MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010 ISSN 1979 – 6239 Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta 64 ANALISIS PROSPEKTIF STATUS KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA Oleh: Drs Widjianto M.Si Universitas Soerjo Ngawi Abstract Yogyakarta is one of provinsi which is located south of Central Java. Leadership of regional leader in Yogyakarta below(under power of Sultan Hamengku Buwono X makes Yogyakarta to have separate idiosyncrasy if compared to with other region in Indonesia. Old has problems become discussion material is existence of character contradictif between sultanate leadership estafette patterns of yogyakarta implemented in genesis with democratization process the always is assumed through election system of electability. Draws postponing between efforts to maintain shellfish wisdom and democratization of this direct increasingly lengthens debate path and status controversy idiosyncrasy Yogyakarta 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makna keistimewaan merupakan suatu hak otonomi khusus yang dimiliki daerah untuk menjalankan pemerinta - hannya secara nyata sesuai dengan kearifan yang dimiliki. Berdasarkan aturan hukum dalam UU No 22 Tahun 1948, dasar pemerintahan daerah isti - mewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa, keku - asaan pemerintah ada di tangan rakyat ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ). Dan yang membedakan antara daerah istimewa dan daerah otonom bukan istimewa menurut UU No 22 Tahun 1948 sebagaimana yang tertera dalam pasal 18 ayat 6 ialah masalah pengangkatan kepala daerah yang memberikan ketetapan apabila terdapat dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu daerah menurut undang-undang pokok ini maka perlu diadakan wakil kepala daerah dari keturunan raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Poerwokoesoemo ( 1984 : 63-64 ) menyimpulkan bahwa dalam UU No 22 Tahun 1948 mengandung pengertian yang meliputi : 1) Daerah yang mempunyai hak asal usul dan di jaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa atau daerah swapraja dapat ditetrapkan sebagai daerah istimewa 2) Daerah istimewa ini dapat setingkat daerah propinsi, atau kabupaten atau kota 3) Daerah istimewa ini berhak menga - tur dan mengurus rumah tangganya sendiri seperti Propinsi atau Kabu - paten atau Desa ( otonom ) 4) Penetapan sebagai daerah istimewa itu dilakukan dengan undang-undang pembentukan 5) Nama, batas, tingkat, hak dan ke - wajiban daerah istimewa ditetap - kan dalam undang – undang pem - bentukan 6) Kepala daerah istimewa diangkat oleh presiden dengan syarat sebagai berikut : a. Harus dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia b. Masih harus menguasai dae - rahnya pada saat dikeluarkan undang-undang pembentukan itu
25
Embed
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010 6239 - unsoer.ac.id · Universitas Soerjo Ngawi Abstract ... Daerah yang mempunyai hak asal usul dan di jaman sebelum Republik ... kota 3) Daerah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
64
ANALISIS PROSPEKTIF STATUS KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Oleh:
Drs Widjianto M.Si
Universitas Soerjo Ngawi
Abstract
Yogyakarta is one of provinsi which is located south of Central Java. Leadership of
regional leader in Yogyakarta below(under power of Sultan Hamengku Buwono X makes
Yogyakarta to have separate idiosyncrasy if compared to with other region in Indonesia.
Old has problems become discussion material is existence of character contradictif
between sultanate leadership estafette patterns of yogyakarta implemented in genesis
with democratization process the always is assumed through election system of
electability. Draws postponing between efforts to maintain shellfish wisdom and
democratization of this direct increasingly lengthens debate path and status controversy
idiosyncrasy Yogyakarta
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makna keistimewaan merupakan
suatu hak otonomi khusus yang dimiliki
daerah untuk menjalankan pemerinta -
hannya secara nyata sesuai dengan
kearifan yang dimiliki. Berdasarkan
aturan hukum dalam UU No 22 Tahun
1948, dasar pemerintahan daerah isti -
mewa adalah tidak berbeda dengan
pemerintahan di daerah biasa, keku -
asaan pemerintah ada di tangan rakyat (
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ).
Dan yang membedakan antara
daerah istimewa dan daerah otonom
bukan istimewa menurut UU No 22
Tahun 1948 sebagaimana yang tertera
dalam pasal 18 ayat 6 ialah masalah
pengangkatan kepala daerah yang
memberikan ketetapan apabila terdapat
dua daerah istimewa dibentuk menjadi
satu daerah menurut undang-undang
pokok ini maka perlu diadakan wakil
kepala daerah dari keturunan raja dari
salah satu daerah yang digabungkan
tadi.
Poerwokoesoemo ( 1984 : 63-64 )
menyimpulkan bahwa dalam UU No 22
Tahun 1948 mengandung pengertian
yang meliputi :
1) Daerah yang mempunyai hak asal
usul dan di jaman sebelum Republik
Indonesia mempunyai pemerintahan
sendiri yang bersifat istimewa atau
daerah swapraja dapat ditetrapkan
sebagai daerah istimewa
2) Daerah istimewa ini dapat setingkat
daerah propinsi, atau kabupaten atau
kota
3) Daerah istimewa ini berhak menga -
tur dan mengurus rumah tangganya
sendiri seperti Propinsi atau Kabu -
paten atau Desa ( otonom )
4) Penetapan sebagai daerah istimewa
itu dilakukan dengan undang-undang
pembentukan
5) Nama, batas, tingkat, hak dan ke -
wajiban daerah istimewa ditetap -
kan dalam undang – undang pem -
bentukan
6) Kepala daerah istimewa diangkat
oleh presiden dengan syarat sebagai
berikut :
a. Harus dari keturunan keluarga
yang berkuasa di daerah itu di
jaman sebelum Republik
Indonesia
b. Masih harus menguasai dae -
rahnya pada saat dikeluarkan
undang-undang pembentukan itu
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
65
c. Harus bersikap cakap, jujur dan
setia ( dengan sendirinya kepada
bangsa Indonesia )
d. Harus mengingat adat istiadat
yang berlaku di daerah yang
bersangkutan
7) Untuk suatu daerah istimewa dapat
diangkat seorang wakil kepala dae -
rah dengan syarat-syarat seperti yang
dikemukakan dalam no. 6 diatas
8) Pengangkatan wakil kepala daerah
istimewa itu dilakukan jika ada dua
daearah istimewa ( bekas swapraja )
dibentuk menjadi satu daerah isti -
mewa menurut undang – undang
pokok RI No 22 Tahun 1948
Urgenitas pembentukan daerah
istimewa merupakan suatu konsekuensi
logis atas peranan pemerintah sebagai
pemangku kebijakan publik untuk
merumuskan sekaligus mengimple -
mentasikan suatu kebijakan yang
mampu mengakomodir kearifan lokal (
local wisdom ) sehingga kebi - jakan
publik yang ditetapkan pemerintah
tersebut mampu menampung aspirasi
masyarakat sekaligus mendudukkan
masyarakat pada posisi utama yang
dipentingkan dalam kebijakan sebagai
perwujudan nilai – nilai demokrasi.
Pandangan Merilee S Grindle
(1980 dalam AG Subarsono 2006 : 93 )
terhadap keberhasilan imploementasi
kebijakan ditentukan variabel isi kebi -
jakan ( content of policy ) dan variabel
lingkungan kebijakan ( context of
policy). Demikian juga halnya dalam
penetapan kebijakan pembentukan
daerah keistimewaan yang menuntut
adanya pemenuhan variabel content of
policy yang meliputi sejauh mana
kepentingan masyarakat sebagai ke -
lompok sasaran dapat terakomodir,
manfaat yang diterima oleh masyarakat,
sejauhmana perubahan yang dibawa
oleh kebijakan, ketepatan penetapan
kebijakan, penyebutan implemen-
tatornya secara terperinci dan dukungan
sumberdaya yang memadai dalam
program. Sekaligus memenuhi variabel
lingkungan kebijakan daerah otonomi
yang telah ditetapkan berupa per -
hitungan seberapa besar kekuasaan,
kepentingan dan strategi yang dimiliki
aktor yang terlibat dalam implentasi
kebijakan, karakteristik rejim yang
berkuasa dan tingkat kepatuhan dari
kelompok sasaran.
Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta melalui implementasi UU
No 3 Tahun 1950 memberikan impli -
kasi penetapan daerah Kesultanan dan
daerah Pakualaman ditetapkan menjadi
daerah istimewa yang setingkat dengan
daerah Propinsi. UU No 3 Tahun 1950
ini sekaligus menjadi satu-satunya legal
context politik yang secara formal
memayungi keistimewaan Yogyakarta.
Permasalahan yang ada adalah
tidak sesuainya lagi UU No 3 Tahun
1950 sebagai landasan hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan istime -
wa Yogyakarta. Ketidaksesuaian ini
dapat dilihat dari tidak adanya penje -
lasan secara sistematis mengenai batas-
batas wilayah yuridis pemerintahan ke -
istimewaan Yogyakarta sekaligus
peranan kepala daerah didalamnya
sehungga UU No 3 Tahun 1950 lebih
terlihat sebagai rincian kewajiban suatu
daerah yang dirumuskan oleh peme -
rintah pusat ketimbang kewenangan
yang didelegasikan.
Menurut Cornelis Lay dkk ( 2008
: 9 ) UU No 3 Tahun 1950 berikut
regulasi – regulasi lain yang mengi -
kutinya, belum memberikan gambaran
jelas yang membedakan Yogyakarta
sebagai daerah istimewa dengan daerah
lain yang tidak diberiikan status
istimewa. Hal ini mendorong muncul -
nya berbagai penilaian yang meman -
dang bahwa UU No 3 Tahun 1950
hanya sebatas regulasi yang memberi -
kan penetapan secara langsung Yogya -
karta sebagai daerah istimewa namun
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
66
belum diikuti penjelasan substantif
mengenai peranan dan tanggungjawab
yang dimilikinya dalam menjalankan
pemerintahan daerah istimewa tersebut.
Pembaharuan aturan regulasi ten
- tang keistimewaan Yogyakarta semes
- tinya perlu dikaji ulang agar dapat
menghasilkan regulasi yang benar -
benar matang dalam menetapan pem -
bentukan pemerintahan keistimewaan
yang memiliki kejelasan peranan dan
kewenanganya sebagaimana yang ter -
muat dalam regulasi UU No 21 Tahun
2001 yang mengatur pelak - sanaan
otonomi khusus di Papua dan UU No 11
Tahun 2006 yang mengatur aturan
tentang pemerintahan Aceh, yang dapat
dilakukan melaui tinjauan historis
pembentukan daerah istimewa Yogya -
karta, Analisis substansi pelaksanaan
otonomi daerah di Yogyakarta dan
Pembangunan kelembagaan Peme -
rintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan berpijak pada prespektif sosial
politik sehingga tergambar dengan jelas
bagaimana peluan dan tantangan yang
dihadapi oleh keistimewaan Yogyakarta
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut : Bagaimanakah prospektif
status keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta ?
1. 3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk me -
nganalisis prospektif status keisti -
mewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.4 Manfaat
1) Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberikan partisipasi terhadap
pengembangan khasanah ilmu
pengetahuan, artinya dapat memper-
kuat teori-teori tentang otonomi
daerah dan status daerah istimewa
dalam pelaksanaan kebijakan otono-
mi daerah tersebut
2) Bagi Civitas Akademika Bidang
Ilmu Administrasi Negara
Memberikan tambahan referensi
bagi civitas akademika bidang ilmu
administrasi negara tentang kegiatan
penelitian khususnya penelitian
content analisys.
3) Bagi pemerintah Propinsi DIY
Memberikan informasi mengenai
peluang dan tantangan sebagai bagi-
an dari prospektif status keistime-
waan Yogyakarta
4) Bagi Pembaca
Menambah informasi bermanfaat
bagi pembaca yang ingin melakukan
penelitian tentang status keistime-
waan daerah di era otonomi daerah
5) Bagi Penulis
Hasil telaah ini diharapkan dapat
dijadikan bekal dan tambahan
pengetahuan untuk melakukan
penelitian dan pengembangan
tentang kebijakan implementasi
daerah istimewa di era otonomi
daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik di masa yang akan
datang.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Prospektif
Secara leksikal dalam Kamus
Ilmiah Populer ( 2006 : 74 ) prospektif
diterjemahkan sebagai peluang keber -
hasilan. Peluang keberhasilan yang
dimaksud ini merupakan gambaran
kondisi yang menunjukkan dihadap -
kannya suatu obyek dalam bentuk
tantangan dan hambatan disamping
adanya peluang yang dimilikinya se -
hingga memunculkan asumsi sebe -
rapa besar obyek tersebut dapat berhasil
diimplementasikan dengan efektif.
Prospektif sangat terkait dengan
forecasting kebijakan publik yang oleh
William Dunn (2000 : 291) diartikan
sebagai suatu prosedur untuk membuat
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
67
informasi faktual tentang situasi sosial
di masa depan atas dasar informasi yang
telah ada tentang masalah kebi - jakan.
Dalam kaitannya dengan fore - casting
(peramalan), prospektif me - rupakan
peluang keberhasilan suatu objek
kebijakan/program yang ditinjau dari
proses implementasi kebijakan atau
program tersebut
2.2 Definisi Otonomi Daerah Daerah
Secara umum otonomi daerah
dipahami sebagai perubahan sistem
sentralisasi menjadi desentralisasi se -
bagai bentuk pendelegasian kewe -
nangan dari pusat ke daerah.
Menurut Waluyo ( 2007 : 140 ) otonomi
daerah merupakan hak daerah dan
masyarakat untuk memperoleh
keleluasaan bergerak dan kesempatan
untuk menggunakan prakarsa sendiri
atas segala macam nilai dan potensi
yang dikuasi untuk mengurus
kepentingan publik naik yang
menyangkt pemberian pelayanan
kepada masya - rakat melalui pemberian
fasilitas dan bimbingan terhadap
masyarakat maupun untuk meningkat-
kan kesejahteraan masyarakat melalui
pelaksanaan pembangunan. Sementara
itu Cheema dan Rondonelli ( 1983 : 18
dalam Editorial Erwan Agus Purwanto
dan Kumoro - tomo ( 2005 : 66-67 )
menegaskan 4 makna yang terkandung
dalam konsep desentralisasi yakni :
1. Desentralisasi sebagai dekonsentra-
si, berupa pelimpahan beban ker - ja
dari pemerintah pusat kepada daerah
tanpa adanya transfer kewenangan
pengambilan keputusan.
2. Desentralisasi sebagai pendelegasian
kewenangan dan pengambilan
keputusan dari pemerintah pusat
terhaddap pemerintah daerah
3. Desentralisasi sebagai devolusi,
berupa desentralisasi dalam arti
yang sesungguhnya dengan penye-
rahan fungsi serta kewenangan
pemerintah pusat kepada pemeri -
ntah daerah sehingga pemerintah
daerah memiliki hak untuk
menyelenggarakan pemerintahannya
sendiri.
4. Desntralisasi sebagai privatisasi atau
debirokratisasi berupa pilihan
pelepasan tanggung jawab
pemerintah kepada NGO atau
swasta.
Ditinjau dari segi manajemen
pelayanan publik tujuan desentralisasi
adalah meningkatkan kompetisi antara
pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pelayan-
an kepada masyarakat sehingga
mendorong lahirnya inovasi sebagai
upaya peningkatan volume dan kualitas
pelayanan.
2.3 Definisi Daerah Istimewa
Daerah istimewe dalam UU No
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah diatur di dalam bab ketentuan
lain-lain pasal 225 yang berisi aturan
bahwa daerah-daerah yang memilki
status istimewa dan diberikan otonomi
khusus selain diatur dengan Undang-
Undang diberlakukan pula ketentuan
khusus yang diatur dalam Undang–
undang lain. Serta diatur lagi dalam
pasal 226 yang terdiri atas 3 ayat yang
berisi :
1. Ketentuan dalam undang-undang ini
berlaku bagi Provinsi Daerah Khu -
sus Ibukota Jakarta, Nanggroe Aceh
Darusalam, Provinsi Papua, dan
Povinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sepanjang tidak diatur
secara khusus dalam undang-
undang tersendiri.
2. Keistimewaan untuk provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 22 tahun
1999, adalah tetap dengan ketentuan
bahwa penyelenggaraan pemerintah-
an provinsi Daerah Istimewa
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
68
Yogyakarta didasarkan pada undang
– undang ini.
3. Khusus untuk provinsi Nanggroe
Aceh Darusalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah di
selenggarakan sesuai dengan ke -
tentuan dalam undang – undang
nomor 18 tahun 2001 tentang
otonomi khusus bagi istimewa Aceh
sebagai provinsi Nanggroe Aceh
Darusalam, dengan penyempurnaan:
a. Pemilihan kepala daerah yang
berakhir masa jabatannya sam -
pai dengan bulan April 2005,
diselenggarakan pemilihan se -
cara langsung sebagaimana di
maksud undang – undang nomor
18 tahun 2001 tentang otonomi
khusus bagi provinsi daerah
Istimewa Aceh sebagai provinsi
Nanggroe Aceh Daru - salam
paling lambat bulan Mei 2005
b. Kepala daerah sekain dinyata -
kan pada huruf (a) di atas
diselenggarakan pemilihan ke -
pada daerah sesuai dengan pe -
riode masa jabatan
c. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang berakhir masa
jabatannya sebelum undang –
undang ini disahkan sampai
dengan bulan April 2005, sejak
masa jabatannya berakhir di
angkat seorang pejabat kepala
daerah
d. Pejabat kepala daerah tidak dapat
menjadi calon kepala daerah atau
calon wakil kepala daerah yang
dipilih secara langsung
sebagaimana dimak - sud undang-
undang nomor 18 tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi
provinsi daerah istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darusalam
e. Anggota komisi independen
Pemilihan dari unsur anggota
komisi Pemilihan Umum Re -
publik Indonesia diisi oleh ketua
dan anggota Komisi Pe - milihan
Umum Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darusalam
3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelian
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penulisan ini adalah metode
content analisys (analisis isi) kualitatf
dalam bentuk deskripsi untuk mengu -
raikan analisis prospektif status
keistimewaan yogyakarta. Jenis
penulisan deskripsi dipilih penulis
dengan alasan sebagaimana yang
dikemukakan Tim Primapena (2006 :
85) bahwa penulisan deskripsi bersifat
menggambarkan atau menguraikan
suatu hal secara obyektif dan sistematik.
Dan Content analisiys kualitatif
menurut Mc Quail (2002 dalam Bagong
Suyanto 2006:125) menonjolkan sifat
anti - positivistik dengan menggunakan
pendekatan enterpretatif. Dengan demi-
kian metode content analisiys kualitatif
digunakan penulis untuk melakukan
ulasan secara mendalam terhadap teori
otonomi daerah dan status keistime-
waan daerah
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Metode analisis isi kualitatif
mengharuskan data-data yang di
gunakan dalam penulisan deskripsi
karya tulis ini adalah data sekunder
berupa beberapa literatur dan dokumen
yang berhubungan dengan teori otono-
mi daerah dan status keistimewaan
suatu daerah untuk menjamin validitas
dan reliabilitas data yang digunakan.
3. 3 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang di
gunakan dalam karya tulis ini adalah
teknik analisis data yang umum dipakai
dalam metode penelitian sosial yang
terdiri atas coding, editing dan
tabulating secara kualitatif (kualitative
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
69
methode). Menurut Bagong Suyanto
dkk (2006: 186) teknik analisis data
merupakan penjelasan tentang hal
ikhwal tertentu secara mendalam dan
rinci untuk menghasilkan suatu infor-
masi. Dalam tahapan analisa data ini,
penulis melakukan cross check dengan
melakukan perbandingan validitas data
sekunder yang diperoleh untuk
memberikan jaminan akurasi data yang
digunakan sehingga materi yang di
deakripsikan nantinya memenuhi syarat
validitas dan reliabilitas.
4. PEMBAHASAN 4.1 TINJAUAN HISTORIS PEMBENTU-
KAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Berdasarkan tinjauan historis,
pembentukan Daerah Istimewa Yogya -
karta diawali dengan kebudyaan
patrimonial kerajaan sentris yang di
pertahankan dalam pola kepemimpinan
masyarakat Yogyakarta. Menurut Ki
Sabdacarakatama ( 2009 : 98 ) lokasi
berdirinya Keraton Ngayogyakarta
Hardiningrat berada di tengah tanah
tlatah Mataram, di Hutan Paberingan.
Keraton Ngayogyakarta Hardiningrat
sendiri didirikan oleh Sultan Hamengku
buwono 1 yang bergelar Bendara Raden
Mas Sujono dan kemudian jumeneng
Bendara Pangeran Harya Mangkubumi.
Poerwokoesoemo ( 1984 : 3 )
melihat bahwa pada masa penjajahan
Belanda,status kesultanan Yogyakarta
tidak diatur dengan ordonnantie (
undang – undang ), melainkan diatur
dalam perjanjian politiek contract (
kontrak politik ) antara Gubernur
Jenderal Belanda dan Sri Sultan.
Berdasarkan kontrak politik tersebut
Kasultanan Yogyakarta dinyatakan
sebagai bagian dari Kerajaan Belanda
sehingga Sri Sultan tunduk dan menjadi
bagian dalam kekuasaan pimpinan
Belanda. Selain itu kontrak politik
tersebut mengatur tentang pemberla-
kuan peraturan yang ditetapkan oleh Sri
Sultan yang sebelumnya harus sudah
mendapatkan persetujuan dari pihak
Gebernur Belanda sekaligus memuat
mengenai peranan Rijks - bestuurder (
pepatih dalem ) untuk membantu Sri
Sultan dalam menjalankan kekuasaan-
nya sehingga dalam struktur
kepegawaian Kesultanan, Rijksbes-
tuurder ( pepatih dalem ) berada dalam
posisi jabatan dengan kewajiban
pertanggungjawaban pada Sultan
sekaligus Gubernur Jenderal dan
memperoleh gaji dari keduanya.
Pada masa pendudukan Jepang,
pemerintahan pendudukan Jepang di
Nusantara membentuk pemerintahan
pendudukan dengan pembagian 3
wilayah administrasi komando yang
terdiri atas :
1) Pemerintahan Angkatan Darat
Rikugun yang memimpin wilayah
administrasi keduapuluh lima dan
perpusat di Bukittinggi Sumatera
Barat
2) Pemerintahan Angkatan Darat
Rikugun yang memimpin wilayah
administrasi Jawa dan Madura
sebagai angkatan keenam belas yang
berpusat di Jakarata
3) Pemerintahan Angkatan Laut Kigun
yang memimpin wilayah adminis-
trasi Kalimantan, Sulawesi,
Kepulauan Ssunda Kecil, Pulau
Bali, NTT,NTB Dan Maluku yang
berpusat di Makasar Sulawesi
Selatan
Dalam kajian Wibawa (2001 :
70) disebutkan bahwa setiap komandan
angkatan (Gunseikan) menjadi
penguasa tertinggi di wilayahnya
termasuk menjalankan pemerintahan
sipil dengan dua misi utama meng-
hilangkan pengaruh Belanda dan
memobilisasi rakyat untuk memenang-
kan perang melawan sekutu.
Untuk pelaksanaan pemerintahan
sipil, Pemerintah Jepang membentuk
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
70
sepuluh Karisidenan di Sumatera yang
diberi nama Shu. Dalam setiap Shu
dibagi atas bunshu, gun, son dan ku
yang keseluruhan jabatan tersebut
dipimpin oleh orang Jepang sendiri.
Sedangkan untuk melaksanakan peme -
rintahan sispil ditataran Jawa dibentuk
tujuh belas Shu dengan disertai adanya
Koci berupa pembentukan dareah
istrimewa seperti Yogyakarta, Surakarta
dan Jakarta. Di Jawa daerah-daerah Shu
dibagi lagi dalam bentuk Shi
(kotapraja), Ken ( Kabupaten ), Gun
(kwedanan ) dan Ku ( kelurahan ).
Kedudukan Kasultanan Yogya-
karta sendiri menurut Perintah Bala
Tentara Dai Nippon berada dibawah
kekuasaan Dai Nippon Gun Sireikan
dan ditetapkan dalam jabatan Ko
(Sultan) dan Koti ( Kesultanan ) sebagai
wilayah kerjanya. Kewenangan untuk
mengangkat Ko ( Sultan ) merupakan
kewenangan yang dimiliki oleh Dai
Nippon Gun Sireikan dan hak-hak
istemewa yang dimiliki kesultanan
masih dipertahankan oleh pemerintah
Jepang dalam rangka mempermudah
koordinasi dan kooperasi.
Pengakuan eksistensi daerah
Istimewa pada masa kemerdekaan
dilaksanakan dengan penetapan UU No
22 tahun 1948 yang berisikan tentang
pendelegasian kewenangan dari peme-
rintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk menjalankan rumah tangganya
sendiri secara otonomi. Menuru
Wibawa ( 2001 : 116-117 ) substansi
dari UU No 22 tahun 1948 meliputi :
1. Dibawah pemerintah pusat terdapat
tiga tingkat pemerintah daerah,
yakni propinsi (Daerah tingkat
1), Kabupaten dan kota besar
(daerah tngkat 11), nagari atau
marga ( daerah tingkat 111 ).
Wilayah administratif akan di
hapuskan dan daerah yang sebelum
jaman RI telah mempunyai peme -
rintahan sendiri akan dijadikan
daerah istimewa
2. Pemerintah daerah terdiri dari
Deawan Perwakilan Rakyat Daerah
( DPRD ) dan Dewan Peme -
rintahan Daerah ( DPD ). DPD
menjalankan kekuasaan eksekutif
dan bertanggungjwab kepada
DPRD. DPD dipimpin oleh kepala
daerah, pejabat yang diangkat oleh
pemerintah pusat dan calon-calon
yang diajukan DPRD
3. Kepala daerah adalah juga wakil
pemerintah pusat di daerah dan
dalam posisi ini dia mengkontrol
DPD maupun DPRD yang telah
mencalonkannya
4. Daerah akan menerima lima belas
fungsi pemerintahan melalui pera -
turan pemerintah
Dalam regulasi UU No 22 Tahun
1948 terlihat bahwa posisi daerah
istimewa berada dibawah pemerintahan
pusat dan terletak dalam lingkup kerja
administrasi propinsi. Hal yang berbeda
nampak pada posisi daerah istimewa
sebagaimana yang tertera pada struktur
pemerintahan RI per UUD 1945, yang
berada secara sporadis ( menyebar ) bail
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
71
dalam lingkup wilayah administrasi
propinsi, wilayah administrasi daerah
kecil administrasi maupan posisi daerah
lain-lain di bawah camat.
Selanjutnya dalam Maklumat No
19 Tahun 1946 Kekuasaan Kesulatanan
dan kekuasaan Pakualaman kembali
dipertegas dan diperkuat sebagai bentuk
daerah keistimewaan Yogyakarta. Poe -
wokoesoemo ( 1984 : 46-47 ) menyim -
pulkan bahwa latarbelakang di perta -
hankannya bentuk Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam Maklumat No 19
Tahun 1946 ialah :
1. Dihapuskannya fungsi dan
kekuasaan Pepatih Dalem yang
menurut sejarahnya senantiasa di
jadikan alat penjajah, tepat pada
saatnya ialah Proklamasi Kemer -
dekaan 17 Agustus 1945, dan di
ambilalihnya fungsi dan kekuasaan
Pepatih Dalem itu oleh Sri Sultan
sendiri.
2. Karena Sri Sultan dan Sri Pakua -
lam beberapa saat setelah pro -
klamasi kemerdekaan ialah tanggal
5 September 1945, dengan Ama -
natnya yang pertama secara positif
memihak kepada bangsa Indonesia.
3. Bersatunya Sri Sultan dan Sri
Pakualam dalam segala tindakan -
nya seperti ternyata dalam Amanat
kedua 30 Oktober 1945 dan segal
macam Maklumat yang di tanda -
tangani bersama oleh Sri Sulatan
dan Sri Pakualam.
4. Dihapusnya fungsi dan kekuasaan
Gubernur Belanda atau Tyokan
Jepang yang merupakan alat
penjajah untuk menjajah Kasul -
tanan Yogyakarta dan daerah
Pakualaman, dengan di keluar -
kannya Amanat pertama 5 Sep -
tember 1945, sehingga fungsi dan
kekuasaan Gubernur Belanda atau
Tyokan Jepang itu diambilalih oleh
Sri Sultan dan Sri Pakualam
sendiri.
5. Ditolaknya fungsi Komisaris
Tinggi atau wakilnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta, yang me -
nurut sejarahnya seperti yang
terjadi di Surakarta, ternyata justru
merupakan salah satu sebab dapat
diliquidasinya Kasunanan Sura -
karta dan daerah Mangkunegara
sebagai swapraja dan tidak dapat -
nya kedua daerah tersebut men -
jelma sebagai Daerah Istimewa
Surakarta berdasarkan UUD 1945.
6. Diberikannya kekuasaan kepada
rakyat yang diwakili oleh Komite
Nasional Indonesia Daerah Isti -
mewa Yogyakarta, sehari-hari
Badan Pekerjanya, untuk menja -
lankan kekuasaan legislatif dan
kekuasaan untuk menentukan
haluan jalannya pemerintahan de -
ngan dikeluarkanny Amanat kedua
30 Oktober 1945.
7. Diberikannya kekuasaan kepada
rakyat dalam bentuk Dewan Pe -
merintah daerah yang dipilih dan
dari para anggota DPR Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk men -
jalankan kekuasaan eksekutif ber -
sama-sama Sri Sultan dan Sri
Pakualam untuk memerintah Dae -
rah Istimewa Yogyakarta sehari -
hari dengan dikeluarkannya Ma -
klumat No 18 Tahun 1946.
4.2 ANALISIS SUBTANSI PELAK -
SANAAN OTONOMI DAE -
RAH DI YOGYAKARTA
Otonomi daerah menurut Syahda
Guruh ( dalam Andi Mallarangeng 2000
) mengandung pengertian :
1. Suatu kondisi atau ciri untuk tidak
dikontrol pihak lain ataupun ke -
kuatan luar.
2. Bentuk pemerintahan sendiri (self
goverment), yaitu hak untuk meme -
rintah atau menentukan nasib sendiri
(goverment; selfdete -r mination)
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
72
3. Pemerintah otonomi memiliki pen -
dapatan yang cukup untuk menen -
tukan nasib sendiri, memenuhi
kesejahteraan hidup maupun dalam
mencapai tujuan secara adil (self-
determination, self-sufficiency, self-
reliance)
4. Pemerintahan otonomi memiliki
supremasi / dominasi kekuasaan
(supremasi of authority) atau hukum
yang dilaksanakan sepe - nuhnya
oleh pemegang kekuasaan di daerah.
Sedangkan Waluyo ( 2007 : 140 )
perpandangan bahwa otonomi daerah
merupakan hak daerah dan masyarakat
untuk memperoleh keleluasaan ber -
gerak dan kesempatan untuk meng -
gunakan prakarsa sendiri atas segala
macam nilai dan potensi yang dikuasi
untuk mengurus kepentingan publik
naik yang menyangkut pemberian
pelayanan kepada masyarakat melalui
pemberian fasilitas dan bimbingan
terhadap masyarakat maupun untuk
meningkatkan kesejahteraan masya -
rakat melalui pelaksanaan pemba -
ngunan
UU No 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah merupakan suatu
regulasi yang diimplementasikan dalam
rangka penetapan kebijakan otonomi
daerah masa reformasi dimana UU No
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah merupakan hasil panjang revisi
terhadap UU No 5 tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
sekaligus bertindak sebagai obyek revisi
dalam UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Dalam praktik otonomi daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta dibagai
atas pelaksanaan otonomi daerah pada
tataran Pemerintah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kota
Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten
Sleman, Pemrintah Kabupaten Bantul,
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan
Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul.
Sebagimana yang dialami oleh daerah
lain, pelaksanaan otonomi daerah di
kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta
tidak luput dari permasalahan yang
diawali dengan permasalahan dalam
implementasi UU No 5 tahun 1974
Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di
Daerah menegaskan adanya pengertian
otonomi daerah sebagai hak, kewe -
nangan dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tang -
ganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
Artinya bahwa pemerintah pusat me -
ngakui hak serta kewenangan peme -
rintah daerah untuk secara mandiri
menyelenggarakan pemerintahan yang
terdesentralisasi sehingga posisi peme -
rintah pusat hanya sebagai steering dan
empowering yang sejalan dengan se -
mangat demokrasi.
Namun hasil analisis isi menun -
jukkan adanya kecendeerungan sifat
ambiguinitas dalam UU No 5 tahun
1974 Tentang Pokok – pokok Peme -
rintahan Di Daerah dimana muncul
kecenderungan yang mengarah pada
fakta pengkaburan makna otonomi
daerah dan desentralisasi tersebut yang
meliputi hal – hal :
1. Penyeragaman kedudukan pe -
merintah daerah
2. Penetapan dekonsentrasi dalam
implementasi kebijakan otonomi
daerah
3. Sempitnya otoritas yang di berikan
kepada pemerintah daerah
4. Tingginya nilai-nilai sentralistik
yang dapat dilihat melalui ber -
bagai macam aturan pengawasan
yang ditetapkan
Penyeragaman kedudukan
pemerintah daerah dalam UU No 5
tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah merupakan
akar dari suatu masalah implementasi
kebijakan otonomi daerah karena
berdasarkan analisis isi dapat dilihat
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
73
bahwa penyeragaman kedudukan pe -
merintah daerah merupakan suatu
kebijakan yang kurang memberikan
pertimbangan terhadap kearifan lokal
(local wisdom) keberagaman latar
belakang setiap daerah Di Indonesia,
dimana penyeragaman tersebut dapat
dinilai sebagai pemasungan hete -
rogenitas yang dapat menjadi ancaman
laten ( baca : tersembunyi ) terjadinya
inkoherensi semantik atas makna
otonomi daerah tersebut. Bahkan
menurut Pratikno ( 2006 : 39 dalam
editorial Abdul Gaffar Karim ) penye -
ragaman dan sentralistikpun di berla -
kukan terhadap infrastruktur politik di
tingkat lokal melalui strategi korporasi
negara seperti fenomena PGRI, PWI,
SPSI, HKTI dan KADIN yang di letak -
kan pada satu payung koordinasi dalam
Golongan Karya.
Permasalahan kedua adalah
Pilihan terhadap penetapan dekon -
sentrasi dalam implementasi kebijakan
otonomi daerah dimana secara otomatis
kegiatan urusan pemerintahan di jalan -
kan oleh pemerintah pusat yang ada di
daerah melalui KANDEP dan
KANWIL meskipun terdapat pende -
legasian otoritas pusat kepada daerah.
Hal ini menunjukkan masih terbatasnya
keleluasaan yang diberikan pusat
kepada daerah untuk menjalankan pe -
merintahannya secara otonom.
Persoalan ketiga berupa
sempitnya otoritas yang diberikan
kepada peme - rintah daerah dimana
pemerintah pusat masih sangat
mendomonasi dalam hal penetapan
aturan – aturan kegiatan pe - merintahan
dan organisasi daerah di bawah
kewenangan menteri dalam negeri
meskipun sejogjanya pemerintah daerah
daerah berada pada posisi strategis
dalam memahapi karakteristik
permasalahan di daerahnya ketimbang
pemerintah pusat.
Permasalahan krusial terakhir
adalah Tingginya nilai-nilai sentralistik
yang dapat dilihat melalui berbagai
macam aturan pengawasan yang di
tetapkan dalam bentuk pengawasan
prepentip, pengawasan represif dan
pengawasan umum. Meskipun secara
hakiki peraturan dan pengawasan pada
suatu obyek ditujuan atas dasar
pengarahan obyek dalm koridor yang
legal context, namun pelaksanaan
aturan pengawasan dalam UU No 5
tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah menunjukkan
tingginya sikap campur tangan pusat
terhadap daerah yang sekali lagi
mengkaburkan makna otonomi yang
telah diimplementasikan yang secara
singkat dapat dilihat dalam skema
berikut
Kompleksitas permasalah yang
dihadai oleh Daerah Istimewa Yogya -
karta dalam penetapan UU No 5 Tahun
1974 Tentang Pokok – pokok Pe -
merintahan Di Daerah yang diikuti
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
74
dengan permasalahan serupa yang di
alami oleh beberapa daerah lain maka
UU No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok –
pokok Pemerintahan Di Daerah sebagai
legal context pelaksanaan kegiatan oto -
nomi daerah tersebut direvisi dalam UU
No 22 Tahun 1999 Tentan Pemerin -
tahan Daerah.
Yang membedaan isi ketentuan
umum antara UU No 5 tahun 1974
Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di
Daerah dengan UU No 22 Tahun 1999
Tentang pemerintahan Daerah meliputi
:
1. Definisi otonomi daerah dalam UU
No 22 Tahun 1999 Tentang pe -
merintahan Daerah yang menye -
butkan bahwa Otonomi Daerah
adalah kewenangan Daerah Otonom
untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri ber -
dasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang –
undangan, Sehingga hal ini me -
nunjukkan adanya peningkatan
keseriusan pusat dalam memberikan
kewenangan untuk mengatur peme -
rintahannya sendiri sekaligus me -
mantabkan nilai demokrasi dengan
memposisikan rakyat sebagai pe -
nentu kebijakan pemerintah.
2. Ketentuan Umum UU No 22 Tahun
1999 Tentang pemerintahan Daerah
memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai pembagian wilayah
administrasi kecamatan, kelurahan,
desa dan kota sehingga pemetaan
administratif semakin jelas.
Sebagaimana yang diulas oleh
Jimly Asshddiqie ( 2004 : 180-181 )
bahwa dalam masa reformasi terdapat
pergeseran kekuasaan lembaga negara
dimana lembaga negara yang secara
horisontal dibedakan atas kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif ber -
dasarkan perubahan UUD 1945 Pasal 5
ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1 mempertegas
pemisahan kekuasaan antara eksekutif
dan legislatif. Pemisahan kekuasaan
tersebut dilaksanakan dengan mem -
berikan batasan terhadapa presiden
dalam kekuasaan membuat aturan
perundangan yang didasarkan pada
Ketetapan MPR No. X/MPR/1998
Tentang Pokok-pokok reformasi pem -
bangunan sebagai haluan negara, yang
menyatakan jelas peran presiden
sebagai eksekutif sehingga membawa
implikasi meluasnya peran DPR dalam
tataran kekuasaan legislatif. Hal ini
sekaligus memberikan jawaban atas
tumpang tindih (over lapping) ke -
kuasaan antara eksekutif dan legislatif
masa pemerintahan orde baru.
Penegasan pemisahan kekuasaan
legislatif dan eksekutif tersebut terlihat
dalam perbandingan analisis isi antara
UU No 5 tahun 1974 Tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Di Daerah yang
menyebutkan bahwa Pemerintah Dae -
rah adalah Kepala Daerah dan DPRD
sedangkan dalam UU No 22 Tahun
1999 Tentang pemerintahan Daerah
disebutkan bahwa pemerintah daerah
hanya terdiri atas kepala daerah dengan
demikian implementasi UU No 22
Tahun 1999 Tentang pemerintahan
Daerah membawa implikasi tidak ikut
sertaan DPRD dalam membawahi pe -
laksanaan pemerintah daerah, melain -
kan menduduki hak sebagaimana yang
tertera dalam pasal 19 dan 20 meliputi :
1. Hak meminta pertanggungjawaban
kepala daerah
2. Hak meminta keterangan kepada
pemerintah daerah
3. Hak mengadakan penyelidikan
4. Hak mengadakan perubahan atas
rancangan peraturan daerah
5. Hak mengajukan pernyataan pen -
dapat
6. Hak mengajukan rancangan pera -
turan daerah
7. Hak menentukan anggaran belanja
DPRD
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
75
8. Hak menetapakan aturan tata tertib
DPRD
Berdasarkan hak yang dimiliki
oleh DPRD dapat dilihat bahwa posisi
DPRD mengalami semacam meta -
morfosis dimana DPRD yang tadinya
dalam aturan UU No 5 tahun 1974
Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di
Daerah duduk dalam posisi sebagai
bagian dari pemerintahan daerah telah
berubah otoritasnya sebagai pihak yang
menerima pertanggungjawaban atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah
oleh kepala daerah, sehingga struktur
pemerintahan daerah dalam regulasi UU
No 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah adalah sebaperti
berikut :
Dalam kenyataannya penetapan
UU No 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah sebagai revisi
terhadap UU No 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
ternyata masih menimbulkan
permasalahan dalam penerapannya di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Permasalah tersebut dapat dilihat dalam
rangkuman penelitaian Wahyudi
Kumorotomo ( 2005 ) tentang
pelaksanaan Otonomi Daerah Provinsi
dan Kabupaten di Yogyakarta, berupa :
1. Permaslahan proses penyerahan
personalia, perlengkapan,
pembiayaan dan dokumentasi
(P3D) dari pemerintah pusat ke
propinsi. Dari propinsi ke
kabupaten/kota yang masih
mengalami hambatan sekaligus
ketidakjelasan peraturan yang
tertuang dalam UU No 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan
Daerah mengakibatkan multi tafsir
dari masing-masing pihak dan
berakibat tumpang tindihnya
urusan dan kewenangan antara
instansi-instansi Pemerintah
Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Pemerintah Kota
Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten
Sleman, Pemerintah Kabupaten
Bantul, Pemerintah Kabupaten
Kulonprogo dan Pemerintah
Kabupaten Gunung Kidul.
2. Bermunculannya keluhan
masyarakat yang bersamaan
dengan dengan pengawasan oleh
anggota DPRD dilakukan secara
lebih intensif sedangakan
pemerintah kota Yogyakarta harus
melakukan pembenahan diri dalam
rangk apenyesuaian terhadap
bidang kepegawaian dan keuangan
sehingga dihadapkan pada dilema
antara mendahulukan perbaikan
pelayanan publik atau
mendahulukan pembenahan
restrukturisasi sebagaimana yang
diamanatkan dalam PP No 8 Tahun
2003.
3. Keterbatasan pengelolaan bidang
sosial menyangkut pendataan dan
penjaringan terhadap glandangan,
pengemis dan anak jalanan yang
dahulu dikelola oleh pemerintah
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
76
propinsi kini diserahkan pada
pemerintah kota, Sehingga apabila
pemerintah Kabupaten Sleman
akan menyerahkan penanganan
masalah sosial tersebut kepada
Pemerintah Kota harus diikuti
dengan pemberian kompensasi
biaya yang berarti menambah lagi
beban anggaran.
4. Permasalahan utama yang dihadapi
oleh Pemerintah Kabupaten Bantul
adalah Perda dan Keputusan Bupati
Tentang kewenangan daerah belum
mencakup keseluruhan
kewenangan yang tercantum pada
positive list yang dikeluarkan oleh
Mendagri
5. Untuk Pemerintah Kabupaten
Kulon Progo masalah pokok yang
dihadapi pada masa otonomi daerah
adalah masalah kewenangan
pengelolaan dan penyelenggaraan
pelayanan publik yang belum dapat
dilaksanakan berdasarkan standart
pelayanan minimal karena adanya
keterbatasan masalah anggaran
dana yang dimiliki.
6. Keterlambatan aturan yang formal
dalam masalah pertanahan di
Kabupaten Gunung Kidul
mengakibatkan masih dominannya
kewenangan yang dimikili Badan
Pertanahan Nasioanal Kapupaten
Gunung Kidul, sedangkan
kewenangan yang dimiliki
Pemerintah Kabupaten Gunung
Kidul sendiri hanya terbatas pada
kewenangan yang diatur dalam
Keputusan Presiden No 34 tahun
2004.
Desentralisasi dapat dinilai
sebagai upaya positif pemerintah dalam
memberdayaakan daerah dengan
memberikan kewenangan daerah
menyelesaikan ruang lingkup masalah
dan melaksanakan pengelolaan
manajemen sektor publik dalam
wilayah yuridisnya. Namun dalam
perjalannya seperti yang tertuang pada
Warsito Utomo ( 2006 : 251 )
kepentingan politik menjadi lebih
menonjol daripada manajerial.
Dalam hukum administrasi
pembangunan muncul inkoherensi
semantik yang mengakar menjadi
sebuah problema dalam pembangunan
nasional. Inkoherensi semantik hukum
administrasi pembangunan ditunjukkan
atas ketumpang tindihan antara UUD
1945 pasal 33 hasil amandemen yang
menjelaskan ketentuan kewenangan
pusat dalam mengelola sumber daya
yang menguasai hajat hidup masyarakat
dan hak pemerintah daerah untuk
mengelola dan mengembangkan sumber
daya di wilayahnya sesuai dengan UU
No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah
Menurut Warsito Utomo ( 2006 :
266-267 ) tarik ulur kekuasaan dan
kepentingan memunculkan perbedaan
persepsi antara pemerintah pusat (
Jakarta ), pemerintah daerah (propinsi),
pemerintah daerah ( kabupaten ) serta
elit politik dan baik di pusat dan di
daerah, masyarakat dan juga investor
pertambangan sebagai pihak perusahaan
penggarap. Yang dapat dilihat dalam
abstraksi berikut :
Sumber : Warsito Utomo ( 2006 ; 267 )
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
77
Dari sisi pembangunan sosial
politik inkoherensi semantik aspek
hukum menunjukkan kelemahan posisi
UU No. 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dan UU No. 25
tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah
karena dalam hierarki sistem hukum
Indonesia posisi tawar yuridisial UUD
lebih tinggi sehingga memunculkan
asumsi ketidak akomodatifan landasan
hukum pelaksanaan desentralisasi
Hakekat pembangunan
merupakan upaya pemerintah dalam
untuk mengarahkan kehidupan
masyarakat ke arah yang lebih
memberikan jaminan kesejahteraan
sosial dan krisis inkoherensi semantik
aspek hukum dalam administrasi
pembangunasn di Indonesia yang
diperlihatkan dalam permasalahan
overlapping regulasi otonomi daerah
merupakan bentuk hambatan
pencapaian kesejahteraan masyarakat
dalam proses pembangunan
Ketimpangan masaing-masing
sistem sentralisasi dan desentralisasi
adalah tidak adanya tetesan ke bawah
(trick down effect) ketika pengelolaan
sumber daya alam bahan tambang
mutlak dikuasai oleh pemerintah pusat
dan kurang mampunya pemerintah
daerah dalam melaksanakan
pengelolaan sektor-sektor daerah yang
disebabkan terlalu lamanya sistem
sentralistik dipelihara.
Bila tidak adanya respon terhadap
masalah inkoherensi semantik aspek
hukum seperti yang terjadi dalam kasus
ketidak jelasan administratif yang harus
dihadapi dalam pertambangan ini akan
mengakibatkan stagnan dan
mengambangnya pelaksanaan
pembangunan nasional dengan asumsi
tidak akan adanya kegiatan
pembangunan nasional ketika masalah
pertambangan semen yang merupakan
salah satu komoditas resourches yang
urgen dalam pembangunan masih
mengalami ketidak jelasan masalah
administratif dan secara tidak langsung
akan menimbulkan dampak negatif lain
berupa keengganan investor untuk
menanamkan modal dalam kegiatan
pembangunan nasional mengingat
masih kurang terarahnya komunikasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah sehingga diperlukan adanya
solusi yang solutif dalam upaya
penyelesaiannya.
Berdasarkan analisa isi yang
dilakukan penulis terhadap UU No. 22
tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan permasalahan yang timbul di
dalamnya, terdapat suatu kondisi
antiklimaks dengan adanya tawaran
pembaharuan melalui UU No 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dimana tawaran pembaharuan tersebut
dapat dilihat dalam pasal 20 ayat 1 UU
No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah yang menetapkan
azas umum penyelenggaraan
pemerintahan yang dapat diterapka
secara menyeluruh oleh Pemerintah
Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta,
Pemerintah Kota Yogyakarta,
Pemerintah Kabupaten Sleman,
Pemerintah Kabupaten Bantul,
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo
maupun Pemerintah Kabupaten Gunung
Kidul yang terdiri atas kepastian
hukum, tertib penyelenggaraan negara,
kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi.
Dimana keseluruhannya merupakan
landasan moril menetapan pemerintahan
yang berpola good governance.
Sedangkan untuk masalah terlalu
besarnya peranan DPRD sebagai pihak
yang memiliki kewenangan untuk
melakukan kontrol terhadap kepala
daerah telah mengalami antiklimaks
dengan adanya penerapan UU No 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
78
Daerah dimana dalam UU No 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
diberikan revisi bahwa hak-hakj DPRD
hanya meliputi pengajuan rancangan
perda, pengajuan pertanyaan,
penyampaian usul dan pendapat,
memilih dan dipilih, imunitas,
protokoler serta keuangan dan
administratif.
4.3 PEMBANGUNAN FORMAT
KELEMBAGAAN PEMERIN-
TAHAN DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
Menurut Easton ( 1986 : 14 )
pembangunan lembaga merupakan
penetapan yang berencana dari
organisai-organisasi baru untuk
melayani tujuan-tujuan yang oleh
mereka yang berkuasa dinilai
memerlukan campur tangan
administratif yang otonom dan kaitan-
kaitan khusus dengan sistem sosial yang
lebih besar, yang berbeda dari yang
dapat disediakan oleh unit-unit
administratif yang sudah ada.
Secara universum pembangunan
lembaga menggambarkan adanya proses
transaksi antara lembaga yang tersusun
atas kepemimpinan, doktrin, program,
sumber daya-sumber daya dan struktur
internal dengan kaitan yang terdiri atas
kaitan yang memungkinkan, kaitan
fungsional, kaitan normatif dan kaiatan
tersebar.
Sumber : Joseph W Eaton ( 1986 : 24 )
Dalam format kelembagaan
Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri
atas 3 isian jabatan dalam proses
rekruitmen yang meliputi :
1. Gubernur Pemerintahan Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
Menurut Cornelis Lay ( 2008 : 61 )
Gubernur Pemerintahan Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam penyelenggaraan
pemerintahan bertindak sebagai
kepala wilayah dan kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta. Mekanisme
pemilihan Gubernur dapat
dilakukan melalui pemilihan
langsung sebagai bentuk
pelaksanaan demokrasi, maupun
usulan dari Parardhya karena
Parardhya memiliki kewenangan
untuk menyetujui dan menolak
bakal calon Gubernur yang
ditetapkan. Gubernur Pemerintahan
Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sendiri memiliki
kewenangan ganda untuk sebagai
kepala wilayah sekaligus kepala
daerah sebagaimana yang telah
diatur dalam perundang-
undangan.Sistem perekrutan
Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta ini dapat dinilai
istimewa ( khusus ) jika
dibandingkan dengan sistem
pengangkatan Gubernur di Jepang
yang secara keseluruhannya
dilakukan oleh perhitungan
elektrolat, jadi dalam sistem
rekruitmen Gubernur di Jepang
tersebut sistem demokrasi
pemegang peranan utama karean
tidak adanya pemberlakuaan
keeistimewaan seperti halny
keistimewaan yang dimiliki oleh
Parardhya Keistimewaan dalam
kewenangannya untuk turut campur
tangan dalam penentuan rekruitmen
Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta, meskipun menurut
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
79
Syafruddin ( 2006 : 75 ) di
Jepang sendiri terdapat kebijakan
yang memungkinkan pemberlakuan
referenda sebagai suatu peraturan
daerah yang bersifat khusus untuk
pemerintah suatu daerah tertentu.
Namun Referenda tersebut tidak
dibentuk atas dasar kekhususan
budaya lokal melainkan karena
adanya latar belakang bebutuhan
mekanisme politik.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Istimewa
Sejak tahun 1999, terdapat
pemisahan kekuasaan antara
Kepala Daerah selaku pimpinan
eksekutif di daerah dan DPRD
sebagai pimpinan legislatif di
daerah. Untuk Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Istimewa
Yogyakarta direkrut berdasarkan
pemilihan umum langsung dan
memiliki peranan sebagai wakil
masyarakat yang mampu
merepresentasikan kebutuhan
masyarakat Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagaimana yang
tercantum dan diatur dalam
perundang-undangan. Berdasarkan
UU No 3 Tahun 1950 Tentang
Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarata, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Istimewa
Yogyakarta terdiri atas 40 orang
anggota, serta jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
istimewa Yogyakarta kecuali
anggota-Kepala Daerah dan
anggota-Wakil Kepala Daerah
adalah 5 orang
3. Parardhya Keistimewaan
Parardhya Keistimewaan terdiri
atas Sultan dan Pakualam sebagai
suatu kesatuan yang memegang
peranan kearifan lokal Yogyakarta
berupa kelanggengan budaya
sekaligus sebagai lambang
pengayom bagi kemaslahatan
masyarakat Yogyakarta. Sistem
rekruitmen yang dilakukan dalam
penentuan jabatan Parardhya
Keistimewaan dilaksanakan secara
turun temurun tanpa adanya
rekruitmen langsung secara
demokratis. Dalam melaksanakan
tugasnya mengurusi masalah-
masalah yang terbatas pada
penyelenggaraan pemerintahan
yang terkait urusan politik dan
kebudayaan Sultan dan Pakualam
selaku Parardhya Keistimewaan
dibantu oleh seorang wali.
Hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Gubernur Daerah
Keistimewaan Yogyakarta merupakan
hubungan hierarkis langsung (
Integrated Protokoler System ) karena
dinyatakan bahwa Gubernur merupakan
wakil dari Pemerintahan Pusat yang
berkedudukan di Pemerintah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
Kepala Wilayah Administratif. Cornelis
Lay dkk ( 2008 : 62 ) menjelaskan
bahwa Presiden berwenang untuk
memberikan instruksi kepada Gubernur,
termasuk untuk menjalankan fungsi
pengawasan terhadap institusi-institusi
pemerintahan yang ada di daerah serta
menjalankan kewajiban-kewajiban lain
ynag diatur dalam perundang-undangan.
Sebagai pimpinan eksekutif
tertinggi di Daerah Istimewa
Yogyakarta, Gubernur bersama dengan
DPRD menjalankan urusan daerah yang
sudah ditetapkan dalam perundang-
undangan sekaligus berperan sebagai
perwujudan desentralisasi dengan
adanya pendelegasian kewenangan
untuk mengatur rumah tangga
pemerintahan daerahnya sendiri melalui
hak otonomi. Hal ini berbeda dengan
posisi Menteri dan Pimpinan Instansi
Pusat yang masuk dalam rangkaian
tugas dekonsentrasi berupa
pendelegasian pegawai Pemerintah
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
80
Pusat untuk mengatasi permasalahan
yang ada di daerah
Sedangkan hubungan antara
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarat
dengan Paradhya Keistimewaan adalah
hubungan koordinasi karena setiap
kebijakan yang ditetapkan oleh
Gubernur harus selalu diketahui dan
disetujui oleh Parardhya Keistimewaan
dengan pertimbangan kelancaran
komunikasi. Parardhya sendiri memiliki
hak otonomi sehingga tidal memiliki
beban tanggungjawab kepada
Pemerintah Pusat.
Pada tataran hubungan antara
Parardhya Keistimewaan dengan
DPRD Propinsi, Bupati/Walikota dan
DPRD Kab/Kota meliputi hubungan
MEDIA SOERJO Vol. 6 No. 1 April 2010
ISSN 1979 – 6239
Widjianto, Analisis Prospektif Status KeistimewaanYogyakarta
81
koordinasi yang menyengkut kebijakan
masalah keistimewaan dan kebudayaan.
Posisi Parardhya Keistimewaan bukan
sebagai pimpinan hierarkis langsung
dari DPRD Propinsi, Bupati/Walikota
dan DPRD Kab/Kota sehingga DPRD
Propinsi, Bupati/Walikota dan DPRD
Kab/Kota tidak terikat pertanggung-
jawaban langsung kepada Parardhya
Keistimewaan.
Konsultasi masalah di luar
keistimewaan danm kebudayaan oleh
dari DPRD Propinsi, Bupati/Walikota
dan DPRD Kab/Kota sehingga DPRD
Propinsi, Bupati/Walikota dan DPRD
Kab/Kota kepada Parardhya
Keistimewaan dapat dilakukan dengan
sukarela.
4.4 KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF SOSIAL-POLITIK