Top Banner
105

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Mar 10, 2019

Download

Documents

VuHanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada
Page 2: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIADidirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)

merupakan organisasi profesi yang bertujuanmengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa.

PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIAKetua : Faizah Sari, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaWakil Ketua : Rindu Parulian SimanjuntakSekretaris : Siti Wachidah, Universitas Negeri JakartaBendahara : Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

DEWAN EDITORUtama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaPendamping : Faizah Sari, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaAnggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty,University of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; TimMcKinnon, Jakarta Field Station MPI; A. Chaedar Alwasilah, Universitas PendidikanIndonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah,Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik IndonesiaAtma Jaya; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, UniversitasUdayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar,Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; YassirNasanius, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, SydneyUniversity, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono,Universitas Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

JURNAL LINGUISTIK INDONESIALinguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasiberdasarkan SK Dirjen Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010, 1 November 2010. Jurnalilmiah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannyaumumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secaraperseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 125.000 (anggota dalamnegeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeriadalah Rp 150.000 dan luar negeri US$50 per tahun.

Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.e-li.org dikirim keRedaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakangsampul jurnal.

ALAMATMasyarakat Linguistik IndonesiaPusat Kajian Bahasa dan BudayaUniversitas Katolik Indonesia Atma JayaJI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesiae-mail: [email protected], Tel./Faks.: +62 (0)21 571 9560

Page 3: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Daftar Isi

Budaya Inti, Sikap Bahasa, dan Pembangunan Karakter Bangsa:Kasus Penutur Bahasa-Bahasa Daerah Utama di IndonesiaE. Aminudin Aziz .............................................................................. 115

Plagiarisme dalam Kata-Kata Mahasiswa:Analisis Teks dengan Pendekatan FungsionalSiti Wachidah ................................................................................... 141

The Sentence Connectors in Academic English and IndonesianYassir Nasanius ............................................................................... 155

Adakah Konsep Finit dalam Bahasa Sunda?Eri Kurniawan .................................................................................. 171

Exploring Power and Solidarity Semantic in Translationof Cultural Terms of Address in the BibleFrans I Made Brata ......................................................................... 187

Resensi:Editor: Kecskes, Istvan; Linguistic Politeness Research GroupDiscursive Approaches to Politeness

Diresensi oleh Mahardhika Zifana .............................................................207

Jelajah Linguistik:Klausa Kecil dalam Bahasa Indonesia

Yassir Nasanius ..........................................................................................209

Bincang antara Kita dari Dunia Maya:Ihwal Afiks Penanda Gender Bahasa Indonesia ..............................211Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia .....................................212

Indeks ......................................................................................................... 215

Page 4: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 115-139 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

BUDAYA INTI, SIKAP BAHASA,DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA:

KASUS PENUTUR BAHASA-BAHASA DAERAH UTAMADI INDONESIA

E. Aminudin Aziz*Universitas Pendidikan Indonesia

[email protected]

AbstrakAda tiga hal yang dibahas dalam tulisan ini, yakni nilai budaya inti, sikap danpemertahanan bahasa, dan pembangunan karakter. Dengan menggunakan teori yangdicetuskan oleh Smolicz dan Secombe (1985), pada penelitian yang dilaporkan di tulisanini dikembangkan sebuah kerangka instrumen yang memungkinkan kita memahami nilaibudaya inti para responden. Mereka berasal dari penutur empat bahasa utama diIndonesia, yakni Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, dan berpartisipasi secara sukarela.Masing-masing diberi angket dan apabila diperlukan akan diwawancarai untukklarifikasi lebih lanjut tentang jawaban-jawaban yang mereka telah berikan. Analisismenunjukkan bahwa setiap kelompok memandang nilai budaya inti mereka secaraberbeda-beda. penutur bahasa Jawa meyakini bahasa Jawa adalah nilai budaya intimereka. Untuk menjadi orang Sunda yang sesungguhnya, para responden menyatakanbahwa orang Sunda harus tinggal di Tatar Pasundan, memeluk agama Islam, dan dapatbertutur dalam bahasa Sunda. musik tradisional kecapi suling dan Cianjuran budayaorang Sunda yang hakiki. penutur bahasa Minang memandang kemampuan untukmengapresiasi – melalui memasak dan menikmati — masakan tradisional Padang-lahyang menjadikan diri mereka sebagai orang Minang yang sesungguhnya. penutur bahasaBatak menyatakan bahwa mereka belum menjadi seorang Batak tulen kalau merekabelum mengetahui, merasa, dan benar-benar memahami cara dan gaya orang Batakbertutur, termasuk pada nada, irama, dan tekanan mereka dalam bertutur.

Kata kunci: budaya inti, jati diri, keindonesiaan

AbstractThis article addresses three main issues in relation to culture’s core values, languageattitude and maintenance, and character building. Using a theory previously developedby Smolicz and Secombe (1985), this study deviced instruments that enabled us tounderstand respondents’ perceptions about their culture’s core values. The respondentswere recruited voluntarily from four major speakers of local languages in Indonesia,including speakers of Javanese, Sundanese, Minangnese, and Bataknese. They weregiven a set of questionnaires and when relevant were interviewed to further clarify theirresponses. The analyses found that each group viewed their culture’s core valuesdifferently, i.e. Javanese see language as their core cultures. Sundanese believe that areal Sundanese will stay in the Sundanese Land, embrace Islam, and speak in Sundanese.They also regard traditional music of kecapi suling and Cianjuran as the real Sundaneseculture. On the other hand, Minang language speakers believed that it is the ability toappreciate — through making and tasting — traditional food that has made them trueMinangnese. Meanwhile, it is strongly believed that you cannot become a true Batakneseuntil you know, feel, and fully understand the ways people of Batak origins speak,including tone, pitch, and intonation.

Keywords: core-culture, characters, Indonesian-ness

Page 5: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

116

PENGANTARMerebaknya diskusi tentang pendidikan karakter di Indonesia akhir-akhir ini tidak dapatdilepaskan dari gelombang deras pengaruh globalisasi. Bukan hanya yang terkait denganperekonomian, globalisasi juga justru merambah ke relung-relung mikrokultur individu. Kitamenyaksikan, misalnya, jenis dan gaya pakaian yang dikenakan seseorang, makanan yangdisantapnya, dan perabot rumah tangga yang digunakannya sudah bukan lagi merefleksikansuasana lokal, melainkan sudah berganti ke gaya global. Hal yang sama kita juga temukan padajenis bahasa yang digunakan saat seseorang berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Di sini,pengaruh global tersebut juga jelas menandai cara berbahasa yang bersangkutan, di sampingjenis bahasanya tadi.

Bagi sebagian bangsa Indonesia, gejala tadi dipandang sebagai sebuah keniscayaan.Adaptasi, bahkan adopsi kebudayaan seperti itu merupakan bagian yang harus diterima olehmasyarakat sebagai dampak dari menguatnya interaksi dengan warga masyarakat lainnya,termasuk warga masyarakat global. Di sisi lain, tidak kurang warga masyarakat Indonesia yangjustru mengkhawatirkan model perubahan perilaku tadi, dan menunjuknya sebagai wujud daripenggerusan budaya leluhur, yang mereka yakini memiliki nilai-nilai luhur yang harussenantiasa dipertahankan.

Khusus yang terkait dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat penutur bahasa-bahasadaerah di Indonesia, perubahan pola dan perilaku para penutur tersebut setidaknya dapatdikaitkan dengan dua situasi kebahasaan yang mereka hadapi. Di satu sisi, para penutur bahasadaerah di Indonesia mesti berhadapan dengan tuntutan untuk menggunakan bahasa nasional,bahasa Indonesia, yang menjadi media komunikasi dalam layanan-layanan publik, sepertipendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya. Ketidakmampuan menggunakan bahasaIndonesia akan berdampak pada tereliminasinya yang bersangkutan untuk mengakses layanan-layanan publik yang dirancang dan bersifat ‘nasional’ itu. Sementara itu, tidak semua lapisanmasyarakat penutur bahasa daerah di wilayah Indonesia mampu berkomunikasi denganmenggunakan bahasa Indonesia, terutama generasi lanjut yang tinggal di pedesaan. Pada sisilain, bahasa Indonesia telah dideklarasikan sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia sejak28 Oktober 1928, di samping sebagai bangsa dan bertanah air Indonesia. Lalu, apakah hal iniberarti bahwa mereka yang belum bisa berbahasa Indonesia tadi menjadi “kurang Indonesia”?

Tantangan kedua yang harus dihadapi para penutur bahasa daerah (dan bahasaIndonesia) tadi adalah tuntutan untuk mempelajari dan menggunakan bahasa asing padaberbagai situasi komunikasi. Bukan hanya karena alasan instrumental, sering kali merekamenggunakan bahasa asing itu sebagai bentuk unjuk gengsi. Pada kondisi seperti ini, tidakjarang ditemukan gejala berbahasa berupa alih - atau ganti - kode. Tentu saja, pada situasimultilingual seperti di Indonesia ini, gejala-gejala berbahasa seperti itu akan dipandang wajar,apalagi ditambah dengan situasi dan tuntutan global seperti yang sudah disebutkan tadi.

Akan tetapi, masalah yang sebenarnya dipersoalkan sesungguhnya bukan melulu terkaitdengan dua tantangan situasi berbahasa tadi, yang memang dianggap wajar dan mesti dihadapioleh setiap penutur bahasa dalam situasi multilingual mana pun. Yang justru dipertanyakanadalah apakah perilaku berbahasa seperti itu justru telah menyiratkan lunturnya jati diri penuturbahasa-bahasa daerah (dan bahasa Indonesia) tentang bahasa (dan budaya)-nya? Makalah inimemaparkan sebuah hasil kajian pendahuluan terkait dengan persepsi para penutur bahasa-bahasa daerah tentang bahasanya dilihat dari konsep nilai budaya inti (culture’s core values)seperti pernah digagas oleh J.J. Smolicz dan M.J. Secombe (1985). Namun, berbeda dengankajian terhadap tiga bahasa utama, yakni Jawa, Minang, dan Batak, kajian dalam kasus bahasaSunda telah diikuti dengan kajian yang lebih intensif dan ternyata menghasilkan perspektif baru.Pada bagian akhir makalah ini disajikan bagaimana implikasi persepsi para penutur bahasadaerah tersebut terhadap pembangunan karakter masyarakat dalam kerangka pembangunan jatidiri nasional bangsa Indonesia.

Page 6: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

117

Bahasa Indonesia dan Nilai KeindonesiaanMerujuk pada fakta sejarah kelahiran bangsa Indonesia, setidaknya ada tiga situasi yang telahmembangun keindonesiaan masyarakat Indonesia. Pertama, bangsa Indonesia dibangkitkan darisituasi sebagai negara yang sedang dijajah. Sejarah panjang penjajahan di Indonesia yangmelewati lebih dari tiga abad oleh bangsa yang berbeda menyuguhkan data kepada kita akanmunculnya keanekaragaman sikap warga masyarakat terhadap bangsa-bangsa penjajah tadi. Adawarga masyarakat yang memilih kooperatif dengan penjajah, baik karena alasan ekonomi,sosial, maupun politik. Akan tetapi, tidak sedikit—dan ini justru yang jumlahnya jauh lebihbanyak—yang menentang lalu bertekad melawan para penjajah tadi. Yang mereka perjuangkanadalah kemerdekaan tanah air dan seluruh aspek kehidupannya. Situasi ini tentu sajamemberikan pengaruh yang berbeda kepada masing-masing kelompok dikaitkan denganpenemuan ciri dan jati diri keindonesiaan yang ingin dibangunnya.

Situasi selanjutnya adalah adanya keanekaragaman suku bangsa yang memiliki segalamacam nilai budaya, kearifan, dan nilai-nilai filosofi kehidupan yang berbeda-beda. Perbedaanperspektif, cara berpikir, dan bertindak yang dimiliki oleh masing-masing suku bangsa ini tidakjarang menjadi faktor yang sangat potensial menggagalkan cita-cita membangun satu Indonesiayang jaya. Kondisi ini tidak hanya muncul ketika bangsa Indonesia masih ada dalam situasisebagai negara terjajah, tetapi juga dapat ditemukan dan justru tampak lebih mengkhawatirkanpada situasi pascakemerdekaan, ketika (sebagian) otonomi diberikan kepada pihak pemerintahdaerah. Khusus terkait dengan politik dan perencanaan bahasa, misalnya, setiap daerahsepertinya berlomba untuk mengedepankan sentimen bahasa daerah, dengan dalih pemeliharaandan pemuliaan bahasa daerah. Akibatnya, keindonesiaan yang tengah dibangun sebagai sebuahkeutuhan dari bangsa Indonesia melalui bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara yang berfungsisebagai bahasa persatuan itu menghadapi ancaman yang tidak kurang bahayanya.

Keindonesiaan juga dibangun di atas fakta kebhinekaan bahasa. Ada lebih dari 700bahasa daerah yang hidup dan digunakan oleh masyarakat bangsa Indonesia. Bahasa-bahasadaerah tersebut tentu memiliki nilai ikatan emosional yang begitu tinggi dan kuat, serta amatberharga bagi para penuturnya. Tentu tidak mudah bagi siapa pun untuk melepaskan ikatanemosional para penutur ini, agar mereka serta merta beralih ke — dan menjadi penutur sejati —bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuanmelalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 merupakan gerakan yang sangat elitis parapemimpin organisasi pemuda (daerah) yang saat itu tengah berjuang gigih meraih kemerdekaan.Bagaimana pun, saat itu, istilah bahasa Indonesia belumlah dikenal luas, sebab yang ada adalahbahasa Melayu, yang memiliki fungsi sebagai lingua franca. Kekayaan budaya masyarakatlebih banyak ditulis pada bahasa daerah, bahkan perkembangannya jauh melebihi karya-karyayang ditulis dalam bahasa Indonesia. Kondisi seperti itu, sesungguhnya berpotensi kuatmenimbulkan sentimen negatif dari para penutur bahasa non-Melayu, mengingat jumlah penuturbahasa-bahasa daerah lain, seperti bahasa Jawa dan Sunda jauh lebih banyak. Ternyata,sentimen ini, walaupun sampai beberapa waktu lalu tidak begitu kentara, akhirnya muncul jugaketika Pemerintah memberikan otonomi kepada daerah.

Dari kondisi seperti itu, maka secara faktual akan relatif sulit untuk menentukan kadarkeindonesiaan yang bisa dijadikan indikator umum dan bisa digunakan untuk mengukur mana-mana dan apa yang sesungguhnya menggambarkan dan bisa disebut sebagai jati diri bangsaIndonesia itu. Namun, semboyan yang dipegang dan tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ikamemberikan inspirasi bahwa sesungguhnya keindonesiaan itu adalah keanekaragaman yangdilihat sebagai sebuah kesatuan. Akan tetapi, hal ini pun bukan berarti tanpa masalah,mengingat keanekaragaman senantiasa rentan dengan perpecahan.

Gejala alih kode yang muncul pada para penutur bahasa Indonesia yang begitumudahnya beralih ke dalam bahasa asing, penggunaan bahasa asing pada tahap awalpersekolahan, seperti di sekolah-sekolah yang dulu berlabel Rintisan Sekolah BerstandarInternasional (RSBI), penggunaan bahasa asing pada papan-papan nama, dan kasus-kasus

Page 7: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

118

lainnya, merupakan contoh-contoh pelemahan daya hidup bahasa Indonesia. Di satu sisi, inidapat dipandang sebagai lemahnya posisi politik bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.Namun, di sisi lain, gejala ini bisa merupakan indikasi bahwa sesungguhnya memang bahasaIndonesia belum berurat berakar dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat bangsaIndonesia. Dengan kata lain, dari gejala yang tampak tersebut, patut diduga bahwa bahasaIndonesia sesungguhnya memang belum (atau bukan!) merupakan bagian dari budaya intimasyarakat bangsa Indonesia. Akibatnya, pembangunan dan penguatan jati diri bangsaIndonesia yang digalang melalui bahasa Indonesia pun, bisa jadi, tidak akan memberikan hasilyang paling optimal. Banyak hasil penelitian (misalnya, lihat Morita 2005) yang menunjukkanbahwa penguatan jati diri yang tidak didasarkan pada nilai budaya inti sebuah masyarakatsangat rentan untuk tidak berhasil, sebab ia akan mudah luntur bahkan berpeluang hilang dariindividu.

Budaya Inti dan PemertahanannyaPandangan sebuah anggota masyarakat tentang budaya inti mereka terkait erat–sadar atau puntidak— dengan upaya yang mereka tunjukkan untuk mempertahankan bahasa mereka. Sejumlahpenelitian terkait hal ini banyak dilakukan di negara-negara yang multikultural. Kehidupanmasyarakat imigran di Australia, misalnya, merupakan contoh sangat baik untuk melihat gejaladimaksud (lihat, misalnya, laporan Callan dan Gallois [1982] tentang sikap bahasa para imigranItalia dan Yunani di Australia; Pauwels [1986] tentang imigran Jerman dan Belanda diAustralia; Bettoni dan Gibbons [1988] tentang imigran Italia di Sydney dan Putz [1991] tentangimigran Jerman di Canberra; Forrest & Dunn [2006] tentang orang-orang Inggris di Australia).Hal yang sama kita juga temukan pada kasus-kasus imigran di Kanada (Auer, 1991), Amerika(Hakuta dan D’Andrea, 1992), di New Zealand (Holmes dkk, 1993). Contoh lain yang melihatdari aspek tingginya tingkat mobilitas masyarakatnya dapat ditemukan pada penelitian terhadapmasyarakat China minoritas di beberapa negara. Banyaknya penutur asli bahasa China yangbermigrasi ke berbagai benua di dunia termasuk Amerika (Farris, 1992), Eropa (Itali danInggris), Asia (Thailand), dan Australia menarik perhatian para peneliti sosiolinguistik terutamaterkait pemertahanan identitas budaya inti (Smolicz, 2001; Mleczko, 2011; Delargy, 2007;Morita, 2005). Terdapat dua hal utama yang kerap dihadapi para imigran, seperti dilaporkanoleh Portes dan Rambaut (2001 dikutip dalam Zhang, 2008:1) yaitu pertama, terkait denganpemertahanan bahasa asli atau peralihan bahasa ke bahasa yang digunakan di negara tuanrumah; kedua, terkait dengan pelestarian budaya asli atau pengadopsian budaya negara tuanrumah. Nilai-nilai budaya seperti agama, keluarga, dan bahasa dikenal merupakan kekuatanpemersatu atau identitas nasional China. Namun, ketika sudah berada di negara tujuan imigrasi,nilai-nilai budaya inti yang sudah melekat tersebut seakan terpertaruhkan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Morita (2005) terhadap orang China yangbermigrasi ke Thailand terungkap bahwa fenomena yang muncul bukan pemertahanan nilaibudaya inti melainkan asimilasi meski dinyatakan bukan asimilasi penuh. Asimilasi ini terjadikarena menurut Reynolds (1991 dikutip Morita (2005:119) bagi penutur dari mana pun yangberada di Thailand dan menginginkan statusnya atau kewenangannya diakui oleh masyarakatThailand harus acuh terhadap simbol-simbol ke-Thailand-an. Asalkan dapat berbicara dalamdialek Thai yang tanpa aksen dan hidup dengan gaya hidup orang Thailand, seseorang sudahmenjadi orang Thailand. Dalam praktik beraneka ragama, beberapa orang China menyembahBudha padahal dalam kepercayaan asli orang China, Tuhan mereka bukan Budha melainkandewa-dewa. Kebiasaan demikian dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut oleh orang Thailandyang menyembah Budha. Dalam nilai budaya keluarga, orang China memiliki konsep keluargabesar. Hal ini kontras dengan orang Thailand yang memiliki konsep keluarga kecil. Nilaibudaya keluarga tersebut kemudian bergeser sehingga menyerupai budaya keluarga di Thailand.Demikian halnya dari sisi nilai budaya bahasa. Di Thailand termasuk di negara-negara AsiaTenggara lainnya, fenomena pergeseran bahasa dalam komunitas imigran China merupakan hal

Page 8: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

119

yang lumrah terjadi. Bagi orang China di Thailand, bahasa China tidak lagi dipandang ideologistetapi lebih ke arah kegunaan praktis.

Lemahnya pemertahanan nilai-nilai budaya inti termasuk agama dan bahasa jugaterlihat jelas pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mlezcko (2011) pada generasi kedua daripara imigran China di Italia. Dalam hal agama, orang Italia dikenal sangat kental Katoliknya.Namun, tidak ditemukan adanya konversi agama besar-besaran dari Budha ke Katolik; yangterjadi ialah ketidakajegan ibadah yang dilakukan orang China. Ajaran Konfusianisme yangmerupakan akar dari nilai budaya China hanya hadir sebagai sebuah gaya hidup bukan sebagaisebuah keyakinan. Terkait dengan ihwal nilai budaya bahasa, tampak adanya upayapemertahanan bahasa yang dilakukan oleh komunitas China di Italia. Misalnya, meskipunmereka dipaksa untuk menguasai bahasa Italia, keinginan untuk juga meningkatkan kemampuanberbahasa China tetap kuat. Mereka mengasah kemampuan berbahasa China mereka denganmengikuti kelas Minggu atau sekolah akhir pekan. Sayang sekali, sekolah ini tak berumurpanjang. Karena permasalahan ekonomi, sekolah ini akhirnya ditutup. Strategi lain yangditempuh untuk mempertahankan nilai budaya bahasa ialah dengan melakukan kunjunganreguler ke negara China. Namun, strategi ini hanya bisa terealisasi apabila orang China sudahberkewarganegaran Italia sehingga tidak bermasalah dengan visa. Banyaknya hambatan yangmuncul dalam upaya pemertahanan ini menyebabkan rendahnya kemampuan berbahasa Chinapara remaja. Hal ini berdampak psikologis yang menyebabkan mereka mengalami kegalauanidentitas.

Pemertahanan identitas budaya inti China terlihat intensif dilakukan oleh para imigranChina di Irlandia Utara (Delargy, 2007) dan imigran China di Amerika (Zhang, 2008). DiIrlandia Utara, Pemerintah melalui Departemen Perdagangan memfasilitasi dibukanya kelas-kelas bahasa China dari mulai tingkat TK sampai dengan Sekolah Menengah. Pada tahun 2001dibentuk Mandarin Speakers’ Association (MSA) yang salah satu programnya ialahmemberikan pelayanan berupa jasa penerjemahan terutama dalam bidang kesehatan bagi paraimigran China yang bahasa Inggrisnya masih pada tingkat dasar.

Di Amerika, menurut Zhang (2008), para orang tua generasi kedua menunjukkan sikappositif terhadap nilai budaya bahasa. Mereka memandang bahwa menguasai bahasa China dapatmeningkatkan kemampuan kognitif generasi penerus mereka dan menjadi nilai tambah bagikarir mereka di masa depan, mengingat bahasa China merupakan salah satu bahasa resmi yangdigunakan di PBB dan kini diakui secara meluas sebagai bahasa asing di Amerika. Upayapemeliharaan bahasa Cina di Amerika berbanding lurus dengan besarnya harapan orang tuaakan sukses anaknya dalam pendidikan di masa depan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh paraorang tua untuk mempertahankan bahasa China ialah dengan cara menggunakan danmengajarkan bahasa, serta memajankan anak secara langsung kepada penggunaan bahasa Chinadalam lingkungan tertentu.

Adanya upaya pemertahanan nilai budaya bahasa juga ditemukan oleh Smolicz (2001)di masyarakat minoritas China di Australia. Di Australia, orang China masih memiliki hasratuntuk mengetahui bahasanya dan meningkatkan kemampuan literasi mereka, karena merekayakin bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dasar dari identitas ke-China-an mereka. Faktaini menunjukkan adanya tingkat pemertahanan bahasa yang tinggi dari orang-orang China diAustralia yang tidak ditemukan pada masyarakat China di Thailand (Morita, 2005) atau Italia(Mleczko, 2011).

STUDI KALI INIPada tulisan ini disajikan data dari dua penelitian yang dilakukan penulis terhadap empat bahasadaerah utama di Indonesia. Kedua studi ini memiliki fokus yang sama, yaitu upaya untukmengungkap fenomena penggunaan bahasa oleh masing-masing responden, sikap bahasa, danpersepsi mereka tentang nilai budaya inti pada masing-masing budaya mereka. Studi #1meliputi penutur dari bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, sedangkan Studi #2

Page 9: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

120

terbatas pada penutur bahasa Sunda. Studi #2 ini merupakan upaya yang penulis lakukan untukmenyibak lebih jauh fenomena keyakinan orang Sunda terhadap nilai budaya intinya.

Studi #1Data yang dilaporkan pada Studi #1 ini merupakan hasil dari serangkaian kajian yang dilakukanpenulis terhadap empat kelompok penutur bahasa daerah utama di Indonesia: Jawa, Sunda,Minang, dan Batak, yang semuanya berjumlah 58 orang. Semua responden adalah orangdewasa, berusia di atas 35 tahun, memiliki pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri sipil atauwiraswasta. Jumlah responden untuk masing-masing kelompok penutur bahasa daerah tidakdiwakili secara merata: Jawa 21 orang, Sunda 17 orang, Minang, 9 orang, dan Batak 11 orang.Selain itu, jumlah responden ini relatif kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh penuturmasing-masing bahasa daerah itu. Masing-masing responden ini hanya dikelompokkan menurutkategorisasi bahasa daerah yang mereka akui sebagai bahasa pertama mereka dengan tidakmelihat jenis dialek yang mereka gunakan, atau daerah asal mereka. Misalnya penutur bahasaJawa tidak dikelompokkan menjadi kelompok penutur dialek Yogyakarta, Surabaya, Semarang,atau lainnya. Demikian pula untuk penutur bahasa Sunda, mereka tidak dikelompokkan kedalam penutur bahasa Sunda dialek Priangan, Purwakarta, Banten, atau lainnya. Hal yang samaberlaku pula untuk penutur bahasa daerah Minang dan Batak.

Tabel 1. Data Responden menurut Jenis Kelamin, Usia, dan Pekerjaan

Kelompok Responden Jenis Kelamin Usia PekerjaanL P PNS Wiraswasta

1. Penutur Bahasa Jawa 13 8 36 – 63 15 62. Penutur Bahasa Sunda 11 6 40 – 60 14 33. Penutur Bahasa Minang 5 4 35 – 50 6 34. Penutur Bahasa Batak 8 3 37 – 55 7 4

Jumlah 37 21 42 16

Kepada para responden ditanyakan tiga hal pokok, yang meliputi: a) identitas diri yangterkait usia dan pekerjaan; b) penggunaan bahasa dalam seting komunikasi yang berbeda-beda,c) persepsi diri para responden tentang hakikat identitas dan keanggotaan dalam kelompok (lihatLampiran). Data diambil dengan meminta para responden mengisi angket yang sudah disiapkan.Pengisian data pada angket ini dilakukan secara sukarela, dengan meminta bantuan seorangmitra ketika peneliti sedang bertugas ke wilayah penutur bahasa-bahasa daerah tersebut. Akantetapi, khusus untuk penutur bahasa Sunda, data diambil dari mitra peneliti yang secarakebetulan berinteraksi dengan peneliti dan bersedia menjadi responden. Apabila dimungkinkan,wawancara lanjutan akan dilakukan untuk mengetahui lebih jauh justifikasi responden terhadapjawaban yang telah diberikannya. Namun, kerahasiaan nama dan identitas responden tetapdijaga. Tabel 1 memberikan gambaran tentang distribusi para responden menurut latar belakangbahasa, jenis kelamin, usia dan pekerjaan mereka masing-masing.

Bagian berikutnya akan menyajikan temuan penelitian ini, yang akan dibagi ke dalamdua pokok pembahasan sesuai dengan hakikat masalah yang diungkap, yakni a) pilihan bahasayang mereka gunakan ketika bertutur, b) persepsi tentang nilai budaya inti. Pembahasan tentangpilihan bahasa didahulukan mengingat fenomena inilah yang lebih tampak di permukaan danlebih mudah diamati. Kemudian, disusul dengan paparan tentang nilai budaya inti, yang justrumampu menjelaskan fenomena perilaku berbahasa para responden yang muncul di permukaanitu.

Pilihan BahasaTabel 2 menunjukkan jawaban dari masing-masing kelompok responden terkait dengan bahasayang mereka gunakan ketika bertutur dengan lingkungan terdekatnya, baik di rumah maupun diluar rumah. Dengan merujuk kepada data di Tabel 2 itu, kita dapat menemukan pola pilihan

Page 10: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

121

bahasa para responden dari masing-masing penutur bahasa daerah dalam seting komunikasiyang berbeda-beda. Walaupun dengan rentangan persentase yang tidak sama, semua respondendari latar belakang bahasa daerah yang berbeda menyatakan bahwa ketika merekaberkomunikasi dengan suami/istri, bahasa daerah merupakan pilihan pertama. Tampaknya,alasan emosional yang dikandung oleh bahasa pertama para penutur memainkan peran yangsangat penting. Bagaimana pun, komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah kepada orangyang memiliki kedekatan emosi sangatlah beralasan, sebab bahasa yang sama-sama dipahamisecara utuh oleh kedua belah pihak pasti akan lebih mampu mengungkapkan perasaan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. Apalagi kalau fungsi afektif dan emotif bahasa ituhendak disampaikan kepada mitra tutur yang sangat dekat, seperti terhadap suami/istri.Kenyataan ini berlaku, mengingat para responden memiliki pasangan hidup dari latar belakangbahasa yang sama. Tentu saja, gejala ini akan bisa berbeda manakala pasangan suami-istri ituberasal dari/memiliki latar belakang bahasa yang berbeda (lihat, misalnya, penelitian Pauwels,1986 tentang pola berbahasa pada suami-istri eksogamis di Australia).

Pilihan bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan suami/istri tadi relatifberbeda dengan ketika para responden tadi bertutur kepada anak. Pada situasi ini, pararesponden dengan latar belakang bahasa Jawa tampak lebih memilih bahasa Jawa sebagai mediauntuk berkomunikasi (81%). Sementara itu, hanya sekitar sepertiga responden dengan latarbelakang bahasa Sunda (35.3%) dan bahasa Batak (36%) yang masih menggunakan bahasadaerah masing-masing kepada anaknya. Para responden berbahasa daerah Minang masih cukupbesar (66.7%) yang menggunakan bahasa asli mereka kepada anak-anaknya. Data tersebutmengindikasikan bahwa para penutur bahasa Jawa masih relatif lebih kuat mempertahankanbahasanya dibandingkan dengan para penutur bahasa lainnya. Dengan demikian, disadari atautidak, bahasa Jawa akan lebih mungkin untuk menjadi bagian dari warisan budaya bagi generasiberikutnya, dan hal ini memperkuat daya hidup bahasa Jawa di dalam lingkungan penuturnya.Situasi ini diperkuat dengan kebiasaan para penutur bahasa Jawa yang hanya menggunakanbahasa Jawa kepada para pembantu rumahnya, yang ternyata berbeda dengan cara respondenlainnya berkomunikasi dengan mitra tutur dari kalangan pembantu rumah tangga. Rumah,sesungguhnya merupakan tempat yang paling kondusif untuk menyemaikan budaya ‘asli’ orangtua kepada anak-anaknya (Callan & Gallois, 1982; Lyon & Ellis, 1991; Roberts, 1991; Persky &Birman, 2005; Lanza & Svendsen, 2007).

Wawancara dengan para responden penutur bahasa Sunda menemukan fakta bahwasebagian besar dari mereka enggan menggunakan bahasa Sunda terhadap anak-anaknya, karenamereka sendiri merasa tidak yakin bahwa bahasa Sunda mereka pantas untuk digunakan kepadaanak-anak mereka. Umumnya, mereka menyatakan tidak “percaya diri”— apakah bahasa Sundamereka cocok dengan ‘undak-usuk basa Sunda’ seperti yang diajarkan sesuai tradisi. Merekasangat percaya bahwa apabila contoh berbahasa yang kurang baik dipraktikkan di rumah, hal ituakan terbawa ke dalam lingkungan anak-anak. Oleh karena itu, daripada mereka harusmenghadapi resiko kesalahan seperti itu, mereka lebih baik menggunakan bahasa Indonesia,yang mereka pandang lebih ‘netral’. Selain itu, mereka juga tidak mau terjebak dalam polemikuntuk secara membabi buta mempertahankan bahasa daerah padahal, secara fungsional dilingkungan tempat mereka hidup dan juga anak-anaknya bersekolah dan bekerja, bahasaIndonesia jauh lebih sering digunakan (Roberts, 1991; Lyon&Ellis, 1991; Wei, 2009).

Page 11: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

122

Tabel 2. Distribusi Jawaban para Responden tentang Pilihan Bahasa

Situasi Berbahasa Penutur BhsJawa

Penutur BhsSunda

Penutur BhsMinang

Penutur BhsBatak

1. Bahasa yang digunakan dirumah ketika berbicaradengan:a. Suami/Istrib. Anakc. Pembantu Rumah Tangga

Jw (19)/Ind (2)Jw (17)/Ind (4)Jw (21)/Ind (-)

Sd (12)/Ind. (5)Sd (6)/Ind. (11)Sd (9)/Ind. (8)

Mg (9)/Ind. (-)Mg (6)/Ind. (3)Mg (2)/Ind. (4)

Bk (8)/Ind. (3)Bk (4)/Ind. (7)Bk (2)/Ind. (2)

2. Bahasa yang digunakan disekitar rumah, dengan tetanggayang:a. Berbahasa daerah samab. Berbahasa daerah beda

Jw (21)/Ind (-)Jw (-)/Ind (21)

Sd (10)/Ind. (7)Sd (-)/Ind. (17)

Mg (7)/Ind. (2)Mg (-)/Ind. (9)

Bk (6)/Ind. (5)Bk (-)/Ind. (11)

3. Bahasa yang digunakan ditempat bekerja:a. Kepada atasanb. Kepada sejawatc. Kepada bawahan atau staf

lainnya

Jw (9)/Ind (12)Jw (11)/Ind (10)Jw (7)/Ind (14)

Sd (15)/Ind. (2)Sd (7)/Ind. (10)Sd (6)/Ind. (11)

Mg (-)/Ind. (9)Mg (2)/Ind. (7)Mg (4)/Ind. (5)

Bk (-)/Ind. (11)Bk (3)/Ind. (8.)Bk (-)/Ind. (11)

4. Bahasa yang akan digunakanketika sedang berbicara bahasadaerah, lalu muncul orang lainyang tidak berbahasa daerahsama:a. Terus berbicara dalam

bahasa daerahb. Beralih ke dalam bahasa

Indonesia

18

3

6

11

2

7

2

9

5. Bahasa yang akan digunakanketika sedang berbicara dalambahasa Indonesia lalu munculorang lain yang berbahasadaerah sama, tetapi mitra tuturtidak mengerti:a. Tetap menggunakan

bahasa Indonesiab. Beralih ke dalam bahasa

daerah

4

17

16

1

8

1

11

-

6. Bahasa yang akan dipakaiketika harus melayani pihakluar yang berbahasa daerahsama:a. Bahasa Indonesiab. Bahasa daerah

120

143

63

92

Keterangan:1. Ind.: Indonesia; Jw: Bahasa Jawa; Sd: Bahasa Sunda; Mg: Bahasa Minang; Bk: Bahasa Batak2. Angka-angka dalam tanda kurung menunjukkan jumlah responden yang menjawab sesuai dengan

pilihan tersebut.

Dengan demikian, mereka lebih berpikir dan berpandangan pragmatis dan fungsionaldalam kaitannya dengan penggunaan bahasa terhadap anak-anaknya. Tampak jelas di sinibahwa orang tua yang berbahasa Sunda tidak dengan serta merta akan mewariskan kompetensiberbahasa Sunda itu kepada generasi berikutnya, walaupun mereka tetap memandang bahwabahasa Sunda merupakan salah satu ciri penting sebagai orang Sunda. Hal ini bisa kitabandingkan dengan sikap para orang tua di Western Isles, Skotlandia (Roberts, 1991) dan di

Page 12: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

123

Welsh (Lyon dan Ellis, 1991), yang lebih mementingkan penggunaan bahasa Inggris daripadabahasa ibu/pertama mereka, mengingat kebijakan penggunaan bahasa secara bilingual disekolah-sekolah mulai tingat SMP.

Fenomena penggunaan bahasa oleh orang Sunda yang mirip sama ketika merekabertutur dengan pihak luar, kita temukan pada komunikasi para responden ini dengan parapembantu rumah tangganya; mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripadaharus berbahasa Sunda. Situasi ini dapat memperkuat dugaan bahwa bahasa Sunda memilikidaya hidup yang relatif lemah, dan dikhawatirkan tidak dapat bertahan lebih lama daripada yangditemukan pada kasus bahasa Jawa.

Penutur bahasa Batak memiliki kemiripan dengan penutur bahasa Sunda dalam hal bertuturdengan anak-anak mereka. Para responden kelompok ini lebih memilih menggunakan bahasaIndonesia daripada bahasa daerah mereka. Alasan yang umumnya muncul juga tidak terlalu berbedadengan yang disampaikan oleh responden berbahasa Sunda. Namun, mereka ini memiliki obsesiyang agak berbeda terhadap anak-anak mereka. Dalam menjalani kehidupannya, para responden initernyata menginginkan agar anak-anak mereka lebih fasih berbahasa Indonesia (dan kalaumungkin bahasa asing), sehingga mereka dapat lebih bertahan hidup di Jakarta (penelitian inisendiri diambil datanya di kota Medan, Sumatra Utara). Dengan kata lain, alasan ekonomi justrumendorong para responden untuk lebih memilih bahasa yang lebih fungsional (Wei, 2009).Kasus yang mirip seperti ini bisa kita temukan pada anggota masyarakat Italia yang sudahdewasa di Toronto, Kanada yang lebih memilih bahasa Inggris daripada bahasa Italia, sekalipunsebenarnya sikap bahasa mereka terhadap bahasa Italia tetap positif (Auer, 1991) dan kasus diMontreal serta Vancouver (Mok, 2010).

Bagi penutur bahasa Minang, bahasa daerah mereka masih intensif digunakan ketikaberkomunikasi dengan anak-anak mereka di lingkungan rumah. Mereka masih memilikipandangan bahwa bahasa daerah merupakan salah satu identitas yang perlu dipertahankan,walaupun bukan satu-satunya. Namun, mereka juga memiliki rasa khawatir bahwa bahasadaerah mereka tidak bisa dipertahankan kalau melihat gejala bahwa di antara anak-anak mereka,dalam komunikasinya, mereka lebih memilih berbahasa Indonesia. Hanya saja, berdasarkanhasil wawancara, mereka tidak bisa (dan tidak akan!) memaksa agar anak-anak mereka benar-benar berbahasa daerah. Ini tiada lain karena mereka menyadari bahwa sangat mungkintantangan hidup ke depan akan jauh lebih berat, daripada hanya berpikir untuk mempertahankanbahasa daerah. Namun, sebagai penutur asli bahasa daerah Minang, mereka tetap memilikisentimen yang cukup kuat sehingga berharap bahwa bahasa Minang akan tetap hidup di tengah-tengah masyarakat yang berasal dari Sumatra Barat pada umumnya.

Fenomena berbahasa di atas dapat dikaitkan dengan upaya — sadar atau pun tidak sadar— oleh penutur sebuah bahasa dalam kaitannya dengan pemertahanan bahasa di lingkunganterkecil keluarga inti. Bagaimana pun, keluarga inti ini memiliki peran yang paling pentingdalam menjamin terpeliharanya daya hidup dan keberlangsungan sebuah bahasa. Apalagi, kalaubahasa itu dipandang sebagai simbol dan nilai inti dari budaya anggota keluarga (Persky &Birman, 2005; Forrest & Dunn, 2006; Bachika, 2011). Melihat gejala seperti ditunjukkan olehdata di atas, kita akan memiliki keyakinan bahwa dibandingkan dengan tiga bahasa lainnya,maka bahasa Jawa memiliki daya hidup yang jauh lebih terjamin, disusul oleh bahasa Minangdan bahasa Batak. Hal ini mengingat bahasa Jawa digunakan oleh para penutur dengan sikapbahasa yang jauh lebih positif dan lebih kuat, sehingga lingkungan tersebut sangat baik untuktumbuh, berkembang, dan bertahannya bahasa tersebut. Sementara itu, bahasa Sunda memilikilingkungan yang tidak terlalu kondusif untuk dapat terus bertahan dalam periode yang lama.Dengan demikian, patut dikhawatirkan bahwa bahasa Sunda ini akan mengalami kepunahanyang lebih cepat.

Fenomena yang tidak terlalu berbeda kita temukan pada situasi komunikasi di luarlingkungan rumah (pertanyaan nomor 2-6 pada angket). Para penutur bahasa Jawa agaknyatetap bertahan dan bersikap konservatif dalam penggunaan bahasanya, yakni mereka lebih

Page 13: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

124

konsisten dalam menggunakan bahasa daerahnya. Dengan mitra tutur yang berlatar belakangbahasa daerah yang sama, dalam kehidupan bertetangga, kepada atasan, dan kepada sejawat,mereka lebih memilih menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa lainnya. Bahkan, ketikasedang berbahasa Indonesia sekalipun, kalau mereka bertemu dengan mitra yang bertuturbahasa Jawa, mereka (71%) memilih beralih ke bahasa Jawa. Pada angket dinyatakan secarajelas bahwa mitra tutur yang sebelumnya sedang berbicara dengan mereka sebetulnya tidakmengerti bahasa daerah mereka. Namun, para responden penutur bahasa Jawa, tidakmempedulikannya. Pada satu sisi, ini dapat dilihat sebagai sikap positif penutur bahasa Jawaterhadap bahasanya, tetapi di sisi lain hal itu menunjukkan kurang sensitifnya para respondenterhadap mitra tutur yang lainnya. Kasus yang mirip dapat ditemukan pada jawaban terhadappertanyaan nomor 4 yang menggambarkan situasi percakapan yang melibatkan pihak lain yangtidak berbahasa daerah sama. Para responden berbahasa Jawa lebih memilih melanjutkanbertutur dengan bahasa Jawa (85.7%) sekalipun pihak lain yang muncul kemudian pada situasikomunikasi itu tidak berbahasa Jawa.

Dalam konteks pelayanan publik pun, para responden berbahasa Jawa ini lebih memilihmenggunakan bahasa daerah ketika mereka berinteraksi dengan pihak yang berbahasa daerahsama (95%). Data ini jauh berbeda dengan jawaban dari para responden yang berbahasa Sunda,Minang, dan Batak. Mereka ini, dalam melayani publik, lebih memilih menggunakan bahasaIndonesia daripada menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Ketika ditelusuri lebih jauh tentanghal ini melalui wawancara, para responden dari tiga bahasa daerah ini menyatakan bahwamereka “menyadari bahwa ini adalah ranah publik dan, oleh karena itu, sebagai pelayan publik,ada kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia”. Ada juga yang menyatakan bahwa “inikan situasinya lebih resmi, jadi kita gunakan bahasa resmi saja”. Artinya, para penutur bahasaini ingin lebih mengedepankan etika publik daripada sentimen terhadap bahasa daerahnya, disamping tentunya terkait dengan jejaring sosial yang mereka ingin pertahankan (Lanza &Sevendsen, 2007; David & Bar-Tal, 2009).

Kecuali pada situasi berkomunikasi kepada atasan yang dilakukan oleh penutur bahasaSunda yang akan lebih banyak menggunakan bahasa Sunda, pada situasi lainnya, baik penuturbahasa Sunda, Minang, dan Batak akan memilih bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi diluar rumah. Ini tentu saja sangat berbeda dengan fenomena yang ditemukan pada pararesponden penutur bahasa Jawa yang akan lebih memilih menggunakan bahasa Jawa. Data inimenunjukkan bahwa para penutur bahasa Sunda, Minang, dan Batak sangat mudah untukmelakukan alih kode. Namun, tidak demikian halnya untuk para penutur bahasa Jawa yangtampak lebih ‘setia’ dengan bahasa daerahnya.

Para penutur bahasa Sunda, Minang, dan Batak, akan dengan mudah beralih ke dalambahasa Indonesia ketika mereka disambangi oleh pihak lain yang tidak berbahasa daerah samadengan mereka, walaupun mulanya mereka sedang berkomunikasi dengan menggunakan bahasadaerahnya (lihat data jawaban untuk pertanyaan nomor 4). Hal yang sama kita temukan untukjawaban terhadap pertanyaan nomor 5. Di sini, para penutur ketiga bahasa daerah tersebutmemilih untuk melanjutkan bertutur dalam bahasa Indonesia, sekalipun ada sejawatnya yangberbahasa daerah sama dengan mereka muncul ke hadapan mereka. Sampai sejauh tertentu,situasi seperti ini menunjukkan bahwa ketiga masyarakat penutur bahasa daerah tersebut tampaklebih terbuka untuk berbahasa dengan menggunakan bahasa yang bukan bahasa daerahnya.Dengan keterbukaan seperti ini, maka dapat diprediksi bahwa mereka pun akan dapat lebihmudah menyesuaikan diri untuk bergaul dengan pihak luar. Lebih jauh, kita pun dapat mendugabahwa apabila ada perubahan dari luar, maka mereka akan lebih mudah menerima, sebab bisasaja mereka bersikap sangat pragmatis dan/atau praktis. Tingkat adaptabilitas mereka jugamungkin lebih tinggi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa para penutur bahasa Jawa tidakterbuka, sukar bergaul, dan tidak adaptif terhadap perubahan. Hanya saja, mereka jauh lebihpeduli akan nilai yang dibawa oleh bahasanya bila dibandingkan dengan ketiga kelompokresponden penutur bahasa lainnya itu (lihat pembahasan tentang Nilai Budaya Inti di bawah).

Page 14: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

125

Bila dibandingkan dengan kasus yang ditemukan oleh Morita (2005) ketika mengkaji nilai intimasyarakat penutur bahasa China di Thailand, maka para penutur bahasa Jawa ini telah melihatbahasa Jawa sebagai bagian dari identitas dirinya sebagai masyarakat Jawa.

Persoalan alih kode dari satu bahasa ke bahasa lainnya, terlebih dari bahasa yangmemiliki ikatan emosional dengan penuturnya seperti bahasa daerah, sebetulnya dapatdipandang sebagai bentuk tinggi rendahnya ‘penghargaan’ penutur bahasa tersebut kepada salahsatu wujud warisan nilai budayanya (bandingkan dengan temuan Stelzel & Seligman, 2009).Bagaimana pun, bahasa ibu, yang seringkali menjadi bahasa daerah seseorang, merupakan alatdan sekaligus kekayaan yang paling utama dan pertama kali diperoleh oleh seorang manusia.Dengan bahasanya itulah ia hidup, berkembang, dan bertahan di masa-masa awal kehidupannya.Bahasa ibu/bahasa pertama akan senantiasa fungsional, sebab ia akan senantiasa mampumenyampaikan dan memenuhi keperluan untuk ragam dan seting komunikasi seorang individudengan lingkungannya. Dengan demikian, akan sangat masuk akal apabila seorang penuturbahasa pertama (bahasa daerah) berupaya memuliakan bahasa pertamanya. Ia pasti sangat yakinbahwa jati dirinya dan cara pandangnya tentang dunia, sebagian, dibentuk oleh bahasa yang iapelajari sejak semula (Whorfian hypotheses). Selain menjadi alat komunikasi fungsional, bahasajuga akan dicerna oleh penuturnya sebagai pembentuk gerak langkahnya. Cara pandangseseorang tentang dunia, mungkin, tidak akan terlalu beraneka ragam atau teramat jauh(visioner) manakala bahasa pertamanya tidak memungkinkannya berinteraksi dan menggunakanbahasanya itu secara optimal. Pada kaitan ini, bahasa daerah/bahasa pertama justru bisa menjadisekat pembatas bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas seorang penutur bahasa.

Tentang Budaya IntiPersepsi para responden terkait dengan budaya intinya ditunjukkan pada Tabel 3. Data padatabel ini menggambarkan jawaban para responden sesuai dengan urutan atau tingkatkepentingan masing-masing aspek budaya. Pada angket, setiap responden diminta untukmengurutkan aspek-aspek budaya yang diberikan menurut kuat-lemahnya ikatan merekaterhadap aspek budaya tersebut. Sebuah aspek budaya yang dinilai paling kuat/mampumengaitkan dirinya dengan budaya asli mereka, maka aspek tersebut akan ditempatkan padaurutan paling tinggi, dan sebaliknya. Dengan kata lain, aspek budaya tersebut mesti dinilai pararesponden dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menisbatkan (asosiasi) mereka terhadapbudaya tertentu.

Pada Tabel 3 tampak bahwa responden berlatar belakang bahasa Jawa melihat aspekkemampuan berbahasa daerah (Jawa), menari/menyanyi lagu-lagu tradisi, pakaian adat, danmusik tradisional merupakan prediktor yang paling baik untuk menisbatkan mereka kepadabudaya Jawa. Dengan kata lain, mereka merasa menjadi sebagai orang Jawa yang sesungguhnyamanakala aspek-aspek budaya itu dekat bahkan melekat pada mereka. Adapun kenangan dengandaerah asal, saat-saat perayaan hari besar agama atau tradisional, dan kesamaan agama tidakmerupakan aspek budaya yang melekatkan mereka terhadap budaya nenek moyangnya.Tampaknya, aspek keagamaan tidak dipandang menjadi bagian inti dari budaya mereka karenaagama memang bersifat universal; ia tidak bisa diasosiasikan dengan budaya tertentu(bandingkan dengan temuan Joseph, 2005 dan Morita, 2005). Ini ternyata berlaku bukan hanyabagi para responden dengan latar belakang berbahasa Jawa, tetapi juga berlaku untuk ketigakelompok responden lainnya.

Terkait dengan bahasa sebagai nilai budaya inti bagi masyarakat penutur bahasa Jawa,kita tampaknya diberi informasi yang cukup kuat untuk sampai pada kesimpulan bahwa sikapdan perilaku berbahasa para penutur bahasa Jawa erat kaitannya dengan pengakuan merekatentang budaya inti ini. Data yang kita miliki pada bagian terdahulu tentang sikap dan pilihanberbahasa para responden yang berlatar belakang bahasa Jawa dikuatkan oleh data sekarang initentang persepsi mereka mengenai budaya inti. Sangat tidak mungkin seseorang yang tidakmenjadikan bahasa sebagai salah satu inti budayanya yang paling kuat dan bernilai tinggi, laluia berpikir dan bertindak begitu positif tentang bahasanya. Yang paling logis adalah mengaitkan

Page 15: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

126

gejala berbahasa itu dengan keyakinan yang secara kuat dipegang oleh penutur bahasa. Dengankata lain, bahasa daerah, bagi penutur bahasa Jawa, merupakan salah satu ciri hakiki yangmenisbatkan mereka sebagai orang Jawa yang sesungguhnya.

Responden berbahasa Sunda melihat musik tradisional sebagai bagian paling dalam(unsur inti) dari budayanya, diikuti dengan suasana kehidupan di daerah asal. Baru kemudiandiikuti oleh kemampuan berbahasa Sunda. Data ini bagaimana pun menarik untuk ditelusuri,mengingat jawaban ini relatif berbeda dengan yang diberikan oleh ketiga kelompok respondenlainnya. Ketika ditanyakan lebih lanjut kepada para responden tentang jenis musik yang merekamaksudkan dalam jawaban itu, mereka menunjuk pada musik jenis kecapi suling atauCianjuran. Walaupun mereka mengakui bahwa mereka tidak bisa memainkan alat musik itu,atau apalagi menyanyikan tembang Cianjuran, senandung yang dikeluarkan kedua alat musik ituseolah-oleh menjadi magnet yang menarik mereka kepada jati diri sebagai orang Sunda yangsesungguhnya. Pada musik kecapi suling dihadirkan gambaran tentang keindahan alam rayadaerah Pasundan yang hijau, sawah di mana-mana dikelilingi gunung gemunung, air sungai dankolam yang selalu gemericik. Bagi mereka, itulah sesungguhnya ‘kehidupan’ bagi dan sebagaiorang Sunda, yang senantiasa damai dan tenang berada di lingkungan alam seperti itu.Senandung yang dilantunkan melalui Cianjuran seolah ‘memanggil’ ruh orang-orang Sundaagar ingat akan tanah leluhur mereka yang indah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalaupernyataan tentang isi musik kecapi suling dan tembang Cianjuran ini ternyata paralel denganpenempatan aspek “kehidupan daerah asal” (pertanyaan nomor 10 pada angket) yangmenduduki urutan kedua terpenting sebagai prediktor bagi orang Sunda.

Tabel 3.Penilaian Responden tentang Aspek-aspek Budaya menurut Urutan Kepentingannya

Aspek-aspek BudayaUrutan Kepentingan menurut

para Penutur BahasaJawa Sunda Minang Batak

1. Kemampuan berbahasa daerah 1 3 3 42. Ketika berpakaian adat 3 7 2 53. Ketika sedang menari/menyanyi tradisi (kemampuan

menyanyi atau menari)2 4 5 2

4. Ketika mendengar musik tradisional 4 1 4 35. Ketika sedang menyantap makanan khas daerah asal 7 5 1 86. Ketika mendengar intonasi/gaya bicara bahasa daerah

asal5 6 8 1

7. Ketika memiliki kesamaan agama 10 9 7 108. Ketika asal daerah dikenali 6 8 9 79. Ketika merayakan hari besar agama atau tradisional 9 10 10 910. Ketika sedang mengenang kehidupan di daerah asal 8 2 6 6

Dalam kehidupan keseharian orang Sunda, kita bisa menemukan sejumlah kenyataanyang dapat mendukung pernyataan para responden ini. Pada masyarakat Sunda ada peribahasayang berbunyi bengkung ngariung, bongkok ngaronyok yang secara awam lebih banyakditafsirkan/dimaknai agar ‘tetap ada di lingkungan sendiri, apa pun yang akan terjadi’.Pemaknaan awam ini banyak, bahkan sangat kuat, mempengaruhi pola pikir orang Sunda padaumumnya, sehingga akibatnya orang Sunda banyak yang enggan merantau ke wilayah yangagak jauh dari daerah tempatan. Mereka banyak yang mencukupkan diri dengan kehidupan dilingkungan sendiri, walaupun kondisi hidupnya sangat pas-pasan. Bahkan, kalaupun mereka‘terpaksa’ harus merantau ke luar daerah, adakalanya mereka tidak merasa betah dan/ataukerasan hidup di perantauan, sehingga mereka sering pulang ke daerah asal. Ini tentu saja,secara ekonomis, bukan merupakan sikap positif bagi seseorang yang sedang mencari sumberkehidupan, sebab terlalu sering pulang kampung adalah perilaku ekonomi biaya tinggi, apalagi

Page 16: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

127

kalau usaha di perantauan belum memberikan hasil yang baik dan bisa mencukupi seluruh biayayang harus dipenuhi.

Yang lebih menarik untuk dicermati adalah pernyataan yang terangkum dalam Tabel 3tadi tentang posisi bahasa Sunda dalam pandangan orang Sunda sendiri. Mereka menempatkanbahasa Sunda tidak sebagai bagian paling inti dari jati diri orang Sunda, sehingga kemampuanberbahasa Sunda pun dinilai tidak terlalu penting. Fakta ini sejalan dengan sikap bahasa yangditunjukkan oleh para responden, seperti telah dinyatakan pada bagian di atas tadi. Para penuturbahasa Sunda sangat mudah beralih kode dan memilih bahasa Indonesia ketika berkomunikasiyang melibatkan pihak lain yang bukan orang Sunda. Di sini, kita bisa menduga dengan sangatkuat bahwa sikap itu diambil karena memang sesungguhnya kemampuan berbahasa Sundanyata-nyata bukan merupakan nilai initi dari jati diri sebagai orang Sunda. Kalaupun masihmerupakan bagian dari pusaran inti budaya, bahasa Sunda hanyalah menduduki urutan ketigasetelah sentimen terhadap musik dan suasana kehidupan desa. Dengan demikian, gejalaberbahasa yang ditunjukkan oleh para penutur dengan latar belakang bahasa Sunda, baik dalamhal pilihan bahasa maupun alih kode, sebaiknya dilihat dan dijelaskan dari sudut pandang ini,sebab pengakuan tentang nilai inti budaya ini mampu memberikan informasi yang jauh lebihakurat tentang hakikat gejala/perilaku berbahasa yang sedang ditunjukkan oleh penutur sebuahbahasa (Smolicz & Secombe, 1985).

Berbeda dengan kelompok responden lainnya, para responden berlatar belakang penuturbahasa Minang melihat aspek budaya yang paling hakiki dan melekat menjadi bagian intibudayanya adalah kemampuan menghargai cita rasa makanan tradisional. Bagi mereka,kepiawaian membuat masakan khas Minang dan bisa membedakannya dengan jenis dan rasamasakan dari daerah lain menjadi salah satu penentu yang paling dominan untuk bisa dikatakansebagai orang Minang. Ciri ini disusul dengan kenangan tentang gaya kehidupan daerah asal,yang salah satunya ditandai dengan desain pakaian adat, dan musik tradisional. Menyusuladalah aspek budaya yang terkait dengan tarian dan nyanyian. Sejauh tertentu, kedua ciri yangterkait dengan makanan dan aspek rumah adat sebagai salah satu kenangan akan tanah leluhurbisa kita temukan menjadi satu kesatuan, seperti yang kita temukan pada bentuk atau hiasan dirumah-rumah makan orang-orang keturunan Minang.

Ada sebuah ilustrasi yang sangat relevan terkait dengan pengakuan orang-orang Minangini. Pada suasana menjelang perayaan Idul Fitri 1432 Hijriyah, secara tidak disengaja, di sebuahstasiun televisi swasta, saya menyaksikan sebuah iklan layanan masyarakat. Isi iklan itusebetulnya permohonan maaf yang ingin disampaikan oleh jajaran direksi dan staf sebuahBadan Usaha Milik Negara. Yang menarik adalah penggunaan kisah dengan latar belakangseorang pemuda Minang yang didorong (baca: dipaksa) segera hidup mandiri. Pemuda itukemudian meminta izin untuk merantau jauh. Ternyata, usaha yang ia tempuh adalah membukausaha rumah makan dengan gaya khas Minang. Pada saat berikutnya, ia kemudian diingatkanakan tanah leluhurnya di Minang, dan seperti dipanggil oleh kekuatan tanah leluhur itu, makapemuda itu kemudian kembali ke kampung halamannya untuk menemui keluarga danmenyatakan bahwa ia kini telah berhasil. Tentu saja, memahami iklan seperti ini dari sudutpandang dan teori budaya inti akan memberikan gambaran yang semakin menguatkanpandangan kita bahwa memang bagi orang Minang, hal yang dipandang paling hakiki sebagaijati dirinya dimulai dari kemampuan menghayati dan menghargai cita rasa makanan khas orangMinang itu, yang dalam iklan itu direfleksikan dengan dibukanya sebuah rumah makan.Tampaknya, dalam cita rasa makanan itu terkandung kekuatan yang memberi semangat untukmudah dikenali oleh sesama ‘orang Awak’, khususnya ketika mereka berada di perantauan. Darimakanan itulah sesungguhnya telah dialirkan ‘darah’ asli untuk tumbuh dan berkembangsebagai seorang orang Minang yang sebenarnya. Pada konsep seperti ini juga dapat kita lihatbetapa simbol makanan bisa menjadi alat ‘pemersatu’ orang-orang Minang (Bachika, 2011).Konsep ini tidak dimiliki oleh para penutur bahasa lain.

Page 17: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

128

Seperti halnya penutur bahasa Sunda, kemampuan berbahasa daerah ditempatkan olehorang Minang pada urutan ketiga di antara aspek-aspek yang menisbatkan mereka sebagai orangMinang yang sesungguhnya. Data ini sesuai dengan situasi yang digambarkan di bagianterdahulu, terkait dengan pilihan bahasa yang diambil oleh penutur bahasa Minang ketikamereka berada pada situasi komunikasi yang berbeda-beda. Bagi orang Minang, bahasa daerahbukanlah aspek budaya yang harus dipandang lebih penting daripada menghayati danmenghargai cita rasa makanan dan gambaran akan kampung halaman, bila jati diri ke-Minang-an hendak kita nisbatkan kepada mereka.

Orang Minang umumnya dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat. Akan tetapi,dalam konteks penilaian mereka tentang budaya inti, agama tidak mereka kaitkan dengan aspekbudaya. Bagi mereka, agama adalah sesuatu yang sakral, bukan merupakan bagian dari budaya,sebab agama memang harus dipandang sebagai aspek kehidupan yang memiliki nilai-nilaiuniversal. Oleh karena itu, bicara tentang agama adalah bicara sesuatu yang sangattransendental; ia tidak merupakan sifat dari sebuah budaya tertentu. Keyakinan ini merekatunjukkan dengan menempatkan hal-hal yang terkait dengan agama pada urutan bawah yangmenisbatkan mereka dengan latar budayanya. Sekalipun mereka menyadari bahwa ketaatanberaneka ragama merupakan salah satu ciri mereka, tampaknya mereka memahami masalahagama ini bukan merupakan milik khas mereka.

Lain padang, lain belalang. Lain orang Jawa, Sunda, dan Minang, lain pula orang Batakdalam melihat budaya inti masyarakatnya. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pararesponden Batak memandang logat berbahasa sebagai jati diri yang paling melekat pada merekasebagai orang Batak dibandingkan dengan aspek budaya lainnya. Tampaknya, logat berbahasaterdengar sangat khas bagi mereka, sehingga efeknya sangat meresap pada pikiran dan perasaanmereka. Akibatnya, mereka melihat bahwa sentimen inilah yang bisa menjadi ciri yang palingkhas sebagai orang Batak. Pada saat orang Batak bertutur, kita bisa mendengar ragam bertuturyang memang khas, terutama dalam karakter nada dan intonasi. Sepertinya, seorang mitra tuturyang bukan berasal dari Batak pun akan dengan mudah mengidentifikasi logat berbahasa ini,apalagi bagi orang Batak sendiri. Dengan demikian, ciri yang paling mudah dikenali sepertiinilah yang kemudian oleh penutur bahasa Batak dipandang sebagai penanda utama seseorangsebagai pemilik budaya orang Batak asli. Hal ini seiring dengan pengakuan para responden yangmenempatkan kemampuan menyanyi atau menari tradisi dan penghayatan terhadap lantunanmusik tradisional pada urutan kedua dan ketiga, sebagai penisbat mereka dengan budaya leluhurorang-orang Batak.

Akan tetapi, ada yang menarik terkait dengan data tentang penempatan kemampuanmenyanyi atau menari tradisi sebagai salah satu ciri budaya inti yang sangat kuat bagi bagiorang Batak ini. Biasanya, aktivitas menari atau menyanyi tradisi ini banyak dilakukan dalamkaitan dengan perayaan hari besar agama atau tradisional. Namun, anehnya, para respondenjustru tidak melihat hal terakhir ini menjadi bagian dalam (inti) dari nilai budayanya. Semuaresponden dari keempat kelompok memiliki pandangan yang sama tentang agama ini, yaknitidak menjadikannya sebagai nilai inti dari budaya mereka masing-masing. Dengan demikian,persepsi tentang budaya inti tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan aspek agama ataukepercayaan yang sifatnya universal ini (bandingkan dengan hasil kajian Joseph, 2004 danMorita, 2005).

Masyarakat Batak dikenal sebagai salah satu komunitas yang memiliki ragam budayayang banyak dan juga unik. Tarian, nyanyian, dan musik adalah tiga di antara unsur budayayang sangat kentara dan populer di antara masyarakat Batak. Tidak mengherankan kalau padaakhirnya para responden dalam penelitian kali ini pun secara nyata mengungkapkan bahwaaspek-aspek budaya itu memang merupakan bagian-bagian inti dari budayanya. Dengan katalain, menjadi seorang Batak yang ‘betulan’ haruslah memiliki kemampuan untuk menyanyi,menari, atau menghayati unsur-unsur inti budaya ini (bandingkan dengan kasus para penuturbahasa Sunda di atas).

Page 18: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

129

Terkait dengan bahasa daerah, para responden menempatkan kemampuan berbahasadaerah pada urutan keempat dari rangkaian inti jati diri mereka. Artinya, bahasa Batak, bagiorang Batak, tidak memiliki nilai yang sangat hakiki untuk dijadikan prediktor dan sekaligusindikator bahwa seseorang itu menjadi orang Batak betulan. Hal yang sama berlaku juga untukaspek-aspek yang terkait dengan asal-usul daerah, yang tidak dipandang sebagai sesuatu yangpenting untuk dijadikan penentu ke-Batak-an seseorang. Hal ini tentu saja berbeda dengan tigaaspek budaya yang telah disebut di atas tadi, yang memang melekat kuat sebagai unsur utamadari budaya inti orang Batak. Maka, sangat bisa dipahami kalau kita ternyata banyak sekaliorang Batak yang merantau ke tempat yang jauh dari kampung halamannya untuk mengadunasib. Sebab, bagi mereka, meninggalkan daerah asal tidak mengurangi sedikit pun rasa dirisebagai orang Batak.

Studi #2Fenomena yang ditemukan pada Studi #1 untuk kasus penutur bahasa Sunda ditindaklanjutidengan melaksanakan penelitian lebih mendalam, melibatkan lebih banyak responden daninstrumen yang lebih luas cakupannya. Pada Studi #2 ini terlibat 808 orang responden yangberasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, ragam usia, dan tempat domisili. Tabel 4 berikutini memberikan gambaran tentang para responden.

Tabel 4. Data Responden untuk Studi #2Jumlah Responden 808 orang 442 laki-laki

358 perempuan8 data tidak tersedia

Usia 12 – 89 tahun < 25 tahun25 – 45 tahun> 45 tahunData tidak jelas

1484232316

Status Perkawinan MenikahTidak MenikahPernah MenikahData tidak jelas

6171542413

Pekerjaan PNS/Karyawan SwastaGuru/Dosen

Wiraswasta/Karyawan(Maha)siswa

Data tidak jelas

2221103668327

Daerah Asal danTempat Tinggal Jumlah Menurut Daerah Asal Jumlah Menurut Tempat

TinggalBandung RayaPriangan TimurWilayah CirebonWilayah SubangWilayah CianjurData Tidak Jelas

7617516723112237

6221816821912112

Dari data di atas ditemukan adanya sejumlah data yang masuk kategori tidak jelas/tidaktersedia. Hal ini terjadi karena para responden tidak memberikan data pada angket yangdiberikan kepadanya. Sementara itu, pembagian wilayah asal dan tempat tinggal terdiri ataslima, yaitu Bandung Raya, yang meliputi Kota/Kabupaten Bandung, Bandung Barat danCimahi. Para responden dari wilayah Priangan Timur meliputi Kota/Kabupaten Tasikmalaya,Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Sumedang. Dari wilayah Subang meliputiKabupaten Subang dan Purwakarta. Responden dari wilayah Cirebon berasal dari Kota/

Page 19: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

130

Kabupaten Cirebon dan Majalengka, dan responden dari wilayah Cianjur berasal dariKabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi.

Selain meminta responden mengisi data terkait dengan jati dirinya, angket yangdisampaikan kepada para responden juga meminta mereka untuk menyediakan data yangbersifat penilaian dan persepsi mereka terkait dengan a) kompetensi berbahasa Sunda mereka,b) situasi dan pilihan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari, c) hakikat sebagai orang Sunda,dan d) penilaian tentang penting-tidaknya bahasa Sunda bagi mereka.

Temuan Studi #2Lebih dari 80% responden menyatakan bahwa kompetensi berbahasa mereka untuk keempatjenis keterampilan berbahasa masih sedang sampai baik, dengan kemampuan membacamenduduki tingkat tertinggi diikuti keterampilan mendengarkan, berbicara, dan menulis.Sementara itu, yang menyatakan memiliki kompetensi sangat bagus di satu sisi dan sangatkurang di sisi lain secara berturut-turut berkisar di antara 8-10% dan di bawah 4%. Ketersediaanbahan-bahan bacaan berbahasa Sunda, walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas, sepertisurat kabar, majalah, atau bacaan lainnya di lingkungan kehidupan mereka menjadi tantanganuntuk terus memahami bahasa Sunda. Hal ini berbeda dengan ketiadaan tuntutan untuk menulisdalam bahasa Sunda dalam kehidupan mereka, yang telah membuat mereka malas dan tidaktertantang untuk menggunakan bahasa Sunda secara tertulis. Namun, dalam konteks situasi yangsangat terbatas, seperti menulis teks singkat (SMS) atau mengerjakan tugas-tugas pelajaranbahasa Sunda di sekolah bagi responden pelajar, mereka masih juga menggunakan bahasaSunda.

Tuntutan untuk dapat mendengarkan dan memahami mitra tutur dalam komunikasi dilingkungan kehidupan sehari-hari yang mayoritas berbahasa Sunda dan menanggapinya denganbahasa yang sama menjadi catatan tersendiri bagi para responden dalam mempertahankankeberlangsungan komunikasi dan memelihara kompetensi bahasanya. Mereka tidak serta mertaberpindah untuk menggunakan bahasa Indonesia, walaupun sering kali mereka dihadapkan padakerisauan memilih ragam atau tingkatan bahasa Sunda yang paling tepat untuk digunakan. Initerjadi terutama sewaktu mereka berhadapan dengan mitra tutur yang lebih tua, lebih dihormati,atau yang tidak mereka kenali dengan baik. Demikian juga kalau mereka sedang berada dalamsituasi yang lebih formal. Bahkan, sejumlah responden menyatakan hampir tidak sanggup kalauharus bertutur dengan menggunakan bahasa Sunda dalam forum-forum yang lebih formaltersebut. Akibatnya, mereka akan segera beralih ke dalam bahasa Indonesia. Kegalauan sepertiini umumnya dihadapi oleh para responden yang berusia muda, sedangkan para responden yanglebih tua berbahasa lebih leluasa, bebas, dan lugas tanpa merasa dibebani oleh pilihan-pilihanakan ragam atau tingkatan bahasa yang tersedia: halus-sedang-kasar.

Fenomena yang menunjukkan kegalauan memilih ragam bahasa juga tampak dalam polakomunikasi antara para responden dengan mitra tuturnya di dalam rumah. Walaupun dengansuami atau istri para responden masih lebih banyak menggunakan bahasa Sunda (85%), ternyataintensitas penggunaan bahasa Sunda terhadap anak-anak mereka tergolong rendah. Namun, hal initidak berarti bahwa para orang tua lebih memilih bahasa Indonesia saat bertutur kepada anak-anaknya, sebab proporsi penggunaan bahasa Sunda masih lebih besar dibandingkan denganproporsi penggunaan bahasa Indonesia. Fakta yang sangat jelas adalah bahwa para orang tuamemiliki rasa khawatir yang cukup tinggi, kalau-kalau mereka bertutur dengan anak-anaknyadengan ragam yang tidak tepat, yang kemudian akan diikuti oleh anak-anak mereka dalambertutur sehari-hari. Anak-anak mereka juga sungguh menyadari bahwa penggunaan bahasaSunda dalam lingkungan keluarga sangat diperlukan untuk terus menjaga nilai-nilai budayaleluhur mereka sebagai orang Sunda. Sikap positif dari para responden terhadap nilai bahasaSunda bagi mereka sebagai orang Sunda seperti ini menjadi modal yang kuat untukmelangsungkan keberadaan bahasa Sunda di tengah-tengah kehidupan mereka dan menjaminkehidupan bahasa Sunda ini ke depan. Para responden bahkan memandang sangat perlu untukmewariskan bahasa Sunda ke generasi berikutnya, mengingat dalam bahasa Sunda terdapat

Page 20: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

131

nilai-nilai luhur dan mencerminkan jati diri orang Sunda, di samping memang mereka hidup diTatar Sunda. Hilangnya bahasa Sunda dari Tatar Sunda, mereka yakini merupakan sebuahbentuk dari hilangnya orang Sunda.

Namun, sikap positif terhadap bahasa Sunda yang dikemukakan oleh para respondenitu, ketika diperiksa dari pernyataan pada bagian lain dari angket, menunjukkan hal yang relatifberbeda, walaupun bukan berarti bertentangan. Ketika kepada para responden ditanyakan dalamkondisi apa mereka merasa menjadi orang Sunda yang sesungguhnya, jawaban mereka justrulebih menunjuk pada keberadaan mereka di Tatar Pasundan dan menjadi pemeluk agama Islam,baru diikuti dengan pernyataan terkait dengan kemampuan menggunakan bahasa Sunda (lihatdata di Tabel 5). Pengakuan mereka ini menujukkan bahwa tingkat kepentingan bahasa Sundadan kemampuan menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari tidaklah sepentingdibandingkan dengan untuk tetap hidup dan berada di tanah Sunda. Ini ternyata, kalau kitaamati, sejalan dengan fenomena yang kita temukan di masyarakat Sunda sendiri. Mereka sangatjarang yang pergi jauh merantau ke tanah seberang dan menetap hidup di sana. Walaupunmemang ada yang merantau, keterkaitan dengan tanah leluhur di Tatar Pasundan sangat jelasterwujud dari, misalnya, seringnya mereka kembali ke Tanah Pasundan. Bisa jadi, pepatah yangmenyatakan bahwa hujan batu di tanah sendiri lebih baik daripada hujan emas di tempat lainmenjadi salah satu ‘pedoman’ bagi para penutur bahasa Sunda. Pepatah ini tampaknya jugasejalan dengan peribahasa Sunda yang menyatakan bengkung ngariung, bongkok ngaronyok,seperti dikemukakan pada paparan di atas. Filosofi ini tentu saja berbeda dengan para penuturbahasa utama lainnya, seperti telah digambarkan di atas, baik bagi penutur bahasa Jawa,Minang, maupun Batak.

Tabel 5. Persepsi orang Sunda tentang Hakikat sebagai Orang Sunda

No. Aspek Budaya NilaiRata-rata

TotalPersen

Urutan(rata-rata)

Urutan(persen)

1 Hidup di Tatar Pasundan 2.02 75.23 1 12 Mampu bertutur dalam bahasa

Sunda dengan fasih2.07 65.82 2 3

3 Memeluk agama Islam 2.56 70.43 3 24 Mendidik /mewarisi keturunan

dengan (menggunakan) bahasaSunda

2.57 61.87 4 4

5 Mampu menikmati makanankhas Sunda

3.18 52.47 5 5

6 Mampu menikmati alunan musiktradisional Sunda

3.90 41.95 6 6

7 Menikah dengan sesama Sunda 4.01 41.38 7 78 Mampu melantunkan lagu-lagu

Sunda4.48 35.82 8 8

9 Mampu membaca naskah/tulisanSunda

5.11 34.34 9 9

10 Memakai pakaian Sunda 5.68 25.41 10 10Catatan:Nilai rata-rata dihitung berdasarkan penilaian yang diberikan responden tentang sebuah aspekbudaya dan jati diri sebagai orang Sunda (kolom 2), yang diurutkan dari 1-10. Angka 1menunjukkan urutan paling penting, angka 10 paling tidak penting.

Terkait dengan nilai pentingnya beraneka ragama Islam bagi penutur bahasa Sunda,tampaknya perlu diberi catatan khusus. Pengaruh agama Islam terhadap orang Sunda tampaknyalebih kuat dibandingkan dengan pengaruh agama-agama lain yang masuk ke Indonesia. Patutdiduga bahwa orang Sunda zaman dulu lebih melihat kecocokan nilai-nilai yang ditawarkan

Page 21: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

132

agama Islam kepada mereka dengan nilai-nilai yang dianut dan dipercayai serta ditemukandalam masyarakat Sunda. Dengan demikian, nilai-nilai agama Islam lebih mudah diadopsi olehorang Sunda. Namun, pengaruh agama lain pun, terutama Hindu, ditemukan juga dalamsebagian kecil kehidupan masyarakat Sunda.

Yang justru menarik untuk diamati dari hasil Studi #2 ini adalah berbedanya persepsipara responden di Studi#1 dengan persepsi para responden Studi #2 terkait dengan nilai budayainti. Para responden di Studi #1 melihat bahwa musik tradisional Sunda kecapi sulingmerupakan penggerak utama yang mampu membangkitkan kesadaran mereka sebagai orangSunda, karena lantunan musik itu mampu mengingatkan mereka pada daerah asal. Perbedaanpandangan seperti ditemukan pada dua studi ini sebetulnya bukan merupakan sebuah bentukdata yang berlawanan satu sama lain. Studi #2, dalam hal ini, justru menegaskan persepsi yangditunjukkan oleh para responden di Studi #1 yang jumlahnya amat terbatas. Kehidupan yangditemukan di Tatar Pasundan tergambar pasti dan sempurna dalam alunan musik tradisonalkecapi suling. Oleh karena itu, mereka terpanggil untuk rindu dan bahkan tetap hidup di TatarPasundan itu, hal mana ditegaskan oleh para responden #2 yang mencakup jumlah cukup besardan mewakili para penutur bahasa Sunda di berbagai wilayah.

Seperti dikemukakan pada paparan dan dan terlihat pada data di Tabel 5, pararesponden memiliki sikap yang sangat positif terhadap bahasa Sunda. Namun, merekamenempatkan nilai pentingnya bahasa Sunda tersebut pada urutan ketiga, sebagai indikatorutama untuk menunjuk pada jati diri orang Sunda yang sesungguhnya. Data ini persis samadengan hasil yang diperoleh dari studi #1. Artinya, walaupun bahasa Sunda itu dipandangpenting dan memiliki peran khusus bagi orang Sunda, untuk tetap menjadi orang Sunda yangsesungguhnya, mereka tetap akan lebih memilih tinggal di Tatar Pasundan, sekalipun merekatidak berbahasa Sunda lagi. Kondisi ini akan berdampak luas dan berpengaruh kuat terhadapupaya pemertahanan bahasa Sunda di kalangan orang Sunda. Gejala alih bahasa akan semakinmenguat dan meluas di tengah deras dan kuatnya pengaruh bahasa-bahasa lain. Peralihan inibukan hanya ditemukan pada praktik bahasa lisan tetapi juga pada bahasa tulisan, yang memangditunjukkan oleh para penutur bahasa Sunda dari berbagai tingkat usia dan ragam statussosialnya. Apabila gejala alih dan/atau campur bahasa ini berlanjut, maka pertarungan kekuatanantara bahasa Sunda di satu sisi dan bahasa lainnya (bahasa Indonesia dan bahasa asing) di sisilain tidak akan bisa dihindarkan. Bagaimana pun, pengguna bahasa pada akhirnya akan lebihmemilih bahasa yang paling fungsional. Kebijakan bahasa yang dirancang mulai tingkatkeluarga, masyarakat dan bahkan oleh pemerintah akan banyak menemukan kendala manakalatidak mampu melihat keterkaitan emosional para penutur bahasa dengan bahasanya.

Membangun Karakter KeindonesiaanPersepsi yang begitu beraneka ragam yang ditunjukkan oleh para responden dari keempatkelompok penutur bahasa daerah seperti dinyatakan pada pembahasan di atas memberikanisyarat akan kompleksitas usaha yang harus dilakukan dalam membangun karakter kebangsaan,yang disebut Indonesia. Memang benar bahwa keempat kelompok masyarakat yang terlibatdalam penelitian ini hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan konstituen keindonesiaanini. Namun, perlu kita sadari bahwa keempat kelompok masyarakat ini sesungguhnyamerupakan bagian terbesar dari seluruh penduduk warganegara Indonesia. Dengan demikian,keberhasilan membangun dan membina karakter kebangsaan terhadap mereka akanmemudahkan upaya membangun yang lainnya. Sebalikya, kegagalan membina karakter merekaakan berdampak kepada semakin sulitnya menjayakan nilai-nilai keindonesiaan itu. Namun,seperti dinyatakan tadi, kalau upaya membangun karakter kebangsaan itu dilakukan melaluisentuhan terhadap nilai-nilai inti dari budaya masing-masing, maka hal itu akan menghadapiberbagai kendala, walaupun upaya tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Pada bagian ini,penulis hanya akan melihat bagaimana peran bahasa (baik daerah maupun nasional) bisaoptimal dalam membangun karakter kebangsaan tersebut.

Page 22: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

133

Dengan keyakinan bahwa fungsi hakiki bahasa adalah sebagai alat untukmenyampaikan gagasan dan juga mempertahankan diri/kelangsungan hidup, maka sudahsemestinya bahasa juga dijadikan media untuk membangun karakter kebangsaan. Setiap orangyakin bahwa bahasa merefleksikan watak penuturnya, yang pada gilirannya merefleksikanmasyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Dalam bahasa—melalui analisis yang seksama danmendalam—kita menemukan ciri-ciri ketegasan, kelembutan, ke(tak)santunan, kebrutalan,bahkan perasaan sedih, bahagia, kecewa, marah, atau harapan mendalam yang dimiliki parapenuturnya. Mengingat potensi yang amat beraneka ragam ini, maka dalam kaitan denganpembinaan karakter kebangsaan, bahasa dapat diperankan secara optimal sesuai dengan tujuanyang ingin dicapainya. Dua hal bisa kita kemukakan di sini, yakni bahasa terbangun atasstruktur dan makna. Struktur merupakan wujud ‘lahir’, sedangkan makna (yang direalisasikanatau dibawa melalui leksikon) merupakan wujud ‘batin’. Oleh karena itu, kita akan uraikanbagaimana kedua wujud itu dapat mempengaruhi pembangunan karakter seseorang.

Untuk membentuk karakter yang kuat, kokoh, dan tegas, penggunaan struktur tuturanyang efisien dan leksikon yang tidak memiliki makna bersayap bisa menjadi pilihan pertama.Efisiensi ini dapat dicapai, misalnya, melalui penggunaan struktur tuturan yang sederhana(walaupun bukan berarti harus selalu dalam bentuk kalimat pendek-pendek berupada kalimatsederhana), pola wacana yang tidak berbelit-belit, dan tidak banyak mengandung pemagaran(hedges). Tuturan yang langsung dapat dimaknai tanpa harus banyak membuat tafsir laintentunya akan menunjukkan ketegasan maksud tuturan tersebut. Dengan cara seperti ini, tuturanyang dihasilkan dapat memberikan kesan tegas dan kuat (assertive) penuturnya. Namun, hal initidak berarti bahwa tatakrama berbahasa dalam wujud kesantunan tidak diperhatikan. Setiappengguna bahasa, bagaimana pun, harus tetap peduli dan secara seksama memperhatikanlingkungan pertuturan yang menyertai tuturannya. Ungkapan berikut ini bisa menjadi contoh.

a) Saya tidak setuju.b) Kayaknya, saya kurang sependapat dengan gagasan itu.c) Mohon maaf, tampaknya saya agak keberatan untuk bisa menyetujui gagasan ini.d) Saya punya pendapat yang agak berbeda, walaupun beberapa esensinya mirip juga

dengan pendapat tadie) Tampaknya gagasan itu bisa dipertimbangkan, kalau yang lain juga bisa

menyetujuinya.Contoh pada a)-d) di atas tentu saja bisa dan pasti akan digunakan pada situasi yang

berbeda-beda. Tidak semua pihak akan dengan cepat memahami maksud yang dikandung olehmasing-masing tuturan tersebut. Namun, terkait dengan pembinaan karakter dan tujuan untukmenunjukkan sikap, contoh a) dan b) lebih pantas untuk diutarakan pada situasi yang inginmenunjukkan ketegasan dan sikap yang lebih pasti, walaupun kadar ketegasan dari keduacontoh ini masih tetap berbeda. Melalui tuturan a), penutur secara lugas menyatakanketidaksetujuannya, sementara pada contoh b) masih mengandung pemagaran untuk‘melindungi’ penutur dari berbagai dampak kurang baik. Contoh c) memberi isyarat‘ketidaksetujuan’ penutur terhadap gagasan yang dimaksudkan, tetapi, isyarat itu hanya akanbisa ‘ditangkap’ oleh mitra tutur yang sudah kompeten. Begitu pula untuk contoh d) dan e) yanguntuk bisa memahami isinya perlu memperoleh penafsiran lebih mendalam.

Karakter jujur dapat dibangun dan dikembangkan melalui penggunaan konstruksibahasa yang tidak banyak mengandung eufemisme. Namun, hal ini tidak langsung berarti bahwaeufemisme dalam berbahasa menjadi haram digunakan. Yang benar adalah penggunaaneufemisme akan harus sangat kontekstual, khususnya untuk kasus-kasus berbahasa yangditengarai bakal memiliki dampak tidak nyaman pada pihak mitra tutur berupa ketersinggungan.Brown &Levinson (1987) menyebut tindak komunikasi seperti ini sebagai tindakan yangberpotensi mengancam wajah (face-threatening acts). Dengan kata lain, penggunaan eufemismedengan proporsi dan dalam situasi yang tepat justru akan menjadi bumbu penyedap suasanakomunikasi yang dibangun itu. Eufemisme yang digunakan oleh pihak penguasa tentang sebuah

Page 23: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

134

kasus kelaparan yang dikatakan dengan ‘rawan daya beli’ atau ‘gizi buruk’, kebodohan dengan‘rendah literasi’ merupakan contoh ketidakjujuran pihak penguasa terhadap rakyatnya, yangsekaligus akan menjadi media pembodohan dan penipuan terhadap rakyat itu sendiri.

Pola kalimat aktif, yang secara jelas mengidentifikasi subjek pelakunya, dapat menjadisaluran untuk membangun watak penutur yang bertanggung jawab. Ini agak berbeda denganpola kalimat pasif yang tidak menginginkan kehadiran pelaku yang sesungguhnya; yang barujelas setelah pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi itu memahami konteks pertuturanyang sedang terjadi. Tentu saja, kombinasi penggunaan struktur kalimat aktif dan pasif akanmenjadi pilihan yang harus dibuat penutur, sebab hal itu akan menujukkan kepiawaiannyadalam berbahasa. Selain itu, adanya kejelasan pertuturan yang menujukkan hubungan antarapenutur, subjek kalimat, dan fokus pembicaraan (speaker-topic-comment relations) dapatmenakar wujud dan tingkat tanggung jawab yang dimaksudkan tadi. Dalam hal ini, penuturakan senantiasa memiliki rujukan yang jelas ketika dia bertutur, baik yang terjadi mengenaidirinya maupun mengenai pihak-pihak di luar dirinya. Konteks pertuturan akan senantiasadihadirkan, sehingga mitra tutur akan mudah mengikuti lalu memahami isi pembicaraan yangsedang terjadi.

Sikap lembut, rasa hormat, ramah, dan rendah hati dapat tergambar pada penggunaanleksikon yang dipilih secara apik. Ironi, sarkasme, dan disfemisme dalam tuturan merupakansumber-sumber pemicu untuk timbulnya kesan kurang atau bahkan tidak baik tentang penutur.Penutur akan dianggap kasar, tidak sopan, dan sombong, karena telah menyinggung,melecehkan, dan mempermalukan mitra tutur pada saat komunikasi berlangsung. Penuturseolah-olah tidak mampu merasakan bahwa hal yang sama akan dirasa tidak nyaman juga kalauterjadi kepada dirinya (lihat Aziz, 2000 dan 2008 tentang prinsip ‘berbagi rasa’ dalam tindakkomunikasi yang santun). Dengan demikian, pemilihan kata yang sesuai dengan konteks dansituasi pertuturan akan menjadi saluran tersendiri bagi penutur dalam membentuk dirinya danmemberikan dampak pemahaman terhadap mitra tuturnya. Pencarian kosakata yang tepatmemerlukan kecerdasan tersendiri, demikian pula memahami konteks pertuturan yang terjadi; iaperlu dikaji supaya tidak salah dalam memutuskan kosakata yang tepat untuk dipakai padakonteks tersebut. Pada gilirannya, cara seperti ini lambat laun akan membentuk sikap hati-hatipula.

Keberhasilan pembinaan karakter melalui bahasa akan sangat bergantung kepadaadanya contoh yang diberikan oleh lingkungan pengguna dan penggunaan bahasa itu sendiri.Peran tokoh-tokoh anutan, baik itu pemimpin formal maupun informal, mulai lingkungankeluarga, masyarakat, tempat bekerja, menjadi sangat sentral dan instrumental. Dengandemikian, sinergi antarunsur masyarakat sangat diperlukan. Melalui proses belajar mengajar didalam kelas, para guru tidak lagi mengajarkan contoh-contoh berbahasa dan perilaku yangmemiliki kesan konsumtif, tetapi justru menghadirkan konteks yang menunjukkan sikap kerjakeras, penuh perjuangan, dan daya tahan. Contoh yang sama harus diambil oleh para penulisbuku teks untuk anak-anak sekolah. Para penguasa dan tokoh masyarakat tidak lagi berbahasayang mengundang timbulnya kecurigaan masyarakat akan ketidakjujuran sertaketidakmampuannya memberikan pelayanan yang prima kepada warga masyarakat. Parapenegak hukum tidak lagi bermain dengan kosakata yang menunjukkan seolah-olah kesalahanitu dapat dibungkus dengan berbagai dalih sehingga bisa menjadi hal yang benar setelah bersilatlidah. Para penyair tidak terus tergiur untuk meninabobokan masyarakat dengan bujuk rayu danromantisme kehidupan yang sesungguhnya kosong tanpa isi. Para orator tidak lagi membiusmassa dengan janji-janji yang sesungguhnya tidak akan bisa dipenuhi, yang akibatnya kelakjustru akan menghilangkan kepercayaan masyarakat sebab merasa dibohongi. Atau sebaliknya,mereka justru menghasut massa untuk tidak mempercayai pihak lain yang berseberangankepentingan dengan dirinya. Singkatnya, semua unsur masyarakat harus berderap-langkah samamenggunakan bahasa yang berkarakter, yang padat berisi, yang memberikan semangat dan dayajuang tinggi, memancarkan sikap jujur, santun, kuat, dan bertanggung jawab. Dalam kaitan

Page 24: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

135

inilah sesungguhnya bahasa dapat berperan dan bisa memberikan sumbangsih yang teramatbesar dalam membangun, membentuk, memoles, dan mencitrakan watak dan jati diri bangsayang diharapkan.

SIMPULANDari pembahasan terhadap kasus-kasus di atas, dapat kita ambil sejumlah simpulan berikut ini.Kencangnya pengaruh lingkungan, baik lokal maupun global akan mempengaruhi sikap anggotamasyarakat, termasuk dalam sikap berbahasa. Nilai-nilai budaya inti yang dimiliki anggotasebuah masyarakat memiliki andil yang kuat terhadap perilaku mereka. Hal ini, misalnya, bisaterkait dengan upaya mengidentifikasi diri, mengasosiasikan dirinya dengan budaya leluhurnya,mempertahankan agar akar-akar budayanya tumbuh atau justru membiarkannya menghilang,dan juga upaya untuk membina jati diri serta watak yang diharapkannya. Para penutur bahasadaerah utama di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, memiliki sikap yangberbeda-beda ketika dihadapkan kepada situasi berbahasa yang menuntutnya membuat pilihanberbahasa daerah atau bahasa Indonesia, baik pada lingkungan di dalam rumah maupun di luarrumah. Sikap bahasa seperti ini dapat dikaitkan dengan persepsi mereka tentang budaya intimereka. Semakin tinggi penilaian mereka terhadap posisi bahasa dalam pusaran budaya inti,maka semakin kuat dan sentimen mereka terhadap bahasanya, dan tentu sebaliknya. Masyarakatyang memandang bahasa sebagai bagian yang paling hakiki dari budaya intinya akan berupayasekuat tenaganya untuk melestarikan bahasanya, sebab ia merupakan bagian terpenting darieksistensinya sebagai warga masyarakat tersebut. Dengan demikian, kelangsungan hidup bahasatersebut dapat lebih terjamin. Sebaliknya, masyarakat yang tidak memandang bahasa sebagaibagian paling penting yang menisbatkan dirinya dengan budaya masyarakatnya, mereka akansangat pragmatis. Artinya, bahasa mereka akan dipertahankan sepanjang bahasa itu berperanfungsional.

Dalam kaitan dengan pembinaan dan pendidikan karakter, bahasa dapat berperan sangatoptimal untuk digunakan sebagai media pembinaan dan pendidikani. Melalui pengemasanstruktur dan leksikon pada saat berbahasa, seorang penutur dan penulis, walaupun dampaknyabaru akan dirasakan dalam jangka waktu yang agak lama, dapat mempengaruhi pola pikir mitratuturnya atau pembacanya. Sajian contoh-contoh berbahasa yang menggambarkan optimisme,kerja keras, daya juang, keteguhan prinsip, dan karakter atau watak positif lainnya akanmemberikan inspirasi kepada pembaca untuk berperilaku seperti itu. Sebaliknya, modelberbahasa yang menghadirkan sikap picik, lemah, pesimistis, pasrah, peragu, boros, khianat,munafik, dan watak jelek lainnya akan bisa menjadi gambaran yang bisa juga diikuti oleh parapembaca atau mitra tutur lainnya. Dalam hal ini, sebagai alat, bahasa memiliki dua fungsiseperti layaknya pedang bermata dua, yang sama-sama potensial. Bila digunakan untukmemberikan gambaran watak berisi karakter baik, maka bahasa akan tampil sebagai pupukuntuk persemaian watak-watak kebaikan. Sebaliknya, apabila bahasa hanya digunakan sebagaialat propaganda ketidak-baikan, ketidakjujuran, kebrutalan, kepasrahan, dan hasutan, makabahasa bisa secara membabi buta memangsa warga masyarakat sehingga akhirnya terbentukpula karakter-karakter negatif. Yang perlu diupayakan sekarang adalah bagaimana agarpenggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari kita justru didominasi oleh gambaranberbahasa yang berkarakter positif untuk mendukung pembentukan jati diri insani yang terpuji.

CATATAN* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan

makalah ini.

Page 25: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

136

RUJUKANAuer, Peter. 1991. “Italian in Toronto: a preliminary comparative study on language use and

language maintenance”. Multilingua. Vol. 10 (4), 403-440.

Aziz, E. Aminudin. 2000. Refusing in Indonesian: Strategies and politeness implications. TesisPh.D. Department of Linguistics, Monash University (tidak diterbitkan).

Aziz, E. Aminudin. 2008. “Horison baru teori kesantunan berbahasa”. Pidato Pengukuhan E.Aminudin Aziz sebagai Guru Besar Linguistik pada Fakultas Pendidikan Bahasadan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Universitas PendidikanIndonesia.

Bachika, Reimon. 2011. “Symbolism and values: Rationality and irrationality of culture”.Current Sociology. Vol. 59 (2), 200-213.

Bettoni, Camilla. and J. Gibbons. 1988. “Linguistic purism and language shift: A guise-voicestudy of the Italian community in Sydney”. International Journal of Sociology ofLanguage. Vol. 72, 15-35.

Brown, Penelope. and S.C. Levinson. 1987. Politeness: some universals in language usage.Cambridge: CUP.

Callan, Victor J. and C. Gallois. 1982. “Language attitudes of Italo-Australian and Greek-Australian bilinguals”. International Journal of Psychology. Vol. 17, 345-358.

David, Ohad and D. Bar-Tal. 2005. “A sociological conception of collecting identity: The caseof national identity as an example”. Personality and Social Psychology Review. Vol.13 (4), 354-379.

Delargy, Mary. 2007. “Language, culture and identity: The Chinese community in NorthernIreland”, dalam Craith, Mairead Nic (Editor). Language, power, and identity politics.New York: Palgrave Macmillan, 123-145.

Farris, Catherine S. 1992. “Chinese preschool codeswitching: Mandarin babytalk and the voiceof authority”. Journal of Multilingual and Multicultural Development. Vol. 13 (1-2),187-213.

Forrest, James and K. Dunn. 2006. “’Core’ culture hegemony and multiculturalism: Perceptionsof priviliged position of Australians with British backgrounds”. Ethnicities. Vol. 6(2), 203-230.

Hakuta, Kenji and D. D’Andrea. 1992. “Some properties of bilingual maintenance and loss inMexican background high-school students”. Applied Linguistics. Vol. 13 (1), 72-99.

Holmes, Janet dkk. 1993. “Language maintenance and shift in three New Zealand speechcommunities”. Applied Linguistics. Vol. 14 (1), 1-24.

Joseph, John E. 2004. Language and identity: National, ethnic, religious. NY: PalgraveMacmillan.

Lanza, Elizabeth and B.A. Svendsen. 2007. “Tell me who your friends are and I might be ableto tell you what language(s) you speak : social network analysis, multilingualism,and identity”. International Journal of Bilingualism. Vol. 4 (3), 275-300.

Lyon, Jean and N. Ellis. 1991. “Parental attitudes towards the Welsh language”. Journal ofMultilingual and Multicultural Development. Vol. 12 (4), 239-251.

Mleczko, Agata. 2011. Identity formation as a contemporary adaptation strategy: Chineseimmigrants in Italy. European Education. Vol. 42 (4), 25-48.

Page 26: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

137

Mok, Diana. 2010. “The spatiality and cost of language identity”. International RegionalScience Review. Vol. 33 (3), 264-301.

Morita, Liang Chua. 2005. “Three core values (religion, family, and language) of the Chinese inThailand”. Studies in Language and Culture. Vol. 27(1), 109-131.

Pauwels, Anne. 1986. “Diglossia, immigrant dialects and language maintenance in Australia:The case of Limburgs and Swabian”. Journal of Multilingual and MulticulturalDevelopment. Vol. 7 (1), 13-30.

Perskey, Irena and D. Birman. 2005. “Ethnic Identity in acculturation research: A study ofmultiple identities of Jewish refugees form the former Soviet Union”. Journal ofCross-curtural Psychology. Vol. 36 (5), 557-572.

Pűtz, Martin. 1991. “Language maintenance & language shift in the behaviour of German-Australian migrants in Canberra”. Journal of Multilingual and MulticulturalDevelopment. Vol. 12 (6), 477-492.

Roberts, Alasdair. 1991. “Parental attitudes to Gaelic-medium education in the Western Isles ofScotland”. Journal of Multilingual and Multicultural Development. Vol. 12 (4), 253-269.

Smolicz, Jerzy J. and M.J. Secombe. 1985. “Community languages, core values and culturalmaintenance: The Australian experience with special reference to Greek, Latvian,and Polish groups”. Dalam M. Clyne (ed.). Australia—meeting place of languages.Pacific Linguistics, C-92, 11-38.

Stelzl, Monika and C. Seligmen. 2009. “Multiplicity across cultures: Multiple national identitiesand multiple value systems”. Organization Studies. Vol. 30 (9), 959-973.

Wei, Pan. 2009. “Core social values in contemporary societies”. Diogenes. Vol. 221, 53-73.

Zhang, Donghui. 2008. “Between two generations language maintenance and acculturationamong Chinese immigrant families”, dalam Gold, Steven J. dan Rubén G. Rumbaut(Ed.). The New Americans recent immigration and American society. LFB ScholarlyPublishing LLC.

Page 27: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

E. Aminudin Aziz

138

Lampiran: AngketPetunjuk. Angket ini merupakan bagian dari penelitian yang sedang dilakukan terkait dengan

sikap bahasa, pemertahanan bahasa, dan persepsi Anda tentang budaya inti. Berilahtanda √ pada kotak yang disediakan. Isilah sesuai dengan informasi yang dimintakan.Tidak ada informasi yang terkait dengan pribadi Anda akan diungkapkan dalampenelitian ini. Terima kasih atas kerja sama Anda.

A. Identitas responden1. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan2. Usia : ____ tahun3. Pekerjaan : ________________4. Bahasa pertama : ________________5. Status perkawinan : Kawin Belum kawin6. Anak : Ada Tidak ada

B. Isilah dengan informasi yang biasa Anda alami atau lakukan1. Bahasa yang digunakan di rumah ketika berkomunikasi dengan

a. Istri/suami : ___________________________b. Anak : ___________________________c. Pembantu : ___________________________

2. Bahasa yang digunakan di lingkungan rumah dengan tetangga yanga. Berbahasa pertama sama : ___________________b. Berbahasa pertama berbeda : ___________________

3. Bahasa yang digunakan di tempat bekerjaa. Kepada atasan : ___________________b. Kepada sejawat : ___________________c. Kepada bawahan/staf lainnya : ___________________

4. Anda sedang di tempat bekerja, berbicara dengan sejawat dengan menggunakanbahasa daerah Anda. Lalu ada sejawat Anda lainnya, tetapi tidak memahami bahasadaerah Anda. Bahasa apa yang akan Anda gunakan ketika ingin melibatkannyadalam berkomunikasi?

a. Meneruskan berbicara dengan bahasa daerahb. Beralih menggunakan bahasa Indonesia

5. Anda sedang berbicara dengan salah seorang teman Anda, menggunakan bahasaIndonesia. Tiba-tiba muncul seorang teman Anda yang berbahasa daerah samadengan Anda. Ketika akan menyapa dan membuat obrolan kecil dengan teman yangbaru datang tersebut Anda:

a. Akan tetap menggunakan bahasa Indonesiab. Beralih untuk berbicara menggunakan bahasa daerah

6. Anda sedang di tempat bekerja. Ada pihak luar yang harus Anda layani dan Andatahu bahwa mereka berbahasa daerah sama dengan Anda, maka Anda:

a. Akan menggunakan bahasa Indonesiab. Akan menggunakan bahasa daerah

Page 28: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

139

C. Berikut ini adalah aspek-aspek budaya yang dapat menjadi indikator keanggotaan Andaterhadap suku bangsa/komunitas masayarakat Anda. Isilah menurut tingkat kepentingannyamenurut Anda sendiri.1 = paling penting 10 = paling tidak penting

Kemampuan berbahasa

Berpakaian adat

Kemampuan menyanyi/menari adat

Mendengarkan musik tradisional

Mendengar intonasi berbicara bahasa daerah

Mencicipi makanan khas masyarakat

Kesamaan agama

Kesamaan asal daerah

Merayakan hari besar agama/tradisional

Ingatan/kenangan kehidupan di desa

Page 29: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 141-154 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

PLAGIARISME DALAM KATA-KATA MAHASISWA:ANALISIS TEKS DENGAN PENDEKATAN FUNGSIONAL

Siti Wachidah*Universitas Negeri Jakarta

[email protected]

AbstrakArtikel ini melaporkan hasil analisis teks terhadap pernyataan mahasiswa tentangplagiarisme.Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang analitis tentangkonsep plagiarisme dalam karya akademik menurut pemahaman mahasiswa.Respondenterdiri atas 47 mahasiswa dari tujuh perguruan tinggi di pulau Jawa, Sumatra, Bali, danSulawesi, yang sedang mengerjakan skripsinya.Data terdiri atas pernyataan-pernyataanyang mereka tuliskan untuk menjawab empat pertanyaan kuesioner tentang definisiplagiarisme, bentuk tindakan plagiarisme, sikap terhadap tindakan plagiarisme, danpenyebab tindakan plagiarisme. Analisis dilakukan pada aspek transitivitas denganmenggunakan pendekatan fungsional sistemik untuk mengidentifikasi unsur proses,partisipan, dan lingkup situasi plagiarisme. Dengan cara ini, konsep plagiarismedipahami tentang bentuk tindakan, sasaran, dan cara melakukan tindakan plagiat, dapatdiidentifikasi secara jelas. Penelitian ini menemukan bahwa mahasiswa memilikipemahaman yang baik tentang bentuk tindakan dan sasaran plagiarisme, namun terkaitdengan cara, pemahaman mahasiswa masih tidak lengkap atau bahkan tidak tepat.Penelitian ini menunjukkan adanya tanda baik, yaitu bahwa plagiarisme secara umumdikaitkan dengan makna yang tidak baik, dan penyebab yang biasanya karena adanyaketerpaksaan karena hal-hal di luar kendali penulis.

Kata kunci: plagiarisme, transitivitas, tindakan, objek, lingkup situasi

AbstrackThe study analyses students’ statements about plagiarism. The aim was to obtain ananalytical understanding about their concepts of plagiarism in, particularly, academicwriting. Respondents were 47 students of seven different universities in Java, Sumatra,Bali, and Sulawesi who were currently woking on their skripsi. The data consisted ofstatements they wrote to answer four open questions, including definitions of plagiarism,plagiarism practices they knew, their views of advantages and diadvantages ofplagiarism, and reasons of plagiarism.The statements were analysed for their transitivityaspects by using the systemic functional linguistic procedure to identify the processes,participants, and circumstances. In this way, the particular acts of plagiarism, theobjects of plagiarism, and the circumstances of plagiarism can be vividly specified. Thestudy found that the students had good understanding concerning the acts and objects ofplagiarism, but incomplete or incorrect understanding concerning the circumstances ofplagiarism. It is a good sign thoughthat plagiarism was generally associated with wordswith unfavorable meanings, the occurrence of which being driven by circumstancesbeyond the students’ control.

Keywords: plagiarism, transitivity, acts, objects, circumstances

PENDAHULUANDalam pandangan Vygotsky (1986:212), makna kata merepresentasikan isi pikiran orang yangmengucapkannya. Dalam pandangan linguistik fungsional sistemik (Halliday dan Mattiessen,2004:168-306), pengungkapan makna dalam bentuk kata-kata mencerminkan proses yangdialami manusia, secara fisik, mental, verbal, dsb. Proses dibentuk oleh tiga unsur, yaituprosesnya itu sendiri, partisipan yang terlibat dalam proses, dan sirkumstansi yang melingkupi

Page 30: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Siti Wachidah

142

proses. Dengan cara pandang tersebut, kata-kata yang digunakan dalam pernyataan tentangkonsep plagiarisme dapat dianalisis untuk mengidentifikasi jenis-jenis tindakan plagiat yangdilakukan, objek yang menjadi sasaran tindakan plagiat, dan lingkup situasi dari tindakanplagiat. Pengetahuan tentang pemahaman mahasiswa tentang konsep plagiarisme secara analitisdan spesifik seperti ini diperlukan sebagai dasar untuk membuat rancangan pembelajaran yangtepat yang dapat membantu mahasiswa mengindari plagiarisme.

Konsep plagiarisme perlu dipahami secara jelas dan lengkap oleh setiap penulis karenasuatu tindakan plagiat, baik disengaja maupun tidak, dapat berakibat fatal terhadap karir seorangpenulis. Pernah terjadi di Amerika Serikat, akibat melakukan tindakan plagiat, seorang penulisbuku yang tersohor dan seorang reporter salah satu koran terbesar di dunia, New York Times,jatuh dan kehilangan karir cemerlangnya (Hansen, 2003). Di kalangan perguruan tinggi, plagiatjuga dianggap sebagai tindakan tercela dan melukai nilai integritas dan kejujuran yang seharusnyadimiliki akademisi atau ilmuwan (Jones, 2011; Larkin dan Francis, 2012). Akibat fatal daripelanggaran etika tersebut setidaknya telah dialami oleh seorang profesor dari sebuah perguruantinggi ternama di Indonesia ketika tindakan plagiatnya diberitakan di berbagai media cetak danelektronik nasional dengan namanya disebut secara terang-terangan (lihat a.l. Harjono, 2009;Nugrahanto, 2010). Bagi mahasiswa tindakan plagiat dapat berakikat dikeluarkan dari perguruantinggi atau tidak lulus dari suatu mata kuliah (Davies, 2008). Lipson (2008:42) menggunakanistilah “a high crash” untuk menggambarkan betapa berat hukuman masyarakat terhadappenulis yang melakukan tindakan plagiat.

Perhatian masyarakat akademik terhadap masalah plagiarisme di perguruan tinggisemakin besar antara lain karena semakin banyak kasus mahasiswa melakukan tindakan plagiat(Scanlon dan Neumann, 2002; Gerhardt, 2006; Davies, 2008; Kohl, 2011). Kasus plagiat jugabanyak ditemukan dalam karya tulis mahasiswa asing yang kuliah di negara-negara barat yangsudah sangat disiplin menindak pelaku plagiarisme (Davies, 2008; Marshall dan Garry, 2005,2006). Beberapa penelitian menemukan bahwa mahasiswa secara sengaja melakukan tindakanplagiat untuk menghasilkan karya tulisnya karena memang menganggap bahwa plagiat bukanmasalah pelanggaran yang serius dan seharusnya tidak perlu diberi sanksi (Marshall dan Garry,2006; Bamford dan Sergiou, 2005; O’Dwyer et al., 2010). Mereka berpendapat bahwa plagiatterjadi karena adanya kesenjangan antara tuntutan terhadap kualitas dan kemampuan yangdimiliki mahasiswa untuk dapat memenuhinya, antara lain pengelolaan waktu yang kurang baik,banyaknya tugas yang harus selesai pada waktu yang sama, ketidaksiapan menghadapi tuntutanpendidikan tinggi, memiliki penguasan bahasa pengantar yang belum memadai untukmenghasilkan karya ilmiah (Bamford dan Sergiou, 2005; Davies, 2008; O’Dwyer et al., 2010;Kohl 2011). Ketidakpahaman tentang plagiarisme, termasuk karena masalah budaya yangberbeda, juga menjadi penyebab terjadinya plagiat (Marshall dan Gary, 2005; Martin, 1994;Bamford dan Sergiou, 2005; McKenzie, 2000).

Di tengah perdebatan apakah tindakan plagiat merupakan pelanggaran berat yang harusditindak atau tindakan yang harus dapat dimaklumi, pemerintah Indonesia menunjukkan sikapyang tegas dan komitmen yang tinggi untuk menekan terjadinya tindakan plagiat dalam karyailmiah, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Dalamperaturan pemerintah tersebut, tindakan plagiat didefinisikan di Pasal 1 Ayat 1, sebagai berikut.

Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperolehatau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, denganmengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karena ilmiah pihak lain yangdiakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat danmemadai.

Cara mengutip yang dianggap plagiat disebutkan di Pasal 2, yaitu ‘tanpa menyebutkan sumberdalam catatan kutipan’ dan ‘tanpa menyatakan sumber secara memadai’. Apa yang dimaksuddengan ‘memadai’ dalam aturan tersebut, tidak dijelaskan dan juga tidak disebutkan kriterianya.

Page 31: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

143

Hal ini kemungkinan karena peraturan tersebut memang tidak dimaksudkan untuk memberikanpaparan rinci tentang plagiarisme, sebagaimana disiratkan oleh salah satu penyataan yangdigunakan untuk menyebutkan jenis tindakan plagiat di Pasal 2, yaitu ‘meliputi tetapi tidakterbatas pada.’

Berdasarkan berbagai pemaparan dan panduan tentang plagiat dan cara pencegahannya(a.l. Lipson, 2008; Roig, 2006; Mason, 2009; Harries, 2004) maupun panduan yang diterbitkanonline di situs jejaring berbagai perguruan tinggi (lihat a.l. University of Melbourne; Universityof New York; Griffith University; University of Birmingham), sedikitnya ada tiga bentukpelanggaran dalam pengutipan bahan dari karya orang lain, yaitu (1) tidak menyebutkansumbernya dengan benar dan lengkap pada teks maupun dalam daftar rujukan, (2) tidakmenggunakan tanda kutip pada kutipan langsung, dan (3) menggunakan kata-kata atau tatabahasa dari sumbernya dalam jumlah yang melampaui kepatutan. Dalam temuan Turnitin(2012), masing-masing jenis pelanggaran tersebut tidak selalu berfungsi secara sendiri-sendiritetapi secara bersama-sama. Menurut Roig (2006) sedikitnya ada sepuluh macam tindakanplagiat yang dilakukan dengan cara melanggar satu atau lebih dari satu tindakan plagiarisme,sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bentuk-bentuk Plagiarisme menurut Roig (2006)

No. Bentuk Plagiarisme dalam Sitiran dan Kutipan Kriteria yangdilanggar

1. Menyalin pernyataan yang bukan merupakan pengetahuan umumdari orang lain, sebagian atau keseluruhan, dengan cara mengurangidan/atau menambah kata-kata sendiri, atau menggantinya dengankata yang hampir sama, tanpa menyebutkan sumbernya denganlengkap dan benar.

(1) dan (2)

2. Mengutip kalimat, frasa, dan kata tentang suatu konsep atau faktayang belum menjadi pengetahuan umum persis dari sumbernya(verbatim) tanpa memberi tanda kutip meskipun menyebutkansumber rujukan secara lengkap dan benar.

(2)

3. Mengutip kalimat, frasa, dan kata tentang suatu konsep atau faktayang belum menjadi pengetahuan umum persis dari sumbernyatanpa menyebutkan sumber rujukan secara lengkap dan benar.

(1) dan (2)

4. Mengutip dari sumbernya kalimat demi kalimat, atau paragraf demiparagraf tanpa menggunakan tanda petik meskipun menyebutkansumbernya secara lengkap dan benar.

(2)

5. Mengambil sebagian pernyataan orang lain yang bukan merupakanpengetahuan umum, mengubah cara penyampaiannya secarakeseluruhan dengan tata bahasa dan kata-kata yang tidak sama,tanpa menyebutkan sumbernya secara lengkap dan benar.

(1)

6. Mengutip kalimat, frasa, dan kata konsep persis dari sumbernyadengan menyebutkan sumber rujukan secara lengkap dan benartetapi tanpa menggunakan tanda kutip.

(2)

7. Mengambil sebagian pernyataan orang lain, menyebutkansumbernya dengan benar, tetapi hanya mengubah sedikit kata-kataatau tata bahasanya (misalnya, aktif ke pasif, ‘cause’ ke ‘reason’)meskipun dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap danbenar.

(3)

8. Dalam meringkas atau memparafrasa pernyataan orang lain masihtetap menggunakan struktur kalimat persis dengan yang digunakansumbernya, meskipun telah menyebutkan sumbernya dengan benardan lengkap.

(3)

Page 32: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Siti Wachidah

144

No. Bentuk Plagiarisme dalam Sitiran dan Kutipan Kriteria yangdilanggar

9. Mengambil atau menggunakan gagasan (a.l. penjelasan, pendapat,teori, kesimpulan, hipotesis, metafora) orang lain, sebagian ataukeseluruhan, dengan kata-kata sendiri tanpa menyebutkan sumbersecara lengkap dan benar.

(1)

10. Mengambil atau menggunakan gagasan yang disampaikan secarakasual (a.l. ngobrol), termasuk oleh orang biasa atau yang tidakmemiliki kredibilitas keilmuan (a.l. teman, tukang sapu) tanpamenyebutkan sumber tersebut.

(1)

Selain melanggar kepatutan dalam pengutipan, menerbitkan karya orang lain atau karya sendiriyang telah diterbitkan sebelumnya juga merupakan tindakan plagiat (juga lihat Davies, 2008).

Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik IndonesiaNomor 17 Tahun 2010 tersebut, setiap perguruan tinggi di Indonesia bertanggung jawab untukmemastikan bahwa dosen maupun mahasiswa memahami apa yang dimaksud dengan plagiatserta mampu dan mau untuk tidak melakukannya. Pembelajaran untuk menghindari tindakanplagiat perlu menjadi bagian yang penting dalam semua mata kuliah, terlebih lagi mata kuliahtentang menulis akademik. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pemahaman mahasiswatentang konsep dan praktik plagiat, dalam rangka melakukan analisis kebutuhan yangdiperlukan untuk merancang program pembelajaran penulisan karya ilmiah.

Permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam empat pertanyaan tentang pemahamanmahasiswa tentang plagiarisme berikut ini.

1. Bagaimana pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme?2. Bagaimana sikap mahasiswa terhadap plagiarisme?

METODE PENELITIANResponden terdiri dari 47 mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dari tujuh universitasnegeri di empat pulau besar di Indonesia, Jawa, Sumatra, Bali, dan Sulawesi yang sedang dalamproses mengerjakan skripsinya. Kriteria ini diperlukan untuk memastikan bahwa mereka telahmendapatkan pelatihan formal tentang plagiarisme.

Berbeda dengan penelitian lain yang menganalisis persepsi atau pemahaman respondententang plagiarisme berdasarkan isi pernyataan secara umum (a.l. Bamford dan Sergio, 2005;Davies, 2008; Marshall dan Garry, 2005, 2006; Yusof dan Masrom, 2011), penelitian inimeneliti kata-kata yang sebenarnya digunakan dalam setiap pernyataan mahasiswa tentangplagiarisme. Analisis ini dimaksudkan untuk dapat mengungkap setiap aspek tindakan plagiatsecara lebih rinci dan spesifik, yaitu (1) tindakan verbal apa saja yang menurut mahasiswamerupakan tindakan plagiat, (2) sasaran tindakan plagiat, dan (3) cara melakukan tindakanplagiat. Untuk mendapatkan pernyataan responden tentang tindakan plagiat, digunakan duapertanyaan berikut ini.

1. Apa yang dimaksud dengan plagiarisme dalam karya ilmiah?2. Sebutkan bentuk-bentuk tindakan plagiat dalam kutipan dalam karya ilmiah yang Anda

ketahui.Didasari oleh pandangan bahwa plagiarisme adalah suatu bentuk tindakan, pernyataan

mahasiswa untuk menjawab pertanyaan pertama dianalisis secara rinci pada aspektransitivitasnya dengan menggunakan teori proses dalam tradisi linguistik fungsional sistemik(Halliday, 1994; Halliday dan Matthiessen, 2004). Hal ini didasari oleh pandangan bahwaplagiarisme adalah suatu bentuk tindakan. Dari sebanyak 47 mahasiswa memberikanpernyataannya untuk merespon pertanyaan pertama diperoleh 58 pernyataan.

Menurut pandangan linguistik fungsional sistemik, proses terdiri atas tiga bagian, yaituprosesnya itu sendiri, orang/benda/fakta yang terlibat dalam proses tersebut, dan situasi kondisi

Page 33: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

145

yang melingkupi proses, seperti waktu, tempat, tujuan, alasan, dsb. Satuan bahasa yangdigunakan untuk menyatakan satu proses adalah klausa yang merupakan bangunan transitivitasyang terdiri atas unsur verba yang menyatakan proses, unsur nomina yang menyatakanorang/benda/fakta yang terlibat, dan unsur adverbia atau frasa preposisional yang menyatakansituasi dan kondisi proses. Dari 58 pernyataan tersebut diperoleh 76 klausa yang masing-masingmenyatakan satu tindakan plagiat. Dengan analisis transitivitas dapat ditemukan apa yangdiketahui mahasiswa tentang setiap aspek tindakan plagiat, yaitu bentuk, sasaran, dan caratindakan plagiat.

Soal kedua yang berupa instruksi untuk menyebutkan bentuk-bentuk plagiat sebenarnyaakan menghasilkan respon yang tidak terlalu berbeda dengan respon terhadap soal nomor 1,karena jawaban terhadap pertanyaan tersebut juga akan menyebutkan suatu tindakan plagiatdalam kutipan dalam karya ilmiah. Sebanyak 64 pernyataan yang disebutkan responden untukmerespon soal tersebut diperlukan untuk memperkuat pemahaman kita tentang apa yangdiketahui mahasiswa tentang tindakan plagiat.

Pernyataan mahasiswa tentang konsep plagiarisme perlu dikaitkan dengan tingkatpemahaman mereka tentang praktik plagiarisme yang benar-benar terjadi dalam karya ilmiah.Tingkat pemahaman mahasiswa tersebut diukur dengan memberikan kuesioner yang terdiri darisepuluh butir pernyataan deskriptif tentang praktik plagiarisme yang ditemukan Roig (2006)sebagaimana tertera di Tabel 1, dengan empat pilihan jawaban, yaitu (1) sangat dipahami, (2)cukup dipahami, (3) kurang dipahami, dan (4) belum dipahami.

Sikap mahasiswa terhadap plagiarisme diteliti melalui pernyataan-pernyataan yangmereka sebutkan untuk menjawabkan dua pertanyaan berikut ini.

3. Sebutkan hal-hal positif dan negatif tentang plagiarisme dalam karya ilmiah.4. Sebutkan beberapa hal yang menyebabkan banyak penulis karya ilmiah melakukan

tindakan plagiat.Dari soal ketiga diperoleh 43 pernyataan; sebanyak 22 menyatakan segi positif dari

plagiarisme, sedangkan 18 lainnya menyatakan tidak ada hal-hal positif dari tindakan plagiat,satu menyatakan tidak tahu, satu menyatakan boleh tetapi dengan syarat menggunakan kata-katasendiri, dan satu lagi dengan syarat menyebutkan sumber rujukan (yang tentunya tidak dapatlagi dianggap plagiarisme). Dari soal nomor 4 diperoleh 19 pernyataan tentang penyebabmahasiswa melakukan tindakan plagiat. Informasi tentang apa yang mahasiswa ketahui tentangpenyebab tindakan plagiat juga diperlukan untuk melengkapi gambaran tentang sikapmahasiswa terhadap tindakan plagiat.

HASIL PENELITIANTemuan penelitian ini terdiri atas pemahaman mahasiswa tentang bentuk tindakan, objek, dancara melakukan tindakan plagiat, sikap mahasiswa tentang tindakan plagiat, dan penyebabpenulis melakukan tindakan plagiat.

Permasalahan 1: Bagaimana Pemahaman Mahasiswa tentang Plagiarisme?Dengan menggunakan konsep ‘proses’ menurut linguistik fungsional sistemik, pemahamanmahasiswa tentang plagiarisme terlihat pada pernyataan mereka tentang tiga aspek tindakanplagiarisme, yaitu (1) tindakan verbal plagiat, (2) sasaran tindakan plagiat, dan (3) caramelakukan tindakan plagiat.

Tindakan PlagiatTerlihat dalam diagram pada Gambar 2, dari 76 klausa tentang makna plagiarisme, ada delapanbelas macam kata kerja yang mengungkapkan bentuk tindakan plagiat. Yang paling seringdisebutkan adalah menjiplak, yang disebutkan sebanyak tiga belas kali atau 17%. Yang keduamengambil, yang disebutkan sebanyak sepuluh kali atau 13%. Yang ketiga adalah mengutip,yang disebutkan sebanyak delapan kali, atau 11%. Keempat adalah menyalin, yang disebutkan

Page 34: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Siti Wachidah

146

sebanyak tujuh kali, atau 9%. Pada peringkat berikutnya adalah kata mengakui danmenggunakan, yang sama-sama disebutkan sebanyak enam kali, atau 8%. Kata mengkopidisebutkan sebanyak empat kali, atau 5%. Disebutkan sebanyak tiga kali atau 4% adalah empatkata, yaitu menuliskan, meniru, mencuri, dan mencontek. Kata mencaplok, menduplikat, danmencontoh disebutkan masing-masing sebanyak dua kali atau 3%. Kata-kata menamakan,memasukkan, menyitir, dan menyadur masing-masing hanya sekali disebutkan atau 1%.

Gambar 1. Tindakan Plagiat dan Frekuensi Penyebutannya

Dari temuan tersebut, dapat dikatakan bahwa pada umumnya mahasiswa memilikipemahaman yang tidak salah tentang bentuk tindakan plagiat. Kata yang menduduki peringkattertinggi adalah menjiplak, yang memang bermakna menyalin dengan cara yang tidak dapatdibenarkan. Kata-kata lain yang juga mengindikasikan tindakan menyalin yang tidak dibenarkanadalah mencuri, mencontek, mencaplok, dan menduplikat. Semua kata tersebut mengindikasikanmakna negatif terhadp tindakan plagiarisme. Kata-kata mengutip, menyalin, mengakui,menggunakan, menuliskan, mencontoh, memasukkan, menyitir, dan menyadur masing-masingmemang memiliki makna netral, namun dengan penyebutan cara tidak benar akan menjaditindakan plagiat, yang tidak bisa diterima. Kata mengkopi meminjam kata bahasa Inggris yangartinya manyalin. Hanya kata menamakan yang mungkin kurang tepat untuk dimaknai sebagaitindakan plagiat.

Objek Tindakan PlagiatDari 76 klausa tentang makna plagiarisme, disebutkan tiga belas macam sasaran plagiat.Tampak dalam Gambar 3, jenis-jenis pernyataan yang disebutkan menjadi sasaran plagiatadalah ide, pernyataan, kata, gagasan, pendapat, pemikiran, teori, konsep, dan pernyataanlisan. Kata-kata yang digunakan untuk menyebutkan sasaran plagiarisme tersebut dapatdikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan bentuk bahasa yang digunakan (pernyataan,kata, pernyataan lisan) dan berdasarkan isi makna yang diutarakan (ide, gagasan, pendapat,pemikiran, teori, dan konsep).

Page 35: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

147

Gambar 2. Jenis Pernyataan yang Diplagiat

Namun sebaliknya, terkait dengan bentuk bahasa yang digunakan, mahasiswamenggunakan istilah yang sangat umum, yaitu pernyataan atau sebaliknya sangat spesifik, yaitukata. Satuan-satuan di antara keduanya, yaitu frasa, klausa, ungkapan, tidak ada yangdisebutkan. Di samping sasaran tindakan plagiat dalam bentuk kutipan, disebutkan juga sasaranyang berupa karya secara utuh, yaitu karya, hasil karya, karya tulis, tulisan, karyailmiah/akademik, penelitian, tugas, dan hak cipta. Temuan tersebut menunjukkan bahwamahasiswa memiliki pemahaman yang baik tentang objek-objek yang biasa menjadi sasaranplagiat.

Cara Melakukan Tindakan PlagiatPernyataan responden tentang tindakan plagiat yang dilengkapi dengan cara melakukannyahampir semuanya mengenai tindakan plagiat dalam kutipan. Hanya pernyataan ‘tidakdisebutkan dalam Daftar Pustaka’ yang tidak langsung terkait dengan penyebutan rujukan padasitiran atau kutipan.

Sebagaimana telah disebutkan di bagian Pendahuluan, ada tiga bentuk tindakan plagiatdalam mengutip, yaitu (1) sumber tidak disebutkan secara benar dan lengkap, (2) kutipanverbatim tidak diletakkan antara tanda petik, dan (3) menggunakan kosa kata dan tata bahasadari sumber dalam jumlah yang melampaui kepantasan. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 2,ternyata tidak satu pun mahasiswa menyebut bentuk tindakan plagiat (2) dan (3). Hampirsemuanya menyebutkan pentuk tindakan plagiat yang pertama, yaitu sebanyak 39 dari 58pernyataan (67%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tanda petik dalam kutipan dan porsiteks yang dapat diambil dari sumber masih luput dari perhatian mahasiswa. Ada kemungkinanjuga mereka belum mengetahui kedua kriteria pelanggaran plagiarisme tersebut.

Selain ketiga cara plagiat tersebut, ada beberapa cara lain yang disebutkan yang justrutidak dapat dijadikan sebagai kriteria plagiat. Pernyataan bahwa plagiat adalah cara pengutipandan penyitiran yang ‘tidak benar’ mengindikasikan pemahaman yang terlalu umum dan tidaklengkap, yang kemungkinan justru diutarakan karena memang belum mengetahu praktik-praktikyang dapat dinyatakan sebagai tindakan plagiat. Kekurangpahaman mahasiswa terhadap makna

Page 36: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Siti Wachidah

148

plagiat terlihat pada cara-cara lain yang disebutkan, yaitu ‘izin dari sumber’, ‘tanpa mengubahkalimat’.

Berdasarkan analisis terhadap cara-cara plagiarisme tersebut dapat dikatakan bahwapemahaman mahasiswa tentang plagiarisme belum dapat dikatakan lengkap dan rinci.Pemahaman masih terbatas pada segi penyebutan sumber rujukan saja. Penggunaan kutipan dankelayakan porsi penggunaan kata dan tata bahasa dari sumber belum menjadi bagian daripemahaman mahasiswa. Ada juga pemahaman yang tidak benar, yaitu bahwa untuk tidakplagiat penulis harus meminta izin dari penulis sumber rujukan.

Tabel 2. Cara-cara Plagiat

Cara Plagiat JumlahPenyebutan

PersentasePenyebutan

1. Sumber pernyataan yang dikutip tidakdisebutkan secara benar dan lengkap

39 67%

2. Kutipan langsung (verbatim) tidakdiletakkan antara tanda petik

0 0%

3. Kutipantidak langsung menggunakantata bahasa dan/atau kosa kata yangsebagian besar digunakan dalam tekssumber

0 0%

4. Kutipan dan sitiran dilakukan dengantidak benar

2 3%

5. Kutipan dan sitiran dilakukan tanpaseizin sumber

8 14%

6. Plagiat dilakukan serasa sengaja atautidak sengaja

1 2%

7. Sumber tidak disebutkan dalam DaftarPustaka

1 2%

8. Sitiran dan kutipan dilakukan tanpamengubah kalimat

1 2%

9. Plagiat dilakukan dalam bentukmaupun isi pesan

1 2%

Ketidak-lengkapan pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme juga terlihat daripernyataan mereka tentang bentuk-bentuk tindakan plagiat. Dari 52 bentuk tindakan plagiatdalam kutipan yang disebutkan responden, ditemukan bahwa tidak satupun pernyataan yangmencakup secara lengkap ketiga bentuk tindakan plagiat. Hanya empat pernyataan yangmencakup dua kriteria, yang semuanya mencakup tindakan plagiat (1), yaitu tidak menyebutkannama sumber. Sebagai contoh adalah pernyataan Mahasiswa 5 dari Universitas 1, danMahasiswa 4 dari Universitas 3.

Tidak mencantumkan sumber dokumen/pernyataan; penggunaan kalimatlangsung dari sumber tanpa ada tanda baca yang sesuai. (U1-5)Mengutip tulisan/gagasan orang lain tanpa mencantumkan/menyebutkansumbernya; ... Memakai tulisan/gagasan orang lain secara keseluruhan tanpamenggunakan tanda kutip. (U3-4)

Sebanyak delapan belas pernyataan mencakup hanya 1 kriteria, yang semuanya jugasama, yaitu bentuk tindakan (1), tidak menyebutkan sumber rujukan.

Tidak mencantumkan sumber ketika meng”quote”. (U1-1)Tidak mencamtumkan referensi dari sumber. (U2-2)Menjiplak idea atau gagasan berupa kata, phrasa, kalimat atau paragraphtanpa menyebutkan atau menyantumkan sumbernya. (U3-5)

Page 37: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

149

Sebanyak sepuluh pernyataan tidak menyebutkan bentuk plagiarisme secara tidaklengkap atau tidak menyebutkan suatu cara secara spesifik, seperti beberapa contoh berikut ini.

Mengcopy gagasan orang di dalam karya tulis yang dibuat.(U1-4)Penggunaan kalimat langsung dari sumber tanpa ada tanda baca yang sesuai.(U1-5)Mengutip kalimat, frasa, dan kata konsep. (U4-4)Mengambil ungkapan/istilah orang lain dan menganggap sebagai miliknya.(U6-2)

Sebanyak sebelas pernyatakan menyebutkan kriteria plagiarisme secara tidak benar.

Menjiplak isi tanpa ada perbedaan sama sekali. (U1-7)Mengambil kutipan tanpa seizin penulis aslinya. (U4-9)Mengambil cuplikan artikel tanpa merubah isi dan tanpa mencantumkansumber. (U6-2)Menjiplak isi karya ilmiah milik orang lain tanpa menambahkan pendapatsendiri . (U7-4)

Berbagai temuan yang terungkap melalui jawaban responden terhadap pertanyaanterbuka yang kedua tersebut menunjukkan indikasi yang tidak jauh berbeda dengan temuanyang terungkap dari pernyataan definisi plagiarisme yang dibuat mahasiswa di atas. Pemahamanmahasiswa pada umumnya tentang plagiarisme masih bersifat parsial atau tidak utuh, dan masihterlalu umum atau tidak menunjuk pada cara yang spesifik. Sebagian justru masih memilikipemahaman yang keliru dan bahkan ada juga masih belum tahu.

Temuan melalui kuesioner tentang tingkat pemahaman mahasiswa terhadap praktikplagiarisme semakin menguatkan temuan penelitian ini bahwa pada umumnya mahasiswabelum memiliki pemahaman yang lengkap dan benar tentang tindakan plagiat. Sebagaimanatelah disebutkan sebelumnya, tingkat pemahaman mahasiswa tentang praktik plagiarismediperoleh melalui sepuluh pertanyaan tertutup untuk mengukur sudah berapa lama merekamengetahui bahwa butir-butir pernyataan yang ada dalam kuesioner adalah praktik plagiarisme.Dengan menghitung rata-rata persentase jumlah jawaban yang diperoleh di setiap butirditemukan 48% sangat dipahami, 22% cukup dipahami, 23% kurang dipahami, dan 7% belumdipahami (lihat Gambar 1).

Gambar 3.Tingkat Pemahaman Mahasiswa terhadap Praktik Plagiarisme secara Keseluruhan

Page 38: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Siti Wachidah

150

Temuan yang menunjukkan bahwa masih kurang dari 50% bentuk-bentuk plagiarismeyang dibaca mahasiswa dalam kuesioner sangat dipahami mahasiswa menunjukkan adanyakemiripan dengan temuan-temuan yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu tingkat pemahamanyang masih jauh dari seharusnya.

Permasalahan 2: Bagaimana Sikap Mahasiswa terhadap Plagiarisme?Sikap mahasiswa terhadap plagiarisme diukur dari pernyataan responden tentang hal-hal positifdan hal-hal negatif tentang plagiarisme dalam karya ilmiah dan beberapa hal yang menurutmereka menjadi penyebab idlakukannya tindakan plagiat.

Hal-hal Positif dan Negatif tentang Plagiarisme dalam Karya IlmiahDari 43 pernyataan yang disebutkan responden, dua puluh dua menyatakan segi positif dariplagiarisme, sedangkan delapan belas lainnya mengatakan tidak ada, satu tidak tahu, satudengan syarat menggunakan kata-kata sendiri, dan satu lainnya dengan syarat menyebutkansumber rujukan (yang tentunya tidak dapat lagi dianggap plagiarisme). Dari dua puluh duajawaban tentang hal-hal positif dari plagiarisme, semuanya dapat diwakili oleh pernyataanMahasiswa 4 dari Universitas 5 berikut ini.

Saya rasa tidak ada hal-hal positif dalam hal plagiarisme ini. Hanya akanmengun tungkan orang yang melakukan plagiat saja. (U5-4)Tidak ada, terkecuali memudahkan penulis karya ilmiah cepat bekerja tanpasusah payah.

Pernyataan Mahasiswa 6 Universitas 4 berikut ini mewakili pernyataan tentang bentukkeuntungan plagiarisme, yang dinyatakan oleh 16 mahasiswa.

Memudahkan penulis untuk merumuskan ide-ide dan menyusun kerangkaberpikirnya. (U4-6)

Selain itu, lima mahasiswa menyatakan segi positif plagiarisme lain, yaitumeningkatkankualitas bahasa dan mutu informasi yang disampaikan, seperti contoh berikut ini.

Membuat kalimat/pernyataan pemulis terlihat bagus (sophisticated), danseolah-olah menunjukkan penulis benart-benar expert. (U1-6)Dapat menguatkan karya yang kita buat karena disertai dengan pendapatorang lain yang lebih tinggi pengetahuannya dan menambah wawasan. (U4-6)Melengkapi kekurangan pada karya pelaku plagiarisme. (U5-5)

Temuan ini menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa menganggap plagiarismebukan sebagai bentuk kejahatan intelektual yang harus dijauhi, tetapi sebagai tindakan yangdapat dibenarkan hanya agar tugas-tugasnya mendapat nilai baik dari dosen. Tujuan pragmatisjangka pendek tersebut dapat membuat mereka lupa akan akan risiko yang timbul dalam jangkapanjang.

Sebaliknya, pernyataan negatif mahasiswa tentang plagiarisme, sebagaimana dipaparkandi Tabel 3 menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang baik tentang risiko dandampak jangka panjang plagiarisme.Dari berbagai pernyataan negatif tentang plagiarism tersebutterlihat adanya kecenderungan yang lebih besar ke arah negatif daripada positif. Hal inimenunjukkan adanya pemahaman umum bahwa plagiarisme dianggap bukan hal yang patutdilakukan dalam penulisan karya ilmiah.

Page 39: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

151

Tabel 3. Pernyataan Negatif tentang PlagiarismeNo. Pernyataan Negatif tentang Plagiarisme Jumlah Pernyataan1 Mengembangkan sikap tidak jujur, malas, tidak percaya diri;

tidak menghargai karya orang lain16

2. Mematikan kreativitas/kemampuan mengembangkan ide 143. Kejahatan intelektual 124. Tidak berdampak pada perkembangan individu 85. Informasi atau data tidak benar 46. Hasil penelitian tidak valid dan tidak original 47. Mematikan etos berkarya orang akademik 48. Hasil karya tidak dihargai 39. Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan 310. Merugikan pemilik asli karya yang dirujuk 211. Hilangnya kepercayaan publik terhadap mutu lulusan 212. Mengembangkan potensi untuk tidak jujur di pekerjaannya nanti 113. Merusak nama baik 114. Merendahkan moral bangsa 115. Menurunkan minat menulis karena takut diplagiat 1

Penyebab Tindakan PlagiatPenelitian ini menemukan sembilan hal yang menurut responden menjadi penyebab terjadinyatindakan plagiat (lihat Tabel 4). Dengan asumsi bahwa frekuensi jawaban dapat merepresen-tasikan tingkat intensitas kejadian yang dialami mahasiswa, dapat disimpulkan bahwa penyebabyang paling besar adalah sikap pragmatis untuk asal jadi atau cepat selesai, serta terbatasnyakemampuan membaca dan menulis karya tilmiah. Sebaliknya, ketidaksengajaan dan kemudahanakses untuk melakukan plagiat bukan menjadi alasan mahasiswa melakukan plagiat.Keterbatasan waktu mengerjakan tugas dan ketidaktahuan cara mengutip dan plagiarismemenduduki peringkat tengah. Dengan masalah sanksi pada peringkat ketujuh dapat diartikanbahwa sanksi belum menjadi isu penting yang terkait dengan tindakan plagiat.

Tabel 4. Penyebab Dilakukannya Plagiarisme

No. Penyebab JumlahPernyataan

1 Rasa malas, tidak mau repot, ingin mudah, ingin cepat selesai 272. Kurang mencari dan membaca sumber pustaka, ketidak mampuan

menulis, rendahnya minat untuk menulis, tuntutan dosen yang terlalutinggi

22

3. Keterbatasan waktu mengerjakan tugas, terlalu banyak tugas yangharus selesai pada waktu bersamaan,

15

4. Tidak mengetahui cara mengutip dengan benar, keterbatasanpengetahuan tentang plagiarisme

13

5. Kurang percaya diri, ingin mendapatkan hasil yang memuaskan,terpaksa, dituntut cepat lulus

5

6. Referensi tidak ada atau sulit didapatkan 47. Tidak adanya tindakan tegas atau sangsi, tidak menyadari sanksinya 38. Ketidak-sengajaan 19. Kemudahan akses untuk melakukan plagiarisme 1

Page 40: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Siti Wachidah

152

PEMBAHASANAnalisis transitivitas terhadap semua pernyataan responden mahasiswa tentang konsep danpraktik plagiarisme telah menunjukkan bahwa plagiarisme belum dipahami secara utuh danjelas oleh mahasiswa pada umumnya. Pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme sudah baikdalam terkait dengan jenis-jenis tindakan plagiat dan bahan yang menjadi sasaran plagiat,namun tentang cara tindakan plagiat dilakukan, pemahaman mahasiswa rata-rata masih belumutuh atau lengkap. Cara yang umum diketahui dengan sangat baik hanya satu yaitu dengan tidakmenyebutkan rujukannya, baik di dalam teks maupun dalam dalam daftar pustaka. Dua halpenting yang harus dilakukan untuk tidak plagiat tidak banyak tersebut dalam pernyataanmahasiswa, yaitu penggunaan tanda kutip pada kutipan langsung dan kepatutan dalam haljumlah atau porsi dari isi makna dan unsur kebahasaan yang dapat diambil dari sumber rujukan.Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketidaktepatan pemahaman tentang plagiarisme terletakpada aspek yang justru berisiko mengarah pada tindakan plagiat, yaitu cara melakukannya.Dibandingkan dengan temuan-temuan dari penelitian sebelumnya, antara lain yang dilaksakanoleh Marshall dan Gary (2005) dan Yusof dan Masrom (2011), temuan ini mengungkapkanlebih banyak informasi tentang pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme secara lebih rincidan spesifik. Dengan demikian, temuan ini dapat memberikan sumbangan nyata untukdipertimbangkan dalam menentukan materi pembelajaran yang diperlukan untuk meningkatkankemampuan mahasiswa menghindari tindakan plagiat dalam menghasilkan karya ilmiah.Analisis fungsional terhadap konstruksi kata-kata yang digunakan dalam membuat pernyataantentang plagiarisme terbukti mampu mengungkapkan secara spesifik aspek-aspek dalampenulisan karya ilmiah yang masih perlu dipelajari mahasiswa.

Dalam hal sikap terhadap tindakan plagiat, penelitian ini menemukan bahwa mahasiswapada umumnya memiliki sikap negatif terhadap plagiarisme dengan menyebutkan berbagaiakibat negatif yang dapat ditimbulkannya, yang bukan hanya terbatas pada karya ilmiah yangdihasilkan, tetapi lebih jauh lagi, yaitu pada menurunnya kualitas kemanusiaan danprofesionalisme penulisan karya ilmiah. Temuan ini berbeda dengan temuan Marshall dan Garry(2006) dan Davies (2008), bahwa mahasiswa asing bukan penutur bahasa Inggris cenderungmenganggap plagiarisme bukan sebagai pelanggaran berat. Segi positif yang disebutkan olehbeberapa mahasiswa lebih tepat dikaitkan dengan kekurangan dalam penguasaan bahasa tulisatau bahasa pengantar yang digunakan, sebagaimana temuan Bamford dan Sergiou (2005).

Berbagai penyebab mahasiswa melakukan tindakan plagiat yang terungkap dalampenelitian ini pada umumnya karena faktor yang disebabkan oleh kesalahan yang dapatdiperbaiki, seperti keterabatasan waktu, sikap yang kurang baik, ketidakmampuan mengelolawaktu, dan kesulitan memperoleh rujukan. Temuan ini tidak terlalu berbeda dengan temuanMarshall dan Gary (2005, 2006), Davies (2008), dan Bamford dan Sergiou (2005). Hal inicukup melegakan karena berbagai hal yang disebutkan responden sebagai penyebab tindakanplagiat bukan karena faktor yang tertanam dalam budaya yang membenarkan tindakan plagiat,sebagaimana temuan McKenzie (2000), Park (2003), dan Marshall dan Garry (2006).

SIMPULANTelah terbukti melalui penelitian ini bahwa linguistik, termasuk cabang ilmu linguistikfungsional sistemik, dapat memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perbaikan mutupendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa peran linguistik dalam pendidikan adalah suatukeniscayaan mengingat peran sentral yang dimainkan oleh bahasa bagi perkembangan manusia,dalam berbagai segi hidupnya: inteletual, psikologis, spiritual, fisik, sosial, dll. Melalui analisisterhadap aspek transitivitas dari pernyataan-pernyataan mahasiswa tentang plagiarisme denganmenggunakan pendekatan linguistik fungsional sistemik, telah terungkap secara spesifik aspek-aspek apa saja yang telah mereka pahami dan belum pahami tentang plagiarisme, maupun sikapmereka terhadap praktik pelangggaran kode etik keilmuan ini. Dengan analisis langsung pada

Page 41: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

153

setiap kata dalam pernyataan mahasiswa tentang plagiarisme, semua temuan penelitian inisepenuhnya berdasarkan pada makna kata-kata yang dinyatakan sendiri oleh mahasiswa, danbukan berdasarkan interpretasi subyektif peneliti. Hal ini mengimplikasikan bahwa temuanpenelitian ini dapat menjadi rujukan yang dapat dipercaya untuk menentukan materi apa sajayang perlu dicakup dalam mata pelajaran menulis akademik, terutama dalam cara pengutipanyang benar dan terhindar dari tindakan plagiat.

CATATAN* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan

makalah ini.

DAFTAR RUJUKANBamford, Jan and Sergiou, K. 2005. International students and plagiarism: an analysis of the

reasons for plagiarism among international foundation students. Investigations inUniversity Teaching and Learning 2(2):17-22.

City University of New York. Avoding and detecting plagiarism: a guide for graduate studentsand faculty. Tersedia pada Rabu, 24 Juli 2013 di http://www.gc.cuny.edu/CUNY_GC/media/CUNY-Graduate-Center/PDF/Policies/General/AvoidingPlagiarism.pdf?ext=.pdf

Davies, Alison. 2008. Attitudes and drivers behind student plagiarism. Birmingham Education,Theory and Action (BETA) 1 (2):17-19.

Gerhardt. Deborah R. 2006. Plagiarism in Cyberspace: Learning the Rules of Recycling ContentWith a View Towards Nurturing Academic Trust in an Electronic World. RICH. J.L. &TECH. 12 (3). Artikel 10.http://law.richmond.edu/jolt/v12i3/article10.pdf

Griffith University. Issues of academic integrity. Tersedia pada Rabu, 24 Juli 2013 dihttp://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0009/119466/GPG-IAI.pdf

Halliday, Michael A.K. and Matthiessen, M.I.M. 2004. An introduction to functional grammar.London: Arnold.

Hansen, Brian. 2003. Combating plagiarism. The CQ Researcher 13(32):773-796.

Harjono, Yulvianus. 2009. Profesor HI Unpar Diduga Lakukan Plagiat. Kompas.com. Diaksespada Selasa, 9 Februari 2010 | 17:04 WIB

Harris, Robert. 2004. Anti-Plagiarism Strategies for Research Papers. Diunduh pada tanggal 1November 2012, dari http://faculty.ksu.edu.sa/alshayban/Plagiarism/Anti-plagiarism.pdf

Jones, Lars R. 2001. Academic integrity and academic dishonesty: A handbook about cheatingand plagiarism. Tersedia online di www.fit.edu/current/documents/plagiarism.pdf

Kohl, Kerstin E. 2011. Fostering academic competence or putting students under generalsuspicion? Voluntary plagiarism check of academic papers by means of a web-basedplagiarism detection system. ALT-C 2011 Conference Proceedings

Larkin, Charlotte and Francis, A. 2012. Academic integrity and plagiarism. InternationalJournal of Business, Humanities, and Technology 2(1): 1-7.

Lipson, Charles. 2008. Doing honest working in college: how to prepare citations, avoidplagiarism, and achieve real academic success. (Edisi kedua). Chicago: The Universityof Chicago Press.

Page 42: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Siti Wachidah

154

Marshall, Stephen and Garry, M. 2005. How well do students really understand plagiarism?.Diunduh pada Selasa 23 Juli 2013 dari http://www.ascilite.org.au/conferences/brisbane05/proceedings.shtml

Marshall, Stephen and Garry, M. 2006. NESB and ESB students’ attitudes and perceptions ofplagiarism. Paper diserahkan kepada the 2005 Asia Pacific Educational IntegrityConference, Newcastle, Australia.

Martin, Brian. 1994. Plagiarism: A misplaced emphasis. Journal of Information Ethics 3(2):36-47.

Mason, Peter R. 2009. Plagiarism in Scientific Publications. [Versi Elektronik]. J InfectDeveloping Countries 2009; 3(1):1-4. Diunduh pada tanggal 2 Desember 2012 darihttp://www. google.co.id/

McKenzie, Cameron. 2000. Plagiarism: A cultural aspect. Tersedia di http://www.vccaedu.org/inquiry/inquiry-spring2000/i-5l-guiliano.html.

Nugrahanto, Pradipta. 2010. Gelar Profesor Banyu Juga akan Dicopot. detikNews. Selasa,09/02/2010 17:12 WIB

O’Dwyer, Michele, Risquez, A., and Ledwith, A. (2010). Entrepreneurship education andplagiarism: tell me lies, tell me sweet little lies. http://ulir.ul.ie/handle/10344/1038

Office of Student Judicial Affairs, University of California, Davis (n.d.) AvoidingPLAGIARISM: Mastering the Art of Scholarship. Diunduh dari, pada tanggal 16November 2012 melalui alamat jejaring http://sja.ucdavis.edu/files/plagiarism.pdf

Park, Chris. 2003. In other (people’s) words. Plagiarism by university students - literature andlessons. Assessment & Evaluation in Higher Education 28:471-488.

Roig, Miguel. 2001. Plagiarism and paraphrasing criteria of college and university profesors.Ethics & Behaviour 11:307-323.

Roig, Miguel. 2006. Avoiding plagiarism, self-plagiarism, and other questionable writingpractices: A guide to ethical writing. Diunduh pada Desember 26, 2012, dari http://www.cse.msu.edu/~alexliu/plagiarism.pdf.

Scanlon, Patrick M. and Neumann, D.R. 2002. Internet plagiarism among college students.Journal of College Student Development 43:374-385.

Turnitin.com. 2012. White Paper: the Plagiarism Spectrum, Instructor Insights into the 10 Typesof Plagiarism.

University of Birmingham. Plagiarism. Tersedia Rabu 24 Juli 2013 di https://intranet.birmingham.ac.uk/as/studentservices/conduct/plagiarism/index.aspx

University of Melbourne. Academic honesty and plagiarism. Tersedia Rabu 24 Juli 2013 dihttp://academichonesty.unimelb.edu.au/plagiarism.html#3

Vygotsky, Lev S. 1986. Thought and Language. Cambridge: the MIT Press.

Page 43: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 155-169 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

THE SENTENCE CONNECTORSIN ACADEMIC INDONESIAN AND ENGLISH

Yassir Nasanius*Atma Jaya Catholic University of Indonesia

[email protected]

AbstractSentence connectors are a well-recognized feature of academic English. There is,however, little research on sentence connectors that has been undertaken in academicIndonesian. The present study attempted to establish whether sentence connectors inacademic Indonesian are as common as those in academic English. As many as ninearticles published in Linguistik Indonesia in 2009 were used as samples and wereexamined to determine the occurrences of sentence connectors in academic Indonesian.The results of the study indicated that sentence connectors in academic Indonesianwere as common as those in academic English. In fact, the writers of academicIndonesian tended to use sentence connectors more frequently than their counterpartsin English. That is, Swales and Feak (2004) found that on average over two sentenceconnectors occurred in every page of academic text written in English, while thepresent research found that on average over five sentence connectors occurred in everypage of academic texts written in Indonesian.

Keywords: sentence connectors, academic English, academic Indonesian

AbstrakPenaut kalimat (sentence connector) merupakan fitur yang sangat penting di dalamtulisan akademis bahasa Inggris. Akan tetapi, kajian tentang penaut kalimat dalamtulisan akademis bahasa Indonesia belum banyak dilakukan. Makalah ini mencobamenelusuri apakah pemakaian penaut kalimat dalam tulisan akademis bahasaIndonesia sama banyaknya seperti dalam tulisan akademis bahasa Inggris. Sebanyaksembilan makalah yang diterbitkan dalam jurnal Linguistik Indonesia pada 2009digunakan sebagai sampel dan ditelusuri untuk mengidentifikasi pemakaian penautkalimat dalam tulisan akademis bahasa Indonesia. Hasil penelitian mengindikasikanbahwa pemakaian penaut kalimat dalam tulisan akademis bahasa Indonesia samabanyaknya seperti dalam tulisan akademis bahasa Inggris. Bahkan, penulis bahasaIndonesia dapat dikatakan menggunakan penaut kalimat lebih banyak daripada penulisbahasa Inggris. Dengan kata lain, sementara Swales and Feak (2004) menemukanbahwa secara rerata lebih dari dua penaut kalimat digunakan dalam tulisan akademisbahasa Inggris, di dalam penelitian ini secara rerata lebih dari lima penaut kalimatditemukan dalam setiap tulisan akademis bahasa Indonesia.

Keywords: penaut kalimat, tulisan akademis bahasa Inggris, tulisan akademis bahasaIndonesia

INTRODUCTIONSentence connectors such as however, in addition, and consequently have been regarded as animportant element in academic writing. Arapoff (1968) argued that “sentence connectorsdeserve much more study than they have been previously given. For one thing, theseexpressions occur frequently in writing ... roughly 50 of the 1000 commonly used words inwritten English are sentence connectors” (p. 273). Their important and frequent use in academicwriting has attracted many researchers to investigate how writers use sentence connectors.Pastor (2013), for example, attempted to establish whether sentence connectors were useddifferently across different sections of research papers by native English speakers and non-

Page 44: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Yassir Nasanius

156

native English speakers. Sentence connectors have been found by Jasim (2005) to beproblematic to the learners of English in general and the Iraqi learners at college level inparticular.

The importance of sentence connectors can also be seen through their inclusion in themajority of textbooks on academic writing. For example, in their famous textbook on academicwriting, Swales and Feak (2004) argued that writers of academic texts should pay attention towhat they refer to as “flow—moving from one statement in a text to the next” (p. 26) to helptheir readers follow their texts easily. That is, writers should attempt to maintain the flow byestablishing a clear connection of their ideas in the text they write. To establish clearrelationships between ideas in a text, the chief means that academic writers use are sentenceconnectors. Compare, for example, the paragraph in (1) and the paragraph in (2).

(1) There are three main reasons for using a study timetable. You will avoid last-minuteemergencies. You will be better organized. A timetable will enable you to make sure thatyou divide your time fairly between different papers. You will also be more likely toproduce better work. Many students do not plan their time carefully. They believe thatplanning their time will make their lives too regimented. This is a possibility. It can beprevented by having a flexible attitude.

(2) There are three main reasons for using a study timetable. Most importantly, you willavoid last-minute emergencies because you will be better organized. In addition, a time-table will enable you to make sure that you divide your time fairly between differentpapers. You will also be more likely to produce better work. However, many students donot plan their time carefully. They believe that planning their time will make their livestoo regimented. Although this is a possibility, it can be prevented by having a flexibleattitude.

As we can see, the paragraph in (2) is much easier to follow than the paragraph in (1). Thereason for this is that the paragraph in (2) contains sentence connectors such as mostimportantly, in addition, because, however, and although, which make the sentences flow fromone to another smoothly. The paragraph in (1), however, does not contain any sentenceconnectors, which make the text difficult to read. Since sentence connectors are responsible forthe flow of the texts, it is interesting to see if academic writers make use of them when theycreate their texts.

Swales and Feak (2004) conducted a small-scale project on sentence connectors. Theyexamined the occurrence of sentences connectors in academic papers in three journals (i.e.,College Composition and Communication, English for Specific Purposes, and Research in theTeaching of English) and selected as their sample of sentence connectors from 12 articles inthese three journals. By conducting this investigation, they attempted to achieve threeobjectives. First, they would like to establish whether sentence connectors were frequently usedin written academic texts. Based on the analysis of the data they collected, they found a total of467 sentence connectors; eleven articles used sentence connectors with some frequency, withtotals ranging from 24 to 58, and one article used only nine sentence connectors. Based on thisresult, they argued that sentence connectors are quite common in academic English.

Second, they would like to identify the types of sentence connectors that occur inwritten academic texts. As many as 70 different sentence connectors were found in the samplethey examined, with however and enumerators such as first or second occupying the highest andsecond highest places as the most frequently-used sentence connectors. The following tableshows the ten most-frequently used sentence connectors in academic English (adapted fromSwales and Feak, 2004, 318).

Page 45: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

157

Table 1. Frequency of Sentence Connectors in Academic EnglishRank Sentence Connectors Total Occurrence

1 however 622 first, second, etc. 523 thus 334 also 305 for example 296 in addition 207 finally 198 therefore 169 on the other hand 1410 then 12

Third, since sentence connectors may occur in initial, medial, or final position, they alsowould like to know the position of sentence connectors when they occur in the texts. For thispurpose, Swales and Feak (2004) established four categories, i.e., category A (occurrence 100%in initial position), category B (occurence 75-99% in initial position), category C (occurrence50-74% in initial position), and category D (occurrence 25-49% in initial position), as seen inthe following table (quoted from Swales and Feak, 2004, 319).

Table 2. Positional Categories of Sentence ConnectorsCategory Sentence Connectors Occurrence

A first, second, etc.In additionneverthelessfinallythat isas a result

100% in initial position

B moreverthusin particularin factin other wordsof course

75-99% in initial position

C howeverfor instanceon the other handfurthermore

50-74% in intial position

D AlsoFor exampleThereforethen

25-49% in intial position

Furthermore, they found that the position of sentence connectors does not depend on thefunction of the sentence connectors. For example, the sentence connector however has the samefunction as nevertheless, but they fell into different categories. That is, nevertheless belongs tocategory A, namely it occurs only in initial position, while however belongs to category C, namelyalthough it quite frequently occurs in initial position, it can occur in medial as well as final position.

In this present paper, I attempt to replicate Swales and Feak’s (2004) mini-project byexamining sentence connectors in academic Indonesian. Using their research as a model, Iwould like to achieve three goals in this paper. First, it seeks to determine whether sentenceconnectors are common in Indonesian academic articles. Second, it seeks to reveal the

Page 46: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Yassir Nasanius

158

commonest sentence connector that is used in academic Indonesian. Lastly, it seeks to determinethe position that can be occupied by sentence connectors in academic Indonesian.

RESEARCH QUESTIONS

As mentioned in the introduction, there are three main purpose of this research. That is, it seeksto provide answers to the following research questions.

1. Are sentence connectors common in academic articles written in Indonesian?2. What is the commonest sentence connector that occurs in academic Indonesian?3. Can sentence connectors in academic Indonesian occur in sentence-medial and

sentence-final position as well as in sentence-initial position?

REVIEW OF RELATED LITERATURE

Sentence Connectors in English and in IndonesianSentence connectors, also called linking words and phrases (Swales and Feak, 2004) andsignalling words and phrases (Gillett, Hammond, and Martala, 2009), refer to the expressionsused to connect clauses within sentences, as illustrated in (3), and to connect sentences withinparagraphs, as illustrated in (4).

(3) Although the paper is generally well-written, there are many grammatical mistakes in it.(4) The paper is generally well-written. However, there are many grammatical mistakes in it.

According to Sneddon, Adelaar, Djenar, and Ewing (2010), sentence connectors in Indonesianare of two types. The first type, conjunctions, is used to to connect clauses within sentences, asillustrated in (5), and the second type, sentence linkers, to connect sentences within paragraphs,as illustrated in (6).

(5) Makalah itu ditulis dengan baik, tapi ada kesalahan pengutipan di dalamnya.Paper that was.written with good but exist mistake quoting inside.it“The paper was well-written, but there were some mistakes in quoting in it.”

(6) Makalah itu ditulis dengan baik. Namun, ada kesalahan pengutipan di dalamnya.Paper that was.written with good however exist mistake quoting inside.it“The paper was well-written. However, there were some mistakes in quoting in it.”

Types of Sentence Connectors in English and in IndonesianSentence connectors in English and Indonesian can be categorized into several types based onthe function they fullfill, as we can see in the following table (based on Gillett, Hammond, andMartala, 2009, 105, and Sneddon, Adelaar, Djenar, and Ewing, 2010, 351-371).

Table 3. Categories of English Sentence Connectors Based on FunctionFunctions Sentence Connectors in English Sentence Connectors in Indonesian

Addition apart from this,as well as,besides,furthermore,in addition,moreover,nor, not only ... but also,too,what is more

lagi pula ‘further, what’s more’,di samping itu ‘besides that’juga ‘also’,selain itu ‘besides that, apart from that’,kecuali itu ‘besides that’,selanjutnya ‘further’,bahkan ‘moreover, even’,apalagi ‘moreover, besides’,malah, malahan ‘moreover, what’s more’

Page 47: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

159

Functions Sentence Connectors in English Sentence Connectors in IndonesianCause and effect accordingly, as a consequence, as

a result, because (of this),consequently, for this reason,hence, in order to, owing to this,so, so that, therefore, this leads to,thus

karena, oleh karena ‘because’,sebab, oleh sebab ‘because’,lantaran ‘because’, gara-gara ‘because’,mentang-mentang ‘just because’, kalau-kalau ‘lest’, supaya, agar, agar supaya ‘so,so that’, untuk, guna ‘to, in order to’,akibatnya ‘as a result, consequently’,alhasil, walhasil ‘the result is,consequently’,jadi ‘thus, therefore’,maka ‘consequently, thus, so’,maka dari itu ‘as a result of that’,makanya ‘consequently, no wonder’, olehkarena itu ‘therefore, because of that’, olehsebab itu ‘therefore, because of that’

Comparison/similar ideas

in comparison, in the same way,likewise, similarly

seperti, sebagaimana ‘in the same way,similarly’

Condition if, in that case, provided that,unless

kalau, jika, jikalau ‘if’, bila, apabila,bilamana ‘when, whenever, if’, asal,asalkan ‘provided that’, seandainya,andaikata, sekiranya ‘supposing that, if’

Contradiction actually, as a matter of fact, infact

sebenarnya ‘actually’

Contrast/oppositeideas

although, but, despite, in spite of,even so, however, in contrast, inspite of this, nevertheless, on thecontrary, on the other hand,whereas, yet

meski, meskipun, walau, walaupun,sekalipunkendati, kendatipun, biarpunsungguhpun ‘although’, alih-alih ‘ratherthan, instead of’,melainkan, tetapi ‘but rather, instead’,namun, namun demikian ‘despite that,nevertheless’, walaupun demikian, namunbegitu ‘despite that, nevertheless’,meskipun demikian, meskipun begitu‘despite that, nevertheless’,biarpun demikian, biarpun begitu ‘despitethat, nevertheless’,akan tetapi ‘but, nevertheless, still’,sebaliknya ‘on the contrary, on the otherhand’

Emphasis chiefly, especially, importantly,indeed, in detail, in particular,mainly, notably, particularly

utamanya ‘in particular, mainly’

Examples for example, for instance, such as,thus, as follows

misalnya ‘for example, for instance’,umpamanya ‘for example, for instance’

Explanation/equivalence

in other words, namely, or rather,this means, to be more precise

dengan kata lain ‘in other words’,yaitu/yakni ‘namely’, artinya’this means’

Page 48: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Yassir Nasanius

160

Functions Sentence Connectors in English Sentence Connectors in IndonesianGeneralization as a rule, for the most part,

generally, in general, normally, onthe whole, in most cases, usually

pada umumnya, umumnya ‘in general’,secara keseluruhan ‘on the whole’

Stating the obvious clearly, naturally, obviously,surely

jelas ‘clearly’, tentunya’obviously’

Summary/conclusion

finally, in brief, in conclusion, inshort, in summary, overall, toconclude

akhirnya ‘finally’, dengan singkat ‘in brief’,sebagai penutup ‘in conclusion’

Support actually, as a matter of fact, infact, indeed

dalam kenyataannya ‘as a matter of fact’,sebenarnya, sesungguhnya ‘in fact’

Time/order at first, eventually, finally,first(ly), in the first/second place,initially, lastly, later, next, priorto, second(ly)

sebelum ‘before’, sesudah, setelah, sehabis‘after’, sejak ‘since’, sampai ‘until’, ketika,waktu, tatkala ‘when’, kemudian‘afterwards, later’, sesudahnya, sesudah itu‘after that’, sebelumnya, sebelum itu‘beforehand, before that’, sementara itu ‘inthe meantime, at the same time’, lalu, lantas‘then’

METHODOLOGY

Source of DataTo provide answers to the research questions, I examined the occurrence of sentence connectorsin academic papers published in Linguistik Indonesia. The data sample consisted of six articlesin the February issue of the 2009 volume and three articles in the August issue of the 2009volume. Actually there were eleven articles in the February and August issues of the 2009volume, but two articles were not included in the data sample because they were written inEnglish instead of Indonesian.

Data Collection and AnalysisThe data sample examined in the present research amounted to 135 pages of text, comprisingnine articles. To enable me to provide answers to the research questions, first of all I sought toidentify the occurrence of the sentence connectors in academic Indonesian. For the purpose ofthis study, the category of sentence connector was interpreted quite broadly. For example, Iincluded items such sejauh ini ‘so far’, itulah sebabnya ‘that is why’, and masalahnya ‘theproblem’ that may be analyzed as sentence adverbs by other scholars. After identifying all thesentence connectors that occur in each text, I classified them into different types of sentenceconnectors. Finally, having identified a number of different types of sentence connectors, Iexamined the position of each connector when it occurs in the text.

FINDINGS AND DISCUSSION

Are Sentence Connectors Common in Academic Articles Written in Indonesian?In order to answer the above question, a sample amounted to approximately 105 running pages oftext from nine papers was examined. The result is shown in the appendix (the papers werelabelled as Papers A to K). A total of 553 sentence connectors occurred in the sample. This meansthat on average there were over five sentence connectors per page. Eight of the papers used

Page 49: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

161

sentence connectors with quite high frequency, with totals ranging from 33 to 124. One paper inthe sample used only fourteen sentence connectors. The low frequency of sentence connectors inthis paper may be due to the length of the paper which consisted of only seven pages, as well asthe fact that the paper was filled with many commentaries that do not require sentence connectorsto maintain the flow.

If we compare the occurrence of sentence connectors in academic English andIndonesian, it turns out that sentence connectors are quite common in academic Indonesian. Infact, the writers of academic Indonesian used sentence connectors more frequently than theircounterparts in English. That is, Swales and Feak (2004) found that on average over twosentence connectors occurred in every page of academic text written in English, while thepresent research found that on average over five sentence connectors occurred in every page ofacademic texts written in Indonesian.

What Is the Commonest Sentence Connector that Occurs in Academic Indonesian?As many as 74 different sentence connectors occurred in the sample. Table 4 presents the list ofsentence connectors in decreasing frequency.

Table 4. Frequency of Sentence ConnectorsRank Sentence Connector Total of Occurrence

1 karena ‘because’ 552 (te)tapi ‘but’ 493 (oleh) karena itu/(oleh) sebab itu ‘therefore, because of that’ 344 misalnya ‘for example’ 305 sedangkan ‘while’

namun ‘however’28

6 bila ‘when’ 237 yaitu/yakni ‘namely’ 208 dengan demikian ‘therefore’ 189 Sehingga ‘so that’ 17

10 jadi ‘therefore’sebaliknya ‘in contrast’

16

11 seperti ‘such as’ 1312 apabila ‘if’

sementara itu ‘in the mean time’12

13 jika ‘if’setelah ‘after’artinya ‘it means’

11

14 walau(pun) ‘although’sebagai contoh ‘for example’

10

15 bahkan ‘even sopertama ... kedua ‘first, second’

8

16 ketika ‘when’sekalipun ‘although’

7

17 sebelum ‘before’selain ‘besides’selain itu ‘besides that’di samping itu ‘besides that’walaupun demikian ‘even so’

6

18 meskipun ‘although’ 5

Page 50: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Yassir Nasanius

162

Rank Sentence Connector Total of Occurrence19 selanjutnya ‘next’

kalau(pun) ‘even though’kemudian ‘then’tatkala ‘when’bilamana ‘if’

4

20 agar ‘so that’dengan kata lain ‘in other words’akibatnya ‘as a result’sementara ‘while’dalam hal ini ‘in this case’pada satu pihak ‘on one hand’pada pihak lain ‘on the other hand’

3

21 seandainya ‘if only’setelah itu ‘after that’dalam hal ini ‘in this case’di samping ‘besides’sebagaimana ‘as’masalahnya ‘the problem is’lalu ‘then’akan tetapi ‘however’

2

22 lebih lanjut ‘furthermore’oleh karena ‘because’maksudnya ‘what is meant’tambahan lagi ‘furthermore’lebih jauh ‘furthermore’secara singkat ‘in brief’perbedaanya ‘the difference is’lagi pula ‘in addition’secara umum ‘in general’pada intinya ‘in essence’pada prinsipnya ‘in principle’kendati ‘although’akhirnya ‘finally’terlebih lagi ‘furthermore’meskipun demikian ‘even so’sejak ‘if’umumnya ‘in general’meskipun begitu ‘even so’intinya ‘in essence’pada umumnya ‘in general’sebab ‘because’karenanya ‘because of that’dengan kata lain ‘in other words’dalam kenyataannya ‘in fact’

1

As we see from the above table, karena ‘because’ occurs as the commonest sentence connectorin academic Indonesian, followed by (te)tapi ‘but’ in the second place and (oleh) karenaitu/(oleh) sebab itu ‘because of that’ in the third place. The result is different from what Swalesand Feak (2004) found with their English sample, i.e., however, enumerators such as first or

Page 51: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

163

second, and thus occupying the highest, second highest, third highest places as the mostfrequently-used sentence connectors in academic English. This seems to suggest that Indonesianacademic writers expressed the cause and effect notion heavily in their texts through the use ofkarena ‘because’, while academic writers in English preferred the contrasting notion through theuse of however.

It is intesting to note that the sentence connector sebab ‘because’, the semanticequivalent of karena ‘because’, was very seldom used in the sample texts although the two aresynonymous. That is, sebab only occurred one time, which is in stark contrast with karena,which occurred as the commonest sentence connector that appeared in the sample texts. Anotherinteresting finding is that namun, the Indonesian equivalent of however, was far more frequentlyused than its semantic counterpart, akan tetapi, which occurred only twice in the sample texts.The facts seem to suggest that although certain connectors are semantically equivalent, there arestriking differences in the frequency with which individual sentence connectors are used inacademic texts. This is also true with English. As reported by Swales and Feak (2004), althoughthe sentence connectors however and nevertheless are semantically equivalent, however wasmore than five times as frequent as nevertheless. In other words, an certain sentence connectorcan be much more ‘popular’ than another sentence connector, although both are semanticallyequivalent.

Can Sentence Connectors in Academic Indonesian Occur in Sentence-Medial and Sentence-Final Position as Well as in Sentence-Initial Position?Let us now turn to the positional data. Based on the sample collected, of the 74 sentenceconnectors found, there were 48 sentence connectors that only occurred in initial position(65%); five sentence connectors only occurred in medial position (7%); and there were 21sentence connectors that occurred in both initial position and medial position (28%); and therewas no sentence connector that occurred in final position. Consider the following table, whichconsists of category A, i.e., sentence connectors that occurred only in initial position; categoryB, i.e., sentence connectors that only occurred only in medial position; and category C, sentenceconnectors that occurred in both initial position and medial position.

Table 5. Positional Categories of Sentence Connectors in Academic IndonesianCategory Sentence Connectors

A (oleh) karena itu/(oleh) sebab itu ‘therefore, because of that’dengan demikian ‘therefore’jadi ‘therefore’

sebaliknya ‘in contrast’sementara itu ‘in the mean time’artinya ‘it means’sebagai contoh ‘for example’pertama ... kedua ... ‘first, second’selain itu ‘besides that’di samping itu ‘besides that’walaupun demikian ‘even so’selanjutnya ‘next’kemudian ‘then’

tatkala ‘when’dengan kata lain ‘in other words’akibatnya ‘as a result’sementara ‘while’dalam hal ini ‘in this case’pada satu pihak ... pada pihak lain ... ‘on one hand, on the other hand’

Page 52: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Yassir Nasanius

164

Category Sentence Connectorssetelah itu ‘after that’di samping ‘besides’masalahnya ‘the problem is’lalu ‘then’akan tetapi ‘however’lebih lanjut ‘furthermore’oleh karena ‘because’

maksudnya ‘what is meant’tambahan lagi ‘furthermore’lebih jauh ‘furthermore’secara singkat ‘in brief’perbedaanya ‘the difference is’lagi pula ‘in addition’secara umum ‘in general’pada intinya ‘in essence’pada prinsipnya ‘in principle’kendati ‘although’

akhirnya ‘finally’terlebih lagi ‘what’s more’meskipun demikian ‘even so’sejak ‘since’umumnya ‘in general’meskipun begitu ‘even so’intinya ‘in essence’pada umumnya ‘in general’karenanya ‘because of this’dengan kata lain ‘in other words’dalam kenyataannya ‘in fact’

B yaitu/yakni ‘namely’sehingga ‘so that’seperti ‘such as’agar ‘so that’

sebab ‘because’C karena ‘because’

(te)tapi ‘but’misalnya ‘for example’sedangkan ‘while’

namun ‘however’bila ‘when’apabila ‘if’jika ‘if’setelah ‘after’walau(pun) ‘although’bahkan ‘even so’ketika ‘when’sekalipun ‘although’sebelum ‘before’selain ‘besides’meskipun ‘although’kalau(pun) ‘although’

Page 53: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

165

Category Sentence Connectorsbilamana ‘if’seandainya ‘if’dalam hal ini ‘in this case’sebagaimana ‘as’

It should be noted that sentence connectors such as kendati ‘although’ and sebab ‘because’ wereclassified as belonging to category A and category B respectively because they occurred only onetime in the sample texts. If we consider other samples, they can also be classified as belonging toother categories. For example, if we examine its use in newspapers and magazines, the sentenceconnector sebab may also be classified as category C, namely sentence connectors that can occurin both initial position and medial position. As illustrated in the following example, the sentenceconnector sebab can occur in initial position, in addition to medial position.

(7) Chaniago mengatakan belum bisa memastikan bagaimana cara sopir bus ituChaniago say not.yet can be.certain how way driver bus thatmenyelamatkan diri saat kecelakaan. Sebab, sopir masih dalam perawatan.save himself when accident cause driver still in care“Chaniago said that he was not certain yet how the bus driver saved himself in theaccident. This is because he was still in intensive care.”

CONCLUSIONThis study has demonstrated that (i) sentence connectors in academic Indonesian are as commonas those in academic English, (ii) the sentence connector karena ‘because’ is the commonestsentence connector found in academic Indonesian, and (iii) sentence connectors in academicIndonesia may appear in three types of position, namely (a) in initial position only, (b) in medialposition only, and (c) in both initial and medial position.

The present study only examined nine articles from a single linguistic journal (i.e.,Linguistik Indonesia), and therefore the results need to be viewed with caution. Further researchwith more sample texts from a variety of lingustic journals should be conducted to verifywhether the results of the present study are consistent.

NOTE I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.

REFERENCESArapoff, Nancy. 1968. “The Semantic Role of Sentence Connectors in Extra-Sentence Logical

Relationships.” TESOL Quarterly 2.4, 243-252.

Pastor, Maria. L. C. 2013. “A contrastive study of the variation of sentence connectors inacademic English.” Journal of English for Academic Purposes 12.3, 192-202.

Gillett, Andy, Angela Hammond, and Mary Martala. 2009. Inside Track: Successful AcademicWriting. London: Pearson Longman.

Jasim, Basim. Y. “Recognition and Production of Sentence Connectors at College Level.”Journal of Education and Science 12.2, 13-31.

Sneddon, James N., Alexander Adelaar, Dwi N. Djenar, and Michael Ewing. 2010. IndonesianReference Grammar (2nd edition). Crows Nest NSW, Australia: Allen & Unwin.

Swales, John. M. and Christine B. Feak. 2004. Academic Writing for Graduate Students:Essential Tasks and Skills (2nd edition). Ann Arbor: The University of Michigan Press.

Page 54: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Yassir Nasanius

166

APPENDIX

List of Sentence Connectors Found in Nine PapersNo. Sentence

ConnectorsPaperA (14pages)

PaperB (12pages)

PaperC (14pages)

PaperD (12pages)

PaperE (15pages)

PaperF (6

pages)

PaperG (13pages)

PaperH (11pages)

PaperI (18

pages)01 karena

‘because’5 1 16 8 1 3 4 17

02 bahkan‘even so’

1 2 5

03 Sehingga‘so that’

10 2 1 1 1 1 1

04 seandainya‘if only’

1 1

05 jadi‘therefore’

5 2 5 2 1 1

06 lebih lanjut‘furthermore’

1

07 (te)tapi‘but’

8 3 3 3 3 5 24

08 dengandemikian‘therefore’

3 8 1 1 1 4

09 sebaliknya‘in contrast’

3 6 4 2 1

10 apabila‘if’

8 2 1 1

11 bila‘if’

5 10 1 1 6

12 sedangkan‘while’

9 3 4 3 3 1 3 2

13 selanjutnya‘next’

2 1 1

14 walaupun‘although’

3 1 4 1 1

15 namun‘however’

3 5 7 13

16 kalau(pun)‘although’

2 2

17 Jika‘if’

2 1 1 1 2 3 1

18 setelah‘after’

4 5 1 1

19 oleh karena’because’

1

20 agar‘so that’

3

21 maksudnya‘what ismeant’

1

22 kemudian‘next’

1 2 1

23 sebelum‘before’

3 1 1 1

Page 55: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

167

No. SentenceConnectors

PaperA (14pages)

PaperB (12pages)

PaperC (14pages)

PaperD (12pages)

PaperE (15pages)

PaperF (6

pages)

PaperG (13pages)

PaperH (11pages)

PaperI (18

pages)24 setelah itu

‘afterwards’1 1

25 sementara itu‘in themeantime’

3 3 2 4

26 (oleh) karenaitu/(oleh)sebab itu‘because ofthat’

3 8 3 5 9 2 4

27 pertama,kedua ...‘firstly,secondly ...”

1 2 3 1 1

28 dalam hal ini‘in this case’

1 1

29 di samping‘besides’

1 1

30 tambahan lagi‘furthermore’

1

31 dengan katalain ‘in otherwords’

1 2

32 sebagaimana‘as’

2

33 ketika‘when’

3 4

34 akibatnya‘as a result’

2 1

35 lebih jauh‘furthermore’

1

36 sementara‘while’

2 1

37 secarasingkat‘in short’

1

38 selain‘besides’

1 1 1 2 1

39 masalahnya‘the problemis’

2

40 lalu‘next’

2

41 perbedaannya‘thedifference is’

1

42 yakni/yaitu‘namely’

3 1 3 8 1 3 1 2

43 sebagaicontoh‘as anexample’

2 2 1 4 1

Page 56: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Yassir Nasanius

168

No. SentenceConnectors

PaperA (14pages)

PaperB (12pages)

PaperC (14pages)

PaperD (12pages)

PaperE (15pages)

PaperF (6

pages)

PaperG (13pages)

PaperH (11pages)

PaperI (18

pages)44 lagi pula

‘in addition’1

45 secara umum‘in general’

1

46 padaintinya‘in essence’

1

47 padaprinsipnya‘in principle’

1

48 kendati‘although’

1

49 akhirnya‘finally’

1

50 misalnya‘for example’

4 5 1 5 5 10

51 artinya‘it means’

6 3 2

52 selain itu‘in addition’

1 2 1 2

53 tatkala‘when’

3 1

54 terlebih lagi‘what’s more’

1

55 di sampingitu‘in addition’

1 3 1 1 1

56 seperti‘such as’

1 1 2 2 2 4

57 meskipundemikian‘even so’

1

58 akan tetapi‘however’

1 1

59 meskipun‘although’

1 4

60 sejak‘since’

1

61 umumnya‘in general’

1

62 meskipunbegitu‘even so’

1

63 intinya‘in essence’

1

64 walaupundemikian‘even so’

6

65 dalam hal ini‘in this case’

3

Page 57: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

169

No. SentenceConnectors

PaperA (14pages)

PaperB (12pages)

PaperC (14pages)

PaperD (12pages)

PaperE (15pages)

PaperF (6

pages)

PaperG (13pages)

PaperH (11pages)

PaperI (18

pages)66 pada

umumnya‘in general’

1

67 sebab‘because’

1

68 karenanya‘because ofthis’

1

69 bilamana‘when’

4

70 sekalipun‘although’

7

71 dengan katalain ‘in otherwords’

1

72 dalamkenyataannya‘in fact’

1

73 pada satupihak‘on one hand’

3

74 pada pihaklain‘on the otherhand’

3

Total 85 48 92 44 54 14 59 33 124

Page 58: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 171-185 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

ADAKAH KONSEP FINIT DALAM BAHASA SUNDA?

Eri Kurniawan*Universitas Pendidikan Indonesia

[email protected]

AbstrakMakalah ini menyajikan bukti bahwa tidak ada manifestasi morfologis untuk kefinitandalam bahasa Sunda. Makalah ini juga menghadirkan bukti bahwa pemarkahtemporal/aspektual tidak berkorelasi dengan kefinitan sebuah klausa, membantah klaimKana (1986) dan Arka (2000, 2011) untuk bahasa Indonesia. Verba modal dan fiturkesesuaian persona pun terbukti tidak berkaitan dengan konsep finit.Meskipun demikian,penulis ini berargumen bahwa terdapat konsep finit dalam bahasa Sunda. Polanya miripdengan bahasa-bahasa lain, di mana konsep finit bertemali dengan distribusi subjekkentara. Lebih khusus lagi, penulis berargumen bahwa keberadaan fitur [finit]-lah yangbertanggung jawab terhadap kemunculan subjek kentara dalam klausa finit.Implikasinya, garis pembeda komplemen klausal yang didasarkan pada kefinitan bisadibuat.Komplemen indikatif merupakan klausa finit karena subjek kentara bisa muncul,sementara komplemen kendali dan raising nonfinit karena subjek kentara tidakdibolehkan muncul.

Kata kunci: bahasa Sunda, bahasa Indonesia, kefinitan, subjek kentara, komplemenklausal

AbstractThis paper presents an argument that there are no overt morphological manifestations offiniteness in Sundanese. It also provides pieces of evidence that temporal/aspectualauxiliaries do not determine finiteness, as opposed to Kana’s (1986) and Arka’s (2000,2011) claim for Indonesian. Nor are person agreement and modality shown to correlatewith a finiteness opposition. Nevertheless, this paper argues that finiteness seems to be atwork in Sundanese and that it patterns like other languages to account for thedistribution of overt subjects. More specifically, it is proposed that it is the presence of anabstract [finite] feature that licenses an overt subject in a finite clause. As an implication,this establishes a clear-cut dividing line in terms of finiteness along which clausalcomplements are differentiated. An indicative complement clause is finite owing to theirability of licensing an overt subject, whereas raising and control complements are allnon-finite due to the inadmissibility of an overt subject.

Keywords: Sundanese, Indonesian, finiteness, overt subjects, complement clauses

PENDAHULUANSekalipun istilah finit sudah lama dipakai dalam banyak literatur tata bahasa, definisi sejati darifiniteness atau konsep finit belum bisa terungkap dengan jelas, (lihat Cowper 2002). Sauter dkk.(1968), misalnya, menyebutkan bahwa istilah finit bersumber dari kata Latin finites, yangberarti definit atau merujuk pada persona tertentu. Menurut Nikolaeva (2007:1), konsep finit iniawalnya dipakai untuk pronomina persona, tetapi kemudian merujuk pada nomina yangmenunjukkan fitur persona dan jumlah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan mengapa,sampai detik ini, konsep finit selalu bertemali dengan fitur morfosintaksis yang berkaitandengan persesuaian persona dan jumlah tetapi mari simak contoh berikut dari bahasa Inggris.1

(1) Ujang writes journal articles every year.‘Ujang menulis artikel jurnal setiap tahun.’

(2) Bill asked Ujang to write journal articles every year.‘Bill meminta Ujang untuk menulis artikel jurnal setiap tahun.’

Page 59: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Eri Kurniawan

172

Yang perlu dicermati di sini adalah bentuk morfologis dari verba write ‘menulis’ pada (1) dan (2).Kata write (1) bermarkah (dengan sufiks–s) untuk menunjukkan konjugasi kala kini (presenttense) dan persesuaian persona (person agreement). Lain halnya dengan (1), write (2) munculdalam bentuk dasarnya, dengan tidak bermarkah. Dalam literatur linguistik, writes disebut denganverba finit, sementara to write verba nonfinit. Dengan kata lain, kalimat (1) mengandung klausafinit dan kalimat (2) mengandung klausa nonfinit. Dari ilustrasi ini, kita bisa menyimpulkanbahwa konsep finit bisa dikaitkan dengan fitur kala dan persesuaian (persona/jumlah).

Distribusi pun bisa dijadikan sebagai salah satu diagnostik untuk mendeteksi klausafinit. Matthew (1997:29) mendefinisikan verba finit sebagai kata yang bisa berdiri sendiri dalamklausa mandiri, seperti yang tertuang dalam contoh berikut.(3) a. Ujang prays every day.

‘Ujang berdoa setiap hari.’b. *Ujang to pray every day.

‘Ujang untuk berdoa setiap hari.’c. Father encourages Ujang to pray every day.

‘Bapak mendorong Ujang untuk berdoa setiap hari.’Verba prays dikategorikan finit karena bisa berdiri sendiri dalam kalimat sederhana (3a),sementara to pray adalah verba nonfinit karena tidak bisa berdiri sendiri dalam klausa inti, sepertiterlihat pada kalimat tidak gramatikal (3b). Status nonfinit to pray ini dibuktikan dengan kalimat(3c), di mana to pray muncul dalam anak kalimat, karakteristik tipikal dari verba nonfinit.2

Kriteria lain yang berkorelasi dengan adanya klausa finit dalam sebuah bahasa adalahkehadiran subjek yang memiliki kasus nominatif. Sudah menjadi anggapan umum bahwa verbafinit memiliki kemampuan untuk memberikan kasus nominatif pada subjek. Perhatikan contohdi bawah ini.(4) a. Father believes that he/*him prays every day.

‘Bapa percaya bahwa dia berdoa setiap hari.’b. Father expects him/*he to pray every day.

‘Bapa mengharapkan dia untuk berdoa setiap hari.’Kata him (4a) yang merupakan argumen nominal yang memiliki kasus akusatif tidak bolehmuncul sebagai subjek anak kalimat karena verbanya finit, yakni prays. Sebaliknya, argumennominal yang memiliki kasus nominatif, yakni he, tidak bisa menjadi subjek untuk anak kalimat(4b) karena verbanya nonfinit, to pray. Singkatnya, hanya verba finit yang membolehkansubjeknya memiliki kasus nominatif.

Selain fitur kala dan persesuaian, modalitas menjadi salah satu penentu adanya verba atauklausa finit dalam suatu bahasa. Lee (2009), dalam disertasinya mengenai konstruksi kendali finitdalam bahasa Korea, berargumen bahwa pemarkah finit dalam Korea itu adalah sufiks modalitaspada nomina atau modalitas pada konjungsi klausa komplemen (complementizer).3

(5) a. Minho-nun [caki-ka ku sang-ul tha-(*ss)]-leykoM-TOP sendiri-NOM DET hadiah-ACC meunang-PAST-COMPayssu-ess-ta.berusaha-PAST-DECL‘Minho berusaha memenangkan hadiah.’

b. Emeni-nun [Mina-ka na-wa hammkkey ka-(*ss)]-tolokibu-TOPM-NOM saya-dengan bersama pergi-COMPhelakha-si-ess-ta.izin-HON-PAST-DECL‘Ibu mengizinkan Mina pergi dengan saya.’

c. Swuni-ka ka-(*ss)-ya Minho-to ka-n-ta.S-NOM pergi-PAST-hanya.jika M-juga pergi-PRES-DECL‘Minho pergi hanya jika Swuni juga pergi.’

Page 60: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

173

(5a-b) mengandung klausa sematan (dalam tanda kurung) yang berfungsi sebagai komplemendari klausa inti. (5c) mengandung klausa adverbial. Yang perlu digarisbawahi, dalam hal ini,adalah bahwa subjek klausa sematan di setiap contoh di atas memiliki pemarkah kasusnominatif, seperti yang terlihat pada glos. Hal ini menunjukkan bahwa semua kalimat iniberisikan klausa finit, ditandai dengan adanya subjek nominatif. Yang menjadi pertanyaan: apayang memberikan kasus nominatif kepada argumen subjek? Perhatikan bahwa –ss pemarkahkala lampau tidak dibolehkan hadir dalam klausa. Ini mengindikasikan bahwa fitur kala tidakberkorelasi dengan subjek nominatif. Lee mengklaim bahwa pemarkah modalitaslah yangrelevan di sini, bukan pemarkah kala. Partikel leyko (5a) merupakan konjungsi klausakomplemen yang mengandung makna modalitas intensi atau keinginan. Tolok (5b) bermaknamodalitas keharusan, sementara pemarkah subordinasi –ya (5c) membawa makna modalitaskondisional.

Kendati penelitian mengenai konsep finit4 telah banyak dilakukan di pelbagai bahasa,kebanyakan berkenaan dengan bahasa-bahasa yang memiliki infleksi kala (Hu, Pan, and Xu2001). Masih relatif sedikit penelitian yang dilakukan dalam bahasa tanpa kala seperti bahasa-bahasa di Indonesia. Dalam telaahnya mengenai bahasa Arab dialek Jordania, Al-Aqarbeh(2011) menelisik apakah konsep finit merupakan sesuatu yang signifikan mengingat faktabahwa bahasa Arab tidak memiliki sistem kala. Berdasarkan jenis dan karakteristik klausakomplemen, dia berkesimpulan bahwa finit bukanlah kategori yang relevan dalam bahasa Arabdialek Jordania.

Makalah ini ditujukan untuk mengungkap fitur apa (kala, persesuaian, atau modalitas)yang bisa menandakan adanya konsep finit dalam bahasa Sunda. Kalau tidak ada fitur yangberkorelasi positif dengan konsep finit, apakah konsep semacam itu dimiliki oleh bahasa Sunda?

Makalah disusun sebagai berikut.Bagian 2 menggambarkan secara ringkas aspekmorfosintaksis dasar bahasa Sunda untuk memberikan latar belakang terhadap penting tidaknyapembahasan konsep finit dalam bahasa ini. Bagian 3 akan mengupas dua proposal mengenaikonsep finit dalam bahasa Indonesia yang akan diterapkan ke dalam bahasa Sunda untukmenakar apakah klaim yang sama bisa berlaku dalam bahasa Sunda. Bagian 4 membahas intidari makalah ini, yakni (i) mengevaluasi fitur morfosintaksis apa yang relevan dengan konsepfinit dalam bahasa Sunda; dan (b) ketika pemarkah morfologi finit tidak ada, apakah bahasamasih memiliki konsep finit? Bagian terakhir berisikan kesimpulan.

PROFIL TIPOLOGIS BAHASA SUNDAAda sebilangan karakteristik morfosintaksis bahasa Sunda yang penting untuk dijabarkan agarmemudahkan memahami struktur bahasa Sunda yang tersaji dalam makalah ini. Pertama,laiknya bahasa-bahasa serumpun semisal bahasa Indonesia, Jawa dan Madura, susunan katadalam bahasa Sunda pada umumnya adalah SPO (Subjek-Predikat-Objek), di mana subjekmuncul sebelum predikat dan objek (kalau ada) muncul sesudahnya.(6) Amung meuncit domba.

‘Amung menyembelih domba.’(7) Abah nitah Amung (pikeun) meuncit domba.

‘Handi menyuruh Amung (untuk) menyembelih domba.’Kedua, seperti halnya dalam bahasa Indonesia, tidak ada pemarkah kasus pada nomina danpemarkah kala pada verba dalam bahasa Sunda. Amung sebagai subjek (6) dan Amung sebagaiobjek (7) tidak ada bedanya.Tidak ada yang memarkahi argumen sebagai subjek atau objek.Begitu pun, verba meuli ‘membeli’ dalam klausa mandiri (6) ataupun klausa sematan (7) tidakmemiliki tanda kala, yang menunjukkan apakah aktivitas penyembelihan domba itu berupakebiasan, rencana masa depan, atau kejadian masa lampau. (6-7) menjadi bukti bahwa bahasaSunda tidak memiliki pemarkah kasus dan kala. Implikasinya, menjadi kabur atau tidak jelasapakah verba berupa finit atau nonfinit.

Page 61: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Eri Kurniawan

174

Meskipun miskin pemarkah kasus dan kala, bahasa Sunda memiliki pemarkahpersesuaian jumlah, fitur morfosintaksis yang menandai persesuaian antara predikat/verbadengan subjeknya dalam jumlah. Dalam konteks Sunda, pemarkah jumlah ini muncul apabilaargumen aktor dan predikatnya jamak. Inilah fitur yang membedakan bahasa Sunda denganbahasa-bahasa di sekitarnya.(8) a. Maranéhna keur naréangan budak nu leungit.

‘Mereka sedang mencari anak yang hilang.’b. Budak nu leungit téh keur ditaréangan ku maranéhna.

‘Anak yang hilang sedang dicari oleh mereka.’Verba téang (8a) diberi sisipan –ar, yang menjadikan verba tersebut menjadi jamak, sesuaidengan subjeknya yang juga jamak. Hal yang sama bisa diamati pada (8b) di mana verba jamakbersesuai dengan argumen aktor yang diawali dengan preposisi ku ‘oleh’. Perlu dicatat bahwa,dalam konteks ini, verba tidak menyesuaikan fiturnya dengan subjek budak nu leungit,melainkan dengan aktornya maranéhna.

Selain fitur persesuaian jumlah, bahasa Sunda pun memiliki infleksi berupa persesuaianpersona, yakni fitur morfosintaksis di mana predikat dibubuhi pemarkah untuk menunjukkanbahwa argumennya berupa persona ketiga, semisal dia atau mereka. Seperti halnya persesuaianjumlah, pemarkah persona ini pun sifatnya tidak wajib ada. Artinya, tidak adanya pemarkahanapa-apa pada predikat argumennya berupa persona ketiga tidak membuat kalimatnya menjaditidak gramatikal.(9) a. Ujang teu nyahoeun yén siAmung téh jéger terminal.

‘Ujang tidak tahu bahwa Amung itu preman terminal.’b. Ujang jeung adina teu nyarahoeun yén siAmung téh jégerterminal.

‘Ujang dan adiknya tidak tahu bahwa Amung itu preman terminalMunculnya sufiks pronominal persona ini bisa dengan subjek tunggal(9a) atau jamak (9b).Perhatikan pada (9b) bahwa sisipan jamak dan sufiks pronominal persona bisa hadirberdampingan dalam satu predikat.

Kalimat di bawah ini menunjukkan bahwa apabila sufiks persona ini muncul dengansubjek bukan persona ketiga, maka kalimat yang dihasilkan tidaklah gramatikal. Hal ini menjadibukti bahwa sufiks–eun betul-betul pemarkah persona ketiga.(10) *Kuring/manéh teu nyahoeun yén si Amung téh jéger terminal.

‘Saya/kamu tidak tahu bahwa Amung itu preman terminal.’Karakteristik lain dari bahasa Sunda, yakni adanya sistem diatesis (voice), merupakan fiturbahasa-bahasa di rumpun Austronesia (Wouk and Ross 2002). Sistem diatesis ini ditandaidengan awalan pada verba. Sebagaimana lazimnya bahasa-bahasa di Indonesia, terdapat duajenis diatesis dalam bahasa Sunda: aktif dan pasif. Verba dalam kalimat yang berdiatesis aktifdiawali dengan morfem nasal.(11) Amung miceun sapatu ka solokan.

‘Amung membuang sepatu ke sungai.’Dalam kalimat aktif seperti (11), argumen nominal (Amung), yang muncul mendahului verbabiasanya memiliki fungsi semantik sebagai aktor/pelaku, sementara argumen sapatu, yangmengikuti verba memiliki fungsi penderita.

Jenis diatesis yang kedua, yakni pasif, dicirikan dengan munculnya prefix di- (identikdengan pemarkah pasif bahasa Indonesia) pada verba. Secara umum, argumen yangmendahului verba pasif ini memiliki fungsi semantik sebagai non-aktor atau penderita, danaktor (kalaupun dihadirkan) biasanya muncul setelah verba karena aktor dalam konstruksi pasifbersifat opsional. Aktor ini berada dalam bingkai frasa berpreposisi, ditandai dengan adanyapreposisi ku ‘oleh’.

Page 62: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

175

(12) Sapatu dipiceun (ku) Amung.‘Sepatu dibuang oleh Amung.’

Pada bagian selanjutnya akan dibahas penelitian mengenai konsep finit dalam bahasa Indonesia.Diagnostiknya akan diterapkan ke dalam bahasa Sunda untuk melihat apakah usulan yang samaberlaku dalam bahasa Sunda.

FINIT DALAM BAHASA INDONESIASeperti yang dikemukakan di bagian awal, penelitian ihwal konsep finit itu berkutat padabahasa-bahasa yang memiliki infleksi berupa sistem kala dan persesuaian sebagaimana yangterdapat pada bahasa Inggris. Masih sedikit yang menelisik adanya finit dalam bahasa di luarkategori tersebut. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Kana (1986) dan Arka (2000, 2011)meneliti bahasa Indonesia dan menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai konsep finitsekalipun tidak ada infleksi kala/persesuaian. Finit dalam bahasa Indonesia, menurut mereka,terungkapkan dengan kata yang mengandung makna temporal seperti akan, sudah dan sedang.Verba-verba ini bisa muncul dalam klausa finit, seperti dalam klausa mandiri.(13) Mereka (sedang/telah) makan. (Arka 2011:74)Pemarkah finit juga bisa hadir dalam klausa komplemen pertanyaan dan komplemen yangdisebut raising.5

(14) Tetapi saya belum tahu [apakah saya (akan) mampu mengungguli Irene]. (Arka 2000:4)(15) a. Penonton tanpa tiket diperkirakan [(akan) membanjiri Belanda]. (Arka 2000:4)

b. Mereka menduga saya [akan datang hari ini]. (Kana 1986:244)Dengan berasumsi bahwa pemarkah temporal seperti itu dimaksudkan sebagai penentu status finitdalam sebuah klausa, klausa sematan pada konstruksi kendali bisa dianggap klausa nonfinit karenatidak membolehkan adanya pemarkah temporal, meskipun secara semantik dimungkinkan.(16) a. Para ibu juga ingin [mengubah penampilannya].

b. *Para ibu ingin [akan mengubah penampilannya]. (Arka 2000: 4)Sekalipun klausa sematan mengandung makna kala depan, kemunculan kata akan tidakdiharapkan, sehingga kalimat menjadi tidak berterima (16b).

Yang wajib dicatat, menurut Arka, walaupun keberadaan pemarkah temporal inisifatnya opsional, seperti yang terlihat dengan adanya tanda kurung pada (14), tetetapikemunculannya pada klausa nonfinit sangat tidak diharapkan. Itulah yang menyebabkanmengapa (16b) tidak gramatikal. Arka menamai fenomena ini sebagai kendala kefinitan(finiteness constraints). Di bawah ini contoh konstruksi lain yang dinamakan klausa sematanmini (small clause) yang dianggap Arka sebagai klausa nonfinit.(17) a. Orang itu mendorong saya [jatuh].

b. *Orang itu mendorong saya [akan/sedang/sudah jatuh]. (Arka 2011:76)Klausa sematan mini ditilik sebagai nonfinit karena keberadaan pemarkah finit sepertiakan/sedang/sudah di dalam klausa tersebut tidak diharapkan, seperti terlihat pada (17b).

Seiring dengan proposal Arka, Kana (1986) berasumsi bahwa pemarkah merupakanindikator finit dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, indikator ini membagi klausa adverbialmenjadi dua jenis: finit dan nonfinit. Klausa finit diawali dengan konjungsi seperti karena,sedangkan klausa nonfinit diawali dengan sesudah, sebelum, sambil, dengan, tanpa, danlainnya. Berikut ini adalah beberapa contoh dari Kana.(18) Klausa adverbial finit

a. Karena sudah menang dalam pertandingan, hadiah diberikan kepada Amir.b. Saya dikirimi kamus itu, karena tidak akan dipakainya lagi. (Kana 1986:307)

(19) Klausa adverbial nonfinita. Sambil bermain, gadis itu jatuh.b. Amir diberi hadiah itu sesudah dibeli di toko. (Kana 1986:304-305)

Page 63: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Eri Kurniawan

176

Selain pemarkah temporal, Arka (2011) menyarankan bahwa verba modal juga merupakanindikator finit, sebagaimana halnya dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, apabila verbautama (swim) berdampingan dengan modal (could), maka modallah yang diberi markah kala.(20) When I was young, I could swim for an hour without stopping.

‘Ketika saya muda, saya bisa berenang selama satu jam tanpa henti.’Apabila verba utamanya yang justru diberi markah kala seperti pada contoh di bawah ini,kalimat menjadi tidak gramatikal.(21) *When I was young, I could swam for an hour without stopping.Arka (2011) menyebutkan bahwa kemunculan verba modal dalam klausa bisa mengindikasikanadanya konsep finit. Apabila sebuah klausa bisa memuat modal, maka klausa tersebut finit.Apabila tidak, maka nonfinit. Berikut adalah contoh klausa finit (22a) dan nonfinit (22b).(22) a. Saya belajar [agar bisa menembak].

b. *Saya belajar [bisa menembak].Status finit atau tidaknya klausa di atas dibuktikan dengan boleh tidaknya modal bisa munculdalam klausa sematan.

Singkat kata, Kana dan Arka mengajukan proposal bahwa terdapat konsep finit dalamsistem klausa bahasa Indonesia yang ditandai dengan boleh-tidaknya pemarkah temporal sepertiakan atau sedang dan verba modal seperti harus atau bisa muncul dalam sebuah klausa. Keduadiagnostik ini, beserta diagnostik lainnya, yang dibahas pada bagian sebelumnya, yaknipemarkah persesuaian, akan diterapkan ke dalam data bahasa Sunda untuk memastikan apakahbahasa Sunda memiliki konsep finit, sebagaimana proposal Kana dan Arka dalam bahasaIndonesia.

KONSEP FINIT DALAM BAHASA SUNDABagian ini akan menjawab dua pertanyaan krusial: (i) apakah ada fitur morfosintaksis yangberkorelasi positif dengan keberadaan konsep finit dalam bahasa Sunda? dan (ii) kalau ternyatatidak ada, apakah konsep finit masih relevan dalam bahasa Sunda?

Korelasi Finit dengan Fitur MorfosintaksisBagian ini menelisik apakah ada korelasi antara fitur morfosintaksis (kala, persesuaian,pemarkah temporal, dan modalitas) dengan kefinitan sebuah klausa.Pemarkah TemporalSebagaimana halnya bahasa Indonesia, bahasa Sunda memiliki sebilangan pemarkah temporalyang tentunya bertugas untuk menyampaikan informasi mengenai waktu atau aspek. Pemarkahsemacam ini tentunya bisa hadir dalam klausa mandiri, seperti tergambar dalam contoh berikut.(23) a. Ipah geus balik deui ka lemburna.

‘Ipah sudah kembali lagi ke kampungnya.’b. Ujang keur nyieun langlayangan.

‘Ujang sedang membuat layang-layang.’c. Amung rék nyaba ka Sumatra.

‘Amung akan merantau ke Sumatra.’

Dengan menggunakan asumsi Kana dan Arka, kita bisa menyebutkan bahwa semua kalimat (23)adalah contoh kalimat finit. Simpulan seperti ini terbilang tidak kontroversial karena secaraumum klausa mandiri merupakan klausa finit. Implikasinya, klausa sematan yang bisamengandung pemarkah temporal juga harus dipandang sebagai klausa finit.(24) a. Ujang ngusahakeun [(rék) indit ka dayeuh]. (kendali)

‘Ujang mengusahakan akan pergi ke kota.’

Page 64: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

177

b. Ujang dianggap (ku) bapana [(rék) indit ka dayeuh]. (raising)‘Ujang dianggap oleh bapaknya akan pergi ke kota.’

Dengan mengadopsi asumsi bahwa rék ‘akan’ adalah pemarkah finit, maka (24a) merupakancontoh komplemen kendali finit dan (24b) raising finit. Walaupun keberadaan kedua jeniskomplemen tersebut agak kurang lazim dalam bahasa-bahasa rumpun Austronesia, keduakomplemen finit itu bukanlah anomali.

Akan tetetapi, bermodalkan asumsi di atas, kita akan menghadapi potensi masalah.Dalam literatur linguistik, komplemen kendali terbagi dua tipe: kendali subjek (15a) dan kendaliobjek (25b).6 Masing-masing jenis kendali ini rupanya memiliki perilaku atau karakteristik yangberlainan berkaitan dengan pemarkah temporal rék. Komplemen kendali subjek membolehkankehadiran rék seperti pada (24a) dan (25a), tetapi tidak demikian halnya dengan kendali objek.Keberadaan rék tidak bisa diterima sama sekali (25b).(25) a. kendali subjek

Kuring geus jangji ka pamajikan [rék nyobaan masakan Jepang].‘Saya sudah berjanji kepada istri akan mencoba masakan Jepang.’

b. kendali objek*Kuring ngolo pamajikan [réknyobaan masakan Jepang].*‘Saya membujuk istri akan mencoba masakan Jepang.’

Seperti disebutkan di atas, secara tipologis, keberadaan komplemen kendali finit tidaklah aneh(lihat Landau 2004 untuk tipologi kendali finit). Akan tetapi, yang menjadi masalah adalahperbedaan perilaku kendali subjek dan objek. Apabila asumsi bahwa rék merupakan salah satuindikator finit, maka kita terpaksa harus mengatakan bahwa klausa sematan pada konstruksikendali subjek bersifat finit, sementara klausa sematan kendali objek bersifat nonfinit.Pembagian kendali seperti ini, sepengetahuan penulis, belum pernah terdengar.

Berbeda dengan Kana dan Arka, penulis ingin mengajukan bahwa pemarkah temporal,semisal rék dan sejenisnya, bukanlah pemarkah finit. Mereka hanyalah refleks morfologis darimakna terporal yang terkandung pada klausa sematan. Secara makna, seperti yang pernahdisinggung oleh Arka, komplemen nonfinit mengandung kala semantik (semantic tense) denganorientasi masa depan (lihat Stowell 1982). Hanya saja, karena klausanya nonfinit, kala depan(future tense) tersebut tidak direalisasikan. Penulis berpendapat bahwa kata seperti rék hanyalahpemarkah aspektual, yang dimungkinkan hadir dalam pelbagai jenis klausa, termasuk klausa-klausa yang dikategorikan nonfinit, seperti contoh dalam bahasa Inggris pada (26).(26) a. The thief was believed [to have murdered the princess in the palace].

‘Pencuri itu dipercaya telah membunuh putri di istananya.’b. John is assumed [to be working on his final project].

‘John dianggap sedang mengerjakan projek finalnya.Seperti yang terlihat di atas, pemarkah aspektual semisal perfective (26a) dan progressive (26b)bisa muncul sekalipun dalam klausa nonfinit, yang ditandai dengan pemakaian to infinitive.Kalau rék dikategorikan sebatas pemarkah aspektual, yang tidak ada korelasinya dengan statusfinit sebuah klausa, perbedaan yang ditunjukkan pada (25) tidak ada urusannya dengan konsepfinit. Tentunya, ada faktor lain di luar penjelasan finit yang bisa menjelaskan perbedaantersebut.

Dengan adanya asumsi bahwa pemarkah temporal adalah penentu finit, Kana harusmembagi klausa adverbial dalam bahasa Indonesia menjadi dua jenis: klausa adverbial finit dannonfinit, hanya berdasarkan apakah klausa tersebut bisa menghadirkan pemarkah temporal atautidak. Klausa adverbial finit yang bisa mengandung pemarkah temporal, sementara klausaadverbial nonfinit tidak membolehkan adanya pemarkah tersebut. Dalam bahasa Sunda,pembagian seperti itu tidak diperlukan karena kemunculan pemarkah ini bisa diamati dalamberbagai jenis klausa adverbial.

Page 65: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Eri Kurniawan

178

(27) a. Pamaén bola, saméméh rék tanding, heuay heula geura.‘Pemain (sepak) bola, sebelum bertanding, menguap terlebih dahulu.’(http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg35838.html)

b. Nalika keur kakandungan, harita kuring ngarenghik.‘Ketika saya hamil, dulu saya merengek.’(http://m.fikminsunda.com/index.php?naskah=anyar&prung=250242435017331_319852388056335)

c. Maranéhanana ngarasa dosa kulantaran geus jalir jangji.‘Mereka merasa berdoa karena sudah melanggar janji.(http://su.wikipedia.org/wiki/Talaga_Remis)

d. Siti keur diuk di tempat biasa, sabari keur maca buku.‘Siti sedang duduk di tempat biasa sambil membaca buku.’(http://senyndriani18.blogspot.com/)

Berdasarkan bukti data di atas, mengingat bahwa pemarkah temporal/aspektual bisa ditemui dipelbagai jenis klausa adverbial, pembagian finit-tidaknya klausa adverbial dengan kriteriapemarkah jenis ini tidaklah bisa dipertahankan.

Ada fakta unik dalam bahasa Sunda yang memperkuat analisis penulis bahwa kata-kataseperti (eun)geus ‘sudah’, (eu)keur ‘sedang’, atau (é)rék ‘akan’ hanyalah pemarkah aspektual,bukan indikator finit. Dalam bahasa Sunda, pemarkah aspektual ini bisa berdampingan satusama lain, satu anomali kalau pemarkah seperti itu dianalisis sebagai pemarkah finit.(28) a. Alam geus rék mimitian poék.

‘(Alam) sudah mulai gelap.’(http://jhonsundanesse.blogspot.com/2012/10/sore-maju-ka-peuting.html/)

b. Karajaan Sunda geus rék runtag.‘Kerajaan Sunda akan runtuh.’(http://fathandino.blogspot.com/2012/03/loba-situs-di-narimbang-conggeang-makam.html)

Rangkaian geus rék menandakan kejadian yang secara temporal bermula pada satu titik di masalampau dan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Makna khusus ini hanya bisadijelaskan secara alamiah apabila kata-kata seperti geus/rék diposisikan hanya sekadarpemarkah aspektual. Oleh karena itu, keberadaannya dalam sebuah klausa tidak mestidikorelasikan dengan finit-tidaknya sebuah klausa.

Pemisahan pemarkah aspektual dengan kefinitan ini bisa menjelaskan mengapapemarkah semacam ini bisa didapati dalam komplemen nominalisasi, yang secara umumsifatnya nonfinit.(29) Bapa masih teu panuju ngeunaan [rék dikirimna Ujang ka Suriah].

‘Bapak masih tidak sepakat mengenai akan dikirimnya Ujang ke Suriah.’Perlu dicatat bahwa, dalam konteks lintas bahasa, data menunjukkan bahwa komplemennominalisasi yang finit itu sangatlah jarang. Oleh karena itu, fakta pada (29) menjadi masalahbagi analisis yang mengaitkan pemarkah temporal/aspektual dengan kefinitan sebuah klausa.

PersesuaianKajian literatur ihwal finit dalam bahasa-bahasa di dunia mengindikasikan bahwa fiturpersesuaian persona bisa menjadi penentu adanya finit dalam sebuah klausa (lihat proposalGeorge dan Kornfilt 1981untuk bahasa Turki). Seperti dikemukakan di bagian awal, bahasaSunda berbeda dengan bahasa sekitar dengan memiliki pemarkah persesuaian persona, denganpembubuhan sufiks–eun pada predikat. Sayangnya, dalam bahasa Sunda, kemunculan pemarkahpersesuaian tidak berbanding lurus dengan finit atau tidaknya sebuah klausa. Hal inidikarenakan pemarkah tersebut tidak bisa membedakan beragam jenis klausa komplemen.

Page 66: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

179

Bahkan, pemarkah persesuaian persona rupanya bisa ditemui dalam komplemen nominalisasi,seperti terlihat pada data di bawah ini.(30) a. Ujang yakin [yén pamajikanna bakal resepeun kana dewegan].

‘Ujang yakin bahwa istrinya akan menyukai kelapa muda.’b. Ujang dianggap [geus nyahoeun kajadian kamari].

‘Ujang dianggap sudah mengetahui kejadian kemarin.’c. Ujang diolo [sangkan daék-eun ng-ala dewegan].

‘Ujang dibujuk agar mau memetik kelapa muda.’d. Ujang langsung nuduh adina[saenggeus apaleun laptop-na leungit].

‘Ujang langsung menuduh adiknya setelah mengetahui laptonya hilang.’e. Ujang masih kénéh teu percaya ngeunaan [daékeunna Imas dikawin ku Ohang].

‘Ujang masih tidak percaya mengenai kemauan Imas untuk dinikahi Ohang.’Seperti yang terlihat di atas, pemarkah persesuaian persona bisa hadir dalam komplemenindikatif seperti pada (30a), komplemen raising (30b), komplemen kendali (30c), klausaadverbial (30d) dan komplemen nominalisasi (30e). Fakta ini menjadi bukti penting bahwaproposal yang menghubungkan fitur persesuaian dengan kefinitan sebuah klausa tidak bisaditerapkan dalam bahasa Sunda.

Verba ModalSeperti disebutkan sebelumnya, Arka (2011) menganalisis verba modal sebagai pemarkah finit.Keberadaannya dalam sebuah klausa menandakan bahwa klausa tersebut finit. Atas dasardistribusi verba modal dalam bahasa Sunda, korelasi antara (tidak)dibolehkannyaverba modaldengan keberadaan finit tidak bisa dipertahankan. Dalam bahasa Sunda, verba modal bisadidapati di beragam konteks, seperti komplemen raising (31a), kendali (31b) dan bahkannominalisasi (31c).(31) a. Maranéhna tangtu [perlu datang ka acara paturay tineung di sakola].

‘Mereka tentu perlu datang ke acara perpisahan di sekolah.’b. Manéhna dipaksa [kudu nginjeumkeun duit ka babaturanna].

‘Dia dipaksa harus meminjamkan uang kepada temannya.’c. ‘Masarakat teu satuju ngeunaan [perlu dicabutna subsidi BBM ku pamaréntah].

‘Masarakat tidak setuju mengenai perlu dicabutnya subsidi BBM oleh pemerintah.’Begitu pun, verba modal bisa ditemukan dalam klausa adverbial, seperti dalam contoh berikut ini.(32) a. [Saencan bisa nyieun buku], tong ngaku-ngaku pangarang.

‘Sebelum bisa membuat buku, jangan mengaku-aku penulis.’b. Ujang dititah masak ku pamajikanna, sabari kudu ngasuh budak.

‘Ujang disuruh masak oleh istrinya sambil harus mengasuh anak.’Usulan bahwa pemarkah temporal/aspektual dan verba modal menjadi indikator kefinitan klausaakan menghadapi kesulitan untuk menjelaskan fakta di mana kedua jenis kata tersebut bisamuncul bersamaan dalam sebuah klausa.(33) a. Mesin téa téh moal perlu maké operator sabab sagala rupana otomatis.

‘Mesin itu tidakakan perlu menggunakan operator sebab semuanya otomatis.’b. Motor téh geus kudu dioméan deui.

‘Motor itu harus sudah diperbaiki lagi.’c. Pamajikan téh encanmeunang dibawa balik ti rumah sakitna.

‘Istri belum boleh dibawa pulang dari rumah sakit.’Perhatikan bahwa modal mengikuti pemarkah temporal/aspektual, susunan kata yang cukupjanggal apabila modal dianggap memuat kala, lalu dikorelasikan kefinitan klausa. Oleh karena

Page 67: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Eri Kurniawan

180

itu, lebih masuk akal apabila verba modal tidak dihubungkan dengan finit tidaknya sebuahklausa. Dengan kata lain, modalitas dalam bahasa Sunda (dan mungkin juga dalam bahasaIndonesia) bukanlah indikator finit.

Memang ada sebilangan konteks di mana verba modal tidak dibolehkan muncul dalamsebuah klausa, seperti yang diklaim oleh Arka (2011) dengan contoh (22), diulang di bawah.(34) a. Saya belajar [agar bisa menembak].

b. *Saya belajar [bisa menembak].Arka mengklaim bahwa klausa komplemen seperti di atas (34b) merupakan klausa nonfinitkarena tidak membolehkan munculnya modal bisa. Contoh serupa bisa ditemukan dalam bahasaSunda.(35) a. Kuring diajar némbak.

b. *Kuring diajar bisa némbak.*‘Saya belajar bisa menembak.’

Ketidakmungkinan munculnya modal dalam hal ini bisa dikaitkan dengan ukuran komplemen.Dalam literatur linguistik, sudah menjadi asumsi yang standar bahwa klausa memiliki ukuranstruktur yang bervariasi, tergantung pada jenis dan jumlah elemen yang bisa dimuatnya.Misalnya, sebuah klausa lengkap yang bisa memuat argumen subjek, pemarkahtemporal/aspektual, modal, dan sejenisnya dipandang berkategori CP (ComplementizerProjection)—klausa dengan projeksi lengkap dan diawali dengan konjungsi klausa sematansemisal bahwa. Asumsinya, semakin dibatasi atau semakin sedikit jenis dan jumlah elemenyang bisa dimuat, semakin kecil ukuran klausanya. Maka, dalam hal ini, bisa diasumsikanbahwa klausa seperti pada (35b) hanyalah klausa kecil (misalnya, berkategori verbalprojection—proyeksi verba saja) sehingga wajar kalau klausa tersebut tidak bisa memuat verbamodal apapun. Artinya, tidak bolehnya sebuah modal muncul dalam sebuah klausa bisadijelaskan dengan penjelasan ukuran klausa, tidak perlu melibatkan konsep finit.

Terlebih, ada sejumlah konteks klausa di mana satu-satunya modal yang dibolehkanhanyalah bisa. Salah satunya adalah klausa komplemen untuk predikat desideratif sepertihayang ‘mau/ingin’.(36) Kamar téh hayang [geura (bisa)(*kudu/perlu/meunang) dieusian].

‘Kamar itu ingin bisa segera bisa diisi.’Kemunculan verba modal lain menyebabkan kalimat menjadi tidak gramatikal. Hal inimenimbulkan masalah bagi analisis yang memakai konsep ukuran klausa karena kalau memangbetul ukuran yang krusial, maka seharusnya semua jenis modal tidak boleh muncul. Akan tetapi,kenyataannya, modal bisa dibolehkan.

Untuk mengatasi masalah ini, penulis mengadopsi usulan Englebretson (2003), yangintinya mengasumsikan bahwa kata bisa itu bukanlah modal, tetetapi verba leksikal.Menurutnya, bisa itu sebenarnya bentuk verba yang sudah tergramatikalisasi dari verba yangmengungkapkan ‘kemampuan’. Berikut contoh dari Englebretson (2003:144).(37) Intinya dia malam itu nggak bisa nemui saudaranya itu.Englebretson menjelaskan bahwa bisa dalam konteks ini mengindikasikan bahwa pelaku, yaknidia, tidak memiliki kemampuan untuk merealisasikan pekerjaan menemui seseorang. Di sini,bisa tidak mengandung makna modalitas kemungkinan.

Bukti lain yang mendukung asumsi bahwa bisa bukanlah modal adalah fakta bahwabisa dapat berdampingan dengan verba modal lainnya seperti kudu ‘harus’ atau perlu.Perhatikan bahwa kalimat menjadi tidak gramatikal apabila lebih dari satu modal muncul dalamsebuah klausa (38b, d)(38) a. Si Ujang kudu bisa ngungkabkeun rarasaan manéhna ka Enéng.

‘Ujang harus bisa mengungkapkan perasannya kepada Eneng.’

Page 68: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

181

b. *Si Ujang kudu perlu ngungkabkeun rarasaan manéhna ka Enéng.*‘Ujang harus perlu mengungkapkan perasannya kepada Eneng.’

c. Manéhna perlu bisa basa Arab mun hayang digawé di Mekah.‘Dia perlu bisa berbahasa Arab kalau mau bekerja di Mekah.’

d. *Manéhna perlu meunang basa Arab mun hayang digawé di Mekah.*‘Dia perlu boleh berbahasa Arab kalau mau bekerja di Mekah.’

Hal yang sama tidak mungkin terjadi dalam bahasa di mana modal mengandung kala, dan olehkarena itu finit. Berikut adalah contoh dari bahasa Inggris di mana modal selalu bertemalidengan sistem kala.(39) a. *A man also must can take care of the house.’

b. *He needs can speak Arabic if he wants to work in Mecca.’Kesimpulannya, hadir atau tidaknya sebuah modal dalam klausa tidaklah berbanding lurusdengan status kefinitan sebuah klausa. Ketidakmungkinan sebuah modal dalam klausa sematanbisa jadi disebabkan ukuran klausanya yang kecil, sehingga tidak memiliki ruang yang memadaiuntuk memuat elemen lain selain verba dan argumennya.

Kefinitan StrukturalSeperti dijelaskan di bagian muka, salah satu ciri khas klausa finit adalah adanya subjeknominatif. Secara umum, berdasarkan data lintas bahasa, keberadaan subjek dengan kasusnominatif ini dimungkinkan karena adanya fitur kala, persesuaian atau modalitas. Akan tetapi,dalam bahasa Sunda, korelasi tersebut tidak ditemukan. Keberadaan pemarkah temporal/aspektual, pemarkah persesuaiandan verba modal tidak berbanding lurus dengan kemunculansubjek nominatif dalam sebuah klausa.

Pada contoh berikut ditunjukkan bahwa pemarkah temporal/aspektual tidak berkorelasipositif dengan kemunculan subjek dalam klausa sematan.(40) a. Iroh geus mutuskeun [rék ngajual harta warisanna].

‘Iroh sudah memutuskan akan menjual harta warisannya.’b. *Iroh geus mutuskeun [manéhna rék ngajual harta warisanna].

Apabila verba bantu seperti rék ‘akan’ berhubungan erat dengan kemunculan subjek, makakalimat (40b) seharusnya gramatikal. Akan tetapi, buktinya tidak. Artinya, pemarkah semacamini tidak ada kaitannya dengan muncul atau tidaknya subjek pada sebuah klausa.

Hal yang sama berlaku untuk pemarkah persesuaian. Baik persesuaian persona (sufiks-eun) maupun persesuaian jumlah (infiks-ar/al) tidak bisa dikaitkan dengan keberadaan subjekdalam sebuah klausa.(41) a. Ujang dianggap [geus nyahoeun kajadian kamari].

‘Ujang dianggap sudah mengetahui kejadian kemarin.’b. *Ujang dianggap [manéhna geus nyahoeun kajadian kamari].

‘Ujang dianggap sudah mengetahui kejadian kemarin.’(42) a. Barudak dititah [sina dialajar ngaji].

‘Anak-anak disuruh untuk belajar mengaji.’b. *Barudak dititah [sina manéhna dialajar ngaji].

‘Anak-anak disuruh untuk belajar mengaji.’Seperti yang terlihat secara jelas dari data (41-42), kehadiran pemarkah persesuaian(persona/jumlah) tidak berkorelasi positif dengan kemunculan subjek. Kemunculan subjek padaklausa tertentu justru membuat kalimat menjadi tidak berterima, terlepas dari adanya fiturpersesuaian.

Page 69: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Eri Kurniawan

182

Yang terakhir adalah modalitas.Di bagian sebelumnya sudah ditunjukkan bahwa modaltidak ada kaitannya dengan finit tidaknya sebuah klausa.Karena konsep finit ini erat kaitannyadengan keberadaan subjek, maka bisa diprediksi bahwa modalitas tidak berkorelasi dengankeberadaansubjek.Prediksi ini terbukti akurat, seperti yang terlihat pada data di bawah ini.(43) a. Ujang dianggap [kudu nganteurkeun adina ka bandara].

‘Ujang dianggap harus mengantarkan adiknya ke bandara.’b. *Ujang dianggap [manéhna kudu nganteurkeun adina ka bandara].

‘Ujang dianggap harus mengantarkan adiknya ke bandara.’(44) a. Barudak dipaksa [kudu mareuli buku teks ti guruna].

‘Anak-anak dipaksa harus membeli buku teks dari gurunya.’b. *Barudak dipaksa [manéhna kudu mareuli buku teks ti guruna].

‘Anak-anak dipaksa harus membeli buku teks dari gurunya.’Pertanyaannya sekarang adalah (i) apakah konsep finit masih relevan sekalipun tidak ada fiturmorfosintaksis yang berkorelasi positif dengan kefinitan klausa dan (ii) kalau jawabannya ya,bagaimana konsep finit dimanifestasikan di dalam bahasa Sunda?

Untuk pertanyaan pertama, jawabannya sudah tersedia dari penelitian sebelumnyaterhadap bahasa-bahasa yang tidak memiliki infleksi atau yang tidak memiliki manifestasikonsep finit secara morfologis. Rice (1989), misalnya, menyebutkan bahwa dalam bahasa-bahasa Slave (tidak memiliki infleksi), konsep finit direfleksikan secara struktural, tidak secaramorfologis. Sejalan dengan Rice, Huang (1984), dalam penelitiannya terhadap bahasa China,berpendapat bahwa konsep finit secara struktural bisa diamati dalam bahasa China dan finit iniberkorelasi dengan kemunculan subjek.

Untuk pertanyaan kedua, penulis akan mempertimbangkan usulan Huang dalam bahasaChina bahwa konsep finit berbanding lurus dengan kemunculan subjek, sekalipun tidak ada fiturmorfosintaksis yang relevan dengan kefinitan klausa.

Mari awali dengan memperhatikan klausa mandiri berikut.(45) a. Manéhna keur ngumbahan wadah.

‘Dia sedang mencuci piring.’b. Wadah keur dikumbahan ku manéhna.

‘Piring sedang dicuci oleh dia.’Argumen subjek yang kentara (overt) semisal manéhna ‘dia’ selalu dibolehkan hadir dalamklausa mandiri dan pada umumnya klausa mandiri ditilik sebagai klausa finit. Oleh karena itu,penulis mengajukan usulan bahwa konsep finit dalam bahasa Sunda teridentifikasi secarastruktural melalui boleh tidaknya subjek kentara muncul dalam sebuah klausa. Apabila sebuahklausa membolehkan kemunculan subjek, klausa tersebut finit. Kalau tidak, maka nonfinit.Penulis berasumsi bahwa ada fitur (abstrak) [finit] yang bertanggung jawab terhadap adatidaknya finit dalam klausa. Apabila fitur ini hadir, maka subjek kentara dibolehkan muncul danklausa menjadi finit. Sebaliknya, ketika fitur ini tidak ada, maka subjek kentara dilarang munculdan klausa yang bersangkutan menjadi nonfinit. Contoh klausa sematan finit adalah klausaindikatif yang biasanya diawali dengan konjungsi klausa sematan yén/(wi)réhna ‘bahwa’.(46) a. Ujang teu apaleun [yén manéhna keur ngumbahan wadah].

‘Ujang tidak tahu bahwa dia sedang mencuci piring.’b. Bapa ngawartosan [wiréhna anjeunna bade angkat ka tanah suci taun payun].

‘Bapak memberi tahu bahwa dirinya akan pergi ke tanah suci tahun depan.Keberadaan subjek manéhna dan anjeunna ‘dia’ dalam dua contoh di atas dimungkinkan karenaadanya fitur abstrak [finit] sehingga dua klausa tersebut menjadi klausa finit.

Sekarang, bagaimana dengan klausa sematan jenis lain seperti komplemen raising dankendali yang umumnya bersifat nonfinit?(47) a. Ujangj dianggap [(*manéhna)i/*j rék meuncit domba engké soré].

‘Ujang dianggap akan menyembelih domba nanti sore.’

Page 70: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

183

b. Ujangi di-titah [pikeun (*manéhna)i/*j meuncit domba engké soré].‘Ujang disuruh untuk menyembelih domba nanti sore.’

Terlihat jelas bahwa rupanya kemunculan subjek kentara dalam klausa komplemen raising(47a) dan komplemen kendali (47b) membuat kedua kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal.Artinya, kedua jenis klausa sematan tersebut melarang kemunculan subjek kentara. Klausa yangbersangkutan tentu saja memiliki subjek. Hanya sifatnya harus implisit atau null subject. Subjekimplisit inilah yang menjadi ciri khas dari komplemen raising dan kendali dalam sebagian besarbahasa-bahasa di dunia.

Pertanyaannya, apa yang melarang kemunculan subjek kentara di kedua jenis klausatersebut? Jawabannya sederhana. Ketiadaan fitur abstrak [finit]-lah yang membuat klausa tidakmempunyai kemampuan untuk memuat subjek kentara, sehingga kedua jenis klausakomplemenini menjadi nonfinit. Adapun klausa utama yang memuat subjek kentara, yakniUjang, dianggap mengandung fitur [finit] yang membolehkan subjeknya untuk direalisasikansecara morfologis. Karakterisasi kefinitan klausa dengan fitur abstrak [finit] ini mampumenjelaskan mengapa ada kontras antara klausa mandiri, klausa inti dan indikatif dengan klausakomplemen raising dan kendali. Yakni, mengapa subjek kentara dibolehkan muncul dalamklausa jenis pertama dan tidak dibolehkan dalam klausa jenis kedua. Fitur [finit] yangdimanifestasikan dengan boleh-tidaknya kehadiran subjek kentara inilah yang menjadi penentufinit tidaknya sebuah klausa.

Keuntungan dari proposal yang penulis ajukan sangatlah terang benderang. Sekalipuntidak ada fitur morfosintaksis seperti kala, persesuaian dan modalitas yang secara sistematikberkorelasi dengan kefinitan, konsep finit masih tetap relevan dalam bahasa Sunda. Buktinyanampak jelas dengan adanya kontras antara klausa yang membolehkan subjek kentara denganyang tidak.

SIMPULANTulisan ini menjawab dua pertanyaan krusial: i) apakah ada fitur morfosintaksis yangberkorelasi positif dengan keberadaan konsep finit dalam bahasa Sunda dan ii) kalau tidak ada,bagaimana konsep finit dimanifestasikan? Untuk pertanyaan pertama, jawabannya sudah jelas.Tidak ada fitur mofosintaksis yang menjadi pemarkah finit. Pemarkah temporal/aspektual bisahadir dalam berbagai klausa komplemen, sehingga tidak bisa membedakan mana klausa finitdan mana yang nonfinit. Temuan ini menyangkal proposal dari Kana (1986) dan Arka (2000,2011) yang menghubungkan kemunculan pemarkah temporal/aspektual dengan finit atautidaknya sebuah klausa. Pemarkah infleksi berupa pemarkah persesuaian persona dan jumlahpun terbukti tidak bertemali dengan kefinitan klausa. Meskipun demikian, terdapat konsep finitdalam bahasa Sunda yang dimanifestasikan secara struktural. Ini ditandai dengan dibolehkannyasubjek kentara (overt subject) dalam klausa. Apabila sebuah klausa membolehkan kemunculansubjek kentara, maka klausa tersebut finit. Kalau sebaliknya, klausanya nonfinit. Penulismengajukan bahwa fitur abstrak [finit] lah yang menentukan apakah sebuah klausa bisamengandung subjek kentara atau tidak.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikanmakalah ini.

1 Singkatan yang dipakai dalam tulisan ini: 3: Persona Ketiga, ACC: (Kasus) Akusatif, AV: ActiveVoice (diatesis aktif), COMP: Complementizer (konjungsi lekatan), DECL: Deklaratif, DEF: Definit,DET: Determiner, HON: Honorifik, INFIN: Infinitif, NOM: (Kasus) Nominatif, PART: Partikel,PAST: Past Tense (kala lampau), PL: Plural (jamak), PRES: Present Tense (kala kini), PROG:Progresif, PV: Passive Voice (diatesis pasif), REL: Relativizer, TOP: Pemarkah Topik.

Page 71: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Eri Kurniawan

184

2 Tentunya, ada kekecualian untuk konsep finit berdasarkan distribusi ini. Dalam bahasa Rusia,misalnya, verba nonfinit bisa muncul dalam klausa sederhana.

(i) Sonja [budet [zanimat’sja jogoj] i [begat’ po utram]].Sonja akan lakukan.INFIN yoga dan lari.INFIN pada pagi‘Sonya akan melakukan yoga dan lari setiap pagi.’ (Bailyn 2012: 27)Perhatikan bahwa glos untuk verba dibubuhi dengan INFIN yang berarti infinitif atau nonfinit.Artinya, verba dalam kalimat ini keduanya nonfinit. Baylin menuturkan bahwa verba nonfinitmemiliki ciri yang serupa dengan verba finit yakni bisa muncul dalam klausa koordinatif, sepertipada (i). Meskipun demikian, karakterisasi konsep finit secara distribusi bisa ditilik akurat karenabisa mewakili karakteristik finit di sebagian besar bahasa di dunia.

3 Konstruksi kendali adalah sebuah struktur kalimat kompleks di mana subjek yang dilesapkan padaklausa sematan harus merujuk/koindeks dengan subjek pada klausa utama. Dengan kata lain, subjekpada klausa utama menjadi pengendali rujukan subjek pada klausa sematan. Perhatikan contohberikut.

(ii) Ujangi berusaha [untuk PROi/*j menulis buku tata bahasa Sunda dalam satu semester].Seperti yang ditunjukkan pada koindeksasi, subjek klausa sematan yang diwakili PRO (istilah khasyang disematkan kepada subjek klausa sematan yang dilesapkan pada konstruksi kendali) wajibmerujuk pada subjek pada klausa utama, yakni Ujang. Apabila tidak, yakni rujukan subjek padakedua klausa tidak sama, kalimat (ii) di atas berubah menjadi tidak gramatikal.

4 Penelitian ini didanai oleh the National Science Foundation dengan nomor grant 1123769.5 Raising merujuk pada sebuah konstruksi kalimat di mana sebuah argumen yang berasal dari klausa

sematan raise (naik) ke klausa inti karena ada fitur morfosintaksis yang mesti dipenuhi, yakni kasusnominatif pada predikat inti. Contoh sederhana konstruksi raising adalah sebagai berikut.

(iii) Ujang nampak [Ujang sedang kebingungan].Ujang yang bermula sebagai subjek klausa sematan ‘terpaksa’ harus naik ke klausa inti karenapredikat nampak mempunyai kasus nominatif yang harus diserahkan dan Ujang naik untuk menerimakasus tersebut.

6 Perbedaan antara kendali subjek dan kendali objek terletak pada status gramatikal argumenpengendali, argumen nominal pada klausa utama.

(iv) Ujangi berusaha [untuk PROi/*j menulis buku tata bahasa Sunda dalam satu semester].(v) Amungi menyuruh Ujangj [untuk PRO*i/j menulis buku tata bahasa Sunda dalam satu semester].

Pada kendali subjek (iv), subjek (PRO) pada klausa sematan harus merujuk pada subjek pada klausautama, sementara pada kendali objek (v), subjek klausa sematan merujuk pada objek klausa utama.

DAFTAR PUSTAKAAl-Aqarbeh, Rania. 2011. “Finiteness in Jordanian Arabic: A Semantic Morphosyntactic

Approach.” Doctoral Diss., the University of Kansas.

Arka, I Wayan. 2000. “Control Theory and Argument Structure: Explaining Control intoSubject in Indonesian.” Paper presented at the 4th International Malay and IndonesianSymposium, Jakarta.

Arka, I Wayan. 2011. “On Modality and Finiteness in Indonesian: Complexities of -nyaNominalisation”. Workshop on TAM markers and evidentiality in IndonesianLanguages, Tokyo University of Foreign Studies, 17-18 February 2011,http://lingdy.aacore.jp/en/contact/index.html.

Bailyn, John F. 2001. The Syntax of Russian. New York: Cambridge University Press.

Cowper, Elizabeth. 2002. “Finiteness.” Manuscript. University of Toronto.

Page 72: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

185

Englebretson, Robert. 2003. Searching for Structure: The Problem of Complementation inColloquial Indonesian Conversation. Amsterdam: John Benjamins PublishingCompany.

George, Leland M. and Jaklin Kornfilt. 1981. “Finiteness and Boundedness in Turkish.” InBinding and Filtering, edited by Frank Heny, 105-128. London: Croomhellm Ltd.

Hu, Jianhia, Haihua Pan, and Liojiong Xu. 2001. “Is There a Finite vs. Nonfinite Distinction inChinese?’ Linguistics 39:1117–1148.

Huang, C.-T. James. 1984. “On the Distribution and Reference of Empty Pronouns.” LinguisticInquiry 15, 531–574.

Kana, Marit. 1986. “Grammatical Relations in Bahasa Indonesia.” Doctoral Diss., CornellUniversity.

Lee, Kumyoung. 2009. “Finite Control in Korean.” Doctoral Diss., University of Iowa.

Matthews, Peter H. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics.Oxford: OxfordUniversity Press.

Nikolaeva, Irina. 2007. Finiteness: Theoretical and Empirical Foundations. Oxford: OxfordUniversity Press.

Rice, Keren. 1989. A Grammar of Slave. Berlin: Mouton.

Souter, Alexander. et al. (eds.). 1968. Oxford Latin Dictionary, vol. 1. Oxford: Clarendon Press.

Stowell, Tim. 1982. “The Tense of Infinitives.” Linguistic Inquiry 13:561–570.

Wouk, Fay and Malcolm Ross (ed.). 2002. The History and Typology of Western AustronesianVoice Systems. Australian National University.

“Aya Cinta di Pondok Pasantren,” accessed March 20, 2013, http://senyndriani18.blogspot.com/.

Kuz, Rudya. “Rusras,” accessed March 20, 2013, http://m.fikminsunda.com/index.php?naskah=anyar&prung=250242435017331_319852388056335.

“Loba Situs di Narimbang Conggeang Makam Para Embah jeung Kabuyutan,” accessed March20, 2013, http://fathandino.blogspot.com/2012/03/loba-situs-di-narimbang-conggeang-makam.html.

“Re: [Urang Sunda] Persib Bandung Pikahariwangeun!!!” accessed March 20, 2013,http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg35838.html.

“Sore Maju ka Peuting,” accessed March 20, 2013, http://jhonsundanesse.blogspot.com/2012/10/sore-maju-ka-peuting.html.

“Talaga Remis,” accessed March 20, 2013, http://su.wikipedia.org/wiki/Talaga_Remis.

Page 73: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 187-205 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

EXPLORING POWER AND SOLIDARITY SEMANTICIN TRANSLATION OF CULTURAL TERMS OF ADDRESS

IN THE BIBLE

Frans I Made Brata*Universitas Udayana

[email protected]

AbstractThis paper presents the types of meanings in the translation of English Luke’s Bible inBalinese. The Tu-Vous combined with attitude in the Appraisal Theory are utilized toevaluate the word choice of terms of address done by the translator. The results are asfollows: (1) Pronouns and nouns employed among characters with different socialstratification were related to power semantic. (2) Pronouns and nouns employed amongcharacters in the same social stratification were related to solidarity semantic. (3) Theaddresser’s attitude, either positive [+], or negative [-] in a communication situationresults in meaning shift in translation.

Keywords: terms of address, Balinese, power semantic, solidarity semantic

AbstrakMakalah ini membahas tipe-tipe makna dalam terjemahan Injil Lukas: Inggris-Bali. TeoriTu-Vous yang dipadukan dengan ‘attitude’ dalam teori Apraisal digunakan untukmengevaluasi pilihan kata dalam sistem sapaan yang dilakukan penerjemah. Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Penggunaan pronomina dan nomina pada pelibatyang berstratifikasi sosial yang berbeda mengandung Makna Kuasa. (2) Penggunaanpronomina dan nomina pada pelibat yang berstratifikasi sosial yang sama berbedamengandung Makna Solidaritas. (3) Sikap penyapa, baik yang bersifat positif [+], maupunnegatif [-] dalam suatu situasi komunikasi mengakibatkan pergeseran makna dalampenerjemahan.

Kata kunci: sistem sapaan, bahasa Bali, makna kuasa, makna solidaritas

INTRODUCTION

The non-honorific and honorific speech levels in Balinese have instigated the translationequivalents of English pronouns Balinese language to be more expressive, reflecting the normsand cultural values adhered to by its speakers. The non-honorific uses rough words and thehonorific uses middle, humble and refined words. The different social stratification of speaker-addressee affects the lexical choice done by a translator. It makes the intrasystem cohesionallows the equivalents of the personal pronouns I – you- he/she to vary linguistically, as far asattitude is concerned, with the following dimensions: (1) affect-appreciation: icang – cai/ia Non-honorific “Rough” and titiang – iratu/ipun-ida Honorific “Humble-Refined”; and (2) judgment:tiang – ragane / dane Honorific “Middle”. However, the intersystem cohesion allows the personalpronouns I – you – he/she, as far as the interpersonal relational communication situation isconcerned, to shift from pronouns to nouns or from the linguistic domain to the social domain.

Closely related to the function of translating, the Bible expects the reader to acquireinformative comprehension of its existence is insufficient, as Kraft (2000:271) points out:

It would be wrong to think … that the response of the receptors in the secondlanguage is merely in terms of comprehension of the information, forcommunication is not merely informative. It must be expressive and imperative if

Page 74: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

188

it is to serve the principle purposes of communication such as those found in theBible.In compliance with the ideology of evangelization in the Bible translation, the above

quotation suggests that the Bible translation does not only function to transfer message from thesource language (SL) massage to the target language (TL), but also to present the massage in such away that the readers would respond to the expressive forms similarly as the readers in the sourcelanguage would respond. It is then expected that the readers will implement the provided imperativeforms in real actions. Closely related to the function of the Bible translation, the question that arisesis what meaning is implemented in the translation terms of address in English Luke’s Bible whichwas translated into Balinese language? This paper aims to answer this question.

REVIEW OF RELATED LITERATUREThe previous studies on religion have mainly focused on the translation product. They have beendiscussed from genitive, objective and affective aspects in religious texts (Farghal and Al-Masri,2000). What has been interesting from the affective aspect is that the background of the beliefand religion adhered to by the readers positively correlate with their way or ideology of receivingand comprehending religious translation texts (Brata, 2010a). However, the function oftranslating has not been discussed yet. The function of translating the sensitive text is not merelyfor the accurateness of the linguistic forms, but the intelligibility and acceptability are critical.The ways the translator mediates the source language message into the intended reader can beseen from the semantic force of the words he/she uses. Whether or not his/her translation aim issuccessful depends on how he/she is capable to manipulate the vocabularies available in thetarget language.

Power and Solidarity SemanticThere are two matters to consider when translating English to Balinese pronoun which is due tothe lack of a one-to-one correspondence. First, prescriptively the translator has to choose thecorrect form of the target language. The choice of the lexical items depends upon who is talkingto whom. Second, descriptively there is extended usage of pronouns triggered by the speaker’sattitude. Disregard to power, it is common that speaker’s emotion or feeling arises in a certaincommunication situation often involve a significant shift from honorific forms (V) to non-honorific forms (T). Braun (1988:15) states that:

In the middles ages, European T/V usage was governed by a “power semantic”,as the authors now call it; superiors received V, inferiors received T so that non-reciprocity and asymmetry were common. …. The criterion now was whetherspeakers had something in common (T pronoun) or not (V pronoun). Later, theselection of T and V came to be determined by factors other than power. Thisre-evaluation of social feature is called “solidarity semantic”, it led toreciprocity of terms of address with mutual T in the case of intimacy and mutualV in the case of distance ….In communication situation, power semantic intended in terms of address refers to the

non-reciprocal linguistic variations chosen between the addresser and addressee resulting fromasymmetrical relation (Braun, 1998:13, 15-16). As a teacher who is teaching in the class room,Yusuf will address his students using the pronoun kamu (you) (using the form ‘T’) or their propernames Amir, Hasan and so forth. However, the students, Amir and Hasan, when conversing withtheir teacher, will address him using the role noun Bapak (using the form ‘V’) rather than thepronoun kamu or the proper name Yusuf. In addition, the students, Amir and Hasan, whenconversing, will address one another using their proper names. The progression of interactionbetween the addresser and addressee in their asymmetrical and non-reciprocal relation is stated by

Page 75: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

189

Braun (1988) to contain the power semantic. Furthermore, the reciprocal and symmetricalrelation between the addresser and the addressee is stated to contain solidarity semantic.

Terms of address forms are words and phrases used for addressing (Braun, 1988:5). Thewords or phrases chosen by the addresser (A1) to address the addressee (A2), or someone spokenabout (A3) in a verbal communication even reflects the norms and cultural values they adhere to.In regard to the Honorific and non-honorific Balinese forms of address, the profile of the pronounand noun of the target language and source language can be compared to and matched with oneanother in the flowing table:

Table1. Profile of the Pronoun and Noun of the Source Language and Target LanguageModified from Brata (2010a: 31, Brata 2010b: 144, Brata 2011a : 93, and Brata 2011b : 31)

SourceLanguage

(SL)

Target Languag e (TL)Pronoun Noun

NonHonorific

(NH)

Honorific (H) Non Honorific(NH)

Honorific(H)

Rough(Ro)

Middle(M)

Humble(H)

Refined(Re)

Rough (Ro) -

‘I’ icangkai

manira

tiang titiang ulungelah

AjiGuru

‘you’ caiiba

ragane,jerone

- Iratu - Gurucening

‘he/she’ Ia dane ipun Ida - -

As shown in Table 1, Balinese distinguishes different kinds of pronoun used in differentspeech levels, while English does not do so. This suggests that English and Balinese are twolinguistic and cultural systems which are totally different from each other. Therefore, whentranslating pronouns from a source language which does not have speech level distinction such asEnglish to a target language which has speech level distinction such as Bali, the translator shouldknow what sub dimension of linguistic variation forms are most suitable. In addition to the socialstratification, the attitude of the addresser to the addressee also determines in a communicationsituation what linguistic variations which are related to the forms of both NH and H should bechosen in the TL. This means that the translator is not only responsible for transferring linguisticmeaning from the SL to the TL, but is also responsible for transferring cultural meaning. Themeaning of a word can only be understood if it is expressed in the culture where it is used. Such acultural meaning can be expected to raise the reader’s response.

THEORETICAL FRAMEWORKIn the micro level, the theory of Tu – Vous can be developed with the theory of attitude, part ofthe Appraisal Theory in Systemic Functional Linguistics. Both T and V are linguistic forms(phonological, morphological, and syntactical). Brown and Gilman (1960) state that T-V, or V- Timply that there is a distance between the addresser and the addressee, and that T-T or V-V implythat there is no social distance between the addresser and the addressee.

It is common in Balinese culture that Balinese people use sor-singgih when communicatewith one another. When superior speaks to inferior the forms of T-V are identical with the formsof Non Honorific-Honorific in the TL. In the other hand, when inferior speaks to superior theforms V-T are identical with the forms of Honorific – Non Honorific. As far as the Balineseversion of the Bible is concerned, Brown and Gilman (1960:25) state that:

1. The power semantic refers to the nuance of meaning implied by the form of linguisticvariation chosen in the asymmetrical relation between the addresser and the addressee.Such an asymmetrical relation causes the non-reciprocal terms of address to vary: NonHonorific-Honorific, or Honorific-Non-Honorific in the TL.

Page 76: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

190

2. The solidarity semantic refers to the nuance of meaning implied by the form of linguisticvariation chosen in the symmetrical relation between the addresser and the addressee.Such a symmetrical relation causes the forms of linguistic variants reciprocal: NonHonorific-Non Honorific, or Honorific-Honorific in the TL.

Referring to power and solidarity semantic in terms of address, the two meanings mentionedabove can be explored from the dimensions and sub-dimensions of the addresser’s attitude.Attitude refers to the addresser’s feeling or emotion towards the addressee or someone spokenabout which is reflected from the forms of terms of address chosen (Braun, 1988:65,294). Martin(2000:160) classifies attitude into three dimensions. They are affect, appreciation, and judgment.As the main part of the Appraisal Theory, attitude is related to:

those utterances which can be interpreted as indicating that some person, thing,situation, action, event or state of affairs is to be viewed either positively ornegatively (White, 2001:1).

In compliance with the development of the Appraisal Theory, Hope and Read (2004) andHong (2007) classify the three parts mentioned above into several subsections both positively [+]and negatively [-], as can be seen from the following table:

Tablel 2. Attitude in Appraisal TheoryCombined from Hope and Jonathan Read (2004), Hong (2007) and Brata (2011b)

A T T I T U D EAffect In/security :

(emotion of eco-social well-being)[+] confidence,[+] trust[-] anxiety,[-] fear

Un/happiness :(affair of the heart)

[+] happiness,[+] love[-] sadness,[-] anger

Dis/satisfaction :(emotions associated with the pursuit of goals)

[+] curiosity,[-] respect[-] ennui,[-] displeasure

Appreciation Reaction Impact [+] exciting[-] tedious

Quality [+] good[-] nasty

Composition Balance [+] unified[-] discordant

Complexity [+] simple[-] simplistic

Valuation [+] profound[-] shallow

Judgment Social Esteem Normality: (how unusual someone is) [+] fortunate[-] hopeless

Capacity : (how capable they are) [+] powerful[-] week

Tenacity : (how resolute they are) [+] resolute[-] reckless

Social Sanction Veracity : (how truthful someone is) [+] truthful[-] dishonest

Propriety : (how ethical someone is) [+] ethical[-] immoral

Page 77: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

191

Affect, appreciation, and judgment are the three dimensions of attitude which are relatedto the addresser’s feeling for the addressee or someone spoken about. Furthermore, Martin (2000:324-325) affirms that every dimension has its own focus. Affect, that is, expressing a person’sfeelings, refers to the addresser’s personal emotion which is more subjective. Explicitly, Braun(1988:24) in “Forms of Address Characterizing the Speaker”, states that:

Whenever variation in address behavior is strong, the use of a certain form maygive more information about the person of the speaker than about the addresseeor the relationship between the two. Like a language variety as a whole, anaddress variety is part of the voluntary or involuntary self-presentation ofspeakers.From what was stated above it can be affirmed that the form of T-V or Non Honorific-

Honorific chosen by the addresser may mean that the addresser places himself superior than theaddressee.

“Appreciation…. which is the evaluation of phenomenon in a society”, refers to theappraisal expression provided by the addresser of what has been done by someone. It can be moreclearly observed from an inverted address term of noun as stated by Braun (1988:265):

Address inversion” refers to the use of nominal variant which, in its lexicalcontent, implies features suiting the person of the speaker rather than theaddressee. More often, this is found with kinship terms (e.g, a father addressing achild as ba:ba ‘father’ in Arabic), but the same principle is occasionally appliedto forms denoting status or role, e.g., a teacher addressing a pupil u maistru‘teacher’ in Italian dialect. In address inversion, speakers employ forms whichare, or could be, directed to themselves. Even fictive use of address inversion ispossible.

Similar to Arabic, it is considered unusual for Balinese to address someone who is deeplyhonored by using pronoun terms of address you. The second person role teacher or a termindicating kinship brother or sister will be used as an exchange.

Judgment: “expressing moral judgment of people’s behavior” is objective in nature as it isconnected with how someone’s behavior closely related to the socio-culture of the environmentwhere he/she lives is evaluated.

As far as the non-reciprocal asymmetrical relation is concerned, it may be concluded thatthe power semantic of Non Honorific-Honorific is identical with the affect in the progression oftop down vertical interaction. Power semantic of Honorific-Non Honorific is identical with theappreciation dimension of attitude in the progression of down up vertical interaction. Then thesolidarity semantic of Non Honorific-Non Honorific or Honorific-Honorific is identical with thejudgment.

The way in translating Bible has developed from era to era to meet what is needed byChristians. They are from different parts of the world with their different cultures and language.The focus of the Bible translation is not only on literal equivalence for the sake of its accuracy.However, it is more on the response provided by the reader through dynamic/functionalequivalence. Its functional equivalence and reader oriented (Brata, 2011:33) can be seen in theflowing figure:

Figure1. Process of the Dynamic / Functional EquivalenceS M1

R

R1

M2 R2

R

S

S

Page 78: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

192

In the macro level, the dynamic equivalence gives more emphasis on how the tworeceptors (R1 and R2) give the same response to the translation effect as R1 gives response tomessage (M1). It is also expected that R2 gives similar response to M2 (compare the two arrowsgoing in the direction of R1 R2). What is given priority in the dynamic equivalence is that theresponse given by the SL reader is similar to that given by the TL reader. It means that what wasstated in a text must be translated into what is meant in the context. As ‘Word of God’, it lies inthe impact of the concepts embodied in the linguistic forms on the reader response (Craft,2000:272, Brata, 2011a:94, and Brata, 2011b:34).

In general we can say that the theory of dynamic equivalence is based on the emphasizingon meaning rather than form. Adapting the source language message by changing the targetlanguage form means that the translation is hoped to have the same response as evoked by theoriginal reader. Larson (1998: 6) stated that the best translation is the best which:

1. uses the normal language forms of the receptor language,2. communicates, as much as possible, to the receptor language speakers the same meaning

that was understood by the speaker of the source language, and3. maintains the dynamics of the original source language text.

Since translation is possible due to the each language in a culture has its own local genius, itmeans that any unknown lexical concept in a source language can be expressed in another.Further, Craft (2000:274) presented the dynamic equivalence translating process that has gonebeyond the formal correspondence.

Figure 2: The Dynamic Equivalence of translating illustrated by Kraft (2000:275)

Original Cultural Matrix

Source Message Receiver

Linguistic forms RM

(6) Rewriting the material in theappropriate style (forms) of thereceptor language to produce adynamically equivalent effect of thehearers.

(5) Re-encoding the material in thereceptor language in such a way as tomake implicit the information that thislanguage requires (allows) to beimplicit

(4) Translating this explicit paraphraseliterally into the receptor language

(1) Linguistic and cultural analysisof the original total situation(including the personal factors)

(3) Paraphrase the material in such away as to make explicit allimplicit information

(2) Decoding of the essentialelements of the message (notsimply of the individual words)

CulturalMatrix

Page 79: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

193

EXPLORING POWER AND SOLIDARITY SEMANTIC OF CULTURAL TERMS OFADDRESS IN THE BIBLE

It is not easy to obtain the response provided by the SL reader resembles that given by the TLreader as there is no absolute correspondence between two linguistic and cultural systems whichare completely different. This is supported by what is stated by Kraft (2000:271) as follows:

…. in terms of degree to which the receptors of the message in the receptorlanguage respond to it substantially the same manner as the receptors in the sourcelanguage [responded to the original]. This response can never be identical, for thecultural and historical settings are too different, but there should be a high degreeof equivalence of response, or the translation will have failed to accomplish itspurpose.Based on the degree of the closest similarity in the response given, empirically, the Bible

has been translated into 822 languages out of 3000 local languages Nida and Taber (1969)including Balinese language (1975, 1990). As the experts of the Bible translation, Nida and Taber(1969:24) highlight that:

That is to say, a translation of the BIBLE must not only provide information whichpeople can understand but must present the message in such a way that people canfeel its relevance (the expressive element in communication) and then respond to itin action (the imperative function).To unfold the expressive elements in a SL and the nuance of its imperative meaning,

Sembiring (2005) states that any correct translation must always be preceded by a correctexegesis. In a communication situation, such an exegesis can be achieved by asking who thespeaker is; to whom he/she speaks; what is intended by what is stated? (p. 758).The process ofexegesis can be used to investigate the addresser’s attitude in accomplishing the interpersonalrelation implemented in the form of the linguistic variation selected. The power and solidaritysemantic are implied in the various linguistic forms.

POWER SEMANTICS

Unlike propositional meaning, Baker (1992:13) states thatExpressive meaning cannot be judged as true or false. This is because expressivemeaning relates to the speaker’s feeling or attitude rather than to what words andutterances refer to.The expressive meaning of the sor-singgih the Balinese language contains has caused the

SL pronouns to vary and have more explicit equivalents in the TL. The forms of variation ofterms of address represent the addresser’s attitude in the progression of both vertical andhorizontal interaction. In the progression of vertical interaction, there is a non-reciprocalasymmetrical interpersonal relation which contains power semantic. The power semantic in theform of Non Honorific-Honorific is identical with the affect in the progression of up downvertical interaction. The power semantic in the form of Honorific-Non Honorific is identical withthe appreciation in the progression of down up interaction.

AffectThe vertical down interaction can be identified when the addresser uses the form Non =Honorificto the addressee as in (01):

Page 80: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

194

(01) Before he left, he called his ten servantsand gave them each a gold coin and toldthem, 'See what you can earn with thiswhile I am gone.' (Luk. 19:13)

(01) Satondene ida mamargi, ida ngandikainparekan idane adasa, suang-suangkapaica pipis mas pada maketeng,kadulurin pangandika kene: 'Anggonjapipise ene madagang, sanun icange dipaluasan.' (Luk. 19:13)

Field ofDiscourse

Participants of Discourse Means of Discourse Terms of addressvariation

The noblemancalling his tenservants

A1: a nobleman(title)A2: a servant (socialstatus)

AffectA1

A2

Statement,Non-Honorific

SL: ITL: icang(e)

The parable of the golden money in (01) tells us about a man of a high rank who was going into afar country to be appointed a king. Before leaving he gave his servants some amount of money.Being generous [affect: insecurity, - anxiety], he told them, as in Luk. 19: 13: ‘See what you canearn with this while I am gone’ (Brata, 2011b: 35).SL: … while I am goneTL: …, sanun icang(e) (NH) Ro di paluasan

…, while I am awayThe singular pronoun I related to the superior talked to inferior is translated into icang using theNon Honorific.

AppreciationThe vertical up interaction can be identified when the addresser uses the form Honorific to theaddressee as in (02) below:

(02) Now, his countrymen hated him, and sothey sent messengers after him to say,‘We don’t want this man to be our king.(Luk. 19:14)

(02) Nanging rakyat idane tusing demen tekenida, kanti ngutus utusan buar ngetutpamargin idane, lakar nguningayang:‘Titiang sareng sami nenten pacingsairing, yening anake punika jaga madegratu, dados rajan titiange.’ (Luk. 19:14)

Field ofDiscourse Discourse Participants Means of

DiscourseTerms of address

variationThe noblemanwent to a newcountry

A1: The servants(social status)A2: Thenobleman (title)

AppreciationA2

A1

Statement,Honorific,Monologue

SL: weTL: titiang sareng

sami

When the nobleman arrived in a new country, some citizens sent a delegation after him[appreciation: impact, - tedious] and said, as in (02):SL: We … to be our kingTL: Titiang (H: Hu) (sareng sami) ... jaga madeg ratu

We all together … will become a kingThe plural pronoun we related to the inferior talked to the superior is translated into titiang usingthe Honorific: Humble.

Page 81: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

195

Affect – AppreciationThe affect-appreciation means that the addresser uses the form Non Honorific as stated in Luke(19:19), and the form of Honorific as stated in Luke (19:20), which can be exemplified inexample (03) below:

(03)To this one he said, ‘You will be incharge of five cities.’ (Luke.19:19). Anotherservant came and said, ‘Sir, here is yourgold coin; I kept it hidden in a handkerchief.(Luk. 19:20).

(03) Ida anake ngadika teken ia kene: ‘Icangmaang cai ngamong kota lelima’. Iparekan anelenan takut nangkil tur matur; ‘Inggih ratu,puniki jinah druene aturang titiang ring iratu;jinah druene. Sampun kaput titian antuksaputangan tur sepal titian. (Luk. 19:20)

Field ofDiscourse Discourse Participants Means of Discourse Terms of address

variationThe secondservantreceiving thegolden moneyfrom his master

A1: a noble man(title)A2: a servant(social status)

AffectA1

A2

Statement,Non Honorific,Dialogue,Turn taking

SL: YouTL : A1 cai

A2 iratu

The parable golden money mentioned above was told by Jesus to his pupils about thethree servants receiving the golden money from their master. In example (03), the second servantwas that who was loyal to his master. Being loyal, the noble man (affect: happiness, + love)happily gave reward to his servant, as stated in Lukas (19:19):SL: You will be in charge of five cities.TL: Icang (NH) R maang cai (NH) R ngamong kota lelima

I will give you the authority to manage five cities.The pronouns I-you are translated into icang-cai using the Non-honorific form as the

nobleman who came from the superior, due to his title, talked to his servant coming from theinferior due to his social status. Then, as stated in Luke (20: 20), the third servant came. Hebelieved that his master was honest. He wished to show his loyalty to his master [appreciation,reaction, impact, + exciting) and then said:SL: I kept it hidden in a handkerchief.TL: jinah druene aturang titiang (H) ring iratu (R)

Here is the money sir, I am returning it to you again.

Field ofDiscourse

Discourse Participants Means ofDiscourse

Terms of addressvariation

The thirdservantreceiving thegolden moneyfrom his master

A1: a servant(social status)A2:anobleman(title)

AppreciationA2

A1

Statement:Non-honorific,Dialogue:turn taking

SL: I – youTL: A1 titiang

A2 iratu

It is common that Balinese people use the form of Humble-Refined or the form of respectif a servant talks to a nobleman. This cannot be separated from the culture (ideology) adhered tothat “memarek” (serving a nobleman) is an obligation which has been inherited from generationto generation.

From the three examples above, the explicitness of such expressive meaning can becohesively observed from the linguistic variations chosen in the TL. As far as the textual meaningof linguistic domain is concerned, the linguistic variation of pronoun is made metaphorical tohighlight the nuance of power semantic, as can be seen from example (04), and (05) below.

Page 82: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

196

(04) “I am Gabriel, “the angel answered. “Istand in the presence of God, who sentme to speak to you and tell you thisgood new.(Luk. 1:19)

(04) Sang Malaekat raris masaur: “Maniraene Sang Gabriel. Manira ene parekanIda Sang Hyang Widi Wasa. Ida anengutus manira buat nekedang ortakaliangane ene teken kita (Luk.1:19)

Field ofDiscourse

Discourse Participants:Social Stratification/Attitude

Means of Discourse Terms of addressvariation

The birth ofJohn, theBaptist, wasnotified

A1: the Angel,as the God’sdelegate (title)A2: Zakaria, theSelected Man(social status)

AffectA1

A2

Statement,Particular terms ofaddress,Monologue

SL: I – youTL: manira, kita

Sterility is a reproach for a Jewish woman as Elizabeth, Zakaria’s wife. Although Zakariawas a priest, it was extremely difficult for him to believe in the birth of Jesus, the Baptist for tworeasons. The first reason was that they were too old and the second reason was that their prayershad not been replied yet. Suddenly, an angel told Zakaria (affect, security, + confidence):SL : I am GabrielTL : Manira (metaphor) ene Sang Gabriel

I am GabrielWhat was emphasized was His role rather than His name, Gabriel. His role as the God’s

delegate was given more emphasis as can be seen from the following sentence:SL: I stand in the presence of God, who sent meTL: Manira (metaphor) ene parekan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Ida ane ngutus manira

I am (the king) this is the God’s servant He sent meWhat was stated by Gabriel meant that, through His role, He wished to assure Zakaria

that “the good news” he brought from God contained imperative meaning with dimensions[affect, security, + confidence] as instructed by God. I was translated into a particular terms ofaddress manira, similar to the terms of address used to address God or King in old literary works(Kersten, 1984:403). The power semantic as a consequence of the domination of a world’s king[affect, security, - confidence] was not highlighted. What was emphasized was the Power of God.(05) “Jerusalem, Jerusalem! You kill the

prophets, you stone the messengersGod has sent you! How many times Iwanted to put my arms round all yourpeople, just as a hen gathers her chicksunder her wings, but you would not letme! (Luk. 13:34).

(05) Ih Kota Yerusalem. Iba nyedayangparanabine muah nimpungin aji batuutusan Ida Sang Hyang Widi Wasa anengrauhin iba. Ping kuda-kuda Kaimakeneh munduhang tur ngelut rakyatibane, buka panginane munduhangpitiknyane di batan kampidne, nangingtambakin iba. (Luk.13:34)

Field ofDiscourse

Discourse Participants:Social Stratification/Attitude Means of Discourse Terms of address

variationJesus’ Love forJerusalem

A1: Jesus ((title)A2: People ofJerusalem(social status)

AffectA1

A2

Statement:Particular terms ofaddress,Monologue

SL: I – youTL: kai - iba

Page 83: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

197

To address a city of Jerusalem seems confusing. The metonymy means People ofJerusalem. The story begins with Jesus’ warning towards the people of Jerusalem. Jerusalem waswell known as a killer of prophets. Jesus classifies himself as one of the prophets. What wasstated by Jesus below leads into a statement of love and concern for the people of Jerusalem.However, being unhappy with the situation, He shouted to them [affect, unhappiness, + love] asin (05):SL: … I wanted to put my arms round all your peopleTL: … Kai (NH, Ro) makeneh munduhang tur ngelut rakyat iba(ne) (NH Ro)Similar to manira – kita, or kai – iba are dyad archaic rough word implying power.

In examples (01), (02), (03), (04), and (05) intra system shifts can be observed to takeplace. “ … intra system shift involves the shift which occurs within a system” (Molina & Albir,2002:441). In this case, the intra system refers to the cohesive shift of grammatical category ofthe SL pronoun system which contains propositional meaning. In other word, the SL pronounsystem shifts to the TL one which contains sor-singgih. The shift taking place in the linguisticdomain causes the meaning of TL to be more expressive.

In addition to the intra system shift taking place among pronouns, the translator’s exegesis isalso implemented coherently in TL social domain. It can be seen from the following examples.Examples (06), (07) showing distance, and (08), (09), (10) showing closed relationship betweenparticipants.

(06) A voice said from the cloud, “This is myson, whom I have chosen-listen to him!”(Luk. 9:35)

(06) Tumuli wenten sabda saking genahmegane punika, sapuniki: “Ene subaPutran Ulun ane selik Ulun. Idepangjapangandikan Idane.” (Luk. 9:35)

Field ofDiscourse

Discourse Participants:Social

Stratification/Attitude

Means ofDiscourse

Terms of addressvariation

Jesus is talkingabout Hismisery

A1:Voicefrom thecloud, God(title)A2:A crowdof people(social status)

AffectA1

A2

Statement:Particular terms ofaddress,Monologue

SL : myTL : Ulun

According to the Jewish, the cloud appearing from the sky as in example (06) indicates the God’sexistence. A voice from a cloud might mean God saying:SL: This my son, …..TL: Ene suba Putran Ulun ( the Ruler) NH

This is My SonProgression of top down vertical interaction between God and His mankind from pronoun

to noun Ulun contains imperative meaning [affect, confidence, - anxiety] and is immediatelyfollowed by imperative verbs chosen-listen. The grammatical shift from the personal pronoun myto the noun Ulun due to His title in the form of Non-honorific gives more emphasis on theaddresser’s meaning of power semantic.

Page 84: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

198

(07) Herod said. ” I had John’s head cut off;but who is this man I hear these thingsabout?” And he kept trying to see Jesus.(Luk. 9:9)

(07) Ida Sang Prabu Herodes ngandikasapuniki: “Dane Yohanes suba punggalgelahe. Dadinne nyenke sasajaaneAnake ene, ene dingeh gelahenglaksanayang sakancan paundukaneento?” Ida sang prabu ngusahayang pisanmangda nyidayang kapanggih ring IdaHyang Yesus. (Luk. 9:9)

Field ofDiscourse

Discourse Participants:Social Stratification/Attitude Means of Discourse Terms of address

variationHerod’sconfusion

A1: Herod, aking (title)A2:A crowd ofpeople (socialstatus)

AffectA1

A2

Statement:Particular terms ofaddress,Monologue

SL : ITL : gelah

The story tells us about Herod, the local king, who heard about what Jesus were doing. He wasvery confused because he had killed John the Baptist that he thought was Him. To convince hispeople he said ‘I had John’s head cut off’, [affect: emotion of eco-social well being, - fear].However, it does not mean that Herod did the killing personally. He had someone to do it.SL: I had John’s head cut offTL: Dane Yohanes suba punggal gelah(e) (NH Ro metaphor)

John had been killed by the kingSimilar to ulun the ruler, the archaic word of the role gelah the king was used to focus on power.

In addition to title, the shift from pronoun to role noun, as exemplified by the followingexample (08) is also identified.(08) “Why do you call me, ‘Lord, Lord,’ and

don’t do what I tell you? (Luk, 6: 46).Everyone who comes to me and listens tomy words and obeys them – I will showyou what he is like. (Luk. 6:47)

(08) “Ngudiang cening nyambat-nyambatGuru: ‘Ratu Panembahan, RatuPanembahan,’ nanging tusing pesannglakonin pitutur Gurune? Sakancananake ane teka sid Gurune muahmadingelang pitutur Gurune lautlakonina, jani Guru ngorahin cening,anake ento satmaka buka kene.(Luk. 6:47)

Field ofDiscourse

Discourse Participants:Social Stratification/Attitude Means of Discourse Terms of address

variationObeying Jesus’commands

A1: Jesus(title)A2: A crowdof people(social status)

AffectA1

A2

Statement:Kinship termsMonologue

SL : ITL: GuruSL: youTL: cening

Actually, the rhetorical statement in example (08) is merely a warning provided by Jesusto those who did not do what He taught [affect, dissatisfaction, + curiosity]. The warning‘obedience leads to success, disobedience ends in failure’ provided by Jesus to those who doubtedHis role was stated [confidence] as follows:

Page 85: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

199

SL: I will show you…TL: Guru (Guru) ngorahin cening (anak) ….

The teacher tells meIn the SL pronoun system, there was no meaning component which distinguished

symmetrical form from asymmetrical form. What was expected from the shift in grammaticalcategory from the pronoun I to the superior role noun (Guru) made by the translator was that theresponse given by the reader was the same as that given by the native reader.

Apart from the shift from the pronoun to the role noun, a shift to the noun of kinshipsystem is also identified as illustrated by example (09) below:

(09) …. And the Holy Spirit came down uponhim in bodily form like a dove. And avoice came from heaven. “You are myown dear Son. I am pleased with you.”(Luk. 3:22)

(09) …..tur Roh Ida Sang Hyang Widi Wasatumurun marupa pangiber paksi daraneneduninn Ida. Samaliha wenten sabdasaking suarga sapuniki: “Cening mulaputran Aji ane saying. Tuah Cening aneledangin Aji.”(Luk. 3:22)

SL: You are my own dear son.TL: Cening (kinship term) mula Putran Aji ane sayang

You are my son whom I love so muchAs illustrated in example (09), the concept of pronoun meaning which is unknown in the

source language was translated into the concept of fictive kinship noun (non-blood relation)known in TL. Braun (1988:9) states: ‘When a kinship term is used for addressing someone who isnot related to the speaker in one way or other, this is called a fictive use of KT (kinship term)’.What was intended by the shift from the second pronoun you to the noun of fictive kinship(cening) was to give emphasis on the addresser’s power semantic.

What is interesting in the attitude with affect-appreciation in the Luke’s Bible is the useof inversion terms of address in reciprocal asymmetrical relation, as illustrated by example (10):(10) … neither do I consider myself worthy to

come to you in person. Just give theorder, and my servant will get well(Luk. 7:7).Jesus was surprised when he heardthis; he turned round and said to thecrowd following him, “I have neverfound such faith as this, I tell you, noteven in Israel!” (Luk. 7:9)

(10) ….. kadi asapunika taler tiang newek tanpisan pantes nangkil ring ajeng Guru.Sakewanten wenten wecanan Guruakecap, sinah parekan titiange seger.(Luk. 7:7)Riwau Ida Hyang Yesus miringaturnyane punika, Ida kalintang angob.Ida raris maksian ring anake sane ngiringIda, sarwi ngandika sapuniki: “SasajaaneGuru ngorahang teken ragane, tusingtaen Guru mangguh kapracayan aneamone gedene, yadiastun di pantarananak Israele.” (Luk. 7:9)

Field ofDiscourse Discourse Participants Means of

DiscourseTerms of address

variationA Roman’sofficer statedhis faith to Jesus

A1: A Romanofficer (socialstatus)A2: Jesus(title)

AppreciationA2

A1

Statement:Kinship terms,turn taking

SL: youTL: Guru

Page 86: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

200

Braun (1988:12) states that:Address inversion is a special pattern of nominal address … Address inversion isthe use of a term, mostly a Kinship Term, which does not (as would be usual)express the addressee’s, but the speaker’s role in the dyad, e.g. a mother addressinga child as mama. This phenomenon may occur with fictive kinship.The address inversion can be identified in Luke 7:7 and in Luke 7:9. In Luke 7:7, a

Roman officer felt that it was improper for him to see Jesus. He felt that there was power over hispower [appreciation, reaction, quality]. The officer thought that it was too noble for Jesus to cometo his house [+ respect]. When Jesus came to see him, respect for Jesus was expressed as follows:SL: … to come to you in personTL: …nangkil ring ajeng Guru

…come before TeacherThere is shift of grammatical category from the pronoun you to the title noun Guru used

in the interpersonal relation of an inferior Roman officer to address superior Jesus. It was made tohighlight the meaning of respect expressed to Jesus due to His power (healing power).

Then, as far as the same periscope is concerned, Jesus felt surprised at as well as satisfiedwith the great faith expressed through what was said by a Jewish officer who usually refused Hispower. Furthermore, He had never seen such a great faith expressed by Jewish people. Hissatisfaction was expressed to the crowd surrounding Him [affect, satisfaction, +love], asexemplified by Luke 7:9 as follows:SL: … I tell youTL: …Guru (role) ngorahang teken ragane, …

Teacher has told you

Field ofDiscourse

Discourse Participants:Social Stratification/Attitude

Means of Discourse Terms of addressvariation

Jesus Healed aRoman officerservant

A1: Jesus(title)A2: ARoman’sofficer (socialstatus)

AffectA1

A2

Statement:Kinship termsTurn-taking

SL: ITL: Guru

The top down vertical interaction took place between Jesus and His followers. It containsthe power semantic [affect, happiness, +love] as Jesus was happy that the great faith expressed byan inferior Jewish officer was great. The shift of grammatical category taking place in theequivalent of the pronoun I to the noun Guru gives emphasis on the power semantic in therelational relation between the teacher and his followers. What is interesting is that theasymmetrical interpersonal relation between the addresser and addressee I-you uses the rolereciprocal dyad Guru. Similarly, the shift from the first pronoun to the role noun also takes placein SL, as exemplified by the shift from I tell you to The President of USA tell you, or in Balineseteacher tell you.

The inter system shift from SL to TL can be identified in examples (06), (07), (08), (09)and (10). Such an inter system shift is classified as coherence shift resulting from the differencefocus of point of view (change in cognitive point of view) between the SL culture and TL culture.The SL pronoun system containing propositional meaning shifts to the TL noun systemcontaining the power semantic, as in terms of address of title, role, fictive kinship, and respect.Both cohesive and coherence shifts made by the translator were intended to evoke the reader’stranslation effect.

Page 87: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

201

SOLIDARITY SEMANTICIn horizontal interaction progression, there is what is referred to as reciprocal symmetricalinterpersonal relation containing the solidarity semantic. The solidarity semantic in the form ofHonorific-Honorific, or Non Honorific-Non Honorific is identical with judgment.

JudgmentWhat is meant by judgment is that both the addresser and the addressee employ either thereciprocal form Honorific-Honorific or Non Honorific-Non Honorific. In formal communicationsituation at the court, reciprocal symmetrical relation was identified. The dialogue was initiatedby rhetorical questions addressed by a judge, Pilate.

(11) Pilate asked him, “Are you the king ofthe Jews?” “You say it, answeredJesus.(Luk. 23:3)

(11) Gubernur Pilatus mataken ring Ida:“Apake saja jerone ene Ratun wongYahudine?” Pasaur Ida Hyang Yesus:“Ragane sane ngandikayang kadiasapunika.” (Luk. 23:3)

Field of Discourse Participants of Discourse:Social Stratification/Attitude

Meansof Discourse

Terms of addressvariation

Birth of John, theBaptist, was notified;Pilate was in doubtabout who actuallyJesus was

A1: Pilate(position)A2: Jesus(title)

Judgment

A1 A2

Question,Form ofRespect,Dialogue

SL: youTL: jerone

The birth of John, theBaptist, was notifiedPilate was in doubtwho actually Jesus was

A1: Jesus(title)A2: Pilate(position)

Judgment

A1 A2

Statement,Honorific,Dialogue:(conversation)

SL: youTL: ragane

In example (11) the position of Jesus as the accused suspected to break three things: (a)teaching things misleading the Jewish nation, (b) paying tax to the King, (c) stating that hehimself, Christ, was a king. The rhetorical question addressed by Pilate, a Governor who alsoacted as Chief of the Religious Court, [judgment, normality (how unusual someone one is) -hopeless] to Jesus was as follows:SL: Are you the king of the Jews?”TL: Apake saja jerone H ene Ratun wong Ya hudine?

Are you the real King of Jewish?Jesus answered:SL: You say itTL: Ragane H sane ngandikayang kadi asapunika

Do you say itIn the turn-taking dialogue above the equivalent of you is in the form of Honorific: jerone

and ragane, both of which are the forms of Honorific reciprocal: Middle Refined. The differenceis that jerone is used to address a foreigner or someone who is unknown (Kersten, 1984:312). Itwas the first time for Pilate to meet Jesus at the session conducted at court. Jesus, on the otherhand, used ragane to address Pilate, for two reasons. The first reason was that the atmosphere atcourt was formal. The second reason was that you may be made identical with ‘It is you yourselfsay it’ (Sembiring, 2005:701). The form of variation of address term of ragane ‘engkau’ or‘anda’ chosen to address the Chief of Supreme Court was intended to place Him-self to be equalwith (symmetrical) or at least not under the Pilate’s position [judgement, +powerful]. It is incompliance with what was accepted in the Christian theological ideology.

Page 88: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

202

In addition to the form Honorific-Honorific, the form Non Honorific-Non Honorific wasalso identified in the non formal communication between the two criminals crucified at the sametime as Jesus, as illustrated in example (12):

(12) The other one, however, rebuked him,saying. “Don’t you fear God? Youreceived the same sentence he did (Luk.23:40)Ours, however, is only right because weare getting what we deserve for what wedid; but he has done no wrong. (Luk.23:41)

(12) Nanging anake corah sane lianan rarisnglemekin timpalipune punika sapuniki:“Tusingke cai takut teken Ida SandHyang Widi wasa? Iraga jani patuhpaturu ngemasin ukuman. (Luk. 23:40)Iraga tenenan sube pantes ngemasinukuman, sawireh iraga nampikarmapalan iragane. Nanging Anake enetusing ngelah pelih. (Luk. 23:41)

Field ofDiscourse

Discourse Participants:Social Stratification/Attitude

Means ofDiscourse

Terms of addressvariations

Pilate sentencedJesus to death

A1: the criminalon the left(social status)

A2: the criminalon the right(social status)

Judgment

A1 A2

Rhetoricalquestion,Non Honorific,Dialogue

SL: youTL: cai

PilateSentenced Jesusto death

A1: the criminalon the right

A2: the criminalon the left

Judgment

A1 A2

Statement,Form ofNon-honorific,Dialogue

SL : youTL : cai

Example (12) illustrates the event when Pilate decided to sentence Jesus, the crucified, todeath. There were also two other criminals, one on his right and the other on his left. They werecrucified as they were suspected of rebelling against the Roman government. The criminal on theright warned the one on the left for using insulting language as expressed in the followingrhetorical question:SL: Don’t you fear God?TL: Tusing cai NH takut teken Ida Sang Hyang Widi Wasa?

Don’t you fear God?Hearing that, the criminal on the left said:SL: …. because we are getting what we deserve for what we did;TL: …. sawireh iraga NH nampi karmapalan iragane

It is time for us to accept what we have done.As far as the turn-taking of the two officials mentioned above is concerned, you is

translated into cai and iraga, both of which are Non-honorific forms. The difference is that theformer is the pronoun form of the second person singular and the later is the pronoun form of thesecond person plural. Iraga (we) is classified as the form of Non-honorific, as it cannot be used toaddress someone who is honorable (Kersten, 1984:481).

Shift of Meaning Triggered by the Addresser’s AttitudeWhat is meant by the shift of meaning triggered by the addresser’s attitude is the change ingrammatical category made by the translator when rendering linguistic meaning to socialmeaning coherently (Brata, 2011b:40-41). It depends on situational context. Such a shift wasidentified from the addresser’s attitude of appreciation to affect, from affect to appreciation, andfrom appreciation to judgment.

Page 89: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

203

Shift from Appreciation to AffectPrescriptively, someone coming from the inferior class should have used the form of Honorific toaddress someone coming from the superior class. However, it is not done as illustrated by thefollowing example (13).

(13) The people stood there watching while theJewish leaders made fun of him: “Hesaved others; let him save himself if he isthe Messiah whom God has chosen!”(Luk. 23:35)

13) Anake akeh pada majujuk tur mabalih,sadaweg para pemimpin Yahudine padaminjulin Ida, sapuniki pangucapnyane:“Anak lenan suba pada tulungina. Yensaja ia Sang Prabu Ane Kajanjian baanIda Sang Widhi Wasa, ane jani apangatulungina ibanne!” (Luk 23:35)

Field ofDiscourse

Participants of Discourse:Social Stratification/Attitude

Means ofDiscourse

Terms of addressvariations

The event whenJesus wascrucified

A1: the Jewish(inferior)

A2: Crowd ofpeople(inferior)

AffectA1

: A3

A2

Statement,LH,monologue

SL: heTL: ia

Luke (23:35) told that Jesus was on the cross. The focus in such a situational context isthe terms of address used to address Jesus by the Jewish people intended for the crowd. As theJewish people did not believe in who actually Jesus was [-anxiety], the insulting language orsatires which should have been used to address Jesus were used to address the crowd as illustratedin the following example:

SL: if he is the Messiah …TL: Yen saja ia (NH) Sang Prabu …

If he were actually a King …

The insulting language used by the Jewish people to address Jesus who was being crucified[affect], due to their disbelief [insecurity], resulted in their anxiety [-anxiety]. Descriptively, theaddresser’s attitude with negative sub dimension [-] was implemented in the translation of he intothe form Non-honorific ia.

Affect to AppreciationUnlike example (13), the negative addresser’s attitude [-] shifts to attitude with positive [+] in thesituational context, as illustrated in example (14).

(14) And he said to Jesus, “Remember me,Jesus, when you come as King!”(Luk. 23:42)

(14) Raris ipun matur ring Ida Hyang Yesus:“Inggih Ratu Hyang Yesus, elingangjatitiang yening iratu sampun madeg Ratu.(Luk. 23:42)

Field of Discourse Participants of Discourse:Social Stratification/Attitude

Means ofDiscourse

Terms of addressvariation

Change in attitudeof an officialtowards Jesus

A1: the criminalon the right(inferior)

A2: The CrucifiedJesus(superior)

AppreciationA1

A2

Statement,Honorific,Monologue

SL: me – youTL: titiang - iratu

Page 90: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Frans I Made Brata

204

Cleopas, one of Jesus’ followers, did not recognize that Jesus had involved himself intheir conversation. Jesus asked what they were conversing on the way home to Emaus. Beinghopeless [social esteem, normality, - hopeless], Cleopas was in doubt about the resurrection ofJesus. He was deemed ‘foreigner’ [judgment] as stated in Luke 24:18.

SL: Are you the only man …?TL: Punapi wantah Jerone (H Middle) kawentenke …,?

Is it true that you are the only foreigner …….?

The terms of address jerone is used to address someone who is unknown (Kersten, 1984:312), Prescriptively, Cleopas should have addressed Jesus using the form Honorific: Refinediratu. The addresser’s attitude with negative sub dimension [- hopeless] caused you to betranslated into jerone, as Jesus was someone who was unknown. The shift of the addresser’sattitude with positive sub dimension to attitude with negative sub dimension and vice versa,which was identified in examples (13), and (14) triggered by the addresser’s attitude.

CONCLUSIONTransferring the message of the source language into a target language of the cultural terms ofaddress in the Bible is not merely a matter of linguistic transfer, but of cultural transfer. Thetranslator implemented the target language distinctive forms for representing certain emotivemeaning.

Asymmetrical relation and non-reciprocal dyad in turn-taking between superior andinferior was meant not only to emphasize self representation of the speaker’s role, but alsoconveying the meaning of power. Besides a rhetorical question, shifts in grammatical categoryfrom pronoun to noun / metaphor were often used with the meaning of imperative rather thaninformative. Meanwhile, in a dialogue reciprocal use of terms of address variants signaledmeaning of solidarity, either mutual distance (by using variants in pronominal forms), or intimacy(by using variants in nominal forms). In addition, speaker’s attitude in a certain communicationsituation had neglected the addressee’s social status that resulted in shifts into degrees of distanceor intimacy.

Transferring cultural concept through selection of vocabularies in translation has madethe translation not only accurate, and intelligible, but also acceptable in accordance with thelinguistics norms and cultural value of the target language. In addition, not less important is that itwas meant to have an impact to the intended reader.

NOTE* I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft and

valuable suggestions for the improvement of this paper. Any shortcomings remaining, however, are myown responsibility.

REFERENCESBaker, Mona 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication.

Brata, Frans I Made. 2010a. “Terjemahan Sistem Sapaan Budaya Religi dalam Injil Lukas”.Unpublished disertation. Denpasar: Universitas Udayana.

Brata, Frans I Made. 2010b. “Textual and Contextual Meanings in Translation.” Linguistika17.33, 143-149.

Brata, Frans I Made. 2011a. “Eksplisitasi Makna Pronomina Persona dalam Penerjemahan TeksBudaya Religi.” Pustaka XI.1, 92-104.

Page 91: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

205

Brata, Frans I Made. 2011b. “Attitude, Word Choice, and Their Representations in English-Balinese Translation.” In: UNISSULA Journal, 29-42.

Braun, Friederike. 1988. Terms of Address Problems of Patterns and Usage in VariousLanguages and Cultures. New York: Mouton. http://books.google.co.id

Brown, Roger W. and Albert Gilman. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam J.A.Fishman (penyunting). Readings in Sociology of Language. Paris: Mouton.

Farghal, Mohammed and Al-Masri, Mohammed. 2000. “Reader Responses in QuranicTranslation” Perspectives: studies in Translatology, Vol. 8. No. 1, 27-39.

Hong, Qian. 2007. “Investigating Unfaithful Translations via the Appraisal Theory – A CaseStudy of the Translations of Public Notices.” Online Address: www.wartahpi.org/conference-program.pdf. Retrieved on June 05, 2009.

Hope, David and Jonathan Read. 2004. “Appraisal Theory: (brief) overview of SystemicFunctional Linguistic.” http://www.cogs.susx.ac.uk

Kersten, Johannes P.1984. Bahasa Bali. Kamus Bahasa Lumrah. Ende – Flores: Nusa Indah.

Kraft, Charles. H. 2000. Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical Theologizing inCross-Cultural Communication. New York: Orbis Book.

Larson, Mildred. L. 1998. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-LanguageEquivalence. Lanham. New York. Oxford: University Press of America, Inc.

Martin, J.R. 2000. Beyond Exchange: Appraisal Systems in English: Evaluation in Text. Oxford:University Press.

Molina, Lucia & Albir, A.Hurtado. 2002. “Translation Technique Revisited: A Dynamic andFunctionalist Approach”. Meta XLVII.4, 499-512. http://www.erudit.org

Nida, Eugene and Taber, Charles 1969 (1974). Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J.Brill.

Sembiring, Mehamat K. 2005. Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas: Diadaptasi dari AHandbook on The Gospel of Luke, karya J.Reiling dan J.L. Swellengrebel; dan ATranslator’s Guide to the Gospel of Luke, karya Dr. Robert Bratcher. Jakarta: LembagaAlkitab Indonesia dan Yayasan Karuna Bakti Budaya Indonesia.

White, Peter. Introductory Guide to Appraisal. 2001. Retrieved on June 05, 2009. http://www.grammatics.com.

Page 92: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 207-208 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

RESENSI BUKU

Judul : Discursive Approaches to PolitenessEditor : Kecskes, Istvan; Linguistic Politeness Research GroupPenerbit : Walter de Gruyter GmbH & Co. KG, Berlin/Boston. 2011.Tebal : 263 Halaman

Mahardhika ZifanaUniversitas Pendidikan Indonesia

[email protected]

Konsep kesantunan (politeness) merupakan ranah yang tak pernah berhenti menyumbangkangagasan-gagasan penelitian dalam Linguistik, khususnya bidang Pragmatik. Buku ini seakanmemberikan konfirmasi tentang luasnya cakupan ranah kesantunan melalui gagasan-gagasanyang dikemukakan oleh Linguistic Politeness Research Group (LPRG) di dalam buku ini.Secara khusus, LPRG mengemukakan bahwa gagasan yang hendak mereka apungkan melaluibuku ini mencoba untuk mendekatkan ranah kesantunan dengan pendekatan wacana.

Selama beberapa tahun terakhir, gagasan pendekatan wacana telah berkembang denganpesat. Sekurangnya, ini terkonfirmasi oleh munculnya karya-karya di bidang lain yangmengeksplorasi pendekatan wacana (mis. Hepburn & Wiggins, 2007; dan Kieran dkk., 2004).Gambaran umum dari pendekatan wacana ini juga diulas dan diperkaya kembali oleh Sara Millspada bagian awal buku ini.

Secara ringkas, Mills menjelaskan bahwa gagasan pendekatan wacana untuk analisiskesantunan berkaitan dengan analisis kontekstual terhadap kesantunan itu sendiri. Artinya, fokusnyatertuju pada makna bahasa yang digunakan untuk partisipan, dalam hal ini pembicara danpendengar: apakah partisipan sendiri mengklasifikasikan ucapan-ucapan tertentu sebagai santun atautidak santun, bagaimana mereka menilai orang lain, dan informasi dan isyarat apa yangmenginformasikan keputusan tentang apakah seseorang telah berlaku santun atau tidak santun.

Dalam hal ini, buku ini tampak mencoba melakukan pergeseran analisis kesantunan darisistem pilihan yang dibuat oleh pembicara, ke analisis kesantunan berbicara yang berdasarkankonteks tertentu. Pendekatan wacana ini mungkin tidak serapi gagasan Brown dan Levinson(1987), tetapi esai Mills dalam kumpulan tulisan ini menunjukkan bahwa analisis ini lebihmampu menembus kerumitan perilaku komunikatif yang dilatarbelakangi unsur budaya,terutamka dalam konteks masyarakat tutur tertentu.

Secara lebih operasional, Jonathan Cullpepper melanjutkan uraian umum Mills melaluicontoh pendekatan ini dalam kajian kesantunan dengan menjadikan prosodi sebagai subjekstudi. Dalam tataran operasional yang diistilahkan Cullpepper sendiri sebagai eclectic, kita bisamelihat bahwa prosodi dapat berkontribusi dalam menentukan level kesantunan. Walaudemikian, contoh yang diberikan Cullpepper ini tidak mencakup pandangan interaksional. Initentunya berbeda dengan kajian kesantunan dan prosodi yang menggunakan pendekatanberbeda, atau terhadap pembicara dengan keterbatasan tertentu (mis. Monetta dkk, 2008:415).

Selanjutnya, Sandra Harris, Jodie Clark, dan Louise Mullany lebih mengalaborasiaplikasi pendekatan wacana untuk analisis kesantunan dengan menggunakan latar-latar tempatsebagai contoh. Sangat menarik untuk mencermati bagaimana pendekatan ini digunakan untukmenganalisis kesantunan di ruang-ruang publik yang universal, seperti ruang sidang dan tempatkampanye. Secara khusus, Harris menekankan bahwa gagasan yang digunakannya sebagaicontoh dalam buku ini dilatarbelakangi gagasan Bargiela-Chiappini (2003), salah seoranglinguis yang menyarankan untuk mundur dari gagasan face dalam Brown dan Levinson (1987),dan kembali ke versi Goffman (1955), yang dianggap sebagai versi aslinya. Sayangnya, Harrissendiri tidak merinci dengan jelas operasionalisasi pendekatan wacana ini dalam konteks yanglebih luas.

Page 93: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Resensi Buku

208

Kemudian, sungguh menarik pula untuk memperhatikan bagaimana Graingermemaparkan penanganan strategi kesantunan tertentu, seperti indirectness, secara lebih rinci.Grainger sangat menekankan pemahaman dalam kontak antarbudaya, seiring dengan aruspendekatan wacana dalam kajian kesantunan. Grainger memungkas esainya dengan opini yangbijak bahwa implikasi gagasannya bagi teori kesantunan dan penelitian secara umum, adalahbahwa sesungguhnya kita mengambil pandangan berharga dari tiga ‘gelombang’ teori kesantunan.Hasil yang diharapkannya ialah adanya analisis interaksional yang sangat kaya data.

Bagian selanjutnya dari Bethan L. Davies dan Andrew John Merrison semakinmembuat buku ini menarik. Davis mencoba memperkuat nilai evaluasi dalam analisiskesantunan. Adapun Merrison menekankan penerapan metodologi interaksionis dalam studikesantunan. Kontribusi keduanya di dalam buku ini tentu menambah luas perspektif untukkajian kesantunan.

Secara umum, kemunculan buku ini dapat dianggap sebagai ‘oase’ di tengah interpretasidan analisis pragmatik yang didominasi oleh pandangan linguistik Eropa-Amerika. Gagasanlama yang sempat tenggelam, agar penelitian Pragmatik secara langsung menggunakan datatuturan yang sesungguhnya (dan dalam bahasa aslinya), mungkin dapat terangkat kembalimelalui buku ini.

Sebelum munculnya buku ini, Mills (dan Kadar, 2011) sudah pernah memunculkankritik terhadap gagasan Brown dan Levinson. Sasaran kritik Mills dan Kadar ialah gagasanbahwa model Brown dan Levinson bersifat universal. Pun sebelumnya, Mills (2004) telahmenganggap bahwa gagasan Brown dan Levinson menyamaratakan asumsi tentang kesantunanterhadap semua masyarakat tutur. LPRG ini tampaknya mencoba menyelaraskan Mills denganlinguis-linguis lain yang tidak sejalan dengan gagasan Brown dan Levinson, hingga muncullahbuku ini.

Pendekatan wacana pada hakikatnya tertuju kepada data otentik yang digali darikomunikasi yang berlangsung secara alami. Fakta menunjukkan bahwa ada perbedaan yangsignifikan pada bahasa-bahasa Eropa, Amerika, dan Asia. Strategi Kesantunan dari Brown &Levinson yang menjadi target kritik secara umum dalam buku ini, harus diakui, memang tampakindividualistik dan mencerminkan budaya Barat. Kritik ini juga ada dalam Aziz (2008). Kehadiranbuku ini mungkin dapat lebih memperkaya perspektif dalam kajian terhadap kesantunan.

REFERENSIAziz, E. Aminudin. 2012. Tiga Dimensi Kesantunan Berbahasa: Tinjauan Terkini. Tersedia:

http://aminudin.staf.upi.edu/2012/02/17/tiga-dimensi-kesantunan-berbahasa-tinjauan-terkini/ [Akses 1 Maret 2013]

Brown, Penelope and Levinson, Stephen C. 1987. Politeness: some universals in languageusage. Cambridge: Cambridge University Press.

Hepburn, Alexa and Wiggins, Sally. (Eds.) 2007. Discursive research in practice: Newapproaches to psychology and interaction. Cambridge: Cambridge University Press

Kadar, Daniel Z. and Mills, Sara. (eds.). 2011. Politeness in East Asia. Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Kieran, Carolyn, Forman, Ellice A., and Sfard, Anna. 2003. Learning discourse : discursiveapproaches to research in mathematics education. Dordrecht: Kluwer AcademicPublishers

Linguistic Politeness Research Group (ed.). 2011. Discursive Approaches to Politeness (Moutonseries in pragmatics; 8). Berlin/Boston: Walter de Gruyter GmbH & Co. KG.

Mills, Sara. 2004. Discourse. London: Routledge, 2nd edition.

Page 94: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 209-210 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

JELAJAH LINGUISTIK

Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini:a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakanb. daur-ulang metodologi penelitian linguistikc. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya

berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulud. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang

membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan

KLAUSA KECIL DALAM BAHASA INDONESIA?

Yassir NasaniusUniversitas Katolik Indonesia Atma Jaya

[email protected]

Dalam bahasa Indonesia terdapat dua kemungkinan predikat seperti di bawah ini.

(1) Ali mencintai Siti.(2) a. Ali seorang guru.

b. Siti cantik.c. Ali dan Siti di rumah.

Kalimat seperti pada (1) lazim disebut kalimat yang berpredikat verba, sedangkan kalimatseperti pada (2) kalimat yang berpredikat bukan verba.

Kalimat seperti pada (2) sangat merepotkan bila dianalisis dengan Tata BahasaGeneratif (TBG). Perhatikan, misalnya, versi awal TBG (Chomsky, 1965) yang menyatakanbahwa kalimat dianalisis sebagai S → NP VP (atau versi mutahir TBG yang menyatakan bahwakalimat dianalisis sebagai TP → NP T’; T’ → T VP). Analisis ini menyebutkan bahwa predikatharus diisi oleh VP. Dengan kata lain, tidak ada kaidah-kaidah seperti (3)-(5) untukmenghasilkan kalimat-kalimat pada (2).

(3) S → NP NP(4) S → NP adjP(5) S → NP PP

Di dalam banyak bahasa kalimat-kalimat berpredikat bukan verba seperti pada (2) tidak dapatdigunakan sebagai kalimat yang berdiri sendiri. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, kalimat-kaliamat (6)-(8), sebagai padanan dari (2), berikut ini tidak gramatikal.

(6) *Ali a teacher(7) *Siti pretty*(8) *Ali dan Siti at home

Konstruksi-konstruksi seperti (6)-(8) hanya gramatikal dalam bahasa Inggris bila berfungsisebagai klausa kecil (small clause).i Klausa kecil dapat didefinisikan sebagai klausa yang tidakberpredikat verba (verbless clause) seperti contoh (9) di bawah ini yang dikutip dari Balasz(2012:1).

(9) Marcellus considered [Harold a great con man]

Di dalam analisis TBG, (9) dihasilkan melalui kaidah-kaidah berikut ini, yaitu kalimat terdiriatas NP dan VP; VP terdiri atas V dan SC (small clause); dan SC terdiri atas NP dan NP.

Page 95: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Jelejah Linguistik

210

(10) S → NP VP(11) VP → V SC(12) SC→ NP NP

Pertanyaan yang menarik untuk pemerhati sintaksis bahasa Indonesia. Apakah kalimat sepertiAli seorang guru dihasilkan oleh (a) kaidah (3) S → NP NP atau (b) kaidah (12) SC→ NP NP?Kalau memilih opsi (a), berarti untuk menghasilkan kalimat dalam bahasa Indonesia perlu adakaidah (3)-(5) di samping kaidah (10). Kalau memilih opsi (b), berarti kalimat bahasa Indonesiaperlu dianalisis terdiri atas dua jenis, yaitu (a) kalimat berpredikat verba yang dihasilkan melaluikaidah (10) dan (b) kalimat berklausa kecil, yaitu kalimat yang berpredikat bukan verba, yangdihasilkan dari kaidah berikut.

(13) SC→ NP NP/AdjP/PP

CATATAN

i Potts dan Roeper (2005) menyatakan bahwa klausa kecil dalam bahasa Inggris dapat berfungsisebagai kalimat yang berdiri sendiri bila digunakan dalam dua macam konteks. Pertama, klausa kecildigunakan dalam konstruksi yang disebut Potts dan Roeper sebagai Expressive Small Clauses seperticontoh (i) berikut ini.

(i) You idiot!Kedua, klausa kecil yang digunakan oleh anak-anak seperti contoh (ii).

(ii) Me happy.

REFERENSIBalasz, Julie. 2012. The Syntax of Small Clauses. Unpublished Thesis. Cornell University.

Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. MIT Press, Cambridge, Mass.

Potts, Christopher and Roeper, Tom. 2005. The Narrowing Acquisition Path: From ExpressiveSmall Clauses to Declaratives. To appear in Ljiljana Progovac, Kate Paesani, EugeniaCasielles, Ellen Barton, eds., The Syntax of Nonsententials: Multi-DisciplinaryPerspectives. John Benjamins.

Page 96: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 211-214 Tahun ke-31, No. 2Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA

IHWAL AFIKS PENANDA GENDER BAHASA INDONESIA

From: [email protected] On Behalf Of mido_ardianSent: Friday, February 24, 2012 3:40 PMTo: [email protected]: [mlindo] IIhwal afiks penanda gender bahasa Indonesia

Saya ingin bertanya tentang afiks serapan bahasa Indonesia terkait gender, seperti -wan (padasastrawan, bahasawan, fisikawan, dll.), -wati (pada karyawati, peragawati, dll.), -man(seniman), dan afiks bergenus pria-wanita lainnya.

Jika dicermati, dikotomi gender tersebut terkadang membingungkan antara bias gender ataukahnetral. Sementara itu, kita juga memiliki afiks yang lebih bersifat netral tanpa harusmembedakan gender, seperti afiks pe- (untuk afiks yang menyatakan 'pelaku') pada katapebalap, pekamus, pesenam, dll. Misalkan saya mereka-reka bentuk kata jadian baru denganmenggunakan afiks pe- sebagai afiks pembentuk nomina yang bergenus netral, bisakah istilahwartawan diganti menjadi pewarta (menurut saya ini lebih netral), dan berturut-turut istilah yangmemiliki kecenderungan untuk bias gender juga digantikan, seperti pekarya(karyawan/karyawati), peseni (seniman), dll. Bagaimana tanggapan grup ini? Mohonpenjelasannya.

Salam,Ardian

From: [email protected] On Behalf Of Aisyah NovanarimaSent: Friday, February 24, 2012 10:22 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] IIhwal afiks penanda gender bahasa Indonesia

Mas/ Pak, jika karyawan dan karyawati diganti menjadi 'pekarya', apakah tidak membuatpembaca dan pengguna bahasa "tertukar" dengan pembuat karya (seni/arsitektur) meskipunsudah ada 'peseni' ?

From: [email protected] On Behalf Of Steve Erman BalaSent: Saturday, February 25, 2012 10:29 AMTo: [email protected]: [mlindo] Re: IIhwal afiks penanda gender bahasa Indonesia

Masalah gender sebenarnya hanya masalah kebutuhan untuk membedakan. Tidak semua kataperlu diberi -wan/-wati. Sementara itu, tidak semua kata juga perlu penetral. Apakah kitamembutuhkan "petani wanita", atau "petani" saja. Ini soal kebutuhan. Bahasa mencerminkankebutuhan masyarakat penuturnya.

Stephanus Erman Bala

Page 97: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Diskusi Ilmiah

212

PERSOALAN JENDER DALAM BAHASA INDONESIA

From: "Yassir Nasanius" <[email protected]>Date: Wed, 18 Jan 2012 15:32:19 +0700To: <[email protected]>Subject: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

Dear rekan-rekan di milis MLI,

Ketika membaca surat kabar, saya sering bertanya-tanya apakah subjek berita tersebut seorangperempuan atau pria, terutama kalau nama dari subjek bisa ditafsirkan wanita atau pria. Sebagaicontoh, perhatikan salah satu petikan berita di Kilas Metro di halaman 26 surat kabar KOMPASedisi 18 Januari 2012. Saya mengira subjek berita ini adalah perempuan karena terpengaruhnamanya, yaitu 'Herlian,' sedangkan Prof. Bambang Kaswanti menduga dia adalah laki-lakikarena frasa 'memukuli Herlian' (mungkin karena perempuan jarang dipukuli). Keambiguan inimemang terjadi karena kata ganti 'dia' tidak mengidentifikasi jender dalam bahasa Indonesia,tidak seperti halnya dalam bahasa Inggris. Mohon pendapat rekan-rekan bagaimanamengidentifikasi jender dalam kasus seperti ini.

Herlian (23) digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Dia kepergok sedangmencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkan penghuninya.Aksinya tersebut diketahui Asmin (39), penghuni kontrakan itu. Peristiwa itu terjadi saat Aminbaru saja pulang menggarap sawah di kawasan Cilincing. "Saya sendiri yang melihat diamembawa tas dari kamar kontrakan saya. Langsung saya cegat dia untuk menunjukkan isitasnya, dan ternyata di dalamnya ada VCD milik saya," tuturnya. Karena itu, Asmin mengaku,langsung meneriakinya maling. Warga setempat pun langsung menyergap dan memukuliHerlian, sebelum menggiringnya ke kantor polisi.

From: [email protected] on behalf of Agus SantosoSent: Rabu 18/01/2012 19:17To: [email protected]: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

Saya merasa Herlian adalah seorang laki2 karena mendapatkan perlakuan "keras". Setelah sayaberkonsultasi dgn Dr. Google, saya lebih diyakinkan bahwa nama Herlian adalah nama untuklaki-laki. Meskipun ada juga entry yg mengarah pada nama seorang wanita.

Di kantor saya ada karyawan dengan nama Mulyani. Dalam sebuah ritret, Mulyanidikelompokkan (oleh HRD) dengan karyawan wanita. Namun, ketika sampai di tempat tujuan,semua peserta ritret yg wanita keberatan. Terutama teman kamar Mulyani. Mengapa? KarenaMulyani adalah seorang laki-laki. Panggilan populernya adalah Pak Mul.

Saya juga memiliki teman dengan nama Ria Pardede yang juga seorang pria. Juga Atiek yangseorang pria. Juga Anti yang seorang laki-laki. Di Bali, saya memiliki teman wanita dengannama Liliek. Ternyata banyak "kesalahan" pemakaian nama ya. Siapa yang salah?

Salam,GAS

Page 98: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013

213

From: "Yassir Nasanius" <[email protected]>Date: Wed, 18 Jan 2012 19:30:06 +0700To: <[email protected]>Subject: RE: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

Dear Pak Agus,

Terima kasih telah memberi tanggapan atas pertanyaan saya. Yang menarik untuk saya, ketikanama-nama yang ambigu jender ini terdapat dalam teks, bagaimana membuatnya tidak ambigujender? Ini karena pemakaian 'dia' dalam bahasa Indonesia tidak dapat dijadikan petunjukkejelasan jender. Di dalam bahasa Inggris, setelah penyebutan nama yang ambigu jender ini,penulis/penutur harus jelas menunjukkan jender dengan memilih menggunakan pronomina 'she'atau 'he'.

Salam karib,Yassir

From: [email protected] On Behalf Of Agus SantosoSent: Wednesday, January 18, 2012 7:34 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

Mungkin teks bisa diperbaiki sbb:

Herlian, seorang pria berusia 23 tahun, digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasasiang. Dia kepergok sedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedangditinggalkan penghuninya...

Salam,GAS

From: [email protected] On Behalf Of Yassir NasaniusSent: Wednesday, January 18, 2012 7:35 PMTo: [email protected]: RE: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

Setuju, Pak. Semoga para penulis berita di surat kabar paham pentingnyapengidentifikasian jender ini sehingga tidak membingungkan pembaca mereka.

Salam,Yassir

From: [email protected] On Behalf Of Agus SantosoSent: Wednesday, January 18, 2012 7:53 PMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

Betul, Pak Yassir. Kita seharusnya menyediakan konteks yang jelas terhadap istilah yang kitapakai. Seperti dalam thesis, jika kita menggunakan kata baru yang unik untuk pertama kalinya,kata itu harus dijelaskan sehingga tidak menyebabkan keambiguan nantinya.

Salam,GAS

Page 99: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Diskusi Ilmiah

214

From: [email protected] On Behalf Of LusiSent: Tuesday, January 24, 2012 9:13 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

menarik sekali diskusi ttg jender yg ambigu ini. Terkait dgn konteks, apakah mungkin parapenulis berita itu menemui kesulitan ketika harus menulis dengan ruang teks yang terbatas?

salam,Lusi

From: [email protected] On Behalf Of Bambang Kaswanti PurwoSent: Tuesday, January 24, 2012 11:03 AMTo: [email protected]: RE: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

Persoalannya kiranya bukan “ruang teks yang terbatas” tetapi kekurangpekaan penulis beritakarena [sistem] bahasa kita memang tidak menuntut penuturnya untuk peka terhadap perbedaangender. Kalau kepekaan itu disadari, tentunya tidak akan menulis dengan cara [A], melainkancara [B] atau [C], atau kemungkinan yang lain lagi, tanpa memakan ruang.

bk

[A]Herlian (23) digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Dia kepergok sedangmencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkan penghuninya.

[B] [Agus Santoso, Rabu 18/01/2012 19:33]Herlian, seorang pria berusia 23 tahun, digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasasiang. Dia kepergok sedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedangditinggalkan penghuninya...

[C]Herlian (23) digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Lelaki itu kepergoksedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkanpenghuninya.

From: [email protected] On Behalf Of LusiSent: Sunday, January 29, 2012 7:46 AMTo: [email protected]: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia

terima kasih atas pencerahannya, Pak.... informasi yang sangat bermanfaat.

salam,Lusi

_

Page 100: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 215-217Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

INDEKS PENULIS

Adnyani dan Hadisaputra 65Amir 43Aziz 115Bowden 1Brata 187Fasya dan Suhendar 81Ibrahim 15Kurniawan 171Nasanius 155Wachidah 141

Page 101: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Indeks

216

INDEKS SUBYEK

Adakah Konsep Finit dalam Bahasa Sunda? 171bahasa Sunda 171, 173, 174, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182, 183,bahasa Indonesia 171, 173, 174, 175, 176, 177, 180kefinitan 171, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182, 183subjek kentara 171, 182, 183komplemen klausal 171

Akronim yang Berfonotaktik Tidak Lazim dalam Bahasa Indonesia 187akronim 187, 188, 189, 191, 192, 193, 194, 195, 198fonotaktik 187, 188, 189, 191, 192, 193, 195, 196, 197, 198suku kata 187, 188, 189, 191, 192, 193, 195, 196, 197, 198

Budaya Inti, Sikap Bahasa, dan Pembangunan Karakter Bangsa:Kasus Penutur Bahasa-Bahasa Daerah Utama di Indonesia 115

budaya inti 115, 118, 119, 120, 124, 125, 127, 128, 129, 132, 135, 138,jati diri 115, 116, 117, 118, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 135,keindonesiaan 115, 117, 132,

Exploring Power and Solidarity Semantic in Translationof Cultural Terms of Address in the Bible 187

terms of address 187, 188, 189, 190, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204Balinese 187, 188, 189, 191, 193, 195, 200, 205power semantic 187, 188, 189, 191, 193, 195, 196, 197, 198, 199solidarity semantic 187, 188, 189, 190, 191, 193, 201

Language and Basic Education in Indonesia 1local language 1, 2, 3, 4, 10, 12education 1, 2, 3, 4, 7, 10, 12, 13Indonesian educational system 1, 3

Pemerolehan Negasi Seorang Anak Dwibahasa Indonesia-Jermanpada Umur 1;2 sampai 3;0 65

pemerolehan 65, 66, 68, 69, 79dwibahasa 65, 66, 79negasi 65, 66, 67, 69, 74, 75, 76, 77, 78, 79

Plagiarisme dalam Kata-Kata Mahasiswa: Analisis Teks dengan Pendekatan Fungsional 141plagiarisme 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152transitivitas 141, 144, 145, 152tindakan 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152objek 141, 142, 146, 147lingkup situasi 141, 142

Representasi Kekuasaan dalam Tuturan Elit Politik Pascareformasi:Pilihan Kata dan Bentuk Gramatikal 43

kekuasaan 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 60, 62pengungkapan 43, 58elit politik 43, 44, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62

The Sentence Connectors in Academic English and Indonesian 155sentence connectors 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 164, 166, 167, 168, 169academic English 155, 156, 157, 164, 166, 168, 169academic Indonesian 155, 157, 158, 160, 164, 166, 167, 168

Page 102: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 2, Agustus 2011

217

Tiga Tataran Ergativitas dalam Bahasa Tae’ 15ergatif 15, 16, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 39absolutif 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 28, 29, 30, 32, 34, 35, 36, 39relasi sintaktis 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39

Variabel Sosial sebagai Penentu Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia 81variabel sosial 81, 82,makian 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102karakteristik penutur 81

Page 103: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

Terima Kasih

Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para

mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang

diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2013,

yaitu:

1. Bambang Kaswanti Purwo Unika Atma Jaya

2. Faizah Sari Unika Atma Jaya

3. Patrisius Istiarto Djiwandono Universitas Ma Chung

4. Katharina Endriati Sukamto Unika Atma Jaya

5. Siti Wachidah Universitas Negeri Jakarta

6. Yassir Nasanius Unika Atma Jaya

7. Yanti Unika Atma Jaya

8. Frederick John Bowden Max Planck Institute forEvolutionary Anthropology,Jakarta Field Station

9. Timothy McKinnon Max Planck Institute forEvolutionary Anthropology,Jakarta Field Station

10. Rindu Parulian Simanjuntak Peneliti Lapangan

Jakarta, Agustus 2013

Redaksi Linguistik Indonesia

Page 104: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada

FORMAT PENULISAN NASKAHNaskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah,termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, denganspasi tunggal dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai denganabstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (keywords) maksimal tiga kata. Abstrak dan katakunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelahjudul naskah dan afiliasi penulis.

Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnyalebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, menjorok kedalam (indented) sepuluh karakter, letak tengah (centered), dan tanpa tanda petik. Namapenulis yang dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis,tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan); misalnya, (Radford 1997),(Radford 1997:215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagianbawah halaman (footnote).

Setiap rujukan baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkanmenurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun pe-

nerbitan, (6) titik, (7) judul buku cetak miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titikdua (colon), (11) nama penerbit, dan (12) titik, seperti pada contoh berikut:

Gass, Susan M. dan J. Schachter. 1990. Linguistic Perspectives on Second LanguageAcquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Thornbury, Scott. 2005. Beyond the Sentence: Introducing Discourse Analysis.Oxford: Macmillan.

Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) nama jurnal cetak miring, (12) volume, (13) titik, (14) nomor (kalauada), (15) koma, (16) spasi, (17) halaman, (18) titik, seperti pada contoh berikut:

Chung, Sandra. 1976. “An Object-Creating Rule in Bahasa Indonesia.” LinguisticInquiry 7.1, 41-87.

Steinhauer, Hein. 1985.“Number in Biak. Counterevidence to Two AllegedLanguage Universals.” Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 141.4,462-485.

Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5)tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tandapetik tutup, (11) berilah kata "Dalam", (12) titik dua, (13) nama editor disusul (ed.),(14) koma, (15) halaman, (16) titik. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalamlema tersendiri, seperti pada contoh berikut:

Dardjowidjojo, Soenjono. 2007. “Derajat Keuniversalan dalam Pemerolehan Bahasa.”Dalam: Nasanius (ed.), 233-261.

Nasanius, Yassir. (ed.). 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis

ulang secara lengkap, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuticontoh ini:

Shibatani, Masayoshi. 1977. “Grammatical Relations and Surface Cases.” Language 53,789- 809.

Shibatani, Masayoshi. 1985. “Passives and Related Constructions: A PrototypeAnalysis.” Language 61, 821-848.

Page 105: MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA No. 02 Ags 2013.compressed.pdf · bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada