Page 1
1. Pentingnya Posyandu
Tahukah Anda apa itu Posyandu? Yap bagi kebanyakan Ibu
tentunya sudah tak asing lagi dengan istilah ini. Posyandu
atau Pos Layanan Terpadu merupakan sebuah program pemerintah
yang berkenaan dengan masalah kesehatan masyarakat, terutama
kesehatan ibu dan balita. Program ini bersifat dari
masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat sehingga
Posyandu umumnya dilakukan disetiap desa oleh kader – kader
kesehatan desa dengan bimbingan tenaga ahli dari dinas
kesehatan.
Sebagai sebuah usaha kesehatan bersama dalam masyarakat
Posyandu ini memiliki berbagai program yang sangat bermanfaat
untuk kesehatan ibu dan balita yang berhubungan dengan masalah
kesehatan secara umum, gizi, imunisasi, pencegahan dan
penanggulangan berbagai penyakit, serta pertumbuhan dan
perkembangan balita. Lantas apa sih manfaat Posyandu? Berikut
beberapa manfaat mengikuti program Posyandu untuk ibu dan
balita.
Memantau kesehatan anak
Posyandu memberikan berbagai layanan kesehatan untuk ibu dan
balita, seperti periksa kesehatan gratis,imunisasi untuk
mencegah berbagai penyakit pada balita, serta berbagai
pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan ini termasuk
didalamnya masalah pencegahan dan penanggulangan penyakit yang
biasa dialami balita seperti batuk, pilek, diare dan demam,
serta penyebab dan gejalanya.
Memantau pertumbuhan dan perkembangan balita
Posyandu memberikan layanan pemantauan pertumbuhan balita baik
secara jasmani maupun rohani, seperti pengukuran berat badan
Page 2
tan tinggi badan. Dengan dilakukannya pemantauan secara rutin
dan berkala ini dapat diketahui bagaiman proses pertumbuhan
dan perkembangan anak apakah normal atau tidak, sehingga dapat
ditentukan langkah apa yang harus segera dilakukan.
Memantau Gizi Balita
Dengan dilakukannya pengukuran berat dan tinggi badan seperti
poin kedua, akan didapat grafik pertumbuhan anak dimana dalam
grafik tersebut akan terdapat sebuah grafik normal sebagai
standar pertumbuhan bayi. Oleh sebab itu akan dapat diketahui
apakah gizi sang balita telah terpenuhi atau belum. Selain
itu, dalam Posyandu juga diberika pendidikan kesehatan yang
menyangkut kebutuhan gizi anak dan bagaimana cara memenuhinya.
2. Imunisasi
Manfaat fungsi imunisasi adalah begitu banyak bagi kesehatan serta
pertumbuhan perkemabangan anak-anak kita kelak di kemudian
hari. Karena memang ketika bayi baru lahir saja sudah harus
mendapatkan vaksinasi imunisasi bagi bayi baru lahir ini.
Untuk itulah pentingnya kita mengenal akan berbagai jenis
vaksinasi dan juga manfaat vaksinasi imunisasi bagi bayi
balita buah hati kita masing-masing. Tujuan pemberian
imunisasi dasar lengkap pada saat bayi diharapkan akan
memberikan fungsi serta manfaatnya dalam hal untuk melindungi
bayi yang kadar imunitas tubuhnya masih sangat rentan dari
penyakit yang bisa dan dapat untuk menyebabkan kesakitan,
kecacatan, ataupun bahkan kematian bayi. Imunisasi adalah
merupakan bagian dari pemberian vaksin (virus yang dilemahkan)
kedalam tubuh seseorang untuk memberikan kekebalan terhadap
jenis penyakit tertentu. Imunisasi merupakan suatu sistem
Page 3
kekebalan yang diberikan pada manusia dengan tujuan melindungi
individu tersebut dari penyakit yang dapat membahayakan jiwa
anak-naka kita. Itulah yang dimaksud dengan definisi serta
juga pengertian imunisasi yang kita berikan kepada anak-anak
kita. Prinsip pemberian imunisasi dalam hal ini adalah
memasukkan kuman yang telah dilemahkan ke dalam tubuh yang
fungsinya untuk menangkal penyakit. Cara pemberian imunisasi
ini adalah melalui suntikan ataupun oral (lewat mulut).
Melalui imunisasi, beberapa penyakit bisa dilenyapkan seperti
halnya penyakit cacar di tahun 1970-an. Sejarah pun telah
mencatat, bahwasannya imunisasi menyelamatkan banyak generasi
dan memperpanjang kemungkinan hidup seseorang. Di Indonesia,
program imunisasi mulai dikenalkan pada 1956. Berikut
beberapa jenis imunisasi lengkap dan manfaat imunisasi yang
diberikan antara lain adalah :
1. Imunisasi Hepatitis B
Pemberian vaksinasi hepatitis B ini berguna untuk mencegah
virus Hepatitis B yang dapat menyerang dan merusak hati dan
bila hal itu terus terjadi sampai si anak dewasa akan bisa
menyebabkan timbulnya penyakit kanker hati.
2. Imunisasi BCG.
Pemberian vaksinasi dan juga imunisasi BCG ini bermanfaat
dan berguna dalam rangka untuk mencegah timbulnya penyakit
TBC. Dilakukan sekali pada bayi dengan sebelum usia 3 bulan.
Biasanya dilakukan bila bayi berusia 1 bulan. Bila bayi telah
berusia lebih dari 3 bulan dan belum mendapat imunisasi BCG
maka harus dilakukan uji tuberkulin untuk mengetahui apakah
bayi sudah terpapar bakteri TBC. Imunisasi bisa diberikan bila
Page 4
hasil tes tuberkulin negatif.
3. Imunisasi DPT
Diberikan dalam rangka untuk pencegahan terjadinya penyakit
Difteri, Pertusis dan Tetanus. Penyakit Difteri dapat
menyebabkan pembengkakan dan penyumbatan pernafasan, serta
mengeluarkan racun yang dapat melemahkan otot jantung.
Penyakit Pertusis yang dalam kondisi berat bisa menyebabkan
terjadinya pneumonia.
Kuman Tetanus mengeluarkan racun yang menyerang syaraf otot
tubuh, sehingga otot menjadi kaku, sulit bergerak dan
bernafas. Kalau penyakit campak berat dapat mengakibatkan
radang paru berat (pneumonia), diare atau bisa menyerang otak.
4. Imunisasi Polio.
Ini adalah jenis vaksinasi yang pemberiannya melalui oral
(mulut) dan manfaat imunisasi polio ini untuk mencegah
penyakit polio yang dapat menyebabkan kelumpuhan atau
kecacatan. Imunisasi diberikan sebanyak 4 kali, yaitu saat
bayi berusia 1 sampai 4 bulan.
5. Imunisasi Campak.
Tujuan pemberian imunisasi campak ini adalah mencegah
penyakit campak. Pemberiannya hanya sekali saja yaitu pada
saat anak berusia 9 bulan. Pemberiannya dapat diulang pada
saat anak masuk SD atau mengikuti program BIAS (Bulan
Imunisasi Anak Sekolah) yang dicanangkan pemerintah.
Untuk jadwal pemberian imunisasi berdasarkan atas usia bayi
adalah sebagai berikut :
1. Bayi Umur < 7 Hari : Hepatitis B (Hb)0.
Page 5
2. 1 Bulan : BCG, Polio 1
3. 2 Bulan : DPT / HB1, Polio 2.
4. 3 Bulan : DPT / HB2, Polio 3.
5. 4 Bulan : DPT / HB3, Polio 4.
6. 9 Bulan : Campak.
Imunisasi bisa meningkatkan imunitas tubuh dan menciptakan
kekebalan terhadap penyakit tertentu dengan menggunakan
sejumlah kecil mikroorganisme yang dimatikan atau dilemahkan.
Tujuan imunisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk
memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan
vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah terjadinya penyakit tertentu. Inilah yang dimaksud
dengan pentingnya imunisasi bagi anak bayi kita semuanya.
Cara Pemberian Vitamin A Pada Bayi
Kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) terbukti efektif
untuk mengatasi masalah KVA pada masyarakat apabila cakupannya
tinggi (minimal 80%). Cakupan tersebut dapat tercapai apabila
seluruh jajaran kesehatan dan sektor-sektor terkait dapat
menjalankan peranannya masing-masing dengan baik.
1. Tujuan Umum
Menurunkan prevalensi dan mencegah kekurangan vitamin A pada
anak-anak balita.
2. Tujuan Khusus
2.1. Cakupan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi paling
sedikit 80% dari seluruh sasaran.
Page 6
2.2. Seluruh jajaran kesehatan mengetahui tugas masing-masing
dalam kegiatan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, dan
melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
2.3. Seluruh sektor terkait mengetahui peranan masing-masing
dalam kegiatan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi dan
melaksanakan peran tersebut dengan baik.
CARA PEMBERIAN
1. Sasaran
1.1. Bayi
Kapsul vitamin A 100.000 SI diberikan kepada semua anak bayi
(umur 6-11 bulan) baik sehat maupun sakit.
1.2. Anak Balita
Kapsul vitamin A 200.000 SI diberikan kepada semua anak balita
(umur 1-5 tahun) baik sehat maupun sakit.
1.3. Ibu Nifas
Kapsul vitamin A 200.000 SI diberikan kepada ibu yang baru
melahirkan (nifas) sehingga bayinya akan memperoleh vitamin A
yang cukup melalui ASI.
Catatan :
Untuk keamanan, kapsul vitamin A 200.000 SI tidak diberikan
kepada bayi (6-11 bulan) dan ibu hamil karena merupakan kontra
indikasi.
2. Dosis Vitamin A
2.1. Secara Periodik
Page 7
a. Bayi umur 6-11 bulan
Satu kapsul vitamin A 100.000 SI tiap 6 bulan, diberikan
secara serentak pada bulan Februari atau Agustus
b. Anak Balita umur 1-5 tahun
Satu kapsul vitamin A 200.000 SI tiap bulan, diberikan secara
serentak pada bulan Februari dan Agustus
c. Ibu Nifas
Satu kapsul vitamin A 200.000 SI dalam masa nifas. Kapsul
vitamin A diberikan paling lambat 30 hari setelah melahirkan.
2.2. Kejadian Tertentu
a. Xerophthalmia:
Bila ditemukan seseorang dengan salah satu tanda xerophthalmia
seperti: buta senja, bercak putih (bercak bitot), mata keruh
atau kering:
· Saat ditemukan:
Segera diberi 1 (satu) kapsul vitamin A 200.000 SI
· Hari berikutnya:
1 (satu) kapsul vitamin A 200.000 SI
· Empat minggu berikutnya:
1 (satu) kapsul vitamin A 200.000 SI
b. Campak
Page 8
Anak yang menderita campak, segera diberi satu kapsul vitamin
A 200.000 SI. Untuk bayi diberi satu kapsul vitamin A 100.000
SI.
Catatan:
Bila di suatu desa terdapat “Kejadian Luar Biasa (KLB)”
campak, maka sebaiknya seluruh anak balita di desa tersebut
masing-masing diberi satu kapsul vitamin A 200.000 SI dan
seluruh bayi diberi kapsul vitamin A 100.000 SI.
3. Periode Pemberian
3.1. Bulan Kapsul
Untuk tujuan pencegahan, pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi diberikan kepada bayi dan anak balita secara periodik,
yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari
atau Agustus; dan untuk anak balita enam bulan sekali, dan
secara serentak dalam bulan Februari dan Agustus.
Pemberian secara serentak dalam bulan Februari dan Agustus
mempunyai beberapa keuntungan:
Memudahkan dalam memantau kegiatan pemberian kapsul, termasuk
pencatatan dan pelaporannya, karena semua anak mempunyai
jadwal pemberian yang sama.
Memudahkan dalam upaya penggerakkan masyarakat, karena
kampanye dapat dilakukan secara nasional di samping secara
spesifik daerah.
Page 9
Memudahkan dalam pembuatan materi-materi penyuluhan (spot TV,
spot radio, barang-barang cetak) terutama yang dikembangkan,
diproduksi dan disebarluaskan oleh tingkat Pusat/Propinsi.
Dalam rangka Hari Proklamasi RI (Agustus) biasanya banyak
kegiatan-kegiatan yang dapat digunakan untuk promosi
kesehatan, termasuk pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
Bulan Februari dan Agustus merupakan bulan pemantauan garam
beryodium di tingkat masyarakat, sehingga kegiatan tersebut
dapat diintegrasikan di tingkat Puskesmas.
3.2. “Sweeping”/Kunjungan Rumah
Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
pemberian kapsul vitamin A.
Bila masih ada bayi dan anak balita yang belum mendapat kapsul
vitamin A pada hari pemberian yang telah ditentukan, perlu
dilakukan “Sweeping” yaitu melacak/mencari bayi dan anak
balita tersebut untuk diberi kapsul vitamin A, dengan
melakukan kunjungan rumah. Diharapkan dengan kegiatan bulan
kapsul dan sweeping semua bayi (6-11 bulan) dan anak balita
(1-5 tahun) dapat dicakup 100% dengan pemberian kapsul vitamin
A.
“Sweeping”/kunjungan rumah sebaiknya dilakukan segera setelah
hari pemberian dan paling lambat sebulan setelahnya. Untuk
memudahkan pencatatan dan pelaporan, akhir minggu ketiga bulan
Maret (untuk periode Februari) dan akhir minggu ketiga bulan
September (untuk periode Agustus) seluruh kegiatan “Sweeping”
hendaknya sudah selesai.
Page 10
Bila setelah “Sweeping” masih ada anak yang belum mendapat
kapsul, maka agar diupayakan lagi meskipun sudah diluar
periode pemberian.
Ini perlu dicatat tersendiri dan dilaporkan sebagai cakupan
periode berikutnya (lihat Pencatatan dan Pelaporan).
3.3. Ibu Nifas
Pemberian kapsul vitamin A 200.000 SI kepada ibu pada masa
nifas dapat diberikan:
Segera setelah melahirkan, atau
Pada kunjungan pertama neonatal, atau
Pada kunjungan kedua neonatal.
4. Tempat Pemberian
Sebagai upaya pencegahan, kapsul vitamin A diberikan kepada
seluruh bayi 6-11 bulan dan anak balita (1-5 tahun) di
Posyandu pada hari buka Posyandu.
Untuk wilayah yang belum memiliki Posyandu atau yang kunjungan
Posyandunya rendah, Puskesmas perlu memberi perhatian dan
upaya khusus, misalnya dengan membentuk pos pemberian vitamin
A (Posvita), Dasa Wisma, Kelompok peminat KIA (KPKIA) atau
melalui perkumpulan lain, atau kunjungan rumah. Tugas ini akan
lebih mudah bila menggalang kerja sama diantara kader, LKMD,
PKK, LSM dan tokoh masyarakat.
5. Pengadaan Vitamin A
Untuk tahun 1999/2000, Depkes memperoleh bantuan kapsul
vitamin A 100.000 SI dari UNICEF, selanjutnya diadakan dari
Page 11
DIP Perbaikan Gizi (Pusat/Daerah) bersama dengan pengadaan
mikronutrien lain (kapsul vitamin A 100.000 SI dan 200.000 SI,
kapsul minyak beryodium, tablet tambah darah, sirop besi).
3. Pola asuh anak
1. Pola Konsumsi Makan
“Dalam kegiatan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)
dilakukan beberapa kegiatan yang salah satunya demonstrasi
memasak makanan yang memenuhi persyaratan gizi baik atau
pemberian makanan tambahan yang bergizi tinggi kepada anak
balita, terutama yang menderita gizi buruk”. (Suhardjo, 2003:
70).
Pola konsumsi makan yang baik perlu untuk diperhatikan oleh
suatu keluarga, khususnya ibu dalam pengasuhan anaknya.
Kebutuhan untuk makan bukanlah satu-satunya dorongan untuk
mengatasi rasa lapar, akan tetapi disamping itu ada kebutuhan
fisiologi dan psikologi yang ikut mempengaruhi. Setiap
kelompok mempunyai pola tersendiri dalam memperoleh,
menggunakan dan menilai makanan yang merupakan ciri kebudayaan
kelompok masing-masing. Perubahan keseimbangan atau kelebihan
konsumsi makanan akan berpangaruh terhadap proses metabolisme.
Gizi kurang tejadi karena defisiensi atau ketidakseimbangan
energi atau zat gizi. Di negara maju masalah yang umum
dihadapi ialah obesitas yang diakibatkan oleh konsumsi zat
gizi yang berlebihan, tetapi kurang aktivitas fisiknya. “Gizi
kurang menurunkan produktivitas kerja sehingga pendapatan
menjadi rendah, miskin dan pangan tidak tersedia cukup. Selain
itu gizi kurang menyebabkan daya tahan tubuh (resistensi)
terhadap penyakit menjadi rendah”. (Suhardjo, 2003: 7)
Page 12
a. Pengertian Pola Konsumsi Makan
Menurut Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan “Pola konsumsi
pangan, adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah
bahan makanan rata-rata 8 orang perhari yang umum dikonsumsi
atau dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu”. Menurut
Suhardjo et al (1986: 13), ”Cara yang ditempuh seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya
sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis,
budaya dan sosial disebut pola makan. Ia juga disebut
kebiasaan makanan, kebiasaan makan atau pola pangan”. “Pola
makan keluarga adalah cara keluarga mamilih bahan makanan dan
memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi,
psikologi, sosial dan budaya” (Djiteng Roedjito D, 1989: 7).
Dalam mengkonsumsi makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh
fisiologi seperti tuntutan karena rasa lapar, tanggapan
terhadap pengaruh psikologi seperti selera makan, tidak suka
terhadap jenis makanan tertentu, dan lain-lain. Sebagai
tanggapan terhadap sosial dan budaya, maksudnya disini adalah
bahwa bahan-bahan makanan yang dipilih dan cara mengolah atau
memakannya merupakan tradisi atau keadaan lingkungan tempat
tinggal atau daerahnya.
Semua kegiatan yang dilakukan secara rutin setiap hari akan
menjadi kebiasaan yang kadangkala dikerjakan tanpa berpikir
lagi. Maka bagi setiap orang merupakan kegiatan rutin dan
harus dilaksanakan. Karena itu makan menjadi kebiasaan pula.
Sebagaimana dikemukakan oleh Khumaidi (1994: 45) bahwa
“Kebiasaaan makan ada yang baik yaitu yang menunjang
terpenuhinya kecukupan gizi, tetapi tak kurang pula yang jelek
yaitu menghambat terpenuhinya kecukupan gizi”. Seperti
Page 13
dikemukakan di atas bahwa pola konsumsi makan akan membentuk
suatu kebiasaan makan dari seseorang. Seorang anak punya
kecenderungan untuk memilih makanan yang disukai saja. Oleh
karena itu kebiasaan makan yang baik perlu ditanamkan sejak
usia dini. Untuk itu peran orang tua untuk mengawasi pola
konsumsi anak menjadi sangat penting. Berikut ini beberapa
cara yang bisa jadi panduan.
(a) Jangan membiasakan anak mengkonsumsi makanan pembuka atau
selingan yang tinggi kandungan kalorinya menjelang waktu makan
utama. Akibatnya, anak akan merasa kenyang sebelum waktu makan
tiba;
(b) Kendati sedang terjadi krisis ekonomi, usahakan anak Anda
mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna. Atau bisa juga dengan
segelas susu, yoghurt, atau seiris keju sebagai pengganti
minimal dua kali sehari untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh
bagi pertumbuhan tulang dan gigi;
(c) Biasakan anak selalu makan pagi, hal ini dapat
menghindarkan kebiasaan jajan;
(d) Biasakan memberikan bekal makanan anak ke sekolah. Berikan
pengertian makanan yang dibawa lebih sehat dan bergizi
daripada yang mereka beli di sembarang tempat;
(e) Jangan membiasakan menuruti semua permintaan anak semacam
coklat, permen, makanan ringan, jeli, dsb;
(f) Kembangkan sikap tegas, terbuka, dan logis ketika menolak
permintaan anak. Lalu cobalah memberikan alternatif pengganti.
Katakan bahwa permen dan coklat tidak baik karena dapat
merusak gigi dan menawarkan puding buah susu sebagai gantinya;
(g) Beri contoh positif pada anak. Anak-anak cenderung meniru
kebiasaan dan tingkah laku orang-orang terdekatnya. Jangan
Page 14
pernah berharap anak mau menghentikan kebiasaan jajan jika
setiap sore hari Anda sendiri tak pernah absen mencegat tukang
mi pangsit yang lewat di depan rumah;
(h) Kalau memang tidak terpaksa, jangan biasakan anak Anda
membeli makanan siap saji. Makanan ini kurang seimbang
komposisi kandungan gizinya lantaran terlalu banyak lemak dan
kalorinya. (Trisno Haryanto dalam www.gizi.net, 2006)
1) Kebiasaan Makan yang Baik
Menurut Sri Maryati (2000: 134), ”Kebiasaan makan yang baik,
adalah : (a) menyukai makanan bergizi; (b) waktu makan yang
teratur; (c) mengindari makanan
yang dapat merugikan kesehatan; (d) berusaha supaya suasana
makan selalu senang,
sehingga makan dapat dilakukan dengan tidak tergesa-gesa”.
2) Kebiasaan Makan yang Kurang Baik
”Kebiasaan makan yang kurang baik antara lain ialah : (a)
suka jajan; (b)
hanya menyukai makanan tertentu; (c) makan tidak teratur;
(d) makan berlebihan”.
(Sri Maryati. 2000: 135)
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Makan
Pola kebiasaan makan dipengaruhi pula oleh agama dan adat
kepercayaan. Ada pantan makan pada waktu-waktu tertentu, ada
jenis makanan yang tidak boleh dimakan karena agama atau
karena adat. Kebiasaan pantang mengkonsumsi jenis makanan
tertentu tidak menguntungkan bagi golongan rawan gizi, anak
balita, ibu hamil dan menyusui. ”Pola konsumsi dan kebiasaan
makan pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
Page 15
lain adalah: (1) lingkungan alam; (2) bahan makanan tersedia;
(3) pertimbangan ekonomi; (4) adanya pantang dan tabu; (5)
pendidikan dan kesadaran gizi”. (Sri Hadajani, 1994: 30)
Pola konsumsi makan masyarakat pedesaan di Indonesia
diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan dapat
diproduksi masyarakat setempat. Di daerah dengan pola pangan
pokok besar biasanya belum puas atau mengatakan belum makan
apabila belum makan nasi, meskipun perut sudah kenyang oleh
makanan lain non beras. Zat-zat gizi yang diperlukan tubuh
adalah karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Pertumbuhan berat badan balita merupakan parameter yang paling
sesuai karena cukup sensitif yaitu erat hubungannya dengan
konsumsi enersi dan protein yang merupakan dua jenis zat gizi
yang paling sering menimbulkan masalah kesehatan gizi di
Indonesia baik pada skala nasional atau skala daerah. Jenis
dan kuantum zat-zat gizi harus disediakan dengan cukup oleh
makanan yang dimakan. Zat-zat gizi ini terdapat dalam bahan-
bahan makanan yang didalam hidangan yang lengkap dapat
dibedakan menjadi empat kelompok yaitu: (a) kelompok bahan
makanan pokok; (b) kelompok lauk-pauk; (c) kelompok sayur; (d)
kelompok buah pencuci mulut. Dalam susunan hidangan harus
terlihat adanya (a) makanan pokok, (b) laukpauk, (c) sayur,
(d) buah pencuci mulut. Adanya empat kelompok makanan ini
disebut empat sehat. Kemudian kuantum masing-masing kelompok
makanan itu harus dinilai mencukupi kebutuhan atau tidak.
Mengenai kuantitas hidangan, apabila ditambahkan susu maka
hidangan tersebut menjadi lima sempurna. Penambahan makanan
terakhir ini untuk meningkatkan kualitas campuran protein
dalam hidangan. Kuantitas makanan yang dikonsumsi perlu
Page 16
mendapat perhatian yang baik juga. Perhitungan yang dilakukan
adalah sangat rumit, sehingga diambil cara lain yang lebih
singkat dan praktis, dengan menggunaan porsi standar bagi
kelompok menu tersebut. Gambaran porsi standar seseorang dari
keempat kelompok makanan tersebut yaitu: (a) standar porsi
makanan pokok adalah beberapa gram beras atau bahan makanan
pengganti sesuai umur atau kira-kira sepiring kecil; (b)
standar porsi lauk ialah beberapa gram sesuai umur atau kira-
kira sepotong kecil, misalnya tahu sepotong; (c) standar porsi
sayur ialah satu mangkok sayur dengan isi sayur daun hijau dan
isi lainnya yang berwarna-warni; (d) standar porsi buah
terdiri atas beberapa gram pepaya, pisang atau jenis buah
lainnya yang kira-kira beratnya sama atau kira-kira sepotong
kecil.
Masakan yang dihidangkan harus mengandung zat-zat gizi
yang diperlukan, baik dalam kualitas maupun dalam
kuantitasnya. Yang pertama harus diperhatikan adalah kuantum
bahan makanan pokok yang diperlukan. Pada balita, kebutuhan
diperkirakan berdasarkan umur. Untuk balita, makanan tersebut
berlainan dengan makanan orang dewasa, sehingga harus
dirancang tersendiri, terpisah dari rancangan makanan bagi
orang dewasa. Balita di Indonesia pada umumnya sudah makan
hidangan yang sama seperti yang dikonsumsi oleh orang dewasa,
kecuali dalam hal rasa makanan. Balita pada umumnya belum
menyukai makanan yang terlalu pedas atau mengandung rasa
keras. Jadi merancang kebutuhan bahan makanan pokok bagi
balita dapat disatukan dengan orang dewasa, dengan
memperhitungkan kebutuhan anak dan orang dewasa. Lauk pauk
sebaiknya dirancang ada yang berasal dari hewan (daging, ikan,
Page 17
telur) di samping yang berasal nabati (tahu, tempe, oncom).
Tempe dan tahu lebih baik nilai gizinya dibanding dengan
oncom. Besar dan jumlah potongannya harus diperkirakan cukup
bagi calon konsumen. Bila setiap kali makan (makan siang atau
makan malam) terdapat satu potong lauk hewani dan lauk nabati,
mungkin sudah memenuhi kebutuhan kuantumnya. Bila terpaksa
lauk hewani hanya satu potong saja, ketika makan malam, maka
tambahan lauk nabati dapat menggantikannya ketika makan siang.
Sayuran dapat diperkirakan jenisnya yang diperlukan, yaitu
harus beraneka bahan dan warna-warni. Bahan makanan sayur
tidak perlu yang mahal, tetapi sebaiknya dibuat dari daun-daun
berwarna hijau dan dikombinasikan dengan sayur buah dan
semakin berwarna-warni semakin baik. Sayur buah misalnya
wortel, labu, kacang panjang, tomat, bahkan cabe besar dan
hijau maupun yang merah, setelah bijinya dibuang atau tidak
bagi yang menyukai makanan pedas. Nangka muda juga dapat
dipergunakan dalam sayur campuran bahan ini. Hasil masakan
sayur dapat disediakan untuk masing-masing anggota satu
keluarga satu mangkok untuk makan siang dan satu mangkok lagi
untuk makan malam, maka perkiraan kuantum ini sudah dapat
memadai. Tentu isi mangkok tidak melulu penuh oleh airnya,
melainkan juga cukup mengandung bahan sayurnya. Sayur
berbentuk cah (digoreng dengan minyak) yang tidak banyak
berair, sangat dianjurkan, karena minyak diperlukan untuk
penyerapan vitamin-vitamin tertentu yang ada di dalam sayur
tersebut. Buah-buahan sebaiknya memilih yang tua dan matang,
dan sedang musimnya, agar harganya relatif murah. Buah yang
ada sepanjang tahun ialah pisang dan pepaya, sedang yang
musiman ialah jambu, rambutan, duku, mangga dan sebagainya.
Page 18
Kalau sedang musim, sebaiknya buah pencuci mulut itu dipilih
yang dagingnya berwarna. Buah durian misalnya dianggap cocok
untuk dijadikan pencuci mulut setelah makan nasi. Jumlah
berapa kali makan sehari juga perlu diperhatikan. Secara umum
kita makan tiga kali sehari yaitu: sarapan pagi, makan siang
dan makan malam. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis
pekerjaan seseorang. Menilai cukup tidaknya hidangan harus
dilakukan 24 jam, tetapi yang paling menentukan adalah
hidangan yang dikonsumsi sebagai makan siang dan makan malam,
yang biasanya merupakan hidangan paling lengkap, sedangkan
untuk sarapan pagi sering tidak merupakan hidangan lengkap dan
nasi tidak termasuk didalamnya.
Pola konsumsi makan yang baik adalah pola konsumsi yang
mempertimbangkan jumlah, jenis, dan jadwal pemberian makan
yang baik serta disesuaikan dengan ketercapaian kebutuhan gizi
dari tiap-tiap usia. Hal-hal tersebut harus dipenuhi, bukan
hanya mengutamakan salah satunya saja.
c. Hubungan Antara Pola Konsumsi dan Status Gizi
Pada dasarnya ditinjau dari pemenuhan kebutuhan gizi, pola
konsumsi ada yang menguntungkan dan ada yang kurang atau tidak
menguntungkan. Apabila yang terakhir ini terjadi pada golongan
rawan gizi, lebih-lebih pada penduduk ekonomi lemah, akan
berakibat lebih jelek. Mereka dapat menderita kurang makan dan
kurang gizi yang dapat menimbulkan gangguan fungsional, yaitu:
(1) menurunnya kecerdasan; (2) menurunnya produktivitas kerja;
(3) naiknya frekuensi terkena penyakit infeksi; (4)
meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Pola konsumsi
makanan berhubungan dengan status gizi dari seorang balita.
Page 19
Mengenai hubungan ini Jalal dan Soekirman (1990) mengatakan:
Penurunan angka prevalensi gizi salah pada anak balita dapat
dicapai dengan peningkatan status gizi dan kesehatan anak.
Gizi kurang pada anakanak disebabkan oleh tidak cukupnya
makanan tambahan dan penyakit infeksi yang keduanya dapat
berawal dari kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat
dengan sanitasi buruk. Infeksi dapat memperburuk keadaan gizi
sebaliknya gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk
mengatasi penyakit infeksi. Status gizi anak balita merupakan
salah satu indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan
kualitas hidup suatu masyarakat, dan juga memberikan
kesempatan intervensi sehingga akibat lebih buruk dapat
dicegah dan perencanaan lebih baik dapat dilakukan untuk
mencegah anakanak lain dari penderitaan yang sama.
Seperti diketahui bahwa faktor-faktor dalam pola kebiasaan
makan bersifat multidimensional. Kebiasaan makan dapat
dipelajari dan diukur menurut prinsipprinsip ilmu gizi melalui
pendidikan, latihan, dan penyuluhan, sejak manusia mulai
mengenal makanan untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Sri
Handajani (1994: 35-36), ”Pola kebiasaan makan balita, ibulah
yang banyak berperanan disamping anggota keluarga lainnya
serta masyarakat lingkungannya”.
4. Gizi balita
Status Kesehatan Anak Balita
Menurut King dan Burgess (1995) dalam Masithah (2002), gizi
kurang pada anak balita akan berpengaruh pada kurangnya energi
serta daya tahan dan imunitas terhadap infeksi. Rendahnya daya
tahan dan imunitas terhadap infeksi pada anak yang kurang gizi
Page 20
menyebabkan anak lebih mudah sakit. Pelletier et al. (1995)
menyimpulkan bahwa lebih dari setengah kematian bayi
disebabkan oleh kurang gizi yang berkaitan dengan penyakit
infeksi (Yoon et al. 1997). Anak balita biasanya memperoleh
berbagai infeksi, khususnya ketika usia 6 bulan hingga 3
tahun, diantaranya batuk dan pilek, malaria dan campak.
Infeksi menyebabkan kurang gizi karena mengurangi konsumsi
pangan sementara kebutuhan zat gizi tubuh meningkat. Anak
balita kurang gizi membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh
dari penyakitnya daripada anak yang bergizi normal (King &
Burgess 1995 dalam Masithah 2002). Anak balita yang kurang
gizi jauh lebih mudah terkena diare daripada anak yang lebih
besar atau orang dewasa. Hal ini disebabkan anak balita harus
menciptakan kekebalan terhadap bermacam-macam organisme pada
saat mereka juga sedang membutuhkan banyak bahan makanan untuk
pertumbuhan (Sukarni 1994). Anak-anak yang mengalami kurang
gizi akan menderita diare selama 3 hari, batuk selama 4 hari
dan demam selama 3 hari setiap bulan, sehingga dalam sebulan
anak akan sakit selama 10 hari. Kurang gizi pada anak balita
berhubungan dengan peningkatan 10-45 persen kejadian diare dan
30-35 persen lamanya diare (McGuire & Austin 1987 dalam
Masithah 2002).
Status Gizi Anak Balita
Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana
anak memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan
lingkungannya. Disamping itu, anak balita membutuhkan zat gizi
yang seimbang agar proses pertumbuhan tidak terhambat, karena
balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies 2004). Status gizi
Page 21
merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia
dan kualitas hidup. Riyadi (2001) mendefinisikan status gizi
sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang
yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion) dan
penggunaan (utilization) zat gizi. Pada dasarnya, status gizi
merupakan refleksi dari makanan yang dikonsumsi dan dimonitor
dari pertumbuhan fisik anak.
Anak balita merupakan salah satu kelompok penduduk yang rawan
terhadap kekurangan gizi makro, terutama Kurang Energi Protein
(KEP). Keadaan gizi kurang tingkat berat pada masa bayi dan
balita ditandai dengan dua macam sindrom yang jelas, yaitu
Kwashiorkor karena kurang konsumsi protein dan Marasmus karena
kurang konsumsi energi dan protein. Kwarsiorkor banyak dijumpai
pada bayi dan anak balita pada keluarga berpenghasilan rendah
dan umumnya kurang sekali pendidikannya, sedangkan Marasmus
banyak terjadi pada bayi dibawah usia satu tahun karena tidak
mendapatkan ASI atau penggantinya (Suhardjo 2003). Santoso dan
Lies (2004) mengungkapkan bahwa keadaan gizi kurang pada anak-
anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan
perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu,
kemampuan untuk belajar dan bekerja serta bersikap pada anak
yang kurang gizi akan lebih terbatas daripada anak yang
normal. Komponen penilaian status gizi, meliputi konsumsi
pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat
kesehatan, pemeriksaan antropometri, serta data psikososial.
Selanjutnya, Jahari (1995) dalam Briawan dan Herawati (2005)
menjelaskan bahwa antropometri erat kaitannya dengan status
gizi seseorang, terutama pada masa pertumbuhan. Selain itu,
antropometri paling sesuai digunakan di negara berkembang,
Page 22
seperti Indonesia, daripada pengukuran secara klinis dan
biokimia yang mahal dan sulit dilakukan. Antropometri secara
umum berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut
pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan
untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air
dalam tubuh (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Indeks
antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi,
antara lain berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB). Berat badan adalah salah satu parameter yang
memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan
merupakan indikator yang sangat labil. Massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya
karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, Bakri
& Fajar 2002). Dengan demikian, indeks BB/U menggambarkan
status gizi masa kini. Indeks ini dapat digunakan untuk
mendeteksi underweight dan overweight (Riyadi 2001).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi
badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur (Supariasa, Bakri
& Fajar 2002). Defisit TB/Umenunjukkan ketidakcukupan gizi dan
kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Stunting
merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai pertumbuhan
linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan/atau kesehatan
Page 23
yang subnormal. Dengan demikian, indeks TB/U menggambarkan
status gizi masa lalu (Riyadi 2001). Berat badan memiliki
hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan
normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks
BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi
saat ini dan biasanya digunakan bila data umur sulit diperoleh
(Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Istilah wasting secara luas
digunakan untuk menjelaskan proses yang mengarah pada
terjadinya kehilangan berat badan sebagai konsekuensi dari
kelaparan akut dan/atau penyakit berat (Riyadi 2001). Standar
pengukuran antropometri untuk menentukan status gizi bermacam-
macam, diantaranya Standar Tanner, Standar Boston atau
Harvard, dan Standar National Center for Health Statistics
(NCHS). World Health Organization (WHO) merekomendasikan menggunakan
standar NCHS karena pengumpulan data NCHS lebih menggambarkan
populasi yang sebenarnya (Husaini 1988 dalam Masithah 2002).
Terdapat dua cara penilaian dengan standar WHO-NCHS, yaitu
persen terhadap median dan z-skor. Keuntungan menggunakan z-
skor adalah hasil hitung telah dilakukan menurut simpangan
baku, sehingga lebih akurat dan dapat dibandingkan untuk
setiap kelompok umur dan indeks antropometri. WHO (1995)
membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat
didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang
ditemukan pada suatu wilayah survei.
5. 1000 hari kehidupan
Pemenuhan gizi yang optimal selama masa 1000 hari pertumbuhan, selain
memberi kesempatan bagi anak untuk hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih
Page 24
produktif, juga berisiko lebih rendah dari menderita penyakit degeneratif
(melemahnya fungsi sel tubuh menjadi lebih buruk akibat proses penuaan atau
perubahan gaya hidup) di usia dewasa. Antara lain, penyakit gula darah (diabetes
mellitus), stroke, jantung koroner, obesitas dan sebagainya.
Pada dasarnya, di 1000 hari awal kehidupan, pertumbuhan dan
perkembangan anak berlangsung secara cepat. Saat masih dalam
kandungan misalnya, janin bertumbuh dengan cepat hingga
mencapai berat badan 2,5-4,0 kg hingga menjelang dilahirkan.
Pada masa itu, dasar-dasar perkembangannya pun sudah
terbentuk. Cetak biru otaknya misalnya, sudah terbentuk pada 3
bulan pertama usia kehamilan.
MENGAPA 1000 HARI?
Rentang 1000 hari awal kehidupan yang harus menjadi perhatian
ini bukan tanpa alasan. Selama ini dipahami bahwa pertumbuhan
anak yang berlangsung secara cepat terjadi pada masa-masa
awal, yaitu tahun pertama dan kedua usia anak. Namun, dalam
kasus-kasus kekurangan gizi, justru fakta menunjukkan bahwa
penurunan status gizi terjadi pada periode ini.
Dilihat berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB), penurunan status gizi dimulai sekitar usia 3 bulan
hingga 15 bulan. Karenanya, jika intervensi peningkatan asupan
gizi dilakukan setelah anak berusia 2 tahun, maka intervensi
tersebut sangat tidak efektif. Mengapa? Karena kondisi anak
sebenarnya mulai memburuk jauh sebelum anak berusia 2 tahun
dan itu proses yang tidak dapat diulang (irreversible).
Namun, tidak berarti anak usia 2 tahun ke atas tidak
membutuhkan perhatian lagi, melainkan skala prioritasnya telah
terlewati. Sekali periode ini terlewati, maka tak dapat
diulangi lagi. Para ahli menyatakan periode usia anak di bawah
Page 25
2 tahun dikenal sebagai “periode emas” atau “Window of
Opportunity”. Dengan begitu, kalau ingin medapatkan generasi yang
sehat dan kuat, maka skala prioritas 1000 hari pertumbuhan
dimulai saat anak masih dalam kandungan hingga usia 2 tahun.
Kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berdampak pada
kualitas sumberdaya manusia. Anak yang kurang gizi akan tumbuh
lebih pendek (berat lahir rendah) dan berpengaruh terhadap
perkembangan kognitif (perkembangan kecerdasan anak sejalan
dengan perkembangan usianya), dan kemungkinan keberhasilan
pendidikan, serta menurunkan produktivitas pada usia dewasa.
Selain itu, gizi kurang/buruk merupakan penyebab dasar
kematian bayi dan anak.
Karenanya, yang harus disadari secara sungguh-sungguh adalah
jika terjadi kegagalan pertumbuhan (growth faltering) pada periode
emas ini, hal itu tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan
fisik anak, melainkan juga perkembangan kognitif dan
kecerdasan lainnya. Meski gangguan pertumbuhan fisik anak
masih dapat diperbaiki di kemudian hari dengan peningkapan
asupan gizi yang baik misalnya, namun tidak dengan
perkembangan kecerdasannya. Fakta-fakta ilmiah menunjukkan
bahwa kekurangan gizi yang dialami ibu hamil yang kemudian
berlanjut hingga anak berusia 2 tahun akan mengakibatkan
penurunan tingkat kecerdasan anak. Sayangnya, periode emas
inilah yang seringkali kurang menjadi perhatian keluarga, baik
karena kurangnya pengetahuan maupun luputnya skala prioritas
yang harus dipenuhi.
Untuk mendorong kesadaran dan wawasan masyarakat terkait
strategisnya “periode emas” ini, dalam rangka peringatan Hari
Gizi Nasional 2012, pemerintah memilih tema “1000 hari pertama
Page 26
kehidupan anak menuju Indonesia Prima”. Ini karena periode
1000 hari awal kehidupan anak merupakan masa kritis untuk
investasi gizi ke masa depan. Terutama dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Masa awal ini
sangat singkat, sehingga peluang bagi perbaikan gizi, dan pada
akhirnya pengembangan SDM, tidak boleh dilewatkan. Adapun
titik kritis yang harus diperhatikan dalam periode pertumbuhan
anak adalah:
Dalam kandungan (280 hari). Pastikan ibu memiliki status
gizi baik sebelum dan selama hamil, tidak mengalami
kurang gizi kronik dan anemia. Selama hamil ibu
mengonsumsi makanan bergizi sesuai kebutuhan. Porsi kecil
tapi sering jauh lebih baik. Memperbanyak konsumsi sayur
dan buah. Suplemen zat besi (Fe), asam folat, vitamin C
sangat dibutuhkan untuk menjaga ibu dari anemia.
Memeriksakan kehamilan secara rutin. Memasuki kehamilan
trimester ke-3, sebaiknya ibu dan suami sudah mendapatkan
informasi tentang menyusui (ASI).
Umur 0-6 bulan (180 hari). Bayi baru lahir harus
mendapatkan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Dukung Ibu agar
memberi ASI Eksklusif dan memantau pertumbuhan secara
teratur. Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang
paling tinggi, bila dinyatakan dalam satuan berat badan,
karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan yang
sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan
utama bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu). ASI merupakan
makanan yang paling ideal bagi bayi karena mengandung
semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Selain itu, tidak
ada susu buatan manusia yang dapat memberikan
Page 27
perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum
(Krisnatuti & Yenrina 2000).
Titiek dan Budiarso (1998) dalam Purwandani (2005)
menerangkan bahwa pola pemberian ASI yang dianjurkan,
yaitu pemberian ASI segera setengah jam setelah bayi
lahir, kemudian pemberian ASI saja sampai bayi berumur 4-
6 bulan (ASI eksklusif). Pemberian ASI dilanjutkan dengan
frekuensi sesuai dengan kehendak bayi hingga berumur
sekitar dua tahun (Suhardjo 1989). Pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) pada anak juga harus benar.
Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2000), pemberian makanan
pada bayi terlalu dini akan menimbulkan gangguan
kesehatan, seperti sakit perut, diare, sembelit, infeksi,
kurang darah, alergi, dan sulit tidur pada malam hari.
Sebaliknya, pemberian makanan yang terlambat akan
menghambat pertumbuhan bayi. Bayi berumur 4-6 bulan telah
siap menerima makanan setengah padat, yang disebut dengan
masa penyapihan. Penyapihan berarti suatu proses dimana
bayi secara perlahan-lahan dibiasakan dengan makanan
orang dewasa. Malnutrisi sering terjadi pada masa ini
karena banyak keluarga yang tidak mengerti kebutuhan
khusus bayi dan cara membuat MP-ASI yang bergizi. MP-ASI
sebaiknya mengandung energi dan protein tinggi, vitamin
dan mineral dalam jumlah yang cukup, dapat diterima
dengan baik, harganya relatif murah, serta dapat
diproduksi dari bahan pangan lokal (Muchtadi 2002). Bayi
berumur 4-6 bulan telah siap menerima makanan setengah
padat, yang disebut dengan masa penyapihan. Penyapihan
berarti suatu proses dimana bayi secara perlahan-lahan
Page 28
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Malnutrisi sering
terjadi pada masa ini karena banyak keluarga yang tidak
mengerti kebutuhan khusus bayi dan cara membuat MP-ASI
yang bergizi. MP-ASI sebaiknya mengandung energi dan
protein tinggi, vitamin dan mineral dalam jumlah yang
cukup, dapat diterima dengan baik, harganya relatif
murah, serta dapat diproduksi dari bahan pangan lokal
(Muchtadi 2002).
Sejak dilahirkan dan dilanjutkan hingga beberapa tahun,
makanan anak-anak tergantung pada orang lain, terutama
keluarga. Kondisi lingkungan keluarga akan menentukan
kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap jenis
makanan tertentu. Menurut Anwar (1989), makanan yang
dikonsumsi anak-anak harus berupa sumber yang baik dan
sekurang-kurangnya mengandung lima macam zat gizi utama
dalam jumlah yang cukup. Penyelenggaraan makan untuk
anak, yaitu dalam hal keindahan dan variasi hidangan,
juga perlu diperhatikan agar tampak menarik bagi anak.
Selain itu, orangtua seharusnya memberikan pujian ketika
anak berhasil menghabiskan makanannya. Anak-anak usia
prasekolah sering mengalami fase sulit makan. Penyediaan
makanan dalam jumlah yang cukup dan beraneka ragam
jenisnya belum menjamin akan dikonsumsi oleh anak.
Penurunan nafsu makan anak disebabkan oleh penurunan
tingkat pertumbuhan dan sebagian anak sudah mengembangkan
jenis makanan yang disukai dan tidak disukai. Jika
masalah makan ini berkepanjangan maka dapat mengganggu
tumbuh kembang anak, karena jumlah dan jenis zat gizi
yang masuk ke dalam tubuhnya berkurang (Khomsan 2004).
Page 29
Konsumsi pangan anak dapat dipengaruhi oleh orang dewasa
dalam keluarga. Menurut Engle, Menon dan Haddad (1997),
praktek pengasuhan makan terdiri dari pemberian makan
yang sesuai umur dan kemampuan anak, kepekaan ibu atau
pengasuh mengetahui waktu makan anak dan menumbuhkan
nafsu makan anak, serta menciptakan situasi makan yang
baik, seperti memberi rasa nyaman saat makan. Hasil
penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa perilaku ibu
yang benar selama memberi makan akan meningkatkan
konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan
status gizi anak.
Umur 6-8 bulan (60 hari), Umur 8-12 bulan (120 hari) dan
Umur 12-24 bulan (360 hari). Pastikan ibu mengetahui
jenis dan bentuk makanan, serta frekuensi pemberian
makanan yang tepat. Ibu harus tahu transisi pemberian
makanan mulai dari makanan cair atau lumat (6-8 bulan),
lembek dan lunak/semi padat (8-12 bulan) dan padat (12-24
bulan). Dukung ibu untuk terus memberi ASI Eksklusif,
mengolah dan memilih makanan yang bernilai gizi tinggi.
Memantau pertumbuhan dan memeriksa kesehatan anak secara
teratur. **