Top Banner
104

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Mar 02, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan
Page 2: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)merupakan organisasi profesi yang tujuannya adalah untuk mengembangkan studi

ilmiah mengenai bahasa.

PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA

Ketua : Yassir Nasanius, Ph.D., Unika Atma JayaWakil Ketua : Umar Muslim, Ph.D., Universitas IndonesiaSekretaris : Faizah Sari, Ph.D., Unika Atma JayaBendahara : Ienneke Indra Dewi, Universitas Bina Nusantara

DEWAN EDITOR

Editor Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Unika Atma JayaEditor Pendamping : Faizah Sari, Unika Atma JayaAnggota : A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E.Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Benny H Hoed, UniversitasIndonesia; Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Asmah Haji Omar,Universiti Malaya, Malaysia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; D. EdiSubroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. EffendiKadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Unika Atma Jaya;Hasan Basri, Universitas Tadulako; Umar Muslim, Universitas Indonesia; Dwi NoveriniDjenar, La Trobe University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; PatrisiusDjiwandono, Universitas Ma Chung.

JURNAL LINGUISTIK INDONESIA

Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Dengan SK Dirjen Dikti No.108/DIKTI/Kep/2007, 23 Agustus 2007, Linguistik Indonesia telah terakreditasi. Jurnalini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannyaumumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secaraperseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp. 100.000 (anggota dalamnegeri) dan US$25 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeriadalah Rp.120.000 dan luar negeri US$45 per tahun.

Naskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format PedomanPenulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal.

ALAMAT

Masyarakat Linguistik IndonesiaPusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atma JayaJI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesiae-mail: [email protected], Ph/Fax: +62 (0)21 571 9560

Page 3: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Daftar Isi

Abreviasi dan Akronim pada Batu Nisan Masa VOC di BataviaLilie Suratminto ...................................................................... 1

Kendali Interaksional sebagai Cerminan Ideologi:Analisis Wacana Kritis Trilogi Drama Opera KecoaGanjar Hwia .......................................................................... 11

Pemertahanan Bahasa dan Kestabilan Kedwibahasaanpada Penutur Bahasa Sasak di LombokSudirman Wilian .................................................................... 23

Sikap Bahasa Penutur Jati Bahasa LampungKatubi .................................................................................... 41

Leksikon Aktivitas Mata dalam Toponim di Jawa Barat:Kajian EtnosemantikNani Darheni ........................................................................ 55

Verba Transitif dan Objek Dapat Lesap dalam Bahasa IndonesiaTri Mastoyo Jati Kesuma ....................................................... 69

Analisis Semiotik Kultural Pantun Bahasa Indonesia-Makassar:dari Bilingualisme ke MultikulturalismeEry Iswary ............................................................................. 77

Language Change in Bugis SocietyMurni Mahmud ...................................................................... 85

Resensi:Glenn Fulcher dan Fred Davidson

Language Testing and Assessment: an Advanced Resource BookDiresensi oleh Patrisius Istiarto Djiwandono ........................... 97

Resensi:Rajend Mesthrie dan Rakesh M. Bhatt

World Englishes the Study of New Linguistic Varieties.Key Topics in SociolinguisticsDiresensi oleh Riani ............................................................... 101

Page 4: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 1-10

ABREVIASI DAN AKRONIMPADA BATU NISAN MASA VOC DI BATAVIA

Lilie Suratminto*Universitas Indonesia

Abstract

The paper discusses various abbreviations and acronyms found on headstones during theperiod of VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) or The Netherland’s East IndiesTrading Company at the useum Taman Prasasti, Museum Wayang, Gereja Sion and OnrustIsland in the capital city of Jakarta. Verbal codes in form of inscription on the headstoneswere written during the colonial times in Indonesia, which was in the 1700s and 1800s, andthe language used was Dutch. The abbreviations and acronyms have been difficult tounderstand to date. There are not many people who speak modern Dutch can interpret theabbreviations and acronyms, let alone understand the codes. To understand the wholecontent of the codes, one must understand their representations and meanings of theabbreviations and acronyms. Data from various abbreviations and acronyms found in thisstudy were classified by their types and analyzed meticulously based Dutch morphologicalfeatures.

Key words: abbreviation, acronym, Dutch.

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Hampir setiap hari baik melalui media cetak maupun elektronik kita dihadapkan pada singkatan-singkatan, yang terkadang membuat kita bertanya-tanya apa maksudnya. Wartawan yangmenyampaikan tulisan terkadang tidak memberikan keterangan mengenai singkatan tersebut.Kita terkadang baru mengerti apabila singkatan-singkatan tersebut disajikan dalam suatuwacana, misalnya pada saat terjadi kecelakaan pesawat milik Angkatan Udara disebut istilahalutsista. Diwacanakan bahwa alutsista kita sudah ketinggalan zaman, anggaran untukpengadaan alutsista sangat kecil, dan sebagainya. Tidak jarang pembaca menebak-nebakmaksudnya; mungkin alutsista semacam senjata. Ternyata yang dimaksud adalah ’alat utamasistem persenjataan’. Kalau suatu singkatan sudah sangat sering dipergunakan dalamkeseharian, orang tidak lagi mengingat atau tahu bentuk etimologisnya, misalnya kata SMS,AIDS, DNA, EMAIL, RADAR dan sebaginya.

Abreviasi atau dalam bahasa Inggris abreviation adalah seluruh proses morfologisberupa pemenggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadibentuk baru yang berstatus kata, misalnya pilpres, capres, cawapre, MLI, KPU, UI dan lain-lain. Termasuk abreviasi antara lain, kependekan, singkatan, pemenggalan, kontraksi, lambanghuruf dan akronim. Akronim (acronimy) merupakan proses pemendekan yang menggabungkanhuruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yangsedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik suatu bahasa, misalnya UNIKA, ABRI, ASEAN, danlain-lain (Harimurti 2008:1 revisi).

TEMPAT PENELITIAN DAN SUMBER DATA

Tempat penelitian adalah Museum Taman Prasasti, Museum Wayang Jakarta, dan Gereja Sion.Museum Taman Prasasti terletak di Jl. Tanah Abang I dan Museum Wayang di Jl. Pintu BesarUtara no.27, Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta. Ketiga tempat tersebut terletak di JakartaPusat, dan yang ke empat di Pulau Onrust, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu diTeluk Jakarta. Keempat tempat tersebut masing-masing menyimpan batu-batu nisan masa VOCdi Batavia pada abad 17 dan 18. Sebenarnya batu-batu nisan yang kini tersimpan di MuseumPrasasti berasal dari Portugeesche Buitenkerk ‘Gereja Portugis’ sekarang bernama Gereja Sion

Page 5: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Lilie Suratminto

2

dan dari Nieuw Hollandsche Kerk ‘Gereja Belanda Baru’ yang dirobohkan dan dijual kepadaperusahaan gudang Geo Wehry & Co. pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels(1808). Sejak tahun 1975 tempat tersebut diresmikan oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin sebagaiMuseum Wayang.

Di Museum Wayang kini tersimpan 9 buah batu nisan yang dipasang pada dinding ruangtengah museum. Museum taman Prasasti sejak tahun 1795 dipergunakan sebagai pemakamanumum Belanda karena sejak tahun itu ada placaat ‘pengumuman resmi pemerintah’ bahwaorang tidak boleh lagi memakamkan orang yang meninggal di dalam gereja dan sekitarnya,karena dianggap tidak sehat, di samping pemakaman di gereja sudah sangat penuh. Batu-batunisan pindahan dari dalam kota Batavia kini dipasang pada dinding sayap kanan, sayap kiri, danberanda depan. Selebihnya diletakkan sesuai dengan posisi semula di halaman belakangmuseum, jumlahnya sekitar 70 buah.

TEKS VERBAL DAN NON VERBAL PADA BATU NISAN VOC

Yang dimaksud dengan teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetakdi lembar kertas, tetapi juga semau jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efeksuara, citra dan sebagainya (Erianto 2005: 9). Batu nisan VOC dengan demikian dapatdipandang sebagai teks karena batu nisan tersebut ‘berbicara’ kepada kita melalui tampilannya.Hal ini bisa dibuktikan melalui proses analisis model Peirce (Suratminto 2008: 17-22). Batu-batu nisan VOC tersebut berisi data verbal berupa inskripsi dan data nonverbal berupa simbol-simbol pada lambang heraldiknya. Untuk jelasnya lihat batu nisan Jacobus Lindius danCornelis Lindius pada dinding sayap kanan Museum Prasasti berikut ini:

NONVERBAL

VERBAL

HIER ONDER LEGT BEGRAEVEN JACOBUSLINDIUS COOPMAN IN DIENST DER E.-COMP.OVERLEDEN DEN 28 DECEMB:1683 OUD31 JAEREN 7 MAENDEN 21 DAEGEN

MITSGADERS D. EER W. D° CORNELIUSLINDIUS IN SIJN LEVEN 45 JARENGETROUT LEERAAR DER GEMEYNTE GODSGEBORENA[nn]° 1618: EN ALHIER GODSALIGLYCKIN DEN HEERE ONTSLAPEN12 JUNY 1686 OUT 67 JAREN 8 MAANDENEN 16 DAGEN

ITEMNICOLAAS PILLETIER OUDSTE SOON VANDEN COOPMAN E.S. NICOLAAS PILLETIERSAL. OVERLEDEN 8 AUG .1687 OUD9:IAREN 11: MAANDEN: EN 3: DAGEN.

H K N ° 30

Page 6: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

3

Makna dari teks verbal dari batu nisan ini adalah sebagai berikut:

’Di bawah ini dimakamkan Jacobus LindiusSaudagar yang berdinas pada Kompeni Yang MuliaMeninggal pada tanggal 28 Desember 1683 usia31 tahun 7 bulan 21 hariJuga yang terhormatCornelis Lindius semasa hidupnya45 tahun taat sebagai guru agama dariJemaat Gereja, lahirpada tahun 1618 dan jenazahnya dimakamkan disini pada tanggal 12 Juni tahun 1686dalam usia 67 tahun 8 bulandan 16 hariDi sini juga (dimakamkan)Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekatdari seorang Saudagardan Nicolaas Pilletiermeninggal dengan damai pada tanggal 8 Agustus tahun 1687 dalam usia 9 tahun,11 bulan dan 3 hari.

Sewa Pemakaman No. 30’Dari contoh salah satu batu nisan masa VOC ini kita dihadapkan pada persoalan:

1. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Belanda pada masa batu nisan tersebut dibuat,yaitu bahasa Belanda abad 17 dan 18 yang banyak berbeda dengan bahasa Belandamodern saat ini.

2. Untuk memahami isi teks, seseorang harus menguasai bahasa Belanda masa tersebut,demikian juga untuk memahami abreviasi dan akronim-akronimnya.

Oleh karena itu, peneliti harus menguasai bahasa Belanda modern sebagai sarana untukmenelusuri teks-teks masa tersebut dengan alat bantu kamus Belanda abad 17. Perluditambahkan, makna teks nonverbal yang lebih tepat ditafsirkan dengan alat bantu semiotiktidak dibahas di sini.

DATA ABREVIASI DAN AKRONIM PADA TEKS VERBAL

Batu-batu nisan VOC di Taman Prasasti, Museum Wayang, Gereja Sion dan Pulau Onrust yangdianggap representatif untuk penelitian ini ada 50 buah. Untuk memudahkan, batu-batu nisantersebut diberikan nomor urut sebagaimana tercantum pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Nomor Urut Batu Nisan dan Atas Nama

No.Tempat

Atas nama No.Tempat

Atas Nama

01. TP Cornelius Lindius 26. TP JVK02. TP Pieter Janse van Hoorn 27. TP Johannis Caaf03. TP Sara Pedel 28. TP Catharina Geldsack04. TP Nicolaas Muller 29. TP Willem Lordsz van de Velde05. TP Marcus van den Briel 30. TP Frederik Riebalt06. TP Rogier de Laver 31. TP Joan Adriaan Crudop07. TP Gerhardus Cluysenaer 32. TP Jonathan Michielszoon08. TP Margaretha Beatrix van der

Upwigh33. TP Gerard van de Voorde

09. TP Cornelis Breekpoot 34. TP Adriaan Oostwalt

Page 7: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Lilie Suratminto

4

10. TP Eewout Verhagen 35. TP Jeremias Riemsdijk11. TP Hans Helt 36. TP Jan Baptista de Looff12. TP Michiel Westpalm 37. TP Ariton Sakara13. TP Johanna Catharina Pelgrom 38. TP Cornelia Magdalia van Loon14. TP Henricus Vuyst 39. TP Daniel Six15. TP Cathalyna van Bruynis 40. TP Pieter Gerardus van Overstraten16. TP Geertruyt Broeckmans 41. TP Adam Andries17. TP Cathartina van Doorn 42. MW Gustaaff Willem Baron van

Imhoff18. TP Alexander van’s Gravenbroeck 43. MW Elizabeth van Heiningen19. TP Jacques de Bollan 44. MW Abraham Patras20. TP Jacob van Almonde 45. MW Maria Caen21. TP Jan Harris 46. MW Cornelis Cesaer22. TP Anthonia Cops 47. GS Hendrik Zwaardecroon23. TP Anna van Doornik 48. GS Ragel Titisen24. TP Christoffel Moll 49. PO Maria van de Velde25. TP Joan Cornelis d’Ableing 50. PO Cornelis Willemse Vogel

Keterangan: Pencantuman atas nama pada setiap nomor berikut ini diperlukan karena dalamsatu batu nisan dapat tertera lebih dari satu orang yang dimakamkan (Suratminto 2008: 198-216). TP (Taman Prasasti), MW (Museum Wayang), GS (Gereja Sion), PO (Pulau Onrust).

Tabel 2. Data Berupa Abreviasi dan Akronim

No. Tempat Atas nama Abreviasi dan Akronim01. TP Cornelius Lindius E.COMP; DECEMB.; D.EER W. CORNELIUS

LINDIUS; A.1618; SAL.,AUG.02. TP Pieter Janse van Hoorn D.H. PIETER JANSE, SOON VAN D.H. P. V.

H. E. COMP.; DECEM.,A 1680.,NOV., D H.RP.V., D.H, OVERL., BATA. D.H. F., OVERL.,WED. V.D.H., P.V.H.

03. TP Sara Pedel L.G., N=T, A.1690.04. TP Nicolaas Muller L.B.A.D.H., JUFF., D.H.05. TP Marcus van den Briel tidak ada data.06. TP Rogier de Laver GOUV., DIRECT., GEB., MIDDELBR ,A.,

GEB., A.07. TP Gerhardus Cluysenaer D.2 NOVEMB.,A1703.,D. 25 DECEMB.

A.1775.08. TP Margaretha Beatrix van der

UpwighEXTRA ORDINAIR., A.1768

09. TP Cornelis Breekpoot CORN. BREEKPOT.10. TP Eewout Verhagen D.E. EEWOUT VERHAGEN,11. TP Hans Helt A.1679, WED. VAN.HANS HELT12. TP Michiel Westpalm tidak ada data13. TP Johanna Catharina Pelgrom DEN ED. HEER ANTHONY, 48 JAREN MIN.

2 DAGEN14. TP Henricus Vuyst tidak ada data15. TP Cathalyna van Bruynis D.E. WILLEM TIMMERS, G. ASSUMEERD

VAN , A.1726

Page 8: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

5

16. TP Geertruyt Broeckmans A.1668, VOORZ. E.E, H.B. BORT,,DIRECT.,A. 1684

17. TP Cathartina van Doorn DOUARIER.WYL.DEN WEL GESTRENGEHEER., EXTRA ORDINAIR.

18. TP Alexander van’s Gravenbroeck E. COMP.,AUG.19. TP Jacques de Bollan D.E. JACQUESDE BOLLAN, ULT. FEB.

1684, BAT., MAN., CAP. JOHAN., DEMANH. JOHAN V. HAPPEL V. RAUSEN. INZYN LEV.CAP.MILI.OB.13 JUNY O.34 JAR.,D.H. M. HENRIC DE BOLLAN VAN BAT. INZYN LEV.DROSST V.DE BAT.OMMEL.OB.23 SEP. 1701 O. 45 JA.O. M.D.E.D.H. HARMAN DE WILDE, V.INDIA,OB. 14 NOV. 1707 O. 58 JA. 7 MA.20D.

20. TP Jacob van Almonde HIER RUST T LYK VAN21. TP Jan Harris O.D.57 IAREN.22. TP Anthonia Cops DER E. COMP., OBYT ULT. OKTBR. ANNO

168523. TP Anna van Doornik A. 1697 OVERLEDEN 9 E NOVEMBER A.

175724. TP Christoffel Moll D.H. CHRISTOFFEL MOLL, T EERW.

COLLEGIE VAN.25. TP Joan Cornelis d’Ableing WEL ED. HEER, VAN T EERW. COLLEGIE

V., A. 166326. TP JVK L=J, JVK., A.176227. TP Johannis Caaf H=E,28. TP Catharina Geldsack JUFF. CATHARINA, RUSTPLAATS VAN

D.H. ANDRIAAN, DOGTER VANBOVENGE.

29. TP Willem Lordsz van de Velde L.B.A.30. TP Frederik Riebalt tidak ada data31. TP Joan Adriaan Crudop tidak ada data32. TP Jonathan Michielszoon DE H. JONATHAN MICHILSZ., INLANDS.

BURGERY, A.1778.33. TP Gerard van de Voorde IN DIENSR.T DER ED. COMP. SABANDH.,

A.1701.34. TP Adriaan Oostwalt tidak ada data35. TP Jeremias Riemsdijk JRS VAN RIEMSDIJK, G.G. OVER N-INDIË36. TP Jan Baptista de Looff D.E.COMP. EQUIP., A. 1697, A 1647, A 171437. TP Ariton Sakara tidak ada data38. TP Cornelia Magdalia van Loon tidak ada data39. TP Daniel Six OPPERHOF. OVER DES E.COMP.,`A.1674,

OPGEM.H.SIX., VAN D.H. DANIEL,AGTB.RAAD VAN JUSTITIE.

40. TP Pieter Gerardus vanOverstraten

M.R. PIETER GERARDUS VANOVERSTRATEN

41. TP Adam Andries A. 1717

Page 9: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Lilie Suratminto

6

42. MW Gustaaff Willem Baron vanImhoff

ZYN EXCELL. DEN HOOG EDELENHEERE GUSTAAFF

43. MW Elizabeth van Heiningen NED. INDIA44. MW Abraham Patras MEY A. 173745. MW Maria Caen A XVI C XXXXIN DEN HEER ONTSLAP.,

DE E. HEER ANTHONY, IUFF. SUZANNA,CAP. MAXMILIAEN.AC

46. MW Cornelis Cesaer DE H. CORNELIS CESAER47. GS Hendrik Zwaardecroon A.172848. GS Ragel Titisen A. 1720, AT49. PO Maria van de Velde tidak ada data50. PO Cornelis Willemse Vogel tidak ada data

Keterangan: Dari 50 sampel batu nisan, ada 43 batu nisan yang memiliki data abreviasi danakronim. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sudah terbiasamempergunakan abreviasi dan akronim pada batu-batu nisan mereka.

BAHASAN PENELUSURAN BENTUK ETIMOLOGIS DARI KORPUS DATA

Dari data tersebut dapat dikemukakan analisis sebagai berikut:Penelusuran etimologis melalui beberapa cara:a. Dengan melihat konteks gramatikalnya (artikel diiringi adjektiva dan substantiva). D.E. => De Edele ’Yang Mulia’ (10: 15; 19; 36) D.EERW.=> De Eerwaardige ’Yang Sangat Mulia’ Cornelius (1), D.H. => De Heer ‘tuan’ Pieter (2; 19; 24; 28; 32; 46 ) D.E.H => De Edele Heer ‘Tuan yang Mulia’ (45) E ==> Edele ‘Yang Mulia’ dalam Edele Comp. (1, 18, 22, 33, 36)

b. Dengan melihat hubungan dengan kosakata yang mengikutinya: DECEMB => December, Okt ==> Oktober dan seterusnya (1; 2; 7). ULT Feb. ==> Ultimo Februari ‘Akhir bulan Oktober’, lawannya adalah primo ‘awal’. OB. 13 JUNY O 34 JAR ==> Obiit ‘lahir’ 13 Juni Oud ‘usia’ 34 Jaren ’34 tahun’. IN ZYN LEV.CAP. MILI. ==> In Zyn Leven Capitain Militair ‘Semasa hidupnya sebagai kapten militer. A di depan angka tahun ==> Anno bermakna tahun, (1; 2; 3; 6; 7; 8; 11; 15, 16; 23; 26; 32; 33; 36; 39; 41; 44; 45; 47; 48). MIN.2 DAGEN==> Minus 2 dagen ’Minus dua hari (usianya)’ (13).

c. Menduga etimologinya dari proverbia LatinBerdasarkan sejarah, VOC menjadikan agama Kristen Protestan sebagai agama penguasa,karena penyelenggaraan kebaktian, pengangkatan dan pemberhentian pendeta sertapembangunan gereja dilakukan oleh penguasa, dalam hal ini Kompeni, yang dikepalai olehGubernur Jenderal. Salah satu tujuan didirikannya VOC adalah untuk memerangi Spanyoldan Portugis yang Katolik di seberang lautan. Banyak pejabat Kompeni yang secarasembunyi-sembunyi masih memegang kepercayaan mereka sebagai orang Katolik. Hal inidapat dilihat dari abreviasi yang dipahatkan pada batu nisan mereka, misalnya:LG ==> Laudate Gloria in Excelsis Deo ‘Pujilah Tuhan Yang Maha Mulia’ (3).NT ==> Naturae Tempus abire tibi es ‘Sesuai hukum alam untuk kamu sudah saatnyapergi’ (3).LBA ==> Laudate Beata Alfa et Omega ‘Terpujilah Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir’ (4).

Page 10: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

7

L=J ==> Laudate Dominus Jubilate Deo Omnis Tera ‘Seluruh dunia bersukacitalah kepadaAllah, puji Tuhan (26).HE ==> Haec Libertatis Ergo ‘Demikianlah demi kebebasan’(27).AC ==> Abiistis Dulces Caricae’Engkau yang tersayang dapat pegi secara tiba-tiba’ (46).

d. Menduga etimologi nama tempat, misalnya GEB. MIDDELB. ’geboren Middelburg. BAT. OMMEL (19) ==> Batavia Ommelanden ’Daerah sekeliling Batavia’ JOHAN V HAPPEL V RAUSEN ’ Johan van Happel van Rausenbaum (Jerman)’ (2). MIDDELBR ==> Midedelburg (6).

e. Sama sekali tidak terlacak, misalnya pemilik nisan no. 26 JVK.. Ini kemungkinan akronim dari nama orang yang dimakamkan di situ, misalnya Jan van de Kok atau Jan van de Korter.

f. Abreviasi yang lain dapat diduga dari situasi yang berhubungan dengan kematian, misalnya:OVERL. ==> Overleden ’meninggal’ (2), WED ==> weduwe ” janda’ (2). SAL ==>Saliger ‘almarhum’ (1).

DOUARIER.WYL.DEN WEL GESTRENGE HEER ==> Douariere wylen den wel gestrenge heer ‘Janda almarhum yang sangat mulia’ (17).

g. Berdasarkan jabatan: GOUV. DIRECT. Gouverneur Directeur ‘ Gubernur dan direktur’, EXTRA ORDINAIR ==> extra ordinaris Anggota Dewan Luar Biasa’ (8), MANH. CAP. MILI. ==> Manhaften Capitain Militair ‘Kapten militer yang gagah berani’ (19). SABANDH ==> sabandhar ’Syahbandar’(33). D E.COMP. EQUIP. ==> De Edele Compagnie Equipage ’Kepala bengkel peralatan Kompeni’ (36). G.G. ==> Gouverneur Generaal ’Gubernur Jenderal’ (35).

Berikut salah satu contoh dari batu nisan no.19, atas nama Jacques de Bollan yang palingbanyak mempergunakan abreviasi dan akronim. Teks antara tanda kurung siku [ ] adalah bentuketimologis abreviasi atau akronim yang terpahat pada batu nisannya.

D[e].E.[dele] JAQUES DE BOLLAN VAN LUIK IN SYN LEEVENWEESMEESTERDEESER STEEDE OBYT ULT[imo] FEBR[uari]. 1684 OUT 71 JAERENOOK IS HIERIN BEGRAVENHENRIETTA VAN HAPPEL VAN BAT[avia] JONGSTEDOGTERTJE VAN DEN MANH[aften] CAP[itain].JOHANMAURITS VAN HAPPEL OBYT 30 JUNY 1689, 09.15D[e].MANH[aften].JOHAN MAURITS V[an] HAPPEL V[an] RAUSENB[aum]IN SYN LEV[even] CAP[itain].MILI[tair].OB [iit].13 JUNY 1690 O[ud].34JAR[en.]D[e].H[eer].M.HENRIC DE BOLLAN VAN BAT[atavia].IN SYNLEV[en].DROSST.V[an].DE BAT[aviasche].OMMEL[anden].OB[iit] 23SEP[tember]1701 O[ud] 45 JA[ren].IO M[aanden].

IN TAMINATIS FULCET HONORIBUS

D[e].E[e].D[ele].H[ee]RHARMAN DE WILDE UIJT DEN HAAG IN SYNLE[ven].RAAD ORDINARIS EN VELD OVER[ste] V[an].INDIAOB[iit].14 NOV[ember] 1707 O[ud].58 JA[aa]R 7 M[aanden] 26D[agen]

HIC META DOLORUM

Page 11: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Lilie Suratminto

8

Makna inskripsi tersebut adalah sebagai berikut:

Yang mulia Jaques de Bollan dari Luiksemasa hidupnya sebagai Kepala Pengurus Yatim Piatu dari kota ini. Meninggal pada akhir(29) Februaritahun 1684 dalam usia 71 tahun.Di sini juga dimakamkanHenrietta van Happel dari Bataviaputri bungsu dari kapten yang gagah beraniJohan Maurits van Happelmeninggal tanggal 30 Juni 1689, usia 9.bulan 15 hariJohan Maurits van Happel yang gagah berani dari Rausen Baum semasa hidupnya sebagaikapten militer meninggalpada tanggal 13 Juni 1690 dalam usia 34 tahunTuan Henric de Bollan dari Bat[avia] semasa hidupnya sebagai hakim dari wilayah sekitarBatavia meninggal pada tanggal 23 September th. 1701 dalam usia 45 tahun 10 bulan

TELAH TIADA YANG MULIA YANG SEMPURNA

Yang mulia tuan Harman de Wilde dari Den Haag semasa hidupnya anggota Dewan HarianPemerintah Kota dan Letnan kolonel (overste) Hindia meninggal pada tanggal 14 November1707 dalam usia 58 tahun 7 bulan 26 hari

DI SINI KITA BERDUKA

SIMPULAN

Dari pokok bahasan ini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan untuk mempergunakan abreviasidan akronim sudah membudaya pada masyarakat VOC di Batavia padaa abad 17 dan 18. Hal inidapat dipastikan bahwa pengetahuan untuk membuat abreviasi dan akronim ini sudah mengakarpada budaya orang Belanda selama berabad-abad, sejak kepada mereka diperkenalkan aksaraLatin pada masa pendudukan bangsa Romawi di negeri mereka yang berlangsung lebih dariempat abad (57 SM s.d. 350 M). Budaya membuat abreviasi dan akronim dipacu olehkebutuhan dalam membuat placaat ’pengumuman resmi dari pemerintah’ dengan media yangterbatas, misalnya pada lempengan logam, kayu atau batu seperti pada batu nisan atau prasasti-prasasti pada monumen-monumen penting dalam rangka mengenang pahlawan atau pendiriansebuah bangunan (jembatan, gereja, patung-patung pahlawan, dan sebagainya). Untukmengetahui bentuk etimologis dalam rangka memaknai sebuah inskripsi (data verbal) dariprasasti pada batu-batu nisan VOC di Batavia atau di mana saja, diperlukan penguasaan bahasadan sejarah kehidupan sosial budaya Belanda abad 17 dan 18. Pembahasan abreviasi danakronim pada batu-batu nisan VOC di Batavia ini hanya sebuah contoh kecil; dan pendekatanini dapat dipergunakan untuk menelusuri bentuk-bentuk etimologis abreviasi dan akronim darisemua batu nisan sezaman, baik di Indonesia maupun di tempat-tempat di mana masihtersimpan batu-batu nisan Belanda pada abad 17 dan 18. Mudah-mudahan dengan dipahaminyabentuk etimologis dan makna yang terkandung di balik batu nisan tersebut akan bertambahkhasanah budaya dan apresiasi warisan budaya kolonial yang mewarnai sejarah kehidupansosial bangsa Indonesia di masa kini maupun di masa yang akan datang.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

Page 12: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

9

DAFTAR PUSTAKA

Alkemade, W.R.C. 1995. Oud Schrift 1700-1825. Den Haag: Centraal Bureau voor Genealogie.

Bloys van Treslong Prins, P.C. 1934. Grafschriften van Europeanen in Nederlands-Indië.Batavia: Albrecht Batavia Weltevreden.

Christomy, T. dan Untung Yuwono (eds.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat PenelitianKemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UniversitasIndonesia.

Dael, P.C.J. van. 1988. "De Taal van het Grafteken", dalam J. Fortuin en Jan van Kilsdonk(eds). Afscheid nemen van onze doden; Rouwen en Rouwgebruiken in Nederland.Kampen: J.H. Kok, hal. 37-57.

Danesi, Marcel and Paul Perron. 1999. Analyzing Cultures - an introduction & handbook.Bloomington-Indianapolis: Indiana University Press.

Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan ke-4.

Diessen, J.R. van. 1989. Jakarta/Batavia - Het centrum van het Nederlandse koloniale rijkin Azië en zijn cultuurhistorische nalatenschap. De Bilt: Canteleer.

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana- pengantar analisis teks media. Yogyakarta: LkiS, cetakanke-4.

Kridalaksana, Harimurti. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. SeriILDEP no. 33. Yogyakarta: Kanisius.

____________. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

____________ . 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet ke-2.

Hermkens, H.M.. 1973. Inleiding in het Zeventiende-eeuws. ’s Hertogenbosch: LCGMalmberg, cetakan 4.

Katzmann, E.J.C.. Geschriften van Europeanen in Nederland-Indië, naar origineleaanvulling van P.C. Bloys van Treslong Prins, aangevuld met gegevens uit anderebronnen. ‘s Gravenhage: Indisch Genealogische Vereniging.

Kruyskamp, C. (eds.). 1961. Van Dale Groot Woordenboek der Nederlandse Taal. ‘sGravenhage: Martinus Nijhoff, cet.8.

Marwoto, B.J dan H. Witdarmono. 2004. Proverbia Latina ; Pepatah-Pepatah Bahasa Latin.Jakarta : Kompas.

Pastoureau, Michel. 1997. Heraldry; its origin and meaning. Trieste: Editoriale Libraria.

Peters, Marion. 2002. In steen Geschreven; Leven en sterven van VOC dienaren op de kustvan Coromandel in India. Amsterdam: Bas Lubberhuizen.

Sterkenburg, P.G.J. van. 1981. Een Glossarium van Zeventiende-eeuws Nederlands.Groningen: Tjeenk Willink.

Suratminto, Lilie. 2001. Makna Lambang Heraldik dan Penggunaan Bahasa pada Lima Batumakam Belanda di Museum Wayang Jakarta. Depok: FSUI Laporan Penelitian.

_____________. Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia.Jakarta: Wedatama WidyaSastra. VOC –Glossarium

Page 13: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Lilie Suratminto

10

VOC- Glosarium. 2000. Verklaringen van termen, verzameld uit de rijks geschiedkundigepublicatiën die betrekking hebben op de Verenigde Oost-Indische Compagnie. DenHaag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis.

Winkel, Dr. J. T.. 1901. Geschiedenis der Nederlandse Taal. Amsterdam: Culemborg, Blom &Olivierse.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika. Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang akan KitaLakukan Dengannya. Kata Pengantar: Toeti Heraty Noerhadi. Jakarta: Yayasan SumberAgung.

Lilie [email protected] Indonesia

Page 14: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 11-22

KENDALI INTERAKSIONAL SEBAGAI CERMINAN IDEOLOGI: ANALISIS WACANA KRITIS TRILOGI DRAMA OPERA KECOA

Ganjar Hwia*Pusat Bahasa

Abstract

Interactional control analysis within this critical discourse analysis (CDA) framework iscorrelated with ideology reflected from the conversations in the drama text Trilogi DramaOpera Kecoa written by N. Riantiarno, a trilogy drama which consists of Bom Waktu(1982), Opera Kecoa (1985), and Opera Julini (1986). One operational characters of CDAis ideological discourse function analysis. Interactional control within this analysis iscorrelated with how speech roll is arranged in the dialog. The kind of roll depends on turntaking applied within the conversation. The turn-taking is used as a pattern to see therelationship ideologically between one speaker and the other, including the one whodetermines the theme or the one who is more dominant and more powerful among theparticipants

Key words: interactional control, ideology, critical discourse analysis, drama text

ALU-ALUAN: ANALISIS WACANA KRITIS UNTUK KAJIAN SASTRA

Masih ada yang menyangsikan ketika sebuah karya sastra dianalisis dalam bingkai kajianlinguistik. Kesangsian itu bisa disebabkan sifat sastra itu sendiri yang dianggap bebas tafsir,cenderung antirasio, dan sekuler. Di sisi lain, sifat-sifat itupun sejajar dengan sifat “tafsiran”terhadap sastra yang dianggap “tidak dapat diraba" (untangible) dan tak memiliki konvensiyang baku. Namun demikian, bukan berarti karya sastra tidak dapat ditempatkan dalam kajianlinguistik. Karena bagaimanapun rumusan dan pengertian para ahli tentang sastra, bahasa tetapmerupakan medium bagi penciptaan karya sastra yang tidak dapat diabaikan (Widdowson,1975: 203).

Bahasa bagi karya sastra dapat disamakan dengan garis dan bidang bagi seni lukis,gerak dan irama pada seni tari, nada dan irama dalam seni musik. Oleh sebab itu, karya sastramemiliki status khusus sebagai seni verbal; bahasa dianggap sebagai inti semiotika kemanusiaanyang bermakna dalam komunikasinya (Cummings dan Simmons, 1986: vii). Peneliti yangmengkaji aspek bahasa dalam karya sastra pada dasarnya sedang meletakkan karya sastrasebagai proses komunikasi yang dilakukan oleh sastrawan kepada pembaca melalui lambang-lambang bahasa.

Di dalam dunia analisis wacana, karya sastra disebut wacana sastra (literaturediscourse). Ciri umum untuk wacana sastra terletak pada penggunaan bahasa atau rasabahasanya yang dikemas secara estetis serta bentuk dan isinya beorientasi imajinatif dan fiktif,tetapi tidak menutup kemungkinan mengandung fakta atau bahkan hampir sama dengankenyataan.

Analisis wacana untuk karya sastra merupakan implikasi praktis dari teori-teorilinguistik. Implikasi praktis tersebut akan bersentuhan dengan teori-teori sastra karena objekkajiannya sama, yaitu pemakaian bahasa secara nyata (Beaugrande, 1993: 17—20). Analisiswacana, khususnya analisis wacana kritis (AWK), dapat memberikan sebuah pendekatan yangmembuka wawasan baru bagi studi bahasa dan studi sastra. Salah satu keunggulan AWK dalammeninjau karya sastra—dan menjadi ciri khas analisisnya—terletak pada pemosisian ideologidalam analisisnya.

Pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, bermula di Prancis, terjadi perubahan-perubahanpenting dalam linguistik ketika ilmu ini terjun untuk mengonstruksi pelbagai makna. Demikian

Page 15: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ganjar Hwia

12

pula dengan pembahasan wacana dan pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya memilikiimplikasi radikal, terutama pada ilmu-ilmu kemanusiaan dan kajian sastra (Macdonell, 2005:xvii). AWK merupakan salah satu bagian dari analisis wacana yang terlibat dalam peristiwapengkonstruksian makna-makna tersebut. AWK menyediakan teori dan metode yang bisadigunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana danperkembangan sosial dan kultural dalam ranah sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips,2002: 60). Dalam AWK, wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. MenurutFairclough dan Wodak (1997), AWK melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosialsehingga perlu diperhatikan kriteria yang holistik dan kontekstual (Jorgensen dan Philips, 2002:65).

Kualitas suatu wacana kritis akan selalu dinilai dari segi kemampuan menempatkan tekspada konteks yang utuh. Wacana tidak lagi dipahami sekadar serangkaian kata atau proposisidalam teks, tetapi sebagai sebuah gagasan, konsep, atau efek yang dibentuk dalam suatu kontekstertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Dalam kaitan inilah AWKmenganalisis fungsi wacana secara ideologis. Dalam AWK, praktik kewacanaan memberikankontribusi kepada penciptaan dan pereproduksian hubungan kekuasaan yang tidak setara antarakelompok-kelompok sosial, seperti kelas-kelas sosial, perempuan dan laki-laki, atau kelompokminoritas dan mayoritas. Efek-efek tersebut dipahami sebagai efek ideologis.

SEKILAS TENTANG TEKS TRILOGI DRAMA OK SERTA PRAKTIKKEWACANAAN DAN PRAKTIK SOSIALNYA

Trilogi Drama Opera Kecoa (OK) karya Nano Riantiarno (NR) terdiri atas drama Bom Waktu(BW, 1982), Opera Kecoa (OK, 1985), dan Opera Julini (OJ, 1986). Trilogi Drama OK berki-sah tentang masyarakat dari sebuah kelas sosial yang termarginalkan. Mereka yang kapan sajabisa digusur. Mereka yang sering diperlakukan diskriminatif, baik secara politik, ekonomi,budaya, ataupun hukum. Mereka adalah para gelandangan, pemulung, pelacur, banci, dan ban-dit yang mencari penghidupan di kota. Mereka sering dianggap sampah oleh penguasa yang ko-rup. Penguasa yang merasa dirinya “garuda” dan berhak melegalkan ketidakadilan atas nama“pembangunan dan kesejahteraan rakyat”.

Drama OK dapat mewakili fenomena kepopuleran Trilogi Drama OK dan dianggapsebagai naskah yang mewakili gaya penulisan NR (Anwar, 2005:129). Drama OK pertama kalidipentaskan oleh Teater Koma (TK) pada tahun 1985 di Graha Bhakti Budaya, Taman IsmailMarzuki (TIM) selama lima belas hari. Pementasannya dipadati penonton. Hari pertunjukan di-perpanjang tiga hari karena penonton tetap membeludak. Bahkan ada penonton yang rela mem-beli tiket dari calo dengan harga lima kali lipat. Ketika drama OK dipentaskan di GedungRumentang Siang, Bandung, gedung pertunjukan diancam akan dibom, tetapi pementasan terusberjalan dan ancaman itu tidak terbukti.

Pada bulan Februari 1991 drama OK direncanakan akan dipentaskan di empat kota diJepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Yokohama) dengan seluruh biaya produksi ditanggung pihakJapan Foundation. Namun, rencana pentas keliling itu dibatalkan. TK dilarang pentas di luarnegeri. Alasannya, TK tidak termasuk dalam daftar kelompok teater yang mempunyai izin pen-tas. Bahkan uji coba pementasannya di Gedung Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) dibu-barkan pihak berwajib. Padahal, pementasan itu sudah dipersiapkan dengan matang lebihkurang dua tahun (diundang tahun 1989).

Pelarangan pentas drama OK di Jepang itu merupakan ekses pemberedelan pertunjukandrama Suksesi karya NR di TIM pada bulan November 1990. Drama Suksesi “diduga bisamenimbulkan terjadinya pandangan yang keliru mengenai pimpinan negara”. Drama itu diang-gap sebagai kritik tajam terhadap Orde Baru dan keluarga Cendana. Pada tahun 1980-an dantahun 1990-an, yaitu semasa dengan pemroduksian drama OK dan Suksesi, “pendekatan kea-manan” sering diterapkan pada perizinan pentas kesenian, khususnya pentas teater. Misalnya,

Page 16: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

13

tahun 1981 lakon Inspektur Jendral yang akan dimainkan Teater Gadjah Mada di Jakarta dila-rang dan tahun 1985 pentas teater Catatan Harian Seorang Koruptor yang akan dimainkankelompok Teater Dinasti pimpinan Emha Ainun Nadjib juga dilarang. Pada era itu, pelaranganpentas-pentas drama dan kesenian yang dinilai dapat “menggangu ketertiban masyarakat” kerapterjadi. Jakob Sumardjo dalam buku Ekologi Sastra Lakon Indonesia (2007) memasukkan eraini pada “masa penekanan” (1975—1998) dalam hubungannya dengan kesenian di era OrdeBaru.

Dalam pandangan Norman Fairclough, ada dua sisi dari praktik kewacanaan sebuahteks, yaitu (1) pemroduksian teks yang ditinjau dari sisi pembuat teks dan “agen” pembuat teksyang memungkinkan teks itu terpublikasikan dan (2) pengonsumsian teks yang dilihat dari sisikhalayaknya (lihat Jorgensen dan Philips, 2002:68). Pemroduksian dan pengonsumsian teksTrilogi Drama OK berhubungan dengan jaringan yang kompleks. Dari berbagai jaringan yangkompleks tersebut, setidaknya ada tiga aspek yang penting. Pertama, dari sisi penulis teks.Kedua, dari sisi bagaimana hubungan antara penulis dengan “agen” pelaksana atau penyampaiteks tersebut. Ketiga, praktik atau rutinitas kerja dari penulis teks dan “agen” penyampai teksitu. Ketiga aspek itu saling terkait dalam meninjau produksi teks Trilogi Drama OK.

Aspek penulis teks melingkupi latar belakang pendidikan, perkembangan profesional,orientasi atau sikap kesenian, dan kiprah pembuat teks dalam dunia profesionalnya. Aspek yangbersifat individual dari penulis teks itu secara teoretis berpengaruh terhadap bagaimana suaturealitas dituangkan dalam teks. Untuk melakukan konstruksi realitas, penulis teks sastramemakai suatu strategi kontruksi. Strategi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hinggaparagraf. Hasil dari proses ini adalah wacana atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan(teks, wacana dalam wujud tulisan). Oleh karena teks drama itu telah dipengaruhi oleh berbagaifaktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik teks drama itu terdapat makna dan citra yang di-inginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.

NR, sebagai penulis teks Trilogi Drama OK, terkenal sebagai aktor (drama/teater),penulis (novel, puisi, dan drama), dan sutradara (drama/teater dan film/sinetron). Kiprah NR didunia kesenian membuahkan beberapa penghargaan atas karya-karya dan sumbangannya padadunia sastra. Selain itu, diketahui pula bahwa teks Trilogi Drama OK tidak terlepas dari idedasar pembuatan Trilogi Drama OK yang bersumber dari keadaan masyarakat. NR mengakubahwa dirinya hanya ingin membuat cermin sosial-politik, bukan ingin mengkritik apalagimembuat perubahan karena dramanya itu. Ideologi ini pun dilatarbelakangi pula oleh keya-kinan NR bahwa masyarakat ialah “ibu yang melahirkan kesenian”.

Pemroduksian teks Trilogi Drama OK berhubungan pula dengan bagaimana kaitanantara penulis teks dengan “agen” penyampai teks tersebut, yaitu TK, serta rutinitas kerja daripenulis teks dan “agen” penyampai teks itu. Dari sisi ini, TK tidak dapat dilepaskan dari NR,demikian pula sebaliknya. Keduanya seolah identik. Kreativitas NR sebagai pemain, penulis,dan sutradara teater seiring dengan kiprah TK di dunia teater. TK tidak berafiliasi dengan orga-nisasi politik tertentu karena aktivitas keseniannya bukan untuk kepentingan golongan ataukelompok tertentu. Jika dalam pementasannya ada kritikan atau sindiran, hal itu tetap dilandasiideologi untuk “memahami kehidupan” dan “tidak untuk membenci” sesuai tuntutan “kode etik”TK.

Dari aspek pengonsumsian dapat dilihat ideologi “kesenian/drama untuk semua orang”.Hal ini berkaitan dengan TK yang sering mementaskan drama-drama karya NR untuk khalayakumum (tidak elitis) dan mempunyai banyak penonton dari berbagai kalangan, mulai dari kalang-an mahasiswa sampai aparat keamanan. Meskipun demikian, kuantitas konsumen “pembaca”teks Trilogi Drama OK tidak identik dengan kuantitas konsumen “penonton” teks pementasanTrilogi Drama OK.

Pemroduksian dan pengonsumsian Trilogi Drama OK terjadi pada era pemerintahanOrde Baru. Orde yang disebut sebagai Orde Pembangunan ini dalam program pemerintahannya

Page 17: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ganjar Hwia

14

menekankan pada stabilitas keamanan dan keberlangsungan pembangunan dengan RencanaPembangunan Lima Tahun (Repelita). Dengan latar belakang ideologi pembangunan itulahpraktik sosial Trilogi Drama OK tercipta. Pada era Orde Baru, ideologi dominan yangdijadikan pembenaran kebijakan bagi aparatur pemerintah adalah “pembangunan”. Pembangun-an selalu dijadikan pembenaran terhadap setiap kebijakan yang diambil penguasa sebagaimasyarakat politik (political society).

Secara praktik sosial, teks Trilogi Drama OK memunculkan ideologi yang “menentangpembangunan sebagai pembawa ketimpangan sosial dan politik”. Praktik pembangunan yangdigambarkan dalam Trilogi Drama OK adalah pembangunan yang dipenuhi rekayasa, janjipalsu, dan doktrin “kesejahteraan”, tetapi yang terjadi adalah penyengsaraan melalui pembong-karan dan penggusuran tempat tinggal mereka untuk membangun gedung-gedung, flat-flat, danhotel-hotel.

Praktik-praktik penggusuran yang digambarkan di dalam Trilogi Drama OK sejalan de-ngan berbagai pola penggusuran yang terjadi, yaitu (1) pengerahan kekuatan berlebihan danpenggunaan senjata, (2) kriminalisasi dan penangkapan serta penahanan sewenang-wenang ter-hadap warga, (3) kekerasan terhadap perempuan, (4) pengrusakan dan perampasan barang, dan(5) pembakaran atau bumi hangus. Dalam hal ini, negara dianggap sebagai “perpanjangan dankekuasaan pribadi atau kelompok”. Itulah sebabnya, istilah seperti “demi kepentingan umum”,“pembangunan untuk seluruh masyarakat”, “negara tidak mungkin mau mencelakakanwarganya”, serta ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam per-nyataan-pernyataan politik para petinggi negara. Rakyat harus pindah dari pemukimannyadengan alasan “demi kepentingan umum”, meskipun dengan ganti rugi yang sangat kecil atautanpa ganti rugi sama sekali. Seringkali masyarakat yang menyuarakan aspirasinya dituduhhanya memperjuangkan “kepentingan kelompok” yang bersifat sektarian, sedangkan ke-pentingan negara selalu merupakan “kepentingan umum” yang bersifat nasional (Budiman,1996: 1—2).

POSISI IDEOLOGI DALAM TEKS DRAMA DAN KONSEPTUALISASIANALISISNYA

Gambaran fenomena Trilogi Drama OK di atas adalah contoh bagaimana sebuah nilai estetisnaskah (dan pementasan) drama dapat mengekspresikan dimensi sosiologis suatu masyarakat.Bahkan ketika elemen estetis dan sosiologis itu berpadu, sebuah naskah drama dapat dianggapmemiliki elemen ideologi tertentu yang tersembunyi di dalamnya. Ideologi diartikan sebagaikeyakinan atau seperangkat keyakinan yang menjadi landasan bagi orang, masyarakat, ataunegara untuk melakukan suatu tindakan. Gambaran itu juga mengukuhkan bahwa karya sastratidak bisa dipisahkan dari ideologi pencipta, penerbit, dan pembacanya. Kenneth Burke me-ngatakan bahwa karya sastra sebagai equipment for living tidak terpisahkan dari ideologi(1973:293—304). Pendapat ini ditekankan pula oleh beberapa teoritisi sastra, antara lain DavidCraig (1973), David Daiches (1960), Terry Eagleton (1983, 1991), Toril Moi (1990), dan Ray-mond Williams (1971, 1973).

Ketika membuat karya sastra, sastrawan memakai suatu strategi tertentu dalammerespon, mengkritik, atau menggambarkan situasi sosial masyarakat yang mencakup pilihanbahasa, dari kata hingga paragraf. Hasil dari proses inilah yang disebut “Wacana”—dengan “W”kapital (lihat Gee, 2005: 21 & 26—27) atau realitas yang berupa tulisan (teks atau wacanadalam wujud tulisan)—dalam konteks ini “Wacana” itu berupa teks Trilogi Drama OK..Dalam karya sastra prosa, ideologi dapat ditafsirkan dalam sudut pandang narator (juru kisah).Ideologi ini berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan posisi pengarang terhadap realitasmasyarakatnya. Namun, drama tidak menyajikan seorang narator, tetapi terdiri atas dialog-dialog atau percakapan antartokoh. Dialog-dialog tersebut sangat ditentukan oleh hubunganantartokoh dalam percakapan dan peran tokoh bersangkutan dalam kelompoknya. Hubungan

Page 18: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

15

antartokoh itu mencerminkan realita, yaitu hubungan antarmanusia, yang diatur oleh norma-norma atau ideologi masyarakat tertentu. Hubungan tersebut tercermin dalam percakapan paratokoh, apakah itu antara orang miskin dengan orang kaya, penguasa dengan rakyatnya, majikandengan buruh, pria dengan wanita, dan sebagainya. Pandangan tersebut sejalan dengan pendapatLouis Althusser yang menyatakan bahwa sikap dan tindakan seseorang dikendalikan olehideologi kelompok masyarakat tertentu (Althusser, 2006:10—15).

Untuk kepentingan menemukan ideologi dalam teks drama, ideologi tetap diposisikansebagai hasil pengontruksian makna yang secara mendasar berhubungan dengan prosespembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris—berhubungan dengan proses pembenarandominasi. Penggunaan pengertian ini menunjukkan apa yang disebut konsepsi kritis ideologi(critical conception of ideology) yang mengikat analisis tentang ideologi pada pertanyaan kritis.Konsepsi kritis tersebut digunakan untuk membedakannya dengan konsep ideologi yang diguna-kan secara deskriptif atau konsepsi netral (neutral conception) (Thompson, 2007:17).

Sehubungan dengan itu, AWK dalam menganalisis teks drama untuk melihat ideologi didalamnya tidak menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi melihat konteks, terutama ba-gaimana ideologi dari seseorang atau kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalammembentuk wacana. Selain itu, teks drama sangat bergantung pada situasi percakapan sehinggamakna tuturan tidak bisa ditentukan dari susunan kebahasaannya saja, tanpa mempetimbangkansusunan retorika yang terkait dengan situasi konteks komunikasi yang mendukungnya. Situasikomunikasi begitu penting dalam teks drama yang biasanya tergambar dari situasi percakapandan petunjuk pemanggungannya. Signifikasi suatu tuturan dalam teks drama yang terlepas darisituasi komunikasinya adalah sesuatu yang kosong. Hanya situasi yang memungkinkanterbentuknya kondisi percakapanlah dapat memberi makna pada ujaran itu. Karena jika teksdrama tanpa konteks, dialog-dialognya hanya kata-kata yang mati dan tidak bermakna (Zaimar,2008:45).

KENDALI INTERAKSIONAL DALAM STRUKTUR TEKS TRILOGI DRAMA OKSEBAGAI CERMINAN IDEOLOGI

Kendali interaksional berhubungan dengan bagaimana giliran berbicara diatur dalam sebuahdialog. Pengaturan tersebut tergantung pada pergantian giliran (turn-taking) yang diberlakukan.Pergantian giliran ini dipakai sebagai pola untuk melihat hubungan antara penutur denganpenutur lainnya, termasuk siapa yang menentukan agenda percakapan atau siapa yang lebihdominan dan berkuasa di antara partisipan.

Percakapan antara dua tokoh dalam Trilogi Drama OK dapat terjadi ketika salah satutokoh sedang berbicara—pihak pertama (A), tokoh lain—pihak kedua (B) akanmendengarkannya serta menunggu giliran untuk merespon pembicaraan sertamenginterpretasikan maksud dari lawan bicaranya, dan seterusnya. Giliran itu dapatdigambarkan dalam pola “A-B-(A-B…dst.)”. Secara teknis, percakapan antara dua orangmenggambarkan bahwa ketika orang pertama (A) sedang berbicara, orang kedua (B)mendengarkan kemudian ketika orang kedua (B) giliran berbicara, orang (A) mendengarkan,dan seterusnya.

Demikian juga bentuk-bentuk tuturan yang timbul dalam percakapan yang melibatkanlebih dari dua tokoh atau multipartisipan, polanya tetap secara bergiliran dan berhubungan.Giliran itu dapat digambarkan dalam pola “A-B-C-D(D-A-B-C-D … dst)”. Secara teknis,percakapan multipartisipan menggambarkan bahwa ketika tokoh (A)—sebagai pihak pertama—sedang berbicara, tokoh (B), (C), dan (D) mendengarkan kemudian ketika orang kedua (B)berbicara, orang (A), (C), dan (D) mendengarkan, dan seterusnya. Pola-pola giliran terstruktursecara sistematis, artinya pola-pola itu memperlihatkan kapan partisipan harus berbicara, kapanharus diam, dan kapan harus berbicara kembali.

Page 19: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ganjar Hwia

16

Selain memperlihatkan pola giliran yang lumrah seperti contoh-contoh tersebut,percakapan di dalam Trilogi Drama OK mencerminkan ada atau tidaknya kesetaraanantarpatisipan. Misalnya, dialog-dialog yang disusun dalam percakapan-informal di antara parapartisipan yang setara diatur dengan “kesepakatan”. Kesepakatan itu dapat dilihat ketika (1)seorang yang berbicara memilih pembicara selanjutnya, (2) pembicara selanjutnya secaraotomatis mendapat giliran berbicara, atau (3) jika (1) dan (2) tidak terjadi juga, maka pembicarayang sedang berbicara tersebut boleh meneruskan pembicaraan. Marilah kita lihat tekspercakapan Roima, Jumini, Julini, dan Kasijah berikut:

[....](1) ROIMA : Memang jelek nasib kita.(2) JUMINI : Tak pernah senang selalu kepepet.(3) JULINI : Selalu jelek, padahal kita sudah cukup berusaha.(4) KASIJAH : Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Tarsih tidak

bisa datang, nasibnya jauh lebih bagus dari kita.(5) JUMINI : Kenapa rupanya.(6) KASIJAH : Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak

usah kerja apa-apa, disediakan rumah, uang setiapbulan… Dia bisa tenang, kita akan terus bantingtulang dengan hasil secuil. Dan dikejar-kejar …

(7) JUMINI : Jadi sudah tetap maksudmu Jul, Roim? Ah, barangkaliini terakhir kita kumpul (TURKANA DIAM SAJA DIPOJOK).

(8) JULINI : Kalau tidak pergi lantas mau kemana. Kita samaRoima pergi berbareng, tapi tujuannya beda-beda.

(9) JUMINI : Ke mana Roima, ke mana Julini?(10) ROIMA : Aku pun belum tahu mau pergi ke mana, yu.(11) JUMINI : Kita semua akan kehilangan kalian ...

[....] (BW, h. 41)

Teks percakapan tersebut memperlihatkan tokoh lebih dari dua atau multipartisipan,tetapi bentuk-bentuk tuturan yang timbul dalam percakapan tetap secara bergiliran danberhubungan; sama halnya dalam percakapan yang hanya melibatkan dua partisipan. Di dalampercakapan tersebut yang memulai percakapan adalah tokoh Roima pada sekuen (1), yangsekaligus mengagendakan isi percakapan. Tuturan Roima membuka kesempatan bagi tokohJumini, Julini, dan Kasijah untuk memberi tanggapan atau jawaban.

Meskipun ada yang mengagendakan isi percakapan, seluruh partisipan mempunyai hakyang sama untuk memilih pembicara lain, memilih diri sendiri untuk berbicara, ataumeneruskan pembicaraan. Seperti terlihat dalam sekuen (2), (3), dan (4), Julini, Jumini, danKasijah secara bergiliran menanggapi perkataan Roima yang dituturkan pada sekuen (1).

Percakapan-informal antara para partisipan yang setara seperti contoh tersebutmempunyai signifikansi yang besar terhadap sebuah bentuk ideal dalam interaksi sosial. Didalamnya tidak ada dominasi atau tidak memperlihatkan siapa yang paling dominan atauberkuasa. Keadaan itu tentunya sangat berbeda dengan percakapan yang di dalamnya terdapatjarak status-sosial dan ada dominasi antara partisipan. Kesetaraan dalam percakapan semacamitu sangat terbatas. Ketika itu terjadi, kaidah interaksi secara umum memunyai penjelasan lebihkhusus. Kita lihat teks percakapan antara tokoh Camat dan Kumis berikut:

Page 20: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

17

[….]

(1) CAMAT : Ini perintahku yang mau tidak mau harus kamujalankan. [….] Aku diperintahkan untuk membersihkanseluruh daerah ini. Tanpa pandang bulu. [….] Itu sajayang ingin kukatakan.

(2) KUMIS : Siap, pak. Tapi ngomong-ngomong, daerah tempatTarsih praktek juga di ….

(3) CAMAT : Semua kataku. Tarsih, jangan lagi kamu sebut-sebut. Iasudah bukan Tarsih lagi, ia sudah insaf lantaran aku.

(4) KUMIS : Insaf, maksud Bapak.(5) CAMAT : Itu bukan urusanmu, Kumis. Pendeknya apa yang

kuperintahkan tadi, segera jalankan. Kasih waktu satuatau dua bulan untuk mereka siap-siap pindah. Semuayang tidak punya izin bangunan, bongkar saja. Paham?

(6) KUMIS : Paham pak, tapi ngomong-ngomong untuk apa BapakGubernur datang meninjau daerah ini?

(7) CAMAT : Itu tugas negara yang penting. Tentunya untuk, untuk… wooahh, mana aku tahu. Yang jelas beliau maumeninjau, titik. Itu saja..

[….](BW, h. 34)

Pola giliran di dalam percakapan di atas tidaklah sama sebagaimana yang ditunjukkanantara partisipan yang setara. Kumis, sebagai anak buah Camat, hanya mengambil giliran jikasebuah pernyataan dilontarkan kepadanya. Camat lebih dominan dalam percakapan itu karenaKumis tidak bisa memilih giliran percakapannya. Hal itu tidak hanya terjadi pada giliran yangdipaksakan kepada Kumis, tetapi juga isi dari pembicaraan yang harus di katakan, sepertiterlihat pada tuturan “Ini perintahku yang mau tidak mau harus kamu jalankan.” atau “Itubukan urusanmu, Kumis.”.

Kumis dibatasi untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan pernyataan Camat.Camat bisa memberikan informasi atau perintah-perintah. Dia bisa memberikan evaluasi umpanbalik pada jawaban Kumis atau memberi alasan pada Kumis, misalnya pada sekuen (3) dan (7),atau membuat komentar yang evaluatif, seperti pada sekuen (5). Percakapan antara partisipanyang tidak setara itu didasari dan direproduksi secara ideologis oleh status sosial dan kedudukanseseorang.

Dalam percakapan antara Camat dan Kumis, partisipan yang lebih berkuasamemberikan ruang lingkup yang sempit atau ketidakleluasaan terhadap partisipan yang lebihlemah. Ada bermacam-macam cara yang dipakai untuk melakukan hal tersebut, sepertiinterupsi, pemaksaan kehendak, serta pengontrolan topik dan formulasi atau perumusan.

Di dalam teks Trilogi Drama OK, interupsi dalam percakapan dapat kembali dilihatdalam percakapan antara Camat dan Kumis. Camat menyela Kumis pada sekuen (3) dengantujuan untuk menghentikan Kumis memulai pembicaraan atau mengomentari tentang keadaanTarsih, atau memberikan informasi yang malah memojokkan. Interupsi itu ditandai denganmemotong tuturan Kumis pada sekuen (2) “ […] Tapi ngomong-ngomong, daerah tempatTarsih praktek juga di ….”.

Pemaksaan kehendak sering digunakan oleh yang mempunyai kekuasaan, misalnyamemaksa partisipan untuk menuruti keinginan yang berkuasa. Orang yang memunyaikekuasaan sering memberi alasan kuat agar perintah atau kemauannya dilaksanakan. Kita lihatteks percakapan berikut:

Page 21: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ganjar Hwia

18

[….]

(1) PETUGAS : Dengar saya, mbak-mbak, dengar saya. Yang tidakmau mendengar pasti menyesal. Ini penting untukmasa depan mbak-mbak. Penting. Setiap hari, sayayakin, mbak-mbak pasti bercermin. Coba sekaliwaktu perhatikan wajah kalian. Apa tidak pernahpunya rasa malu?.

(2) BANCI-1 : Punya kok, Cuma nggak pernah dipakai. Hanyadipakai kencing.

(3) PETUGAS : Ini bukan guyonan. Ini penting. Dalam rangkapembangunan mental, segala prilaku yangmenyinggung perasaan akan disikat habis. Apalagiprilaku yang amoral, seperti kalian. Menjadi bancisaja sudah dosa, apalagi sekalian menjadi pelacur.

(4) BANCI-2 : Banci itu kodrat. Pernah baca buku nggak?(5) PETUGAS : Kodrat, tapi kan tidak harus jadi pelacur?(6) BANCI-3 : Jangan main-main pak, saya ini dwifungsi lho. Siang

jadi tukang becak, malam hari ngebanci untuk caritambahan. Anak saya lima, istri saya tahu kerja sayakalau malam apa.

(7) PETUGAS : Apa tidak bisa kerja lain?(8) BANCI-3 : Bisa. Merampok. Tapi kan dilarang?(9) PETUGAS : Melacur juga dilarang, tahu gak? Dan saya datang

untuk memperingatkan kalian, mumpung masih adawaktu.

[….](OK, h. 37)

Percakapan tersebut terjadi ketika seorang petugas hendak merazia sekelompok banci.Petugas mencoba cara persuasi dan memberi alasan kuat agar para banci meninggalkanpekerjaannya sebagai pelacur. Supaya alasannya diterima, Sang Petugas menyatakan penekandalam tuturannya, seperti terlihat dalam tuturan pada sekuen (1): “Yang tidak mau mendengarpasti menyesal. Ini penting untuk masa depan mbak-mbak. Penting.” Bahkan, kata “penting”diucapkan tiga kali oleh Petugas, pada sekuen (1) dan (3), agar ucapannya didengarkan.Memberi alasan atau menyatakan alasan yang ambigu bisa menjadi alat yang berguna di tanganpartisipan yang lemah untuk berhubungan dengan partisipan yang lebih berkuasa. Alasan itubisa berarti penolakan, penyangkalan, atau ketidaksetujuan, seperti diungkapkan dalampernyataan tokoh Banci-1, Banci-2, dan Banci-3 pada sekuen (2), (4), (6), dan (8).

Bentuk penyangkalan pun dapat dilontarkan dengan cara bercanda seperti yangdituturkan Banci-1 pada sekuen (2) ketika menanggapi pernyataan Petugas pada sekuen (1).Namun, pemaksaan kehendak dari Petugas tetap diutamakan dengan menyatakan, “Ini bukanguyonan. Ini penting. Dalam rangka pembangunan mental, segala prilaku yang menyinggungperasaan akan disikat habis.”

Diam adalah cara lain untuk partisipan yang lemah. Cara ini digunakan untuk tidakmenyetujui atau menjalankan apa yang dikatakan oleh orang yang lebih kuat atau dominan.Dalam percakapan antara Turkana dan Jumini berikut memperlihatkan hal tersebut:

Page 22: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

19

[....](1) TURKANA : [….] Aku ingin kamu lihat kenyataan. Sueb dan Tole

sudah mati.(2) JUMINI : (DIAM SEPERTI PATUNG)(3) TURKANA : (LEMAS) Hampir satu tahun aku gembar-gembor, supaya

kamu sadar-sadar-sadar. Nyatanya sia-sia saja. Ah,terserahlah … (PERGI).(LAMPU BERUBAH LAGI)

(4) JUMINI : Masih mesam-mesem. Apa kamu melihat apa yang inginaku lihat? Sueb dan Tole sedang merindukan aku bukan?LAMPU PADAM CEPAT(NAMPAK PARA PATUNG SEDANG LAHAP-LAHAPNYA MENYANTAP HIDANGAN)

[....] (BW, h. 16)

Turkana bukan dalam kedudukan sebagai penguasa atau pejabat, tetapi dia dalam posisidominan dalam percakapan itu. Jumini mengakui kebenaran yang diucapkan Turkana. Dalamhal ini, Jumini dalam posisi lemah. Pilihan sikap diam dan tidak menanggapi pernyataanTurkana adalah sebuah cara untuk tidak menyetujuinya. Partisipan yang kuat dapat bertanyauntuk menghilangkan kediamannya dengan pertanyaan: mengertikah anda? atau setujukahanda? atau apa pendapat anda? Seperti dalam tanya jawab di kelas antara guru dan murid ataudalam interogasi polisi kepada saksi. Namun, yang dilakukan oleh Turkana adalah bukanbertanya seperti itu karena Turkana dan Jumini dalam posisi setara. Dia hanya mampumenyatakan sikap menyerah melalui tuturan: “Hampir satu tahun aku gembar-gembor, supayakamu sadar-sadar-sadar. Nyatanya sia-sia saja. Ah, terserahlah …”.

Topik atau tema dalam percakapan dapat dikendalikan dan dikuasai oleh partisipanyang lebih dominan. Partisipan yang lebih dominan sering berada pada posisi penentu topik.Berikut ini adalah sebuah contoh penentuan topik sekaligus perumusan dalam percakapan.

[....](1) TUMINAH : Dan lantaran sadar kita bakal ditendang, wajar kalau

sodok sana, sodok sini mengumpulkan banyak uang.(2) PELACUR-1 : Demi masa depan.(3) PELACUR-2 : Sesudah uang terkumpul, kita pergi ke Singapura, cari

dokter bedah pulang-pulang kita perawan lagi. Lalupulang kampung dan kawin dengan santri.

(4) PELACUR-3 : Kalau ditanya mertua: di Jakarta kerja apa? Kita akanjawab dengan lembut: oo, kita buka usaha.

(5) PELACUR-4 : Dagang.(6) TUMINAH : (PIDATO) Tapi percayalah saudara-saudara, kita

sadar, kita sadar harus kembali ke jalan yang benar.Usaha maksiat ini hanya untuk sementara. (SEMUATERTAWA TERBAHAK. MALAH ADA YANGSAMPAI TERKENCING) (TARSIH MASUK)

(7) PELACUR-4 : Ssssstt…[....]

(OK, h. 17)

Page 23: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ganjar Hwia

20

Teks percakapan tersebut menunjukkan tokoh Tuminah sebagai orang yang memulaipercakapan dan sekaligus menentukan topik atau mengagendakan isi percakapan. Penentuantopik itu terlihat pada sekuen (1): “Dan lantaran sadar kita bakal ditendang, wajar kalau sodoksana, sodok sini mengumpulkan banyak uang ”. Pernyataan itu membuka kesempatan bagitokoh Pelacur-1, Pelacur-2, Pelacur-3, Pelacur 4, dan Pelacur-5 untuk menanggapi dalamsekuen (2)—(5).

Giliran terakhir yang dimiliki Tuminah pada sekuen (6) merumuskan ataumemformulasikan pernyataan pada sekuen (2)—(5). Tuminah menawarkan kesimpulan dari apayang telah dikatakan partisipan bahwa “[…] kita sadar, kita sadar harus kembali ke jalan yangbenar. Usaha maksiat ini hanya untuk sementara.” Perumusan semacam itu mungkinmerupakan hak orang yang lebih berkuasa, tetapi bukan berarti mereka selalu dapatmengontrolnya.

Dilihat dari konvensi teks dramatik pada umumnya, percakapan dalam Trilogi DramaOK menggambarkan dialog antara tokoh secara tertib dan bergantian. Arah suatu dialog berasaldari salah satu tokoh yang berbicara ditujukan kepada tokoh lain yang mendengarkan.Kemudian berlaku sebaliknya, tokoh lain tersebut menjawab atau menyahutnya (bertindaksebagai pembicara) untuk didengar oleh lawan bicaranya sehingga terjadi interaksi timbal balikantara pembicara-pendengar. Jika salah satu tokoh berbicara, tokoh lain harus sabar menunggugiliran berbicara. Mereka berbicara bukan karena ingin berbicara, melainkan harus berbicarasesuai dengan pola logika percakapan.

Dengan demikian, dialog-dialog itu sudah terstruktur sehingga mudah dicerna karenakelogisan unsur cerita terlihat di dalamnya. Hal ini pula yang menunjukkan bahwa percakapandalam Trilogi Drama OK memiliki pola yang menggambarkan adanya hubungan “giliran tutur”(turn-taking) antara partisipan atau tokoh yang terlibat dalam percakapan. Percakapan itu dapatterjadi antara dua tokoh (dua partisipan percakapan) atau lebih (multipartisipan). Pola-polapercakapan tersebut, baik yang terjadi antara dua orang atau lebih, merupakan gambaran darigiliran tutur para partisipan yang terlibat dalam percakapan. Emanuel Schegloff (1972)menggambarkan pola percakapan tersebut bersifat umum dan bisa diidentifikasi secara eksplisitdengan pola A-B-A-B. Dikatakan bersifat umum karena percakapan yang ada dalam teksTrilogi Drama OK itu menggambarkan percakapan yang biasa ada dalam percakapan sehari-hari secara umum.

Pola giliran dalam percakapan dipengaruhi oleh latar (setting) waktu dan tempattertentu. Giliran untuk memberi respon atau berbicara telah diatur oleh kaidah, peraturan, ataukonvensi (baik tertulis atau tidak) yang berlaku dalam masing-masing latar tersebut. Oleh sebabitu, percakapan yang bersifat umum tersebut dalam konteks wacana dramatik ini bersifat khas.Kekhasan itu karena latar percakapan disebut atau dimunculkan secara eksplisit dalam petunjuk-petunjuk pemanggungan.

Namun, ketika tidak ada kesetaraan dalam percakapan, kaidah interaksi atau pola giliranyang bersifat umum itu memunyai penjelasan lebih khusus. Percakapan antara para partisipanyang tidak setara seperti memunyai signifikansi yang besar terhadap sebuah bentuk ideal dalaminteraksi sosial. Di dalamnya ada dominasi atau memperlihatkan siapa yang paling dominanatau berkuasa. Keadaan itu tentunya sangat berbeda dengan percakapan yang di dalamnya adakesetaraan antarpartisipan.

PENUTUP

Ideologi dalam kendali interaksional terkait dengan adanya atau tidaknya kesetaraan dalampercakapan. Dalam hal ini, kesataraan mencerminkan sebuah ideologi interaksi sosial yangideal. Ideologi “kesetaraan dalam percakapan sebagai bentuk ideal dalam interaksi sosial”terlihat dalam percakapan-informal antara para partisipan yang setara. Di dalamnya tidak adadominasi atau tidak memperlihatkan siapa yang paling dominan atau berkuasa. Sebaliknya dari

Page 24: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

21

ideologi tersebut, pemaksaan kehendak sering digunakan oleh paritsipan yang lebih berkuasaatau dominan jika terjadi ketidaksetaraan dalam interaksi. Pemaksaan itu bisa berupapemberian alasan kuat agar perintah atau kemauannya dilaksanakan. Dari hal inilah kita dapatmelihat ideologi “ketidaksetaraan dalam interaksi sosial sebagai penyebab timbulnya jarakkomunikasi”

Ketidaksetaraan dalam interaksi juga memungkinkan partisipan yang lebih dominanmengendalikan atau menguasai topik atau tema dalam percakapan. Partisipan yang lebihdominan sering berada pada posisi penentu topik atau bahkan mengagendakan isi dan arahpercakapan. Berkaitan dengan ketidaksetaraan dalam interaksi ini, kita dapat melihat bahwapartisipan yang lemah akan memberi alasan atau menyatakan alasan yang ambigu sebagai alatuntuk menolak, menyangkal, atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap partisipan yang lebihberkuasa. Selain itu, partisipan yang lemah sering menggunakan cara “diam” untuk tidakmenyetujui atau menjalankan apa yang dikatakan oleh orang yang lebih kuat atau dominan.Hal-hal inilah yang digambarkan teks Trilogi Drama OK untuk menggambarkan penyebabadanya jarak komunikasi atau bahkan komunikasi yang tidak bersambut.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies(terjemahan Olsy Vinoli Arnof). Yogyaakarta: Jalasutra, 2006.

Anwar, Syaeful. N. Riantiarno: dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia. Jakarta: FFTV IKJ Press,2005

Beaugrande, Robert de. “Discourse Analysis and Literary Theory: Closing the Gap” dalamSpecial Issue: Philosophy and Composition Theory (Editor: Gary A. Olson), JurnalJAC, Volume 13, Issue #2, Winter 1993, http://www.jacweb.org/Archived_volumes/Vo-lume13.htm.

Brown, Gillian dan George Yule. Analisis Wacana (terjemahan I. Soetikno). Jakarta:Gramedia, 1996.

Budiman, Arief. Teori Negara. Jakarta: Gramedia, 1996.

Cummings, M. dan R. Simmons. The Language of Literature. London: Pergemon Press Ltd,1986.

Dick, Teun van (Ed.). Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A MultidisciplinaryIntroduction. Vol. 2. London: SAGE Publications, 1997.

Eagleton, Terry. Literary Theory: An Introduction. London: Basil Blackwell, 1983.

Elam, Keir. The Semiotics of Theatre and Drama. London: Routledge.

Fairclough, Norman. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language London:Longman, 1995.

Page 25: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ganjar Hwia

22

________________. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasan, dan Ideologi (Judul asli:Language and Power, terjemahan Komunitas Ambarawa), Gresik dan Malang: BoyanPublishing, 2003.

Fowler, R. Languages in the News: Discourse and Ideologi in the Press. London: Routledge,1991.

Gee, James Paul. An Introduction to Discourse Analysis, Theory and Method. London:Routledge, 2005.

Halliday, M.A.K., Language as Social Semiotic, The Social Interpretation of Language andMeaning. London: The Open University Set Book, 1993.

Herman, Vimala. Dramatic Discourse, Dialogue as Interaction in Plays. London:Routledge,1998.

Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Philips. Discourse Analysis as Theory and Method.London: SAGE Publications Ltd, 2002.

Lelland, David Mc. Ideologi Tanpa Akhir (terjemahan Muhammad Syukri). Yogyakarta; KreasiWacana, 2005.

Lichte, Fischer. The Semiotics of Theater. Bloomington: Indiana University Press, 1992.

Macdonell, Diane. Teori-Teori Diskursus. Jakarta: Teraju, 2005.

Marcellino, M. “Analisis Percakapan (Conversation Analysis): Telaah Tanya-Jawab di MejaHijau” dalam Pellba 6 (Bambang Kaswanti Purwo (Ed.)). Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Meinhof, U. dan Richardson, K (Ed.). Text, Discourse and Context. London: Longman, 1994.

Schiffrin, Deborah. Approaches to Discourse. Cambridge, Massachusetts: Blackwell, 1994.

Sumardjo, Jakob. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung:CitraAditya Bakti, 1992.

Tennyson, G.B. An Introduction to Drama. New York: Holt Rinehart and Winston, Inc, 1967.

Thompson, John B. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Yogyakarta:IRCiSoD, 2007.

Titscher, Stefan, Michael Meyer, Ruth Wodak, dan Eva Vetter. Methods of Text and DiscourseAnalysis. (B. Jenner, Trans.) London: Sage Publication, 2000.

Wellek, Rene dan A. Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 1993.

Widdowson, H. G, Stylistics and The Teaching of Literature. London: Longmans Ltd, 1975.

Ganjar [email protected] Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta

Page 26: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 23-39

PEMERTAHANAN BAHASA DAN KESTABILANKEDWIBAHASAAN PADA PENUTUR BAHASA SASAK

DI LOMBOK

Sudirman Wilian*Universitas Mataram

Abstract

Research findings have shown that a number of the indigenous languages in Indonesiaare now in danger and some are threatened by extinction, particularly those onesexisting in Maluku and Papua. However, there are still quite a large amount of locallanguages that could still be maintained and preserved by its speakers, including that ofSasak spoken by the native of Lombok, West Nusa Tenggara. This reasearch is aimed atfinding out to what extent this language has been threatened by Bahasa Indonesiathrough its massive use through electronic and printing media in the home of everysingle Sasak speaker family. The result of the research shows that what has been afraidof by many as to the trend among the youths to using Bahasa Indonesia instead of Sasakin their daily communication is not proven to threaten the indigeneous language (Sasak).From the language attitude in the survey it shows that Sasak is still needed by the peopleas their cultural heritage and social group marker which needs to be preserved andmaintained. From the perspective of bilingualism it indicates that Sasak is usedpersistently as a major means of communication among the family home members,neighborhoods, and relatives.Key words: language maintenance, language shift, bilingualism, indigenious languages,

language community.

PENDAHULUAN

Dalam konteks kebahasaan di Indonesia, yang multilingual, multietnis, dan multikultural,dengan intensitas kontak antara kelompok etnis yang satu dan yang lainnya cukup tinggi,persaingan kebahasaan tidak dapat dielakkan. Lebih-lebih lagi jika persaingan itu dihubungkandengan perkembangan dan kemajuan bahasa Indonesia yang begitu cepat dan menyeluruh padahampir setiap kelompok lapisan masyarakat, gejala pergeseran bahasa daerah (BD) itu juganyata ditunjukkan bukan saja oleh berkurangnya minat generasi muda mempelajari bahasadaerah sebagai identitas kedaerahannya tetapi juga makin meningkatnya kecenderunganorangtua yang berasal dari keluarga satu suku untuk memilih memakai bahasa Indonesia (BI)sebagai alat komunikasi utama mereka di rumah. Hal ini mengindikasikan bahwa ranahpemakaian bahasa daerah di dalam rumah tangga lambat laun mulai tergeser oleh BI, yangberarti pula telah memicu terjadinya apa yang disebut “pergeseran bahasa” (language shift).

Fenomena pemertahanan dan pergeseran bahasa-bahasa daerah ini telah banyak dikajioleh para peneliti. Dari berbagai hasil penelitian banyak bahasa, terutama di Papua dan Maluku,dilaporkan sedang mengalami kepunahan atau terancam punah, bahkan ada beberapa yangsudah punah, sebagaimana banyak dilaporkan oleh SIL Internasioanal. Begitu pula di Sulawesi,ada beberapa bahasa yang penuturnya beberapa ribu atau bahkan ratusan saja sedang dalamkeadaan kritis, menunggu untuk ditinggalkan oleh penutur dan ahli warisnya, misalnya bahasaPanasuan, bahasa Talondo, bahasa Napu (Grimes dalam Kaswanti Purwo, 2002:1–39). Tidakketinggalan pula di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, sebagaimana dilaporan oleh Basridalam Jurnal ini (2008:169–183), bahasa Kaili yang merupakan bahasa daerah asli darikelompok etnis terbesar, yakni suku Kaili di Palu termasuk sedang dalam proses perkenalanuntuk ditinggalkan oleh generasi mudanya, karena sebagian besar keluarga tidak lagimenggunakannya kepada anak-anak dan cucu mereka. Alhasil, dalam waktu beberapa generasi

Page 27: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

24

lagi akan hengkang dari buminya sendiri jika tidak segera diambil langkah-langkah konstruktifuntuk diaktifkan pemakaiannya (revitalisasi) di kalangan anggota keluarga suku Kaili.

Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang penuturnya cukup besar, yangkeberadaannya juga dikhawatirkan oleh banyak pihak, terutama generasi tua, terancam tergeseroleh gempuran pemakaian bahasa Indonesia di kalangan generasi muda adalah bahasa Sasak diLombok, Nusa Tenggara Barat. Laporan penelitian ini dimaksudkan untuk menjawabkekhawatiran itu serta mencari jawaban atas pertanyaan: “Benarkah generasi muda telah beralihke Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa ibu mereka di dalam rumah menggantikan bahasaSasak?”

Artikel ini akan melaporkan hasil penelitian survei mengenai penggunaan Bahasa Sasak(BSs) tersebut yang dilakukan mulai Mei sampai Oktober tahun 2009 yang lalu. Populasipenelitian adalah anggota masyarakat etnis Sasak yang tinggal di empat kabupaten dan kotaMataram di Lombok berusia < 10 tahun sampai 60 tahun <. Data utama penelitian diperolehdari jawaban responden yang diperoleh melalui kuesioner survei, di samping data dari metodeetnografi dengan teknik pengamatan terlibat dan wawancara.

Kuesioner survei berisi daftar pertanyaan pancingan pengakuan diri (self-report) tentangpemakaian dan pilihan bahasa responden sebagaimana yang pernah digunakan Gal (1978)terhadap bahasa Hungaria, Fasol (1984) untuk bahasa Indian Tiwa, Gunarwan (1994) untukbahasa Lampung, serta Wilian yang meneliti bahasa Sumbawa di kalangan guyub tutur bahasaSumbawa di Lombok (2006). Dalam angket itu ditanyakan bahasa apa yang digunakan dirumah dalam percakapan sehari-hari dengan sesama anggota keluarga atau dalam pertemuankeluarga (ranah keluarga), dengan tetangga (ranah ketetanggaan), di luar rumah dengan kerabat(ranah kekariban), di sekolah (ranah pendidikan), di kantor (ranah pemerintahan), di jalanan, dipasar atau di tempat-tempat umum (ranah umum), dan di dalam pengajian (ranah keagamaan).Pilihan bahasa yang digunakan diberi bobot “pura-pura” menggunakan skala Likert sebagaiberikut:

(1) = Selalu (hampir selalu) BS (2) = Lebih sering BSs daripada BI (3) = Sama seringnya BI dan BSs (4) = Lebih sering BI dari pada BSs (5) = Selalu (hampir selalu) BI

Angket kemudian disebarkan secara acak ke empat kabupaten dan kota Mataram denganmemperhatikan persebaran masing-masing dialek. Kemudian untuk melengkapi penjaringandata melalui metode survei, peneliti yang juga penutur bahasa Sasak dan dibantu beberapaasisten peneliti ini, melakukan pengamatan terlibat yang dilengkapi dengan lembar PengamatanTerlibat atau lembar pencatatan. Data survei dan hasil pengamatan yang diperoleh setelahdiseleksi, diinventarisasi, dan diklasifikasi, kemudian ditabulasi untuk menghitung frekuensikemunculannya untuk setiap variabel sesuai kelompok masing-masing, dan kemudian diolahmenggunakan SPSS versi 17.

KEADAAN KEBAHASAAN DI LOMBOK

Di samping bahasa Indonesia (bahasa nasional), penduduk pulau Lombok (terutama suku Sasak)menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Sasak(jumlah penutur + 2,5 juta orang) adalah bahasa dengan sejumlah dialek. Dialek yang berbeda-beda dapat dijumpai di tiap kampung, desa, atau wilayah kecamatan. Nama wilayah tempatpersebaran suatu dialek dipakai sebagai nama dialek: Dialek Pejanggik (Dialek Meno-Meni),Dialek Selaparang (Dialek Ngeno-Ngene), Dialek Pujut (Dialek Meriak-Meriku), dan DialekPetung Bayan (Dialek Kuto-Kute).

Page 28: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

25

Tabel 1: Dialek-Dialek Bahasa SasakNo. Nama Dialek Daerah Pakai1. Dialek Pejanggik (Dialek Meno-Meni) Lombok Barat

Lombok TengahLombok Timur

2. Dialek Selaparan (Dialek Ngeno-Ngene) Lombok Timur3. Dialek Pujut (Dialek Meriak-Meriku) Lombok Selatan4. Dialek Suralaga (Dialek Nggeto-Nggete) Lombok Timur5. Dialek Kuto-Kute (Dialek Petung Bayan) Lombok Utara

Dialek Pujut digunakan pada wilayah-wilayah bagian selatan pulau ini, meliputikecamatan Pujut, Praya barat, Praya Barat Daya, sedikit di Praya Timur hingga Jerowaru(Kabupaten Lombok Timur). Di wilayah bagian tengah pulau Lombok, dialek Pujut digunakanpenduduk di Kecamatan Jonggat (Kabupaten Lombok Tengah). Dialek Pujut juga dijumpaipenggunaannya di tengah-tengah (sebagai enclave) di antara pengguna Dialek Pejanggik danSelaparang, seperti di desa Pademare dan Desa Denggen Kabupaten Lombok Timur. DialekBayan sebagian besar digunakan di bagian utara pulau Lombok, meliputi Kecamatan Pemenang,Tanjung, Gangga dan Bayan di Kabupaten Lombok Utara. Selanjutnya, ke sebagian wilayahtimur di Kabupaten Lombok Timur meliputi Sembalun, Obel-Obel, Wanasaba, dan Suralagadigunakan dialek Suralaga, dan sebagian besar yang lainnya menggunakan dialek Selaparang(dialek Ngeno-Ngene).

Di antara dialek-dialek tersebut, dialek Pejanggik adalah yang paling banyakpemakainya. Meskipun antara penutur dialek yang satu dengan yang lain dapat salingmemahami, beberapa kata dan istilah pada masing-masing dialek mempunyai arti yang sangatberbeda. Demikian pula halnya dengan dialek Bayan. Dialek ini tampaknya paling sukardimengerti oleh pengguna dialek yang lain, karena kosakata dan pengucapannya yang sedikitberbeda dan agak asing dari kata atau istilah yang digunakan dalam bahasa Sasak padaumumnya. Namun, jika masyarakat dari berbagai macam dialek itu bertemu atau berkumpullama, seperti di ibukota provinsi, Mataram, dialek Pejanggik adalah yang paling umumdigunakan, dan khususnya lagi dalam siaran di radio dan televisi.

Di Lombok, selain bahasa Sasak, bahasa daerah kelompok etnis terbesar (karenamerupakan penduduk asli Lombok), juga dituturkan beberapa bahasa lain. Bahasa Bali, bahasakelompok etnis terbesar kedua (sebagian besar berasal dari bekas Kerajaan Karangasem),menetap terutama di Lombok Barat, Lombok Utara, dan Kota Mataram. Penutur bahasaSumbawa tinggal terutama di Lombok Timur dan sedikit di Lombok Barat dan Lombok Tengah.Di Kota Mataram sndiri terdapat beberapa kelompok etnis yang lain, yaitu penutur bahasa Bimaatau Mbojo, Sumbawa atau Samawa, Jawa, Sunda, Minang, dan lain-lain. Mereka padaumumnya tinggal terpencar-pencar, tidak mengelompok.

LANDASAN TEORI

Penelitian ini didekati melalui teori-teori yang berkenaan dengan pemakaian dan pilihan bahasa,khususnya tentang pergeseran dan pemertahanan bahasa, ranah, diglosia, sikap bahasa, sertaetnografi komunikasi. Tiga di antaranya yang penting di sini adalah diglosia, analisis ranah,dan sikap bahasa.

Istilah diglosia mengacu pada situasi kebahasaan di mana tiap-tiap bahasa atau ragambahasa, baik pada masyarakat ekabahasa (monolingual), dwibahasa (bilingual), atauanekabahasa (multilingual), mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang berbeda-bedasesuai peruntukannya (Ferguson, 1959). Pembagian atau pemisahan fungsi itu biasanyadikaitkan dengan apa yang diistilahkan dengan ragam bahasa T (Tinggi) dan ragam bahasa R(Rendah). Ragam bahasa T dikaitkan dengan bahasa atau ragam bahasa yang dihargai dan

Page 29: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

26

diakui dalam masyarakat mempunyai nilai tinggi (highly valued), sedangkan ragam bahasa Rdihargai mempunyai nilai yang lebih rendah (less valued). Ranah-ranah pemakaian bahasainformal seperti keluarga, tetangga, dan kekariban dianggap merupakan ranah tempat bahasa Rdigunakan, sedangkan ranah agama, pendidikan, pemerintahan, dan lingkungan kerja yangdianggap ranah pemakaian bahasa formal (ini termasuk wilayah bahasa T).

Dalam masyarakat yang diglosik tiap-tiap bahasa mempunyai fungsi sendiri-sendiri yangdigunakan oleh anggota masyarkatnya untuk menyatakan kehendaknya menurut norma sosialdalam masyarakat bahasa bersangkutan. Pemakaian tiap-tiap bahasa atau ragam bahasa ituditentukan oleh perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat itu menyangkut setiapbahasa atau ragam bahasa yang digunakan. Adanya perbedaan sikap dan pandangan terhadaptiap-tiap bahasa itu disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat ekabahasa atauanekabahasa, setiap bahasa atau ragam bahasa dianggap mempunyai ‘keterbatasan’ (dalam artimempunyai fungsi) sendiri-sendiri. Tidak semua bahasa atau ragam bahasa dapat mewakilisetiap situasi pemakaian bahasa. Akan tetapi, pemakaian tiap-tiap bahasa itu pun acap kalimasih ditentukan lagi oleh ‘peraturan’ siapa berbicara kepada siapa (role relationship), di mana,untuk tujuan apa, tentang apa, dan lain lain. ‘Peraturan’ pemakaian bahasa dalam komunikasiitu ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya non-linguistis (extra linguistic). Dalamsosiolinguistik faktor-faktor itu dapat disebut sebagai komponen tutur (components of speech).Yang perlu diwaspadai dalam pemakaian dan pilihan bahasa yang dihubungkan dengan konsepdiglosia itu adalah bahwa jika ranah-ranah pemakaian bahasa yang tadinya diwakili oleh ragambahasa R sudah dimasuki atau digantikan oleh ragam bahasa T (diglossia leakage) maka patutdicurigai akan dimulai terjadinya pergeseran bahasa.

Dalam sosiolinguistik, istilah ranah tidak dapat dipisahkan dari kedwibahasaan dandiglosia karena tuntutan kewajiban pilihan bahasa atau ragam bahasa yang tepat sesuai dengannorma sosial budaya pada masyarakat tutur bersangkutan. Di dalam masyarakat dwibahasa yangstabil tiap-tiap bahasa diasosiasikan dengan ranah-ranah pemakaian yang berbeda-beda.Fishman (1964; 1972a) mengajukan konsep ini untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasadalam masyarakat dwibahasa dan sekaligus untuk melihat pola pergeseran dan pemertahananbahasa pada masyarakat tersebut. Berdasarkan konsep ranah pula, dari sejumlah bahasa yangada pada repertoar bahasa seseorang, dapat dilihat bahasa manakah yang selalu digunakandalam interaksi intrakelompok dan bahasa manakah yang selalu digunakan untuk interkasiantarkelompok (Siregar dkk, 1989:23).

Menurut Fishman (1966), di dalam penggunaan bahasa memang ada konteks-kontekssosial yang melembaga (institutional context) yang disebut ranah, dimana lebih cocok untukdigunakan ragam atau bahasa tertentu daripada ragam atau bahasa lain. [siapa yang“menggunakan ragam” di sini? Satu ranah merupakan sebuah kelompok dari situasi tutur.Situasi-situasi di mana orang-orang yang terlibat dalam sebuah percakapan adalah anggota-anggota keluarga, seperti percakapan antara suami dan istri, ibu dan anak, kakak dan adik,termasuk ke dalam ranah keluarga. Situasi sosial yang termasuk dalam ranah keluarga biasanyaterdapat pada lingkungan rumah tangga.

Dalam hal ini status sosial para partisipan tidak begitu penting dibandingkan pada ranahlain, dan hubungan peran partisipan ditentukan oleh posisi masing-masing sebagai anggotakeluarga dalam sebuah percakapan, seperti orang tua-anak, ayah-ibu, kakek-cucu, adik-kakak,dan lain-lain. Jumlah ranah berbeda-beda sesuai kebutuhan dan situasi kebahasaan masyarakatyang diteliti sehingga jumlah ranah bisa berapa saja. Greenfield dalam Sumarsono (1993:14)menggunakan lima ranah saja dalam penelitiannya terhadap orang Puerto Rico di New YorkCity, yaitu keluarga, kekariban, agama, pendidikan, dan kerja. Sementara itu, ada juga yangmenggunakan tujuh ranah, misalnya Parasher (1980), yaitu keluarga, kekariban, ketetanggaan,transaksi, pendidikan, pemerintahan, dan lingkungan kerja.

Page 30: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut akan dibahas hasil kuesioner survei mengenai pola pemakaian dan pilihan bahasa dalamberbagai ranah, pola kedwibahasaan masyarakat, serta rampatan mengenai kecenderunganpemakaian BI sebagai bahasa ibu secara keseluruhan.

Ranah Keluarga

Dalam konteks penelitian ini, yang ingin dilihat adalah apakah dominasi pemakaian BI atas BDpada masyarakat Sasak telah menyebabkan pergeseran atau pemertahanan. Berdasarkan pilihanjawaban yang disediakan dalam kuesioner diperoleh bahwa secara keseluruhan rerata pilihanbahasa responden dari seluruh kelompok usia (N = 911) adalah 1.66. Berdasarkan skenariopembobotan dalam metodologi yang disebutkan di atas ini berarti bahwa responden masih selalu(hampir selalu) menggunakan BSs daripada BI. Dilihat dari parameter usia responden terhadappilihan jawaban (bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga) tampak bahwa mean ataurerata pilihan bahasa rersponden berkisar antara 1.39–1.90, sebagaimana yang terlihat padaTabel 2 berikut ini.

Tabel 2: Rerata kecenderungan pilihan bahasa dalam ranah keluarga menurut kelompokusia responden

Reportbahasa keluarga

usia Mean N Std. Deviation Sum Range

11-20 1.90 236 1.050 448 421-30 1.68 262 .958 441 431-40 1.55 188 .863 291 441-50 1.50 141 .883 212 551-60 1.43 48 .976 68 4>60 1.39 36 .915 50 3

Total 1.66 911 .964 1509 5Keterangan:1 = Selalu (hampir selalu) BSs, 2 = Lebih sering BSs daripada BI, 3 = Sama seringnya BSsdan BI, 4 = Lebih sering BI daripada BSs, 5 = Selalu (hampir selalu) BI

Hal ini menunjukkan bahwa dalam komunikasi intrakeluarga di rumah, BSs masih selaluatau hampir selalu digunakan. Akan tetapi, dilihat dari kelompok usia responden, berdasarkandata skala kecenderungan skor pilihan bahasa di rumah, tampak bahwa mean pilihan bahasanyamembentuk skalabilitas pilihan bahasa, yang berarti makin muda kelompok usia respondenrelatif makin besar peluang menggunakan BI, seperti tampak pada Gambar 1 berikut. Inimengisyaratkan pula bahwa ada kemungkinan kecenderungan di antara generasi muda dansuami istri pasangan muda – terutama yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan pegawainegeri – untuk “membiasakan” menggunakan BI sebagai bahasa sehari-hari di rumah, meskipunperbedaan indeksnya masih sangat kecil dan secara statistik tidak signifikan.

Page 31: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

28

Gambar 1: Grafik kecenderungan pilihan bahasa di rumah menurut kelompok usia (N=911)

Kenyataan ini dapat pula dilihat dari SD yang diperoleh (1.050) pada kelompok usia 11-20tahun, yang menunjukkan variatifnya jawaban responden.

Dilihat dari perbandingan persentase jawaban yang menggunakan BSs dan BI sebagaibahasa ibu di rumah sejak kecil, persentase responden yang menggunakan BI sangatlah kecilsebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2 di bawah. Dari 911 responden yang berhasildianalisis hanya 39 orang atau 4,28% yang menggunakan BI sejak kecil di rumah. Kemudiandari hasil pengamatan dari berbagai tempat dan berbagai situasi di rumah-rumah keluarga didesa-desa dan di kampung-kampung, terlihat bahwa memang BSs masih sangat dominandigunakan oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyarakat, yaitubahwa “Penggunaan bahasa Sasak berperan penting dalam hal budaya. Dengan menggunakanbahasa Sasak, kita secara tidak sadar telah menggunakan budaya Sasak itu sendiri, dan denganmenggunakan bahasa Sasak orang tahu kita adalah orang Sasak. Jadi, bahasa Sasak memilikiperanan penting dalam budaya Sasak”. Pertanyaannya kemudian, “Apakah bahasa Sasak perludilestarikan?” Sebagian besar responden menjawab “Bahasa Sasak perlu dilestarikan karenadengan menggunakan bahasa Sasak kita melestarikan budaya Sasak itu sendiri”.

Dan di dalam berbagai pengamatan, tampak pula bahwa pada keluarga-keluarga Sasak diberbagai pelosok, di seluruh Lombok pemakaian BSs merupakan suatu pilihan utama, karenaberbagai macam alasan sosial psikologis dan pragmatis.

Dalam studi pemertahanan dan pergeseran bahasa, ranah keluarga sering disebut sebagaibenteng terakhir yang menentukan nasib keberlangsungan sebuah bahasa.

Gambar 2: Grafik pemakaian BSs dan BI di rumah sejak kecil (N=911)

Page 32: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

29

Mengapa benteng terakhir? Keluarga sesungguhnya merupakan tempat berlangsungnyapewarisan keberlanjutan bahasa-ibu itu dari orang tua ke anak-anak mereka atau dari satugenerasi ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, di sanalah berprosesnya, menurut istilahFishman (1993), kesinambungan pengalihan bahasa-ibu antargenerasi itu “intergenerationalmother-tongue continuity”. Di dalam ranah keluarga atau rumah tanggalah terjadi komunikasiyang intens antara ayah-ibu, adik-kakak, orang tua-anak, kakek-cucu, dan anggota keluargayang lain sehingga proses pengalihan bahasa dari generasi tua ke generasi muda dapat berjalan.Biasanya komunikasi di dalam rumah tangga berkenaan dengan berbagai hal kerumhatanggaandan berbagai persoalan kehidupan lainnya. Di sini pula dapat dilihat pola pemakaian bahasaseluruh anggota keluarga itu pada saat mereka berkomunikasi di dalam rumah. Jadi, selamakeluarga-keluarga itu masih mau menggunakan bahasa-ibunya di rumah sebagai alatkomunikasi utama maka selama itu pula BSs masih akan dapat bertahan.

Ranah KetetanggaanDalam ranah ketetanggaan, pembicaraan antartetangga dibagi ke dalam beberapa topikmenyangkut hal-hal seperti masalah keluarga, ketetanggaan, masalah pekerjaan, keagamaan,pendidikan, organisasi, politik, dan masalah kejadian sehari-hari seperti kabar angin (gosipseputar kampung/desa), dll. Tampak pada Tabel 3 bahwa rerata skala pilihan bahasa respondenpada ranah ketetanggaan adalah 2.13. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam kehidupanketetanggaan masyarakat penutur BSs masih lebih sering atau lebih banyak menggunakan BSsdaripada BI. Akan tetapi, dilihat dari kelompok usia responden tampak pula bahwakecenderungan pilihan bahasa mereka berkisar pada rentangan antara 1.89–2.28, yang hampirmembentuk skalabilitas. Dengan demikian, dapat dikatakan semakin muda kelompok usiaresponden semakin besar kemungkinan peluang untuk memilih menggunakan “lebih banyakBSs daripada BI”, yang bergeser dari pilihan “selalu atau hampir selalu BSs”.

Tabel 3: Skala kecenderungan pemilihan BSs dan BI dalam ranah ketetanggaan menurutkelompok umur responden

Reportbahasa tetangga

usia Mean N Std. Deviation Sum Range

11-20 2.28 236 1.074 538 4

21-30 2.22 262 1.035 582 4

31-40 2.02 188 .983 379 4

41-50 2.05 141 .954 288 4

51-60 1.85 48 1.149 89 4

>60 1.89 36 1.147 68 4

Total 2.13 911 1.040 1945 4

Data dalam tabel di atas juga menunjukkan bahwa angka rata-rata pilihan bahasa menurutgolongan usia agak berbeda dari yang terdapat pada ranah keluarga. Rerata pilihan bahasa jugatampak menonjol pada kelompok usia 11 – 20 tahun, yakni 2,28 paling tinggi di antarakelompok-kelompok yang lainnya. Kemudian seiring dengan meningkatnya usia responden,rerata pilihan bahasa juga menurun pada masing-masing kelompok umur sampai mencapai 1.85pada kelompok usia 51-60 tahun, sedikit di bawah kelompok usia >60 tahun.

Perolehan rerata skor ini, menurut para ahli sosiolinguistik, dapat mengisyaratkan duahal. Pertama, ada kemungkinan munculnya gejala apa yang disebut perembesan atau kebocorandiglosia (diglosia leakage). Kedua, situasi kebahasaan seperti itu adalah lumrah dalam suatumasyarakat bilingual. Bagi kelompok pertama, jika terjadi gejala merembesnya pemakaian

Page 33: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

30

bahasa kedua pada ranah keluarga dan ketetanggaan, maka hal itu menandakan awal terjadinyapergeseran bahasa.

Gambar 3: Grafik kecenderungan pemilihan BSs dan BI dalam ranah ketetanggaan

Namun, bagi kelompok kedua, hal seperti itu tidak perlu dirisaukan karena sudah merupakangejala umum yang dapat ditemukan pada masyarakat bilingual di mana pun. Alasan yang lazimdikemukakan adalah karena topik-topik pembicaraan tertentu dapat saja didiskusikan dalambahasa tertentu tanpa mempedulikan lokasi pembicaraan ataupun lawan bicara (Holmes, 1992).

Ranah PendidikanRanah pendidikan yang dimaksud di sini berkisar pada situasi komunikasi di seputar sekolah,bukan ketika pelajaran di dalam kelas sedang berlangsung melainkan situasi ketika bermainbersama teman di luar kelas atau halaman seputar sekolah, di kantin sekolah, atau di dalamkelas pada jam istirahat. Perlu dicatat bahwa jika responden berusia di atas 22–25 tahun atautidak lagi sekolah/kuliah maka jawaban yang diberikan menggambarkan situasi ketika dulumereka mengenyam pendidikan pada masing-masing jenjang. Ada tiga situasi yang diajukankepada responden untuk dijawab dalam kuesioner, yaitu berkenaan dengan bahasa yangdigunakan ketika berbicara kepada bapak atau ibu guru di luar kelas, kepada teman-teman, dankepada pegawai tata usaha.

Hasil olahan data rerata skor pilihan bahasa pada ranah pendidikan berdasarkan tingkatpendidikan responden menunjukkan bahwa range skor berkisar antara 1.90–2.69. Dan rerataskor untuk keseluruhan responden dari berbagai latarbelakang dan jenjang pendidikan adalah2.61. Berdasarkan data rerata skor pilihan bahasa pada ranah ini dapat dirampatkan bahwamakin tinggi tingkat pendidikan responden makin tinggi pula kecenderungan untukmenggunakan BI. Dilihat dari indeks pemakaian BSs dan BI berdasarkan kabupaten/kotaternyata Kota Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Tengah mencapai mean hampir sama. Ditiga wilayah itu angkanya berturut-turut 3.74, 3.70, dan 3.71, sedangkan di Lombok Timur danLombok Utara mencapai 3.38 dan 3.58. Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya pilihan yanghampir mencapai angka 4 (“lebih sering BI daripada BSs”) disebabkan posisi kota Mataramsebagai ibukota provinsi dengan berbagai macam latar belakang kebahasaan penduduknya.Demikian pula Lombok Barat dan Lombok Tengah yang tidak terlepas dari kedekatannyadengan Kota Mataram, serta posisinya sebagai daerah pariwisata, sedikit banyak mempengaruhipilihan bahasa masyarakat dengan frekuensi pemakaian BI yang lebih banyak, walaupun dalamlingkup sekolah. Namun, dilihat dari data indeks pemakaian bahasa dalam ranah keluarga(mean = 1.66), kondisi ini tampaknya tidak berpengaruh pada pemakaian bahasa-ibu mereka dirumah bagi mereka yang memang sejak kecil menggunakan BSs sebagai B1.

Page 34: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

31

Tabel 4: Perbandingan mean pilihan bahasa responden berdasarkan kabupaten/kota.Report

bahasa sekolah

kabupaten Mean N Std. Deviation Sum Range % of Total Sum

Kota Mataram 3.74 120 1.197 449 5 13.9%

Lombok Barat 3.70 135 .932 499 4 15.4%

Lombok Tengah 3.71 246 1.207 914 5 28.2%

Lombok Timur 3.38 302 .890 1021 4 31.5%

Lombok Utara 3.58 99 .903 355 4 11.0%

Total 3.59 902 1.045 3237 5 100.0%

Dilihat dari perolehan rerata skor pemilihan bahasa di sekolah berdasarkan kelompokusia (Tabel 5), tampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pilihan bahasaresponden saat ini yang diwakili oleh kelompok usia muda dengan dulu ketika kelompok usiatua bersekolah, yang rentangannya berkisar antara 3.72 – 3.38, dengan kelompok usia 21–30tahun memperoleh rerata skor paling tinggi di antara kelompok usia lainnya, yakni 3.72.Dengan kata lain bahwa kecenderungan pilihan bahasa di sekolah di dalam berbagai kelompokusia adalah sama saja, baik dulu maupun sekarang.

Tabel 5: Skala kecenderungan pilihan bahasa di sekolah, apakah BSs atau BI menurutkelompok umur responden.

Reportbahasa sekolah

usia Mean N Std. Deviation Sum Range % of Total Sum

11-20 3.69 235 .954 867 5 26.8%

21-30 3.72 262 .967 975 5 30.1%

31-40 3.51 186 .991 652 5 20.1%

41-50 3.38 141 1.150 476 5 14.7%

51-60 3.39 45 1.367 153 5 4.7%

>60 3.45 33 1.371 114 5 3.5%

Total 3.59 902 1.045 3237 5 100.0%Keterangan : 1 = (hampir) selalu BSs 4 = lebih sering BI daripada BSs

2 = lebih sering BSs daripada BI 5 = selalu (hampir selalu) BI3 = sama banyaknya BSs dan BI

Pola Pemakaian Bahasa pada Situasi Tertentu dan secara KeseluruhanPola pemakaian bahasa dalam situasi tertentu adalah penggunaan dan pilihan bahasa olehmasyarakat ketika mereka berada pada situasi-situasi seperti hendak (sedang) naik cidomo(dokar) atau ojek, bertemu sesama warga di luar kampung.

Bertemu dengan teman bukan sekampung, bertemu dengan pedagang tidak dikenal didalam kampung, dan bertemu dengan sanak saudara pada acara-acara keluarga seperti hajatan,arian, atau pertemuan keluarga lainnya. Khusus dalam pertemuan yang disebut terakhir inidapat ditemukan pola-pola hubungan komunikasi antaranggota keluarga, mulai dari keponakandengan paman/bibi, antara saudara sepupu, cucu dengan kakek/nenek sendiri, dan lain-lain. Jikapada acara seperti itu ditemukan kecenderungan pemakaian bahasa yang ditandai dengan rerataskor pada golongan usia muda yang makin membesar, maka patut dicurigai adanya tanda-tandapergeseran pemakaian bahasa ibu itu.

Page 35: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

32

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada situasi-situasi seperti naik cidomo atau ojek,bertemu sesama warga di luar kampung, umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Sasakatau hampir selalu BSs, dengan rerata skor pilihan bahasa pada masing-masing peristiwa tuturberturut-turut adalah 1.81, 1.8 (Tabel 6). Sementara itu, pemakaian bahasa pada situasi sepertibertemu dengan teman bukan sekampung, indeks pemakaian bahasa menunjukkan angka 3.13,yang berarti “sama banyaknya/seringnya antara BSs dan BI”. Lain halnya dengan pertemuanseperti arisan. Kecenderungan pemakaian bahasa masih berkisar pada rentangan 2.02 – 2.71,dengan kelompok usia £ 20 mendekati hampir sama seringnya antara BSs dan BI. Namun,pada kelompok usia di atas 40 th bahasa yang digunakan masih lebih banyak BSs dari pada BI.Kenyataan menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi dengan pedagang yang tidak dikenalmaupun dikenal di dalam kampung indeks pemakaian bahasa menunjukkan 3.21 dan 3.15, yangberarti bahwa pemakaian BSs dan BI sama banyaknya (Tabel 6). Namun, tampaknya data iniperlu dievaluasi lagi karena pengamatan di lapangan menunjukkan jika kita pergi berkeliling kekampung-kampung, pedagang dari luar desa masih selalu menggunakan BSs.

Tabel 6: Skala kecenderungan pemilihan BSs dan BI pada situasi-situasi tertentumenurut kelompok umur (N=909)

USIAN

(909)

Situasi Pertemuan & Rerata Pilihan Bhs.

naikdokar/

cidomo/ojek

bertemusesama warga

di luarkampung

bertemudengan teman

bukansekampung

pertemuankeluarga/

arisan

berbelanjapada pedagangtidak dikenal di

dalamkampung/desa

berbelanjapada

pedagangbukan daridalam desa

£ 20

21 – 30

31 – 40

41 – 50

51 – 60

³ 61

236

261

188

141

47

36

2.05

1.86

1.71

1.67

1.67

1.36

2.12

1.82

2.84

1.76

1.68

1.36

3.38

3.22

3.18

2.79

2.68

2.49

2.71

2.41

2.45

2.18

2.02

2.11

3.16

3.39

3.16

3.10

2.96

3.19

3.21

3.26

3.08

3.04

2.85

3.08

Rata-rata 909 1.81 1.87 3.13 2.44 3.21 3.15

Berdasarkan rerata skor pilihan bahasa masyarakat pada situasi tertentu pada Tabel 6 diatas dapat diambil pemahaman bahwa tingkat kedwibahasaan responden masih stabil, dengankenyataan bahwa jika bertemu sesama warga di luar kampung dan naik dokar/cidomo bahasayang digunakan masih selalu atau hampir selalu BSs. Pada situasi-situasi seperti itu pula dapatdilihat pola-pola penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Dengan demikian rerata dariseluruh skor pilihan bahasa pada situasi tertentu dari butir-butir pernyataan tentangPenggunaan dan Pilihan Bahasa pada kuesioner survei ini dapat dijadikan patokan untukmelihat hubungan antara kedwibahasaan dan pemertahanan bahasa pada guyub tutur BSs diLombok. Tampak bahwa pola-pola kedwibahasaan masih stabil yang dapat diinferensikan dariindeks pemakaian bahasa pada berbagai situasi atau peristiwa tutur seperti ditunjukkan padaTabel 6 di atas serta perbandingan pemakaian bahasa di rumah dan di luar rumah seperti tampakpada Gambar 5.

Page 36: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

33

Gambar 4: Grafik pemilihan BSs dan BI pada situasi-situasi tertentu menurutkelompok umur (N=909)

Seperti yang tampak pada Tabel 7 dan grafik pemilihan BSs dan BI, baik di dalam rumah,di luar rumah maupun secara keseluruhan (rerata) menurut kelompok usia, penggunaan bahasa-bahasa itu tampak mengikuti pola sendiri-sendiri. [Apa yang “mengikuti pola sendiri-sendiri”?à Subyek kalimat sudah terisi!] Grafik pada Gambar 5 menunjukkan dengan jelas bahwaketika berada di rumah maka BSs lah yang menjadi pilihan utama atau menjadi alat komunikasiutama di antara seluruh anggota keluarga. Akan tetapi, ketika mereka berada di luar rumah,karena kemungkinan akan bertemu dengan berbagai macam latar belakang, kepentingan, settingserta tujuan komunikasi, kemungkinan untuk beralih ke bahasa yang pemakaiannya untuktujuan yang lebih luas (language for wider communication) menjadi lebih besar dan menjadipilihan utama.

Kemudian, jika dilihat dari perbedaan kelompok usia tampak pula bahwa terdapat sedikitperbedaan dan pergeseran antara kelompok usia muda, usia dewasa, dan usia tua. Makin mudakelompok usia tampak makin besar kemungkinan untuk beralih menggunakan BI atau campuranBSs dan BI, walaupun pergeserannya kecil seperti tampak pada Gambar 5, yang visualisasinyaberasal dari skala kecenderungan pemilihan BSs dan BI di rumah, di luar rumah, dankeseluruhan menurut kelompok umur responden. Tampaknya pola pemakaian bahasa yangmelandai dan melengkung pada pilihan bahasa di luar rumah berdasarkan golongan usia dapatmenggambarkan situasi diglosik antara BSs dan BI pada masyarakat guyub Sasak di Lombokdewasa ini. Pola pemakaian dan pilihan bahasa seperti ini juga berlaku tidak hanya di dalamrumah (ranah keluarga) dan ketetanggaan melainkan juga di luar rumah serta secarakeseluruhan.

Page 37: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

34

Gambar 5: Grafik perbandingan pola pemakaian dan pilihan bahasa di dalamrumah, di luar rumah, dan secara keseluruhan menurut kelompok usia.

Pola Pemakaian Bahasa dan Kestabilan Kedwibahasaan MasyarakatDalam masyarakat bilingul atau multilingual penggunaan dan pilihan atas salah satu bahasaditentukan oleh beragam faktor. Dari dimensi sosial-psikologis, faktor-faktor tersebutditentukan oleh siapa berbicara bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, di mana. Keadaanpilihan bahasa ini mengacu pada konsep ranah yang dikembangkan oleh Fishman (1965). Siapaberbicara kepada siapa dapat ditentukan lagi oleh faktor-faktor sosial (faktor non-linguistis),seperti usia penutur-petutur, status sosial, pendidikan, hubungan kekerabatan, keakraban, danlain-lain. Dari segi kedudukan dan fungsi bahasa dalam masyarakat, pemakaian dan pilihanbahasa pada hakekatnya berkenaan dengan status sebuah bahasa dalam masyarakat, yang dapatmengacu pada konsep diglosia (Ferguson, 1959). Konsep ini menyatakan bahwa tiap-tiapbahasa atau ragam bahasa, baik pada masyarakat ekabahasa, dwibahasa, atupun anekabahasamempunyai peran dan fungsi masing-masing yang berbeda-beda sesuai peruntukannya.

Di dalam masyarakat penutur bahasa Sasak konsep seperti di atas sangat jelastergambarkan. Ranah-ranah pemakaian bahasa tampak berjalan sebagaimana adanya. Situasikebahasaan yang berjalan sesuai fungsi-fungsinya ini berpengaruh sangat nyata terutama padadaya resistensi bahasa Sasak sebagai bahasa daerah atas bahasa Indonesia, yang mempunyaikekuatan demografi yang lebih besar. Pada sebagian besar peristiwa tutur, situasi ini dapatterlihat dari pola interaksi masyarakatnya, selain dari segi sikap dan pola kedwibahasaannya.Grafik pada Gambar 4 dan 5 memperlihatkan bahwa pada situasi-situasi tertentu dan situasi dirumah pola pemakaian bahasa itu terpetakan dengan jelas.

Pada suatu situasi, misalnya di rumah BSs-lah yang digunakan. Begitu pula diperempatan-perempatan jalan, di pasar-pasar desa dan kecamatan. Pada situasi yang lain,misalnya di jalan mula-mula digunakan BSs, tetapi kemudian karena berganti topikpembicaraan, interlokutor beralih ke BI sehingga terjadilah apa yang disebut alih kode dancampur kode. Secara kuantitatif, penelitian ini menemukan sebanyak 78,15% responden(N=911) menggunakan BSs sejak kecil di rumah, 16, 24% atau sebanyak 148 respondenmenyatakan kadang-kadang bahasa Sasak dan kadang-kadang bahasa Indonesia. Ini berartibahwa sebagian besar responden sudah menguasai bahasa ibunya (BSs) sebelum dipajankan(expose) pada bahasa lain, yakni BI ketika mereka masuk TK atau SD. Boleh jadi kedua bahasaitu sudah diajarkan untuk dipakai oleh kedua orangtuanya sejak masih kecil sebelum masukTK, terutama yang orangtuanya pegawai negeri, seperti yang banyak diamati oleh peneliti di

Page 38: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

35

desa-desa. Pada keluarga seperti itu seringkali BI lebih banyak dipakai daripada BSs. Akantetapi, ini persentasenya kecil.

Dari sudut pandang pola pemakaian bahasa seperti itu, di mana posisi bahasa daerah(BSs) masih melekat pada masyarakat penuturnya, sulit dikatakan bahwa BSs sudah mengalamipergeseran karena masing-masing bahasa masih dapat dipertahankan pemakaiannya sesuairanah masing-masing. Dari sudut pandang kedwibahasaan masyarakat, situasi itu jugamemperlihatkan pembagian wilayah pakai yang jelas seperti pada gambar berikut. Akan tetapi,yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan pemakaian dan pilihan BI oleh sebagian generasimuda yang disebabkan oleh daya tarik status dan kekuatan BI.

Ranah: keluarga, ketetanggaan, kekariban, transaksi perniagaan (umum), agama

lingua franca (BD dominan?)

Ranah:

Gambar 6: Posisi antara BI, BSs, dan bahasa daerah (BD) lain dalam masyarakatdiglosik di Lombok.

Berdasarkan data kuantitatif yang menyangkut masalah penggunaan dan pilihan bahasamasyarakat, baik di dalam rumah maupun di luar rumah, temuan penelitian ini mengisyaratkanbahwa pada umumnya masyarakat Sasak yang sudah terdidik merupakan dwibahasawan yangmenguasai BSs sebagai B1 dan menguasai BI sebagai B2. Penggunaan bahasa di dalam rumahmencakup bahasa yang dipakai di dalam keluarga dan tetangga oleh sanak saudara di dalamkampung, sedangkan pemakaian bahasa-bahasa di sekolah, di kantor desa, di tempatpengajian, pertemuan kekerabatan, serta di dalam situasi-situasi tertentu merupakanpenggunanaan bahasa di lura rumah. [kalimat terlalu panjang; jadikan dua kalimat à kalimatsudah dipecah ] Pada umumnya kedwibahasaan itu diperoleh secara alami (acquisition)terutama melalui dunia pendidikan dan ditambah dengan pengaruh media elektronik, terutamatelevisi yang sudah merambah sampai ke pelosok desa.

Meskipun pada umumnya masyarakat Sasak menguasai BSs sebagai B1 dan BI sebagaiB2 sehingga membentuk pola kedwibahasaan BSs+BI, tampaknya hal itu tidak berpengaruhnegatif terhadap B1 mereka, yang dapat dirampatkan dari skor rata-rata pemakaian dan pilihanbahasa responden dalam ranah rumah, baik hasil kuesioner survei maupun pengamatan. Alih-alih itu, keberadaan mereka sebagai dwibahasawan itu justru memperlihatkan kekokohanpemertahanan B1 mereka. Hal itu juga tampak jelas terekam dalam pengamatan sehari-haripeneliti ini, terutama di kota Mataram. Ketika seorang penutur BSs berada di luar wilayah

Pendidikan.PemerinthnBisnis/Eko.Agama

Page 39: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

36

kampungnya di Mataram, ia dipastikan menggunakan BI untuk berkomunikasi dengan orangyang ia tidak kenal bukan dari kampungnya atau bukan dari kampung lain yang ia ketahui.Setelah ia pulang ke rumahnya atau kampungnya, sudah pasti ia akan menggunakan bahasa-ibunya. [tidak jelas maksudnya à sudah diperbaiki ulang susunan kalimatnya, memamng adakelihatan pengulangan dan kerancuan. Thnaks!] Hal inilah yang mengindikasikan bahwakedwibahasaan pada masyarakat diglosik di Lombok itu justru memperlihatkan adanyakestabilan, yang juga dapat berarti menunjukkan rasa pengakuan diri mereka sebagai wargaSasak, dan bukan merupakan indikasi adanya pergeseran bahasa.

Dengan kata lain, peningkatan kemampuan mereka atas BI tidak serta merta mengancampemakaian dan keberadaan B1 (BSs) mereka. Implikasi lainnya adalah bahwa penutur BSs diLombok tampaknya mengetahui benar kapan harus menggunakan BSs dan kapan harusmemakai BI, yang dapat dilihat dari rerata skor pilihan bahasa mereka pada situasi tertentuTabel 7 di atas. Kenyataan ini didukung oleh pengalaman dan pengamatan di lapangan selamaini. Jadi, kedudukan BI yang membentuk kedwibahasaan bahasa Sasak dan bahasa Indonesiamasyarakat Sasak umumnya di Lombok tidak akan (?) atau belum mengancam keberadaanbahasa Sasak sebagai B1 masyarakat Sasak yang berfungsi sebagai bahasa intrakelompok etnisdan BI sebagai alat komunikasi antaretnis dan bahasa nasional.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah gejala kebahasaan dan kedwibahasaan yangstabil yang sekarang sedang dipertunjukkan oleh masyarakat Sasak di Lombok ini hanyamerupakan fenomena temporal ataukah akan tetap langgeng? Sebab, sebagaimana dinyatakanEdwards (1985:71), bilingualisme seringkali hanya merupakan gejala sementara yang kelakakan digantikan dengan bahasa monolingualisme yang dominan. Jawabannya tentu berpulangpada penutur dan pendukung bahasa itu sendiri serta berbagai faktor eksternal dan internal lainyang menyokong pelestarian bahasa itu.

KESIMPULAN

Secara empiris, berdasarkan skor-skor pilihan bahasa pada ranah keluarga, ketetanggaan,kekerabatan, ranah-ranah tertentu, data persentase yang menggunakan BSs sebagai bahasa ibu,serta kestabilan kedwibahasan masyarakat dapat disimpulkan bahwa BSs di Lombok masihakan tetap bertahan. Memang ada kecenderungan bahwa makin muda kelompok usia respondentampak makin besar rerata pilihan bahasanya. Namun, hal itu hanya menunjukkan kekerapaninteraksi dalam berbagai situasi interaksi, yang memang merupakan fenomena umum dan wajarterjadi dalam masyarakat diglosik yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial-psikologis yangterjadi di antara penutur-petutur. Hal itu masih jauh dari kecenderungan pergeseran menujumasyarakat monolingual BI, seperti yang menimpa bahasa Kaili di kota Palu, sebagaimana yangdilaporkan Basri (Basri, 2008).

Secara teoretis, berdasarkan pengalaman-pengalaman bahasa-bahasa lain di dunia yangmengalami keterancaman seperti halnya juga bahasa Lampung di Indonesia (Gunarwan 1994),bahasa Arvanitika, bahasa orang keturunan Albania di Yunani (Trudgill dan Tzavaras di dalamGiles, 1972) atau bahasa Hungaria di desa Oberwart perbatasan Austria-Jerman (Gal, 1979),bahasa yang terancam tergeser itu adalah bahasa yang sudah tidak lagi dipakai oleh generasimudanya di rumah bersama keluarganya, tinggal hanya dipakai oleh generasi-generasi tua.Secara tipologis, berdasarkan pendapat Krauss (1992a:4–10) yang mengelompokkan bahasa-bahasa di dunia ke dalam tiga tipe (bahasa yang punah, terancam punah, dan masih aman),maka BSs masih tergolong aman, bahkan mungkin sangat aman, karena secara demografis BSsmasih memiliki penutur yang cukup besar dan didukung oleh pola pemakaian bahasa di rumahyang dapat menjamin terjadinya pengalihan bahasa-ibu antargenerasi (intergenerational mother-tongue continuity). Disamping itu, pemakaian BSs dalam dunia pendidikan mendapat dukungandari pemerintah, yang dibuktikan dengan diajarkannya bahasa daerah sebagi muatan lokal disekolah-sekolah, serta dilindungi pula oleh undang-undang sebagai cagar budaya bangsa.

Page 40: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

37

Pola-pola kedwibahasaan masyarakat masih dalam keadaan stabil. Hal inimengisyaratkan bahwa ranah-ranah pemakaian bahasa masih berjalan sebagaimana adanyasesuai fungsi masing-masing bahasa. Kedwibahasaan yang stabil mengindikasikan bahwapenguasaan terhadap kedua bahasa (BSs dan BI) sama, sehingga dapat dipakai secara bergilirantanpa menyebabkan dislokasi secara struktural. Dengan telah mantapnya B1 (BSs) merekasebelum B2 (BI) diperoleh diharapkan dapat menjaga kestabilan pemakaian kedua bahasa sesuaidengan fungsi dan ranah masing-masing, sehingga dengan begitu istilah bahasa T dan bahasa Rdapat hidup secara berdampingan, tanpa yang satu merasa terancam oleh yang lain.

Kecenderungan pemakaian BI sebagai bahasa ibu menggantikan BSs di rumah masihsebatas yang dapat ditolerir. Kekhawatiran generasi tua bahwa generasi muda cenderungmenggunakan BI jika diajak bicara hanya merupakan gejala psikologis kebahasaan yang jugaterjadi pada masyarakat penutur bahasa lain yang mengenal tingkatan bahasa seperti bahasaJawa. Berdasarkan survei hanya 4,28% responden (N=911) yang benar-benar menggunakan BIsebagai bahasa ibu sejak kecil. Meskipun secara keseluruhan rata-rata generasi mudamenggunakan BI sama seringnya dengan BSs di luar rumah, hal itu hanya merupakan gejalayang umum terjadi pada masyarakat bilingual.

REKOMENDASI

Berdasarkan hasil temuan yang telah dikemukakan di atas, penelitian pada tahap berikutnyaperlu ditindaklanjuti. Meskipun sesungguhnya belum ada tanda-tanda bahwa Bahasa Sasak akantergantikan pemakaiannya secara besar-besaran oleh Bahasa Indonesia, terutama di ranahrumah, namun ada kekhawatiran dari pihak orangtua dan masyarakat bahwa generasi mudacenderung merespon dalam BI jika diajak berbicara dalam BSs tanpa mempedulikan setting dantujuan berbicara, walaupun mereka menguasai BSs. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepadabeberapa anak muda, mereka mengatakan bahwa mereka khawatir akan membuat kesalahanjika menggunakan BSs, khawatir dianggap tidak santun atau ‘kurang ajar’. Ada indikasi bahwahal itu terjadi karena mereka tidak begitu mengenal dan menguasai “unggah–ungguh” BSsdengan baik dan benar. Dengan kata lain mereka tidak begitu mengenal gramatika dan tatakrama berbahasa halus (base alus) dalam BSs.

Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah memperkenalkan budaya dan tatakrama berbahasa itu sejak dini, yang dapat disisipkan dalam kurikulum pendidikan sejak di TKatau PAUD samapai di SD. Pengenalan tata krama berbahasa sejak dini itu penting dilakukanmengingat pada masa-masa itulah awal dari pembentukan jiwa anak-anak yang juga dapatmenentukan watak dan karakter mereka setelah tumbuh menjadi remaja dan dewasa nantinya.Dengan demikian, hal itu dapat menjadi benteng pemertahanan bahasa dan budaya Sasak itu.Dan oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mencarikan model pemelajaran BSsyang juga memuat “unggah ungguh” itu.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Hasan. 2008. “Menuju Generasi Monolingual di Kota Palu”. Dalam Linguistik Indonesia.Tahun ke 26, Nomor 2: 169 - 183.

Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.

Ferguson, C.A. 1959. “Diglossia”. Dalam Word 15: 325-40.

Page 41: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Sudirman Wilian

38

Fishman, J.A. 1965. Who speaks what language, to whom and when? La linguistique, 2, 67-88.

______1966. Language Loyalty in the United States.The Hague: Mouton

______1972a. “Language Maintenance and Language Shift”. Dalam J.A. Fishman Language inthe Sociocultural Change. Stanford: Stanford University Press.

______1977. “The Sociology of Language: Yesterday, Today, and Tomorrow”. Dalam RogerCole (ed) Current Issues in Linguistic Theory. Bloomington: Indiana University Press.

______1972. The Sociology of Language: An Interdisciplinary Social Science Approach toLangauge in Society. Massachusetts: Newbury House Publishers.

Gal, S. 1979. Language Shift: Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual Austria.New York: Academic Press.

Giles, H. 1979. “Sociolinguistics and Social Psychology: An Introductory Essay”. Dalam H.Giles & R.St. Calair (eds), Language and Social Psychology. Oxford: Basil Blackwell.

______et. al. 1977. “Towards a theory of language in ethnic group relations”. Dalam H. Giles(ed.) Language, Ethnicity and Intergroup Relations. London: Academic Press.

Grimes, Barbara F. 2002. “Kecenderungan Bahasa untuk Hidup atau Mati secara Global(Global Language Viability): Sebab, Gejala, dan Pemulihan untuk Bahasa-Bahasa yangTerancam Punah”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Penyunting) PELBA 15. Jakarta:Lembaga Bahasa Atma Jaya.

Gunarwan, Asim. 2001a. Indonesian and Balinese among Native Speakers of Balinese: A Caseof Stable Bilingualism? Paper presented at the Third International Symposium onBilingualism, Bristol, 17 – 20 April.

______2001b. Indonesian and Banjarese Malay among Banjarese Ethnics in Banjarmasin City:A Case of Diglosia Leakage? Makalah pada Simposium Internasional V tentangLinguistik Melayu/Indonesia. Leipzig, Jerman, 16 – 17 Juni.

______2001. Pengantar Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Proyek Penelitian Kebahasaan danKesastraan, Departemen Pendidikan Nasional.

______1999. Pembalikan Pergeseran Bahasa Lampung: Mungkinkah? Makalah pada SeminarBahasa dan Tulisan Lampung. Bandar Lampung, 23 Oktober.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. Longman Publishing: New York.

Krauss, M.1992a. “The World,s Languages in Crisis”. In Language, 68: 4 – 10

Mackey, William F. 1962. Sociolinguistic Studies in Language Contact: Method and Cases.New York: Mouton.

Mesthrie, Rajend and William L. Leap. 2000. “Language Contact 1: Maintenance, Shift andDeath”. Dalam Rajend Mesthrie, et. al. Introducing Sociolinguistics. Edinburg: EdinburgUniversity Press.

Romaine, Suzanne. 1989. Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell.

Siregar, Bahren Umar, dkk. 1998. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa: Kasus MasyarakatBilingual di Medan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta.

Subroto, Edi, dkk. 2008. “Endangered Krama and Krama Inggil Varieties of the JavaneseLanguage” dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-26, Nomor 1: 89 – 96.

Page 42: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

39

Sumarsono. 1990. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Disertasi Fakultas Sastra UI,Jakarta.

______1993. “Perembesan Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Melayu Loloan Bali”. DalamMLI II: Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya. Masyarakat LinguistikIndonesia, Jakarta.

______dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Wantania, Theresye. 1996. Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Tonsea di Minahasa, PropinsiSulawesi Utara: Kajian Sosiolinguistik. Tesis, Magister. Fakultas Sastra UniversitasIndonesia.

Weinreich, Uriel. 1953. Languages in Contact: Finding and Problem. New York: Publication ofthe Linguistic Circle.

Wilian, Sudirman. 2005. “Bahasa Minoritas, Identitas Etnis, dan Kebertahanan Bahasa: KasusBahasa Sumbawa di Lombok.” Dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-23 No.1: 89–102.

______ “Tingkat Tutur Dalam Bahasa Sasak dan Bahasa Jawa”. Dalam Wacana. Tahun 2006.Vol. 8 No. 1

_______ 2006. Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Identitas Etnis: Kajian atas DwibahasawanSumbawa-Sasak di Lombok. Disertasi. Universitas Indonesia

Woolard, Kathryn A. 1989. “Language Convergence and Language Death as Social Process.”Dalam Nancy C. Dorian (ed.), Investigating Obsolescence: Studies in LanguageContraction and Death. Halaman 355–368. Cambridge: Cambridge University Press.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika. Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang akan KitaLakukan Dengannya. Kata Pengantar: Toeti Heraty Noerhadi. Jakarta: YayasanSumber Agung.

Sudirman [email protected] Mataram

Page 43: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 41-54

SIKAP BAHASA PENUTUR JATI BAHASA LAMPUNG

Katubi*Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI

ABSTRACT

This paper focuses its attention on the language attitude of native speaker of Lampungiclanguage. The data used is the result of survey the writer conducted when joining SILInternational in West Indonesia Survey Team. From 2003 to 2007 this team conducted thefield research in 27 areas of use of Lampungic language in Lampung and West Sumateraprovinces. The method employed to collect the data for this research is based on RapidAppraisal Research model, which is mainly developed for language assessment.

With regard to the integrative function, there is a tendency that Lampungic peoplehave positive attitude towards their language. Meanwhile, with reference to instrumentalfunction, there is a tendency that they have negative attitude towards their language andpositive attitude towards Bahasa Indonesia. With reference to the existence of locallanguage texts, their responses are of three kinds: positive, negative and ambivalent. Theresult of analysis of language attitude by using RA-RTT (Rapid Appraisal-Recorded TextTest) indicates that there is no sole variety regarded as the best variety or variety used as areference for all Lampungic language. This shows the possibility of difficulties tostandardize Lampungic language.

Key words: language attitude, Lampungic languages, Rapid Appraisal-Recorded Text Test

PENGANTAR

Tulisan ini dibuat berdasar data hasil survei yang dilakukan oleh penulis ketika bergabungdengan SIL International dalam West Indonesia Survey Team. Pada tahun 2003—2005 tim inimelakukan penelitian lapangan di Lampung dan Sumatera Selatan. Secara lebih spesifik, tim inibekerja dengan tujuan menentukan kebutuhan pengembangan bahasa melalui survei batasbahasa, penelitian sosiolinguistik, kajian kedwibahasaan, dokumentasi hasil penelitiansebelumnya, dan merancang program untuk pengembangan yang mungkin bisa dilakukan padamasa mendatang. Sejumlah makalah hasil penelitian lapangan itu telah dipaparkan dalamberbagai simposium linguistik internasional. i

Tulisan ini memusatkan perhatian pada salah satu aspek sosiolinguistik bahasaLampung, yaitu sikap bahasa (language attitude) orang Lampung. Berkaitan dengan aspeksosiolinguistik bahasa Lampung, sudah ada beberapa tulisan yang dibuat oleh Asim Gunarwan.Hasil penelitian Gunarwan (1994) menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Lampung danbahasa Indonesia membentuk situasi diglosik. Dalam situasi itu, bahasa Indonesia ditempatkansebagai “bahasa ranah tinggi” dan ragam bahasa Lampung berfungsi sebagai “bahasa ranahrendah”. Namun, bahasa Indonesia mendesak bahasa Lampung dalam ranah penggunaan bahasadi rumah. Dia menyimpulkan bahwa telah terjadi kebocoran diglosia pada penggunaan bahasaoleh orang Lampung. Dia juga menunjukkan bahwa kecenderungan menggunakan bahasaIndonesia lebih tinggi secara signifikan di kota daripada di kampung-kampung.

Pada 1999 Gunarwan menulis makalah berjudul “Pembalikan Bahasa Lampung:Mungkinkah?” Dalam tulisannya itu, dia menyatakan bahwa pembalikan pergeseran bahasaLampung dan bahasa-bahasa daerah lain dapat dilakukan. Berhasil tidaknya usaha itu banyakbergantung pada keseriusan para pelestarinya.

Pada tahun 2001, Gunarwan menulis makalah berjudul “Beberapa Kasus Pergeserandan Pemertahanan Bahasa: Implikasinya pada Pembinaan Bahasa Lampung.” Pada bagian akhirmakalah, dia menyatakan pentingnya identifikasi objek perencanaan agar rencana strategispembinaan bahasa Lampung dapat diimplementasikan oleh berbagai pemangku kepentingan.

Page 44: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Katubi

42

Identifikasi itu hendaknya dilakukan melalui penelitian. Di antara pertanyaan yang perlu dijawab ialah: (1) Berapa jumlah penutur bahasa Lampung yang sebenarnya, termasuk berapayang full speakers dan yang semi speakers? (2) Bagaimana pola penggunaan bahasa Lampungmenurut dimensi umur, dimensi tingkat pendidikan, dimensi desa-kota, dan dimensi penuturdialeknya? (3) Bagaimana sikap orang Lampung terhadap bahasa Lampung menurut dimensi-dimensi itu? (4) Bagaimana wujud loyalitas orang Lampung terhadap bahasa Lampung? (5)Faktor-faktor apa yang menyebabkan bergesernya bahasa Lampung? (6) Bagaimanakahkepadaan (adequacy) geolinguistik bahasa Lampung sebagai bahasa modern? (7) Seberapajauhkah penelitian-penelitian tentang bahasa Lampung yang sudah dilakukan oleh berbagailembaga relevan dengan usaha-usaha pembalikan pergeseran? Bagaimana visi, misi, dan strategipembalikan pergeseran bahasa Lampung? Sudahkah disusun cetak biru dan rencana kegiatan(action plans). Siapa yang bertugas mengelola perencanaan itu? Bagaimana sistem pemantauandilakukan? Siapa yang membiayai pelaksanaannya? Dukungan institusional apa yangdiharapkan dari pemerintah daerah, universitas Lampung, dari Pusat Bahasa? Bagaimana sikaporang non-Lampung di Lampung terhadap usaha-usaha pembalikan pergeseran bahasaLampung? Bagaimana pengajaran bahasa Lampung di sekolah direalisasikan?

Sangat menarik mencermati berbagai tulisan Asim Gunarwan, terutama berbagaipertanyaan yang dilontarkan pada makalah yang dibuatnya pada 2001 itu karena pertanyaantersebut sangat membantu mengidentifikasi tiap aspek perencanaan bahasa Lampung.Sayangnya, setakat ini berbagai pertanyaan yang ditulis dalam makalah terakhir itu, terutamapertanyaan nomor 3, 4, dan 7, belum sempat terjawab melalui penelitian sehingga identifikasiobjek perencanaan bahasa Lampung belum bisa dilakukan.

Tulisan ini berusaha menjawab salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh AsimGunarwan (2001), terutama pertanyaan tentang sikap orang Lampung terhadap bahasaLampung. Sikap menjadi sebuah pilihan dalam kajian ini karena hasil penelitian sikap bahasadapat memberikan data: (1) ukuran “kesehatan” bahasa yang menjadi syarat ketahanan bahasadan hal itu menjadi prasyarat penting dalam penanganan bahasa minoritas (Baker 1992: 9); (2)indikator pikiran, kepercayaan, pilihan, keinginan masyarakat “terkini” tentang bahasa mereka(Baker 1992: 9); (3) indikator perubahan kepercayaan dan kesempatan keberhasilan dalamimplementasi kebijakan (Baker 1992: 9); (4) informasi ringkas tentang status berbagai ragambahasa sebagai indikator identitas kelompok (Fasold 1984: 164).

Berdasar paparan di atas, penelitian sikap bahasa dalam masyarakat multilingual sepertidi Lampung dan Sumatera Selatan menjadi penting dilakukan bagi perancang bahasa danpembuat kebijakan bahasa untuk memahami sikap masyarakat terhadap bahasa mereka sendiri,termasuk ragam-ragamnya, dan juga terhadap bahasa lain. Wawasan tentang sikap bahasa dapatmembantu untuk mengantisipasi cara masyarakat dalam merespons perencanaan bahasa dandalam penentuan bahasa (ragam bahasa) yang dianggap paling patut untuk pengembanganbahasa.

ASPEK METODOLOGIS

Untuk mendapatkan pandangan yang luas tentang kelompok bahasa Lampung dan berbagaiaspeknya secara keseluruhan, dipilihlah model Rapid Appraisal Research, yang dikembangkanterutama untuk penilaian bahasa (language assessment). Rapid Appraisal Research, yangseringkali disebut level one survey, merupakan peninjauan luas (overview) pada tahap awaltentang wilayah, bahasa, kelompok etnolinguistik, atau masyarakat multilingual. Model inimengembangkan cara melakukan pemahaman luas tentang situasi (Bergman 1991). Tujuanutama metode ini ialah memformulasi hipotesis yang akan dibuktikan dalam survei lebihmendalam atau penilaian bahasa tingkat lanjut (Wetherill 1995). Karena itu, hasil penelitianmelalui model ini perlu ditindaklanjuti melalui penelitian yang lebih spesifik dalam tiap bidangkajian.

Page 45: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

43

Rapid Appraisal Research ini penting dilakukan meskipun sudah ada sejumlah kajian terdahulutentang bahasa Lampung, seperti yang dilakukan Walker (1976), Abdurrahamn dan Yallop(1979), Mitani (1980), Gani et al. (1986), dan Udin et al. (1990). Alasannya, sebagian besarkajian terdahulu lebih memusatkan perhatian pada isolek tertentu dan mengesampingkanberbagai faktor seperti linguistik komparatif, sosiolinguistik, dan kesalingmengertianantarragam bahasa.

Untuk mendapatkan data sosolinguistik, kuesioner sosiolingusitik digunakan untukmengumpulkan data tentang penggunaan dan sikap bahasa, batas dialek/bahasa,multilingualisme, interaksi antarkelompok etnis, kesalingmengertian (intelligibility) yangdirasakan antarberbagai kelompok penutur ragam bahasa Lampung. Untuk mendapatkan datalain, digunakan alat pengumpul data lain, misalnya daftar kosakata dasar dan kalimat. Akantetapi, hal itu tidak dibahas di sini karena tidak berkaitan dengan topik kajian.

Khusus untuk mengungkap data sikap bahasa, penelitian ini menggunakan kuesionerterbuka yang berisi tujuh “kelompok pertanyaan.” Dikatakan “kelompok pertanyaan” karenakadangkala dalam penelitian lapangan kelompok responden diberi pertanyaan berantai tentangsatu aspek yang ingin diketahui peneliti. Berdasar tiap “kelompok pertanyaan” itulah analisisdata dilakukan.

Sementara itu, untuk mengungkap pandangan responden tentang ragam bahasaLampung, peneliti menggunakan RA-RTT (Rapid Appraisal-Recorded Text Test). Pengumpulandata melalui kuesioner maupun RA-RTT dilakukan secara berkelompok sehingga aktivitaspengumpulan data mirip dengan Focus Group Discussion, yang dilakukan dari satu desa ke desalain. Karena itu, jumlah responden dari satu desa ke desa lain tidak sama. Jumlah respondensecara keseluruhan mencapai 145 orang.

Selama tahun 2003—2005 tim peneliti melakukan penelitian lapangan di 27 wilayahpenggunaan bahasa Lampung di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. Hal itu dapatdikemukakan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1: Wilayah Survei 2003—2005

NO. KAMPUNG/DESA RAGAM BAHASA KECAMATAN KABUPATEN1. Kayu Agung Asli Kayu Agung Asli Kota Kayu

AgungOganKomering Ilir

2. Paku Kayu Agung/KayuAgung Pasar

Kota KayuAgung

OganKomering Ilir

3. Pulau Gemantung Komering Ilir Tanjung Lubuk OganKomering UluTimur

4. Adumanis Komering Ulu Cempaka OganKomering UluTimur

5. Perjaya Komering Ulu Martapura OganKomering UluTimur

6. Darmarpura Komering Ulu Simpang OganKomering UluSelatan

7. Tihang Daya Lengkiti OganKomering Ulu

8. Gunung Terang Daya Buay SandangAji

OganKomering Ulu

Page 46: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Katubi

44

Selatan9. Pilla Ranau Banding Agung Ogan

Komering UluSelatan

10. Tapak Siring LampungPesisir/Sukau

Sukau LampungBarat

11. Negeri Ratu LampungPesisir/Sukau

Sukau LampungBarat

12. Buay Nyerupa LampungPesisir/Sukau

Sukau LampungBarat

13. Banjar Agung LampungPesisir/Krui

Sukau LampungBarat

14. Kota Besi LampungPeminggir/Belalau

Batu Brak LampungBarat

15. Mesir Udik Lampung Api/WayKanan

Bahuga Way Kanan

16. Banjar Ketapang LampungApi/Sungkai

Sungkai Selatan LampungUtara

17. Negeri Kepayungan LampungApi/Pubian

Pubian LampungTengah

18. Sukaraja LampungPesisir/TalangPadang

Talang Padang Tanggamus

19. Sukanegeri Jaya LampungPesisir/TalangPadang

Talang Padang Tanggamus

20. Kandang Besi Lampung Pesisir/Kota Agung/Semangka

Kota Agung Tanggamus

21. Tengkujuh Lampung Pesisir/Kalianda/Rajabasa

Kalianda LampungSelatan

22. Jabung Lampung Jabung Jabung LampungTimur

23. Nibung LampungNyo/Melinting

GunungPelindung

LampungTimur

24. Nyampir LampungNyo/Abung/Sukadana

Bumi Agung LampungTimur

25. Terbanggi Besar Lampung Nyo/Abung

Terbanggi Besar LampungTengah

26. Blambangan Pagar LampungNyo/Abung/Kotabumi?

Abung Selatan LampungUtara

27. Ujung Gunung Lampung Menggala(Nyo)

Menggala TulangBawang

Wilayah penelitian bahasa Lampung dengan ragam-ragamnya itu dapat ditunjukkan dalam petaberikut ini.

Page 47: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

45

Berdasar peta itu, tampak bahwa meskipun penelitian yang dilakukan mengenai bahasaLampung, tetapi batas wilayah penelitian tidak hanya mencakupi wilayah Provinsi Lampung.Asumsi penelitian ini ialah batas wilayah administratif pemerintahan tidak sama dengan wilayahpenggunaan bahasa.

Page 48: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Katubi

46

SIKAP BAHASA: SEKILAS TINJAUAN TEORETIS

Pendefinisian sikap dan kajian kajian tentang sikap dalam sosiolinguistik dipengaruhi olehpsikologi sosial yang mendefinisikan sikap dari dua sudut pandang berbeda, yaitu pandanganbehaviorist dan mentalist. Pandangan behaviorist memiliki asumsi bahwa tidak ada realitasobjektif tentang sikap. Berdasar asumsi itu, sikap dalam pandangan behaviorist didefinisikansebagai konstruk hipotetis yang digunakan untuk menjelaskan arah dan keajegan perilakumanusia (Baker 1992: 10). Sikap adalah cara yang efisien dan tepat untuk menjelaskan polayang konsisten tentang perilaku. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ancanganbehaviorist pada kajian bahasa memandang bahasa sebagai perilaku. Sementara itu, pandanganmentalist, yang memiliki asumsi bahwa konsep seperti “pikiran” dan “sikap” memiliki beberaparealitas objektif meskipun sikap tidak dapat diamati secara langsung. Sikap adalah “...kecenderungan untuk merespons secara menyenangkan atau secara tidak menyenangkanterhadap objek, orang, institusi, atau peristiwa (Azjan 1988 dalam Baker 1992: 11). Sikapmenempatkan objek pemikiran pada dimensi keputusan (McGuire dalam Baker 1992: 11).Kelompok mentalist memandang bahasa sebagai aktivitas mental atau kognitif. Opini, motif,ideologi, dan ciri kepribadian bukanlah sikap (Baker 1992: 13).

Kelompok mentalist menganggap bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu kognitif,afektif, dan konatif (Fasold 1984: 148). Aspek kognitif berkaitan dengan fakta, pemikiran, dankepercayaan tentang bahasa, yang biasanya dipengaruhi oleh aspek demografis, warisankebudayaan, pentingnya sosial politik, situasi ekonomi, dan kompleksitas sistem kebahasaan.Aspek afektif berkaitan dengan perasaan tentang bahasa.; posisi tempat kita menempatkan dirikita sendiri di antara bahasa-bahasa lain: inferioritas vs superioritas vs seimbang, arogan vsrendah hati, takut vs percaya diri. Aspek konatif berkaitan dengan kesiapan atau kemauan untukbertindak dengan tujuan. Tindakan yang merefleksikan sikap positif terhadap bahasa antara lainmembaca teks tentang orang-orang dari pengguna bahasa tertentu, turut memasyarakatkanbahasa tersebut, mencoba makanannya, mengunjungi negaranya, pergi ke pasar dan mencobaberinteraksi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut.

Menurut Baker (1992: 32), penelitian tentang sikap selama ini telah menempatkan duakomponen sikap bahasa, yaitu motivasi instrumental dan integratif. Motivasi instrumentalmencakupi motif kebermanfaatan, memusatkan perhatian pada keuntungan yang dapat digapai,keinginan untuk mencapai pengakuan sosial atau keuntungan ekonomi melalui pengetahuanbahasa asing, orientasi diri, peningkatan diri, atau kebutuhan untuk berprestasi. Motivasiinstrumental dapat berupa alasan profesionalitas, status, prestasi, keberhasilan pribadi,peningkatan diri, aktualisasi diri, atau dasar keamanan dan bertahan hidup. Sementara itu,motivasi integratif mencakupi aspek sosial dan interpersonal dalam orientasi, hubungankonseptual dengan kebutuhan untuk berafiliasi, keinginan menjadi anggota representatif darikomunitas bahasa lain, identifikasi dengan kelompok bahasa dan aktivitas kebudayaan mereka,dan bagian dari keinginan untuk mengetahui lebih tentang, untuk berinteraksi dengan, danmungkin untuk membaurkan dirinya sendiri dalam, kebudayaan lain.

Ada sejumlah faktor yang turut membentuk sikap bahasa dan yang perludipertimbangkan dalam penelitian sikap bahasa, yaitu usia, jender, sekolah, kemampuan,penggunaan bahasa, latar kebudayaan, kontak bahasa, dan kebijakan pemerintah. Pengaruhberbagai faktor tersebut tidak akan jelas kelihatan secara langsung, tetapi penting kiranya untukmempertimbangkan situasi dari perspektif itu. Beberapa faktor perlu untuk dipertimbangkansecara bersamaan dan juga beberapa faktor dapat saling berpengaruh satu sama lain.

Penelitian sikap bahasa tertuju pada tingkat yang berbeda-beda. Pertama, sikap bahasaterhadap bahasa atau ragam bahasa itu sendiri, misalnya mencakupi sikap negatif atau positif.Kedua, sikap terhadap bahasa/ragam bahasa dan penuturnya, misalnya sikap terhadap dialekdaerah; sikap terhadap aksen: ciri variabel dalam bahasa orang itu sendiri; sikap terhadapsosiolek: usia, kelas sosial, profesi, dan etnisitas; sikap terhadap “bahasa asli” di daerah tertentu;

Page 49: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

47

sikap terhadap bahasa imigran. Ketiga, sikap yang dimanifestasikan dalam ragam bahasa,misalnya penggunaan bahasa lisan, penggunaan bahasa tulis (keberaksaraan, kesastraan),penggunaan bahasa publik dan pribadi dan lebih spesifik ranah penggunaan bahasa; penggunaanbahasa di dunia pendidikan: bahasa pengajaran, pendidikan bilingual, pembelajaran bahasaasing; penggunaan bahasa dalam ranah agama.

Menurut Schiffman (1997), kini harus mulai dipertimbangkan terjadinya perubahandalam penelitian sikap bahasa. Dulu penelitian sikap bahasa menunjukkan sebuah pola (sikap).Kini penelitian sikap bahasa beranjak menuju penelitian perubahan sikap bahasa. Kajianbilingualisme dan sistem sekolah imersi mengakibatkan munculnya minat pada perubahansikap, yaitu melihat apakah perubahan pola persekolahan mengakibatkan perubahan masyarakatdominan terhadap masyarakat minoritas.

Penelitian ini menggunakan konsep sikap dalam pandangan mentalist denganmempertimbangkan motivasi integratif dan instrumental yang dikemukakan Baker. Alasannya,jika menggunakan pandangan behaviorist, pengumpulan data setidaknya harus melibatkanpengamatan karena perilaku yang menunjukkan sikap dapat diamati. Padahal, modell penelitianyang digunakan tidak memungkinkan peneliti melakukan pengamatan perilaku penggunabahasa Lampung.

PAPARAN HASIL ANALISIS DATA

Ada tujuh pertanyaan yang diajukan kepada kelompok responden berkaitan dengan sikap bahasaini. Berdasar tujuh pertanyaan itu analisis data penelitian ini dilakukan.

Pertama, apakah Anda tertarik membaca/menulis dalam bahasa daerah Anda? Apaalasannya? Hasil analisis data menunjukkan 87,5% responden tertarik, sedangkan 35% tidaktertarik untuk membaca/menulis dalam bahasa daerah mereka.

Kelompok responden yang tertarik membaca/menulis dalam bahasa daerah merekamemiliki alasan bahwa mereka ingin menjadi anggota orang Lampung yang “melek aksara”dalam bahasa Lampung. Mereka merasa bahwa bahasa Lampung adalah bahasa milikkelompoknya dan mereka bangga akan bahasanya itu. Bahkan, di antara mereka ada yangmenyatakan keinginannya untuk menjaga bahasanya sebagai warisan dan kebudayaan leluhurmereka.

Sementara itu, kelompok responden yang tidak tertarik untuk membaca/menulis dalambahasa daerah mengatakan bahwa mereka lebih suka membaca dan menulis dalam bahasaIndonesia karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan memiliki pemakaian yang lebihluas dibanding bahasa Lampung. Mereka berpendapat bahwa jika mereka hanya menggunakanbahasa Lampung, tidak akan bisa berkomunikasi dengan kelompok etnis lain. Padahal, diLampung sangat banyak kelompok etnis yang hidup berdampingan dalam satu wilayah. Bahkan,beberapa dari kelompok ini mengaku bahwa mereka mengajari anak-anak mereka sejak kecil dirumah dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dari hasil pengamatan sepintas, mereka,terutama yang tinggal di perkotaan, tampak sangat bangga ketika menjelaskan kepada penelitibahwa anak-anak mereka yang masih kecil-kecil berinteraksi sehari-hari dalam bahasaIndonesia. Mereka menganggap itu sebagai suatu kelebihan di banding anak-anak lain yangbelum bisa berbahasa Indonesia dan baru bisa berbahasa daerah.

Kedua, dalam bahasa apa seharusnya anak-anak belajar membaca dan menulis (disekolah)? Menurut Anda, sebaiknya bahasa apa yang diajarkan di sekolah? Apa alasannya?Hasil analisis data menunjukkan bahwa 61% responden setuju bahawa bahasa Indonesia yangharus diajarkan di sekolah, 33% menyatakan bahasa daerah seharusnya diajarkan di sekolahbersejajar dengan bahasa Indonesia, dan 6% menyatakan bahasa daerahlah yang seharusnyadiajarkan untuk program baca-tulis.

Page 50: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Katubi

48

Responden yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang layak diajarkan disekolah memiliki lima alasan sebagai berikut. Pertama, bahasa Indonesia adalah bahasapemersatu, yang menyatukan mereka dengan berbagai kelompok etnis di Lampung dan diIndonesia. Kedua, sebagian besar orang di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga,buku-buku sekolah dan berbagai kepustakaan lain tersedia dalam bahasa Indonesia. Keempat,mempelajari bahasa Indonesia lebih mudah dibanding mempelajarai bahasa daerah, apalagibelajar membaca dan menulis dalam bahasa daerah. Kelima, kita dapat menggunakan bahasaIndonesia di mana saja sehingga bahasa Indonesia adalah bahasa yang baik untuk dipelajari.Bahasa Indonesia harus diajarkan di sekolah sehingga anak-anak menjadi lancar dan cerdas.Bahkan, ada responden dalam konteks ini yang menyatakan bahwa, “Bahasa Indonesia lebihbaik.” “Sekali kita bisa membaca dalam bahasa Indonesia, kita dapat membaca dalam bahasasendiri. Tidak menjadi masalah. Ini tidak terlalu sulit.”

Kelompok responden yang menyatakan pentingnya anak-anak diajari baca-tulis dalambahasa daerah yang sejajar dengan bahasa Indonesia beralasan bahwa untuk menjagakeseimbangan anak-anak mereka sebagai orang Lampung dan orang Indonesia. Tujuannya agaranak-anak mereka mengerti mereka sebagai orang Lampung. Namun, mereka juga tidak inginanak-anak mereka hanya mampu berbahasa Lampung. Karena itu, mereka menginginkan bahasaIndonesia juga diajarkan kepada anak-anak Lampung.

Sementara itu, responden yang menginginkan bahasa daerah diajarkan di sekolahberalasan bahwa hal itu akan membantu menjaga identitas kelompok etnis mereka danmelengkapi penguasaan bahasa. Kelompok di Sekayu menyatakan bahwa, “Kita takut ragambahasa lokal sini akan hilang. Di sekolah dasar, bahasa ragam Lampung Pesisir diajarkan,sehingga mereka tidak benar-benar memahami ragam bahasa daerah yang lain dan ini bukanbahasa Lampung asli.”

Di luar hubungan bahasa daerah dan bahasa Indonesia, ada 15% responden yangmenginginkan bahasa Inggris diajarkan di sekolah dan 3% menjelaskan bahwa bahasa Arabseharusnya diajarkan di madrasah.

Bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa penting untuk dipelajari karena bahasa Inggrisadalah bahasa internasional. Para orang tua ingin anak-anak mereka dapat berbahasa Inggrisuntuk melanjutkan pendidikan mereka dan membantu mengembangkan diri mereka demi masadepannya. Mereka merasa penting menguasai bahasa Inggris untuk membaca petunjuk padaperalatan atau produk yang baru. Sementara itu, kelompok yang menganggap perlunya bahasaArab diajarkan di madrasah agar anak-anak dapat membaca dan menulis dalam bahasa Arabkarena kitab suci orang Islam ditulis dalam bahasa Arab.

Ketiga, sebaiknya anak-anak menggunakan bahasa apa? Hasil analisis datamenunjukkan 58% menyatakan bahwa alangkah lebih baik anak-anak mereka belajar berbicarabahasa daerah mereka. 24% menambahkan bahwa anak-anak juga harus belajar menggunakanbahasa Indonesia di samping bahasa daerah. 18% memberikan pernyataan bersyarat, “Jika anak-anak tinggal di rumah, mereka harus belajar bahasa daerah; jika mereka pergi ke kota, merekamemerlukan penguasaan bahasa Indonesia.”

Keempat, orang di daerah Anda menggunakan bahasa apa kalau mereka marah? Hasilanalisis data menunjukkan bahwa 100% responden mengatakan bahwa mereka selalumenggunakan bahasa daerah ketika marah. Hal itu berarti bahwa penggunaan bahasa dalamranah privat masih menggunakan bahasa daerah.

Kelima, kalau Anda menceritakan sesuatu yang lucu atau sedang bercanda, bahasa apayang Anda pakai? Hasil analisis data menunjukkan bahwa 100% responden mengatakan bahwamereka selalu menggunakan bahasa daerah ketika menceritakan hal yang lucu atau bercanda.Hal ini memiliki kesamaan argumen dengan pertanyaan keempat, yakni dalam ranah privatmereka masih mempertahankan bahasa Lampung.

Page 51: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

49

Keenam, apakah Anda pernah merasa malu memakai bahasa asli sini (bahasa daerahLampung dengan ragamnya)? Hasil analisis data menunjukkan bahwa 92% respondenmenyatakan bahwa mereka tidak pernah berada dalam situasi yang membuat mereka malumenggunakan bahasa daerah. Namun, 8% kelompok responden diJabung menyatakan bahwamereka merasa malu menggunakan ragam bahasa daerah mereka sendiri ketika mereka pergi kedaerah lain. “Lebih baik menggunakan bahasa yang dipahami tiap orang, biar sepaham, yaitubahasa Indonesia.”

Ketujuh, bahasa apa yang Anda sukai untuk digunakan? Hasil analisis datamenunjukkan 85% responden menyatakan bahwa mereka lebih menyukai bahasa Lampung.Sementara itu, 15% kelompok responden di Jabung, Negeri Kepayungan, dan Kota Besi lebihmenyukai menggunakan bahasa daerah Lampung. Responden di Jabung yang menggunakanragam bahasa Lampung Jabung lebih menyukai menggunakan bahasa Indonesia agar bisa salingmegerti di antara berbagai kelompok pada orang Lampung sendiri. Begitu pun kelompokresponden di Negeri Kepayungan yang menggunakan ragam bahasa Lampung Pesisir/Pubianmenyatakan bahwa mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam situasipercampuran antarkelompok etnis. Respons kelompok responden di Kota Besi, yangmenggunakan ragam bahasa Lampung Peminggir/Belalau dapat disimpulkan, “secaraemosional, kami senang menggunakan bahasa kami sendiri; tetapi dari segi kegunaan dankepraktisan, kami memilih bahasa Indonesia.”

KEBUTUHAN YANG DIRASAKAN UNTUK KEPUSTAKAAN DALAM BAHASADAERAH

Ada dua aspek yang dibahas pada bagian ini, yaitu pengetahuan dan kepemilikan kepustakaandalam bahasa Lampung, serta respons terhadap kepustakaan berbahasa daerah dan Indonesia.

Keberadaan Kepustakaan dalam Bahasa Daerah

Sebanyak 54% responden melaporkan bahwa mereka pernah melihat kepustakaan dalam bahasadaerah mereka; 40% menyatakan bahwa tidak ada kepustakaan dalam bahasa daerah; 6%menyatakan bahwa mereka memiliki kepustakaan dalam aksara lama, tetapi tidak ada yangdalam aksara Latin. Kepustakaan yang mereka miliki (di samping buku-buku berdasarkurikulum sekolah) berisi nyanyian, puisi tradisional, buku-buku tradisi lokal, atau cerita yangditerbitkan dalam bahasa daerah, yang mencakupi ragam Kayu Agung Asli, Kayu Agung,Komering, Daya, Pesisir, Pubian, Abung, dan Menggala.

Banyaknya responden yang menyatakan bahwa mereka pernah melihat kepustakaandalam bahasa daerah karena di Provinsi Lampung, bahasa Lampung diajarkan sebagai bagiandari kurikulum sekolah kepada anak-anak mulai dari SD sampai SMP. Buku pelajaran ditulisdalam aksara Lampung dengan transkripsi bahasa Indonesia.

Hal yang menarik ialah manyarakat tidak mengetahui dengan jelas, dalam dialekmanakah buku-buku ajar bahasa Lampung itu ditulis. Apakah buku-buku ajar itu diterbitkandalam dialek yang berbeda bergantung pada wilayahnya? Kelompok Pubian menyatakan bahwakurikulum yang dikembangkan di sekolah adalah dialek Abung “karena (orang yangberpengaruh terhadap pembuatan kurikulum) adalah secara etnisitas orang Abung”. Kelompokdi Sekayu menyatakan bahwa dialek Lampung Pesisir yang diajarkan di sekolah mereka, tetapitidak menyebut secara khusus ragam bahasa Lampung Pesisir mana yang diajarkan.

Respons terhadap Buku-buku Berbahasa Daerah

Berkaitan dengan keinginan menerbitkan buku-buku dalam bahasa daerah, 50% respondenmenyatakan bahwa buku-buku tentang kesehatan atau pertanian seharusnya ada dalam bahasadaerah meskipun 2% responden menyatakan bahwa itu hanya untuk anak-anak saja. Alasanmereka adalah buku-buku dalam bahasa daerah lebih mudah dipahami dan akan mendatangkan

Page 52: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Katubi

50

keuntungan bagi masyarakat dan membantu pengembangan kebudayaan mereka. Sementara itu,48% responden menyatakan bahwa akan lebih bagus jika memiliki buku-buku, baik dalambahasa daerah maupun dalam bahasa nasional, Indonesia.

Ketika diajukan pertanyaan: jika isi buku yang ditulis sama, lebih memilih ditulis dalambahasa daerah atau dalam bahasa Indonesia? Sebanyak 71% responden memilih buku-bukudalam bahasa daerah dibanding dalam bahasa Indonesia jika isinya sama. Alasan memilih bukudalam bahasa daerah adalah mereka akan lebih mudah untuk memahami dan menyerap isinyadibanding buku-buku dalam bahasa lain; karena ditulis dalam bahasa daerah, mereka dapatmemahami keseluruhan dan maknanya tidak akan menyimpang; buku-buku berbahasa daerahlebih sesuai dengan masyarakat mereka; sehingga bahasa daerah mereka tidak akan mati; buku-buku dalam bahasa daerah “lebih dekat dengan hati mereka.”

Sebanyak 22 % responden memilih dalam bahasa Indonesia. Ada sejumlah alasan untukjawaban ini. Pertama, bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Kedua, buku yang ditulis dalambahasa Indonesia mudah dibaca dan mudah dipahami. Ketiga, jika buku ditulis dalam bahasaLampung, aksara Lampung sulit membacanya, sedangkan tidak semua orang Lampung mampumembaca tulisan dalam aksara Lampung. Keempat, bahasa Indonesia jauh lebih mudah, siapdiajarkan, dan sudah banyak buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Kelima, bahasa daerahterlalu rumit—buku-buku dalam bahasa Indonesia lebih mudah dipahami. Karena itu, akanterlalu banyak masalah untuk menulis dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa daerahLampung. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak memerlukan buku-buku dalam bahasa daerah karena mereka dapat membaca dalam bahasa Indonesia dengan baik.

Sementara itu, sebanyak 7% responden menginginkan buku-buku dalam kedua bahasa,yaitu bahasa Lampung dan bahasa Indonesia. Alasannya untuk menjaga keseimbangankehidupan mereka dalam dua bahasa karena mereka hidup dalam dua bahasa itu.

Ketika ditanya jenis buku apa yang mereka inginkan ada dalam bahasa daerah Lampung?Secara berurutan, mereka menginginkan bahasa Lampung digunakan untuk menulis lagu-lagu,kamus atau buku-buku tentang bahasa lokal, buku-buku dalam sejarah lokal, cerita daerah, buku-buku tentang doa dan agama, serta buku-buku tentang tradisi dan kebudayaan lokal.

SIKAP TERHADAP TEKS RAGAM BAHASA LAMPUNG API DAN NYO

Data untuk bagian ini diperoleh berdasar RA-RTT (Rapid Appraisal-Recorded Text Test), yangdapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu teks yang berasal dari rekaman ragam bahasaLampung Api dan ragam bahasa Lampung Nyo. Baik kelompok pemakai ragam bahasa LampungApi maupun pemakai ragam bahasa Lampung Nyo diminta untuk mendengarkan kedua rekamantersebut. Setelah itu, mereka diminta untuk menjawab pertanyaan yang berupa “penilaian” ragambahasa. Aktivitas ini dilakukan secara berkelompok sehingga jawaban yang dikemukakan dalamtulisan ini adalah jawaban berdasar kesepakatan antaranggota kelompok responden itu sendiri.Dalam kesepakatan itu mereka memunculkan satu jawaban saja. Tujuan pengumpulan data iniialah untuk mengetahui sikap penutur bahasa Lampung, baik dari kelompok ragam bahasaLampung Api maupun Lampung Nyo, terhadap kedua ragam bahasa tersebut.

Tabel 2: Sikap terhadap Teks Ragam Bahasa Lampung Api

TempatPengumpulanData

Apakah pencerita berbicaradalam bahasa Lampung denganbaik? ika tidak, kenapa tidak?

Apakah bahasadalam cerita initermasukragam tinggi,menengah, ataurendah?

Api: Sukaraja/Talang Padang

Ya Tinggi

Page 53: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

51

Api: KandangBesi/ Kota Agung

Ya; bahasa Lampung murni -

Api: NegeriKapayungan/Pubian

Ya Sangat tinggi

Api: Banjarketapang/ SungkaiSelatan

Ya; formal dan santun Tinggi

Api: Kota Besi/Batu Brak

Tidak; campuran terlalu banyakbahasa Indonesia, seperti orangmasih belajar bahasa Lampung

Menengah

Api: BanjarAgung/ PesisirTengah

Ya Tinggi

Api: BuayNyerupa/ Sukau

Ya Tinggi

Api: MesirUdik/Bahuga

Ya --

Jabung/ Jabung Ya Netral; tetapi initermasuk ragamrendah jikaberbicara dalamragam Jabung

Nyo:Nibung/GunungPelindung

Ya, untuk wilayah si pencerita --

Nyo: BlambanganPagar/ AbungSelatan

Ya Mungkintermasuk tinggi

Nyo: Nyampir/Bumi Agung

Ya --

Nyo: UjungGunung/Menggala

Ya Menengah kerendah (karenacerita ini tentanganak-anak)

Hal itu menunjukkan bahwa baik pemakai ragam bahasa Lampung Api maupun Lampung Nyomenganggap baik terhadap ragam bahasa Lampung Api yang didengarnya. Dalam hal ini tidakterjadi pembuatan stereotif terhadap ragam bahasa sendiri maupun ragam bahasa lain.

Tabel 3: Sikap terhadap Teks Ragam Bahasa Lampung Nyo

TempatPengumpulanData

Apakah penceritaberbicara dalam bahasaLampung dengan baik?Jika tidak, kenapa tidak?

Apakah bahasa dalamcerita ini termasukragam tinggi, menengah,atau rendah?

Api: Sukaraja/Talang Padang

Ya --

Api: KandangBesi/ KotaAgung

Ya --

Api: Negeri Ya Rendah

Page 54: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Katubi

52

Kapayungan/PubianApi: Banjarketapang/Sungkai Selatan

Ya; ragam tinggi santun Tinggi

Api: Kota Besi/Batu Brak

Tidak; terlalu rendahdalam ragam di sini

Rendah

Api: BanjarAgung/ PesisirTengah

Tidak dapat menilai Rendah

Api: BuayNyerupa/ Sukau

Tidak dapat menilai Tidak dapat menilai

Api: MesirUdik/Bahuga

Ya Menengah

Jabung/ Jabung Ya; untuk daerah penceritasendiri, tetapi tidak patut disini

Mungkin “bagus” tetapitidak yakin

Nyo:Nibung/GunungPelindung

Ya, untuk daerah asalpencerita itu

Menengah (“normal’)

Nyo:BlambanganPagar/ AbungSelatan

Ya Menengah, tetapimenggunakan pronominasantun

Nyo: Nyampir/Bumi Agung

Ya --

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok responden, baik dari pemakairagam bahasa Lampung Api maupun ragam bahasa Lampung Nyo, menganggap ragam bahasaLampung Nyo yang didengarnya sebagai ragam bahasa yang baik.

PENUTUP

Kajian sikap bahasa ini terarah pada dua hal. Pertama, sikap bahasa orang Lampung terhadapterhadap bahasa Lampung dan ragam bahasa Lampung itu sendiri, misalnya mencakupi sikapnegatif atau positif. Kedua, sikap yang dimanifestasikan dalam ragam bahasa, misalnyapenggunaan bahasa lisan, penggunaan bahasa tulis (keberaksaraan, kesastraan), penggunaanbahasa pada ranah publik dan pribadi dan lebih spesifik ranah penggunaan bahasa; penggunaanbahasa di dunia pendidikan: bahasa pengajaran, pendidikan bilingual, dan pembelajaran bahasaasing.

Karena penelitian ini menggunakan model Rapid Appraisal Research, hasil analisis datapenelitian ini, seperti telah dikemukakan di atas, diformulasikan dalam bentuk hipotesis yangbisa dibuktikan dalam penelitian yang lebih mendalam. Ada tiga hipotesis yang bisadirumuskan. Pertama, orang Lampung memiliki sikap positif terhadap bahasa Lampung. Kedua,berkaitan dengan fungsi integratif, orang lampung memiliki sikap positif terhadap bahasaLampung. Ketiga, berkaitan dengan fungsi instrumental, orang Lampung memiliki sikap negatifterhadap bahasa Lampung dan memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia.

Salah satu hal penting dari hasil penelitian ini, terutama dalam kaitannya denganpengembangan bahasa, adalah orang Lampung pada umumnya belum menyadari tujuanpengembangan bahasa etnik mereka, selain sekadar menjaga warisan budaya. Misalnya,meskipun bahasa daerah diajarkan di sekolah sebagai mata pelajaran—sebagian besar dalam

Page 55: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

53

hubungannya dengan baca-tulis aksara Lampung—tampak tidak adanya kesadaran umumtentang bagaimana belajar membaca dan menulis dengan baik dalam bahasa daerah dapatmemberi keuntungan kepada anak ketika mereka mulai belajar membaca dalam bahasaIndonesia, yang merupakan bahasa kedua yang baru dipelajari secara serius ketika merekamasuk sekolah.

Hasil analisis sikap bahasa dengan menggunakan RA-RTT (Rapid Appraisal-RecordedText Test) menunjukkan tidak adanya ragam tunggal yang dianggap sebagai ragam terbaik atauragam yang dapat dijadikan acuan untuk keseluruhan bahasa Lampung. Hal ini merupakanpetunjuk tentang kemungkinan adanya kesulitan untuk melakukan pembakuan bahasa Lampung.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

i Makalah hasil penelitian lapangan itu antara lain dapat disebutkan sebagai berikut.

Katubi. 2006. “Lampungic Languages: looking for new evidence of possibility of language shift inLampung and the question of its reverse.” Paper presented at the Tenth International Conference onAustronesian Linguistics. Puerto Princesa, the Philippines, 17—10 January.

Hanawalt, Charli, Katubi, Karl Anderbeck. 2005. “Cheaper by the Dozen? Reassessing LinguisticDiversity in the Lampungic Language Cluster” pare presented at the International Conference onAssociation for Linguistic Typology 6th Biennial Meeting, 21-25 Juli 2005, di Padang, Indonesia.

Anderbeck, Karl. 2005. ”Aji: One language from twelve: a brief description of an interesting Malaydialect in South Sumatera.” Paper presented at the Ninth International symposium on Malay/IndonesianLinguistics. Maninjau, west Sumatera, Indonesia 27—29 July.

Anderbeck, Karl. 2006. “An Initial Reconstruction of Proto-Lampungic: phonology and basicvocabulary.” Paper presented at the Tenth International Conference on Austronesian Linguistics. PuertoPrincesa, the Philippines, 17—10 January.

PUSTAKA ACUAN

Abdurarahman, Sofjan dan Collin Yalop. 1979. “A Brief Outline of Komering Phonology andMorphology.” Dalam Amran Halim (ed.). Miscellaneous Studies in Indonesian andLanguages in Indonesia Part VI. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri Nusa. Hlm. 11--18.

Baker, Colin. 1992. Attitudes and Language. Adelaide: Multilingual Matters Ltd.

Bergman, Ted G. 1991. “rapid Appraisal of Languages.” Notes on Literature in Use andLanguage Programs 28. Dallas: SIL International. Hlm. 3--11.

Da Silva, Norval. 2001. “Language Attitude Change among the Tembe People of Brazil.”Dalam Notes on Sociolinguistics 6.2 hlm. 59--64.

Fasold, Ralph W. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Blackwell Publishers.

Gani, Zainal Abidin et al. 1986. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kayu Agung. Jakarta: PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Gunarwan, Asim. 1994. “The Encroachment of Indonesian upon the Home Domain of theLampung Language Use: A Study of the Possibility of a Minor-Language Shift.” Paperpresented at the Seventh International Conference on Austronesian Linguistics. Leiden,22—27 August.

Page 56: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Katubi

54

Gunarwan, Asim. 1999. “Pembalikan Pergeseran Bahasa Lampung: Mungkinkah?” Makalahdisampaikan pada Seminar Bahasa dan Tulisan Lampung. Bandar Lampung, Indonesia,23 Oktober.

Gunarwan, Asim. 2001. “Beberapa Kasus Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa: Implikasinyapada Pembinaan Bahasa Lampung.” Makalah disampaikan pada Seminar NasionalPembinaan Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah. Bandar Lampung, 29--30 Oktober.

Hadikusuma, Hilman. 1988. Bahasa Lampung. Jakarta: Fajar Agung.

Hadikusuma, Hilman. 1994. Lampung/Indonesia Dictionary. Bandar Lampung.

Shiffman, Harold F. 1997. “The Study of Language Attitude.” Language Policy Course LectureNotes. Philadelphia: University of Pennsylvania. Online URL:http://ccat.sas.upenn.edu/~haroldfs/540/attitudes/attitude.html.

Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana danMahasiswa di Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Mitani, Yasuyuki. 1980. “Languages of Sumatra.” Dalam Tsubouchi et al. (eds). SouthSumatra: Man and Agriculture. Kyoto: Center for Southeast Asian Studies, KyotoUniversity.

Udin, Nazarudin et al. 1990. Sistem Morfologi Verba Bahasa Lampung Dialek Abung. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Walker, Roland W. 1991. “Measuring Language Attitudes and Language Use.” Dalam Notes onSociolinguitics 28: 12--18.

Walker, Dale F. 1975. “A lexical Study of Lampung Dialects.” Dalam J.W.M. Verhaar (ed.).Miscellaneous Studies in Indonesian and Languages in Indonesia. Jakarta: LembagaBahasa, Universitas katolik Atma Jaya. Hlm. 11--20.

Wetherill, G. Barrie. 1997. Research Design and Analysis. LinguaLinks Version 5. [CD-ROM].Dallas: Summer Institute of Linguistics, Inc.

Katubi

[email protected] Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI

Page 57: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 55-67

LEKSIKON AKTIVITAS MATA DALAM TOPONIM DI JAWABARAT: KAJIAN ETNOSEMANTIK

Nani Darheni*Balai Bahasa Bandung

Abstract

The language is a product of the development of a culture that has the strength anduniqueness realized in the lexicon. The development of Sundanese repertoire wasdetermined by time and the social situation in West Java. It is evident in the naming ofplaces and streets that are associated with sociohistorical factors and geographicactivities. This study aims to describe (a) the toponym in West particularly the lexicon ofsensation verbs of sight; (b) the meaning of the toponym forming; (c) the relation ofmeaning based on its meaning components, and (d) the relationship between the lexicon ofsensation verbs of sight in West Java Toponyms and the socio-cultural factors in West Javacommunity. In addition, the purpose of this study was to explore a number of lexemeexpressing the sensation verbs of sight ‘lihat’ in Sundanese. The number of lexemecontributes to the vocabulary of the branch of the Austronesian language family.Sundanese has 34 sensation verbs of sight tenjo/nenjo, tempo/nempo, sawang/nyawang,pelong/melong, neuleu, ningal, ngintip, noong; whereas, Indonesian has lihat with thecomponents of intip, intai, and pandang. The data were collected from respondents,Sundanese dictionary, some tabloids, magazines, internet, and the monograph of Bandungcity.

Key words: The Lexicon of Activity in the Eyes, the Sundanese Language, Toponym inWest of Javanesse, Ethnosemantics Study

PENDAHULUAN

Jika berbicara tentang aktivitas mata dalam bahasa Sunda, tidak terlepas dari pembicaraantentang kegiatan manusia sehari-hari terutama yang melibatkan mata. Chaer (1994)mengemukakan bahwa banyaknya unsur leksikal dalam suatu medan makna antara bahasa yangsatu dan bahasa yang lain tidak sama jumlahnya karena hal tersebut berkaitan erat dengansistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Melalui bahasa, manusia tidak hanyamengekspresikan pikirannya, tetapi juga dapat mengonseptualisasikan dan menafsirkan duniayang melingkupinya. Kajian bahasa, khususnya etnolinguistik, berkompeten terhadap kajiankeberadaan manusia sebagai pemilik bahasa (Mahsun, 2005:81). Untuk menguak perilakukultural suatu masyarakat, dapat dilakukan berbagai cara, di antaranya melalui kajian terhadapterminologi tertentu yang terdapat dalam bahasa yang digunakan masyarakat tersebut. Hal itudisebabkan bahasa merupakan hasil kebudayaan yang dapat menggambarkan hasil kebudayaanmasyarakat tuturnya. Kekayaan dan kekhasan kebudayaan akan tercermin di dalam leksikonnyasehingga leksikon suatu bahasa dapat mencerminkan masyarakatnya. Kajian suatu bahasa danmaknanya akan memungkinkan diketahuinya cara pandang terhadap kenyataan yang ada dikalangan pendukung atau pemakai suatu bahasa.

Penggunaan evidensi (bukti) kebahasaan untuk menguak perilaku penuturnya sangatlahdimungkinkan karena struktur bahasa, seperti dinyatakan Sapir-Whorf dan dirumuskan kembalioleh Clark dan Clark (bandingkan dengan Whorf 1966 dan Clark dan Clark 1977), mempunyaipengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Dengan kata lain, cara manusia memandang maknakehidupan terekam dalam struktur bahasanya, di samping terekam dalam mitos, syair-syairkepahlawanan, atau sistem hukum tradisional (Soedjatmoko, 1994).

Berkaitan dengan budaya masyarakat Sunda di Jawa Barat, kajian ini sangat beralasanuntuk dilakukan mengingat bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang di dalamnya

Page 58: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Nani Darheni

56

terwadahi unsur-unsur kebudayaan lainnya. Melalui bahasa sebagian besar pengetahuandiperoleh, disimpan, dirumuskan kembali, dan digunakan (Nababan, 1992). Bahasa jugamerupakan produk perkembangan sebuah budaya yang memiliki kekuatan dan keunikan yangdiwujudkan di dalam leksikon. Dalam bahasa Sunda dikenal berbagai leksikon, contohnyaleksikon aktivitas yang berhubungan dengan indera mata yang terdapat dalam khazanahkosakata bahasa Sunda. Perkembangan zaman dan situasi sosial masyarakat di Jawa Baratberdampak pada perkembangan leksikon bahasa Sunda.

Menurut Husen (1980), bahasa Sunda mengalami perubahan setelah Perang Dunia IIdan setelah Perang Kemerdekaan Indonesia. Dalam hal kosakata, bahasa Sunda mendapatpengaruh dari bahasa Indonesia dan bahasa asing; pengaruh itu terutama terlihat dalam istilahilmu dan teknologi yang digunakan dalam berbagai pemakaian bahasa Sunda, baik dalambahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Penelitian mengenai bahasa Sunda telah dilakukanoleh beberapa ahli bahasa, misalnya, morfologi bahasa Sunda dilakukan oleh Prawirasumantri(1979) dan Sutawijaya (1980), sintaksis bahasa Sunda oleh Hardjasudjana (1977), dan kosakatabahasa Sunda oleh Husen (1980), sedangkan kajian semantis bahasa Sunda--khususnya kajianmedan makna--sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan. Sebagai gambaran verbaaktivitas yang dilakukan organ mata/indera penglihatan manusia dalam bahasa Sunda dapatdiwujudkan dalam beberapa leksikon, misalnya, tenjo (nenjo), sawang (nyawang), pelong(melong), tempo (nempo), dan jeleu (neuleu).

Penelitian ini bertujuan untuk (a) mendeskripsikan toponim bahasa Sunda di Jawa Baratyang mengandung verba aktivitas mata beserta kata yang mengikutinya; (b) makna pembentuktoponim tersebut; (c) relasi makna berdasarkan komponen maknanya; dan (d) hubungantoponim yang mengandung verba aktivitas mata dengan faktor sosial budaya masyarakat diJawa Barat. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikansejumlah leksem pengungkap makna ‘aktivitas pancaindera mata’ bahasa Sunda. Dengandiketahuinya sejumlah leksem itu, kekayaan kosakata bahasa Sunda dapat diungkapkansehingga bermanfaat untuk menambah wawasan kekayaan kosakata bahasa-bahasa serumpun,bahasa Austronesia.

Sehubungan dengan itu, kajian ini menggunakan evidensi dalam bahasa Sunda untukmenyoroti perilaku komunal masyarakat pemakainya, khususnya yang berhubungan dengankonsep hakikat pandangan masyarakat tersebut terhadap keberadaannya dalam menyatakankonsep tentang aktivitas mata (indera penglihatan).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penganalisisan data adalah metode deskriptif kualitatif. Metodedeskriptif, yaitu metode berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hiduppada pengguna-penggunanya. Metode deskriptif ini dipakai untuk memaparkan hasil temuanyang diperoleh dalam penelitian berupa penggambaran nama tempat secara sistematis danfaktual berdasarkan data yang dikumpulkan. Langkah kerja yang dilakukan dalam pengumpulandata ialah (1) pendataan toponim yang mengandung morfem aktivitas indera mata dari berbagaisumber, (2) pencarian makna dari kamus dan sumber lain, (3) pengumpulan informasimengenai makna aktivitas mata dalam bahasa Sunda yang terdapat dalam toponim tersebut daritokoh masyarakat, terutama untuk nama yang terasa asing.

Pendeskripsian dan penganalisisan dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu teknikpenandaan komponen makna dan/atau penggambaran dalam sebuah tabel dari leksem-leksemyang memiliki komponen makna bersama. Dengan tabel itu dapat ditemukan komponen maknaspesifik. Kemudian, langkah yang terakhir ialah penyajian dalam glos (keterbacaan makna).Penyusunan glos ini sebagai tahap penyusunan makna untuk menjadi lema/entri kamus.

Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari sumber tulisan berupa kamusberbahasa Sunda, yaitu (a) Kamus Bahasa Sunda-Bahasa Indonesia (Sumantri dkk., 1994); (b)

Page 59: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

57

Kamus Dwibahasa Indonesia-Sunda (Umsari, 2001); (c) Kamus Bahasa Sunda Buhun (ElisSuryani S.N. dan A. Marzuki, 2005); (c) Kamus Bahasa Sunda Kuno Indonesia (Suryani, Elis,N.S. dan Undang Ahmad Darsa, 2003); (d) Kamus Umum Basa Sunda (diperoleh dari bukuKantor Pos dan Giro), dan (e) sumber data lisan (diperoleh dari surat kabar, tabloid, majalah,internet, dan juga monografi Kota Bandung yang memuat informasi yang diperlukan). Datadiambil dengan teknik pencatatan dan pengartuan.

TEORI LANDASAN

ToponimPenamaan tempat di Jawa Barat tidak pernah terlepas dari berbagai aspek atau berbagaifenomena geografi yang hadir di balik nama tempat tersebut, karena pemberian nama tempat itutentunya berdasarkan pengalaman dan pertimbangan dari manusia itu sendiri. Ada duapengalam yang dipertimbangkan untuk nama tempat itu. Pertama, pertimbangan yang dihasilkanoleh proses-proses alam dan nama dari hasil rekayasa manusia. Kedua, pemberian nama tempatmungkin didasarkan pada gagasan, harapan, cita-cita, dan citra rasa manusia terhadap tempattersebut agar sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Di samping itu, juga ada yang didasarkansesuai dengan ciri atau sifat yang telah diberikan oleh alam itu sendiri (Given). Fenomena-fenomena yang spesifik atau domianan biasanya terpilih menjadi nama tempat di manafenomena itu hadir atau pernah hadir di tempat tersebut.

Nama merupakan kata yang menjadi label bagi setiap makhluk, benda, aktivitas, danperistiwa di dunia ini dan nama muncul dalam kehidupan manusia yang kompleks dan beragam.Ketika seorang anak manusia lahir, properti yang pertama diberikan ialah nama diri (antoponim)karena dengan nama itu mulailah terbangun suatu jaringan komunikasi. Ketika mendiami suatuwilayah, manusia cenderung memberi nama pada semua unsur geografi, seperti nama sungai,gunung, lembah, pulau, teluk, laut, atau selat yang berada di wilayahnya atau yang terlihat dariwilayahnya. Bahkan, manusia juga cenderung memberi nama pada daerah yang ditempatinya,seperti nama permukiman, nama desa, nama kampung, nama hutan, nama nagari, sampai namakota. Tujuan pemberian nama pada unsur geografis itu ialah untuk diidentifikasi, dijadikanpatokan, atau dijadikan sebagai sarana komunikasi antarsesama manusia. Oleh karena itu, nama-nama unsur geografi sangat terkait dengan sejarah permukinan manusia. Nama unsur geografiatau nama geografis disebut toponim. Subbidang ilmu yang menyelidiki nama tempat disebuttoponimi. Dalam Kridalaksana (1982:170) dijelaskan bahwa toponimi merupakan cabangonomastika yang menyelidiki nama tempat. Onomastika merupakan penyelidikan tentang asalusul bentuk dan makna, nama diri, terutama nama orang dan tempat. Cabang lain onomastikaialah antroponimi, yaitu yang menyelidiki nama orang (Kridalaksana, 1982:116).

EtnolinguistikIlmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dan budaya di Amerika dinamakan antropologilinguistik (dengan variannya linguistik antropologi) dan dipelopori oleh Franz Boas, sedangkandi Eropa dipakai istilah etnolinguistik (Duranti,1997:1--2). Di Indonesia dikenal juga istilahlinguistik budaya (Riana, 2003:8). Pada dasarnya antropologi linguistik, linguistik antropologi,etnolinguistik, atau linguistik budaya secara umum memiliki kesamaan (Duranti, 1997:9 danCrystal, 1985:20). Jika terdapat perbedaan, itu hanyalah masalah sudut pandang. Melaluipendekatan antropologi linguistik, dapat dicermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa danujaran-ujaran yang diproduksi, diam, dan gestures yang dihubungkan dengan kontekspemunculannya (Riana, 2003:8).

Malinowski dalam Halliday (1978:4) mengemukakan bahwa melalui antropolingistikkita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya,sosial, mental, dan psikologis, apa hakikat sebenarnya dari bentuk dan makna serta bagaimanahubungan keduanya. Frans Boas merupakan salah seorang yang juga berkontribusi dalam

Page 60: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Nani Darheni

58

pengembangan antropologi linguistik. Gagasannya sangat berpengaruh terhadap Sapir danWhorf sehingga melahirkan konsep relativitas bahasa. Menurut Boas, bahasa tidak dapatdipisahkan dari fakta sosial budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu kontribusi Sapir,dalam Foley (1997:49), yang sangat terkenal adalah analisis terhadap kosakata suatu bahasasangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu bahasabermukim. Alwasilah (1990:80--81) menyatakan bahwa pada pokoknya gagasan Whorf ialahpandangan kita akan dunia, cara kita mengategorikan pengalaman dan mengonseptualisasilingkungan kita secara efektif ditentukan oleh bahasa kita. Pandangan ini dipengaruhi oleh Sapiryang menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian dalam dunia nyata, tidak pula dalamdunia kegiatan sosial. Akan tetapi, sesungguhnya manusia ada dalam kekuasaan bahasa tertentuyang telah menjadi alat untuk bereksprsi bagi masyarakatnya.

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang sangaterat antara bahasa dan budaya. Pendapat yang spesifik mengenai bahasa dan budaya, khususnyanama, dinyatakan oleh Djajasudarma (1993:30) yang menyatakan bahwa studi bahasa padadasarnya merupakan peristiwa budaya. Melalui bahasa, manusia menunjuk dunianya. Duniapenuh dengan nama dan manusia tidak hanya memberikan nama pada sesuatu, tetapi jugamakna. Sibarani (2006:12) memerinci hal-hal yang diamati dalam antropolinguistik, yaitu (1)menganalisis istilah-istilah budaya dan ungkapan, (2) menganalisis proses penamaan, (3)menganalisis kesopansantunan, (4) menganalisis konsep budaya dari unsur-unsur bahasa, (5)menganalisis etnisitas dari sudut pandang bahasa, dan (6) menganalisis cara berpikir melaluistrukur bahasa.

Komponen SemantikAnalisis semantik merupakan hal penting untuk dilakukan karena dapat menyumbangkan hal-hal yang menarik, khususnya jika dilihat dalam kaitannya dengan aspek kultural masyarakatpemakainya. Pada kesempatan ini akan dibahas leksikon yang menyatakan aktivitas pancainderamata dalam bahasa Sunda. Leksikon pengungkap aktivitas pancaindera itu berkategori verbayang tercakupi dalam sebuah medan makna (semantic field). Kridalaksana (2001) mengatakanbahwa medan makna merupakan bagian dari bidang kehidupan atau realitas dalam alam semestatertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.Sebagai contoh kata tempo ‘lihat’ memiliki anggota leksem sawang ‘pandang’, ngintip ‘intip’,ngincer ‘intai’, toong ‘intai (bisa lewat lubang pintu)’ dengan makna variasi lingkuppemakaiannya; sedangkan dalam bahasa Indonesia (kemungkinan juga Melayu) aktivitas‘melihat’ dinyatakan dengan leksem lihat (yang memiliki anggota intip, intai, pandang).

Penelitian ini merupakan kajian bidang semantik (linguistik) dan etnologi sehinggadimasukkan ke dalam penelitian etnolinguistik. Sebagai landasan kerja digunakan teori yangberkaitan dengan analisis komponen leksikal seperti yang dikemukakan oleh Nida (1975) dalamComponential Analysis of Meaning. Selain itu, digunakan pula beberapa teori pelengkap dariLehrer (1974), Kridalaksana (2001), Tampubolon (1979), dan Aminuddin (1988).

Menurut Nida (1975:32), makna sebuah kata dapat diidentifikasi berdasar kontrasdengan makna kata yang lain. Larson (1984) yang diterjemahkan oleh Kancanawati (1989:83)menyebutkan bahwa makna sebuah unsur leksikal dapat ditemukan dengan mempelajari unsuritu dalam kontras dengan unsur yang lain yang mempunyai hubungan dekat, misalnya denganmengelompokkan unsur-unsur itu. Dengan itu, dapat digambarkan komponen makna bersama(shared meaning) dan komponen makna kontrastifnya. Seperti dikatakan Leech (1974:8) bahwamakna dapat ditemukan melalui pengelompokkan dan kontras. Dalam teori semantik dikenalbeberapa relasi semantik, di antaranya relasi sinonimi, antonimi, hiponimi. Kaitannya denganmakalah ini, analisis relasi makna yang dibahas ialah relasi hiponimi yang juga disebut denganrelasi inklusi.

Page 61: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

59

RELASI MAKNA BERDASARKAN KOMPONEN MAKNA

Leksikon Pengungkap Makna ‘Aktivitas Mata’ Bahasa SundaBerdasarkan analisis komponen makna leksikon-leksikon yang berkonsep ‘aktivitas inderamata’ dalam bahasa Sunda dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Aktivitas Mata yang Berkomponen makna ‘Bersasaran’Leksikon yang mengungkapkan makna aktivitas mata dengan komponen makna ‘bersasaran’dipilah menjadi dua, yaitu (a) bersasaran yang disengaja dan (b) bersasaran yang tidakdisengaja.

(a) Aktivitas Mata Berkomponen Makna ‘Bersasaran + Disengaja’Leksikon yang mengungkapkan ‘aktivitas mata’ dengan kmponen makna ‘bersasaran yangdisengaja’ berjumlah 21. Klasifikasi leksikon tersebut tampak dalam tabel berikut ini.

No. Komponen Pembeda Leksem Anggota

1. melihat secara umum tonton, tempo, tenjo, sawang2. melihat dengan cermat taliti (nitenan), telek, awas, pelong,

tempo, sipit (nyipitkeun mata), pariksa3. melihat dengan sembunyi intip, incer, meleng, impleng,

toropong, keker, toong4. melihat dan hadir longok/layad, tenjo, saksi/nyaksian

(b) Aktivitas Mata Berkomponen Makna ‘Bersasaran + Tak Disengaja’Leksem-leksem yang berada dalam medan makna pengungkap aktivitas mata yangberkomponen makna ‘bersasaran tidak disengaja’ berjumlah 6. Keenam leksem itu dapat dilihatdalam tabel berikut ini..33333akna dari anggota leksem dalam satu medan (kelompoknyajumlah

No. Komponen Pembeda Leksem Anggota

1. objek sasaran umum nyaho, timu/nimu2. objek sasaran khusus nimukeun, kanyahoan, kapergok, kapanggih

Aktivitas Mata yang Berkomponen Makna ‘Tak Bersasaran’Leksem-leksem yang berada dalam medan makna pengungkap aktivitas mata yangberkomponen makna ‘tidak bersasaran’ berjumlah 6. Keenam leksem itu dapat dilihat dalamtabel klasifikasi berikut ini. medan (kelompoknya)

No. Komponen Pembeda Leksem Pembeda

1.melihat dengan bolamata takbergerak

mendelong, puncereng, pendelik, polotot

2.melihat dengan bolamata berbergerak

culak-cileuk, gurulang-gorolong

Catatan:Setiap leksem masih memiliki komponen makna spesifik sebagai pembeda makna dari anggotaleksem satu medan (kelompoknya).

Leksikon Verba/Aktivitas Mata pada Toponim di Jawa BaratLeksikon aktivitas mata yang diperoleh dari toponim Jawa Barat sangat terbatas, meliputileksikon (1) sawang, [nyawang] ’memandang ke/dari kejauhan’, (2) pelong [melong] ‘melihatlama ke orang lain agar memperoleh kejelasan karena senang atau merasa kenal’, (3) tenjo[nenjo] ‘lihat’ dan bentuk halusnya leksikon tingal yitu ningal (paningal ‘penglihatan’). Berikutini terdapat data yang memuat (a) aktivitas mata bahasa Sunda yang terdapat dalam toponim

Page 62: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Nani Darheni

60

Jawa Barat beserta kata yang mengikutinya dan (b) makna pembentuk toponim. Leksikon inidigunakan untuk penamaan tempat-tempat di Jawa Barat yang penggunaannya dilakukan secarabervariasi dengan leksikon [verba + (adjektiva, adverbia, atau nomina)] sebagaimana terdapatpada data di bawah ini.

VerbaTelek = telek ‘melihat dengan teliti’

Kata telek bermakna ‘teliti’ atau ‘melihat secara saksama’Telek menjadi nama jalan di kelurahan Cijagra, Kecamatan Lengkong, Wilayah KareesKota Bandung.

Verba + AdjektivaMelong Asih = melong ‘melihat’ + asih ‘sayang’

Melong Asih bermakna ‘melihat orang lain secara lama agar lebih jelas karena merasamengenal orang yang dilihatnya’ atau bisa pula bermakna ‘memandang karena sayangsehingga si pemandang terkesima’.Melong asih merupakan nama kelurahan yang terdapat di Kecamatan Cimahi Selatan,Wilayah Cimahi. Selain nama kelurahan, melong asih juga merupakan nama jalan yangterdapat di Kelurahan Cijerah, Kecamatan Bandung Kulon, Wilayah Bandung.

Melong Dalam = melong ‘melihat’ + dalam ‘dalam’Melong Dalambermakna ‘melihat orang lain dengan dalam-dalam’ atau ‘melihat orangdalam’; atau ‘memandang orang lain secara mendalam’.Melong dalam merupakan nama gang yang terletak di Desa Sukapura, KecamatanDayeuhkolot, Kabupaten Bandung.

Tenjoayu = tenjo ‘melihat’ + ayu ‘cantik’Tenjoayu bermakna ‘melihat dengan mengarahkan pandangan dari dalam ke luar daritempat yang dibatasi’ atau ’melihat sesuatu secara cantik atau secara indah’.Tenjoayu merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cicurug, KabupatenSukabumi.

Verba + AdverbiaMelong Kaler = melong ‘melihat’ + kaler ‘utara’

Melong Kaler bermakna ‘melihat ke utara secara mendalam’ atau ‘melihat secaramendalam arah utara’.Melong Kaler merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, KecamatanLengkong, Wilayah Bandung.

Melong Kidul = melong ‘melihat’ + kidul ‘selatan’Melong Kidul bermakna ‘melihat ke selatan secara mendalam’ atau ‘melihat secaramendalam arah selatan’.Melong Kidul merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, KecamatanLengkong, Wilayah Bandung.

Melong Tengah = melong ‘melihat + tengah ‘tengah’Melong Tengah bermakna ‘melihat ke tengah secara mendalam’ atau ‘melihat bagiantengah dalam-dalam’.Melong tengah merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, KecamatanLengkong, Wilayah Bandung.

Verba + NominaTenjonagara = tenjo ‘melihat’ + nagara ‘negara’

Tenjonagara bermakna ‘melihat-lihat keadaan negara’ atau ‘melihat-lihat keadaannegeri (kota)’.

Page 63: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

61

Tenjonagara merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cigalontang,Kabupaten Tasikmalaya.Tenjonagara bermakna ‘negeri atau tanah yang jelas batas-batasannya, didiami olehrakyat yang sebangsa, dan yang diurus dan diatur oleh pemerintah yang sah’.

Tenjowaringin = tenjo ‘melihat’ + waringin ‘beringin’Tenjowaringin bermakna ‘melihat-lihat tanaman beringin’ atau ‘mengamat-amati pohonberingin’Tenjowaringin merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Salawu,Kabupaten Tasikmalaya.

Tenjolaut = tenjo ‘melihat’ + laut ‘laut’Tenjolaut ‘melihat-lihat laut’ atau ‘melihat-lihat keadaan laut’.Tenjolaut merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cikalong, KabupatenBandung..

Nomina + VerbaKarangpaningal = karang ’tanah, halaman’ + tingal ‘lihat, penglihatan’

Karangpaningal ‘karang tempat melihat’, ‘tempat untuk melihat’, atau ‘tanah atauhalaman untuk melihat musuh’.Karangpanigal merupakan nama desa yang terletak Kecamatan Panawangan, KabupatenCiamis. Karangpaningal bermakna ‘tempat, tanah, atau halaman untuk melihat’terutama untuk melihat musuh yang dating.

Gelap Nyawang = gelap ’halilintar’ + sawang ‘melihat’Gelap Nyawang berarti ‘melihat halilintar’Gelap Nyawang merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Lebak Gede,Kecamatan Coblong, Wilayah Bojonegara, Kota Bandung. Gelap nyawang bermakna‘memandang halilintar’

Hubungan Toponim yang Mengandung Verba Aktivitas Mata dengan Faktor SosialBudaya Masyarakat di Jawa BaratBerbagai keunikan makna aktivitas mata dalam bahasa Sunda, terutama dalam toponim di JawaBarat, memunculkan berbagai terminologi yang menunjukkan aktivitas tangan. Ada beberapalandasan dari leksikon mata bahasa Sunda yang dapat dijadikan sebagai landasan berpijak yaituorang Sunda selalu mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan dalam berperilaku hidup danbermasyarakat. Aktivitas mata bagi orang Sunda mencerminkan pola pikir atau pandangan etnisSunda yang penuh rasa kasih sayang (asih) di samping rasa peduli (tenggang rasa) antarwargamasyarakat di Jawa Barat. Hal itu dibuktikan dengan toponimi kata Melong Asih ’melihatdengan kasih sayang’ atau ‘melihat tempat berkasih sayang’, Tenjoayu ‘melihat yang cantik’atau ‘tempat melihat orang cantik’, dan Tenjojaya ‘melihat kejayaan/kemenangan’ atau ‘tempatmelihat kejayaan’

TemuanMetabahasa komponen makna merupakan kode verbal yang digunakan untuk mengungkapkankonsep komponen makna sebagai pembeda antarleksem. Untuk analisis komponen terhadapleksem pengungkap aktivitas indera mata ini digunakan metabahasa yang terungkap dalampemberiaan makna terhadap suatu leksem, yaitu sebagai berikut.

BOLA MATA : posisi di tengah/di samping, keadaan bergerak/takbergerak

KELOPAK MATA : melebar, terbuka normal, menyipitARAH PANDANGAN/TATAPAN : ke depan, ke atas, ke samping, tetap, berubah-ubahMOTIVASI/PENYEBAB : rasa marah, heran, tertarik, ingin tahu, tidak setuju,

bingung, terkejut, tidak suka, khawatir, pasrah, curiga

Page 64: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Nani Darheni

62

TUJUAN : memilih, menilai, memuaskan, menakut-nakuti,mengetahui arah/sesuatu, menentang, mengetahui apayang dilakukan, melihat keadaan orang/suasana,membuktikan kebenaran, supaya tepat sasaran,mengawasi sasaran, menangkap sasaran, mengontrol,memeriksa, memeriksa kelengkapan, melacak, membukajalan, menjadi saksi, menjelaskan, mempermaikan.

ANALISIS

Leksikon aktivitas mata dalam bahsa Sunda dapat dibedakan menjadi tujuh bentuk, yaitumelihat, memandang, meneliti, mengintai, melotot, melirik, dan menatap.

(a) [MELIHAT] : nenjo ’melihat sesuatu dengan mata mengarah ke suatubenda/barang’. Bola mata (- gerak), kelopak mata (- gerak),arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan inginmengetahui sesuatu.nempo ’melihat sesuatu dengan cara menunjukkan ataumengarahkan penglihatan dari tempat yang dibatasi. Bolamata (+ gerak), kelopak mata (- gerak), arah pandangan kedepan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahuisesuatu.melong ’melihat lama ke orang lain karena senang ataumerasa kenal. Bola mata (- gerak), kelopak mata (+ gerak),arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan inginmengetahui sesuatu.

meleng ’melihat dengan penuh perhatian denganmenggunakan mata batin’. Bola mata (- gerak), kelopak mata(- gerak), arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dantujuan ingin mengetahui sesuatu.

(b) [MEMANDANG] : nyawang ’melihat ke kejauhan (pemandangan) dan sambilmemusatkan penglihatan ke salah satu tempat atau barang.Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka normal, arahpandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan inginmenilai sesuatu.

(c) [MENELITI] : naliti ’memeriksa dengan penuh ketelitian’. Bola mata (+gerak), kelopak mata terbuka normal, arah pandanganberubah-ubah, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahuisesuatu.nitenan ’mengawasi atau meneliti sampai ke hal-hal yang intipermasalahan’. Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbukanormal, arah pandangan berubah-ubah, motivasi tertarik, dantujuan ingin mengetahui sesuatu.nelik ’mengawasi atau meneliti sampai ke inti permasalahan’

Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbuka normal, arahpandangan berubah-ubah, motivasi tertarik, dan tujuan inginmengetahui sesuatu.

Page 65: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

63

(d) [MENGINTAI] : noong ’melihat secara sembunyi-sembunyi’ Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbuka normal atau

menyipit, arah pandangan berubah-ubah, motivasi ingin tahuatau curiga, dan tujuan ingin mengetahui atau melihatsesuatu.

(e) [MELOTOT] : molotot ’melihat sesuatu dengan cara membelalakan matasekuatnya’. Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka lebar,arah pandangan tajam ke depan, motivasi marah atau takut,dan tujuan ingin menakut-nakuti.mendelik’melihat seseorang dengan melotot’Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka lebar, arahpandangan tajam ke depan, motivasi marah atau takut, dantujuan ingin menakut-nakuti.mendeleng ’melihat seseorang dengan melotot’. Bola mata (-gerak), kelopak mata terbuka lebar, arah pandangan tajam kedepan, motivasi marah atau takut, dan tujuan ingin menakut-nakuti.ngadelek ’molototan/memelototi’. Bola mata (- gerak),kelopak mata terbuka lebar, arah pandangan tajam ke depan,motivasi marah atau kecewa, dan tujuan ingin menakut-nakuti atau menentang.

(f) [MELIRIK] : peletet/meletet, palatat-peletet ’melihat dengan melirik-liriksambil memberi harapan’. Bola mata (+ gerak), kelopak mataterbuka biasa, arah pandangan berubah-ubah ke kiri dan kekanan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin melihat keadaan.

(g) [MENATAP] : perong/merong/mencorong ’melihat dengan lama seperti adaniat yang kurang baik’. Bola mata (- gerak), kelopak mataterbuka normal, arah tetap, motivasi ingin tahu, dan tujuaningin sesuatu.

PENUTUP

Berdasarkan pengamatan melalui analisis komponen dan relasi hiponimik, dapat ditemukan 32leksem berkonsep ‘aktivitas mata’ dengan komponen bersama MELIHAT. Leksem-leksemtersebut masih dapat dikelompokkan dan dirinci lagi berdasarkan komponen makna bersamadan komponen makna spesifiknya. Sayangnya, komponen makna tersebut tidak selalu dikenaliatau tidak selalu dapat dibedakan oleh generasi sekarang sehingga penamaan atau penggunaansuatu leksikon yang berkenaan dengan aktivitas mata mulai berkurang.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

Page 66: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Nani Darheni

64

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Corbeil, Jean-Claude, et.al. 2004. Kamus Visual Indonesia-Inggris. Canada: QA International.

Cruse, D. Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics.Oxford: New York.

Crystal, David.1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetics (ed.). Oxford Basil, Blackwell,London: Andre Deutch.

Dinas Informasi dan Komunikasi, Pemerintah Kota Bandung. 2000. Selayang Pandang KotaBandung. Bandung.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: BlackwellPublished.

Halliday, M.A.K. 1978. Language and Social Semiotics: The Social Interpretation of Languageand Meaning. London:Edward Arnold.

Hardjasaputra, A. Sobana (ed.) 2002. Sejarah Kota Bandung 1810--1945. Bandung: PemerintahKota Bandung.

Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Kulsum, Umi, dkk. 2008. Nama Tempat di Kota Bandung yang Berhubungan dengan Air:Tinjauan Antropolinguistik. Bandung: Balai Bahasa Bandung.

Kunto, Haryono. 1985. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: PT. Granesia.

Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1976. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate.

Neufeldt, Victoria, et.al. 1993. Webter’s New World Dictionary. Jakarta: Modern Press.

Palmer, F.R. 1989. Semantik. Diterjemahkan oleh Abdullah Hasan. Kuala Lumpur: Malaysia.

Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Bahasa Sunda. Bandung:Tarate.

Pateda, Mansyur. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Riana, I Ketut. 2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”, dalam PidatoPengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Denpasar:Universitas Udayana.

Rosidi, Ajip dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta: PustakaJaya.

Sibarani, Robert dan Henry Guntur Tarigan (Penyunting). 1993. Makna Nama dalam BahasaNusantara: Sebuah Kajian Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi.

Sibarani, Robert. 2006. “Antropolinguistik dan Semiotika”, dalam Teuku Kemal Fasya dkk(ed.). Kata dan Luka kebudayaan. Medan: Usupress.

Sugono, Dendy, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumantri, Maman. 1985. Kamus Sunda-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa.

Surjadi, A. 2006. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni.

Page 67: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

65

Suryani, Elis N.S. dan A. Marzuki. 2005. Kamus Bahasa Sunda Buhun. Jatinangor: Alqaprint.

Suryani, Elis N.S. dan Undang Ahmad Darsa. 2003. Kamus Bahasa Sunda Kuno Indonesia.Jatinangor: Alqaprint.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus BesarBahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Umsari, Oyon Sofyan. 2001. Kamus Dwibahasa Indonesia-Sunda. Bandung: Geger Sunter.

LAMPIRAN DATA LEKSIKON AKTIVITAS MATA

CitenjoCitenjo merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan.Citenjo terbentuk dari ci- (BS) yang bermakna air serta tenjo (BS) yang bermakna lihat.

Gelap NyawangGelap nyawang merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Lebak Gede, KecamatanCoblong, Wilayah Bojonegara, Kota Bandung. Gelap nyawang terbentuk dari kata gelap (BS)yang bermakna halilintar dan nyawang (BS) yang bermakna memandang.

KarangpaningalKarangpanigal merupakan nama desa yang terletak Kecamatan Panawangan, KabupatenCiamis. Karangpaningal terbentuk dari dua kata, yakni karang (BS) bermakna halaman danbentukan paningal (BS) bermakna penglihatan. Kata paningal berasal dari prefiks pa- + tingal‘lihat’. Karangpaningal berarti ‘tempat melihat’

MelongMelong merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong,Wilayah Bandung. Melong juga terletak di Kelurahan Melong, Kecamatan Cimahi Selatan,Wilayah Cimahi. Selain itu, melong juga terletak di Desa Melong, Kecamatan Cimahi Selatan,Kabupaten Bandung. Kata melong dalam bahasa Sunda bermakna ‘melihat’.

Melong AsihMelong asih merupakan nama kelurahan yang terdapat di Kecamatan Cimahi Selatan, WilayahCimahi. Selain nama kelurahan, melong asih juga merupakan nama jalan yang terdapat diKelurahan Cijerah, Kecamatan Bandung Kulon, Wilayah Bandung. Melong asih terbentuk darikata melong (BS) yang bermakna ‘melihat’ dan asih (BS) yang bermakna ‘sayang’.

Melong CijerahMelong Cijerah merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Cijerah, Kecamatan BandungKulon, Wilayah Bandung. Melong Cijerah berasal dari kata melong (BS) dan kata cijerah (BS).Kata melong bermakna ‘melihat’ dan kata cijerah yang terbentuk dari ci- bermakna ‘air’‘ danjerah bermakna ‘curam’.

Melong DalamMelong dalam merupakan nama gang yang terletak di Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot,Kabupaten Bandung. Melong dalam berasal dari kata melong dan dalam. Kata melong (BS)bermakna melihat dan kata dalam (BI) menunjukkan ‘mendalam’.

Melong GreenMelong green merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, KecamatanLengkong, Wilayah Bandung. Melong green terbentuk dari kata melong (BS) yang bermaknamelihat dan green (B. Inggris) yang bermakna hijau.

Page 68: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Nani Darheni

66

Melong KalerMelong kaler merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, KecamatanLengkong, Wilayah Bandung. Melong kaler terbentuk dari kata melong (BS) yang bermaknamelihat dan kaler (BS) yang bermakna arah utara.

Melong KidulMelong kidul merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, KecamatanLengkong, Wilayah Bandung. Melong kadul terbentuk dari kata melong (BS) yang bermaknamelihat dan kidul (BS) yang bermakna arah selatan.

Melong TengahMelong tengah merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, KecamatanLengkong, Wilayah Bandung. Melong kaler terbentuk dari kata melong (BS) yang bermaknamelihat dan tengah (BS) yang bermakna arah tengah.

TelekTelek merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Cijagra, Kecamatan Lengkong, WilayahKarees Kota Bandung. Kata telek (BS) bermakna ‘teliti’.

TenjoTenjo merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Teno, Kabupaten Bogor. Tenjo berasaldari bahasa Sunda yang bermakna ‘melihat’.

TenjoayuTenjoayu merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi.Tenjoayu terbentuk dari kata tenjo (BS) yang bermakna lihat/melihat dan ayu (BJ) yangbermakna cantik.

TenjojayaTenjojaya merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang danKecamatan Cibadak (Kabupaten Sukabumi.Tenojaya terbentuk dari dua kata, yaitu tenjo (BS)yang bermakna lihat/melihat dan jaya (BS) yang bermakna ‘unggul’.

TenjolayaTenjolaya merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Pasirjambu dan Cicalengka,Kabupaten Bandung dan Kecamatan Cicurug (Kabupaten Sukabumi). Tenjolaya terbentuk darikata tenjo (BS) yang bemakna melihat dan kata laya (BS) yang bermakna ‘mati’.

TenjolayarTenjolayar merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Majalengka, KabupatenMajalengka dan Kecamatan Mandirancan (Kabupaten Kuningan). Tenjolayar terbentuk darikata tenjo dan layar. Kata tenjo (BS) bermakna melihat dan layar (BS) yang bermakna ‘kainputih yang lebar dan berada di atas perahu’.

TenjolautTenjolaut merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Bandung.Tenjolaut terbentuk dari kata tenjo (BS) bermakna melihat dan laut (BI).

TenjomayaTenjomaya merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.Tenjomaya berasal dari kata tenjo (BS) yang bermakna lihat dan maya (B. Kawi) yangbermakna ‘samar-samar’.

TenjonagaraTenjonagara merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cigalontang, KabupatenTasikmalaya. Tenjonagara dibentuk oleh kata tenjo (BS) yang bermakna lihat dan nagara (B.Sanskerta) yang bermakna negeri atau tanah yang jelas batas-batasannya, didiami oleh rakyatyang sebangsa, yang diurus dan diatur oleh pemerintah yang sah.

Page 69: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

67

TenjowaringinTenjowaringin merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Salawu, KabupatenTasikmalaya. Tenjowaringin terbentuk dari kata tenjo (BS) yang bermakna lihat/melihat danwaringin (BJ) yang bermakna pohon beringin.

Leksikon Aktivitas Mata dalam Bahasa Sunda

Verba aktivitas mata dalam bahasa Sunda meliputi leksikon berikut ini.(1) tenjo, nenjo bermakna ‘melihat’(2) sawang, nyawang bermakna ’mandang ke/dari kejauhan’(3) pelong, melong bermakna ‘melihat lama ke orang lain agar memperoleh kejelasan, karena senang atau merasa kenal’(4) tonton, nonton(5) titen, niten(6) pariksa, mariksa(7) awas, ngawas, ngawaskeun(8) taliti, naliti(9) telek, nelek ‘melihat dengan teliti’(10) ilik, ngilikan, ulak-ilik(11) longok, ngalongok(12) saksi, nyaksi, nyaksian(13) tempo, nempo ‘menunjukan atau mengarahkan penglihatan dari tempat yang dibatasi, dari dalam ke luar’(14) paluruh, maluruh(15) layad, ngalayad(16) keker, ngeker(17) teang, neangan(18) panggih, manggih, manggihan(19) timu, nimu(20) peleng, meleng; impleng, ngimpleng(21) toong, noong;(22) intip, ngintip(23) polotot, molotot(24) pencerong, mencerong(25) pendeleng, mendeleng(26) delek, ngadeleK(27) poreret, moreret(28) kicep, ngicep, kicap-kicep(29) dilak, ngadilak(30) kedip, ngedip, kedap-kedip(31) cilek, nyilek(32) reret(33) palatat-peletet(34) teuteup, neuteup

Nani [email protected] Bahasa Bandung

Page 70: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 69-75

VERBA TRANSITIF DAN OBJEK DAPAT LESAPDALAM BAHASA INDONESIA

Tri Mastoyo Jati Kesuma*Universitas Gadjah Mada

Abstract

Membeli ‘to buy’ and membawa ‘to carry’, for examples, are transitive verbs inIndonesian. Those are verbs which need an object (O). But, the fact, not all of transitiveverbs need an O, at least in Indonesian. There is two transtitive verb types which do notneed an O. The first type is transitive verbs with a specific O, such as melahirkan ‘to givebirth’. The second is transitive verbs which express a feeling, such as memuaskan ‘tosatisfy’, mengecewakan ‘to unsatisfy’.

Key words: intransitive verb, transitive verb, object, deletable object

PENGANTAR

Verba dapat dipilah menjadi dua jenis, yaitu verba transitif dan verba intransitif. Perbedaanantarkedua jenis verba itu terletak pada fungsi Objek (O). Verba transitif adalah verba yangdidampingi oleh fungsi O, sedangkan verba yang menghindari fungsi O disebut verba intransitif.Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua verba transitif yang mengisi fungsi Pdidampingi oleh fungsi O secara wajib. Dalam klausa Saya sedang membaca buku, misalnya,fungsi O (buku) tidak harus hadir. Fungsi O itu dapat dilesapkan tanpa merusak keberterimaanklausa sisanya: Saya sedang membaca. Persoalannya adalah verba transitif manakah yangfungsi O pendampingnya dapat lesap? Persoalan itulah yang dibahas dalam makalah ini.

Ada dua hal yang dibahas, yaitu seluk-beluk verba yang bila mengisi fungsi P menuntuthadirinya fungsi O dan fungsi O dapat lesap (deletable object) dalam bahasa Indonesia. Keduahal ini merupakan masalah sintaksis struktural, suatu kancah yang sudah berabad-abad lamanyamenjadi limpahan pengamatan di dalam dunia linguistik (Kaswanti Purwo dan Anton, 1985:1).Oleh karena itu, dalam makalah ini kedua hal itu dibahas dalam perspektif sintaksis struktural.

VERBA INTRANSITIF DAN VERBA TRANSITIF

Verba adalah kategori yang dominan berfungsi sebagai Predikat (P) dalam klausa. Di dalamklausa, fungsi P itu merupakan pusat struktur fungsional klausa (Verhaar, 1981:81). Fungsi P itumempunyai peranan atau kedudukan yang melebihi fungsi(-fungsi) sintaktis yang lain karenaselalu hadir di dalam klausa dan keselaluhadirannya itu menentukan pemunculan fungsi(-fungsi)sintaktis yang lain. Misalnya, subjek (S) berhubungan langsung dengan P, tetapi dengan objek(O) atau keterangan (K) hanya tak langsung, yaitu melalui P klausa (lih. Verhaar, 1981:81).

Verba bersifat sentral di dalam klausa, artinya semua konstituen yang lain dianalisisdalam hubungannya dengan verba (lih. Cook, 1989:153). Sentral yang dimaksudkan dalam artiverbalah yang pertama-tama menentukan adanya berbagai struktur konstruksi dalam bahasayang bersangkutan beserta perubahannya (Sudaryanto, 1983:6). Selaras dengan Chafe (1970:96-97; Kaswanti Purwo, 1989:16; Cook, 1979:39), verba itu menentukan (kategori) nomina(l) apayang mendampinginya, hubungan apa nomina itu dengannya, dan bagaimana nomina ituditetapkan secara semantis. Verba itulah yang merupakan penentu adanya pendamping tertentudi dalam klausa dan bersama dengan verba itu membentuk klausa yang bersangkutan (lih. Su-daryanto dkk., 1991:11).

Bila dilihat dari banyaknya argumen, yaitu konstituen yang bersama-sama verbamembentuk klausa (bdk. Kridalaksana, 2008:19), verba dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Page 71: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Tri Mastoyo Jati Kesuma

70

verba intransitif dan verba transitif. Verba intransitif adalah verba yang tidak memerlukan O.Dalam bahasa Indonesia, verba intransitif itu, secara morfemis, berupa verba dasar (misalnyatenggelam, naik, timbul), verba berafiks ber- (misalnya berlari, berjalan, berpakaian), verbaberafiks ber-kan (misalnya berdasarkan, beralaskan, berlarian), verba berafiks ter- (misalnyatersenyum, teringat, tertawa), dan verba berafiks ke-an (misalnya kelaparan, ketahuan,ketahuan).

Dalam membentuk klausa, meskipun tidak memerlukan O, di antara verba intransitifada yang menghadirkan fungsi pelengkap (Pl) secara wajib, ada yang tidak menghadirkan Pl,dan ada yang menghadirkan Pl secara manasuka. Berikut ini adalah contoh verba intransitifdalam bahasa Indonesia dari ketiga subkategori itu menurut Alwi dkk. (1993:101-102).

a. Verba intransitif yang ber-Pl wajib beratapkan berkata (bahwa) kejatuhan berdasarkan berkesimpulan kehilangan berlandaskan berpandangan (bahwa) merupakan bersendikan berpesan (bahwa)

b. Verba intransitif yang tak ber-Pl berdiri menghijau duduk berlari tenggelam kelaparan membaik terkejut kesiangan memburuk terkicuh kedinginan membusuk timbul kemalaman

c. Verba intransitif yang ber-Pl manasuka beratap naik ketahuan berharga berbaju kehujanan berhenti bercat kecopetan berpakaian berdinding berpintu merasa berpagar berpola

Verba transitif adalah verba yang memerlukan fungsi O (Kridalaksana, 1985:54).Berdasarkan jumlah argumen yang hadir dalam pembentukan klausa, verba transitif itudibedakan menjadi dua kelompok, yaitu verba monotransitif dan verba dwitransitif. Dalammembentuk klausa, verba monotransitif menghadirkan dua argumen. Dalam bahasa Indonesia,kedua verba jenis verba transitif itu secara morfemis berupa verba berafiks me- (misalnyamembawa, membahas, mengambil), berafiks memper- (misalnya memperbesar, memperistri,mempertajam), berafiks me-kan (misalnya mengerjakan, menyelesaikan, mengambilkan,membuatkan), berafiks memper-kan (misalnya mempermaikan, mempersoalkan), berafiks me-i(misalnya mengurangi, melindungi, mengirimi, mengajari), dan berafiks memper-i (misalnyamemperbaiki, memperbarui, mempengaruhi).

VERBA TRANSITIF BER-O DAPAT LESAP

O termasuk ke dalam valensi verba transitif (bdk. Cook, 1979:202). Oleh karena itu, Omerupakan fungsi inti (nuclear functions) dalam klausa aktif yang fungsi P-nya berupa verbatransitif. O itu dituntut hadir dalam klausa aktif yang fungsi P-nya berupa verba transitif (lih.Alwi dkk., 1993:368).

O adalah konstituen yang melengkapi verba transitif dalam klausa (lih. Kridalaksana,2008:166). O memiliki empat ciri, yaitu (a) berwujud nomina, frasa nominal, atau klausa; (b)berada langsung di belakang P, (c) dapat menjadi fungsi S akibat pemasifan klausa, dan (d)dapat diganti pronomina terikat -nya (Alwi dkk., 1993:370; Sudaryanto, 1983:80). Contoh O ituadalah konstituen bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu dan sebuah benda

Page 72: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

71

yang masih tertutup oleh kain putih dan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putihdalam klausa (1) dan (2) berikut:

(1) Aku mencium bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu.(2) Ayah mengangsurkan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putih.

O biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu O langsung (OL) dan O tak langsung(OTL) (lih. misalnya dalam Kaswanti Purwo dan Anton, 1985:1-36; Kridalaksana dkk.,1985:152-153; Aarts, 1997:15-20). OL adalah nomina atau frasa nominl yang melengkapi verbatransitif yang dikenai oleh perbuatan dalam P verbal atau yang ditimbulkan sebagai hasilperbuatan yang terdapat dalam P verbal (Kridalaksana, 2002:52). OTL itu mengacu kepadaentitas yang menderita aktivitas atau proses yang dinyatakan oleh verba pengisi fungsi P (lih.Aarts, 1997:15). Contoh OL itu adalah konstituen anak sulungnya dalam klausa berikut:

(3) Tuanlaem memanggil anak sulungnya. OL

Kridalaksana dkk. (1985:152 bdk Kridalaksana, 2002:52), membedakan OL menjadidua jenis, yaitu OL afektif dan OL efektif. OL afektif adalah OL yang dikenai oleh perbuatanyang terdapat dalam P verbal, tetapi tidak merupakan hasil perbuatan itu. Contohnya adalahkonstituen buku dan jalan dalam klausa berikut:

(4) Mereka membaca buku.OL afektif

(5) Anak-anak menyeberangi sungai.OL afektif

OL efektif adalah OL yang ditimbulkan sebagai hasil perbuatan yang terdapat dalam P verbal.Contoh OL efektif adalah konstituen rumah dan nasi dalam klausa berikut:

(6) Mereka membangun rumah. OL efektif

(7) Ibu memasak nasi. OL efektif

OTL adalah nomina adau frasa nominal yang menyertai verba transitif dan menjadipenerima atau diuntungkan oleh perbuatan yang terdapat dalam P verbal (Kridalaksana dkk.,1985:153). Contoh OTL itu adalah konstituen baju dalam klausa berikut:

(8) Ibu membuatkan saya baju. OTL

Untuk menyebut OL dan OTL, Ramlan (1987:93, 95) menggunakan istilah O1 dan O2.Ciri fungsi O1 adalah (a) selalu terletak di belakang P yang terdiri atas kata verbal transitif dan(b) menduduki fungsi S dalam klausa pasif. Sementara itu, O2 mempunyai persamaan denganO1, yaitu selalu terletak di belakang P, tetapi kalau klausanya diubah menjadi klausa pasif, O2

selalu terletak di belakang P sebagai pelengkap (Pl). Contohnya sebagai berikut:

(9) Pak Sastro membelikan anak itu baju baru. S P O1 O2

(9a) Anak itu dibelikan baju baru oleh Pak Sastro. S P Pl K

Dalam Alwi dkk. (1993:369-370), OTL atau O2, yaitu konstituen baju baru (dalam contoh (9)),baik dalam klausa aktif maupun pasif, disebut Pl karena dalam kedua jenis klausa itu selaluberada langsung di belakang fungsi P jika tidak ada fungsi O dan di belakang fungsi O kalaufungsi O itu hadir.

Page 73: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Tri Mastoyo Jati Kesuma

72

Samsuri (1985:173) menggunakan istilah O dan bekas O (object chomeur) untukmenyebut OL dan OTL. Ihwal kedua O itu, Samsuri menyajikan contoh berikut.

(10) a. Ahmad membelikan Dullah seekor kambing. b. Ibu menggorengkan ayah kerupuk udang.

Menurut Samsuri, frasa nominal Dullah dan ayah tersebut merupakan fungsi O, sedangkan frasanominal seekor kambing dan kerupuk udang merupakan bekas O. Alasan Samsuri adalah keduafrasa nominal pertama dapat ditopikalisasikan (lihat (10a)), sedangkan dua yang lain tidak dapatditipikalisasikan (lihat (10b)).

(10a) a1. Dullah dibelikan seekor kambing oleh Ahmad.a2. Dullah dibelikan (oleh) Ahmad seekor kambing.

b1. Ayah digorengkan kerupuk udang oleh ibu.b2. Ayah digorengkan (oleh) ibu kerupuk udang.

(10b) a1. *Seekor kambing dibelikan Ahmad Dullaha2. *Seekor kambing dibelikan Ahmad Dullah.b1. *Kerupuk udang digoreng (oleh) ibu ayah.b2. *Kerupuk udang digorengkan (oleh) ibu ayah.

Sudaryanto (1983:80) membedakan fungsi O dari semi O (SmO). O adalah fungsi sin-taktis yang (a) kecuali diisi oleh nomina, juga oleh klitik –nya, (b) merupakan fungsi pesertabagi fungsi P yang diisi verba polimorfemis berafiks meN-, dan (c) pengisinya dapat mengisifungsi S dalam parafrasa pasifnya (Sudaryanto, 1983:80). Fungsi O dituntut hadir dalam klausayang fungsi P-nya diisi oleh verba polimorfemik meN-, memper-, meN-kan, meN-i, memper-kan, dan memper-i. Contohnya sebagai berikut:

(11) P O(a) menggunting kertas(b) memutar balik kenyataan(c) membolak-balik buku harian(d) memperalat adik tirinya(e) memperolok-olok temannya(f) menggambarkan kejadian itu(g) mengemukakan masalahnya(h) mempertahankan negara(i) memperjualbelikan barang-barang bekas(j) menyusuri pantai(k) memperbaiki kelakuan(l) mempertakut-takuti saya

SmO adalah fungsi peserta bagi P yang hanya memiliki salah satu ciri O (entah hanyadapat berupa morfem –nya yang anaforis, entah hanya dapat mengisi fungsi S dalam kalimatlain dengan informasi yang sama), padahal verba pengisi fungsi P-nya memiliki ciri yang samapula (berafiks meN-) (Sudaryanto, 1983:80). Fungsi SmO merupakan pendamping fungsi Pyang pengisinya berupa verba polimorfemis yang selalu menyertakan afiks –i atau –kan denganakar atau dasar yang tidak direduplikasikan. Contohnya sebagai berikut:

(12) P SmO(a) menyerupai ayah(b) melebihi Ali(c) memuaskan hati saya

Page 74: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

73

OL dan OTL hadir dalam klausa yang mengandung verba yang bervalensi tiga (Kas-wanti Purwo, 19845:11). Klausa itu sering pula dilabeli klausa berobjek ganda (Suhandano,1997:71-76; Kaswanti Purwo, 1985:11). Di dalam teori sintaksis Verhaar (1981:71), tidak adapengertian “objek ganda”; hanya ada satu O saja: konstituen manakah di dalam klausa aktifyang dapat dijadikan S di dalam klausa pasif itulah yang menduduki fungsi O (lih. KaswantiPurwo dan Anton, 1985:26-27). Selaras dengan pandangan Verhaar itu, dalam tulisan ini punhanya diakui adanya satu jenis fungsi O. Fungsi lain yang perilakunya mirip dengan fungsi Oitu disebut pelengkap (Pl) (lih. Alwi dkk., 1993:369-370).

Telah disebutkan bahwa verba transitif adalah verba yang memerlukan O. Namun, perludicatat bahwa tidak semua verba transitif memerlukan O. Dari hasil penelusuran diketahuibahwa dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah verba transitif yang dalam membentuk klausatidak memerlukan O secara wajib. Hal terakhir itu terjadi karena dua alasan. Alasan pertamaadalah O sudah disebut konteks sebelumnya. Contohnya sebagai berikut:

(13) Bapak masuk dan menendang kursi yang diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga,dan mendapati tangan kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengankasar Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan perintah Bapak kemudian tidakperlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar.Sehabis shalat ashar, Bapak sudah menunggu ø di meja makan.

(14) Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip ø dari belakangpintu.

Dalam kedua kutipan tersebut O, yang seharusnya diisi Ripin (dalam (13)) dan bapaknya Dikin(dalam (14)) tidak hadir meskipun verba pengisi P, yaitu menunggu (dalam (13)) dan mengintip(dalam (14)), adalah verba transitif. Ketidakhadiran O tersebut, yang dilambangkan dengan zero(ø)), terjadi karena kedua O tersebut telah disebut dalam kalimat atau klausa sebelumnya(meskipun dalam kalimat atau klausa sebelumnya konstituen yang dimaksud tidak berfungsisebagai O, tetapi S).

Alasan kedua adalah verba transitif yang memerlukan kehadiran O bertipe tertentu.Dalam bahasa Inggris, menurut Lehrer (1970:227-253), ada empat tipe verba yang O-nya dapatdilesapkan (deletable objects), yaitu verba tipe I (misalnya drive ’menyetir’, drink ’minum’),tipe II (misalnya act ’main’, compose ’mengarang’), tipe III (misalnya call ’memanggil’, refuse’menolak’), dan tipe IV (misalnya attack ’menyerang’, pull ’menarik’). Dalam bahasa Indonesiajuga terdapat verba transitif seperti yang ditunjukkan oleh Lehrer, tetapi jenis dan cirinyaberbeda. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat dua tipeverba transitif yang tidak memerlukan O secara wajib sehingga O itu dapat (di)lesap(kan).Verba transitif tipe pertama, yang dalam Lehrer termasuk dalam verba transitif tipe I dan II,adalah verba transitif yang menyatakan kekhasan O. O yang dituntut hadir dalam verba tipe inikhas sehingga tanpa dihadirkan pun sudah dapat dipahami. Verba transitif yang dimaksudadalah sebagai berikut:

(15) Verba Transitif O dapat Lesapmelahirkan (anak)mencangkul (tanah)memasak (makanan, sayur)menyopir (mobil, kendaraan)menyetir (mobil, kendaraan)membajak (sawah)menjahit (baju, celana, pakaian)mencuci (baju, celana, pakaian)membaca (buku, novel, roman, cerpen, surat)mengajar (siswa, mahasiswa)

Page 75: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Tri Mastoyo Jati Kesuma

74

mengarang (cerpen, novel, roman)menulis (surat, buku)menggambar (orang, binatang, pemandangan)melukis (gambar, pemandangan)menyeterika (pakaian)mendengar (bunyi, suara)

Verba transitif tipe kedua adalah verba transitif yang menyatakan perasaan (bdk.Charlie, 2007:91). Verba transitif jenis ini berafiks me-kan dengan bentuk dasar berupaadjektiva atau verba keadaan. Verba transitif jenis ini terdiri atas dua subtipe. Verba subtipepertama memiliki ciri: dapat disertai O dan dapat dipasifkan. Berikut disajikan contohnya:

(16) Verba Transitif O dapat Lesapmeyakinkan (orang)mengawatirkan (kita)mengejutkan (saya)mengecewakan (kita semua)memuaskan (semua pihak)merepotkan (semua orang)menyegarkan (kita)

Ciri verba subtipe kedua adalah dapat disertai O, tetapi tidak dapat dipasifkan. Contohnyasebagai berikut:

(17) Verba Transitif O dapat Lesapmembahagiakan (orang)membahayakan (kita)membingungkan (saya)membosankan (kami)mencurigakan (kita)menggelikan (saya)menggelisahkan (hati saya)menggembirakan (saya)mengharukan (kita)mengherankan (saya)menjemukan (saya)menjengkelkan (saya)menjijikkan (saya)mengagumkan (saya)mengesankan (saya)melegakan (semua pihak)melelahkan (saya)meletihkan (saya)memalukan (saya)mengerikan (saya)memprihatinkan (kita)menyakitkan (hati)menyedihkan (saya)menyenangkan (saya)menyeramkan (saya)menyulitkan (kita)memberatkan (terdakwa)

Page 76: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

75

SIMPULAN

Dalam konsteks tertentu dimungkinkan O tidak hadir dalam konstruksi klausa transitif.Ketidakhadiran itu dapat terjadi karena verba transitif yang menuntut hadir berwatak tertentu.Verba transitif yang menyatakan perasaan, misalnya, tidak menuntut kehadiran O secara wajib.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan Republik Indonesia.

Aarts, Bas. 1997. English Syntax and Argumentation. Houndmills: Macmillan Press, Ltd.

Cook, Walter A.A.. 1979. Case Grammar: Development of the Matrix Model (1970-1978).Washington D.C.: Georgetown University Press.

---------. 1989. Case Grammar Theory. United States of America: Georgetown Press.

Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The University ofChicago Press.

Charlie, Lie. 2007. “Kalimat Tanpa Objek atau Pelaku” dalam Majalah Intisari No. 527 Juni 2007,hal. 90-91.

Kaswanti Purwo, Bambang dan Anton M. Moeliono. 1985. “Analisis Fungsi Subjek dan Objek:Sebuah Tinjauan” dalam Kaswanti Purwo, Bambang (ed.), 1985.

Kaswanti Purwo, Bambang (ed.). Untaian Teori Sintaksis 1970-1980-an. Jakarta: Arcan.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1989. "Tata Bahasa Kasus dan Valensi Verba" dalam KaswantiPurwo, Bambang, peny. 1989a PELLBA II. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, hlm. 1-23.

Kridalaksana, Harimurti dkk. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kridalaksana, Harimurti. 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta:Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

---------. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lehrer, Adrienne. 1970. ”Verbs and Deletable Objects” dalam Lingua 25 (1970), hal. 227-253.

Ramlan. M. 1987a (edisi I, 1981). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.

Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.

Sudaryanto. 1983 (disertasi 1979 yang diterbitkan). Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia:Keselarasan Pola-Urutan. Jakarta: ILDEP-Djambatan.

Sudaryanto dkk. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suhandano. 2002. “Konstruksi Objek Ganda dalam Bahasa Indonesia” dalam Jurnal HumanioraVolume XIV No. 1/2002, hal. 70-76.

Verhaar, J.W.M. 1981. Pengantar Lingguistik. Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tri Mastoyo Jati [email protected] Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Page 77: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 77-84

ANALISIS SEMIOTIK KULTURALPANTUN BAHASA INDONESIA-MAKASSAR:

DARI BILINGUALISME KE MULTIKULTURALISME

Ery Iswary*Universitas Hasanuddin

Abstract

This paper identifies and analyzes the cultural symbols based from the text of bilingualpantun (traditional poetry) Indonesian-Makassarese by a Chinese origin writer, Ang BangTjiong. The cultural symbols that were identified based on Peirce’s trilogies i.e.index, icon,and symbol. The purpose of this paper is to view the pantun texts and analyze the symbols thatused in the pantun texts, to explore cross culture local-global that indicated (Makassarese,Malay, China) in form of hybridity and interaction from multiculturalism perspective.

The qualitative descriptive method and multiculturalism perspective on language wasapplied to examine the pantun texts; the cultural semiotic framework was used to analyze thedata. The results of the data analyzes indicated that the bilingual pantun Malay-Makassareseshows hybridities aspects of Indonesian-Makassarese-China in the form of languageperformance was used in all pantun texts. The results of lexical analyzes explicitly expressedcross cultural between cultural symbols and iconic in Malay-Makassarese-Chinese. Culturalsymbols such as Makassarese’s icon was reflected by lexical options, for example, words suchas karaeng ‘King’, jonga ‘deer’, aksuling-suling ‘to flute’, lipak sakbe ‘silk saroong’, andsome places with the Makassar setting (i.e. Malino, Bonto Tangga, parigi).The Chinese’scultural symbols and icon could be seen by using lexical such as Nona, Toke, red color,China Kampoong. While Malay’s symbols and icon indicates by using the lexical like tuan,bulan purnama, inta, pinang, sirih, etc. Each symbol and iconused from each culture showedthe cultural values significant in their communities. However, symbols like index are notfound in the pantun text. The research of bilingual pantun text from hibridity andMulticulturalism aspects (MalayIndonesian-Makassarese-China) suggests the observationand language and culture research of local-global community and solidarity in the country.Meanwhile, hibridity and multiculturalism phenomena in Indonesian and Makassarese in thepantun text can support the empowerment of Indonesian and local language (Makassarese) tosurvive.

Key words: cultural semiotic, pantun text, symbol, icon, hibridity, multiculturalism,Makassarese

PENGANTAR

Pantun merupakan salah satu produk sastra yang sangat dikenal dalam bahasa-bahasa nusantara.Pada umumnya pantun terdiri atas empat larik atau empat baris dan terdiri atas sampiran dan isi.Sampiran adalah dua baris pertama biasanya berkaitan dengan alam (mencirikan budayamasyarakat pendukungnya) dan seringkali tidak mempunyai hubungan dengan bagian kedua.Dua baris terakhir merupakan isi yang merupakan tujuan dari pantun tersebut(Agni, 2009:6).

Pantun berfungsi sebagai alat pemelihara bahasa dan sebagai media mengasah pikiranuntuk lebih kreatif. Disamping itu, untuk berpantun biasanya lebih mengarah kepada berpikirasosiatif secara spontanitas karena merupakan arena permainan kata-kata sekaligus sebagaipenyampai pesan.

Masalah yang akan dikaji dalam kertas kerja ini mengidentifikasi, menganalisis, danmenginterpretasi simbol-simbol kultural yang bersumber dari teks pantun bilingual (dwibahasa)Melayu-Makassar yang ditulis oleh seorang keturunan Cina (Karya Ang Bang Tjiong). Simbol-simbol kultural yang akan diidentifikasi adalah simbol-simbol yang berazaskan pada trilogi

Page 78: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ery Iswary

78

Peirce yaitu indeks, ikon dan simbol. Kertas kerja ini bertujuan untuk mendeskripsikan tekspantun dan menganalisis simbol dalam pantun dwibahasa Melayu-Makassar yang digunakandalam pantun tersebut.

KONSEP BILINGUALISME, MULTIKULTURALISME, DAN SEMIOTIKKULTURAL

Bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatumasyarakat (Kridalaksana, 1984:29). Kridalaksana membedakan bilingualisme menjadi 3 jenisyaitu:

1. Bilingualisme koordinat : bilingualisme dengan dua sistem bahasa atau lebih yangterpisah (seseorang yang bilingual koordinat ketika menggunakan satu bahasa tidakmenampakkan unsur-unsur dari bahasa lainnya; tidak terjadi pencampuran sistem).

2. Bilingualisme majemuk : bilingualisme dengan dua sistem bahasa atau lebih yangterpadu (sering mengacaukan unsur-unsur kedua bahasa/ atau lebih dari bahasa yangdikuasainya).

3. Bilingualisme subordinat : bilingualisme dengan dua sistem bahasa atau lebih yangterpisah tetapi masih terdapat proses penerjemahan (biasanya masih mencampurkankonsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua).

Perkembangan global mengakibatkan melunturnya batas-batas geografis di antaranegara-negara dan menyebabkan arus perpindahan manusia dari satu negara menuju negara lainsemakin lebih mudah. Kondisi ini mengakibatkan hadirnya multikultural dalam sebuahnegara.Gerakan-gerakan multikultural yang pertama-tama muncul di Kanada dan Australiasekitar awal tahun 1970-an dalam beberapa hal dipicu oleh semakin kuatnya ketertarikan paraakademisi barat terhadap studi-studi kultural di berbagai belahan dunia.

Multikulturalisme adalah suatu ideologi yang mengedepankan pentingnya pengakuandan toleransi atas keragaman. Sebagai sebuah ideologi multikulturalisme terserap dalamberbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yangmencakup kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, serta berbagaikegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 2008:4).

Parekh (dalam Piliang, 2007:2) berpendapat bahwa multikulturalisme harus dipahamibukan sebagai doktrin tetapi sebagai suatu perspektif atau suatu cara pandang kehidupanmanusia dengan menawarkan 3 prinsip utama. Petama, bahwa manusia secara kultural beradadalam suatu masyarakat yang mengorganisasikan kehidupan dan hubungan-hubungan sosialserta memandang dunia dari suatu budaya yang membentuknya. Kedua, perbedaan budayamewakili berbedanya sistem makna dan visi-visi tentang kehidupan yang baik; memerlukanbudaya lain untuk membantu memahami budayanya sendiri dengan lebih baik dan menjaganyaagar tidak mengabsolutkan dirinya sendiri. Ketiga, setiap budaya secara internal bersifat pluraldengan arus pemikiran yang berubah dan tetap menghadirkan identitasnya.

Menurut Raymond Williams amat sulit menemukan definisi multikulturalisme. Selainmenunjuk kepada kemajemukan budaya, multikulturalisme juga mengacu kepada sikap khasterhadap kemajemukan budaya tersebut (dalam Lubis,2010:2). Menurutnya ada lima tipemultikulturalisme,yaitu (1) Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada visi masyarakatsebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda menjalani hidup mandiri dan terlibatdalam interaksi sebagai syarat hidup bersama; (2) Multikulturalisme akomodatif, mengacukepada visi masyarakat yang bertumpu pada satu budaya dominan dengan penyesuaian danpengaturan untuk kebutuhan budaya minoritas; (3) Multikulturalisme mandiri¸ mengacukepada kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan dominan dan bertujuanmenempuh hidup mandiri dalam kerangka politik kolektif yang dapat diterima; (4)Multikulturalisme kritis atau interaktif, mengacu kepada masyarakat tempat kelompok

Page 79: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

79

kultural kurang peduli untuk menempuh hidup mandiri dan peduli dalam menciptakan suatubudaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda; (5)Multikulturalisme kosmopolitan, mengacu kepada visi masyarakat yang berusaha menerobosikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi individu yang tidak terikat dengan budayakhusus secara bebas bergiat dalam eksperimen antar kultur dan mengembangkan satu budayamilik mereka sendiri.

Prinsip-prinsip multikulturalisme versi Parekh di atas, yakni prinsip yang menyatakanbahwa perbedaan budaya mewakili berbedanya sistem makna dan visi tentang kehidupan yangbaik; memerlukan budaya lain untuk membantu memahami budayanya sendiri dengan lebihbaik, dan menjaganya agar tidak mengabsolutkan dirinya sendiri. Di samping itu, prinsip yangmenyatakan setiap budaya secara internal bersifat plural dengan arus pemikiran yang berubahdan tetap menghadirkan identitasnya, sejalan dengan fenomena penggunaan bahasa dalampantun bilingual ini yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Makassar dalam setiaplarik dan baitnya secara setara (seimbang). Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pengakuandan toleransi atas keragaman bahasa dan budaya juga dapat diimplementasikan melaluipenggunaan bahasa dalam pantun. Di balik penggunaan bahasa dalam pantun bilingual jugamengindikasikan adanya interaksi dua bahasa yang sekaligus mengindikasikan munculnyasimbol-simbol kultural sebagai identitas masing-masing dari tiga kultur yaitu Makassar,Melayu, dan Cina (multikultur). Adapun tipe multikulturalisme yang tampak dalam pantunbilingual merupakan perpaduan antara multikulturalisme kritis/interaktif dan multikulturalismekosmopolitan.

Fenomena hibridasi bahasa dan budaya yang tercermin dalam pantun bilingual inisangat menarik dikaji dari perspektif semiotik oleh karena fenomena bilingualisme danmultikulturalisme ini juga menguak sistem tanda yang berkaitan satu sama lain yang bersifatkonvensional. Di samping itu, membutuhkan interpretasi dan inferensi dalam konteks kulturaluntuk memperoleh makna yang terkandung di dalamnya. Pendekatan semiotik kulturaldigunakan untuk kajian ini oleh karena semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalamkehidupan manusia, yang mana tanda-tanda tersebut haruslah dimaknakan (Hoed, 2007:3).Sedangkan semiotik kultural adalah kajian semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yangberlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu (Sobur, 2001:101). Konsep tanda yang dijadikanacuan dalam kertas kerja ini adalah trilogi tanda Peirce yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikonmerupakan tanda yang dapat menggambarkan ciri utama sesuatu, yang menyerupai apa yangdirepresentasikannya (konsep persamaan). Indeks adalah tanda yang hadir secara asosiatifakibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap (hubungan kausal). Adapun simboladalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan(konvensi).

Hoed (2007:22) menyatakan bahwa dalam melihat kebudayaan sebagai signifying orderdapat dibedakan empat faktor yang perlu diperhatikan dan berkaitan satu sama lain, yaitu:

1. Jenis tanda (ikon, indeks, symbol)2. Jenis sistem tanda (bahasa, music, gerakan tubuh)3. Jenis teks (percakapan, lirik lagu, pantun)4. Jenis konteks/situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologi, social, kultural,

historis)

METODE PENELITIAN

Sumber Data

Sumber data untuk kertas kerja ini adalah pantun yang dikarang oleh Ang Bang Tjiong.Pantun-pantun yang berjumlah kurang lebih 200 bait ini dirangkum dalam bentuk sebuah buku

Page 80: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ery Iswary

80

pantun yang dinamakannya “Buku Pantun Melayu-Makassar”. Larik-larik dan bait-bait dalampantun memiliki nilai estetika tersendiri jika dibandingkan dengan pantun yangmurni berbahasa Indonesia atau Makassar lainnya. Semua larik dan bait pantun merupakanhibridasi penggunaan bahasa Indonesia dan Makassar yang sangat harmonis. Ang Ban Tjiongtidak hanya berupaya menciptakan persajakan berdasarkan bahasa Melayu, tetapi juga lebihmenyesuaikannya dengan diksi bahasa Makassar sesuai dengan pesan yang ingindiungkapkannya. Ang Ban Tjiong memilih kataMelayu (Indonesia) dan menyambungnyadengan kata Makassar lalu menyusunnya dalam larik dan menjadi bait. Beliau membuatpersajakan dengan gaya “aaaa” Meskipun kadang-kadang tidak taat azas seperti pantun padaumumnya agar yang dipilihnya dapat menyatu dengan pilihan kata Melayu yang digunakanpada setiap awal baris dan bahasa Makassar di akhir. Dengan demikian, setiap rangkaian katadalam satu larik tercipta rangkaian nada yang harmonis antara bahasa Melayu dan bahasaMakassar. Pantun ini juga agak unik karena diciptakan sebagai media bercerita danmengungkapkan berbagai hal yang dirangkum menjadi sebuah rangkaian pantun yang salingberkaitan, antara lain perasaan cinta antara gadis dan pemuda, kekayaan dan kemiskinan,nasihat kehidupan, dan kondisi sosial budaya Makassar, dan sebagainya.

Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:1. Data pantun yang akan dijadikan sampel diseleksi sesuai dengan kebutuhan

analisis data2. Menseleksi bait-bait pantun yang dianggap representatif dan mengindikasikan

adanya penggunaan simbol, ikon , maupun indeks.3. Mengklasifikasi dan menganalisis penggunaan leksikal yang mengisyaratkan

unsur-unsur simbol, ikon, indeks dan menghubungkannya dengan latar belakangbudaya Makassar, Melayu, Cina.

4. Mengintrerpretasi dan membuat inferensi terhadap penggunaan simbol dan ikon-ikon yang ditemukan berdasarkan konteks budaya masing-masing.

DESKRIPSI DAN ANALISIS PANTUN BILINGUAL

Jenis teks yang dianalisis adalah analisis teks pantun berbahasa Indonesia-Makassar yangmengindikasikan adanya unsur multikultural yang terefleksi dari penggunaan bahasa danpenggunaan diksi yang digunakan dalam pantun. Data pantun yang dianalisis sebagai objekkajian sebanyak 200 bait yang terangkum dalam sebuah buku berjudul “Pantun Melayu-Makassar” karya Ang Bang Tjiong. Fenomena bilingualisme terindikasi melalui penggunaandua bahasa dalam keseluruhan pantun yaitu bahasa Indonesia (Melayu) dan bahasa Makassarsecara konsisten secara seimbang pada setiap larik dan bait. Sedangkan fenomenamultikulturalisme dan hibriditas terindikasi melalui penggunaan leksikal yang terhibridasidengan memunculkan ikon-ikon budaya Makassar, Melayu, dan Cina.

Analisis data menggunakan kerangka trilogi Peirce (simbol, ikon, dan indeks) denganmengidentifikasi penggunaan leksikal/diksi, baik berupa kata maupun frase untuk setiap larikdan bait yang mengindikasikan adanya penggunaan simbol. Analisis dan interpretasi maknasimbol didasarkan pada wawasan kultural dan konvensi yang telah terbentuk dalam masyarakat;analisis dan interpretasi penggunaan simbol berupa ikon didasarkan adanya prinsip kesamaanatau analogi penggunaan leksikal dengan latar belakang budaya Makassar, Melayu, atau Cina.Sedangkan analisis dan interpretasi simbol berupa indeks didasarkan atas adanya penggunaanleksikal yang mengindikasikan adanya hubungan kausal (sebab akibat).

Hasil analisis data teks pantun mengindikasikan bahwa teks pantun Melayu-Makassarmengindikasikan adanya unsur hibriditas bahasa Melayu-Makasar-Cina dalam bentuk

Page 81: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

81

performansi bahasa yang digunakan dalam keseluruhan teks pantun dengan menggunakan duabahasa secara berselang-seling yaitu bahasa Melayu dan bahasa Makassar pada setiap larik danbait pantun. Berdasarkan hasil analisis penggunaan leksikal dalam teks pantun dwibahasamenyiratkan simbol kultural yang terindikasi dari aspek ikonik dan simbol budaya yangmemunculkan adanya unsur interaksi dan hibriditas bahasa/budaya Melayu-Makassar-Cina.

Berdasarkan hasil analisis jenis tanda dalam pantun bilingual, ditemukan beberapabentuk ikon yang masing-masing mengindikasikan ikon-ikon kultural. Adapun teks yang dipilhsebagai representasi data dapat dideskripsi seperti berikut:

1. Masuk di hutan akboya jongaMesti membawa kongkong pajongaEloknya nona sangkamma bungaJadikan rumah tuli sumanga

’Masuk di hutan mencari rusa’’Mesti membawa anjing pemburu rusa’’Eloknya nona seperti bunga’’Jadikan rumah selalu bersemangat’

2. Bagusnya bunga lango-langonaDicium wangi nyamang rasannaEloknya nona tena callannaBulan purnama erok rapanna

’Bagusnya bunga merah jambunya’’Dicium wangi semerbak baunya’’Eloknya nona tanpa cela’’Bulan purnama perumpamaannya’

3. Bagusnya kain bunga-bungannaIbarat mangga moncongbulonaManisnya nona muri-murinaIbarat intan kalakbbiranna

’Bagusnya kain bunga-bunganya’’Ibarat mangga warna hijaunya’’Manisnya nona senyumannya’’Ibarat intan kemuliannya’

4. Di atas gunung aksuling-sulingDi samping kembang attammu lilingMatanya nona napunna njallingHatiku tobat kummaling-maling

‘Di atas gunung berseruling’‘Di samping kembang sekelilingnya’’Matanya nona jika memandang’’Hatiku tobat penuh rasa’

5. Main bola akkasuk gattaBola disepak aklanta-lantaJikalau nona ilalang pattaMakin dipandang ammesok mata

’Main bola berkasut karet’’Bola disepak terpental-pental’’Jikalau nona di dalam peta’’Makin dipandang menarik mata’

6. Naik auto ke PangkajekneAnak desa akjekne-jekneDi dunia ini jai baineNona seorang anggerang tekne

’Naik mobil ke Pangkaje’ne’’Anak desa berenang-renang’’Di dunia ini banyak perempuan’’Nona seorang membawa suka’

7. Sarung sutera nijaik-jaikDalam rumah tukang manjaikNona seorang minang kungaiPaling kupuji bajik pakmaik

’Sarung sutra dijahit-jahit’’Dalam rumah tukang menjahit’’Nona seorang paling kusuka’’Paling kupuji baik hati’

8. Kota Makassar butta JumpandangDarah Makassar mate ri PadangMelihat nona make salendangHatiku bingung erok anngondang

’Kota Makassar tanah Jumpandang’’Darah Makassar mati di Padang’‘Melihat nona memakai selendang’‘Hatiku bingung hendak mengejar’

9. Tinggi gunung kota MalinoIntan jamarro bulaeng tiknoSaya hidup empo ri linoZonder nona rasanya sino

‘Tinggi gunung kota Malino’‘Intan jamarro emas murni’‘Saya hidup tinggal di dunia’‘Tanpa nona rasanya sepi’

10. Orang Dayak anngerang panaAnak hartawan ri kampong Cina

‘Orang Dayak membawa pana’‘Anak hartawan di kampung Cina’

Page 82: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ery Iswary

82

Harta itu niak boyannaCinta itu tak tena ballianna

‘Harta itu bisa dicari’‘Cinta itu tak dapat dibeli’

11.

Kata jonga ’rusa’ dan kongkong pajonga ’anjing pemburu rusa’ merupakan ikonbudaya Makassar. Tradisi berburu rusa merupakan kegiatan yang sering dilakukan orangMakassar zaman dahulu. Tujuan diadakannya kegiatan berburu rusa bukan hanya untukmemperoleh daging rusa tetapi sekaligus sebagai media silaturahmi antar keluarga sangpemburu rusa, oleh karena pada saat para suami berburu, maka para anak dan istri salingbercengkerama satu sama lain. Kata aksuling-suling ’berseruling’ merupakan kegiatan yangsering dilakukan para penggembala di Makassar saat menunggu kerbau mereka makan rumput.Kata ”sarung sutra” adalah ikon Makassar karena merupakan ciri khas produk tenunan khasMakassar. Sarung sutra merupakan hasil keterampilan tenunan, yang pada zaman dahulumerupakan keterampilan yang harus dimiliki kaum perempuan. Selain itu, ikon Makassarberupa tempat terindikasi dengan adanya penggunaan nama-nama tempat yang ada di Makassarseperti Pangkajekne, Makassar, Jumpandang, Malino.

Ikon Cina diindikasikan dengan penggunaan kata nona secara berulang-ulang ;dankasut gatta ’sandal jepit’ yang biasanya buatan Cina. Dalam data lain juga ditemukan kataToke, Kampong Cina, warna merah, yang merupakan leksikal-leksikal yang mengindikasikankultur Cina.

11. Sunting mas tena anggaknaJikalau hilang paramatanaSurat-menyurat tena balenaJikalau jauh batangkalenna

‘Sunting mas tidak berharga’‘Jika hilang permatanya,‘Surat menyurat tak ada enaknya’‘Jikalau jauh bagtang tubuhnya’

12. Pinang muda nibatta-battaMakan sirih nikota-kotaSiang dan malam akjekne mataDapat pikiran passingainta

‘Pinang mudah dibelah-belah’‘Makan sirih dikunyah-kunyah’‘Siang malang berlinang airmata’‘Dapat pikiran kisah cinta kita’

13. Jikalau kita jai dowettaJuga pun tinggi kaporeantaIbarat raja tumapparentaDuduk bertahta ri kalompoanta

‘Jika kita banyak uang’‘Juga pun tinggi keahliannya’‘Ibarat Raja yang memerintah’‘Duduk bertahta dikebesarannya’

Ikon Melayu ditemukan kata-kata seperti bulan purnama, intan, tuan, sunting, pinang,sirih, Raja, tahta yang mana kata-kata ini sangat familiar dalam budaya melayu oleh karena itukata-kata ini berasosiasi dengan nilai-nilai yang berlatarbelakang budaya dan masyarakatMelayu. Berdasarkan hasil analisis data pantun tidak ditemukan simbol berupa indeks.

Data pantun lainnya yang memperlihatkan penggunaan simbol-simbol yang berakar daribudaya Makassar dapat terindikasi melalui penggunaan leksikal dalam pantun berikut:

14. Naiklah perahu akboya gosseDi atas gunung aklamung aseBiarpun nona tau kamaseSaya datang akmase-mase

‘Naiklah perahu mencari rumput laut’‘Di atas gunung menanam padi’‘Biarpun Nona orang miskin’‘Saya datang mengiba diri’

15. Lemasnya cinta kuntui jekneKuatnya sama burak-burakneCinta itu anngerang tekneSenangkan hati burakne-baine

‘Lemasnya cinta ibarat air’‘Kuatnya sama laki-laki’‘Cinta itu nggerang tekne’‘Senangkan hati laki-laki perempuan’

Page 83: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

83

Hasil analisis simbol mengindikasikan bahwa pemilihan leksikal yang digunakandalam pantun juga menyimbolkan eksistensi laki-laki dan perempuan. Simbol yang berasosiasidengan laki-laki adalah main bola (data 5), perahu (data 13), air (data 14).Adapun simbol yang berasosiasi dengan perempuan adalah bunga dan rumah (data 1),bulanpurnama (data 2), intan (data 3 ) , sunting mas dan permata (data 11).

PENUTUP

Setiap simbol dan ikon yang digunakan dalam masing-masing budaya tersebut memuat nilai-nilai kultural tersendiri yang dianggap signifikan dalam komunitasnya. Pengkajian teks pantundwibahasa dari aspek hibriditas dan multikulturalisme (Melayu-Makassar-Cina) akanmemperkaya khasanah pengkajian bahasa dan budaya dalam komunitas lokal-global dan dapatmemperkukuh solidaritas antar bangsa dan Negara.

Analisis tentang identitas kultural yang berbeda merupakan saluran menuju warisankebangsaan di mana salah satu warisan kebangsaan tersebut adalah bahasa. Bahasa yangdigunakan sebagai medium pengungkapan atau alat ekspresi untuk mengetahui buktisejarah sebagai konteks suatu pemahaman identitas suatu budaya. Identitas budaya yang munculdalam suatu komunitas bukan hanya sebagai warna kelokalan tetapi juga sebagai ekspresibudaya yang menawarkan alternatif pencitraan dalam masyarakat.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah.

DAFTAR PUSTAKA

Afid dan Witoelar, Wimar. 4 Maret 2007. Soal Multikulturalisme.http://paramadina.wordpress.com

Budianta, Melani. 2008. Sastra dan Interaksi Lintas Budaya. Jakarta: Majalah Maya PusatBahasa. [15 Agustus 2008].

Eriyanto. 2003. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Jogjakarta: LkiS.

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. USA:Addison Wesley Longman. Inc.

Harahap, Ahmad Rivai. 2006. Multikulturalisme dan Penerapannya dalam PemeliharaanKerukunan Umat Bergama. Medan : LPKB Perwakilan Medan.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Indonesia.

Ibrahim, Syukur (ed). 2002. Semiotik. Surabaya: Airlangga University Press.

Mahpur, Mohammad. 2008. Hibriditas dan Menyoal Kearifan Lokal. PUSPeK Averroes. [8Maret 2008]

Maslikhah. 2007. Qua Vadis Pendidikan Multikultur Rekonstruksi Sistem Pendidikan BerbasisKebangsaan. Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Page 84: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Ery Iswary

84

Paeni, dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Jakarta: ArsipNasional Republik Indonesia.

Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik.Jogjakarta : Kanisius.

Piliang. 2007. Sastra Multikultural. Hangtuah Digital Library. [8 Februari 2007]

Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sobur, Alex. 200 Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sufyanto. 2007. Refleksi HUT RI ke-62, Ber(Indonesia) dengan Kesadaran Multikultural.www.surya.co.id/web.[ 16 Agustus 2007]

Suparlan, Parsudi. 2008. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.http://averroes.or.id. [9 Mei 2008]

Ery [email protected] Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Page 85: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 85-96

LANGUAGE CHANGE IN BUGIS SOCIETY

Murni Mahmud*Universitas Negeri Makassar

Abstract

Makalah ini membahas kemungkinan peralihan bahasa dalam masyarakat Bugis,bagaimana prospek pemakaian bahasa Bugis dan bahasa Indonesia di masa yang akandatang, dan kemungkinan punahnya bahasa Bugis yang disebabkan oleh semakinbanyaknya pemakaian bahasa Indonesia, terutama bagi generasi muda.Makalah ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 sebagai bagiandari studi tentang kesopanan dalam masyarakat Bugis. Penelitian dilakukan pada duakomunitas Bugis. Yang pertama di daerah pedesaan di kecamatan Awangpone, Bone danyang kedua adalah di daerah perkotaan yaitu Parepare. Pada kedua komunitas itu,terdapat pola pemakaian bahasa yang berbeda. Bahasa Bugis lebih banyak dipakai didaerah pedesaan sedangkan di daerah perkotaan, bahasa Indonesian lebih dominan.Meskipun demikian, kepunahan bahasa Bugis tidak akan terjadi di masa yang akan datang.Fakta menunjukkan bahwa masyarakat Bugis masih memilih menggunakan bahasa Bugisdaripada bahasa Indonesia untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk memperlihatkankesopanan mereka.

Kata kunci: kepunahan bahasa, peralihan bahasa, bahasa Bugis, bahasa Indonesia,bahasa Bugis-Indonesia, kesopanan

INTRODUCTION

The Bugis is one of the largest ethnic groups in Eastern Indonesia. Nowadays, the Bugispopulation totals approximately three million people. The Bugis homeland is the south-westernpeninsula of Celebes island—or Sulawesi. However, the Bugis people can be found in otherareas in Indonesia such as Kalimantan, Southeast Sulawesi, Maluku, East Nusatenggara, Irian(New Guinea), Jambi (eastern Sumatra), and even in Java (especially Jakarta) (Hugo, 1982:65).

The Bugis have a rich cultural, religious, and social system. Their cultural norms areconcepts of ade’ ‘culture’ or pangngaderreng ‘system of conduct’, siri’ na pessé ‘shame andcompassion’, and the symbolism of sarung sutra ‘silk sarong’ that should be followed by theBugis to maintain a real Bugis identity. Another important aspect is religion, which is unique asit blends the Bugis cultural and religious systems. Other important facets of the Bugis socialsystem are social status, age, and gender differences.

One important issue regarding Bugis people is the ways they communicate. Bugis peopleare bilingual. They use two dominant languages. The first one is Bugis, their traditionallanguage, and the second one is Indonesian, their national language. In both of the areas of myfieldwork, Bugis is the main local language. In addition, residents use Indonesian.

The issue can threaten the future of Bugis language, in which Bugis people prefer to useIndonesian rather than Bugis language. This paper explores this possibility. What are thereasons for Bugis people to use Indonesian over Bugis language? And how can Bugis peoplemaintain their communicative ways in order that their Bugis language will not extinct in thefuture?

METHOD

The data for this paper were partly taken from my Ph.D thesis, which was based on thefieldwork that I conducted for one year in 2005 in two different Bugis communities; one is inthe rural area, Awangpone, Kabupaten Bone, and another in the urban area, Parepare.

Page 86: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Murni Mahmud

86

To collect data, I employed ethnography of communication using some strategies such asparticipant observation, informal interview, and recording conversations. Two groups ofrespondents were involved in this research. The first group was interviewed about the conceptof politeness. They included adat ‘cultural’ leaders, religious leaders, and professional workersaged from 23 to 73 years old, both men and women. The second group of respondents was thosewhose conversations were recorded. There were 241 respondents: 136 respondents fromAwangpone and 105 from Parepare

To obtain spoken Bugis language, I recorded a variety of conversations between men andwomen using tape recorders. Conversations were recorded in three contexts: single-sex settings(male and male or female and female) and mixed-sex settings (female and male) in a variety ofboth in formal and informal settings. Aspects like age and social status were examined in bothsimilar and different age groups. In each setting, conversations were recorded among informantsof similar age and status, similar age but different status, different age but similar status anddifferent age and status. Most conversations were recorded naturally; however, informants wereinformed in advance. Therefore, most of them already knew my research purpose beforehand.

The conversations were recorded in formal settings such as in offices and schools and ininformal settings such as in families and neighborhood. In informal settings, for examples,conversations were between parents and children, husbands and wives, brothers and sisters, andbetween people in the neighborhood. The topics they discussed included family matters, familyrelations, daily activities, careers and jobs, and talking about other people. In formal settings,conversations were between teachers, between headmasters and teachers, and between officeworkers. The topics included school activities, family matters, careers and jobs, hobbies, andother people. People recorded were from different status levels. Participants includedhousewives, graduate students, office workers, teachers ranging from 15 to 50 years old.

BUGIS LANGUAGE

The Bugis belong to the great family of Austronesian peoples (Pelras, 1996:1). Their languageis one of the four major language groups in South Sulawesi, the other three being Mandar,Toraja, and Makassar, which are all western Austronesian languages.

Most kabupaten ‘districts’ in South Sulawesi are dominated by Bugis speakers: Bone,Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Barru, Sinjai, and Parepare. People in some districts such asBulukumba, Pangkep, and Maros speak both Bugis and Makassar. Although there are somedifferences in dialects and expressions, most Bugis speakers can understand each other. Pelras(1996:12) notes that the Bugis still distinguish themselves according to their former major states(Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng) or a group of petty states (those around Parepare and Suppa’on the west coast and those around Sinjai in the South). The languages of these areas, with theirrelatively minor differences from one another, have been largely recognized by linguists as theconstituting dialects. Grimes and Grimes (1987:31) lists ten dialects of Bugis: Luwu, Wajo,palakka (Bone), Enna (Sinjai), Soppeng, Sidenreng, Parepara, Sawitto (Pinrang), Tallumpanua(Campalagian) and ugi’ riawa (pasangkayu).

Bahasa Makassar is spoken in other districts in South Sulawesi such as Jeneponto, Gowa,Takalar, Bantaeng, and Selayar. There are other languages spoken in other districts such asbahasa massénréng pulu’ spoken in Enrekang and bahasa Taé’ spoken in Luwu (map 1). In theprovincial capital of Makassar, language use is varied.

Page 87: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

87

Map 1: Languages spoken in South Sulawesi

LANGUAGES USED BY BUGIS SPEAKERS

Grosjean (1982:vii) estimates that ‘half the world’s population is bilingual and that bilingualismis present in practically every country of the world’. Bugis people are also bilingual. They usetwo dominant languages, either Bugis or Indonesian in different communicative situations.Interestingly, Indonesian used by Bugis speakers is not usually the standard formal Indonesian,identified by Sneddon (2003:121) as:

[T]he language of government and administration, and of formal situations (such asspeeches, lectures and writing. It is the language of the mass media (television andradio, newspapers, and magazines) and of most novels. It is the medium ofeducation at all levels and is expected to be mastered by educated Indonesians.

Indonesian used is usually mixed with words or phrases or dialects from regionallanguages. This is a type of informal Indonesian that is referred to as bahasa sehari-hari‘everyday language’ (Sneddon, 2003:10). Quinn (2006:6) notes that this informal Indonesian isused in conversation and is characterized by the dropping of certain affixes, especially the prefixber-, and the liberal borrowing of idioms from local languages. Errington (1998:98) refers it toas bahasa gado-gado, a phrase translated as ‘language salad’, a mixed bilingual Javanese-Indonesian whereas Buchori (1994:26) translates it as ‘hybrid language’, a phrase refers to themixture of the use of Indonesian with some other terms from other foreign languages, such asArab, English, Dutch, or German.

The Bugis people also typically use a mixed language, either Bugis with Indonesian, inwhich Bugis is the main language with some additional Indonesian, or Indonesian with Bugis inwhich speakers mostly use Indonesian but add some Bugis expressions. In other words, the

Page 88: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Murni Mahmud

88

Indonesian used here is influenced by the local Bugis dialect and is specifically used in SouthSulawesi. This can be easily recognized by the use of Bugis affixes such as –ki’, -ko, na-, -ji, -mi, etc. This Bugis-Indonesian is not only found in Bugis communities in South Sulawesi, butalso in other parts of Indonesia which have Bugis residents. Other ethnic groups in SouthSulawesi, such as the Makassar, Mandar, or Toraja also use this mixed-Indonesian.

I observed there was a different pattern of use in Bugis and Indonesian in my twofieldwork areas. In Awangpone, the rural area, Bugis was preferred over Indonesian. Only incertain situations was Indonesian used. In Parepare, the urban area, Indonesian was chosen morefrequently than Bugis, although Bugis was also used in certain situations.

In both areas, Awangpone and Parepare, the Bugis speakers mostly used Bugis-Indonesian in both informal and formal settings. In Awangpone, Bugis was used in bothinformal and formal situation, although it was mostly used in informal situations. A standardIndonesian was mostly used in formal settings, but such occurrences were quite rare. Aninteresting aspect to note in Awangpone is that the Bugis Indonesian was predominated by theBugis language, with some Indonesian phrases or terms added. In Parepare, the Bugis speakersused Indonesian or Bugis-Indonesian in both formal and informal settings. Bugis was usedmostly in informal settings whereas in formal settings, speakers use Indonesian or Bugis-Indonesian. In contrast to Awangpone, Bugis-Indonesian in this area was predominantlyinfluenced by the Indonesian language. Examples can be seen in the following four extracts:

Extract 1: Marwiah and her sister

Marwiah (M, 27) was asking her sister, Amna (A, 22), why she had forgotten to reheat the soupfor their dinner.A: (pointing to the pan in the kitchen) kero dé’pa. Uwallupai patoppo’i’

‘that is over there. Not yet. I forgot to reheat it’M: mai dé’ mupatoppo’i? aa?

‘why didn’t you reheat it?’

Extract 2: Asking for information in a school

Marwiah was asking questions to Ibu Salma (S, 40), a newly-met teacher from another schoolabout the activities in that school.W: masih semester orang? (Indonesian is identified with Comics Sans font).

‘are people [students] still in semester?’S: iya

‘yes’W: oh, sampai kapan?

‘oh, until when?’S sampai Kamis

‘till Thursday’

The above two extracts were recorded in two different settings in Parepare. Marwiah’schoice of language was influenced by the settings. In extract 1, she was speaking in Bugis to hersister, Amna, at home in the kitchen whereas in extract 2, she was speaking Indonesian to herfellow teacher, Ibu Salma, at one of the schools in Parepare. Marwiah spoke Bugis in the familyand Indonesian in the setting of the school.

Urban Bugis speakers like Marwiah tended to speak formal Indonesian in formal settings.Conversely, rural Bugis speakers were much more likely to choose Bugis. The following twoextracts in the conversations of Aslinah (A, 30) with different interlocutors in different settingsshow as follows:

Page 89: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

89

Extract 3: Aslinah and her mother

Aslinah was talking to her mother, Hatijah (H, 52) in the kitchen. Her mother asked her who hadfinished eating the cooked rice.A: cappu’ni

‘Is it finished’H: hm, cappu’ni? Iga manréi?

‘hm, it is finished? Who ate that?’

Extract 4: Aslinah and her female school principal

Aslinah was talking about the school plans to her school principal, Haji Yuni (HY, 55) in theschool, about the school plans for Isra’ Mi’raj ‘an Islamic festival celebrating the journey of theProphet Muhammad to receive pray regulation’.HY: jadi ..yé..rencana yaé lo’ki’ no’ kuro pa’ ka pangngobbi’ no’ mammiraje’ di

anu..Rapika

‘So, this plan here, we [i.e. you] want to go there because there was an invitation for Isra’Mi’raj there, Rapika [their friend]’

A: iyé’‘yes’

HY: ku di bolaé hari Jumat. Tanggal dua dua‘at home on Friday. On the 22nd’

A: macella’ to tanggala’é‘the date is red [it is on holiday]’

In extract 3, like Marwiah in extract 1 above, Aslinah used Bugis at home tocommunicate with a family member. In extract 4, where she was talking to her school principal,she did not use formal Indonesian like Marwiah in extract 2 above. Rather, she used mixedBugis-Indonesian, predominated by Bugis language.

The above four extracts show that the setting or the context influences language choice.Speaking at home and speaking at office require different language choices. Bugis in this case ismore suitable to be used in family setting whereas in an official setting, Indonesian, though stillvery influenced by Bugis in the rural setting, is preferred. Wei observed (1998:156) that:

Only one of the co-available languages or language varieties was appropriate for aparticular situation and that speakers needed to change their choice of language tokeep up with the changes in situational factors in order to maintain thatappropriateness.

Therefore, it can be stated that choice of which language to use in the two Bugiscommunities I studied, Awangpone and Parepare, is influenced by setting. In general, Bugis isused in informal settings, such as in families or neighborhoods, whereas Indonesian is usedmostly in formal settings such as in schools or offices. As observed, there are also severalsettings in which Bugis is preferable than Indonesian. Wedding party and any kinds oftraditional activities demand the use of the Bugis language rather than Indonesian. Setting aloneis not enough however. Within setting, other factors may become reasons to switch theirlanguages from Bugis to Indonesian or vice versa, such as the topics discussed, the type of theactivity within the settings, or the need to emphasize ideas (Mahmud, 2008:91).

Page 90: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Murni Mahmud

90

LANGUAGE CHOICES AND IDENTITY

Speaking Bugis can be used to show the Bugis identity of the Bugis speakers, so that those whospeak Bugis are those who are identified as Bugis speakers whereas those who speak Indonesianare those who are not Bugis. This is in relation to Errington’s (1986:330) statements that nativelanguages (and their dialects) can be salient symbols of ethnic identity and communitymembership, primary means for mediating social relations, and indispensable vehicles for (orobstacles to) effective, efficient communication.

This may also influence interaction in the Bugis community. This aspect is stressed byMarwiah (27), another female informant in Parepare, who commented:

Tadi di pasar, kenapa saya cenderung pake bahasa Bugis, kalau kita pake bahasaIndonesia, dia akan berpikir, penjual akan berpikir, tania naseng tau Parepareyaé. Dipatolo-toloimaki’ apa to.Just now in the market, why I tended to use Bugis, if we use Indonesian, they willthink, the seller will think, I am not originally from Parepare. I will be treated badlylater.

By using Bugis, she wanted to show her identity as a person who was originally fromParepare, which was useful in bargaining with the sellers in the market.

In the Bugis society, regional origins of Bugis speakers can be easily recognized by theirlogat ‘dialects’ and vocabulary choice. Bugis speakers from Bone, for example, are commonlyknown to mallagu-lagu (having very dramatic intonation and stress). When the Bugis speakersin Bone speak, other listeners can easily identify them as orang Bone or to-Bone ‘Bone people’.This can also be seen by the choice of words that are not present in the Bugis used by Bugisspeakers from other regions in South Sulawesi. In this way, speaking Bugis can show one’soverall identity as Bugis, while regional differences can indicate home area. To some extent,however, there is a current tendency for urban Bugis speakers to mostly speak Indonesian,especially standard Indonesian, without the influence of local Bugis dialects. In this way, Bugisspeakers are trying to show their national identity as Indonesian.

TO BE MAJU

As discussed above, most Bugis speakers in the urban area choose to speak Indonesian ratherthan Bugis. One of the reasons is the desire not to be left behind or the need to be maju‘modern’. Haji Ros (43), an informant in Parepare, mainly uses Bugis when speaking to hermother and grandmother, but she stresses the importance of using Indonesian with her childrenin order that they are not left behind. She states ‘Kapan trus-trus memakai bahasa Bugis, anak-anak di sekolah ketinggalan’ ‘When I always use Bugis, my children at the school will be leftbehind’.

Therefore, she mostly speaks Indonesian at work and at home with her children. Thesame phenomenon can be seen in Bone. Although Bugis people in the rural area mostly useBugis in many situations, children are often addressed in Indonesian, at home as well as atschool. An example is seen in extract 5 below:

Extract 5: Wahyuni and son

Ibu Wahyuni (W, 36) was talking to her son at home. Her son, Alif (A, 10) wanted to berecorded too.A: mauka’ bicara!

‘I want to talk’W: bicarami. Menyanyiki’ palé’ kudengari’.

‘Just talk. We [i.e. you] sing anyway. I will listen to it’

Page 91: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

91

Although Ibu Wahyuni usually speaks in Bugis in informal situations, in the aboveextract, she used Indonesian to her son, although it was a type of informal Indonesian.

Therefore, with the growth of education in Bugis society, the need to use Indonesian isalso increasing. This is particularly noticeable in Parepare, an urban area with much recentdevelopment, especially in education. In Awangpone, this need is greater in formal settings suchas in schools or offices, where education has an important role. Therefore, Indonesian is muchmore used in formal settings in both areas of my fieldwork.

TO BE POLITE

Although there is a strong tendency for Bugis speakers in both areas to use Indonesian for thesake of being maju, the need to be polite by using Bugis or Indonesian become their reasons forspeaking both languages. To some extent, speaking either Bugis or Indonesian can become away to be polite to talk to different interlocutors in different situations (Mahmud, 2008:87-89).

Another reason to maintain the use of Bugis language is the need to be polite andrespectful towards older people in Bugis society. In Awangpone, Bugis is used to speak to olderpeople in both formal and informal settings. Only if there are some important reasons, such as aneed to emphasize ideas or the topics discussed, do they use Indonesian. The same is true inParepare. Haji Mariani (45), a female informant in Parepare, commented on her choice oflanguage as follows:

Kalau dengan orang-orang tua gitu, orang-orang tua yang saya anggap, bahwa itulebih sopan kalau dengan berbahasa Bugis. Kalau berbahasa Indonesia, kadang-kadang dia tidak pahami.If I talk to older people, people whom I respect, it will be more polite to speakBugis. If I talk in Indonesian, they sometimes do not understand.

The older generation may also not be very fluent in Indonesian. Therefore, to youngerpeople, speakers sometimes use Indonesian whereas to older people, Bugis is a good choice.This is based on the idea that younger people are more exposed to urban life-styles andaccustomed to use the national language rather than using their mother tongue or traditionallanguage. Speaking Indonesian to older people is sometimes regarded as impolite. Older peoplemay feel self offended due to the use of Indonesian, as they may not be able to use orunderstand Indonesian well. In order to avoid being misleading or misjudging over thesedifferent interlocutors, Bugis language is preferable than Indonesian. Older people areundoubtedly familiar with Bugis language.

Due to Bugis hierarchical nature, aspects of social status of speakers and addressee arealso taken into consideration in the choice of language. In Awangpone, Bugis is usually chosenwhen talking to people who have a high traditional status, such as noble or religious status,whereas for those who have educational or occupational status, Indonesian is preferable. InParepare, Indonesian is usually chosen when speaking to a person of any type of social status.Nevertheless, the above tendencies interact with other factors, such as the need to emphasizeideas, or the topics, which also influence choice of code.

The most common influence on language choice is the educational and occupationalstatus of speakers and addressees. Speaking to the educated people, especially to those who holdprestigious/professional occupations may encourage Bugis speakers to use Indonesian whereasspeaking to non-educated people usually leads to Bugis being chosen. This is based on the ideathat educated people are mostly exposed to Indonesian, such as in their schools or offices,whereas those who are non-educated are mostly exposed to traditional life where traditionallanguage is used. In an urban setting such as Parepare, Indonesian is typically used in informal

Page 92: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Murni Mahmud

92

as well as formal settings due to the great exposure of Bugis speakers in Parepare in generalmodern life, which is characterized by the growth of education and professional occupations.

In Awangpone, the rural area, speaking Indonesian is also common in formal settings butin informal settings, which are mostly dominated by non-educated speakers, or people with loweducation or occupational status, the use of Bugis is more common than Indonesian. Anexample of this is the language switch of the participants when speaking to me as the researcher.During my fieldwork, Bugis speakers preferred speaking Indonesian to me. An example is inextract 6 below:

Extract 6: Asking about earrings

Ibu Wahyuni (W, 36) was talking to Puang Aji Masi (PAM, 50) on the veranda about PAM’sexperience when she performed hajj. Ibu Wahyuni was asking about the earrings PAM hadbought in Mecca which she was wearing at the time.W: siyaga gerang yétu giwatta’, Daéng?

‘how many grams are your earrings, Daéng?’PAM: duwa gerang aruwa kaca

‘two grams and eight [carats]’W: na duwa?

‘for both? [for left and right earrings]’PAM: iyé’

‘yes’W: gello’ dita!

‘they look nice!’PAM: (trying to remember the price) masuli’, siyagaro?

‘[they are] expensive. How much are they?’W: yakko’ Afiah lo’ ménré’ matu’, anu lo’ wassuro melli

‘if Afiah wants to go later [to perform hajj in Mecca], I want to ask [her] to buy[something]’

PAM:siyanu kennana yédé, lebbi telluratu’‘these are about three hundred thousand [rupiah]’

W: (asking me) ada kita beli?‘did you buy any [earrings]? [when you performed hajj]’

Ibu Wahyuni spoke Bugis to PAM. However, when she addressed me, the researcher, sheshifted into Indonesian. She asked me, ada kita beli? ‘Did we [i.e. you] buy anything?[earrings]’. She chose Bugis-Indonesian since she knew my educational background as theresearcher and my hajj status. The use of the Indonesian pronoun kita is a typical characteristicof Bugis speakers using Indonesian. In Bugis society, the use of kita, instead of otherIndonesian pronouns such as kau, kamu, or kami is widely used to refer to the first, second, andthe first plural exclusive categories and these can become a means of politeness.

In the above extract, the use of either Bugis or Indonesian can become a strategy to bepolite to each different speaker. It is more polite to use Bugis language to older people withtraditional status, especially if they are still relatives and talking in the very informal situation.The use of Indonesian by Wahyuli to Puang Aji Masi conversely will not cause any problems asboth speakers know Indonesian. In fact, it is a way of showing respect to another speaker.

Below are some extracts of conversations by one speaker in Parepare, Haji Erna (HE, 29),which show the tendency of choosing Indonesian or Bugis for the sake of respecting differentinterlocutors.

Page 93: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

93

Extract 7: Asking a becak driver

In this extract, Haji Erna was speaking to an older becak ‘pedicab’ driver, Sanu (S, 55) in Bugis.She was bargaining about the price to get to Lasinrang street.HE: tassiaga lokka di Lasinrang?

‘How much to pay to go to Lasinrang [a name of street]’S: tellusse’bu

‘Three thousand rupiah’HE: dua se’bbuna di’?

‘just two thousand, okay?’

HE used Bugis, tassiaga lokka di Lasinrang? ‘how much to pay to go to Lasinrang?’ toask the driver. When they agreed on the price, she turned to me and said in Indonesian, duaribu kak ‘two thousand, kak’. When I asked why she used Bugis with the driver, she stated thatit was mainly because she was talking to an older person whom she had to respect, despite herhigh status as a teacher and a hajj.

Extract 8: A mother and a daughter

The daughter, Haji Erna (HE, 29) is a teacher and has high educational background was talkingto her mother, Haji Samsidar (HS, 59).HE: tajenni sinring, tajenni @@

‘Wait for Sinring, just wait@@’HS: nengka makkeda tajenni Sinring

‘Why [did he] say wait for Sinring?’HE: dé’, ku karo siruntu’ ku warung sé’dié riolona sikolaé makkedaka maga ngaré’toi oroané

ta’pa...‘No. there is one there. I met at the shop in front of my house I said what happened to thatman so he becomes...’

The important thing to note in the above extract is the use of Bugis language, althoughHE uses Indonesian, most of the time both in formal and informal situations. This is influencedby her need to signal her respect to her mother and the informality of the situation.

Extract 9: Talking about jobs at home

Marwiah (W, 27) and Haji Erna (HE, 29) were talking at Pak Haris’s house about therequirements for teachers to get further promotion. Pak Haris (H, 52) is a supervisor of theschool in Parepare. Marwiah and HE are teachers who will have to get further promotion andwill be supervised by Pak Haris.H: itu di- disana itu di..SMK itu banyak kenal saya

‘there at..at SMK [Sekolah Menengah Kejuruan-—Vocational School], many peopleknow me’

HE: hm..H: termasuk kepala sendiri, Pak Fatahuddin, Saya yang memegang kunci

‘Including the school principal, Pak Fatahuddin. I hold the key’W: Pak Fatahuddin? Iya..

‘Pak Fatahuddin? Yes..’H: sekarang sudah diampra itu!

‘Now [the promotion form] has been scheduled’

HE: sudah dibuatmi Pak? Nama saya termasuk diantaranya kemarin. Ada sedikitmasalah dengan ijazah S2-nya‘It is already done Pak. My name was included yesterday. There was a little problem withmy S2 [master] certificate’

H: oh, iya‘Oh yes’

Page 94: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Murni Mahmud

94

HE: belum di.. apa? Dilegalisir. Persoalannya, kalau mau dilegalisir mesti diAustralia @@, jama-jamang‘the certificate] has not been..umm.. legalized. The problem if I want to legalize it, itshould be in Australia. It causes too much work’

The extract above was an example of a conversation in an informal setting in Parepare.Besides the influence of the topic, the choice of Indonesian in the whole conversation was muchinfluenced by the social status of the speakers. Both speakers, Haji Erna and Pak Haris, despitetheir age differences, have similar backgrounds in terms of education and occupation, andIndonesian is certainly known by both of them.

As explained before, Bugis people use a typical informal Indonesian, a mixture of Bugisand Indonesian or the inclusion of Bugis words or expressions in Indonesian. The othercharacteristics is the use of Bugis pronouns, in which the Bugis pronouns added to Indonesiancan encode more polite language. See the two examples below:

Extract 10: A research assistant

HE was talking to Marwiah (W, 27) about my need for a research assistant. They are both highschool teachers and close friends. HE asked Marwiah if she was available to become myresearch assistant and discussed the payment for her.HE: ajukanki’ bédéng penawaran brapa mau dibayarki’?

‘we [i.e. you] make a request anyway, how much are we [i.e. you] going to be paid?’W: (to Haji Erna and me) wéé, kak! Janganmi..

‘kak [older sister!]! there is no need [to be paid]’

HE asked Marwiah to say how much salary she wanted for each month as my researchassistant. She used the Bugis pronoun ki’ in ajukanki’ and dibayarki’ in her mainlyIndonesian. Although both speakers are friends, and HE was senior in age and status, she useddistant pronouns. This was influenced by my presence as a researcher; the conversation wasdirected to me. In the above extract, the Bugis pronoun –ki’ was added to HE’s Indonesian,which made her speech more polite. Compare, for example, when HE said kamu ajukan orkamu dibayar, in which Indonesian pronoun kamu was used. The use of kamu, the Indonesianpronoun is not polite in that context. The use of Bugis pronoun –ki could make HE’s utterancewas more polite than when she used Indonesian at all. As explained before this is a typicalBugis Indonesian used in daily conversation. Even in more formal settings, Bugis pronouns canbe mixed with Indonesian to make speech more polite. See extract 10 below:

Extract 11: Agreeing to swap classes

HE was talking to Pak Bakri (B, 37), her male colleague, in the school about the need to swaptheir classes. Pak Bakri asked if he could teach in the first section because his subject was sportwhich may be dangerous for students to conduct in later hours.B: saya mau bawa ke (lapangan)

‘I want to take [the students] to the field [for sport]’

HE: (oh boleh-boleh)‘yes, okay, okay’

B: karena atletik kalau dengan lari jam-jam sembilan bah- resikonya besar, (bisa-bisa dia..)‘because [for] athletics, running at nine o’clock carries a huge risk, they can [get hurt]’

HE: (éh, iya-iya), oh, jadi pariwisata dua olahraga, jam olahraga itu?‘yes, yes! oh, so, class two tourism has sport class, is it time for sport ?’

B: iya jam pertama‘yes, the first hour’

HE: bisa-bisa‘okay’

Page 95: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

95

B: supaya langsung saja, lagi pula materinya ndak (terlalu anu)‘so it can be done directly [I can teach them sport directly], and also the materials are nottoo much’

HE: (oh iya), udah selesaimaki’‘oh, yes, have you finished it?’

B: iyé’ saya tinggal itu‘yes. I have left [the students] there’

HE: kalau mauki’ ambil waktu agak lama bisaji‘if we [i.e. you] are going to take more time, it is okay too’

In the above extract, HE could have used Indonesian pronouns as a whole showing herstandard Indonesian by saying kamu udah selesai? or kalau kamu mau? However, theselatter expressions sounded less polite and in order to make it more polite, the speaker HE addedBugis pronoun –ki to her Indonesian. This can be seen in udah selesaimaki’ ‘Have youfinished it?’ and in kalau mauki’ ‘If we [i.e. you] are going’.

The use of Bugis pronouns in addition to Indonesian that can be seen in extract 10 and 11above is a strategy of to be polite by Bugis people. Therefore, Bugis people who need to bepolite may choose this Bugis-Indonesian to talk.

CONCLUSION

In this paper, I have explored the tendency of using Bugis language and Indonesian by Bugispeople and its relation to the possibility of language change in Bugis society. This is based onthe fact that in today’s Bugis society, Indonesian is mostly used rather than Bugis languages intheir daily conversations. This phenomenon particularly happened among the youngergenerations in the urban area of my fieldwork.

In the two different Bugis communities I observed, there is a different pattern of theirlanguage use. Bugis is mostly used in rural area whereas Indonesian is mostly used in urbanarea. However, influenced by some reasons, they may switch to either Bugis or Indonesian.Some of those reasons are the type of activity, the need to emphasize ideas, and the topics beingdiscussed, and some aspects of the speakers’ background such as their level of familiarity, theirage, profession, and social status.

These language choices may question about the future of Indonesian and Bugis languageamong Bugis people. In the urban area, Indonesian is mostly used whereas in the rural areawhere Bugis language is dominant, Bugis speakers also preferred using Indonesian in severalsituations. One of the reasons for using Indonesian is the need to be maju ‘modern’. It isimportant for them to keep track on modern development. The use of Indonesian in this case isan important media for not being left behind, which is influenced by recent development ofinformation, education, and technology. Therefore, in both observed areas, Indonesian is mostlyused in the conversations between children and parents or among younger generations in orderto keep track on those modern development.

These phenomena may trigger the possibility of language change in Bugis society. It isquestioned whether Bugis language will become an endangered language and possibly willextinct in the future. Based on the result of the research, however, it is found that althoughIndonesian is mostly used among younger generations. Bugis will not be endangered. Bugislanguage is still used by many speakers to be polite and respectful. In the urban area, forexample, where Bugis speakers mostly use Indonesian, the need to be polite and to preserve theBugis identity encourage Bugis speakers to use Bugis instead of Indonesian. In severalsituations in the rural and urban area, the use of Bugis is more acceptable than Indonesian.Speaking to different interlocutors, familiarity, and context of the conversations may lead to theuse of Bugis rather than Indonesian. Even if they have to use Indonesian, the use of Bugisdialects or Bugis words (e.g. Bugis pronouns) in addition to their Indonesian is still noticeablein order to be polite. In fact, the use of Indonesian, Bugis or mixed Bugis-Indonesian can

Page 96: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Murni Mahmud

96

become a symbol of national and regional identity of Indonesian people which contributes to therich and unique characteristics of Indonesian society.

NOTE

* The author would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.

REFERENCES

Buchori, Mokhtar. 1994. Sketches of Indonesian Society: A Look from within. Jakarta: IKIPMuhammadiyah Jakarta-Press and The Jakarta Post.

Errington, J. Joseph. 1986. ‘Continuity and Change in Indonesian Language Development’, TheJournal of Asian Studies, 45(2): 329-353.

Errington, J. Joseph. 1998, Shifting Languages: Interaction and Identity in JavaneseIndonesian, Cambridge University Press, UK.

Grimes, Charles E., and Barbara D. Grimes. 1987 Languages of South Sulawesi. Canberra:Research School of Pacific Studies.

Grosjean, Francois. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism.Cambridge: Harvard University Press.

Hugo, Graeme J. 1982. ‘Circular Migration in Indonesia.’ Population and Development Review8(1): 59-83.

Mahmud, Murni. 2008. ‘Speaking Bugis and Speaking Indonesian in Bugis Society’. RIMA(Review of Indonesia and Malay Affairs), Volume 42, number 2 2008, pp: 67-92.

Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Cambridge, Massachussets: Blackwell Publishers.

Quinn, George. 2006. ‘Bahasa Indonesia: The Indonesian Language’,<http://www.hawaii.edu/indolang/malay.html>, Accessed 3 October 2006.

Sneddon, James. 2003, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, AUNSW Press Book, Kensington NSW.

Wei, Li. 1998. ‘The 'Why'' and 'How' Questions in the Analysis oof Conversational Code-Switching.’ In Peter Auer (ed.). Code-switching in conversation: language, interaction,and identity. USA and Canada: Routledge, pp 156-176.

Murni [email protected] Universitas Negeri Makassar

Page 97: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 97-99

Resensi Buku

Judul : Language Testing and Assessment: an Advanced Resource BookPenulis : Glenn Fulcher dan Fred DavidsonPenerbit : London: Routledge. 2007Tebal : 403 halaman

Patrisius Istiarto DjiwandonoUniversitas Ma Chung

PENDAHULUAN

Pertanyaan paling krusial dalam tindakan mengetes kemampuan berbahasa senantiasa berkisarpada seberapa yakin kita bisa mengklaim bahwa skor yang kita peroleh dari seorang pebelajarmencerminkan kecakapan berbahasanya. Pertanyaan ini sederhana, namun untuk menjawabnyadiperlukan penguasaan konsep-konsep yang matang tentang tes, dan lebih penting lagi adalahpenyikapan yang tepat terhadap tes dan segala kompleksitasnya. Buku yang ditulis oleh duapakar tes bahasa ini menyingkap sedikit lebih lebar cakrawala kajian kritis di balik konsep-konsep tradisional tes

ISI BUKU

Buku yang cukup tebal (404 halaman) ini memilah gagasan besar tentang tes bahasa ke dalam 3bagian, yakni Section A, B dan C. Bagian pertama memperkenalkan konsep-konsep kuncidalam tes bahasa, berlanjut ke artikel-artikel ilmiah dari para pakar yang menancapkan tonggak-tonggak bangunan teoretis bidang tes bahasa, dan berujung pada bagian terakhir yang berisikegiatan-kegiatan berorientasi praktis evaluatif yang mengajak pembaca bersifat kritis terhadapbeberapa masalah tes bahasa. Susunannya yang demikian membuatnya cocok untuk pembacayang tidak sekedar hanya ingin menelaah muatan teoretis namun juga ingin mendalami teknik-teknik pengembangan tes bahasa dengan segala kompleksitasnya.

Para penulis mengawali uraiannya dengan konsep kunci yang senantiasa menjadi elemenutama dalam setiap upaya pengukuran, yakni kesahihan (validitas). Setelah sejenakmemamparkan konsep-konsep validitas yang sudah umum dikenal, mereka mengupas konsepyang dianjurkan oleh Samuel Messick. Tidak seperti pandangan tradisional yang cenderungfragmentaris, Messick berpendapat bahwa konsep validitas adalah konsep terpadu yangmenyatukan kerangka teori dengan data empiris untuk menelurkan satu perampatan yang dapatdipertanggungjawabkan tentang skor yang diperoleh pada suatu tes bahasa. Messick bahkanmenganggap penting untuk mempertimbangkan konsekuensi apa yang dihadapi oleh masyarakatluas sehubungan dengan penafsiran seperangkat skor dari suatu tes bahasa. Pesan penting daribagian ini adalah bahwa sebagaimana upaya memastikan kesahihan penafsiran suatu tes adalahproses yang berkelanjutan, demikian pula konsep tentang validitas itu berkembang dari waktuke waktu. Semakin ke depan, pengembangan konsepnya pun semakin meluas pada dampakpenafsiran terhadap masyarakat yang menggunakan suatu sistem tes bahasa.

Bagian berikutnya dengan jeli mengupas perbedaan antara tes skala besar dengan tindakinstruksional di kelas. Tes skala besar seperti TOEIC atau TOEFL umumnya berorientasinorma, sementara tindak instruksional di kelas kebanyakan berorientasi pada penguasaantujuan-tujuan belajar. Lebih jauh lagi, jika tes skala besar sangat mengutamakan obyektivitas,independensi antar butir, kemandirian peserta, diskriminasi kemampuan oleh butir-butir tes, danmasa keajegan kemampuan (setidaknya 2 tahun), maka praksis pembelajaran di kelas lebihmengutamakan pengenalan mendalam sang guru terhadap muridnya, keterkaitan antar kegiatan-kegiatan belajar, kolaborasi antar pemelajar, perlakuan yang jauh dari diksriminatif untuk semua

Page 98: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Patrisius Istiarto Djiwandono

98

pemelajar dengan masing-masing tingkat kecakapannya, dan upaya untuk secepatnyameningkatkan kecakapan pemelajar. Pada satu titik, perbedaan ini harus disadari dan disikapidengan bijaksana oleh para pendidik sehingga tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagicita-cita pembelajaran.

Pembahasan pada unit berikutnya memantapkan model-model kecakapan komunikatifatau kompetensi komunikatif, yang berturut-turut dipaparkan secara kronologis. Uraian berawaldari model terdahulu, yakni oleh Canale dan Swain pada era 1980an, Bachman dan Palmer ditahun 1990, dan Celce Murcia dkk di pertengahan dekade 90 an. Yang menarik dari kesemuamodel ini adalah bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi performance atau penggunaanbahasa senantiasa diperhitungkan. Pada gilirannya, model-model ini menjadi penting sebagailandasan utama dalam membuat penafsiran yang benar tentang hasil suatu tes bahasa.Kekurangan dari Unit ini adalah terputusnya alur pikir dari Unit 1. Seharusnya, dari segiketerkaitan pesan, Unit 3 ini sebaiknya melanjutkan Unit 1 tentang penyikapan yang tepatterhadap konsep validitas, kemudian beranjak pada tataran yang lebih praktis tentangpembelajaran sebagaimana diungkap di Unit 2.

Unit 4, 5 dan 6 mengupas secara terperinci bagaimana menulis soal dan menentukantugas dalam tes bahasa sampai pada pembuatan prototipe tes. Unit ini diawali dengan konsepkunci tentang spesifikasi tes, yang ternyata lebih dari sekedar daftar tentang jumlah soal, bentuksoal, alokasi waktu dan kunci jawaban. Sebuah spesifikasi tes yang baik memungkinkan oranglain membuat tes dengan isi yang berbeda namun dengan tingkat kesulitan dan tujuan yangsama. Pada Unit 5 kedua penulis dengan lugas membongkar anggapan yang sudah relatifberakar tentang konsep authenticity dan format pilihan ganda. Dengan berpijak pada konsepEvidence-Centred Design (ECD), mereka berpendapat bahwa yang terpenting adalah bagaimanapenalaran yang meyakinkan digunakan untuk mendukung penafsiran suatu hasil tes. Ini hal baruyang patut disimak oleh pemerhati dan pakar tes bahasa, yang selama ini mungkin sudah merasanyaman dengan konsep authenticity dan tes langsung atau tes tak langsung.

Unit A7 mengupas berbagai pendekatan dalam penskoran tes, termasuk pendekatanklasik dan pendekatan Teori Respons Butir yang lebih berdaya dalam mengatasi kelemahanpendekatan tradisional. Hal baru yang pantas disimak disini adalah bagaimana menentukan skorambang (cut score) dengan metode berpusat pada tes dan metode berpusat pada pemelajar. Inimasih ditambah dengan kajian kritis terhadap skala yang dipopulerkan oleh The CommonEuropean Framework of Reference. Namun sayang, konsep-konsep yang relatif berat inidipadatkan hanya dalam 15 halaman, sehingga pembaca yang belum menguasai benar konsep-konsep analisis butir tes secara tradisional akan sedikit kewalahan untuk memahami unit inidengan tuntas. Pengupasan yang lebih terperinci seperti oleh McNamara (1996) mungkin akanmembantu pemahaman tentnag Teori Respons Butir, sementara analisis tradisional terhadapbutir tes bisa dimantapkan dengan membaca karya Brown (1996).

Dua unit berikutnya membahas aspek administratif dan etika yang terasa agak menjauhdari fokus ketika pembaca sampai pada Unit 10, yaitu tentang argumen untuk mendukungkesahihan interpretasi hasil tes. Sekali lagi, rasanya akan lebih baik Unit 10 disajikan segerasetelah uraian padat tentang berbagai pendekatan dalam penskoran tes. Unit 10 sendiri secarapanjang lebar menguraikan bagaimana membangun argumen untuk memastikan kesahihaninterpretasi hasil tes, bahkan juga ketika menentukan spesifikasi tes. Berpijak pada konsepToulmin tentang argumen, bagian ini benar-benar mengandalkan logika berpikir yang jauhmelebihi sekedar menyimak paparan angka-angka statistik. Sekali lagi inti pesan tentangketidaklanggengan validitas penafsiran diulang disini: bahwa penafsiran suatu hasil tes sejatinyahanya sahih untuk konteks tertentu dan dalam kurun waktu tertentu selama ada bukti danbangunan teori yang relevan dan mendukungnya.

Section B menyajikan artikel-artikel yang menandai lahirnya tonggak-tonggak pentingdalam perkembangan ilmu tes bahasa. Dua artikel pertama menelaah konsep validitas dan

Page 99: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

99

penerapan konsep validitas dalam pembelajaran kelas, disusul beberapa artikel penting lainnyamulai dari konsep kompetensi komunikatif, spesifikasi tes, sampai argumen sebagai kekuatanvaliditas. Artikel utama disajikan dalam beberapa penggalan, dan diselingi dengan pertanyaanreflektif dan tugas praktis yang mengajak pembaca menerapkan konsep-konsep tersebutsekaligus mengkritisinya. Salah satu bagian mengupas makalah Alderson dan Wall pada tahun1993 yang dengan sangat kritis meninjau konsep washback (pengaruh tes terhadap praksispembelajaran oleh guru) dan berujung pada argumen bahwa konsep tersebut adalah sematamasalah penyikapan publik, bukan ciri inheren suatu tes sebagaimana sering disuarakan.Dengan tatanan yang selaras dengan Section A, bagian ini dimaksudkan membantu pembacamenjembatani pengetahuan mereka tentang latar belakang teori dan penerapannya secara nyata.

Section C berorientasi sangat praktis dengan menyuguhkan kasus-kasus seputar tesbahasa kemudian mengajak pembaca menggumuli pertanyaan-pertanyaan yang bermuara padatindak penelitian atau kajian analitis dan argumentatif tentang masalah-masalah krusial dalamkasus tersebut. Sebagian besar kasus dan pengantar ke soal mengacu pada beberapa bagian yangmemuat teori-teori penting di kedua Section sebelumnya, sehingga terasa sekali salingketerkaitan antar Section di buku ini.

KOMENTAR

Secara keseluruhan, buku ini tidak menjanjikan teknik statistik canggih untuk membangun ataumenganalisis tes bahasa, namun lebih banyak menawarkan gugusan teori fundamental danpenyikapan yang tepat terhadap hasil tes bahasa. Dengan konfigurasi materi yang sedemikianpadat dengan kajian teori, buku ini pantas disimak oleh pakar-pakar tes bahasa yang inginmelihat lebih jauh daripada sekedar taburan angka-angka hasil analisis statistik, jauh ke arahimplikasi sosial suatu tes, bahkan sedikit menukik pada perenungan filosofis di balik tindakantes kecakapan berbahasa.Sifat isinya yang sedemikian sarat dengan paparan teori fundamental dan tinjauan kritisterhadap konsep-konsep umum pengetesan membuat buku ini cocok untuk para pemikir,penyusun kebijakan tentang tes, atau peneliti yang khusus bertekun dalam dunia pengetesanbahasa. Oleh karena itu, tepatlah sub judul yang dipakai oleh kedua penulis, yakni “an advancedresource book”. Seorang praktisi tes bahasa yang sudah sedikit banyak menguasai prinsip-prinsip dasar tes bahasa akan memperoleh sudut pandang baru yang jauh lebih dalam dan lebihkritis ketika membaca buku ini.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, J. D. (1996). Testing in language programs. New Jersey: Prentice Hall.McNamara, T. (1996). Measuring second language performance. Harlow, Essex: Addison

Wesley Longman.

Patrisius Istiarto [email protected] Ma Chung

Page 100: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik IndonesiaTahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 101-103

Resensi Buku

Judul : World Englishes the Study of New Linguistic Varieties.Key Topics in Sociolinguistics

Penulis : Rajend Mesthrie dan Rakesh M. BhattPenerbit : New York: Cambridge University Press. 2008Tebal : 276 halaman

RianiBalai Bahasa Yogyakarta

PENDAHULUAN

Bahasa Inggris telah mendunia menjadi bahasa internasional. Perkembangan bahasa Inggrismenjadi bahasa internasional dimulai dengan masa kolonialisme. Pengaruh kolonialisme danimprelialisme tidak hanya dari segi politik dan kekuasaan saja tapi juga mempengaruhipenggunaan bahasa Inggris. Pemakaian bahasa Inggris sedikit-sedikit mulai mengalamipergeseran dan adaptasi dengan budaya dan bahasa masyarakat tempat kolonialisme.

Era globalisasi informasi melalui media internet turut juga memberikan sumbangan besarterhadap perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Perspektif variasilinguistik semakin kaya akan corak dan warna yang diakibatkan dengan sentuhan-sentuhanbudaya dan bahasa setempat melalui teknologi informasi. Buku ini menyoroti secara sekilasperkembangan bahasa Inggris yang diakibatkan era globalisasi. Selain itu, buku ini secarakhusus membahas perkembangan bahasa Inggris di daerah kolonial Inggris: Afrika Barat danTimur, Kepulauan Karibia dan Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Perkembangan bahasa Inggris dianggap telah mengalami metamorfosis akibat sumbanganberbagai variasi di bidang morfologi dan struktur, pola penggunaan, kosa kata dan aksen.Kemetamorfosisan bahasa Inggris ditandai dengan banyaknya variasi bentukan bahasa Inggrisseperti bahasa Inggris Singapur, Inggris India, Ingris Malaysia dan lain-lain. Dari berbagaivariasi ini memunculkan istilah baru yaitu new Englishes yang mensimbolkan bahasa Inggristidak lagi memiliki satu bentuk dari barat tapi bahasa Inggris telah menjadi milik dunia denganberbagai variasi-varisi linguistik yang unik sumbangan dari berbagai budaya, bahasa dan sosiallokal khususnya dari Asia dan Afrika.

ISI BUKU

Buku ini terdiri dari tujuh unit dengan dilengkapi dengan glosarium, ilustrasi dan tabel-tabel.Selain itu, pada akhir setiap bab dilengkapi dengan pertanyaan. Pertanyaan ini bermanfaat bagipenelitian lebih jauh dan untuk memperdalam topik yang disajikan pada setiap unit. Di setiapunit juga diberikan referensi bahan bacaan yang diacu pada unit bersangkutan untuk memberiinformasi tambahan pada pembaca untuk memperdalam topik bahasan.

Pada unit satu diuraikan tentang sejarah perkembangan bahasa Inggris. Bahasa Inggrisdipandang sebagai bahasa yang kompleks dengan menyoroti peranan bahasa Inggris dalamtopik sejarah linguistik, makro-sosiolinguistik, studi politik dan ideologi, dan studi budaya danliterasi. Selanjutnya, pada unit ini juga dibahas asal mula dan definisi istilah Englishes dandisertai dengan berbagai variasinya ditinjau dari aspek sosiolinguistik dan pengajaran bahasaInggris sebagai bahasa kedua. Pada bagian akhir bab ini dibahas sekilas tentang kontroversidalam pembelajaran bahasa Inggris yaitu antara istilah native speaker (penutur asli) dan nonnative speaker (bukan penutur asli).

Pada unit dua dibahas tentang ciri-ciri struktural dari New Englishes ditinjau dari aspekmorfologi dan sintaksis frase. Sebelum mengungkap keanekaragaman variasi, diuraikan terlebih

Page 101: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Riani

102

dahulu metode penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan ciri-ciri struktural morfologidan sintaksis frase. Selanjutnya dibahas tentang istilah-istilah dan bidang-bidang studi yangberkaitan dengan variasi ciri-ciri struktural. Disingung pula variasi ciri-ciri struktural morfologisdan sintaksis pada frase kata benda, kata kerja dan kata fungsi yang lainnya.

Unit tiga masih merupakan kelanjutan pembahasan pada unit dua yaitu ciri-ciri strukturalNew Englishes yang mengkhusukan pada sintaksis klausa- silang dan teori sintaksis. Unit inimencakup tentang ciri-ciri variasi linguistik pada susunan kata, klausa relatif, bentuk pasif,perbandingan, dan lain-lain. Selain itu dibahas juga teknis-teknis statistik untuk mengungkapkanpola-pola sosial dan struktural dalam New English. Unit empat juga melanjutkan bahasan padaunit tiga dengan fokus pembahasan pada leksis dan fonologi. Pada bagian ini dibahas tinjauanringkas mengenai pengaruh leksis kosa kata Afrika dan Asia terhadap pembendaharaan kosakata bahasa Inggris. Pengaruh fonetik dan fonologi lokal Asia dan Afrika berkembang menjadivarian-varian baru fonetik dan fonologi bahasa Inggris yang unik.

Unit lima membahas tentang pengaruh budaya dan nilai lokal terhadap bentuk pragmatikdan wacana bahasa Inggris baru. Pengaruh ini memberikan perubahan dalam fungsi-fungsipragmatik yang meliputi partikel wacana, tindak tutur dan struktur wacana. Sehingga produksisosial wacana ataupun pragmatik lebih mencerminkan bahasa Inggris lokal yang telahdiadaptasikan norma-norma linguistik dari komunitas multilingual setempat.

Unit enam membahas tentang isu-isu kontak bahasa dan pemerolehan bahasa dalampenelitian bahasa Inggris Baru. Permasalahan pemerolehan bahasa muncul dari kondisipembelajar yang berada dalam lingkungan bilingualisme tapi dikondisikan untuk menguasaibahasa Inggris seperti kemampuan penutur asli dengan tidak mengidahkan varian-varianlinguistik yang mempengaruhi bahasa Inggris baru. Sehingga kondisi ini memunculkankesenjangan paradigma anatara teori dan implementasi pemerolehan bahasa dengan varian-varian baru bahasa Inggris baru. Dari kesenjangan tersebut mendorong adanya inovasi-inovasiteori pemerolehan bahasa dengan mempertimbangkan varian-varian baru aspek linguistikbahasa Inggris baru. Permasalahan lain yang juga didiskusikan adalah tingkat kontak bahasa dantransmisi bahasa lokal dengan bahasa Inggris. Cakupan diskusi meliputi penelitian historisbahasa Inggris baru yang digunakan oleh pelaut, misionaris, tentara, dan guru.

Unit tujuh mengungkapkan trend-trend dalam penyebaran bahasa Inggris di dunia.Aspek-aspek yang dibahas adalah beberapa permasalahan dalam bidang pendidikan sertabidang-bidang lainnya misalnya dalam komunikasi udara, perubahan bahasa Inggris di Eropa,perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa yang digunakan dalam perusahaan internasional.Selain itu, penyebaran bahasa Inggris bersinggungan dengan retensi bahasa internasionallainnya seperti bahasa Cina dalam kaitannya dengan imperialisme budaya.

KOMENTAR

Buku ini lebih bersifat pengantar untuk penelitian mengenai pengaruh varian-varian linguistiklokal terhadap bahasa Inggris. Pengaruh ini menciptakan bahasa Inggris baru (new Englishes)yang mempengaruhi paradigma pengajaran bahasa Inggris khususnya di daerah Asia dan Afrika.Perkembangan dan penyebaran bahasa Inggris tidak terlepas pula dari pengaruh budayasetempat sehingga kondisi tersebut menjadi lahan yang kaya untuk diteliti dalam kajiansosiolinguistik. Buku ini juga memperkaya kajian sebelumnya tentang trend perkembanganbahasa Inggris oleh David Crystal dalam bukunya English as a Global Language. Kemungkinantrend yang mungkin terjadi adalah bahasa Inggris lebih bersifat lokal karena pengaruh-pengaruhdari kontak bahasa dengan bahasa lainnya di dunia. Selain itu, buku ini bermanfaat bagi gurubahasa Inggris untuk mengetahui trend perkembangan bahasa Inggris dan variasinya. Denganmemahami berbagai permasalahan dan trend perkembangan bahasa Inggris baru memungkinkanguru untuk menerapkan inovasi-inovasi terbaru dalam teori pemerolehan bahasa denganmempertimbangkan keunikan variasi-variasi unik linguistik bahasa Inggris baru.

Page 102: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010

103

DAFTAR PUSTAKA

Crystal, David. 2003. English as a Global Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Tagliamonte, Sali A. 2006. Analysing Sosiolinguistics Variation. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

[email protected] Bahasa Yogyakarta

Page 103: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan

FORMAT PENULISAN NASKAH

Naskah, yang diketik dengan menggunakan MS Word, dikirimkan ke Redaksi, melaluie-mail [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjangnaskah, termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman,dengan spasi rangkap.

Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan diletakkan setelah judulnaskah dan afiliasi penulis. Abstrak untuk naskah dalam bahasa Indonesia ditulis dalambahasa Inggris; abstrak untuk naskah bahasa Inggris ditulis dalam bahasa Indonesia.

Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnyalebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, diberi indensisepuluh huruf, centered, dan tanpa tanda petik.

Nama penulis yang disitir atau dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut:nama akhir penulis, tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan). Misalnya,(Radford 1997), (Radford 1997:215). Daftar pustaka ditulis berdasarkan abjad denganurutan berikut:

Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahunpenerbitan, (6) titik, (7) judul buku dalam huruf miring, (8) titik, (9) kota penerbitan,(10) titik dua/kolon, (II) nama penerbit, dan (12) titik. Contoh:

Hutabarat, Samuel. 1995. Pemerolehan Fonem Bahasa Batak Karo pada Anak-anakUsia Tiga Tahun. Jakarta: Gramedia.

Gass, Susan M. dan. Jacqueliyn Schachter, eds. 1990. Linguistic Perspectives onSecond Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Untuk artikel: (I) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahunpenerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petiktutup, (11) nama jumal dalam huruf miring, (12) volume, (13) nomor, dan (14) titik.Bila artikel diterbitkan di sebuah buku, berilah kata "Dalam" sebelum nama editor daribuku tersebut. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalam lema tersendiri.Contoh:

Gleason, Jean Berko. 1998. "The Father Bridge Hypothesis." Journal of ChildLanguage, Vol. 14, No.3.

Wahab, Abdul. "Semantik: Aspek yang Terlupakan dalam Pengajaran Bahasa." DalamDardjowidjojo, 1996.

Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada akhir halaman (footnote).

Page 104: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 01 Feb 2010... · 2015-03-16 · dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan