41 BAB III MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJE Pada bab tiga ini berisi tentang hasil data penelitian terhadap Mangantar dalam masyarakat Suku Lauje yang meliputi asal-usul dan pemaknaan Mangantar dan deskripsi pelaksanaan proses Mangantar sebagai konseling prapernikahan. 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tolitoli Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Tolitoli sebelumnya bernama Kabupaten Buol Tolitoli, Pada tahun 2000 berdasarkan Undang-undang No.51 Tahun 1999 kemudian Kabupaten Tolitoli dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tolitoli sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Buol sebagai kabupaten hasil pemekaran. Menurut legenda, kata Tolitoli berasa dari kata Totolu, yang artinya “tiga”. Bila kita melihat peta pulau Sulawesi, maka daerah kabupaten Tolitoli tampak memanjang dari timur ke barat. Letaknya di sebelah utara garis katulistiwa, dalam koordinat 0.20 0 - 1 0 20’ lintang utara dan 120 0 -122 0 20’ bujur timur serta memiliki luas wilayah 4.079,6 km 2 , terdiri dari 73 esa, 5 kelurahan dan 10 kecamatan serta mempunyai batas-batas sebagai berikut : sebelah utara dengan Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Kabupaten Buol, sebelah selatan dengan Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong dan sebelah barat dengan selat Makassar yang memisahkan Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Iklim Kabupaten Tolitoli dipengaruhi oleh dua musim secara tetap, yaitu musim barat yang basah dan musim utara yang kering. Angin barat bertiup antara bulan Oktober sampai bulan Maret dan pada periode ini Kabupaten
18
Embed
MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJErepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16440/3/T2_752016028_BAB...barat bertiup antara bulan Oktober sampai ... Angin utara bertiup antara bulan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
41
BAB III
MANGANTAR DALAM MASYARAKAT SUKU LAUJE
Pada bab tiga ini berisi tentang hasil data penelitian terhadap Mangantar dalam
masyarakat Suku Lauje yang meliputi asal-usul dan pemaknaan Mangantar dan deskripsi
pelaksanaan proses Mangantar sebagai konseling prapernikahan.
3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tolitoli
Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi
Tengah. Kabupaten Tolitoli sebelumnya bernama Kabupaten Buol Tolitoli, Pada tahun 2000
berdasarkan Undang-undang No.51 Tahun 1999 kemudian Kabupaten Tolitoli dimekarkan
menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tolitoli sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Buol
sebagai kabupaten hasil pemekaran.
Menurut legenda, kata Tolitoli berasa dari kata Totolu, yang artinya “tiga”. Bila kita
melihat peta pulau Sulawesi, maka daerah kabupaten Tolitoli tampak memanjang dari timur ke
barat. Letaknya di sebelah utara garis katulistiwa, dalam koordinat 0.200- 1
020’ lintang utara dan
1200-122
020’ bujur timur serta memiliki luas wilayah 4.079,6 km
2, terdiri dari 73 esa, 5
kelurahan dan 10 kecamatan serta mempunyai batas-batas sebagai berikut : sebelah utara dengan
Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Kabupaten Buol, sebelah selatan dengan Kabupaten
Donggala dan Parigi Moutong dan sebelah barat dengan selat Makassar yang memisahkan
Pulau Sulawesi dengan Pulau Kalimantan. Iklim Kabupaten Tolitoli dipengaruhi oleh dua
musim secara tetap, yaitu musim barat yang basah dan musim utara yang kering. Angin
barat bertiup antara bulan Oktober sampai bulan Maret dan pada periode ini Kabupaten
42
Tolitoli ditandai dengan musim penghujan. Angin utara bertiup antara bulan April sampai bulan
September, yang pada periode ini di Kabupaten Tolitoli terjadi musim kemarau.1
Gambar (1) Peta Kabupaten Tolitoli
Sumber : Internet
Penduduk yang mendiami kabupaten Tolitoli terdiri dari berbagai suku yaitu, penduduk
asli: suku Tolitoli, suku Dampal, suku Lauje dan suku Dondo. Suku pendatang : suku Bugis,
suku Minahasa, suku Sangir, suku Kaili, suku Gorontalo, suku Poso, suku Toraja, suku Bali,
Cina dan Arab.2 Masing-masing suku memiliki ciri khas budaya mereka sendiri, misalnya
bahasa, tarian, alat musik, pakaian, dll.
3.2 Gambaran Umum Suku Lauje
Lauje adalah sebuah kata yang tidak asing lagi bagi masyarakat di Kabupaten Tolitoli dan
Kabupaten Parigi Moutong. Kata Lauje diartikan “tidak ada.” Lauje digambarkan sebagai sebuah
suku yang masih primitif dan tinggal di hutan pada masa itu dengan cara hidup bergerombol,
memiliki pemahaman animisme dan sangat sulit ditemui oleh orang yang bukan sesama suku
Lauje. Suku Lauje memiliki populasi terbanyak di Kabupaten Parigi Moutong. Populasi ini
tersebar dibeberapa desa yang ada di Palasa, antara lain: Koja, Banbasiang dan Tongko’u. Ada
1 Catalog: Kabupaten Tolitoli Dalam Angka 2017, (Tolitoli: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli, 2017), 5-7. 2 A.J.Diamanti, Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 74.
43
juga yang tinggal di bagian Tomini, antara lain: Pogolimpangatang, Punsung E’yang dan Silipoi.
Pusat pemukiman terbesar bagi suku Lauje adalah Labani, Osom dan Afu-afu, yang ditempuh
melewati 8 anak sungai dan sebuah danau dari lembah Palasa (Pantai Timur) untuk bisa
mencapai daerah tersebut. Untuk mencapai perbatasan antara Parigi Mountong (Pantai Barat)
dan Tolitoli/Dondo (Pantai Timur) harus melalui tanjakan yang tinggi demi mencapai sebuah
puncak gunung yang disebut “Balansatu’u”3
Awal abad 20, orang Lauje memutuskan untuk menetap di wilayah Dondo Kabupaten
Tolitoli. Mereka tinggal di sekitar pegunungan Balansatu’u, Sinungkud, Punsung Pado dan
Punsung Dondo. Perpindahan ini diakibatkan karena kurangnya lahan pertanian yang ada di
tempat asal mereka, sehingga mereka mulai mencari lahan yang baru untuk dijadikan tempat
mereka bekerja untuk masa depan. Mereka menetap dan mulai menanam tanaman seperti jagung,
sayur-sayuran, kacang-kacangan, padi, dan ubi.
Pekerjaan itu dilakukan dengan cara berpindah-pindah tempat, karena bila sudah ada
hasil panen, mereka harus membuka lahan yang baru lagi untuk kembali menanam. Sebagai
wujud dari rasa syukur mereka atas hasil panen yang mereka dapatkan, dilakukanlah upacara
adat yang disebut “Manalasa”. Selain itu ada juga adat-adat lain yang dilakukan dalam
masyarakat suku Lauje, antara lain: buka hutan (Momongi), mulai menanam (Momula), melamar
(Mangantar), menikah (Mokabing), potong gigi (Mogasa), naik ayunan (Molongkung) dan
semua adat dilakukan secara gotong royong (Medunduluan).4
Masyarakat suku Lauje tinggal di dua wilayah kecamatan yang meliputi beberapa desa,
yaitu: Desa Malala, Desa Anggasan, Desa Ogowele, Desa Luok Manipi (Kec. Dondo), dan Desa
3 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje), Kinapasan 15 Agustus 2017. 4 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)
44
Bangkir (Kec. Dampal Selatan). Dari beberapa desa inilah terdiri dusun antara lain Ta’udan (Km
7), Jongin, Bambanong dan Kinapasan. Jumlah masyarakat suku Lauje secara keseluruhan
hampir mencapai 2.000 lebih jiwa dan 1.000 keluarga.
Dalam penelitian ini saya berfokus pada masyarakat suku Lauje yang ada di dusun
Kinapasan yang memiliki jarak tempuh dari kota Tolitoli ke dusun Kinapasan kira-kira 117 Km
dengan memakai kendaraan roda dua maupun roda empat dengan waktu yang ditempuh dua jam
perjalanan. Penduduk di dusun Kinapasan berjumlah 391 jiwa dengan 110 KK. Masyarakat suku
Lauje di hampir semua tempat menjalani kehidupan dengan bertani dan mengelola hasil hutan
yaitu rotan, damar, kayu gaharu,dll. Sebagian masyarakat suku Lauje yang ada di dusun
Kinapasan masih tinggal di gunung yang mereka sering sebut dengan wilayah kolom 2 atau
Wuyule.
Proses migrasi suku Lauje dari kabupaten Parigi Moutong ke kabupaten Tolitoli di abad
20 sekitar tahun 1920-1930 membawa dampak tersendiri pada tatanan kehidupan selanjutnya.
Daerah dengan lahan yang baru membuat suku ini betah untuk tinggal di lokasi itu. Hutan
dibabat, tanah diolah secara tradisional, hidup dengan keterbatasan, diatur secara adat oleh
kepala adat/tomogulang dengan batasan-batasan hukum adat yang berlaku serta tidak dicemarkan
oleh hukum adat manapun. Masyarakat suku Lauje masih hidup secara primitive serta tinggal di
hutan dengan mengandalkan alam semesta yang memberikan jaminan demi kelangsungan
kehidupan. Pekerjaan berburu binatang hutan (Mo Gubas/Mo Ngongko) dan mencari pohon enau
atau rumbia demi mendapatkan sagu (Mo Nya’ul) sebagai teman lauk dari hasil buru serta
membuat rumah/tempat tinggal dari kayu bulat berdiameter 12 dengan panjang 6 meter.
45
Rumah tersebut dibangun dengan cara ditancapkan ke tanah, diikat dengan rotan serta
beratapkan daun rotan, lantai dan dinding dari kulit kayu. Rumah tersebut tidak ada sekat yang
memisahkan seperti rumah-rumah modern sekarang ini, serta mereka masih hidup dengan adat
budaya yang tidak pernah tergantikan. Hidup dengan pola lama selama sekian waktu dan tiba-
tiba muncul pola hidup baru membuat mereka merasa sangat asing. Pola hidup baru mereka
kenal dengan istilah “Mesusuyang Kai siopu” yang artinya berdoa kepada Tuhan. Selama ini
masyarakat suku Lauje percaya dan menyembah kepada para leluhur-leluhur yang mereka yakini
sebagai pemberi hidup dan yang menjaga mereka. Namun, seiring berjalannya waktu agama
Kristen mulai masuk dan hampir sebagian masyarakat suku Lauje sudah memeluk agama
Kristen, tetapi tidak meninggalkan sepenuhnya agama suku mereka.5
Dalam masyarakat suku Lauje ada istilah “Medunduluan” yang artinya gotong royong.
“Medunduluan” ini terlihat pada kegiatan-kegiatan masyarakat seperti menanam padi, kerja di
kebun, panen jagung, dll. “Medunduluan” dilakukan tidak hanya oleh laki-laki, tetapi perempuan
pun terlibat. Dalam pelaksanaan adat Mangantar masyarakat mempersiapkan dengan
“Medunduluan’ atau bergotong royong. Atas dasar itulah, maka menurut penulis, Medunduluan
bisa dijadikan landasan filosofis.
3.3. Asal-Usul dan Pemaknaan Mangantar
Dalam masyarakat suku Lauje dikenal dengan beberapa adat, salah satunya adalah
Mangantar/ maso minta, yang artinya melamar/mengikat. Mangantar dipahami oleh masyarakat
suku Lauje sebagai pengikat untuk mengikat pasangan yang saling mencintai dan nantinya akan
berlanjut sampai kepada proses pernikahan. Sebelum Mangantar dilakukan, ada tahap yang
harus dilewati yaitu peminangan (Mo nyabi) dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan
5 Wawancara dengan Bpk. Thei Najadi (Kepala Suku Lauje)
46
dengan membawa sebungkus gula putih dan sebungkus kopi kepada pihak perempuan.
Sebungkus gula dan ini merupakan simbol dari pinangan dan ketika menyerahkannya ada
kalimat yang diucapkan “wiame arancana mae mongantar’e onjo labia nopeteuea’e ono gula
manu kopi” yang artinya saya datang ke tempat ini membawa gula dan kopi ada rencana untuk
melamar anak perempuan bapak dan ibu.
Dari penyerahan sebungkus gula dan kopi ada harapan dari pihak laki-laki agar pihak
perempuan bisa menerima pinangan tersebut. Pihak laki-laki harus bersabar karena butuh waktu
tiga hari untuk pihak perempuan menjawab pinangan. Apabila gula dan kopi tidak dikembalikan,
itu artinya pinangan diterima, tetapi jika gula dan kopi dikembalikan, artinya pinangan ditolak.
Mengapa gula dan kopi ? Karena menurut masyarakat suku Lauje gula dan kopi dianggap
sebagai sesuatu yang penting di dalam rumah tangga. Ibaratnya, ketika ada orang yang bertamu
di rumah mereka, maka harus diberikan kopi untuk diminum bersama. Ada juga yang
menganggap bahwa ketika kita menginap disalah satu keluarga, kita pun harus membawa gula
dan kopi untuk dinikmati bersama dengan keluarga. Jadi bisa dikatakan bahwa gula dan kopi
sebagai pengantar dalam sebuah rencana. Bila pinangan diterima, maka secara langsung
perempuan tersebut sudah menjadi milik dari laki-laki yang meminangnya dan keduanya harus
menjaga hubungan mereka dengan setia sampai pada proses pernikahan.
Dalam proses Mangantar ada barang-barang hantaran yang dibawa oleh pihak laki-laki.
barang-barang tersebut terdiri dari, (Sangil), sarung (Naus), anting-anting (Nganganti), kalung