Top Banner
MAKALAH DISKUSI TOPIK MENINGOENSEFALITIS TOXOPLASMA Disusun oleh: Sari Bestya Rakhmaisya 108103000038 Pembimbing : dr. Fitriani Nasution, Sp.S KEPANITRAAN KLINIK SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI
44

Me

Sep 15, 2015

Download

Documents

Izkar Ramadhan

neuro
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

PRESENTASI KASUS

MAKALAH DISKUSI TOPIKMENINGOENSEFALITIS TOXOPLASMA

Disusun oleh:Sari Bestya Rakhmaisya

108103000038

Pembimbing :

dr. Fitriani Nasution, Sp.S

KEPANITRAAN KLINIK

SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

2014BAB I

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITASNama: Tn. HJNo. RM: 00601488

Jenis kelamin: Laki-lakiTTL (Usia): Jakarta, 18 Juli 1982 (31 tahun)

Alamat: Jl. Lantur III no 25, Jawa Barat

Agama: Islam

Suku: Betawi

Pendidikan: tamat universitasPekerjaan: pegawai swastaStatus: Menikah

Tanggal masuk RS : 24 April 2014Pengambilan data: 30 April 2014B. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis 30 April 2014)

Keluhan utama

Penurunan kesadaran sejak 10 jam SMRSRiwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluahn penurunan kesadaran sejak 10 jam SMRS.

2,5 bulan SMRS, pasien mengeluh sakit kepala yang terasa diseluruh bagian kepala, terasa semakin hari semakin berat, tidak mengalami perbaikan walaupun sudah minum obat penghilang nyeri. Pasien juga mengeluh mual dan muntah sebanyak 4x/hari, muntah tidak menyemprot. Pasien juga mengalami demam yang hilang timbul. Kejang, batuk-batuk lama, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat dingin pada malam hari, penglihatan buram/ganda disangkal. Saat itu pasien hanya rawat jalan ke dokter.

1 bulan SMRS pasien mengeluhkan gejala yang sama namun sakit kepalanya semakin hebat. Pasien berobat RS dan dilakukan tes darah dan dinyatakan HIV positif pada tanggal 28-3-14. Pasien sempat dirawat selama 6 hari. Selama dirawat nyeri kepala pasien berkurang lalu pasien meminta untuk rawat jalan. ARV belum diberikan.5 hari SMRS pasien terdapat kelemahan pada tangan dan kaki kiri yang disertai dengan mulut mencong dan sering tersedak bila makan. Pasien juga mengeluh sakit kepala dan demam. Baal, kesemutan, bicara pelo, kejang, sulit menelan, muntah menyemprot, pandangan kabur, pandangan ganda disangkal.1 hari SMRS pasien tidak nyambung ketika diajak bicara. 10 jam SMRS, pasien mulai tampak gelisah dan lebih sering mengantuk, mulai susah untuk dibangunkan dan diajak berbicara. Lalu pasien dibawa ke RSUP Fatmawati

Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. HIV positif tanggal 28/3/14. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, TB disangkal. Riwayat batuk lama disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat HIV (-), hipertensi (-) diabetes melitus (-). Istri pasien meninggal 4 tahun yang lalu karena TB.

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan

Pasien merokok sejak 15 tahun yang lalu sekitar 5 batang/hari. Pasien bertato dan mengkonsumsi narkoba jenis suntik sejak 10 tahun yang lalu dengan jarum suntik yang dipakai bergantian dengan temannya. Pasien juga minum alkohol sebanyak 1 botol, 1-2x/minggu. Riwayat melakukan hubungan seksual tidak aman disangkal. C. PEMERIKSAAN FISIK

Di bangsal, 30 April 2014Status Generalis

Keadaan umum: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentisTekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84x / menit

Pernapasan

: 18x / menit

Suhu

: 36,7 C

Kulit

: hiperpigmentasi (-), needle track (-)Kepala

: normosefal, tidak tampak deformitas, nyeri tekan sinus (-)

Mata

: konjungtiva pucat(-)/(-), sklera ikterik (-)/(-)

Mulut

: caries dentis (-), oral trush (-)

Telinga

: membran timpani intak, serumen (+), darah (-)

Hidung

: sekret (-), deviasi septum (-)

Tenggorokan

: uvula di tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1

Leher

: KGB tidak membesar. Tiroid tidak teraba

Thorax: Paru: I: statis : bentuk dada normal, simetris, retraksi (-)/(-), spider nevi (-)

dinamis : tipe pernapasan torakoabdominal, gerakan dada simetris

Pa: fremitus vokal simetris kanan dan kiri

Pe: Sonor di semua lapang paru

A: vesikuler, rhonki(-)/(-), wheezing (-)/(-)

Jantung: I: bentuk dada normal, ictus cordis tidak terlihat

Pa: ictus cordis teraba setinggi sela iga 5 di linea midklavikula kiri

Pe: batas kanan jantung di ICS IV 1 jari medial dari linea sternalis kanan

batas kiri jantung di ICS V linea midklavikula kiri

A: BJ I - II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen I: simetris, bentuk dan ukuran normal, venektasi (-), striae alba (+),

hiperpigmentasi (-)

Pa: massa (-). NT (-). Hati, limpa dan ginjal tidak teraba

Pe: timpani, NK (-), shifting dullness (-)

A: BU (+) N

Genitalia & anus: tidak diperiksa

Ekstremitas

: akral hangat, perfusi perifer baik, edema (-) / (-).

Status Neurologis

Glasgow Coma Scale : 15 (E4 M6 V5 )

Pupil bulat, isokor, diameter 3mm / 3mm, RCL (+) / (+), RCTL (+) / (+)

Tanda rangsang meningeal: Kaku kuduk (+)

Laseque >70 / >70

Kernig >135 / >135

Brudzinsky I(-)

Brudzinsky II (-)

Nervus kranialis

N.I

: Tidak dilakukan

N.II

: RCL kanan (+) / kiri (+).

RCTL kanan (+) / kiri (+)

Funduskopi tidak dilakukan

Pemeriksaan lapang pandang dan visus kasar tidak dilakukan

N.III, IV, VI: Sikap bola mata simetri

Ptosis: mata kanan (-), mata kiri (-)

Diplopia (-), nistagmus (-), eksoftalmus (-), enoftalmus (-)

N.V

: Sensibilitas baik.

Kekuatan dan kontus m.maseter dan temporalis baik

Pemeriksaan refleks kornea tidak dilakukan.

N.VII

: Motorik orbitofrontalis : baik

Motorik orbicularis oris : sudut nasolabial kiri sedikit tertinggal

Pengecapan lidah: baik

N.VIII

: gangguan pendengaran (-), vestibuler: tidak dilakukan

N.IX, X

: arkus faring simetris, uvula terletak di tengah

N. XI

: gerakan menoleh baik

Kekuatan m.sternocleidomastoideus baik

Kekuatan m.trapezius baik

N.XII

: posisi lidah di dalam mulut terletak di tengah

Posisi lidah dijulurkan terletak di tengah

Atrofi papil lidah (-), fasikulasi (-)

Kesan parese N. VII sinistra sentral Motorik

: 5555 I 4444

5555 I 4444Refleks fisiologis:

BisepsKanan ++, Kiri ++

TrisepsKanan ++, Kiri ++

PatellaKanan ++, Kiri ++

AchillesKanan ++, Kiri ++

Refleks patologis:

Refleks patologisKananKiri

Babinsky(-)(-)

Chaddock(-)(-)

Oppenheim(-)(-)

Gordon(-)(-)

Tonus

: eutonus

Trofi

: eutrofi

Klonus

: Patella - / -, Achilles - / -

Sensorik: kesan hipestesi (-)

Otonom: inkontinensia urine et alvi (-)

Koordinasi: disdiadokinesia (-), finger-finger test (-), percobaan tumit-lutut (-),

dismetria (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT-Scan kepala 28 April 2014

Kesan : Multifokal edema di periventrikel lateralis bilateral, thalamus kanan, bangsal ganglia bilateral, mesensefalon kanan, lobus temporalis kiri dengan edema finger like parietalis kanan disertai dengan penyengatan patologis di intrateritorial . Sesuai dengan meningoensefalitis

Rntgen thoraks 20 April 2014

Kesan : Jantung dan paru dalam batas normal

E. RESUMEPasien laki-laki 31 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 10 jam SMRS. Pasien datang dengan keluahn penurunan kesadaran sejak 10 jam SMRS. 2,5 bulan SMRS, pasien mengeluh sakit kepala yang terasa diseluruh bagian kepala, terasa semakin hari semakin berat, tidak mengalami perbaikan walaupun sudah minum obat penghilang nyeri. Pasien juga mengeluh mual dan muntah sebanyak 4x/hari, demam yang hilang timbul. 1 bulan SMRS pasien mengeluhkan gejala yang sama namun sakit kepalanya semakin hebat. HIV positif pada tanggal 28-3-14. ARV belum diberikan. 5 hari SMRS pasien terdapat kelemahan pada tangan dan kaki kiri yang disertai dengan mulut mencong, sering tersedak bila makan, sakit kepala dan demam.1 hari SMRS pasien tidak nyambung ketika diajak bicara. 10 jam SMRS, pasien mulai tampak gelisah dan lebih sering mengantuk, mulai susah untuk dibangunkan dan diajak berbicara. Pasien merokok sejak 15 tahun yang lalu, 5 batang/hari. Pasien bertato dan memakai narkoba jenis suntik sejak 10 tahun yang lalu dengan jarum suntik yang dipakai bergantian dengan temannya, sering minum alkohol 1 botol, 1-2x/minggu. Pada Pemeriksaan fisik ditemukan status generalis dalam batas normal, pada status neurologi didapatkan kaku kuduk +, parese N VII sinistra sentral, hemiparese sinistra. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan rapid test HIV positif, pada CT scan terdapat multifokal edema di periventrikel lateralis bilateral, thalamus kanan, bangsal ganglia bilateral, mesensefalon kanan, lobus temporalis kiri dengan edema finger like parietalis kanan disertai dengan penyengatan patologis di intrateritorial . Sesuai dengan meningoensefalitis dan pada rontgen thorax didapatkan jantung dan paru dalam batas normal.F. DAFTAR MASALAH

Diagnosis kerja:

Klinis: meningoensefalitis Toxoplasma dd/ meningoensefalitis TB

AIDS

Parese N VII sinistra central

Hemiparese sinistra

Topis

: meningen, parenkim otak

Etiologis: Toxoplasma gondiiG. RENCANA

1. Rencana diagnosis IgG, IgM Toxoplasma Analisis dan kultur LCS

2. Rencana terapi

IVFD NaCl 0,9%/12 jam

Parasetamol 3x500 mg k/p po

Clindamisin 4x600 mg po

Pirimetamin 3x25 mg po

Asam folat 3x5 mg po

Curcuma 3x1 po

ARV

Ceftriaxone 1x2 gr iv

Dexamethasone 3x5 mg iv

Ranitidin 2x1 ivBAB IIIPEMBAHASAN KHUSUS

Tn. HJ 31 tahun datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 10 jam SMRS. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh proses yang terjadi di pusat kesadaran, yaitu di ARAS atau kedua hemisfer cerebri. Beberapa proses intrakranial maupun ekstrakranial yang mungkin dapat menyebabkan penurunan kesadaran adalah trauma, infeksi, kelainan vaskular, zat atau withdrawal zat dan gangguan metabolik. Kemungkinan penurunan kesadaran karena trauma dapat disingkirkan karena dari anamnesis tidak didapatkan riwayat trauma sebelumnya. Gangguan metabolik (hiperglikemi, hipoglikemi, hipoksia, dll) yang dapat menyebabkan gangguan kesadaran pada pasien ini dapat disingkirkan karena dari hasil anamnesis tidak ada riwayat yang mendukung kemungkinan tersebut seperti riwayat DM, minum obat hipoglikemik oral, mengkonsumsi obat-obatan tertentu maupun kekurangan asupan makanan.

Kemungkinan infeksi intra kranial didukung dengan adanya keluhan berupa demam, sakit kepala. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kaku kuduk (+) menunjukkan proses infeksi melibatkan meningen. Riwayat adanya penurunan kesadaran pada pasien ini juga menunjukkan bahwa parenkim otak ikut terlibat.Berdasarkan adanya riwayat pemakaian IVDU dengan pemakaian jarum suntik bergantian harus dipikirkan penyakit yang penularannya melalui jarum suntik. Yang sekarang ini mulai banyak terjadi dan harus diwaspadai adalah infeksi HIV dan hepatitis B dan hepatitis C. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan serologi HIV pada tanggal 28 april 2014 dan didapatkan hasil (+). Meningitis tuberculosis dapat terjadi baik pada fase awal infeksi HIV maupun ketika pasien sudah memasuki stadium AIDS. Meningitis criptococcus dan ensefalitis toksoplasma biasanya terjadi jika pasien sudah memasuki stadium AIDS. Dari hasil CT scan yang menunjukkan kesan Multifokal edema di periventrikel lateralis bilateral, thalamus kanan, bangsal ganglia bilateral, mesensefalon kanan, lobus temporalis kiri dengan edema finger like parietalis kanan disertai dengan penyengatan patologis di intrateritorial. Sesuai dengan meningoensefalitis. Namun untuk memastikan etiologi dari meningoensefalitis pada pasien dapat dilakukan anjuran pemeriksaan berupa lumbal pungsi LCS dan pemeriksaan IgG, IgM toxoplasma.

Jadi diagnosis pasien ini adalah :

Klinis: meningoensefalitis Toxoplasma dd/ meningoensefalitis TB

AIDS

Parese N VII sinistra central

Hemiparese sinistra

Topis

: meningen, parenkim otak

Etiologis: Toxoplasma gondiiTerapi yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD NaCl 0,9%/12 jam, parasetamol 3x500 mg k/p po, clindamisin 4x600 mg po, pirimetamin 3x25 mg po, asam folat 3x5 mg po, curcuma 3x1 po, ARV, ceftriaxone 1x2 gr iv, dexamethasone 3x5 mg iv, ranitidin 2x1 iv

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

I. ENSEFALITIS TOXOPLASMA

Pendahuluan

Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara dramatis meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta orang terinfeksi HIV, dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6 juta. Sembilan puluh persen individu yang terinfeksi ini tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia.1

Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV tahun 2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV ini merupakan pengguna obat narkotika suntik (Intravenous drug users ). 2

Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan neurologis.3 Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis criptococcal, CMV ensefalitis dan progressive multifocal leukoencephalopathy.4

Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah ensefalitis toxoplasma.5 Dari penelitian Terazawa dkk6, didapatkan seroprevalens IgG antibody Toxoplasma yang tinggi (70%) pada penduduk kota Jakarta.

Berikut ini akan dibahas diagnosis dan penatalaksanaan ensefalitis toxoplasma pada seorang penderita yang terinfeksi HIV.

Ensefalitis Toxoplasma

Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan sampai 20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun. 4,7

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis. 4,7,8

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 200 sel/mL. 1

Manifestasi klinis toxoplasmosis pada penderita AIDS dapat berupa Toxoplasma ensefalitis, Toxoplasma pneumonitis dan toxoplasma chorioretinitis. Dari ketiga manifestasi ini, ensefalitis lebih sering terjadi pada penderita AIDS .8

Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari sitokin tipe 1 (interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting dalam infeksi T gondii kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting cells seperti sel dendrit dan makrofag. IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-gamma, suatu mediator mayor untuk proteksi pejamu melawan intraseluler patogen. IFN-gamma kemudian akan menstimulasi anti aktivitas T-gondii, tidak hanya dari makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari IL-12 dan IFN-gamma distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada infeksi T.gondii pada manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T sel) bekerja dengan diperantarai oleh sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi IL-12, yang akan kembali meningkatkan produksi dari IFN-gamma oleh sel T. TNF-alfa adalah sitokin esensial lain untuk mengendalikan infeksi kronis T gondii. 7Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.7Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.5 Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.7

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.7Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi. 7Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein. 7

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan serebrospinal bervariasi dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya hampir 100%. PCR untuk T gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.7Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan hasil kultur.7 Diagnosis pasti dari ensefalitis toxoplasma adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama 2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologi, diagnosis adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan.10 Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.10,11Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Pada pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam. Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.10,11

Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple, bilateral dan menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada 70-80% kasus7. Lesi ini berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric corticomedullary junction. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibanding CT Scan. Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI tidak patognomonik untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan limfoma SSP dan criptococcus.7,10Terapi ensefalitis toxoplasma yang lazim diberikan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah (Sulfadoxin 500 mg + Pyrimethamin 25 mg) tiap 6 jam, Clindamicin 600 mg tiap 6 jam, dan asam folinic 10 mg perhari. Suatu uji randomisasi oleh Danneman et al., menunjukkan kombinasi pirimetamin dengan sulfadiazin sedikit lebih unggul dibanding kombinasi pirimetamin dengan clindamisin.4,10 Sehingga diusulkan untuk menggunakan kombinasi pirimetamin dengan sulfadiazin.

Dua minggu setelah pemberian terapi empirik dilakukan evaluasi ulang CT Scan. Untuk menilai perbaikan secara radiologis, digunakan 2 parameter yaitu ukuran lesi dan penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini, evaluasi CT scan terdapat perbaikan, dimana ukuran lesi mengecil dan pada pemberian kontras tidak tampak adanya penyangatan. Adanya perbaikan klinis dan radiologis pada terapi empirik toxoplasmosis selama 2 minggu, maka diagnosis definitive ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan.

Pada penelitian double blind, placebo-controlled trial di Tanzania (Fawzi et al)12 terhadap 1078 wanita hamil terinfeksi HIV yang diberikan suplemen multivitamin berupa vitamin A, beta karoten, B, C dan E menunjukkan adanya peningkatan CD 4 secara bermakna dan penurunan viral load secara bermakna. Sehingga pemberian multivitamin pada pasien yang terinfeksi HIV dapat dipertimbangkan.

Ditemukan adanya movement disorder pada pasien ensefalitis toxoplasma diduga berhubungan dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Movement disorder terjadi akibat disfungsi dari struktur ganglia basalis.13

Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total kurang dari 1200.2,14

Meningitis toxoplasmaMeningitis adalah inflamasi pada selaput meningen yang menyebabkan timbulnya gejala meningeal (seperti kaku kuduk, sakit kepala, fotofobia) dan meningkatnya jumlah leukosit pada LCS. Berdasarkan durasi timbulnya gejala, meningitis dibagi menjadi meningitis akut (gejala timbul dalam hitungan jam hingga hari) dan meningitis kronik (gejala timbul dalam hitungan minggu hingga bulan). Meningitis dapat terjadi akibat agen infeksiosa (contoh bakteri, virus, jamur, parasit) maupun agen non infeksiosa (contoh NSAID, antibiotik, karsinomatosa). Beberapa klasifikasi meningitis:

meningitis akut

a. meningitis bakterial akut

Usia/Faktor predisposisiBakteri patogen

Usia 0-4 minggu (neonatus) S agalactiae (streptococci grup B) E coli K1L monocytogenes

Usia 4 minggu-3 bulanS agalactiaeE coli H influenzae S pneumoniae N meningitidis

Usia 3 bulan 18 tahunN meningitidis S pneumoniae H influenzae

Usia >18 tahun (dewasa) S pneumoniae N meningitidisH influenzae

Tabel 1. Bakteri patogen tersering penyebab meningitis pada golongan usia tertentub. meningitis aseptik

merupakan sindrom infeksi mengenai pada SSP yang paling sering

dapat disebabkan oleh virus patogen, bakteri, jamur ataupun parasit

c. meningitis viral akut

enterovirus

tersebar di seluruh dunia, infeksi tergantung musim, usia dan sosial ekonomi

penyebaran secara fekal-oral, dapat terjadi sepanjang tahun pada Negara tropis, terutama selama musim panas dan musim gugur pada negara dengan empat musim

infeksi tertinggi mengenai anak 4 minggu, dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau parasit.

a. meningitis bakterial kronik

disebabkan oleh spesies Brucella (coccobacilli gram negatif), transmisi melalui kontak dengan binatang (ternak) yang terinfeksi, distribusi terutama di Timur Tengah, India, Amerika Tengah dan Amerika Selatan

b. meningitis tuberkulosa

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, transmisi melalui droplet airborne

harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada pasien dengan meningitis aseptik dan sindrom meningitis kronik

keterlibatan SSP pada meningitis akibat TB biasanya disebabkan ruptur tuberkel ke ruang subaraknoid

dapat bermanifestasi akut, namun presentasi yang klasik adalah sub akut, dengan adanya gejala prodromal berupa demam, malaise, sakit kepala intermiten. Pasien dapat pula mengalami kelumpuhan saraf kranial (N III, IV, V, VI, dan VII) yang menunjukkan keterlibatan mening basilar

dibagi menjadi tiga stadium klinik (staging) berdasarkan status neurologis

stadium 1 ( tidak ada perubahan status mental, defisit neurologis, hidrosefalus

stadium 2 ( pasien menjadi confusion, ada defisit neurologis

stadium 3 ( letargi dan stupor

c. meningitis fungal ( dapat disebabkan oleh C neoformans, C immitis, H capsulatum, Candida albicans.

Agen infeksiosa dapat mencapai sistem saraf pusat untuk kemudian menimbulkan penyakit melalui beberapa jalur. Pada awalnya agen infeksiosa membentuk satu kolonisasi (infeksi yang terlokalisasi) seperti di kulit, nasofaring, traktus respiratorius, traktus gastrointestinal ataupun traktus genitourinaria. Dari lokasi ini, organisme menginvasi sub mukosa dan akhirnya mencapai sistem saraf pusat melalui darah/hematogen, neuronal retrograde (contoh: melalui nervus olfaktorius, saraf perifer), atau penyebaran lansung (contoh: dari sinusitis, otitis media, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial).

Data epidemiologi meningitis:

virus merupakan penyebab tersering meningitis aseptik

mortalitas akibat meningitis bergantung kepada agen penyebabnya

mortalitas akibat meningitis viral (tanpa ensefalitis) 60 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena meningitis.

Diagnosis meningitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan imaging. Anamnesis yang baik dapat membantu/ mengarahkan diagnosis meningitis akibat etiologi tertentu. Contoh:

waktu terjadinya infeksi merupakan variabel penting karena infeksi oleh agen tertentu bersifat musiman (Infeksi enterovirus di negara tropis dapat terjadi sepanjang tahun sementara di negara dengan empat musim, infeksi terjadi pada akhir musim panas hingga awal musim gugur. Sebaliknya, infeksi mumps, measles dan varicella zoster lebih sering terjadi pada musim dingin dan musim semi)

riwayat kontak dengan orang dengan penyakit serupa

riwayat kontak seksual dan perilaku berisiko tinggi terkait dengan meningitis HSV

riwayat bepergian ke daerah tertentu

konsumsi susu yang tidak mengalami pasteurisasi merupakan predisposisi untuk infeksi brucellosis dan L monocytogenes riwayat kontak dengan binatang seperti rodent merupakan predisposisi untuk terkena infeksi Leptospira dan LCM (lymphocytic choriomeningitis virus)

riwayat operasi kranial.

Pada pemeriksaan fisik pasien meningitis dapat ditemukan:

presentasi klasik meningitis meliputi demam, sakit kepala, tanda rangsang meningeal, fotofobia, nausea, muntah dan tanda disfungsi serebral (letargi, delirium, koma)

kelumpuhan saraf kranial akibat peningkatan tekanan intrakranial atau akibat adanya eksudat yang menekan saraf

gejala neurologis fokal dapat terjadi akibat inflamasi pembuluh darah dan trombosis yang kemudian menyebabkan iskemia

seizures dapat terjadi pada kurang lebih 30% pasien

tanda-tanda peningkatan intrakranial seperti papil edem

(Pada individu tertentu, meningitis dapat menimbulkan gejala dan tanda yang tidak khas. Pada orang lanjut usia, terutama yang menderita penyakit lain seperti diabetes mellitus, penyakit hati atau penyakit ginjal, pasien dapat menjadi letargi dan tidak menunjukkan tanda meningeal. Pasien dengan defisiensi sistem imun juga dapat menampakkan gejala yang atipikal).

Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis meningitis. Secara umum, jika diagnosis meningitis sudah dipertimbangkan, maka segera dilakukan pungsi lumbal. Pemeriksaan LCS rutin meliputi warna, opening pressure, hitung jenis sel, kimia dan mikrobiologi. Pemeriksaan khusus seperti serologi dan amplifikasi asam nukleat dilakukan berdasarkan kecurigaan klinis tertentu.

AgenOpening PressureWBC/uLGlucosa (mg/dL)Protein (mg/dL)Mikrobiologi

Meningitis

bakterialis 200-300

100-5000; >80% PMN100Patogen spesifik terlihat pada 60% Gram dan 80% kultur

Meningitis viral 90-200 10-300; limfosit MN>PMNNormal,

( pada mumps Normal, dapat pula sedikit Isolasi virus, PCR

Meningitis tuberkulosa 180-300100-500; limfosit MN>PMN(, 100BTA, kultur, PCR

Meningitis

cryptococcal180-30010-200; limfosit ( 50-200Tinta India, antigen cryptococcal, kultur

Meningitis aseptik 90-20010-300; limfosit Normal Normal, dapat pula sedikit Negatif

Nilai normal 80-200 0-5;

limfosit 50-75 15-40 Negatif

Tabel 2. Profil LCS meningitis sesuai etiologinya

CT scan dan MRI (neuroimaging) diindikasikan pada pasien dengan demam berkepanjangan, tanda dan gejala defisit neurologis fokal, tanda dan gejala peningkatan TIK dan suspek fraktur basilar. Imaging juga diindikasikan untuk evaluasi sinus paranasal. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendeteksi komplikasi meningitis pada SSP seperti hidrosefalus, infark serebri, abses otak, empiema subdural dan trombosis sinus kevernosus.

II. AIDS

Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) merupakan sindrom kumpulan berbagai gejala dan infeksi akibat dari hilangnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi dari Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada manusia yang ditandai dengan adanya penekanan system imun tubuh dengan beberapa manifestasi klinis, seperti infeksi oportunistik, keganasan, dan menurunnya fungsi sistem saraf pusat.

Penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif).

2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif).

ETIOLOGI AIDS

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein, berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dansebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

MASA INKUBASI AIDS

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan ratarata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa wndow periode. Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.

EPIDEMIOLOGI AIDS

Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada tahun 1981. Sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus-kasus AIDS meningkat dengan cepat. Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan pandemi, menyerang jutaan penduduk dunia, pria, wanita, bahkan anak-anak. WHO memperkirakan bahwa sekitas 15 juta orang diantaranya 14 juta remaja dan dewasa terinfeksi HIV. Setiap hari 5000 orang ketularan virus HIV. Menurut etimasi WHO pada tahun 2000 sekitar 30-40 juta orang terinfeksi virus HIV, 12-18 juta orang akan menunjukkan gejala-gejala AIDS dan setiap tahun sebanyak 1,8 juta orang akan meninggal karena AIDS. Pada saat ini laju infeksi (infection rate) pada wanita jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi, 90% akan terjadi di negara berkembang, terutama Asia.

CARA PENULARAN

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :

1. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

1.1. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

1.2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual

2.1 Transmisi Parentral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

Darah/Produk Darah, transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

2.2. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko

sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan

sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan

dengan resiko rendah.

PATOGENESIS

Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.

Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarcoma kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan neurologis.

MANIFESTASI KLINIS AIDS

Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :

Rasa lelah dan lesu

Berat badan menurun secara drastis

Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam

Mencret dan kurang nafsu makan

Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

Pembengkakan leher dan lipatan paha

Radang paru-paru

Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik :

1. Manifestasi tumor diantaranya;

a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.

b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik diantaranya

a. Manifestasi pada Paru-paru

Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.

Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.

Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% perbulan.

Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 < 200 sel/l maupun CD4 < 200 sel/l. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) disebabkan oleh infeksi oportunistik. Sebagian infeksi oportunistik dapat diobati. Namun jika kekebalan tubuh tetap rendah, infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau dapat juga timbul oportunistik yang lain. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh (CD4) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4 pada rata-rata infeksi HIV yag tidak ditangani.

Keadaan penyakit dapat bervariasi pada setiap orang.Pola infeksi oportunistik di Indonesia.

Infeksi oportunistikFrekuensi

Kandidiasis mulut-esofagus80,8 %

Tuberkulosis40,1%

CMV28,8%

Ensefalitis toxoplasma17,3%

Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP)13,4%

Herpes simplex9,6%

Mycobacterium avium complex (MAC)4,0%

Kriptosporodiosis2,0%

Histoplasma paru2,0%

3. Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya

timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis,

meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSISI AIDS

Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot.

Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :

1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).

2. Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.

3. Adanya gejala infeksi oportunistik.

Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi zat anti HIV (Elisa, western Blot).

DAFTAR PUSTAKA

1. Wood AJJ, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infections in patients with human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 2000; 342 : 1416-26.

2. Djauzy S, Yunihastuti E. Terapi ARV pada HIV/AIDS, disampaikan pada one day seminar Update on Developments in the fight against Aids, cancer and related infectious diseases.Jakarta, 14 Agustus 2004.

3. Berger JR. Therapy of the neurological complications of HIV infection. CD room AAN 2004. 3FC-004-85.

4. Mamidi A, DeSimone J, Pomerantz R. Central Nervous system infections in individuals with HIV-1 infection. J NeuroVirol 2002; 8: 158-67.

5. DaRosa IG, Toxoplasmosis in HIV/AIDS primary care guide, University of Florida, 2002, p.147-9.

6. Sabauste CS. Toxoplasmosis and HIV in HIV insite knowledge base chapter. University of Cincinati college of medicine. Jan 2004. Availlable at : http://HIVinsite.com

7. Berger JP, Fayssal NGA, Cohen BA, Conant K, Deangelis LM, Dirocco A,et all. The neurologic complication of AIDS.Continuum. 2000.p128-49.

8. Tebas P. Toxoplasmosis. theraupetic advances. HIV Newsline 1999; 5: 3.

9. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004. hal 303-20 & 374-75.

10. Martini, FH. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 7th Edition. USA: Pearson Benjamin Cummings; 2005. P 1006.

11. McCance K. L, Huether S. E. Pathophysiology The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 5th Edition. Missori: Elsevier Mosby; 2006. P 558.12. Misbach J. Hamid AB, Mayza A. Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur Neurologi Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.

13. Price Sylvia. Patofisiologi. Edisi 6. Volume 1. EGC: Jakarta. 2006. hal : 231-236 & 485-90.14. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi Oportunistik pada AIDS. Jakarta: FKUI; 2005. 2828