MANAGEMENT BANK SYARIAH (MANAGEMENT RESIKO BANK SYARIAH) OLEH: 1. William Tanumihardja (2013 220 096) SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA KAYU TANGI BANJARMASIN
MANAGEMENT BANK SYARIAH(MANAGEMENT RESIKO BANK SYARIAH)
OLEH:
1. William Tanumihardja (2013 220096)
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMIINDONESIA
KAYU TANGI BANJARMASIN
JURUSAN MANAGEMENT
BAB IPENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan bank syariah baik di Indonesia
maupun Internasional telah memberikan alternatif baru
bagi konsumen pengguna jasa perbankan untuk menikmati
produk-produk perbankan dengan metode nonbunga dan
kepercayaan masyarakat sebagai konsumen terhadap
perbankan syariah semakin tinggi. Saat ini, layanan
perbankan syariah telah tersebar di seluruh penjuru dunia
dalam berbagai bentuk lembaga keuangan, bahkan di
Indonesia sejak 1992 sampai saat ini telah tumbuh dan
berdiri berbagai lembaga keuangan syariah khususnya
perbankan seperti Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri,
BNI Syariah, BRI Syariah, Bank Mega Syariah dan lain
sebagainya.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21
Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal
16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan
syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang
memadai dan akan mendorong pertumbuhannya lebih cepat
lagi. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah nasabah dan
melonjaknya aset perbankan syariah secara keseluruhan.
Sejak dikembangkannya sistem perbankan syariah di Tanah
Air, 19 tahun lalu, total aset industri perbankan syariah
telah meningkat 39,7 kali lipat dari Rp 1,79 triliun per
Mei 2010. Laju pertumbuhan aset secara impresif berkisar
46 persen per tahun sesuai laporan yang diumumkan Islamic
Bank (IB) melalui Bnak Indonesia.
Perkembangan yang begitu pesat telah membuktikan
kepada kita betapa hebat dan pentingnya perbankan syariah
dalam perekonomian kita karena dari sejarahnya bank
syariah mampu melewati masa-masa krisis perekonomian yang
dialami negara kita, keberadaannya telah memberikan
alternatif investasi lain tanpa harus memikirkan resiko
perkembangan balas jasa dengan metode bunga yang tidak
pasti. Akan tetapi dalam pelaksanaanya perbankan syariah
membutuhkan perlakuan khusus karena praktek penerapannya
berbeda dengan bank konvensional yang telah kita kenal
selama ini, terutama dalam hal menangani resiko dan
tantangan yang dihadapi oleh bank syariah.
Perkembangan pasar perbankan syariah ini bekaitan
erat dengan penanganan resiko yang ditangani oleh bank
agar roda fungsi bank sebagai penghimpun dan penyalur
dana berjalan dengan stabil. Untuk itu lah dalam industri
perbankan khususnya syariah perlu memiliki, menerapkan
dan mengontrol resiko yang tidak diharapkan dan untuk
mengambil manfaat dari peluang bisnis yang tercipta
sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Bank Konvensional.
Pihak manajemen perlu menciptakan lingkungan manajemen
resiko dan mengidentifikasi tujuan dan strategi lembaga
secara jelas, serta dengan membentuk sistem yang dapat
mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengelola
berbagai eksposur resiko, bank syariah juga perlu
membentuk sistem kontrol yang handal oleh karena
karakteristik produk dan pelaksanaannya yang unik dan
berbeda dari yang biasanya dilakukan bank konvensional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Bank Syariah
Kasmir (2008:187) mengatakan bahwa jenis bank jika
dilihat dari cara menetukan harga terbagi menjadi dua
macam, yaitu bank yang berdasarkan prinsip konvensional
dan bank yang berdasarkan prinsip syariah. Hal utama yang
menjadi perbedaan antara kedua jenis bank ini adalah
dalam hal penentuan harga, baik untuk harga jual maupun
harga beli. Dalam bank konvensional penentuan harga
selalu didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank
syariah didasarkan kepada konsep islam, yaitu kerja sama
dalam skema bagi hasil, baik untung maupun rugi.
Sejarah awal mula kegiatan Bank Syariah yang pertama
sekali dilakukan adalah di Pakistan dan Malaysia pada
sekitar tahun 1940-an. Kemudian di Mesir pada tahun 1963
berdiri Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr Bank. Bank
ini beroperasi di pedesaan Mesir dan masih berskala
kecil, lalu berkembang menjadi institusi keuangan
terbesar di Pakistan dan menjadi pelopor bagi negara-
nagara yang berpenduduk mayoritas islam.
Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia
sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an
lalu pada tahun 1991 lahir lah Bank Muamalat atas hasil
kerja sama tim perbankan MUI. Pendirian Bank Muamalat ini
diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPR).
Namun demikian, keberadaan dua lembaga keuangan tersebut
belum sanggup menjangkau masyarakat lapisan bawah. Oleh
karena itu, dibentuklah lembaga-lembaga simpan-pinjam
yang disebut baitul maal wattamwil (BMT). Setelah dua tahun
beroperasi, Bank Muamalat mensponsori berdirinya asuransi
islam, Syarikat Takaful Inonesia (STI) dan menjadi salah
satu pemwgang sahamnya.
Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong
cukup cepat. Salah satu alasannya adalah karena adanya
keyakinan yang kuat dikalangan masyarakat muslim bahwa
perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang
dilarang agama islam. Dengan didukung oleh UU No.10 Tahun
1998 sebagai pengganti UU No.7 Tahun 1992 memberikan
peluang yang lebih besar lagi bagi pengembangan perbankan
syariah karena didalamnya disebutkan tujuan
dikembangkannya syariah adalah :
o Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang
tidak menerima konsep bunga. Dengan diterapkannya sistem
perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem
perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat
dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang
selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan
konvensional yang menerapkan sistem bunga.
o Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha
berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep
yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis
(mutual investor relationship). Sementara, dalam bank
konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan
debitur dan kreditur (debitor to creditor relationship).
o Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang
memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan
pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpectual interest
effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif
(unproduction speculation), pembiayaan ditujukan kepada usaha-
usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.
B. Pengertian Resiko
Resiko dalam berbagai bentuk dan sumbernya merupakan
komponen yang tak terpisahkan dari setiap aktivitas. Hal
ini dikarenakan masa depan merupakan sesuatu yang sangat
sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun didunia ini yang
tahu dengan pasti apa yang akan terjadi dimasa depan,
bahkan mungkin satu detik kedelapan. Selalu ada elemen
ketidakpastian yang menimbulkan resiko (Dradjad H.
Wibowo, dalam Masud Ali:2006,19).
Ada dua istilah yang sering dicampur adukan yaitu
ketidakpastian dan resiko. Sebagian orang menganggapnya
sama. Sebagian lagi menganggapnya berbeda. Disini yang
membedakan kedua istilah tersebut karena pengelolaanyya
berbeda. Ketidakpastian mengacu pada pengertian resiko
yang tidak diperkirakan (unexpected risk) (Djohanputro:2006).
Menurut kamus ekonomi, resiko adalah kemungkinan
mengalami kerugian atau kegagalan karena tindakan atau
peristiwa tertentu. Sedangkan menurut Herman Darmawan
(2006:1) resiko senantiasa ada karena mengenanya
kemungkinan akan terjadi akibat buruk atau akibat yang
merugi, seperti kemungkinan kehilangan, cidera,
kebakaran, dan lain sebagainya.
Resiko menurut Wikipedia Indonesia adalah bahaya
yang dapat terjadi akibat dari sebuah proses yang sedang
berlangsung atau kejadian yang akan datang. Dalam bidang
asuransi, resiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan
ketidakpastian, dimana jika terjadi suatu keadaan yang
tidak dikehendaki dapat menimbulkan kerugian.
Resiko dalam konteks perbankan menurut Adiwarman A.
Karim (2004:255)merupakan suatu kejadian potensial, baik
yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak
dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif
terhadap pendapatan dan permodalan bank. Sedangkan Eddie
Cade menyatakan bahwa definisi resiko berbeda-beda
tergantung pada tujuannya.
Defenisi resiko yang tepat dilihat dari sudut
pandang Bank adalah exposure terhadap ketidakpastian
pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan bahwa resiko
adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Resiko bank adalah keterbukaan
terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss)
(Erdatna:2008). Dalam konteks perbankan resiko merupakan
potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat
menimbulkan kerugian bank.
C. Manajemen Resiko Perbankan
Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan
situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang
mengalami perkembangan pesat, perbankan pada umumnya dan
perbankan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan
dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas
yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.
Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi
dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu
perbankan, dan bank syariah khusus dapat membentuk satuan
tim yang mampu mengeloladan merupakan cakupan dari
manajemen resiko itu sendiri, yaitu :
- Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi
- Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit
- Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan
dan pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen
resiko
- Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor
11/25/PBI/2009 tantang perubahan atas PBI No.5/8/2003
tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum
“Manajemen Resiko adalah serangkaian metodologi dan
prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan resiko yang timbul dari
seluruh kegiatan usaha bank.
-TujuanManajemenRisiko
1.Menyediakaninformasitentangrisikokepadapihakregulator.
2.Memastikanbank tidak mengalamikerugianyang bersifatunacceptable.
3.Meminimalisasikerugiandariberbagairisikoyang bersifatuncotrolled.
4.Mengukureksposurdanpemusatanrisiko.
5.Mengalokasikanmodal danmembatasirisiko.
Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi,
pengukuran, pemantauan, dan pengendalian resiko
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Identifikasi resiko dilaksanakan dengan melakukan
analisis terhadap :
a. Karakteristik resiko yang melekat pada aktifitas
fungsional
b. Resiko dari produk dan kegiatan usaha
2. Pengukuran resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a. Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi,
sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur
resiko.
b. Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran resiko
apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk,
transaksi, dan faktor resiko yang bersifat material.
3. Pemantauan resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a. Evaluasi terhadap eksposure resiko
b. Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat
perubahan kegiatan usaha, produk transaksi, faktor
resiko, teknologi informasi dan sistem informasi
manajemen resiko yang bersifat material.
4. Pelaksanaan pengendalian resiko, digunakan untuk
mengelola resiko-resiko tertentu yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha bank.
Resiko dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara,
diantaranya resiko dibedakan menjadi resiko bisnis dan
resiko finansial. Resiko bisnis muncul secara alami dari
aktivitas bisnis yang dijalankan yang berhubungan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi pasaran produk. Sedangkan
resiko finansial muncul dari kemungkinan kerugian dalam
pasar keuangan, biasanya perubahan pada variabel-variabel
keuangan, biasanya berhubungan dengan leverage dan risiko
dimana kewajiban dan liabilitas tidak bisa dipertemukan
dengan aset lancar.
BAB III
PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO
BANK SYARIAH
Lembaga Keuangan Syariah yang dibentuk sejak tiga
dekade terakhir sebagai alternatif bagi lembaga keuangan
konvensional, terutama ditujukan untuk menawarkan
kesempatan investasi, pembiayaan, dan perniagaan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah khususnya
perbankan. Dalam usianya yang masih sangat belia,
pertumbuhan industri perbankan ini sangat membanggakan.
Salah satu fungsi dasarnya adalah untuk mengelola resiko
yang muncul dalam transaksi keuangan secara efektif.
Menurut PBI No.11/25/2009 tentang penerapan
manajemen resiko bagi bank umum bahwa :
Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen
Resiko untuk seluruh resiko sebagaimana yang dimaksud
Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Resiko
paling kurang untuk 4 (empat) jenis resiko sebagaiman
dimaksud
Adapun penerapan manajemen resiko yang dimaksud
menurut PBI diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Resiko Kredit adalah resiko akibat kegagalan debitur
dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban pada bank.
2. Resiko Pasar adalah resiko pada posisi neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif,
akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar,
termasuk resiko perubahan harga option.
3. Resiko Likuiditas adalah resiko akibat ketidakmampuan
bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari
sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid
berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa
mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
4. Resiko Operasional adalah resiko akibat ketidakcukupan
dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan
manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-
kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5. Resiko Kepatuhan adalah resiko akibat bank tidak
mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-
undangan dan ketentuan yang berlaku.
6. Resiko Hukum adalah resiko akibat tuntutan hukum
dan/atau kelemahan aspek yuridis.
7. Resiko Reputasi adalah resiko akibat menurunnya
tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi
negatif terhadap bank.
8. Resiko Stratejik adalah resiko akibat ketidaktepatan
dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan
stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan bisnis.
Menurut Tariqullah Khan dan Habib Ahmed (2008:20-
30), proses penerapan manajemen resiko bank syariah
terdiri dari :
a. Manajemen Resiko Kredit
Dewan direksi harus menguraikan keseluruhan strategi
manajemen resiko kredit dengan menunjukan kemauan bank
untuk menyalurkan pembiayaan di berbagai sektor usaha,
lokasi geografis, jangka waktu, dan tingkat
profitabilitas tertentu. Sejalan dengan hal tersebut,
juga harus memahami tujuan dari kualitas kredit,
pendapatan, pertumbuhan, dan hubungan timbal balik antara
resiko dengan tingkat return dari aktivitas yang
dijalankan. Dan yang terpenting, strategi manajemen
resiko kredit tersebut harus dikomunikasikan pada seluruh
bagian perusahaan.
Senior manajemen bank bertanggung jawab untuk
melaksanakan strategi manajemen resiko kredit yang telah
ditetapkan oleh dewan direksi, yaitu dengan mengembangkan
prosedur-prosedur tertulis yang merefleksikan keseluruhan
strategi serta meyakinkan pelaksanaannya. Prosedur yang
dibuat harus memuat kebijakan-kebijakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol
resiko kredit. Perhatian juga perlu diberikan kepada
aspek diversifikasi portofolio dengan menetapkan batas
minimum pemberian kredit pada satu nasabah, grup usaha
dari nasabah terkait, industri, sektor ekonomi, suatu
kawasan, dan produk-produk individu. Bank dapat
menggunakan pengujian (stress testing) dalam menetapkan limit
dan monitoring dengan mempertimbangkan siklus usaha, suku
bunga yang berlaku dan perubahan-perubahan yang terjadi
di pasar. Bagi bank yang menyalurkan kredit berskala
internasional, juga perlu menilai risiko negara (country
risk) di mana ia berhubungan.
Bank harus memiliki sistem untuk pengadministrasian
berbagai jenis risiko kredit dalam portofolio.
Administrasi kredit yang tepat oleh bank setidaknya harus
mencakup operasional yang efektif dan efisien dalam
rangka dokumentasi proses monitoring, ketentuan-ketentuan
dalam kontrak, ketentuan legalitas, jaminan, dan lain-
lain, membuat laporan kepada manajemen secara akurat dan
berkala, mematuhi kebijakan dan prosedur manajemen, serta
aturan dan regulasi yang berlaku.
b. Manajemen Resiko Suku Bunga
Dewan direksi harus menetapkan keseluruhan tujuan,
strategi, dan kebijakan yang mengatur risiko suku bunga
bank. Di samping menetapkan risiko suku bunga, dewan
dir3eksi juga harus memastikan bahwa pihak manajemen
telah mengambil langkah-langkah yang tepat untuk,
mengukur, memonitor, dan mengontrol risiko-risiko ini.
Dewan direksi harus diberikan informasi secara periodik
dan mereview status risiko suku bunga bank ini melalui
laporan.
Senior manajemen harus memastikan bahwa bank telah
mematuhi kebijakan dan prosedur yang memungkinkan risiko
suku bunga dapat dikelola. Kebijakan dan prosedur ini
meliputi pemeliharaan proses review manajemen risiko suku
bunga, limit risiko yang tepat, sistem pengukuran risiko
yang memadai, sistem pelaporan risiko suku bunga yang
komprehensif, dan kontrol internal yang efektif. Bank
harus menetapkan siapa saja individu atau komite yang
harus bertanggung jawab terhadap manajemen risiko suku
bunga dan mendefenisikan garis wewenang dan tanggung
jawab masing-masing.
Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang
terdefenisi dengan jelas untuk membatasi dan mengontrol
risiko suku bunga, yaitu dengan menjelaskan tanggung
jawab dan akuntalibilitas terhadap keputusan manajemen
risiko suku bunga dan mendefenisikan instrumen yang telah
diotorisasi, strategi hedging dan profit taking. Risiko
suku bunga pada produk-produk baru harus dijelaskan
melalui analisis waktu jatuh tempo, masa repricing dan
poengambilan suatu instrumen. Dewan direksi harus
menetapkan hedging atau stategi manajemen risiko yang
baru sebelum semua ini diimplementasikan.
c. Manajemen Resiko Likuiditas
Bisnis perbankan berhubungan dengan dana seseorang yang
sewaktu-waktu dapat ditarik sehingga manajemen likuiditas
merupakan yang sangat penting bagi bank. Oleh karena itu,
senior manajemen dan dewan direksi harus meyakinkan bahwa
prioritas dan tujuan bank untuk kepereluan manajemen
likuiditas telah jelas. Senior manajemen harus memastikan
bahwa risiko likuiditas telah terkelola secara efektif
dengan menentukan serangkaian prosedur dan kebijakan.
Bank harus memiliki sistem informasi yang berfungsi untuk
mengukur, memonitor, mengontrol, dan melaporkan risiko
likuiditas. Laporan berkala mengenal likuiditas harus
disediakan bagi dewan direksi dan senior manajemen.
Laporan ini, diantaranya harus mencakup posisi likuiditas
dalam rentang waktu tertentu.
Esensi dari masalah manajemen likuiditas muncul dari
adanya kenyataan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara likuiditas dan profibalitas, dan adanya mismatch
antara permintaan dan penawaran aset-aset yang likuid.
Sementara bank tidak mampu mengontrol sumber-sumber dana
(dana pihak ketiga), ia dapat mengontrol penggunaan dari
dana-dana tersebut. Misalnya, posisi likuiditas bank
memberikan prioritas pada pengalokasian dana. Dengan
asumsi bahwa opportunity cost dari dana-dana yang likuid
adalah tetap, maka setelah memiliki likuiditas yang
cukup, bank harus melakukan investasi yang dapat
mendatangkan keuntungan. Sebagian besar bank yang ada
sekarang ini telah membuat cadangan pelindung (protective
reserve) di atas cadangan yang telah direncanakan.
Sementara cadangan yang direncanakan merupakan verifikasi
dari ketentuan regulator dan hasil perkiraan, jumlah dari
cadangan pelindung tergantung pada sikap pihak manajemen
terhadap risiko likuiditas.
d. Manajemen Resiko Operasional
Dewan direksi dan senior manajemen harus mengembangkan
keseluruhan kebijakan dan strategi untuk mengelola resiko
operasional. Sementara resiko operasional bisa muncul
akibat kegagalan faktor manusia, proses, dan teknologi,
manajemen atas resiko ini lebih kompleks lagi. Senior
manajemen perlu menetapkan standar mnajemen resiko dan
pedoman pelaksanaan yang jelas, yang dapat mereduksi
resiko operasional ini. Disamping itu, perhatian juga
perlu ditekankan pada resiko aspek manusia, proses, dan
teknologi yang bisa muncul dalam lembaga.
Dengan tetap memerhatikan sumber-sumber munculnya resiko
operasional, standar identifikasi dan manajemen yang
dibutuhkan juga perlu dikembangkan. Ketelitian juga perlu
ditekankan untuk mengatasi resiko operasional yang muncul
dari departemen atau unit organisasi akibat faktor
manusia, proses, dan teknologi. Pedoman dan aturan juga
harus dirinci dengan jelas. Disamping itu, pihak
manajemen juga perlu mengembangkan “katalog resiko
operasional” dimana peta dari proses bisnis dari tiap
departemen dalam lembaga terinci dengan jelas. Misalnya,
proses bisnis yang berhubungan dengan nasabah dan
investor perlu disusun. Katalog ini tidak saja dapat
mengidentifikasi dan menilai resiko operasional, tetapi
juga dapat dipakai sebagai bukti transparansi oleh pihak
manajemen dan auditor.
Resiko operasional memang cukup kompleks sehingga sangat
sulit untuk mengukurnya. Sebagian besar teknik pengukuran
resiko operasional yang ada masih sangat sederhana dan
bersifat eksperimental. Namun demikian, bank dapat
mengumpulkan informasi tentang berbagai jenis dari
laporan dan rencana yang dipublikasikan dalam lembaga
(seperti laporan audit, laporan pengawasan, laporan
manajemen, rencana bisnis, rencana operasional, tingkat
error, dan lain-lain). Review secara cermat dan hati-hati
atas dokumen-dokumen ini dapat menutup GAP yang
merepresentasikan potensi resiko. Data dari laporan-
laporan tersebut lebih lanjut dapat dikategorikan menjadi
faktor internal dan faktor eksternal dan dikonversi ke
dalam kemungkinan kerugian lembaga. Sebagian dari resiko
operasional juga dapat terlindungi. Alat untuk menilai,
memonitor, dan mengelola resiko di antaranya meliputi
review secara berkala, pengujian (stress testing), dan alokasi
modal ekonomi dalam jumlah yang tepat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong cukup
cepat. Dengan didukung oleh UU No.10 Tahun 1998 sebagai
pengganti UU No.7 Tahun 1992 memberikan peluang yang
lebih besar lagi bagi pengembangan perbankan syariah
karena bertujuan memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi
masyarakat yang tidak menerima konsep bunga, membuka
peluang pembiayaan dengan prinsip kemitraan, dan memenuhi
kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki
beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan
pembebanan bunga yang berkesinambungan.
2. Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan
situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang
mengalami perkembangan pesat, perbankan syariah pada
khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis
resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan
melekat pada kegiatan usahanya.Resiko-resiko tersebut
tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan
dikendalikan. Oleh karena itu bank syariah harus dapat
membentuk satuan tim yang mampu mengelola dan merupakan
cakupan dari manajemen resiko itu sendiri yaitu :
Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan
kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; kecukupan
proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen
resiko; dansistem pengendalian intern yang menyeluruh.
3. Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor
11/25/PBI/2009 tantang perubahan atas PBI No.5/8/2003
tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum bahwa
penerapan manajemen resiko terdiri dari resiko kredit,
resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional,
resiko hukum, resiko kepatuhan, resiko reputasi dan
resiko stratejik. Bank Umum Konvensional wajib menerapkan
keseluruhan resiko dimaksud sedangkan Bank Umum Syariah
wajib menerapkan paling kurang 4 (empat) jenis resiko
tersebut.
4. Penerapan manajemen resiko yang biasa dikelola oleh
perbankan syariah antara lain manajemen resiko kredit,
manajemen resiko suku bunga, manajemen resiko likuiditas
dan manajemen resiko operasional.
B. Saran
Perbankan Syariah yang berfungsi menghimpun dana dan
menyalurkan dana bagi masyarakat disarankan mampu
melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip
dasarnya yang berlandaskan islam. Serta mampu meyakinkan
masyarakat atas keberadaan syariah yang tidak menjalankan
konsep bunga yang rentan akan fluktuasi bunga. Untuk itu
diharapkan Bank Syariah mampu mengelola manajemen resiko
secara cermat agar fungsi utamanya dapat berjalan dengan
baik. Melalui UU No.21 Tahun 2008 dan PBI No.11/25/2009
telah membuktikan kepada kita bahwa pemerintah serius
terhadap perkembangan bank syariah yang sudah sangat
pesat di kalangan masyarakat. Oleh karena itu juga
disarankan agar Bank Syariah mampu mempromosikan secara
luas program-programnya dengan manajemen yang baik agar
masyarakat sebagai pengguna jasa-jasa perbankan yakin dan
percaya.