Manusia: Basyar, Insan, dan al-NasHanya orang-orang yang mampu
membuat dirinya sebagai manusia saja yang akan dibangkitkan dalam
rupa manusia Imam Khomeini Iftitah: apakah aku adalah manusia ?
Pernahkah kita bertanya Apakah saya adalah `manusia` ? Pertanyaan
ini aneh dan janggal. Namun, persis jawaban dari pertanyaan inilah
yang kerap keliru. Akal sehat (common-sense) manusia sudah
terlanjur menganggap bahwa seseorang menjadi manusia disebabkan
oleh bentuk fisik-biologisnya. Pertanyaan yang muncul apakah
manusia fisik-biologis tersebut adalah manusia dalam arti yang
sebenarnya (hakiki)? Ternyata, mengutip pemikiran Ali Shariati, ada
tiga kategori manusia, yakni basyar, insan dan alnas. Kategori
basyar dan insan terkait dengan kualitas manusia. Karakteristik
yang membedakan dua kategori manusia ini adalah kemampuan untuk
melepaskan dari dari empat penjara manusia, yakni penjara alam,
sejarah, masyarakat dan diri. Sedangkan kategori al-nas, secara
sederhana, berarti manusia secara umum, rakyat atau massa. Tidak
berhubungan dengan kualitas kemanusiaan. Penjelasan di bawah ini
banyak mengutip pemikiran Ali Shariati. Manusia: Basyar, Insan, dan
al-Nas 1. Basyar : Manusia Sekedar Ada (Being) Basyar adalah
makhluk yang sekedar ada (being). Artinya, manusia dalam kategori
basyar adalah makhluk statis, tidak mengalami perubahan, berkaki
dua yang berjalan tegak di muka bumi. Oleh karenanya, manusia
memiliki definisi yang sama sepanjang zaman, terlepas dari ruang
dan waktunya.(Shariati, Man and Islam: 64). Singkatnya, basyar
adalah manusia dalam arti fisisbiologis. Manusia dilihat sudut
fisik tidaklah jauh berbeda dengan hewan. Manusia bisa makan,
minum, tidur, sakit dan mati. Begitu pula hewan. Bahkan, bila
manusia dan hewan dibandingkan dari segi perbuatan nistanya, maka
manusia lebih inferior dari hewan (dalam arti bisa lebih jahat dan
kejam) Perbuatan-perbuatan rendah manusia tak pernah berubah, hanya
instrumennya saja yang berubah. Shariati menjelaskan bahwa penguasa
masa lalu, seperti Gengis Khan, dengan penguasa modern tidaklah
berbeda dari segi kebuasannya. Perbedaannya hanya terletak pada
instrumen dan argumentasinya saja. Penguasa masa lalu memiliki
senjata-senjata sederhana, dan mereka pun tak segan memproklamirkan
bahwa mereka sengaja membunuh. Sementara itu, penguasa modern
mempunyai senjata-senjata super-canggih untuk membunuh, dan mereka
melakukan pembunuhan atas nama kedamaian. Shariati menilai bahwa
dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan,
pembunuhan, sadisme, dan kekejaman lebih banyak, lebih dahsyat
dari pada masa lalu. Tendensi negatif manusia itu merupakan
representasi dari manusia dalam arti basyar. (Shariati, 1982: 6768)
Manusia tipe basyar belum mampu melepaskan diri dari
penjara-penjara manusia (the prisons of man), terutama penjara
natural-instingtualnya. 2. Insan : Manusia Menjadi (Becoming) Insan
berarti manusia dalam arti yang sebenarnya. Insan tidak menunjuk
pada manusia biologis. Insan lebih terkait dengan kualitas luhur
kemanusiaan. Ali Shariati menyatakan bahwa,tidak semua manusia
adalah insan, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai
tingkatan kemanusiaan yang lebih tinggi. (Shariati, 1982: 62) Bila
basyar bermakna makhluk yang sekedar ada (being), maka insan
berbeda. Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming). Ia
terus-menerus maju menuju ke kesempurnaan. Karakter menjadi ini
membedakan manusia dengan fenomena lain di alam. Shariati memberi
contoh: Sebagai contoh, semut dan serangga lainnya tidak pernah
dapat melampaui keadaannya; ia menggali lubang dengan cara yang
sama sebagaimana ia melakukanya 15 juta tahun yang lampau di
Afrika. Tidak usah memandang di mana, kapan dan bagaimana, semut
selalu dalam keadaan yang sama, pasti dan tidak dapat
berubah-rubah. (Shariati, 1982: 64) Dalam QS. Al-Baqarah ayat 156
menjelaskan tentang azas yang menunjuk pada evolusi tanpa henti
manusia ke arah Yang Tanpa Batas. (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raaji`uun Bagi Shariati, kata ilaihi berarti kepada-Nya, bukan di
dalam-Nya. Menurut Shariati, inilah gagasan pokok tentang menjadi,
yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah
kesempurnaan ideal. Tuhan bukanlah titik beku dimana sesuatu
mengarah. Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan Yang
Maha Mutlak. Oleh karena itu, bergeraknya manusia ke arah-Nya
berarti gerakan manusia terus-menerus tanpa henti ke arah
tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan. Inilah yang dimaksud Shariati
sebagai manusia dalam keadaannya yang menjadi. (Shariati, 1982:
68-69). Insan memiliki tiga sifat pokok, yaitu kesadaran diri,
kemauan bebas dan kreativitas. (Shariati, 1982: 69) Pertama,
kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan pengalaman tentang
kualitas dan esensi dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya dan
dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran akan tiga unsur tersebut,
makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi
dari proses menjadinya. (Shariati, 1982: 71) Kesadaran itu membuat
manusia bisa mengambil jarak dengan diri dan alam sehingga manusia
tertuntun untuk mencipta sesuatu yang bukan alam. Kedua, kemauan
bebas. Kemauan bebas tampak dalam kebebasan memilih. Menurut
Shariati, insan bebas memilih. Pilihannya bisa saja bertentangan
dengan insting naturalnya, masyarakatnya, atau dorongan-dorongan
psikologisnya. (Shariati, 1982: 71-72) Kebebasan memungkinkan
manusia untuk melakukan evolusi ke tingkat tertinggi kemanusiaannya
menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah dan egonya. Ketiga,
kreativitas atau daya cipta. Potensi kreatif insan
memungkinkannya menjadi makhluk yang mampu mencipta benda,
barang dan alat, dari yang paling kecil sampai yang kolosal,
karya-karya industri dan seni yang tak disediakan alam. Penciptaan
dan pembuatan barang tersebut dilakukan insan karena alam tak
menyediakan semua yang dibutuhkannya. (Shariati, 1982: 72-73) Wujud
kongkrit tiga sifat insan tersebut adalah ilmu. Ilmu membebaskan
manusia dari kerangkeng alam, sejarah dan masyarakat. Dengan ilmu,
insan mengetahui hukum-hukum yang berlaku di alam, masyarakat dan
sejarah. Sehingga, insan kuasa untuk lolos dari tiga penjara
tersebut bahkan sekaligus mampu merekayasa ketiga determinan itu.
Sementara itu, penjara terakhir manusia, yakni penjara ego (diri),
tidak dilawan dengan ilmu, tapi dengan cinta. Cinta memiliki
kekuatan yang mendorong manusia untuk menolak, memberontak, dan
mengorbankan diri demi suatu citacita atau orang lain. (Shariati,
1982: 99) Jadi, secara singkat, manusia menjadi (insan) berevolusi
ke Yang Tak Terhingga, ke kesempurnaan berbekal tiga sifat
dasariahnya. Tiga sifat, yang bentuk nyatanya adalah ilmu, adalah
instrumen pembebasan manusia dari tiga penjara manusia, yaitu
penjara alam, sejarah dan masyarakat. Sedangkan, penjara terakhir
(ego) dilawan dengan cinta kasih. Kemerdekaan dari kolonialisasi
empat determinan itu mengantar manusia ke puncak kesempurnaan
kemanusiaannya. Secara unik, Shariati mensimbolkan pembebasan insan
dari empat kekuatan determinan tersebut dengan simbol keluarnya
manusia (Adam) dari firdaus (paradise atau the Garden of Eden).
Saat di firdaus, manusia dilarang memakan buah oleh Tuhan. Shariati
memaknai buah tersebut sebagai simbol kesadaran (consciousness).
Manusia memakan buah tersebut. Jelas, manusia adalah pemberontak
yang melawan kehendak Tuhan. Tapi, Shariati, secara kreatif,
menafsirkan simbolisasi ini dengan berpendapat bahwa kehendak Tuhan
itu adalah empat kekuatan, empat ikatan, empat rantai yang mengikat
manusia. Ketika seseorang mencapai kesadarannya (memakan buah),
maka ia terbebas dari determinasi kehendak Tuhan tersebut.
(Shariati, 1979: 17-18). Jadi, manusia mencapai kualitas insan bila
ia mampu melepaskan diri dari empat determinan, yang
disimbolisasikan sebagai kehendak Tuhan. 3. Al-Nas : Massa Kategori
al-nas berbeda dengan dua konsep manusia lainya (basyar dan insan).
Menurut Shariati, kedua istilah terdahulu terkait dengan
nilai-nilai moral yang terkandung dalam diri manusia. Sedangkan
al-nas tidak berhubungan dengan kualitas kemanusiaan. Terminologi
al-nas digunakan Shariati dalam dua pengertian, yaitu: Pertama,
al-nas sebagai kutub sosial. Al-nas merupakan penjelmaan esensi
kutub positif (Habil) masyarakat (masyarakat yang tertindas).
Mereka adalah yang dikuasai dan ditindas oleh kutub Qabil (penguasa
politik, para kapitalis dan agamawan bejat). Allah, bagi Shariati,
berpihak pada al-nas. Hingga tak aneh, dalam penggunaannya, kata
al-nas bisa ditukar dengan kata Allah dan sebaliknya. Menurut
Shariati, posisi unik al-nas ini disebabkan karena al-Quran
dialamatkan secara khusus untuk alnas. Al-nas adalah wakil-wakil
Allah dan keluarga-Nya. (Shariati, 1979: 116-117) Dan, posisi
penting al-nas ini menempatkannya sebagai faktor penentu revolusi
sosial. Al-nas yang sadar akan dirinya serta tanggung jawab
sosialnya akan mendorong masyarakat menuju revolusi sosial. Kedua,
al-nas sebagai massa (mass) atau rakyat (people). Shariati
berpendapat bahwa sinonim yang paling mirip untuk mewakili kata
al-nas adalah kata massa. Menurutnya, dalam
terminologi sosiologi, massa terdiri dari segenap rakyat yang
merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat
yang terdapat dalam kalangan mereka. Jadi, bagi Shariati, al-nas
adalah massa. Massa adalah rakyat itu sendiri, tanpa menunjuk
kepada kelas atau bentuk sosial tertentu. (Shariati, 1979: 49)
Akhir al-Kalam Manusia adalah masalah puncak bagi manusia, pekik
Battista Mondin. Bagaimana supaya kita mampu mengenal apakah diri
kita adalah basyar, insan atau hanya sekedar al-nas? Rene Descartes
menyarankan kita mulai untuk berfikir tentang siapa Aku. Meister
Eckhardt mengusulkan dengan pernyataannya, barangsiapa hendak jelas
dengan dirinya sendiri dan ingin bersuara lantang, dia harus
memilki satu hal : kesepian batin. Mempertanyakan diri kita adalah
satu langkah dalam proses meng-insan-kan diri kita. Jadi, manusia
belum menjadi manusia saat terlahir dari rahim ibunya. Ia tidak
otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi
manusia. Manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung
kepada dirinya sendiri. Manusia harus mengembangkan sifatsifat
kemanusiaannya. Yang membedakan nilai seorang manusia yang satu
dari manusia yang lain adalah sejauhmana seseorang mengembangkan
nilai kemanusiaannya. Murtadha Muthahhari berpendapat, yang
mengembangkan sifat kemanusiaan manusia adalah iman dan amal
shalih. (Muthahhari, 1991: 79) Inilah insan sejati itu. Wa Allah-u
alam bi al-shawab-i Definisi Khilafah/Khalifah Posted by: saif1924
on: Mei 8, 2009
In: tErkiNi Comment!
Pengertian Bahasa Khilafah Khilafah menurut makna bahasa
merupakan mashdar dari fiil madhi khalafa, berarti : menggantikan
atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah
menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang
lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a badahu fa-shaara makaanahu)
(Al-Mujam Al-Wasith, I/251). Dalam kitab Mujam Maqayis Al-Lughah
(II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena
orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan
kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang
menjadi alasan mengapa as-sulthan al-azham (penguasa besar umat
Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa
sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari,
I/199). Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum
istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan
agung (az-zaamah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh
umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas
mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Maalim Al-Khilafah,
I/8-9). Pengertian Syari Khilafah Dalam pengertian syariah,
Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW
dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah)
(AlBaghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam.
Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah
digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi,
1980:226). Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh
ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang Khilafah atau
Imamah. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun
ayat Al-Qur`an yang menyebut kata ad-dawlah al-islamiyah (negara
Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau
tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah
membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan
istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah
atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi,
As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
AlIslami wa Adillatuhu, IX/823). Hanya saja, para ulama mempunyai
sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah
(manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai
penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi
yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan
kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham alhukm).
Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan
agama (al-mazhhar ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan
agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau
sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan muamalah (seperti
perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti
nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha
menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang
inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu
definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227). Sebenarnya banyak
sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para
ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah
yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan
Al-Baghdadi (1995) : Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450
H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam
penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam
As-Sulthaniyah, hal. 3). Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478
H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh
(riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan
khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan
dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15). Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi
(w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW
oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum
syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh
seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali, hal.225).
Keempat, menurut Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah
adalah kepemimpinan umum (riyasah ammah) dalam urusan-urusan dunia
dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari
Rasulullah dalam penegakan agama (Iadah Al-Khilafah, hal. 32).
Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah
kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti
dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat,
yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif,
III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10). Keenam,
menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan
seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah
dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun
duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah
(Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190). Ketujuh, menurut
Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum
(wilayah ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat,
serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Maalim
Al-Khilafah, I/8). Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861
H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas
kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141).
Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah
adalah al-imam al-azham (imam besar), yang berkedudukan sebagai
pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan
dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289). Kesepuluh,
menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah
adalah kepemimpinan umum (riyasah ammah) untuk menegakkan agama
dengan menghidupkan ilmuilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam,
melaksanakan jihadmelaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud
sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq
Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah,
hal. 23). Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M),
Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya
kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid Ala Jauhar
At-Tauhid, II/45). Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthii
(w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh AlAzhar, Imamah adalah
kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (Iadah
AlKhilafah, hal. 33). Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373
H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah,
Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang
dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa
Al-Ilm wa Al-Alim, IV/363).
Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah
kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai
pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350). Analisis Definisi
Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat
dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu : Pertama,
definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har
ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran
Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji.
Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan
dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau
menyatakan,Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari
Rasulullah dalam penegakan agama. Kedua, definisi yang lebih
menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini
Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa
pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya
diungkapkan ulama dengan terminologi urusan dunia (umuur ad-dunya).
Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah
sebagai kekuasaan umum (wilayah ammah) atas seluruh umat, tanpa
mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur urusan agama.
Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama
(al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har
as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam AlMawardi yang
disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan
pengaturan urusan dunia. Dengan menelaah seluruh definisi tersebut
secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai
definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam
dataran empirik (praktik) misalnya adanya dikotomi wilayah urusan
dunia dan urusan agama daripada sebuah definisi yang bersifat
syari, yang diturunkan dari nash-nash syari. Selain itu,
definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaamiah). Sebab
definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang
bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah,
bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih
memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan
definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan
ilmuilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad,
melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya.
Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat
menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan
redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas.
Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur umumnya
kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin. Atau bahwa Khilafah
mengatur kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah.
Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya? Sesungguhnya,
untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami
lebih dahulu, apakah ia definisi syari (at-tarif asy-syari) atau
definisi non-syari (at-tarif ghayr asy-syari) (Zallum, 1985:51).
Definisi syari merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash
Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang
definisi non-syari merupakan definisi yang tidak digunakan dalam
nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam
disiplin
ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi
isim, fiil, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya
misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`),
dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda
sarana kehidupan), dan sebagainya Jika definisinya berupa definisi
non-syari, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (alwaqi),
bukan dari nash-nash syara. Baik ia realitas empirik yang dapat
diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau
faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi
syari, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara
Al-Qur`an dan AsSunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab,
menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, definisi syari sesungguhnya
adalah hukum syari, yang wajib diistimbath dari nash-nash syari
(AySyakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Malumat li
Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syari, misalnya
definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk
pada nash-nash syari yang berkaitan dengannya. Apakah definisi
Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syari? Jawabannya, ya.
Sebab nashnash syari, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah
menggunakan lafazh-lafazh khalifah dan imam yang masih satu akar
kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, Jika
dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya. (Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam
Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam
Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah
mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15).
Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita
memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan
Khilafah. Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya
nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat
dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu : Kelompok
Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Kelompok
Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1)
tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas
mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa
dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah Nash kelompok pertama,
misalnya nash hadits,Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah
[bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab
terhadap gembalaannya (rakyatnya). (Shahih Muslim, XII/213; Sunan
Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705,
IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan
(ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah
bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits
Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum
muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853).
Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin
seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk
seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh
empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Asy-Syafii, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-
Arbaah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul
Ummah fi Ikhtilaf AlA`immah, hal. 208). Nash kelompok kedua, adalah
nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih
rinci terdiri dari dua tugas berikut : Pertama, tugas khalifah
menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini
nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk
mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS
Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat
(QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS AlBaqarah:179), menjaga
akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan
syiarsyiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32),
dan seterusnya. Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke
seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam
banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan
pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal
batas negara (QS AlAnfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai
negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri,
misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian
gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS
Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35). Berdasarkan dua kelompok nash
inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam
dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum
muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah
Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi
inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w.
1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah
(hal. 1), kitab Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan
kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau
juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih
maknanya sama saja menurut pengertian syari (al-madlul asy-syari).
Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin
di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian
memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi,
menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada
saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan
datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh,
tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla. wassalam Muhammad Sidik
AljawFariz Kata Ibadah sebenarnya dari kata ibadah dan ubudiyat
(pengabdian). Begitu pula kata abdun terkandung di dalamnya yang
artinya adalah ghulam (hamba). Abdun artinya adalah dia yang segala
sesuatu bukan lagi menjadi miliknya. Dalam pengertian inilah di
dalam Alquran kata abdun digunakan untuk manusia. Dan dikarenakan
ia adalah hamba maka gambaran keadaannya adalah, jangan mengambil
apa-apa di rumah, yakni dalam proses pembentukan dirinya ia tidak
ada peran dan tidak pula untuk kelanggengannya ia mempunyai campur
tangan dalam upayanya. Semuanya semata-mata karena ihsan Allah
taala atas manusia dan semata-mata hasil ciptaan-Nya sajalah maka
manusia dianugerahi bentuk sebagai wujud cuptaan sehingga
terlahirlah ia sebagai hamba-Nya) Ingatlah, bahwa ia tidak
mempunyai apa-apa yang menjadi milik dirinya, sebab difinisi dari
abdun ialah yang tidak memiliki apa-apa, setelah itu diberikan
kepemilikan sementara kepadanya. Kemudian kepadanya dituntut untuk
meninggalkan miliknya tersebut dengan senang hati, itulah arti
ibadah. Ada pun maksud yang mulia dari ibadah tiada lain adalah
hendaknya kepada manusia diajarkan bahwa ia datang di dunia ini
dengan tangan kosong, kemudian tangannya jadi terisi banyak, ia
memperoleh banyak barang-barang, ia menjadi banyak hubungan ikatan
dengan macam-macam barang. Namun sekarang dia melakukan pemutusan
hubungan dengan benda-benda duniwi tersebut bukan dengan paksaan
atau dengan perantaraan maut, melainkan ia dengan sendirinya
mendatangkan maut atas dirinya lalu ia mempersembahkannya kepada
Allah taala. Walaupun itu tidak seluruhnya, sebagian pun sudah
mencukupi. Kalaupun tidak untuk masa yang panjang, ambillah
untuk sementara waktu saja, sehingga iradah (keinginan) kita
bergabung serta menyatu dalam pengabdian kita. Itulah yang
dinamakan ibadah. Jadi itulah perbedaan ibadah dengan ubudiyat. Di
dalam ubudiyat seberapa jauh sikap dan persembahan dari si hamba
semuanya itu tercakup dalam kata itu, sedangkan ibadah seorang
hamba tuhan adalah perhubungan yang melepaskan segala yang menjadi
miliknya dan semua itu diserahkn kepada Allah taala dengan dada
yang lapang. Jalinlah perhubungan dengannya itu menjadi sangat
khusus, hubungannya dengan dunia sudah terputus dan menjadi dingin,
segalanya sudah diserahkan kembali kepada Allah taala dan Dia
dijadikan sebagai pusat segala dambaan.
http://d3ndri.wordpress.com/2010/06/12/manusia-basyar-insan-dan-al-nas/
1. Basyar Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya
berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata
yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai
basyar karena kulitnya nampak jelas, dan berbeda dengan kulit
makhluk yang lain. Dengan demikian istilah basyar merupakan
gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, memakan sesuatu,
berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia
dalam pengertian ini disebutkan di dalam al-Quran sebanyak 35 kali
dalam berbagai surat. Diantaranya terdapat dalam surat al-Abiya:
2-3, alkahfi: 110, Ibrahim: 10, hud: 26, al-Mukminun: 24 dan 33,
as-Syuara: 93, yasin: 15, Al-Isra: 93 dan lain-lain. Dalam
ayat-ayat tersebut terlihat bahwa manusia dalam arti basyar adalah
manusia dengan sifat-sifat kematerianya. 2. An-Nas Dalam al-Quran
manusia dalam pengertian an-nas disebutkan sebanyak 240 kali dengan
keterangan yang jelas menunjukan pada jenis keturunan Nabi Adam as.
Diantaranya terdapat dalam surat al-hujurat: 13, 3. Al-Ins/al-Insan
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak lawan
dari binatang liar, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika
ditinjau dari sudut pandang alQuran lebih tepat dari yang
berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau
nasa-yanusu (berguncang). Kitab suci al-Quran seperti yang ditulis
Bint as-Syathi dalam al-quran wa Qadhaya al-Insan sering kali
memperhadapkan insane dengan jin/jan. jin adalah makhluk halus yang
tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi
ramah. Kata insan, digunakan al-quran untuk menunjuk kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda
antara satu dengan yang lainya akibat perbedaan fisik, mental,
intelektual dan juga spiritual. 4. Duriyat Adam/Bani Adam
Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam,
yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang
disampaikanya dalam konteks ini hanya (1) bahan awal manusia adalah
tanah, (2) bahan tersebut adalah disempurnakan, (3) setelah proses
penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh ilahi [QS
Al-Hijr, 15: 28-29; Shad, 38: 71-72]. Ketika berbicara tentang
penciptaan manusia pertama, Al-Quran menunjuk kepada sang pencipta
dengan menggunkan pengganti nama berbentuk tunggal:
)71:) ( ) (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. (QS Shad, 38:
71) )75 :)
()
Allah berfirman: Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud
kepada yang Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang
(lebih) tinggi?. (QS Shad, 38: 75).
Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum,
Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunkan bentuk jamak. Hal ini
dapat dilihat dalam QS at-Tin: 4.
)4:) ( ) Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya .(QS. AtTin: 4).
Hal ini untuk menunjukan perbedaan proses kejadian manusia
secara umum dan kejadian Adam AS. Penciptaan manusia secara umum,
melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu bapak
dan ibu. Keterlibatan bapak dan ibu mempunyai pengaruh menyangkut
bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan Adam,
tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.
Jadilah orang pertama yang menyukai tulisan ini Apakah anda
menyukai tulisan ini
?http://ummgl.blogdetik.com/2010/05/06/4-istilah-tentang-manusia-dalam-al-quran/
Sabtu, 10 April 2010Konsep manusia sebagai basyar, insan, abdun
dan khalifah Dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk
menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata
Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur'an dipakai untuk manusia yang
tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai kata
an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk
tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa,
nasiya dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk
suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya
kesadaran penalaran [Musa Asy'arie, 1992 : 22]. Kata insan
digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang
dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan
kecerdasan [M.Quraish Shihab, 1996 : 280]. Kata insan jika dilihat
dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan
dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap
seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal
tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu
kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa,
karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal
ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu
kewajiban. Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia yang
terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan
harmonis, (Musa Asy'arie, 1996 : 20) karena manusia pada dasarnya
dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia
mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya,
baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata
aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia
tidak liar baik secara sosial maupun alamiah. Kata basyar dipakai
untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik
satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah
yang berarti kulit. "Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak
jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain". Al-Qur'an
menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan
sekali dalam bentuk mutsanna [dual] untuk menunjukkan manusia dari
sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Karena itu Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa
"Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu [QS.
al-Kahf (18): 110]. Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat
al-Qur'an yang menggunakan
kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia
sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan
kedewasaan. Firman allah [QS.al-Rum (3) : 20] "Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kamu dari tanah,
ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran di sini
bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran
mencari rezki [M.Quraish Shihab,1996 : 279]. Penggunaan kata basyar
di sini "dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang
menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itupula,
tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar [perhatikan QS al-Hijr
(15) : 28], yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah (2) :
30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung
pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia [M.Quraish
Shihab,1996 : 280]. Musa Asy'arie [1996 : 21], mengatakan bahwa
manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam,
pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang
dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai
pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada
kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya.
Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut
manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk
menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar
dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi
ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati. Dari
pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang
dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psihis yang memiliki
potensi untuk berkembang. AlQur'an berulangkali mengangkat derajat
manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia
dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para
malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikanNya sebagai
makhluk yang paling sempurna keadaannya dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain [Q.S.95 :4]. Allah sendirilah yang menciptakan
manusia yang proporsional [adil] susunannya [Q.S.82:7]. Abdurrahman
An-Nahlawi [1995], mengatakan manusia menurut pandangan Islam
meliputi : [1] Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya
Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau
tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya
[QS..al-Isro: 70 dan al-Hajj : 65]. [2] Manusia sebagai makhluk
istimewa dan terpili. Salah satu anugrah Allah yang diberikan
kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan
dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri
manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan
kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang
menjerumuskannya pada
kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya,
manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan meninggalkan
diri agar manusia terangkat dalam keutamaan [Q.S.as-Syam: 7-10].
[3] Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah
melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat
al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk
belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan
kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada
manusia dalan firman-Nya "afala ta'kilun", afala tata fakkarun",
dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang menunjukkan
manusia mempunyai potensi untuk belajar. Al-Qur'an menggambarkan
manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahNya di muka
bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di
dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas,
terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam
semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan
bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan
maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan
ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu
tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika
mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya [Rif'at Syauqi
Nawawi, 2000 : 11]. Selain itu, al-Qur'an juga menyebutkan
sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia
dinyatakan luar biasa keji dan bodoh. Qur'an mencela manusia
disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia
dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan
potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia
dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang
(al'aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami
tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan
bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang
diberikan Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti
dibandingkan dengan setan dan binatang buas sekalipun - derajat
manusia direndahkan Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 : "Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gununggunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatirkan menghianatinya, dan dipukullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh".
Selanjutnya dalam firman Allah : QS. at-Tiin (95) : 5-6 : "Kemudian
Kami [Allah] kembalikan dia [manusia] ke kondisi paling rendah",
kecuali mereka yang beriman kepada Allah dan beramal saleh". Selain
itu al-Qur'an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi
hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati
tanda-tanda kekuasaan Allah. Pernyataan ini ditegaskan dalam firman
Allah QS. al-A'raf : 179 sebagai berikut : "Sesungguhnya Kami
Jadikan untuk [isi neraka Jahanam] kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk
memahami [ayatayat Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak
dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga [tetapi] tidak dipergunakannya untuk
mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai". Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk
yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya
dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah,
menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh,
maka manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk
yang berkualitas di muka bumi ini seseuai dengan rekayasa
fitrahnya. A. Pendahuluan Manusia secara bahasa disebut juga insan
yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang
berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti
jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia
memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan
diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara
keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan
mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan
diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang
menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya
yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia
dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting
psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi
karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia
sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat
dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi
dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi
dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan
pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada
pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asyari, Filsafat Islam,
1999) Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran
adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia
adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini
oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai
animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia
mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia
menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai
tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah
hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.
Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia
merupakan mahluk alami, seperti binatang ia memerlukan alam untuk
hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang
asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan
kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens,
manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain.
Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan
manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah
satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens
(mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri
khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan
kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga
digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan
yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama
Filsafat Modern, 2005) Marx menunjukan perbedaan antara manusia
dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu
dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya
menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya
apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya,
sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan
fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari
kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang
berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia
berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang
inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum
keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas
I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung,
universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan
yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya
dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx
manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan
manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan
universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat
yang
mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya
manusia selalu
mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang
kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia
sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang
makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan
apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu?
Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur
keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak
pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final
dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun
dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk
yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan
yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal,
yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada
dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya
untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas,
keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk
berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan
dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia
membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan
disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan
berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga
sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo
Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002). Hakekat manusia
selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti
dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang
menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan
materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau
dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur
pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi
dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan
pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan
unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang
menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono
pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang
membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan
dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan
jalan hidup setelah kelahirannya dan
eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan
semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai
pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia
hadapi. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) B. Hakekat manusia
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban
hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan
terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan
kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi
tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak
Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum
Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan
immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar
pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang
dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan
immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis
harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini
dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia
yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati.
Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam
pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego
manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah
ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal
tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak
membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros
pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman
yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini
adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih
berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal
tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme
ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya
bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan
berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga
dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas
ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup
adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu
arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak
tidak sirna. Tujuan tersebut
tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir
dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal
Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001) Hakekat manusia harus
dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap
ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan
dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam
perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih
jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik
karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat
manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan
pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai adb dan
khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh
yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asyari,
Filsafat Islam, 1999) Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia
dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan
manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada.
Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia
dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus
mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam
kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan
dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia
dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui,
mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia
terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan
otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi
penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh
releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui
dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah
mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki
kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan
cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai
Alat Perlawanan, 2004) Manusia dalam konsep al Quran mengunakan
kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam
mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol.
Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya,
sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi
rumus; Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu.
Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (humain
masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih
makna simbolis. Lempung busuk merupakan simbol kerendahan stagnasi
dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa
henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas.
Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan
lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan
bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang
berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan
mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai
realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia
berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung
jawab. Manusia yang ideal menurut Ali Syariati adalah manusia yang
telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant
dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(Ali Syariati, Paradigma Kaum
Tertindas, 2001) Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi
salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang
merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat
sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan
eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang
memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam
hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia
esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang
menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi
bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam
diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi.
Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak
bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi.
Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat
esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada.
Seperti yang telah dikekmukakan oleh Ali Syariati bahwa esensi
manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari
dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses
mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan
realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh
socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk
dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami
diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami
tentang dirinya sendiri ma ia akan
memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta
menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam
diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri,
agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi
insan kamil atau manusia sempurna. Bagan Esensi dan Eksistensi
Manusia No Eksistensi Esensi KesadaranBasic HumanKebutuhan manusia
Fitrah (Basic HumanValues (BasicDasar (Basic Drives) Islamic Human
Needs) Values) 1 2 3 Al Insan Al Basyar Abdullah Rasa ingin tahu
Rasa lapar, haus, dingin Intelektual Biologis Intelektual Biologis
Spiritual
Sara ingin berterimakasihSpiritual dan bersykur kepada tuhan
Rasa tahan sendiri danSosial menderita dalam kesepian
4
An-Nas
Sosial
5
Khalifah filButuh keamanan,Estetika ardli ketertiban, kedamaian,
kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan Manusia yang
melakukan refleksi menyadari
Estetika
bahwa
ia
mahluk
yang
berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang
bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi
tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar,
abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut
dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti
intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari
manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk
bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu
menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki
sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh
manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya
dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya
sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang
lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan
ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam
memakmurkan bumi.
C. Kedudukan dan peran manusia Manusia sebagai mahluk yang
berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia.
Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan
kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang
memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al
insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah
memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai
khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus
bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan
esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di
semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki
kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai
ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi.
Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang
dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia
dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan
dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam
sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap
apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan
sesuai dengan maqasid asy-syariah. Maqasid asy-syariah merupakan
tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari
hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal
dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam
melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid
asy-syariah. D. Tujuan hidup manusiaPada hakikatnya tujuan manusia
dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan
Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air
hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana
dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali
kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri
maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur
mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi
yang membentuk jasad manusia.
Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang
spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan
akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang
dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali
bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs
manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan
nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang
sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang
bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui
keratifitasnya manusia menaiki tangga miraj memasuki cahayaNya yang
merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asyari, Filsafat Islam,
1999) Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi
spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari
sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat
dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam
perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al
Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi
dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan
Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga miraj menuju nafs
Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta
manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan
Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu
terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami
cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama
manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan
manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai
cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia
menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat
menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
http://simplelove01diaz.blogspot.com/2010/04/konsep-manusia-sebagai-basyarinsan.html