata dari ketrampilan
berbahasa ragam tulis. Selain itu membaca merupakan faktor penting
dalam sebuah pembelajaran. Dengan membaca, banyak manfaat yang bisa
diperoleh, informasi maupun wawasan juga menjadi semakin
berkembang, pengetahuan dan ketrampilan baru, bisa didapatkan.
Seperti yang kita ketahui, membaca merupakan kegiatan berliterasi.
Literasi saling bersinergi dengan dunia pendidikan dan dunia
kebudayaan. Literasi merupakan sarana peserta didik untuk dapat
mengenal, memahami, peduli kemudian menerapkan ilmunya.
Berdasarkan hasil penelitian literasi yang dilakukan oleh PISA
(Programme for International Students Assessment) – digagas oleh
OECD (The Organisation for Economic co-operation and Development -
yang dirilis 6 Desember 2016 pada anak usia 15 tahun pada 70 negara
dengan melibatkan kurang lebih 540.000 siswa, Indonesia mendapatkan
hasil yang kurang memuaskan. Berdasarkan survei diperoleh bahwa
Singapura merupakan negera dengan peringkat 1 untuk materi sains,
membaca dan matematika. Sedangkan Indonesia, rata-rata skor
pencapaian berada di peringkat 62 pada sains, peringkat 61 pada
membaca dan peringkat 63 pada matematika. Peringkat rata-rata
tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil survey PISA pada tahun
2012.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, presentase penduduk
berusia 15 tahun ke atas melek huruf menurut provinsi, daerah
tempat tinggal dan jenis kelamin pada tahun 2015 sebesar 95,22% ,
tahun 2016 sebesar 95,38% , tahun 2017 sebesar 95,92% (sumber: BPS
RI-Susenas, 2009-2017). Jika dilihat dari capaiannya, masyarakat
sudah mengalami tingkat melek huruf yang tinggi dan selalu
mengalami kenaikan. Hanya saja, membaca belum menjadi budaya di
masyarakat. Tercatat Indonesia menempati peringkat di bawah Vietnam
dan Thailand dalam hal membaca. Tentunya hal ini menjadi persoalan
yang serius dan menjadikan kekhawatiran akan kemampuan daya saing
kita di masa mendatang dengan negera-negara di Asia Tenggara.
Terlebih lagi membaca merupakan dasar untuk memperoleh pengetahuan,
ketrampilan, pembentukan serta penguatan sikap peserta didik.
Berkaca dari tersebut, pemerintah menciptakan strategi dalam
mendorong meningkatnya minat baca serta kemampuan membaca di
masyarakat. Gagasan tersebut diimplementasikan oleh Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam wujud Gerakan Literasi Sekolah.
Gerakan Literasi sekolah memiliki tujuan, yaitu :
1. Tujuan umumMenumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik
melalui pembudayaan
ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan
Literasi Sekolah agar peserta didik menjadi pembelajar sepanjang
hayat.
2. Tujuan khususa. Menumbuhkembangkan budaya literasi di
sekolah
TeknologiPendidikan
12 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
b. Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar
literatc. Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang
menyenangkan dan ramah
anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan.Dengan kata
lain Gerakan Literasi Sekolah meletakkan pondasi dalam
membiasakan dan memotivasi peserta didik untuk gemar membaca,
dilanjutkan dengan budaya menulis guna menumbuhkan budi pekerti
yang luhur, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015.
Pemaknaan Literasi dan Gerakan Literasi SekolahSecara harafiah,
kegiatan literasi sering dikaitkan dengan membaca dan menulis.
Berdasarkan deklarasi UNESCO tahun 2003, literasi merupakan
praktik dan hubungan sosial yang berkaitan dengan bahasa,
pengetahuan serta budaya. Dikatakan pula bahwa literasi informasi
berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengidentifikasikan,
menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan, menggunakan serta
mengkomunikasikan informasi untuk dapat mengatasi berbagai
persoalan. Kemampuan ini merupakan bentuk partisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat berhubungan dengan pembelajaran sepanjang
hayat.
Gerakan Literasi Sekolah sendiri merupakan kemampuan untuk
mengakses, memahami dan menggunakan secara cerdas melalui berbagai
aktivitas seperti membaca, menyimak, menulis maupun berkomunikasi.
Kemampuan ini tentunya tidak dapat terbentuk secara instant.
Diperlukan suatu usaha yang bersifat partisipatif yang melibatkan
warga sekolah, yakni kepala sekolah, komite sekolah, guru, tenaga
kependidikan, peserta didik, orang tua/wali peserta didik serta
dukungan dari pihak akademisi, media massa, masyarakat serta para
pemangku kebijakan.
Gerakan Literasi Sekolah dapat ditempuh dengan mewujudkan
pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai.
Buku yang dibaca merupakan buku umum seperti karya sastra ataupun
pengetahuan lainnya yang disesuaikan dengan target sekolah
masing-masing. Harapannya ketika pembiasaan membaca terbentuk, maka
selanjutkan dapat diajak untuk mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilannya tersebut sesuai dengan pembelajaran pada Kurikulum
2013. Variasi kegiatan pada Gerakan Literasi Sekolah dapat berupa
pengembangan ketrampilan reseptif (mendengarkan dan membaca) maupun
produktif (berbicara dan menulis).
Komponen dan Prinsip LiterasiClay dan Ferguson (2001)
mengidentifikasikan komponen literasi informasi terbagi
menjadi enam, yaitu literasi dini, literasi dasar, literasi
perpustakaan, literasi media, literasi teknologi dan literasi
visual. Berikut ini penjelasannya:
1. Literasi diniMerupakan bentuk kemampuan dalam menyimak,
memahami bahasa lisan,
berkomunikasi melalui media gambar dan juga lisan. Hal tersebut
terbentuk dari pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosial di
rumah. Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi menggunakan
bahasa ibu, menjadi batu pijakan berkembangnya literasi dasar.
2. Literasi dasarKemampuan untuk mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis dan juga
berhitung. Kemampuan tersebut merupakan dasar kemampuan analisis
dalam memperhitungkan, mempersepsikan informasi, mengkomunikasikan
serta menjabarkan informasi berdasar pemahaman dan juga mengambil
kesimpulan.
3. Literasi perpustakaanKemampuan dalam membedakan bacaan fiksi
dan nonfiksi dengan memanfaatkan
koleksi referensi dan periodical. Dengan kata lain peserta didik
memiliki kemampuan
13Inovasi Gerakan Literasi Sekolah Dalam Bentuk Peduli Aksara
Jawa
-
pengetahuan dalam memahami dan menggunakan katalog serta
pengindeksan perpustakaan, sehingga dapat membantu dalam
menyelesaikan sebuah tulisan, penugasan ataupun masalah.
4. Literasi mediaKemampuan mengetahui dan menggunakan beragam
media seperti media cetak,
media elektronik, media digital serta memahami tujuan
penggunaanya.5. Literasi teknologiKemampuan memahami perkembangan
teknologi seperti piranti keras (hardware),
piranti lunak (software), serta etika pemanfaatanya. Hal ini
menjadi perhatian sejalan dengan membajirnya informasi sehingga
diperlukan pemahaman yang tentang etika menjadi warga negara
digital.
6. Literasi visualPemahamaan antara literasi media dan literasi
teknologi, dimana kemampuan dan
kebutuhan belajar dalam memanfaatkan materi visual dan
audiovisual dilakukan secara kritis dan terarah. Penafsiran materi
visual perlu dikelola secara benar dan baik sehingga materi yang
termanipulasi dan berbentuk hiburan dapat disaring berdasarkan
etika dan juga kepatutan sosial.
Komponen literasi yang dilakukan didukung juga oleh prinsip
literasi sekolah menurut Beers (2009) , yaitu :1. Perkembangan
literasi sejalan dengan tahap perkembangan yang terprediksi2.
Bersifat berimbang3. Terintegrasi dengan kurikulum 4. Kegiatan
membaca dan menulis dapat dilakukan kapan pun5. Mengembangkan
budaya lisan6. Mengembangkan kesadaran tentang keberagaman
Tahapan Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah Pelaksanaan Gerakan
Literasi Sekolah memiliki tiga tahapan yaitu pembiasaan,
pengembangan dan pembelajaran. Berikut ini penjelasan
singkatnya: 1. PembiasaanPenumbuhan minat baca dilakukan melalui
kegiatan membaca selama 15 menit
(sesuai Permendikbud No. 23 Tahun 2015). Buku bacaan merupakan
buku umum, non pelajaran. Guru dan peserta didik dapat membawa
sendiri buku yang dibaca sesuai dengan minatnya. Kegiatan membaca
dalam suasana santai dan menyenangkan. Kegiatan membaca dilakukan
oleh guru dan peserta didik.
2. Pengembangan Meningkatkan kemampuan literasi dengan
menanggapi buku pengayaan
lewat tugas presentasi, menulis dan sebagainya. Tujuannya adalah
untuk mengasah kemampuan peserta didik berpikir kritis, kreatif,
inovatif baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.
3. PembelajaranMeningkatkan kemampuan memahami teks kemudian
mengkaitkannya
dengan pengalaman pribadi sebagai bagian proses pembelajar
sepanjang hayat. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis serta
mengelola kemampuan berkomunikasi secara kreatif, baik secara
verbal, tulisan, visual, audio.
Pada tahapan ini, dilakukan penugasan yang bersifat akademis
sesuai dengan penerapan Kurikulum 2013 pada masing-masing
matapelajaran.
14 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
Inovasi Gerakan Literasi Sekolah Peduli Aksara JawaGerakan
Literasi Sekolah menyertakan
isu peningkatan mutu pendidikan melalui program pengembangan
kurikulum 2013. Selain mewujudkan masyarakat yang “melek literasi”,
sekolah juga dituntut untuk ambil bagian mencitrakan budaya dan
penciri khas sekolah sesuai dengan kearifan lokal.
Sekolah selain sebagai pengembang budaya literasi juga dituntut
mampu mengemban amanah sebagai pusat kebudayaan (Dit.PSMA, 2015).
Sebagai pusat kebudayaan, sekolah perlu melakukan inovasi agar
memiliki citra penciri. Diharapkan dengan memujudkan Gerakan
Literasi Sekolah sebagai ikon budaya sekolah maka dapat mewujudkan
kearifan lokal sebagai ciri khasnya. Maka tidaklah berlebihan jika
SMK Negeri 4 Yogyakarta mendorong inovasi Gerakan Literasi Sekolah
melalui
muatan lokal Bahasa Jawa dengan tindakan peduli aksara Jawa. Hal
ini didasari pada latar belakang dan fenomena yang berkembang di
lingkungan masyarakat Yogyakarta dengan kearifan lokalnya.
Kota Yogyakarta merupakan kota yang identik dengan kota Budaya
dan juga kota pelajar. Setiap sudut kota, memberikan cerita menarik
dalam sejarah perkembangan kota Yogyakarta. Masyarakat luar
mengenal Yogyakarta dengan filosofi dan sejarahnya yang adiluhung.
Maka tidak mengherankan, sejak tahun 2013 pemerintah kota
Yogyakarta mengembalikan ciri khas kota Yogyakarta yakni dengan
melakukan perubahan nama jalan. Hal ini dilakukan dengan mengubah
kembali kurang lebih 600 nama jalan disertai dengan penulisan nama
jalan dalam aksara Jawa tersebar di kota Yogyakarta, dengan
pemahaman mengembalikan lagi filosofi kota yang penuh dengan
perjalanan sejarah.
Namun, dari beberapa nama yang terdapat di ruas jalan, beberapa
penulisan dirasa kurang tepat dan perlu dibetulkan penulisannya.
Koreksi perlu dlakukan, sehingga masyarakat Kota Yogyakarta,
khususnya generasi muda menjadi paham dan mampu mengapresiasi
penulisan nama jalan menggunakan aksara Jawa.
Pengapresiasian penulisan jawa sejalan dengan program pemerintah
di dalam kurikulum 2013 yakni program Gerakan Literasi Sekolah.
Program yang didukung oleh UNESCO ini memiliki tujuan mengembangkan
kemampuan dalam membaca dan menulis. Secara umum literasi merupakan
kemampuan individu melek terhadap aksara ataupun huruf. Akan tetapi
secara luas, literasi tidak hanya menitik beratkan pada melek
aksara saja tetapi juga pada kemampuan individu melek terhadap
teknologi dan informasi. Sehingga tepat jika dikatakan bahwa
program Gerakan Literasi Sekolah mengajak siswa untuk ikut terlibat
dalam kegiatan membaca, menulis dan menyelesaikan masalah.
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Yogyakarta merupakan salah
satu sekolah menengah yang juga sudah menggunakan kurikulum 2013
dalam pembelajarannya. Sekolah sudah ikut ambil bagian dalam
program literasi sekolah. Salah satu inovasi program Gerakan
Literasi Sekolah yang dilakukan adalah Peduli Aksara Jawa.
Peduli Aksara Jawa timbul karena keprihatinan penulisan nama
jalan dalam aksara jawa yang kurang tepat selain itu sekolah juga
sedang menyosialisasikan program Gerakan Literasi Sekolah. Peduli
Aksara Jawa merupakan bentuk implementasi tahap ketiga dari Gerakan
Literasi Sekolah yaitu pada tahapan pembelajaran. Pada tahap
ini
15Inovasi Gerakan Literasi Sekolah Dalam Bentuk Peduli Aksara
Jawa
-
peserta didik melakukan kegiatan antara lain:1. Membaca
referensi terkait budaya dan aksara Jawa2. Adanya penugasan terkait
praktik membaca aksara Jawa yang ada di berbagai
media serta menulis aksara Jawa.3. Kreatif dan mandiri dalam
menyelesaikan penugasan.4. Mengaplikasikan kemampuan membaca dan
menulis aksara Jawa dan
mempublikasikannya ke berbagai media.Maka tidak heran inovasi
ini dianggap sebagai salah satu bentuk dukungan
terselenggaranya program tersebut. Guru dan peserta didik juga
dapat memanfaatkan perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi untuk belajar memahami aksara Jawa.
Dengan memanfaatkan smartphone yang hampir dimiliki oleh semua
orang saat ini dan ditambah dengan dukungan para pengembang
aplikasi, kini belajar aksara Jawa juga sangat mudah akses
referensinya. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya beberapa
aplikasi yang ditawarkan gratis untuk untuk belajar aksara Jawa.
Sehingga tidak ada lagi alasan kurangnya akses referensi terkait
dengan literasi aksara Jawa.
Peduli Aksara Jawa bertujuan juga memberikan ruang lingkup yang
lebih luas kepada peserta didik untuk mengatualisasikan diri dengan
lingkungan sekitar. Hal tersebut terlihat dengan adanya dukungan
fitur dan fasilitas smartphone yang semakin mumpuni. Ditambah lagi
kemudahan mengakses media sosial (Instagram maupun Facebook) yang
mampu memotivasi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan,
berinteraksi serta menerima umpan balik satu sama lain sehingga
menjadi nilai tambah. Kemudian hal tersebut diharapkan akan
menumbuhkan dan memupuk rasa kepedulian terhadap kebudayaan Jawa
berkaitan dengan tata tulis aksara Jawa. Minimal peserta didik
berada pada fase mengalami sehingga mendapatkan pengalaman dan
terlibat langsung dengan kondisi disekitar, bukan hanya sebatas
sebagai wacana saja.
Penutup Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah menjadi program
prioritas dalam rangka
meningkatkan mutu dan kualitas peserta didik. Hal tersebut
memang tidaklah mudah, salah satu syarat keberhasilannya adalah
ketelatenan dan juga berkelanjutan. Peran serta seluruh warga
sekolah, masyarakat dan juga pemangku kebijakan menjadi kunci
keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah.
Inovasi Gerakan Literasi Sekolah melalui Peduli Aksara Jawa
merupakan bentuk kerjasama dan tanggung jawab bersama. Dukungan
smartphone dan juga pengembang aplikasi, membuat belajar aksara
Jawa menjadi sangat mudah akses referensinya. Harapannya generasi
muda menjadi paham dan mampu mengapresiasi aksara Jawa. Oleh karena
itu kegiatan ini perlu dioptimalkan sebagai salah satu wadah
meningkatkan pengembangan diri terutama dalam menguatkan kompetensi
siswa dalam bahasa dan budaya.
*) Guru Simulasi dan Komunikasi Digital SMK Negeri 4
Yogyakarta
16 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
Belajar IPA Menyenangkan Dengan Lima Level Of Inquiry Materi
Tekanan Zat
Kelas VIII SMP Negeri 1 YogyakartaOleh : E. Emma
Widyaningsih*
PendahuluanIlmu Pengetahuan Alam/sains memuat dua aspek yang
tidak terpisahkan, yaitu yang
produk dan proses. Sebagai produk, sains merupakan seperangkat
pengetahuan yang terangkai menjadi suatu badan pengetahuan (body of
knowledge) untuk menjelaskan fenomena alam sehari-hari, sebagai
proses, sains merupakan seperangkat praktik yang biasa dilakukan
untuk merumuskan, menyempurnakan pengetahuan yang sudah dibangun,
dan merangkai pengetahuan-pengetahuan yang telah dirumuskan menjadi
badan pengetahuan yang semakin koheren dan lengkap. Implikasi dari
pandangan tersebut adalah pelajaran IPA di sekolah tidak cukup
hanya untuk membantu peserta didik menguasai pengetahuan sains
semata, melainkan juga untuk memfasilitasi peserta didik mengalami
sendiri membangun pengetahuan sains melalui serangkaian proses
seperti yang dilakukan para ilmuwan.
Salah satu model pembelajaran pada Kurikulum 2013 adalah
pembelajaran Inkuiri. Inkuiri merupakan cara yang tepat untuk
memahami sains. Peserta didik belajar bagaimana mengajukan
pertanyaan dan menggunakan bukti untuk menjawabnya. Dalam proses
pembelajaran inkuiri, peserta didik belajar melakukan penyelidikan
dan mengumpulkan bukti dari berbagai sumber, mengembangkan
penjelasan dari data, mengomunikasikan dan mempertahankan
kesimpulan mereka.” (National Science Teachers Association – NSTA).
Wenning (2005a, 2010) memperkenalkan Model Tingkat Penyelidikan
untuk pengajaran sains dan kemudian menjelaskan urutan pembelajaran
terkait. Menurut Wenning (2012) level of inquiry terdiri dari:
discovery learning, interactive demonstrations, inquiry lessons,
inquiry labs, and hypothetical inquiry (disebut juga inquiry
spectrum). Dengan level of inquiry, guru akan membantu peserta
didik mengembangkan berbagai keterampilan proses intelektual dan
ilmiah.
PembahasanMateri tekanan yang diberikan di kelas VIII, bukan hal
yang mudah. Apalagi jika guru
memberikan secara materi secara konvensional, maka materi ini
menjadi sangat sulit, karena peserta didik tidak mengalami dan
menemukan sendiri. Mengajarkan materi tentang Tekanan merupakan
tantangan bagi guru, supaya bisa menjadi materi yang menarik, dan
mudah dipahami. Oleh karena itu untuk mengajarkan Tekanan,
digunakan langkah lima level inquiry. Materi Tekanan yang diberikan
di kelas VIII terdiri dari tekanan pada zat padat, zat cair, zat
gas, Hukum Archimedes, Hukum Pascal, dan juga aplikasi tekanan.
Langkah pembelajaran yang dilakukan guru dengan lima level
inquiry dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Discovery Learning, discovey learning menggunakan refleksi
sebagai kunci untuk memahami konsep. Guru memperkenalkan sebuah
pengalaman sedemikian rupa untuk meningkatkan relevansi atau
maknanya, menggunakan serangkaian pertanyaan selama atau setelah
pengalaman untuk membimbing peserta didik mencapai kesimpulan
tertentu, dan memberi pertanyaan kepada peserta didik untuk
mendiskusikan langsung yang berfokus pada masalah atau kontradiksi
yang nyata. Dengan menggunakan penalaran induktif, peserta didik
membangun hubungan atau prinsip sederhana berdasarkan hasil
pengamatan. Untuk tekanan, guru memberikan pertanyaan “ Apakah
kalian pernah mengalami peristiwa ban sepeda motor kalian bocor?”
“Apakah kalian tahu bagaimana tukang tambal ban menambal ban
motor?”
PsikologiPendidikan
17Belajar IPA Menyenangkan Dengan Lima Level Of Inquiry Materi
Tekanan Zat Kelas VIII SMP Negeri 1 Yogyakarta
-
“Pernahkah kalian mendengar kata panci pressure cooker? Apakah
perbedaannya dengan panci biasa?” Dari jawaban dan penjelasan yang
diberikan peserta didik, maka ditemukan konsep tekanan. Kemudian
guru menggali pengetahuan dengan pertanyaan, Jika pada suatu saat
tali tas ransel kalian putus, kemudian kalian melihat tali rafia
dan mengganti tali ransel dengan tali rafia, apakah yang kalian
rasakan? Peserta didik menemukan konsep bahwa tekanan ada
hubungannya dengan luas permukaan, dan juga besar beban ( atau
gaya).
2. Interactive Demonstration. Pada Demonstrasi interaktif, guru
yang memanipulasi (mendemonstrasikan) peralatan dan kemudian
mengajukan pertanyaan menyelidik tentang apa yang akan terjadi
(prediksi) atau bagaimana sesuatu yang mungkin terjadi
(penjelasan). Guru bertugas melakukan demonstrasi, mengembangkan
dan mengajukan pertanyaan menyelidik, memunculkan tanggapan,
meminta penjelasan lebih lanjut, dan membantu peserta didik
mencapai kesimpulan berdasarkan bukti. Pada materi tekanan, guru
meminta peserta didik untuk memprediksi pengaruh ketinggian dengan
tekanan. Sebagai alat demonstrasi guru membawa botol mineral yang
diberi lubang tiap 5 cm, peserta didik diminta memprediksi lubang
mana yang bisa mencapai jarak terjauh yang bisa ditempuh, dengan
cara menutup semua lubang dan hanya membuka satu lubang serta
mengukur jaraknya. Demonstrasi juga bisa dilakukan dengan bantuan
peserta didik, semua bisa mencoba. Menggunakan pemikiran
kondisional (penalaran deduktif), peserta didik menggambar
kesimpulan dengan pernyataan ‘jika-maka’. Dalam hal ini peserta
didik diharapkan menemukan jika permukaan air dalam dalam, maka air
yang memancar jaraknya lebih jauh. Pada tahap Interactive
demonstration ini peserta didik mendapatkan ketrampilan dasar
tentang bagaimana memperkirakan /estimating (penalaran deduktif),
Menjelaskan/ Explaining (penalaran induktif), memprediksi
(penalaran deduktif), meramalkan apa yang akan terjadi.
Gambar 1. Mengamati pengaruh kedalaman air pada tekanan pada
zat cair, dan mengamati gelas yang berisi air kemudian ditutup
dengan kertas dan diletakkan pada posisi
terbalik, air tidak akan tumpah.
3. Inquiry Lesson .Dalam banyak hal, Inquiry Lesson serupa
dengan demonstrasi interaktif. Namun, ada beberapa perbedaan
penting. Dalam Inquiry Lesson, penekanan secara halus beralih ke
bentuk percobaan ilmiah yang lebih kompleks. Guru masih berperan
memberikan panduan, fasilitator, dan menggugah pertanyaan.
Bimbingan diberikan secara tidak langsung dengan menggunakan
strategi tanya jawab yang tepat. Guru memfasilitasi peserta didik
untuk merencanakan percobaan sendiri, mengidentifikasi dan
mengendalikan variabel. Guru secara eksplisit dengan memberikan
panduan tentang saintifik proses melalui pertanyaan pembimbing.
Guru memodelkan proses intelektual mendasar dan menjelaskan
pemahaman mendasar tentang saintifik inkuiri sementara peserta
didik belajar dengan mengamati, mendengarkan, dan menanggapi
pertanyaan. Proses pembelajaran pada level ini mengajak peserta
didik “berpikir keras” (think aloud). Berdasarkan hasil pengamatan,
pengetahuan awal, dan juga demonstrasi yang sudah dilakukan, guru
membantu peserta didik untuk membengun pengetahuan baru.
Pengetahuan baru dibangun dengan bantuan literasi. Pada tahapan ini
peserta didik diminta untuk membaca buku referensi, atau “browsing”
dari internet. Sehingga guru akan mudah mengarahkan peserta didik
untuk menggambarkan hubungan (penalaran induktif), hukum, dan dari
data kuantitatif sederhana dicari kemungkinan hubungan fisika atau
matematis sampai akhirnya ditemukan rumus matematis, konsep atau
Hukum, dengan pendekatan grafik atau korelasi. Untuk materi tekanan
pada zat padat, ditemukan rumusan besar tekanan sebanding dengan
gaya dan berbanding terbalik dengan luas, untuk tekanan pada zat
cair ditemukan rumus bahwa tekanan dipengaruhi oleh massa jenis,
kedalaman dan percepatan gravitasi.
4. Inquiry Labs. Inquiry Lab adalah kegiatan membimbing peserta
didik lebih mandiri dalam mengembangkan dan melaksanakan rencana
eksperimen dan mengumpulkan data yang sesuai. Data ini kemudian
dianalisis untuk menemukan hukum - hubungan yang tepat antara
18 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
variabel. Pendekatan Inquiry Lab melibatkan aktivitas peserta
didik sebagai berikut:(a) Didorong oleh pertanyaan yang membutuhkan
keterlibatan intelektual berkelanjutan dengan menggunakan kemampuan
berpikir tingkat tinggi untuk pemikiran independen; (b) Fokuskan
kegiatan peserta didik dalam pengumpulan dan data untuk menemukan
konsep, prinsip, atau hukum baru yang bergerak dari konkret menjadi
abstrak; (c) Meminta peserta didik untuk membuat desain
eksperimental mereka sendiri; mewajibkan peserta didik untuk
mengidentifikasi, membedakan, dan mengendalikan variabel-variabel
penting dan dependen; dan mendorong peserta didik memiliki
keterampilan dan kemampuan saintifik inkuiri; (d) Biasanya
memungkinkan peserta didik belajar dari kesalahan prosedur;
memberikan waktu dan kesempatan bagi peserta didik untuk membuat
dan memperbaiki kesalahannya; (e) Menggunakan prosedur yang jauh
lebih konsisten dengan praktik ilmiah otentik. Pada pembelajaran
Tekanan, Inquiry labs dilaksanakan untuk menyelidiki hukum
Archimedes. Guru tidak mengajarkan tentang cara / bagaimana peserta
didik harus melakukan percobaan. Guru membangun rasa ingin tahu
peserta didik dengan cara bercerita tentang bagaimana Archimedes
menemukan perbedaan antara emas murni dan emas campuran dari
mahkota raja Hieron. Sebelumnya guru menanyakan apa yang akan
terjadi pada saat jeruk dimasukkan dalam air, apa pula yang terjadi
jika jeruk tadi dikupas dulu baru dimasukkan ke dalam air. Dari
pertanyaan yang diajukan, dan dari hasil diskusi, peserta didik
mencoba mendesain langkah yang dilakukan untuk mengetahui gaya ke
atas, untuk mengukur volume benda yang tidak beraturan, untuk
memvariabel zat cair, berupa air dan minyak, kemudian menghitung
massa jenis benda.
5. Real-world Application Dalam pembelajaran level berikutnya
peserta didik menerapkan apa yang telah mereka pelajari melalui
pengalaman ke situasi baru. Mereka menemukan jawaban yang berkaitan
dengan masalah otentik saat bekerja secara individu atau dalam
kelompok kooperatif dan kolaboratif dengan menggunakan pendekatan
berbasis masalah. Penerapan tekanan antara lain pada alat
pengangkat mobil yang biasa digunakan di cuci mobil, yaitu dengan
prinsip hukum pascal. Peserta didik diminta menyelesaikan masalah
dalam bentuk soal yang merupakan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Menggunakan sphirogmanometer untuk mengukur tekanan darah, dan
mampu menjelaskan cara kerjanya. Serta mampu mengukur masa jenis
zat cair dengan menggunakan pipa U.
PenutupPembelajaran IPA menjadi sangat menarik, karena peserta
didik mengetahui fungsi
belajar IPA, melatih cara berpikir, mengamati, menemukan serta
membangun pengetahuan mereka sendiri. Bruner menjelaskan ada 4
manfaat dari pengalaman belajar ini yaitu (1) meningkatkan proses
intelektual, peserta didik belajar cara memecahkan masalah,
menghubungkan informasi yang didapat sebelumnya dengan informasi
baru sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan; (2) perubahan
penghargaan dari ekstrinsik ke intrinsik, peserta didik mendapatkan
kepuasan dari manipulasi lingkungan dan pemecahan masalah; (3)
belajar penemuan; (4) Alat untuk proses mengingat, peserta didik
yang memahami bahan yang dipelajari akan lebih mudah mengingat.
*) Guru SMP Negeri 1 Yogyakarta
Gambar 2. Menyelidiki
adanya gaya keatas
( Hukum Archimedes)
Gambar 3. Aplikasi tekanan pada alat
Sphygmomanometer untuk mengukur tekanan darah
19Belajar IPA Menyenangkan Dengan Lima Level Of Inquiry Materi
Tekanan Zat Kelas VIII SMP Negeri 1 Yogyakarta
-
Post-Truth, Pendidikan, dan Literasi Media
Oleh : Yose Rizal Triarto *)
Pendahuluan
Di era digital, arus informasi melalui berbagai media sosial dan
konvensional menyesaki ruang publik dengan berbagai macam
informasi. Sebagian informasi mungkin kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan karena didukung bukti-bukti sahih. Namun,
sayangnya banyak pula dari pemberitaan yang sampai ke masyarakat,
baik melalui media cetak, visual maupun audio, yang disajikan
dengan ketergesaan dan mengabaikan pentingnya data dan informasi
yang akurat.
Berita atau informasi semacam ini disebut ‘pascakebenaran’ atau
post-truth. Frasa post-truth ini awalnya dikenal di ranah politik
saat kontes politik memperebutkan kursi parlemen dan/atau tujuan
politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics.
Istilah post-truth pertama kali diperkenalkan Steve Tesich,
dramawan keturunan Amerika-Serbia. Tesich melalui esainya pada
harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya yang mendalam
terhadap perilaku politisi/pemerintah yang menurutnya dengan
sengaja terus memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan
bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif.
Tesich mengatakan, ...”following the shameful truth of
Watergate, more assuaging coverage of the Iran-Contra scandal and
Persian Gulf War demonstrate that “we, as a free people, have
freely decided that we want to live in some post-truth world”
(Wikipedia).
Post-truth umumnya dipakai untuk memengaruhi opini publik, dan
informasi nirfakta ini semakin marak seiring dengan tersedianya
media komunikasi internet. Ironisnya, kebanyakan masyarakat yang
tergolong terpelajar sekalipun sering menelan begitu saja
berita/informasi ini sebagai kebenaran.
Post-truth sengaja dikembangkan dengan tujuan guna mengolah
sentimen masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan
mudah terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati
terhadap agenda politik tertentu yang sedang diskenariokan.
Berita/informasi yang disampaikan, meskipun menjanjikan sesuatu
yang indah dan menyenangkan, belum dapat dikatakan suatu
kebenaran.
Sebaliknya, bukan pula sesuatu yang nyata akan terjadi, apabila
diungkapkan berupa ancaman atau sesuatu yang dapat menimbulkan
keresahan dan ketakutan. Peristiwa Brexit dan pemilihan Presiden AS
terakhir, menurut banyak pengamat, merupakan produk nyata
keberhasilan post-truth politics. Ditimbang dari pengaruhnya yang
besar pada kehidupan keseharian masyarakat, frasa post-truth ini
oleh Oxford Dictionary dinobatkan menjadi The Words of the Year
2016 (Wikipedia).
Dalam Oxford Dictionaries, post-truth didefinisikan sebagai
‘berkaitan dengan atau merujuk kepada keadaan di mana fakta-fakta
obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik
dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi’. Opini publik dibangun
melalui sentimen emosional bukan fakta atau logika. Fakta objektif
tidak lagi
Opini
20 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
penting. Tak peduli itu benar/salah, yang penting publik
percaya. Itulah dunia post-truth (hoax merajalela). Medsos dan
media mainstream (ikut berperan) semakin efektifnya post-truth.
Betapa sulitnya bagi kita untuk melihat dan memilah mana fakta
atau kebohongan, mana kejujuran atau ketakjujuran, mana fiksi atau
fakta. Di era post-truth, batas antara kebenaran dan kebohongan,
kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan non-fiksi tidak jelas.
Fakta objektif dipandang tidak penting untuk membangun opini
publik. Yang penting opini dibangun dengan membangkitkan emosi dan
keyakinan personal. Post-truth terjadi karena banjir informasi dan
media.
Filosof AC Grayling memperingatkan ihwal ‘korupsi integritas
intelektual’ akibat praksis post-truth. Bila masyarakat berdiri di
atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan,
dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau
kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran, masyarakat
sesungguhnya sangat rapuh. Ia bagaikan bangunan kartu domino yang
dengan satu sentuhan saja seluruh bangunannya runtuh (mudah-mudahan
itu tidak terjadi).
Kondisi semacam ini sebenarnya juga terjadi di Indonesia pada
berbagai peristiwa politik, termasuk di instrumen kebijakan
pendidikan. Banyak sekali isu yang berkaitan dengan pembangunan
pendidikan yang digunakan untuk tujuan politik jangka pendek. Janji
sekolah gratis, misalnya, sering dipersepsikan akan dapat
menyelesaikan persoalan akses dan mutu pendidikan. Post-truth di
kalangan pelajar juga sering menimbulkan perkelahian dan berujung
pada perbuatan kriminal yang serius.
Apabila keadaan semacam ini terus berlangsung uncheck,
polarisasi dalam masyarakat, termasuk pelajar dan mahasiswa, akibat
post-truth akan semakin besar, menciptakan kondisi yang tidak
produktif, dan akan dapat memengaruhi agenda pembangunan nasional
untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan Literasi Media
Agar siswa kita resisten terhadap pengaruh post-truth,
pendidikan perlu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis melalui
pendidikan literasi media. Literasi media dipahami sebagai
kemampuan untuk mendapatkan, melakukan analisis, evaluasi, dan
menciptakan media sehingga anak-anak maupun orang dewasa dapat
memahami pesan yang kompleks. Lebih jauh, melalui literasi media,
murid akan didorong untuk mempertanyakan mengapa dan dari mana
sebuah pesan dikirimkan (Kellner.D, at all, 2005).
Pemerintah sudah melakukan langkah yang tepat dengan meluncurkan
program pendidikan literasi dan karakter. Namun, kualitas konten
dan kegiatannya di sekolah/madrasah masih perlu ditingkatkan.
Selain itu, indikator pemenuhan program harus dirumuskan dengan
bahasa yang lebih dipahami dan terukur sehingga ketercapaian kedua
program ini dapat dievaluasi dengan tepat sasaran. Pengalaman
penulis mengunjungi beberapa sekolah/madrasah di beberapa wilayah
menunjukkan betapa pemahaman tentang literasi dan pendidikan
karakter cenderung beragam dan superfisial.
Pendidikan karakter dan literasi ini, jika dilaksanakan dengan
pemahaman yang benar kenapa (why) dan bagaimana (how), dapat
membantu membentuk karakter siswa yang kuat dan kritis. Hasilnya,
siswa mampu menyaring informasi yang datang dari berbagai sumber
pemberitaan dan dapat memanfaatkan bagian pemberitaan yang baik
untuk kepentingan positif dan produktif sesuai kapasitas mereka
sebagai pelajar.
21Post-Truth, Pendidikan, dan Literasi Media
-
Guna memperkuat program pendidikan karakter dan literasi ini,
perlu dipertimbangkan merancang dan mengintegrasikan beberapa
kegiatan literasi dan karakter dengan kurikulum formal, terutama
pada pembelajaran bahasa dan sastra. Sebaliknya, pembelajaran
bahasa dan sastra orientasinya harus dipertajam dan kegiatan
pembelajaran dilaksanakan secara lebih rigor.
Kesepahaman harus dibangun bahwa bahasa diajarkan bukan hanya
terbatas pada aspek teknikal kebahasaan, melainkan juga diajarkan
dengan tujuan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, analitik, dan
reflektif. Karya-karya sastra klasik, berupa novel-novel perjuangan
dan biografi para pejuang bangsa serta sejarah tanah air harus
diperkenalkan dan didiskusikan secara kritis dengan siswa.
Semua bacaan itu tentunya sarat dengan nilai-nilai perjuangan,
budaya, dan kemanusian yang dapat membantu upaya pembentukan
karakter dan kepribadian siswa yang lebih bertanggung jawab,
seiring dengan pemahaman agama yang benar serta cinta tanah
air.
Siswa-siswi baik di tingkat SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA harus segera
dan lebih diperkenalkan dengan bacaan-bacaan yang bermuatan etika,
filsafat, dan nasionalisme agar mampu berpikir logis, kritis,
sekaligus reflektif. Kemampuan berpikir kritis yang dilengkapi
karakter yang kuat merupakan amunisi utama yang dapat digunakan
untuk menangkis informasi palsu yang bertujuan mengganggu kesatuan
bangsa.
Literasi Media di Era Digital
Lalu bagaimana mengatasi berita-berita palsu (hoaks) yang
semakin hari semakin membanjiri dan menembus ruang-ruang personal
kita?
Bagi sebagian orang, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah
dengan melakukan periksa fakta (fact checking), fenomena yang
berkembang di berbagai negara seiring dengan perkembangan hoaks itu
sendiri. Asumsinya, dengan melakukan periksa fakta,
informasi-informasi yang terbukti bohong bisa dipatahkan dengan
sendirinya. Orang yang awalnya membaca informasi palsu kemudian
akan disadarkan setelah membaca informasi yang sebenarnya.
Namun, kenyataannya memberantas informasi hoaks tidak semudah
itu. Usaha untuk menampilkan fakta yang sebenarnya kerap kali
berakhir dengan sia-sia. Ini terjadi karena pada dasarnya problem
utama tidak terletak pada informasi palsu itu sendiri, melainkan
pada apa yang diyakini oleh seseorang. Keyakinan dengan dasar
apapun–seperti politik, agama, kultur–kerap membuat orang
mengedepankan prasangka alih-alih fakta.
Prasangka tersebut yang kerap kali dibawa ketika berpendapat di
ruang publik seperti di media sosial. Tak terkecuali ketika membaca
dan membagi informasi. Dalam kondisi demikian, kebenaran
informasi–apakah ia berbasis pada fakta atau kebohongan–menjadi
tidak penting lagi. Hal yang dianggap lebih penting adalah, apakah
informasi tersebut mengafirmasi keyakinan yang dimiliki atau
tidak.
Informasi yang faktual dengan data-data yang bisa
dipertanggungjawabkan cenderung akan diabaikan kalau tidak sesuai
dengan keyakinan. Sebaliknya, setidak masuk akal apapun sebuah
informasi palsu, ia akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran jika
berada garis keyakinan yang sama dengan pengakses informasi.
Fenomena Ini menjelaskan mengapa bahkan orang yang intelek
sekalipun bisa dengan mudah percaya informasi palsu. Dengan kata
lain, informasi-informasi palsu ibarat bensin yang disiramkan ke
api.
Pada titik ini, relevan untuk mendiskusikan literasi media
sebagai salah satu upaya untuk melawan banjir informasi palsu yang
pelan-pelan merusak kehidupan demokrasi
22 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
kita. Perlu dicatat, sebagai salah satu upaya, tentu ia masih
membutuhkan faktor-faktor lain jika ingin menekan bahkan
memberantas informasi palsu. Literasi media sendiri tidak sekadar
kemampuan untuk membedakan mana informasi yang benar dan bohong.
Lebih dari itu, literasi media memberi perhatian pada kemampuan
berpikir kritis dalam membaca pesan-pesan media atau informasi.
Dalam konteks ini, ia menjadi perangkat pengetahuan yang membuat
orang bisa membaca sebuah informasi between the lines (mengambil
kesimpulan).
Sebagai contoh, dalam membaca informasi sebuah media kita tidak
bisa menelan mentah-mentah begitu saja. Literasi media memungkinkan
upaya pembacaan atas sebuah berita menjadi lebih jauh dari apa yang
tampak dalam teks berita. Sebuah berita media adalah produk dari
berbagai kontestasi kepentingan. Setiap media digerakkan oleh
kepentingan ekonomi politik masing-masing. Begitu pula dengan
informasi palsu yang beredar di media sosial. Ia digerakkan oleh
“tangan-tangan tak terlihat” yang punya kepentingan tertentu dengan
menyebarkan informasi palsu.
Kita bisa melihat dari pengalaman Amerika Serikat dan Inggris di
tahun 2016. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika
Serikat diwarnai ledakan informasi palsu dalam periode pemilihan
umum. Ledakan yang sedikit banyak memiliki peran dalam terpilihnya
Trump. Sementara di Inggris, referendum yang memutuskan negara
tersebut keluar dari Uni Eropa juga diwarnai dengan informasi palsu
yang membuat banyak warga memilih tanpa basis fakta dan data yang
memadai. Keputusannya lebih didorong dan digerakkan oleh prasangka
sebagai konsekuensi dari gempuran informasi-informasi palsu.
Melihat dua kasus tersebut, sekali lagi tak mengherankan jika
kamus Oxford menjadikan kata post-truth sebagai word of the year
pada 2016 yang lalu. Post-truth adalah kondisi dimana fakta tidak
lagi menjadi penting dan prasangka menjadi bahan pertimbangan yang
paling utama dalam mengambil sebuah keputusan tertentu. Dalam
konteks di Indonesia, kita bisa melihat fenomena ini dalam
pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Potensi semakin
mewabahnya informasi palsu dan mempengaruhi pilihan politik warga
akan semakin membesar di tahun-tahun ke depan.
Karena itu, bahasan literasi media tetap penting. Selama ini,
sebagai sebuah wacana, literasi media lamat-lamat terdengar,
khususnya bila dibandingkan dengan upaya-upaya lain dalam
menghadapi gelombang informasi palsu dan problem berita-berita
media lainnya. Misalnya saja seperti upaya Dewan Pers memverifikasi
media-media arus utama yang salah satu alasannya adalah
meminimalisir penyebaran informasi palsu. Atau juga model
pemblokiran situs-situs seperti yang biasa dilakukan
pemerintah.
Membangun Generasi Kritis Literasi Media
Literasi media jarang terdengar karena efeknya baru bisa
dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Sebabnya, dalam literasi
media yang dibangun adalah sebuah cara berpikir yang tentu
membutuhkan proses panjang. Bahasan tentang literasi media
sebenarnya sudah lama muncul. Tapi sifatnya masih parsial dan sulit
menyentuh substansi persoalan. Hanya kalangan-kalangan tertentu
saja yang melakukan ini seperti kampus dan organisasi masyarakat
sipil dengan sifatnya yang masih elitis dan gagal menjangkau
masyarakat luas.
Karena itu, penulis berpendapat bahwa dalam jangka panjang,
literasi media harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di
Indonesia. Gagasan ini tidak berlebihan. Survei yang dilakukan
Nielsen (2016) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia
didominasi oleh generasi Z (usia 10 -19 tahun) dan generasi
millenniall (usia 20-34 tahun) dengan masing-masing sebesar 34% dan
48%. Ini artinya para pengakses internet baik yang menggunakannya
untuk mengakses media daring maupun media sosial kebanyakan adalah
pelajar.
23Post-Truth, Pendidikan, dan Literasi Media
-
Ini adalah tantangan literasi media di era digital. Generasi Z
dan millennial adalah generasi yang tumbuh besar bersama perangkat
teknologi dan internet. Sebagai digital natives (generasi yang
lahir di saat era digital sudah berlangsung dan berkembang pesat),
mereka menerima media sosial sebagai sesuatu yang taken for granted
(sesuatu yang sudah biasa). Ini berbeda dengan generasi orang tua
mereka yang masuk dalam kategori digital immigrant (generasi yang
lahir sebelum generasi digital belum begitu berkembang).
Penutup
Melihat fakta-fakta tersebut, tentu relevan untuk memasukkan
literasi media ke dalam kurikulum pendidikan dan menjadi bagian
dari pelajaran yang mereka terima secara formal. Bukan hanya
berdasarkan pada kepekaan masing-masing individu semata. Dengan
begitu, sejak masih belajar di sekolah, para pelajar dibekali
perangkat pengetahuan yang penting bagi mereka khususnya dalam
mengakses informasi di internet.
Dengan kata lain, fokus literasi media dalam kurikulum
pendidikan adalah memastikan anak-anak mampu membaca perkembangan
teknologi termasuk konsekuensi pesan di dalamnya secara kritis.
Serta yang lebih penting adalah menggunakannya secara bijak. Tidak
hanya berkaitan dengan konflik sosial, hal ini penting sebagai
upaya juga menangkal gejala radikalisi agama yang marak menggunakan
medium media sosial.
Sementara itu dalam jangka pendek, yang dibutuhkan adalah peran
dari para pemangku kepentingan baik itu regulator media,
pemerintah, dan yang lebih penting adalah kelompok masyarakat sipil
khususnya komunitas-komunitas yang bersentuhan langsung dengan
warga yang terpapar informasi palsu. Dalam masyarakat yang rentan
terpapar informasi palsu, kebutuhan akan literasi media menjadi
begitu mendesak. Bagaimana caranya?
Seperti disinggung di atas, pada dasarnya literasi media
berkaitan dengan kesadaran kritis. Karena itu, untuk menumbuhkannya
adalah dengan tetap menumbuhkan skeptisisme pada berbagai informasi
yang datang. Baik itu dari media-media arus utama, apalagi dari
sumber yang tidak bisa diverifikasi. Kita tidak boleh memberikan
kepercayaan seratus persen kepada media arus utama dan
sumber-sumber lainnya. Sebaliknya, tidak boleh juga berlebihan
dalam meragukan sebuah informasi kalau memang ia bisa diuji dan
dipertanggungjawabkan.
Berangkat dari ketidakpercayaan tersebut, yang dilanjutkan pada
tahap selanjutnya adalah melakukan upaya pembacaan terhadap sebuah
informasi atau berita dengan lebih menyeluruh. Ini melampaui benar
atau salah. Misalnya dengan menghubungkan sebuah berita media
dengan kepemilikan media atau kepentingan ekonomi politik. Atau
juga menautkan antara informasi palsu dengan siapa-siapa saja yang
secara aktif menyebarkannya.
Upaya ini tentu saja berada dalam wilayah ideal, dan patut
dicatat bahwa literasi media bukanlah sebuah panasea (obat) yang
bisa dengan tiba-tiba menghilangkan rasa sakit. Ia menjadi upaya
terus-menerus yang hasilnya kerap tidak datang dalam waktu singkat.
Apalagi seperti di era digital saat ini yang penuh dengan disrupsi
(tercerabut dari akarnya). Tetapi waktu sudah mendesak, jika ia
tidak dilakukan, kita semua akan dengan mudah tersapu gelombang
informasi palsu, sampai jauh.*) Pemerhati masalah pendidikan di
Indonesia.
24 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
Lensa BTKP
Tahun ini, Balai Tekkomdik DIY kembali menyelenggarakan acara
Diseminasi yang diselenggarakan di 5 kabupaten dan kotamadya yang
ada di DIY. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 11-18 Februari
2019. Terdapat 5 (lima) sekolah yang menjadi lokasi kegiatan
diseminasi kali iniadalah SMA Negeri 1 Imogiri, SMK Negeri 1
Saptosari, SMK Negeri 1 Panjatan, SMA N 1 Kalasan, dan SMK
SMTI.
Acara ini dihadiri oleh 50 orang yang berasal dari sekolah tuan
rumah, dan beberapa sekolah SMP/Mts, SMA/SMK/MA disekitaran lokasi
titik diselenggarakannya kegiatan diseminasi ini. Selain tamu
undangan dari sekolah, hadir pula perwakilan dari dinas pendidikan,
kepala Balai Dikmen, serta bapak /ibu Pengawas SD/MI, SMP/MTS,
SMA/MA, dan SMK dari kabupaten/ kota yang menjadi lokasi
penyelenggaraan.
Selain memperkenalkan visi misi dan program Kepala Balai
Tekkomdik DIY, Ir. Edy Wahyudi, M.Pd, menyampaikan pesan untuk
bersama - sama mempelajari serta menerapkan IT pada keseharian
khususnya dalam dunia pendidikan tidak perlu
memandang usia ataupun kondisi. Tak lupa beliau menyampaikan
pentingnya menguasai IT dalam keseharian. Beliau mencontohkan
pengusaha taksi atau ojek online yang tidak perlu membutuhkan modal
untuk membeli armada kendaraan melainkan cukup membuat sebuah
aplikasi. Terakhir beliau berpesan bahwasanya daerah-daerah di DIY
memiliki laju pembangunan yang cukup pesat namun bila tidak
diimbangi dengan kemampuan mengoperasaikan dan sarana
telekomunikasi/koneksitas jaringan internet di lokasi-lokasi yang
stategis akan kurang efektif.
Selain mendengarkan paparan dari Kepala Balai Tekkomdik tentang
visi-misi dan program Balai Tekkomdik, para peserta juga
mendapatkan tambahan pengetahuan tentang Revolusi Industri 4.0 dan
Materi Kreatif Tips Menjadi Vlogger dari tim Balai Tekkomdik.
Kegiatan ini dipungkasi dengan penampilan Band 26, yang merupakan
inovasi dari Balai Tekkomdik yang memungkinkan untuk bermain music
tanpa alat music konvensional.
Diseminasi Layanan Pembelajaran
Berbasis TIK di Seantero DIY
25
-
Lensa BTKP
Dalam rangka menyongsong revolusi pendidi-kan 4.0 dan
mensukseskan program “Jogja Smart Education” untuk mewujudkan
pendidikan jogja ke-las dunia, pada tahun 2018 lalu Dinas
Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY melalui Balai Teknologi
Komunikasi Pendidikan (Tekkomdik) bekerjasama dengan Google melalui
PT. Duta Digital Informati-ka, mitra resmi Google for Education di
Indonesia, melaksanakan kerjasama sinergi Google for Educa-tion dan
Jogja Belajar.
Ruang auditorium Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY
menjadi tempat pelaksanaan pel-uncuran program Sinergi Google For
Education dan Jogja belajar serta Aplikasi Jb Class Istimewa.
Se-banyak 28 tamu VIP dan 300 tamu undangan dari-berbagaisekolahan
di DIY mengikutisesi acara deng-ankhidmat. Dalam Sambutan dari
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang diwakili oleh Kepala
Se-kertaris Daerah Istimewa Yogykarta, Ir. Gatot Saptiadi
menyampaikan, “sepatutnya kita semua gumergah (bersemangat red.)
dalam menyongsong era revolusi 4.0 ini dengan gegap gempita dan
waskita (waspada red.). Dunia cepat sekali berubah, melalui
sentuhan teknologi, yang menyebabkan seakan kita semua terhubung
tanpa batas. Kerjasama yang dijalin pada kesempatan ini, harus
benar-benar dimanfaatkan untuk menggembleng generasi muda agar
tangguh dalam menatap masa depan. Generasi muda yang tangguh,
kreatif, kritis, dan menggengam prinsip-pr-
insip etika adalah modal
baginegeriiniuntukmenerus-kanpekerjaankita. Kita
berharappadaperadaban yang lebihbaik”.
Bentuk kerjasama sinergi Google for Education danJogja Belajar
adalah meningkatkan domain jog-ja belajar.org menjadi domain
pendidikan berbasis teknologi Google. Hal tersebut membuat pengguna
jogja belajar.org secara otomatis dapat mengguna-kan seluruh
aplikasi produktif untuk pendidikan yang terdapat di Google melalui
akun pengguna yang ber-akhiran @jogjabelajar.org. Dengan layanan
baru ini, layanan di laman Jogja Belajar yang semula memiliki 5
fitur utama JB Media, JB Budaya, JB Radio, JB Class dan JB tube,
kali ini memiliki fitur baru yakni JB Mail. Dalam acara ini Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga melalui Balai Tekkomdik juga
melun-curkan konten edukasi berbasis video/audio, yakni empat film
pendidikan untuk jenjang SMA dan SMK, dua film pendidikan untuk
penanganan Anak Berke-butuhan Khusus, tiga puluh media bahan siar
radio, Aplikasi JB Class Istimewa serta Aplikasi untuk Anak
Berkebutuhan Khusus.
Konten-konten media pembelajaran terus di-perbaharui oleh Balai
TekKomDik Dinas DIKPORA DIY untuk mendukung tercapainya misi
pendidikan khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta dan Balai Tekkomdik
senantiasa menjadi mitra belajar dengan memanfaatkan teknologi
komunikasi yang efektif, efisien dan up-to-date untuk masyarakat.
Dengan
Sinergi Google for Education dengan Jogja Belajar
26 WARTA GURUB u l e t i n
MEDIA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKANEDISI 1 TAHUN
2019
-
Pergantian Kepala Balai TEKKOMDIK dan Staff
Pada Awal tahun 2019 ini, diawali dengan perombakan struktur
yang ada di Balai Tekkomdik DIY. Kepala Balai Tekk