Kaizen (改改 ? ) merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang bermakna "perbaikan berkesinambungan". [1] Filsafat kaizen berpandangan bahwa hidup kita hendaknya fokus pada upaya perbaikan terus-menerus. [1] Pada penerapannya dalam perusahaan, kaizen mencakup pengertian perbaikan berkesinambungan yang melibatkan seluruh pekerjanya, darimanajemen tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah. [2] Siklus PDCA yang Menjadi Salah Satu Kunci Keberhasilan Kaizen Daftar isi [sembunyikan ] 1 Konsep o 1.1 Kaizen & Manajemen o 1.2 Komitmen Kualitas o 1.3 Orientasi Proses o 1.4 PDCA/SDCA o 1.5 Berbicara dengan Data o 1.6 Proses adalah Konsumen 2 Sasaran 3 Rujukan Konsep[sunting | sunting sumber ] Kaizen & Manajemen[sunting | sunting sumber ] Dalam kaizen manajemen memiliki dua fungsi utama [3] : Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan teknologi , sistem manajemen, dan standar operasional yang ada sekaligus menjaga standar tersebut melalui pelatihan serta disiplin dengan tujuan agar semua karyawan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kaizen (改善?) merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang bermakna "perbaikan
berkesinambungan".[1] Filsafat kaizen berpandangan bahwa hidup kita hendaknya fokus pada upaya
perbaikan terus-menerus.[1] Pada penerapannya dalam perusahaan, kaizen mencakup pengertian
perbaikan berkesinambungan yang melibatkan seluruh pekerjanya, darimanajemen tingkat atas
sampai manajemen tingkat bawah.[2]
Siklus PDCA yang Menjadi Salah Satu Kunci Keberhasilan Kaizen
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Konsep
o 1.1 Kaizen & Manajemen
o 1.2 Komitmen Kualitas
o 1.3 Orientasi Proses
o 1.4 PDCA/SDCA
o 1.5 Berbicara dengan Data
o 1.6 Proses adalah Konsumen
2 Sasaran
3 Rujukan
Konsep[sunting | sunting sumber]
Kaizen & Manajemen[sunting | sunting sumber]
Dalam kaizen manajemen memiliki dua fungsi utama[3] :
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan teknologi, sistem manajemen, dan standar operasional yang ada
sekaligus menjaga standar tersebut melalui pelatihan serta disiplin dengan tujuan agar
semua karyawan dapat mematuhi prosedur pengoperasian standar (Standard Operating
Kegiatan yang diarahkan pada meningkatkan standar yang ada.[3]
Kedua fungsi ini disimpulkan sebagai Pemeliharaan dan Perbaikan Standar. Perbaikan ini
sendiri dapat terbagi menjadi kaizen dan inovasi.[3] Kaizen bersifat perbaikan kecil yang
berlangsung oleh upaya berkesinambungan, sedangkan inovasi merupakan perbaikan
drastis sebagai hasil dari investasi sumber daya berjumlah besar dalam teknologi atau
peralatan.[3] Kaizen menekankan pada upaya manusia, moral, komunikasi, pelatihan, kerja
sama, pemberdayaan dan disiplin diri, yang merupakan pendekatan peningkatan
berdasarkan akal sehat, berbiaya rendah.[3]
Komitmen Kualitas[sunting | sunting sumber]
Sasaran akhir kaizen adalah tercapainya Kualitas, Biaya, Distribusi (Quality, Cost,
Delivery -- QCD), sehingga pada praktiknya kaizen menempatkan kualitas pada prioritas
tertinggi.[3] Kaizen mengajarkan bahwa perusahaan tidak akan mampu bersaing jika kualitas
produk dan pelayanannya tidak memadai, sehingga komitmen manajemen terhadap
kualitas sangat dijunjung tinggi.[2] Kualitas yang dimaksud dalam QCD bukan sekedar
kualitas produk melainkan termasuk kualitas proses yang ditempuh dalam menghasilkan
produknya.[2]
Orientasi Proses[sunting | sunting sumber]
Kaizen menekankan bahwa tahap pemrosesan dalam perusahaan harus disempurnakan
agar hasil dapat meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat ini
mengutamakan proses.[3] Dalam kaizen dipercaya bahwa proses yang baik akan
memberikan hasil yang baik pula.[4]
PDCA/SDCA[sunting | sunting sumber]
Salah satu langkah awal penerapan kaizen adalah menjalankan siklus Plan-Do-Check-
Act (PDCA) untuk menjamin terlaksananya kesinambungan kaizen.[3] Siklus ini terdiri atas :
Rencana (plan)
Penetapan target untuk perbaikan dan perumusan rencana tindakan guna mencapai target
tersebut.[1]
Lakukan (do)
Pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat.[1]
Periksa (check)
Kegiatan pemeriksaan segala prosedur yang telah dijalankan guna memastikannya agar
tetap berjalan sesuai rencana sekaligus memantau kemajuan yang telah ditempuh.[1]
Tindak (act)
Menindaklanjuti ketiga langkah yang ditempuh sekaligus memutuskankan prosedur baru
guna menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru
bagi perbaikan berikutnya.[1]
Siklus PDCA berputar secara terus menerus dengan diselingi oleh
siklus Standarize-Do-Check-Act (SDCA) di antaranya.[3] Dalam langkah
Standar (Standarize) pada siklus ini, segala prosedur baru yang telah
diputuskan pada langkah Tindak (Act) dalam siklus PDCA sebelumnya
disahkan menjadi pedoman yang wajib dipenuhi. SDCA fokus pada
kegiatan pemeliharaan, sedangkan PDCA lebih mengacu pada perbaikan.[5]
Berbicara dengan Data[sunting | sunting sumber]
Masalah yang terjadi baru dapat ditemukan pemecahannya dengan
mengumpulkan dan mengobservasi berbagai data yang berkaitan dengan
masalah tersebut.[3] Tanpa adanya data yang terintegrasi dan relevan,
manajemen tidak dapat menemukan solusi yang paling efektif.[6]
Proses adalah Konsumen[sunting | sunting sumber]
Terdapat dua macam konsumen dalam kaizen[1]:
Konsumen internal
Konsumen yang berada di perusahaan.[1] Yang dianggap sebagai konsumen internal adalah
proses, sehingga proses harus diperhatikan dan diperlakukan layaknya konsumen secara
nyata.[1]
Konsumen eksternal
Konsumen yang berada di pasar, baik individu maupun organisasi
KAIZEN adalah sebuah sistem perbaikan terus menerus pada kualitas, teknologi, proses,
budaya perusahaan, produktifitas, keamanan, dan kepemimpinan. Kata kaizen itu
sendiri berasal dari bahasa Jepang yang artinya “continuous improvement”. Dalam
sistem ini, semua pegawai terlibat, dari manajemen tingkat atas sampai OB. Sistem ini
mendorong semua orang untuk memberikan masukan secara berkala, tidak terbatas
sekali dalam periode waktu tertentu, tapi terus menerus, seperti yang telah diterapkan
oleh perusahaan besar seperti Toyota dan Canon. Filosofi yang indah terdapat pada
Kaizen :
“do it better, make it better, improve it even if it isn’t broken, because if we
don’t, we can’t compete with those who do.”
Kaizen merupakan sebuah proses yang, jika dilakukan dengan benar, akan
memanusiakan tempat kerja, menghilangkan tekanan kerja keras, dan mengajarkan
orang bagaimana melakukan eksperimen pada pekerjaan mereka dengan
menggunakan metode ilmiah dan cara belajar untuk menemukan dan menghilangkan
pemborosan dalam proses bisnis. Lalu seperti apakah Kaizen tersebut? Kurang lebih
seperti ini:
Pendahuluan
Suatu kali, sebuah harian di Tokyo memuat berita mengenai serombongan manajer Amerika yang ingin bekerja pada perusahaan Jepang. Kata harian itu, para pemimpin perusahaan Amerika tersebut mau bekerja tanpa dibayar, asal dapat mempelajari seni manajemen gaya Jepang.
Di AS orang memang sedang keranjingan dengan manajemen Jepang. Di Eropa Barat orang juga menaruh minat, mengapa ekonomi Jepang tetap kuat menghadapi krisis minyak bumi dan resesi dunia. Mengapa sementara di kebanyakan negara industri Barat produktifitas merosot dan inflasi melonjak, di Jepang inflasi berhasil ditekan rendah, dan produktifitas bahkan meningkat.
Tambahan pula: mengapa barang-barang ekspor Jepang makin kuat daya saingnya di pasaran internasional? Mengapa misalnya Jepang dapat menggeser Inggris sebagai penghasil utama sepeda motor, dapat mengalahkan Jerman Barat dalam produksi mobil dan kamera, dapat melampaui industri jam Swiss yang terkenal, dan dapat menyaingi komputer AS?
Tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut terjadi karena faktor tertentu yang dimiliki oleh bangsa Jepang itu sendiri. Makalah ini akan menguraikan faktor filsafat Jepang, yaitu Kaizen, yang sangat berkontribusi membangun sumber daya manusia mereka dalam bersaing di kancah global.
b. Filsafat Kaizen
Dalam bahasa Jepang, kaizen berarti perbaikan berkesinambungan. Istilah ini mencakup pengertian perbaikan yang melibatkan semua orang –baik manajer dan karyawan—dan melibatkan biaya dalam jumlah yak seberapa. Filsafatkaizen berpandangan bahwa cara hidup kita—apakah itu kehidupan kerja atau kehidupan sosial maupun kehidupan rumah tangga—hendaknya berfokus pada upaya terus menerus. Konsep ini dirasakan begitu alamiah dan dipahami benar oleh banyak orang Jepang, bahkan sampai mereka tak menyadari bahwa mereka memilikinya.
Meski perbaikan dalam kaizen bersifat kecil dan berangsur, namun proseskaizen mampu membawa hasil yang dramatis mengikuti waktu. Konsep kaizenmenjelaskan mengapa perusahaan tak dapat tetap statis untuk jangka waktu lama di Jepang. Manajemen Barat, di sisi lain, memuja inovasi: perubahan besar-besaran melalui terobosan teknologi; konsep manajemen atau teknik produksi mutakhir. Inovasi memang dramatis, punya daya tarik istimewa yang besar.
Kaizen, sebaliknya, seringkali tidak dramatis bahkan biasa-biasa saja. Namun inovasi merupakan upaya sekali tembak, dan hasilnya seringkali membawa dampak sampingan masalah; sedangkan proses kaizen diterapkan berdasarkan akal sehat dan berbiaya rendah, menjamin kemajuan berangsur yang memberikan imbalan hasil jangka panjang. Kaizen adalah juga pendekatan dengan resiko rendah. Manajer akan selalu bisa kembali ke cara lama tanpa melibatkan biaya yang tinggi.
c. Konsep utama kaizen
Manajemen harus belajar untuk menerapkan konsep dan sistem yang mendasar tertentu dalam rangka mewujudkan strategi kaizen:
· Kaizen dan manajemen· Proses versus hasil· Siklus PDCA/SDCA
· Mengutamakan kualitas· Berbicara dengan data· Proses berikut adalah konsumen
Pada saat memperkenalkan kaizen, manajemen puncak harus menggariskan kebijakan ini secara jelas dan teliti. Mereka kemudian harus pula menetapkan jadwal penerapan dan menampilkan kepemimpinan dengan mempraktekkan proses kaizen di antara mereka.
1. Kaizen dan manajemen
Dalam konteks kaizen, manajemen memiliki dua fungsi utama: pemeliharaan dan perbaikan. Pemeliharaan berkaitan dengan kegiatan untuk memelihara teknologi, sistem manajerial, standar operasional yang ada, dan menjaga standar tersebut melalui pelatihan serta disiplin. Di bawah fungsi pemeliharaan ini, manajemen mengerjakan tugas-tugasnya sehingga semua orang dapat mematuhi prosedur pengoperasian standar (standard operating procedure- SOP). Perbaikan, pada sisi lain, berkaitan dengan kegiatan yang diarahkan pada meningkatkan standar yang ada. Pandangan manajemen Jepang terhadap manajemen dalam hal ini dapay disimpulkan secara singkat sebagai Pemeliharaan dan Perbaikan Standar.
Perbaikan dapat dibedakan sebagai kaizen atau inovasi. Kaizen bersifat perbaikan kecil yang berlangsung oleh upaya berkesinambungan. Sedang inovasi merupakan perbaikan drastis sebagai hasil dari investasi sumber daya berjumlah besar dalam teknologi atau peralatan (di saat dana menjadi faktor kunci, inovasi memang mahal). Karena minatnya terhadap inovasi, para manajer Barat cenderung untuk kurang sabar serta mengabaikan manfaat jangka panjang yang dapat dihasilkan melalui kaizen bagi perusahaan. Kaizen, di sisi lain, menekankan upaya manusia, moral, komunikasi, pelatihan, kerja sama, pemberdayaan dan disiplin diri, yang merupakan pendekatan peningkatan berdasarkan akal sehat, berbiaya rendah.
2. Proses versus hasil
Kaizen menekankan pola pikir berorientasi proses, karena proses harus disempurnakan agar hasil dapat meningkat. Kegagalan mencapai hasil yang direncanakan merupakan cermin dari kegagalan proses. Menejemen harus menemukenali dan memperbaiki kesalahan pada proses
tersebut. Kaizenberfokus pada upaya manusia—suatu orientasi yang sangat berbeda dengan orientasi hasil yang diterapkan di Barat.
Pendekatan berorientasi proses harus pula diterapkan dalam pencanangan berbagai strategi kaizen: siklus PDCA (plan-do-check-act); siklus SDCA (standardize-do-check-act), QDC (quality-cost-delivery), TQM (total productive maintenance), JIT (just in time). Strategi kaizen telah gagal diterapkan di banyak perusahaan justru karena mereka mengabaikan proses. Elemen yang paling penting dalam menerapkan kaizen adalah komitmen dan keterlibatan penuh dari manajemen puncak. Strategi kaizen harus didemonstrasikan secara terbuka, konsisten, dan langsung guna menjamin keberhasila proses kaizen.
3. Siklus PDCA dan SDCA
Langkah pertama dari kaizen adalah menerapkan siklu PDCA (plan-do-check-act) sebagai sarana yang menjamin terlaksananya kesinambungan dari kaizenguna mewujudkan kebijakan untuk memelihara dan memperbaiki/meningkatkan standar. Siklus ini merupakan konsep yang terpenting dari proses kaizen.
Rencana (plan) berkaitan dengan penetapan target untuk perbaikan (karenakaizen adalah cara hidup, maka haruslah selalu ada target perbaikan untuk semua bidang), dan permumusan rencana tindakan guna mencapai rencana tersebut. Lakukan (do) berkaitan dengan penerapan dari rencana tersebut. Periksa (check) merujuk pada penetapan apakah penerapan tersebut berada dalam jalur yang benar sesuai rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Tindak (act) berkaitan dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya. Siklus PDCA berputar secara berkesinambungan, segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan perbaikan tersebut guna menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran bagi bagi perbaikan berikutnya.
Siklus PDCA berputar secara berkesinambungan, segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan perbaikan tersebut dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya. Karena karyawan umumnya lebih suka dengan kemapanan (status quo) dan mereka jarang memiliki prakarsa sendiri untuk meningkatkan keadaan, manajemen harus secara terus menerus merumuskan sasaran dan target perbaikan yang memberikan tantangan.
Pada awalnya, setiap proses kerja baru belum cukup stabil. Sebelum kita mengerjakan siklus PDCA berikutnya, proses tersebut harus distabilkan melalui siklus SDCA. Setiap kali ketidakwajaran timbul dalam suatu proses, pertanyaan-pertanyaan berikut hendaknya diajukan sebagai bahan koreksi: Apakah hal itu terjadi karena kita tidak memiliki standar? Apakah hal itu terjadi karena standar tidak dipatuhi? Atau apakah hal itu terjadi karena standar yang ada tidak cukup rinci atau kurang memadai? Hanya setelah standar ditetapkan dan dipatuhi serta membawa kestabilan pada prose, kita boleh beralih ke PDCA berikutnya.
Jadi SDCA menerapkan standarisasi guna mencapai kestabilan proses, sedangkan PDCA menerapkan perubahan guna meningkatkannya. SDCA berkaitan dengan fungsi pemeliharaan, sedang PDCA merujuk pada fungsi perbaikan; dua hal inilah yang menjadi dua tanggung ajwab utama manajemen.
4. Mengutamakan kualitas
Tujuan utama dari kualitas, biaya, dan penyerahan (QCD) adalah menempatkan kualitas pada prioritas tertinggi. Tidak jadi soal bagaimana menariknya harga dan penyerahan yang ditawarkan pada konsumen, perusahaan tidak akan mampu bersaing jika kualitas produk dan pelayanannya tidak memadai. Praktek mengutamakan kualitas membutuhkan komitmen manajemen karena manajer seringkali berhadapan dengan berbagai godaan untuk membuat kompromi berkenaan persyaratan penyerahan atau pemotongan biaya. Dalam hal ini, mereka mengambil resiko mengorbankan tidak hanya kualitas, tetapi juga kehidupan bisnisnya.
5. Berbicara dengan data
Kaizen adalah proses pemecahan masalah. Agar suatu masalah dapat dipahami secara benar dan dipecahkan, masalah itu harus ditemukenali untuk kemudian secara benar data yang relevan dikumpulkan serta ditelaah. Mencoba menyelesaikan masalah tanpa data adalah pemecahan masalah berdasarkan selera dan perasaan—suatu pendekatan yang tidak ilmiah dan tidak objektif. Mengumpulkan data tentang keadaan saat ini membantu memahami kea rah mana fokus harus diarahkan; hal ini menjadi langkah awal dalam upaya perbaikan.
6. Proses berikut adalah konsumen
Semua pekerjaan pada dasarnya terselenggara melalui serangkaian proses, dan masing-masing proses memiliki pemasok maupun konsumen. Suatu material atau butiran informasi disediakan oleh proses A (pemasok) kemudian dikerjakan dan diberi nilai tambah dip roses B untuk selanjutnya diserahkan ke proses C (konsumen). Proses berikut harus selalu diperlakukan sebagai konsumen. Aksioma ini, proses berikut adalah konsumen, merujuk pada dua macam konsumen: konsumen internal (proses yang masih berada dalam perusahan yang sama) dan pelanggan eksternal (yang ada di pasar).
Kebanyakan orang dalam bekerja selalu berhubungan dengan konsumen internal. Kenyataan ini hendaknya dipakai sebagai dasar komitmen untuk tak pernah meneruskan produk cacat ataupun butir informasi yang salah kepada proses berikutnya. Bila semua orang di dalam perusahaan mempraktekkan aksioma ini, konsumen yang sesungguhnya—konsumen eksternal di pasar—dapat dipastikan akan menerima produk atau jasa layanan berkualitas tinggi sebagai akibatnya. Sistem jaminan kualitas yang sejati berarti bahwa semua orang di dalam organisasi terdaftar sebagai penganut dan mempraktekkan aksioma ini.
d. Sistem utama kaizenBerikut ini adalah sistem utama yang harus mendapat posisi penting guna mencapai sukses strategi kaizen:
· Total Quality Control/Total Quality Management (TQC/TQM)· Sistem produksi just-in-time (sistem produksi Toyota)· Total Productive Maintenance· Penjabaran kebijakan perusahaan (policy deployment)· Sistem saran (suggestion system)· Kegiatan kelompok kecil (small-group activities)
1. total quality control /total quality managementsalah satu prinsip dari manajemen Jepang adalah total quality control (TQC) yang pada awal pertumbuhannya menekankan pengendalian pada proses untuk mencapai kualitas. Prinsip ini telah berevolusi menjadi sistem yang mencakup semua aspek manajemen dan sekarang dirujuk dengan istilah total quality management (TQM), istilah yang lebih dikenal secara internasional.
Gerakan TQC/TQM sebagai bagian dari kaizen dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang pendekatan manajemen Jepang. TQC/TQM ala Jepang dikembangkan sebagai strategi tang membantu manajemen agar menjadi makin mampu bersaing dan mendapatkan keuntungan dengan perbaikan di semua aspek bisnis yang dihadapinya. Dalam TQC/TQM, Q yang berarti mutu/kualitas (quality) memang memiliki prioritas tinggi, namun di samping kualitas terdapat sasaran lain pula, yaitu biaya (cost) dan batas waktu penyerahan (delivery).
Huruf T pada TQC/TQM menekankan total, berarti melibatkan semua orang dalam organisasi, dari manajemen madya, supervisor, dan para pekerja langsung. Lebih lanjut pengertiannya diperluas ke arah pemasok, agen penjualan, dan penjual. Huruf T ini juga mengacu pada kepemimpinan dan kinerja manajemen puncak (top management), suatu faktor yang sangat esensial untuk penerapan TQC/TQM yang berhasil.
Huruf C merujuk pada pengendalian (control) atau pengendalian proses. Dalam TQC/TQM, proses kunci harus ditemukenali, dikendalikan, dan diperbaiki secara berkesinambungan agar hasilnya meningkat. Peran manajemen dalam TQC/TQM adalah menetapkan rencana untuk memeriksa proses dan membandingkan hasilnya guna memperbaiki proses tersebut, dan bukan mengecam proses berdasarkan hasil yang dicapai.
2. Sistem produksi just-in-timeLahir di Toyota Motor Company di bawah kepemimpinan Taiichi Ohno, sistem produksi just-in-time (JIT) bertujuan menghapuskan segala jenis kegiatan tak bernilai tambah dan mencapai sistem produksi yang ramping dan luwes dalam menampung fluktuasi dari permintaan dan pesanan konsumen. Sistem produksi ini didukung oleh konsep seperti pacu kerja (takt time—waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit secara harmonis) di atas siklus kerja (cycle time), aliran proses satu unit (one-piece flow), sistem produksi tarik (pull production),jidohka (otonomisasi), tata letak sel produksi berbentuk U, dan pengurangan waktu set-up.
Untuk mewujudkan gagasan ideal sistem produksi just-in-time, serangkaian kegiatan kaizen harus diterapkan secara terus menerus guna menghapuskan berbagai kegiatan tak bernilai tambah. JIT secara dramatis akan mengurangi biaya, menyelesaikan produk pada saat yang tepat dan secara mencolok dapat memperbesar tingkat keuntungan perusahaan.
3. Total productive maintenance
Sekarang semakin banyak perusahaan manufaktur menerapkan total productive maintenance (TPM) di dalam maupun di luar Jepang. TQM, seperti kita pahami, menekankan peningkatan kualitas peralatan, TPM bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi peralatan melalui sistem terpadu untuk pemeliharaan preventif (penjagaan) guna memperpanjang usia hidup peralatan. Seperti halnya TQM yang melibatkan semua orang di dalam perusahaan, TPM juga melibatkan semua orang di dalam perusahaan.
4. Penjabaran kebijakan perusahaanMeskipun strategi kaizen ditujukan pada kegiatan menciptakan perbaikan, dampaknya akan menjadi terbatas bila semua orang bergiat hanya demi kaizensemata, tanpa suatu tujuan yang lebih nyata. Manajemen harus menetapkan sasaran yang jelas guna memandu semua orang dan memastikan bahwa semua kepemimpinan dan kegiatan kaizen diarahkan guna mencapai tujuan tersebut.Kaizen yang sejati dalam pelaksanaan dan penerapannya membutuhkan pemantauan yang ketat dan terinci.
Pertama-tama, manajemen puncak harus menetapkan strategi jangka panjang, yang dijabarkan menjadi strategi jangka menengah dan tahunan. Manajemen puncak juga harus memiliki rencana untuk menjabarkan dan mewujudkan strategi itu, diturunkan melalui jenjang organisasi sampai mencapai tingkat operasional tenaga kerja di tempat kerja. Dengan terjabarnya strategi ke tingkat yang makin bawah, rencana ini akan memuat banyak rencana tindakan maupun menyeluruh tentang “Kita harus menurunkan biaya sebesar 10 persen agar mampu bersaing” dapat diterjemahkan menjadi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan meningkatkan produktifitas, mengurangi persediaan, dan mengurangi cacat produksi, serta memperbaik tata letak jalur produksi.
Kaizen tanpa target seperti suatu perjalanan tanpa tujuan. Kaizen sangat efektif ketika setiap orang bekerja untuk mencapai target, dan manajemen harus menentukan target.
5. Sistem saranSistem satan berfungsi sebagai bagian terpadu dari kaizen secara perorangan dan menekankan peningkatan moral serta memperbedar manfaat positif dari partisipasi karyawan. Manajer Jepang memandang peran utama sari sistem saran sebagai saranan menumbuhkan minat terhadap kaizen, yaitu dengan memberdayakan karyawan mereka dalam mengajukan saran, betatapun kecil arti saran tersebut. Karyawan Jepang umumnya didorong untuk mendiskusikan saran mereka dengan atasannya
dan langsung menerapkannya, bahkan sebelum mereka mencatatnya dalam formulir saran. Mereka tidak mengharapkan keuntungan ekonomi yang besar dari setiap saran diajukannya. Membudayakan pola pikir kaizen dan disiplin diri. Pandangan ini berlawanan tajam dengan pandangan manajemen Barat yang menekankan keuntungan ekonomis serta intensif berupa uang pada sistem saran.
6. Kegiatan kelompok kecilStrategi kaizen mencakup pula kegiatan kelompok kecil—informal, sukarela, kelompok antarunit dalam perusahaan yang diorganisir untuk melakukan tugas spesifik dalam lingkungan gugus tugas. Jenis yang paling terkenal adalah gugus kendali mutu. Dirancang tidak hanya menangangi masalah kualitas, namun juga masalah biaya, keselamatan kerja, dan produktifitas, gugus kendali mutu dapat dianggap sebagai kegiatan kaizen secara berkelompok. Gugus kendali mutu telah memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas produk dan produktifitas di Jepang. Namun peran mereka seringkali telah dibesar-besarkan di luar proporsinya oleh para pengamat luar, yang begitu yakin bahwa gugus ini merupakan tulang punggung kegiatan kualitas di Jepang. Bukan itu. Manajemenlah yang menjadi tulang punggung, mereka mengembangkan kepemimpinan dalam mewujudkan kualitas, dengan kegiatannya yang masih jarang dibicarakan para pengamat luar, seperti: membangun sistem jaminan kualitas, membekali karyawan dengan pelatihan, menetapkan dan menjabarkan kebijakan dan membangun sistem silang fungsi (crossfunctional) dalam memperbaiki manajemen QCD (quality, cost delivery atau kualitasnya, biaya dan penyerahan). Gugus manajemen telah memainkan peran yang mungkin tak tampak, namun sangat vital dalam mendukung kegiatan tersebut.
e. Sasaran akhir dari strategi kaizenKarena kaizen berkaitan dengan perbaikan, kita harus memahami aspek bisnis apa yang paling penting untuk diperbaiki. Dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah kualitas, biaya, dan penyerahan (quality, cost, delivery-QCD). Kualitas tidak hanya berkaitan dengan kualitas produk jadi atau jasa layanan, namun juga kualitas dari proses yang menghasilkan produk maupun jasa layanan tersebut.Biaya (C) berkaitan dengan biaya keseluruhan, sejak dari merancang, memproduksi, menjual, dan memelihara produk atau jasa layanan tersebut.Penyerahan (D) adalah menyerahkan produk atau jasa pelayanan secara tepat jumlah dan tepat waktu. Bila tiga kondisi yang dirumuskan dalam QCD itu terpenuhi, maka konsumen terpuaskan.
Kegiatan QCD merupakan jembatan antar fungsi atau antar departemen dalam organisasi, seperti: litbang, rekayasa teknik, produksi, dan pemeliharaan pasca penjualan. Oleh karena itu, kerja sama silang fungsi sangat penting, seperti juga kerja sama dengan pemasok atau dengan agen penjualan. Manajemen puncak bertanggung jawab untuk melakukan penilaian terhadap posisi QCD perusahaan, yang tercermin di pasar setiap saat. Mereka juga harus menetapkan prioritas dari perbaikan QCD dalam kebijakannya.
f. Penutup dan kesimpulan
Inti kaizen sederhana sekali dan langsung pada sasaran. Kaizen berrati penyempurnaan. Di samping itu kaizen berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan setiap orang baik manajer maupun karyawan. Filsafat kaizen menganggap bahwa hidup kita—baik cara kerja, kehidupan sosial, maupun kehidupan rumah tangga—perlu disempurnakan setiap saat.
Implikasi dari kaizen tersebut juga adalah membantu perusahaan Jepang menerapkan cara berpikir yang berorientasi kepada proses dan mengembangkan strategi yang menjamin penyempurnaan berkesinambungan, melibatkan unsur manusia dari segala tingkata dalam hierarki organisasi. Pesan dari strategi kaizen adalah bahwa tidak satu hari pun boleh berlalu tanpa sesuatu tindakan penyempurnaan dalam perusahaan.
Seorang ahli dari Lembaga Riset Nomura Tokyo, Dr Satoshi Kuribayashi, menyimpulkan sebagai berikut:
1. Manajemen Jepang memperlakukan orang sebagai anggota dari organisasi, bukan sebagai karyawan
2. Sebagai pedoman operasi digunakan “nilai-nilai bersama”, bukan prosedur mendetil dan pengawasan ketat.
3. Pendekatan terhadap strategi perusahaan adalah “berpikir besar”.4. Manajer Jepang adalah pendengar yang baik.
Setelah melihat sebab-sebab tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: apakah manajemen gaya Jepang ini dapat diterapkan di Indonesia? Apa prasayarat yang harus dipenuhi? Dr Satoshi Kuribayashi berpendapat,
Indonesia hendaknya tidak menjiplak begitu saja manajemen Jepang, melainkan memilih unsur-unsurnya yang dapat diterapkan.
Manajemen Jepang bukanlah jaminan, bahwa akan merupakan bentuk menejemen terbaik bagi Indonesia. Lebih baik jika Indonesia mengembangkan sendiri suatu bentuk manajemen Indonesia. Satu hal yang kemungkinan besar yang dapat diterapkan di Indonesia adalah sistem quality control delivery(QCD) berasal dari Barat, dan dalam bentuk aslinya disebut Statistical Quality Control. Ini adalah suatu cara mengawasi kualitas melalui teknik statistik ruwet, yang biasanya hanya dikerjakan oleh mereka yang ahli saja.
Namun, ketika konsep QCD ini diperkenalkan di Jepang dalam tahun 1950-an, tujuannya diubah dari mengawasi kualitas menjadi meningkatkan kualitas. Jika semula hanya diterapkan di bagian produksi saja, maka di Jepang diterapkan untuk semua bidang dan bagian. Mulai dari desain sampai pelayanan, dari bagian produksi sampai ke bagian keuangan dan pemasaran, dari pabrik sampai ke bank dan toko-toko. Oleh karena itu kerap kali juga disebut Total Quality Control.
Dan kalau di Barat QCD ini dilakukan oleh para ahli, maka di Jepang semua karyawan yang mau—mulai dari buruh paling rendah sampai ke atasa—dapat melakukannya. Melalui apa yang disebut QCD, karyawan secara sukarela membentuk kelompok-kelompok kecil di bagian masing-masing. Mereka mendapat latihan dalam teknik quality control, dan bekerjasama untuk meningkatkan kualitas kerja tiap dari bagian masing-masing. Tiap bagian sebaliknya bekerjasama erat dengan bagian-bagian lain.
Melihat sistem kerjanya, sistem QCD kemungkinan besar dapat dilaksanakan di Indonesia. Yang perlu dipikirkan ialah, motivasi apakah yang paling baik digunakan, agar karyawan merasa tertarik dan mau membuang waktu serta tenaga ekstra. Di Jepang, imbalan uang ini ternyata bukan faktor penting. Berbeda dengan di AS, di Jepang imbalan uang bagi buruh atau karyawan yang menemukan sesuatu yang baru, tidak seberapa. Menurut seorang ahli Amerika, Prof J. M. Jran, insentif uang ini memenpati tempat terakhir dalam deretan motivasi. Dalam sebuah simposium tentang QCD di Jepang dalam tahun1966, Prof Juran menyebutkan bahwa motivasi pertama bagi karyawan untuk ikut QCD, adalah meningkatkan prestasi perusahaan melalui kegiatan kelompok.
Motivasi lain adalah keinginan untuk menambahkan pengetahuan, pengakuan dari usaha mereka di dalam perusahaan dan kesempatan untuk ikut dalam simposium serta kunjungan kerja ke luar negeri, dan kesempatan untuk melakukan pekerjaan kreatif dalam bidang pekerjaan rutin yang biasanya membosankan. Dan baru setelah motivasi-motivasi di atas disebutkan insentif ekonomi yang disediakan oleh perusahaan.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Bahasa Jepang, kaizen berarti perbaikan yang berkesinambungan. Pada Wikipedia diistilahkan
sebagai perbaikan berkelanjutan (Continuous improvement ). Istilah itu mencakup pengertian
perbaikan yang melibatkan semua orang, baik manajer dan karyawan, dan melibatkan biaya dalam
jumlah tidak seberapa. Kaizen (改善) terdiri dari dua kanji yakni 改 (kai) artinya 改める perubahan dan 善
(zen) artinya 良い (yoi) kebaikan. Dalam bahasa china disebut gaishan (改善) , gai (改)artinya
perubahan atau tindakan perbaikan shan (善)artinya baik atau keuntungan.
Konsep kaizen sangat penting untuk menjelaskan perbedaan antara pandangan Jepang dan
pandangan Barat terhadap manajemen. Perbedaan yang paling penting antara konsep manajemen
Jepang dan Barat adalah Kaizen Jepang dan cara berpikirnya yang berorientasi pada proses sedangkan
cara berpikir Barat tentang pembaharuan yang berorientasi pada hasil (Imai, 1998: 11).
Filsafat kaizen menganggap bahwa cara hidup kita seperti kehidupan kerja atau kehidupan sosial
maupun kehidupan rumah tangga hendaknya terfokus pada upaya perbaikan terus menerus.
Perbaikan dalam kaizen bersifat kecil dan beransur. Kebalikan dari inovasi, yang dipakai dalam
manajemen barat umumnya dan merupakan perubahaan besar-besaran melalui terobosan teknologi,
konsep manajemen, atau teknik produksi mutakhir. Kaizen tidak bersifat dramatis dan
proses kaizenditerapkan berdasarkan akal sehat dan berbiaya rendah, menjamin kemajuan beransur
yang memberikan imbalan hasil dalam jangka panjang. Jadi kaizen merupakan pendekatan dengan
risiko rendah (Handayani, 2005: 5)
Penulis tertarik dengan filosofi Kaizen karena orientasinya pada proses di mana suatu perusahaan
menunjang dan menghargai karyawannya dari proses yang dilakukan demi penyempurnaan. Hal ini
tentu saja tidak sama dengan manajemen Barat yang berorientasi pada hasil. Penulis yang saat ini
masih aktif bekerja di BINUS University menganggap filosofi kaizen terasa pada penerapan Budaya
Mutu di sana. Budaya Mutu yang terdiri dari lima komponen itu menjadi acuan dalam kehidupan
berorganisasi di BINUS University sampai pada perkembangannya.
Dari lima komponen Budaya Mutu yakni Trust in God, Countinous Improvement, Sense of
Closure,benchmarking dan Sense of Belonging, Penulis melihat Budaya Mutu yang kedua
yaitu Countinous Improvement kaitannya dengan implementasi ISO yang memiliki korelasi dengan
semangat kaizen. Selain mencari “benang merah” atau korelasitas antara Countinous
Improvement (Budaya Mutu BINUS University) dan kaizen, penulis juga ingin memaparkan friksi-friksi
yang mungkin terjadi dalam penerapannya.
1.2 Segmentasi Kaizen
Menurut konsep kaizen dalam Tazakigroup (2000), kaizen dibagi menjadi tiga segmen, tergantung
kebutuhan masing-masing perusahaan :
1. Kaizen yang berorientasi pada manajemen, memusatkan perhatiannya pada masalah logistic dan
strategis yang terpenting dan memberikan momentum untuk mengejar kemajuan dan moral.
2. Kaizen yang berorientasi pada kelompok, dilaksanakan oleh gugus kendali mutu, kelompok Jinshu
Kanshi (人種監視)untuk manajemen sukarela menggunakan alat statistic untuk memecahkan
masalah, menganalisa, melaksanakan dan menetapkan standar atau prosedur baru.
3. kaizen yang berorientasi pada individu, dimanifestasikan dalam bentuk saran, di mana seseorang
harus bekerja lebih pintar bila tidak mau bekerja keras.
Kaizen adalah konsep tunggal dalam manajemen Jepang yang paling penting dan merupakan kunci
sukses Jepang dalam persaingan. Jepang selalu berpikir bahwa tidak ada satu hari pun berlalu tanpa
adanya suatu tindakan penyempurnaan (Takizakigroup: 2000). Kaizen merupakan alat pemersatu
filsafat, system dan alat untuk memecahkan masalah yang dikembangkan di Jepang selama 30 tahun
pada suatu perusahaan utnuk berbuat baik lagi. Kaizen dapat dimulai dengan menyadari bahwa setiap
perusahaan mempunyai masalah. Kaizen memecahkan masalah dengan membentuk kebudayaan
perusahaan di mana setiap orang dapat mengajukan masalahnya dengan bebas (Imai, 1998: Xviii).
1.2.1 Perbedaan Kaizen dan Inovasi
Aspek penting dalam kaizen adalah mengutamakan proses. Hal ini berlawanan dengan manajemen
Barat yang menilai performa karyawan hanya atas dasar hasil yang diperolehnya dan bukan pada
usaha mereka (Imai, 1998: XIX). Di bawah ini adalah penjabaran dari perbedaan antara kaizen dan
inovasi dilihat dari karakteristiknya, sebagai berikut:
KAIZEN INOVASI
1. Orientasi Umum2. Orientasi pada Manusia3. Perhatian pada Pendalaman4. Dibangun dengan Tenologi
yang ada.5. Informasi terbuka,
dibagikan6. Kelompok Kerja
1. Orientasi pada Keahlian2. Orientasi pada Teknologi3. Perhatian Lompatan Jauh4. Cari Tenologi Baru5. Informasi tertutup
Perorangan6. Individual
Gb 1. Tabel perbedaan antara kaizen dan inovasi
Penggabungan kaizen dan inovasi akan melahirkan kesempurnaan.
1.2.2 Konsep Kaizen
Dalam www.tazakigroup.com , konsep kaizen meliputi beberapa hal, yakni:
1. Konsep 3 M (Muda, Mura, dan Muri)
Konsep ini dibentuk untuk mengurangi banyaknya proses kerja, meningkatkan mutu, mempersingkat
waktu dan mengurangi atau efisiensi.
a. Muda (無駄) diartikan sebagai pengurangan pemborosan atau kesia-siaan.
b. Mura (村) diartikan sebagai pengurangan perbedaan.
c. Muri (無理) diartikan sebagai pengurangan ketegangan.
2. Gerakan 5 S (seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke)
Konsep 5 S pada dasarnya merupakan proses perubahan sikap dengan menerapkan penataan,
kebersihan, dan kedisiplinan di tempat kerja. Konsep 5 S merupakan budaya tentang bagaimana
seseorang memperlakukan tempat kerjanya secara benar. Bila tempat kerja tertata rapi, bersih, tertib
maka kemudahan bekerja perorangan dapat diciptakan. Dengan kemudahan bekerja ini, empat bidang
sasaran pokok industri yang meliputi:
1. Efisiensi Kerja
2. Produktifitas Kerja
3. Kualitas Kerja, dan
4. Keselamatan Kerja dapat lebih mudah dipenuhi.
Berikut ini adalah penjelasan yang lebih detil mengenai bagian-bagian dari 5 S.
1. Konsep Seiri ( 整理 )Seiri adalah memisahkan benda yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan, kemudian
menyingkirkan yang tidak diperlukan (ringkas). Sesungguhnya, terdapat banyak barang yang tidak
diperlukan di dalam setiap pabrik. Barang yang tidak diperlukan artinya barang tersebut tidak
dibutuhkan untuk kegiatan produksi saat ini (Hirano, 2005: 13).Untuk mengetahui barang-barang yang
perlu dibuang, barang harus dipisahkan menjadi yang diperlukan dan yang tidak diperlukan. Hal ini
disebut dengan “Seiri visual”, kemudian dilaksanakan menggunakan label merah seperti di
perusahaan Toyota.
Contoh daftar periksa untuk menerapkan strategi label merah dapat dilihat pada gambar 1.2 seperti di
bawah ini.
1. TAHAP PERMULAAN
Peserta : Pabrik, Bahan, Manajemen
Jangka Waktu : 1-2 bulan
Hal : Pastikan para pekerja tidak menyembunyikan
barang yang tidak diperlukan.
↓
2. MEMBEDAKAN BARANG DENGAN
LABEL MERAH
Persediaan : Bahan mentah, komponen, produk
Sarana : mesin, peralatan, jig dan alat, cetakan, kereta, pengangkut, meja
Ruang : Lantai, rak, tempat penyimpanan.
↓
3. MENENTUKAN STANDAR LABEL
MERAH
Memperjelas standar untuk barang yang tidak diperlukan: contohnya “TANPA LABEL” untuk barang
yang akan digunakan untuk bulan berikutnya; “DENGAN LABEL” untuk barang yang tidak akan
digunakan pada bulan berikutnya
↓
4. PEMBUATAN LABEL MERAH
Penting bahwa setiap orang cepat melihatnya.
1. Kertas merah ukuran A4
2. Meliputi nama barang, kuantitas, alasan, dan sebagainya.
↓
1.
5. MENEMPELKAN LABEL
Jangan menyuruh orang yang langsung terkait untuk menempelkannya. (supervisor yang melakukan,
agar tidak mengganggu pekerjaan para pekerja).
2. Jangan dengarkan alasan-alasan.
3. Harus tegas.
4. Tempelkan label pada setiap barang yang dipertanyakan.
5. JumlaH label menunjukan efisiensi pemeriksaan bukan Kegagalan pemeriksaan.
↓
6. MENANGANI BARANG DENGAN LABEL MERAH &
EVALUASI
Persediaan : Daftar persediaan yang tidak diperlukan memisahkan barang persediaan yang
hanya digunakan sewaktu-waktu.
Peralatan : Pindahkan atau keluarkan setiap barang yang dapat menghalangi penerapan kegiatan 5 S
2. Konsep Seiton ( 整頓 )Konsep ini menyusun dengan rapi dan mengenali benda untuk mempermudah penggunaan. Kata
Jepang seiton ( 整頓 ) secara harfiah berarti menyusun benda dengan cara yang menarik (rapi). Dalam
konteks 5 S. ini berarti mengatur barang-barang sehingga setiap orang dapat menemukannya dengan
cepat. Untuk mencapai langkah ini, pelat penunjuk digunakan untuk menetapkan nama tiap barang
dan tempat penyimpanannya (Yasuhiro,1995: 249). Seiton memungkinkan pekerja dengan mudah
mengenali dan mengambil kembali perkakas dan bahan, dan dengan mudah mengembalikannya ke
lokasi di dekat tempat penggunaan. Pelat penunjuk digunakan untuk memudahkan penempatan dan
pengambilan kembali bahan yang diperlukan.
3. Konsep Seiso ( 清掃 )Konsep ini selalu mengutamakan kebersihan dengan menjaga kerapihan dan kebersihan (resik). lni
adalah proses pembersihan dasar dimana suatu daerah disapu dan kemudian dipel dengan kain pel.
Karena lantai, jendela, maupun dinding harus dibersihkan, seiso setara dengan aktifitas pembersihan
berskala besar yang dilakukan setiap akhir tahun di rumah tangga Jepang.
Meskipun pembersihan besar-besaran di seluruh perusahaan dilakukan beberapa kali dalam setahun,
tiap tempat kerja perlu dibersihkan setiap hari. Aktifitas itu cenderung mengurangi kerusakan mesin
akibat tumpahan minyak, abu, dan sampah. Contohnya, kalau ada pekerja yang mengeluh ada mesin
yang rusak ini tidak berarti mesin itu perlu penyetelan. Sebenarnya, yang diperlukan mungkin hanya
program pembersihan di tempat kerja (Yasuhiro,1995:249).
4. Konsep Seiketsu (清潔)
Seiketsu yaitu usaha yang terus menerus untuk mempertahankan 3S tersebut diatas,
yakni Seiri,Seiton), dan Seiso. Pada prinsipnya mengusahakan agar tempat kerja yang sudah menjadi
baik dapat selalu terpelihara. Di tempat kerja yang rawat, kerawanan dan penyimpangan dapat segera
dikenali, sehingga berbagai masalah dapat dicegah sedini mungkin (Kristianto, 1995: 47). Memelihara
tempat kerja tetap bersih tanpa sampah atau tetesan minyak adalah
aktivitas Seiketsu. Antara seiso denganseiketsu sangat berkaitan erat.
5. Konsep Shitsuke (仕付 )Shitsuke adalah metode yang digunakan untuk memotivasi pekerja agar terus menerus melakukan
dan ikut serta dalam kegiatan perawatan dan aktivitas perbaikan serta membuat pekerja terbiasa
mentaati aturan (rajin). Hal ini dianggap sebagai komponen yang paling sukar dari 5 S. Untuk aktivitas
ini, pekerja Jepang diharapkan melatih pengandalian diri sendiri, bukan dikendalikan manajemen
(Yasuhiro, 1995:266).
3. Konsep PDCA (Plan, Do, Check, Action)
Langkah pertama dari kaizen adalah menerapkan siklus PDCA (plan, do, check action) sebagian sarana
yang menjamin terlaksananya kesinambungan dari kaizen. Hal ini berguna dalam mewujudkan
kebijakan untuk memelihara dan memperbaiki atau meningkatkan standar. Siklus ini merupakan
konsep yang terpenting dari proses kaizen (Imai, 2005: 4).
Rencana (plan) berkaitan dengan penetapan target untuk perbaikan, karena kaizen adalah cara hidup,
maka harus selalu ada perbaikan untuk semua bidang, dan perumusan rencana guna mencapai target
tersebut. Periksa (check) merujuk pada penetapan apakah penerapan tersebut berada pada jalur yang
sesuai rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Tindak (action) berkaitan
dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau
menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya (Imai, 2005: 5).
4. Konsep 5 W + 1 H
Salah satu pola piker untuk menjalankan roda PDCA dalam kegiatan kaizen adalah dengan teknik
bertanya dengan pertanyaan dasar 5 W + 1 H (what, who, why, where, when dan how).
2. Budaya Mutu BINUS University
Dalam mengembangkan kehidupan lembaga pendidikan dan menjalankan roda organisasi serta guna
membantu para BINUSian agar memiliki jati diri yang mantap,BINUS University memiliki Budaya Mutu
yang kerap disebut dengan istilah BINUSian Culture. Budaya mutu ini melandasi setiap civitas
akademisi yakni mahasiswa, dosen, karyawan dan alumni. Civitas akademika di BINUS disebut dengan
BINUSian. Berikut lima Budaya Mutu tersebut,
1. Percaya pada Tuhan Yang Maha Esa (Trust in God), suatu keyakinan bahwa Tuhan
senantiasa akan menjaga dan mendampingi dalam suka dan duka. Nilai ini juga menanamkan kepada
BINUSian untuk selalu bersyukur.
2. Perbaikan menerus (Continous Improvement), yakni suatu nilai yang menanamkan
suatu usaha tiada henti untuk membuat hari esok lebih baik dari hari ini. Sebuah semangat pantang
menyerah bila menghadapi hambatan atau kegagalan.
3. Penggunaan tolok ukur atau panutan (Benchmarking) yakni suatu kesiapan untuk
belajar terus dari orang atau organisasi lain yang dianggap lebih baik. Sebuah usaha untuk siap
mengamati, belajar serta mencoba, termasuk berani bertanya dan mendengarkan apa yang perlu
dilakukan serta senantiasa mencari peluang yang ada.
4. Ketuntasan (Sense of Closure), yakni suatu usaha yang tekun dan konsisten dan
berani mengakhiri rencana yang sudah diputuskan, karena ini merupakan kunci tercapainya
kesuksesan.
5. Kekeluargaan dan kebersamaan (Sense of Belonging), yakni suatu usaha untuk
bekerjasama serta berkomunikasi dengan orang lain melalui kerjasama tim.
Dari kelima Budaya Mutu di atas, butir kedua yakni Continous Improvement menggulirkan kebijakan
mutu ISO 9000. Civitas akademika, dalam hal ini yang saya rasakan sebagai karyawan, erat sekali
pada proses perbaikan terus menerus. BINUSian diminta untuk terus berkarya, mengevaluasi dan
memperbaiki bila dalam perjalanan proses yang dilakukan kurang tepat. Untuk mahasiswa sendiri,
BINUS University mengharapkan mereka adalah cikal bakal yang kuat dalam mengeksplorasi ilmunya
secara terus menerus (life long learner). Kontinuitas ini yang menjadikan BINUS yang pada era tahun
1974 hanya sebagai lembaga kursus komputer biasa.
2.1 Implementasi Budaya Mutu Continous Improvement
Sebuah organisasi, yang memiliki kualitas tinggi, selalu berusaha untuk mencoba memuaskan para
pelanggan mereka. Komitmen manajemen puncak tidaklah cukup untuk menghadirkan layanan/produk
yang berkualitas. Masing-masing organisasi harus menerapkan manajemen kualitas yang terintegrasi
dan melibatkan setiap personil dalam organisasi tersebut. Pada awalnya, standar ISO 9001 dibentuk
sebagai parameter bagi pabrik industri. Kemudian, kebutuhan akan penerapan manajemen kualitas
dalam pelayanan industri, yang mengacu pada standar ISO 9001, menjadi berkembang, termasuk
dalam institusi pendidikan.
BINUS berasumsi bahwa penerapan manajemen kualitas pada perguruan tinggi amatlah mendesak.
Proses penerapannya lebih sulit dibandingkan pada pabrik-pabrik karena ditangani secara virtual.
Proses pembentukan kualitas bahkan jauh lebih sulit apabila organisasi tersebut ternyata belum
memiliki sistem manajemen kualitas.
Sistem manajemen kualitas pada universitas, dimulai oleh BINUS University sejak tahun 1996, telah
diakui secara internasional pada tahun 1997. BINUS meraih Sertifikat ISO 9001 pada tanggal 17
November 1997 karena kontribusi dan penerapan sistem manajemen kualitas pada lingkup
perancangan kurikulum dan materi perkuliahan, proses pelaksanaan perkuliahan, pengajaran dan
penelitian.
Bukanlah suatu usaha yang mudah dalam meraih penghargaan tersebut. BINUS University menjalani
enam tahap proses: persiapan, kumpulan dokumen, implementasi dan audit, peningkatan dan
pencegahan, dan terakhir adalah sertifikasi. Proses tersebut dimulai dengan pembentukan Info Plan,
yang berisi mengenai informasi berupa strategi yang digunakan dalam institusi manajemen. Sertifikasi
tersebut diperbaharui pada tanggal 10 Februari 2005. Lebih jauh lagi, BINUS University sukses
meningkatkan Sistem Manajemen Kualitas menjadi ISO 9001:2000 pada tanggal 13 November 2001.
Sertifikasi ISO 9001 adalah pengakuan dasar dari mutu internasional. BINUS merupakan unversitas
pertama di Indonesia, yang meraih Sertifikasi ISO 9001. Hal ini membuktikan bahwa BINUS University
telah siap untuk menghadapi era globalisasi. Penghargaan tersebut telah menyadarkan BINUS bahwa
kualitas adalah hal yang paling penting, meliputi: penerapan, pemeliharaan dan peningkatan yang
berkesinambungan. Merupakan satu hal yang amat penting bagi setiap universitas untuk “belajar”
dalam upaya meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mahasiswa.
Pola pembelajaran dan pencapaian prestasi menggunakan Balanced Scorecard Approach telah
dirancang secara harmonis dengan pengembangan kemampuan dan pengetahuan yang didukung
dengan sistem manajemen kualitas serta langkah-langkah untuk meningkatkan materi dan sumber
daya manusia sejak tahun 2001.
Dalam pengendalian standart ISO ini, setiap bagian terkait saling sinambung meningkatkan target dan
kinerja. BINUS memiliki gugus kendali mutu yang menjalankan TQM (total quality management), gugus
kendali mutu ini dikenal dengan nama CfQ atau Center for Quality (Biro Kendali Mutu). Bagian ini yang
secara menyeluruh menjadi pusat pengendalian system dengan orientasi berpegang pada kepuasan
pelanggan. Tujuannya adalah untuk mengukur seberapa keberhasilan dan sinyalemen kegagalan demi
daya saing BINUS di kancah global.
2.2 Korelasitas Kaizen dengan Budaya Mutu Continous Improvement
Dari paparan di atas, penulis menyadari talian antara Kaizen dengan Budaya Mutu Continous
Improvement. Ini terlihat dari segmentasi kaizen, BINUS berorientasi pada manajemen dan kelompok
dalam hal ini terlihat dalam Gugus Kendali Mutu yang dimiliki BINUS untuk mengendalikan sistem dan
manajemen. Kaizen juga terasa pada semangat Continous Improvement setiap bagian yang tergabung
dalam BINUSian (komunitas atau civitas akademika BINUS University). Budaya ini menjadi refleksi
pada semangat pantang menyerah demi perbaikan dan penyempurnaan. Apabila dalam prosesnya,
target terlalu tinggi atau terlalu rendah, ada laporan per periodik yang menjadi acuan berjalannya
proses di suatu bagian. Misalkan sebuah jurusan, menargetkan 100 persen dosen tepat waktu
mengumpulkan nilai, dan berhasil, maka tidak hanya dosen tersebut yang mendapat reward tetapi
jurusan, operasional sampai dengan Rektor akan mendapat reward yang sesuai, begitu pun
sebaliknya.
Pemberian reward atau penghargaan yang menjadi ciri dalam manajemen kaizen, diejawantahkan
dengan baik pula di BINUS University. Di mana pengukuran hasil kerja melibatkan proses, terlihat dari
laporan yang dibuat per tri wulan. Hal ini untuk melihat kesenjangan program yang “mandeg” atau
sulit dilaksanakan, dan melihat effort atau usaha yang dilakukan sampai dengan periode yang telah
ditetapkan. Jika program tersebut gagal, akan dikaji ulang dengan melihat proses yang sudah
dilakukan. Orang-orang yang terkait baik individu atau tim, harus memperlihatkan usaha yang terus
menerus. Sesuai dengan makna yang terkandung dalam arti kaizen itu sebenarnya yakni perbaikan
yang sinambung.
Dan sistem PDCA (plan, do, check, action) melekat pada sistem evaluasi atas kinerja per individu
maupun per bagian. Untuk hal ini, dapat dilihat dari KPI (Key Perfomance Indicator), yang berisi
rencana atau target dalam skala tahunan, periode (seperti 2010, 2020), kemudian laporan
pengejawantahan rencana tersebut, evaluasi berkala, dan langkah-langkah yang simultan. Semua
adalah kerangka implementasi continous improvement di BINUS University.
3. PENUTUP (Refleksi Penulis)
Mutu menjadi sangat penting dan menjadi nilai tambah untuk meningkatkan daya saing. Perusahaan
di mana pun dengan stake holder seperti apa pun memiliki pekerjaan rumah yang terus menerus
untuk memperbaiki kinerjanya. Tentu saja efisiensi menjadi “harga mati” untuk meminimalisasi
budget. Rendah risiko, dan rendah biaya namun tetap menggunakan akal sehal menjadi slogan
“manis” dalam filosofi kaizen. Mendengar beberapa kali sharing tentang Toyota Way, dalam benak
saya terlintas “dekiru kana…”. Tidak muskil mungkin buat orang Jepang yang terbiasa dengan budaya
tertib, pekerja keras dan efisiensinya yang tinggi, tapi orang Indonesia?
Di Indonesia, negara yang terkenal dengan “segala bisa/bebas”, friksi akan selalu ada dalam
penerapan kaizen di tempat kerjanya. Di BINUS, tidak selalu mulus perjalanan contionous
improvementnya. Evaluasi yang terpampang tidak selalu menghasilkan reward, bisa jadi malah
perjalanan panjang untuk sebuah hasil yang lebih baik. Seperti makna yang terkandung dalam arti
katakaizen itu sendiri yakni perbaikan terus menerus. Misalnya terjadi pada anak dengan hasil studi
yang rendah, sang mahasiswa harus rela melewati jalan yang lebih panjang daripada teman-temannya
yang baik hasilnya. Mengikuti mentoring dan mentoring lagi, tidak lulus lagi, kembali pembinaan-
pembinaan. Tentu saja di sini BINUS tidak lepas tangan, ada bagian yang mengurusi hal ini tanpa
harus mahasiswa menambah uang lagi hanya untuk kursus di luar kampus, efisiensi bukan?
Dan perjalanan panjang sejak 1997 sampai dengan sekarang, bahkan dengan penambahan indicator
ala Malcom Balrigde, BINUS menuju 2020. Masih banyak inovasi, masih banyak improvement. Terlepas
dari hal itu, kaizen mengajari kita untuk berintropeksi, berorientasi pada kerja, dan perbaikan.
Jadi plan, do, check and action!
Sumber:
Imai, Masaaki. 1998. Kaizen: Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah pada Manajemen.