LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. K RM : 567687 Tgl Lahir/Umur : 1 Januari 1949/ 63 tahun Jenis Kelamin : Pria Alamat/Tlp : Sidomulyo/ 085299554372 Pekerjaan : Tidak bekerja Agama : Islam Status perkawinan : Kawin Tgl Masuk RS : 13 Nov 2012 jam 13.27 B. ANAMNESIS Bagian THT-KL: PBM dengan keluhan utama nyeri pada hidung yang menjalar ke gusi dialami sejak ± 2 minggu yang lalu, hilang timbul. Rinore (+), cephalgia (+), blood stained rhirore (-), epistaksis (-), penghidu sinistra dirasakan berkurang. Riwayat operasi rinotomi lateral pada bulan September 2012 di RSWS dengan D/ Ca Sinonasal. Otalgia (-), otore (-), tinnitus (-), vertigo (-), pendengaran normal, disfagi (-), odinofagi (-), odinofoni (-), disfoni (-). C. PEMERIKSAAN FISIS THT : 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K
RM : 567687
Tgl Lahir/Umur : 1 Januari 1949/ 63 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Alamat/Tlp : Sidomulyo/ 085299554372
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Tgl Masuk RS : 13 Nov 2012 jam 13.27
B. ANAMNESIS
Bagian THT-KL:
PBM dengan keluhan utama nyeri pada hidung yang menjalar ke gusi dialami
sejak ± 2 minggu yang lalu, hilang timbul. Rinore (+), cephalgia (+), blood
utama yang berperan pada descending pain control ini adalah serotonin (5-
hydroxytryptamine, 5-HT) dan norepinefrin (noradrenalin). Neuron-
neuron serotoninergik dan noradrenergik turun melalui funikulus
dorsolateral dari batang otak menuju medulla spinalis dan berakhir pada
kornu dorsalis, dan sangat berperanan pada modulasi nyeri. Stimulasi
elektrik pada daerah periaqueductal dan nucleus raphe magnus akan
mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan norepinefrin
endogen.
4. Persepsi: pesan nyeri di relay menuju ke otak dan menghasilkan
pengalaman yang tidak menyenangkan. Serabut aferen nosiseptik tingkat
dua mempunyai badan sel yang terletak di dalam kornu dorsal medula
spinalis yang memproyeksikan akson ke pusat-pusat di SSP yang
bertanggung jawab untuk pengolahan informasi nosiseptik. Traktus
spinotalamik juga mengirim cabang-cabang kolateral ke formasio
retikularis. Impuls yang dihantarkan melalui traktus ini bertanggung jawab
untuk diskriminasi atau pembedaan sensasi nyeri dan respon-respon
emosional yang menyertainya. Formasio retikularis kemungkinan
bertanggung-jawab untuk peningkatan bangkitan atau depolarisasi dan
peningkatan aspek komponen emosional-afektif pada nyeri serta
peningkatan refleks motorik somatik dan refleks motorik otonom. 7
D. PATOFISIOLOGI NYERI PADA KANKER
Tiga faktor utama yang berperan pada patogenesis nyeri pada penderita
kanker ialah mekanisme nosiseptif, mekanisme neuropati, dan proses psikologis.
Pada pasien dengan kanker kepala leher nyeri nosisepsi terjadi akibat
keterlibatan tulang, otot, dan jaringan subkutan. Nyeri neuropati terjadi akibat
invasi langsung tumor ke saraf kranial, atau lesi tumor menyebabkan kompresi
saraf atau polineuropati perifer sebagai efek samping kemoterapi.8
Menurut Woodforde dan Fielding, penderita-penderita kanker dengan
nyeri ini juga mengalami reaksi emosional, kecemasan (anxietas), depresi,
10
hipokhondria serta neurosis yang lebih menonjol dari pada kasus-kasus bukan
keganasan.6 Dinyatakannya pula bahwa penderita-penderita tersebut memberikan
respons yang kurang baik terhadap pengobatan nyeri. Bond menemukan bahwa
tingkat hipokhondria ini lebih tampak pada penderita kanker dengan keluhan nyeri
dari pada tanpa nyeri. Tetapi keadaan ini segera berubah apabila keluhan nyeri
tersebut bisa diatasi dengan tindakan.9
E. PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri dimulai dengan melakukan anamnesis terkait nyeri, meliputi
onset dan durasi nyeri, apakah nyeri menetap atau hilang timbul, derajat
keparahan nyeri, pengaruh nyeri terhadap aktivitas harian (selera makan, tidur,
rutinitas harian), interkasi sosial (lebih mudah tersinggung), mood (sering
menangis, marah, atau berupaya bunuh diri), dan riwayat pengobatan yang pernah
diperoleh untuk mengatasi nyeri tersebut. Penting pula untuk ditanyakan adakah
faktor tertentu yang memperbert rasa nyeri yang diderita pasien atau faktor apa
yang meringankan nyeri, apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping
nyeri seperti mual, muntah, konstipasi, gatal, kelemahan, atau sulit tidur.3,4
Penilaian terhadap nyeri juga dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, perlu
diperhatikan ada tidaknya keterlibatan tulang seperti deformitas tulang, apakah
terjadi pembengkakan sendi, hambatan gerakan dan perubahan tonus otot, apakah
menimbulkan gangguan fungsi saraf, serta penilaian terhadap keterlibatan organ
viscera. Penilaian pada kulit juga penting untuk mengetahui ada tidaknya
abnormalitas sistem saraf simpatis berupa perubahan suhu, hilangnya rambut pada
daerah kulit tertentu, perubahan vaskular dan diskolorisasi, serta ada tidaknya
gangguan sensoris.10
Penilaian aspek psikologis menjadi sangat penting terutama pada kasus
nyeri kronik atau nyeri kanker, karena nyeri yang berlangsung lama dapat
menimbulkan frustasi dan kemarahan. Seorang ahli psikologis perlu melakukan
eksplorasi terhadap kondisi emosional pasien-pasien dengan nyeri terutama nyeri
kronik. 10
11
Pengukuran derajat nyeri secara kuantitatif dapat membantu menentukan
intervensi terapeutik dan mengevaluasi keberhasilan terapi yang diberikan. Untuk
itu, berbagai teknik pengukuran derajat nyeri telah dikembangkan. Numerical
rating scale, verbal rating scale, visual analog scale (VAS), dan faces rating scale
adalah skala yang paling sering digunakan untuk membantu menentukan derajat
nyeri.3
Numerical Rating Scale (NRS)
Ini merupakan cara pengukuran yang sederhana dan paling sering digunakan
untuk mengevaluasi nyeri. Terdapat skala 0-10, dimana angka 0 menunjukkan
tidak ada nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang hebat. Keuntungan
menggunakan skala ini karena mudah dimengerti oleh pasien karena pasien hanya
memillih nilai untuk menunjukkan nyerinya.4
Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin ; tidak nyeri, nyeri ringan, sedang, berat dan sangat berat. 4
Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis diberi 0
sebagai penanda tidak ada nyeri dan akhir garis 100 menandakan nyeri hebat.
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan
nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih
mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan
VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara
luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga
penggunaannya relatif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Pengukuran dengan VAS pada
nilai di bawah 4 dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai 4-7 dinyatakan sebagai nyeri
sedang, dan nilai di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat. 4
12
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale adalah modifikasi VAS yang
digunakan untuk anak atau orang dewasa dengan gangguan kognitif,
menggantikan angka dengan kontinum wajah tersenyum sampai menangis.11
Gambar 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale.
Pada gambar di atas, tampak wajah 0 tersenyum karena tidak merasakan
nyeri. Wajah 1 sampai 5 memperlihatkan peningkatan intensitas nyeri (sedikit
sampai yang paling parah) dengan ekspresi yang semakin sedih.11
F. MANAJEMEN NYERI
Penatalaksanaan nyeri menurut WHO terdiri dari Three Step ladder
berikut:2,12
Step I: Penderita dengan nyeri kanker ringan sampai sedang harus diobati
dengan analgesik nonopioid, yang harus dikombinasikan dengan obat-
obat tambahan jika ada indikasi. Pada step ini dapat digunakan golongan
NSAID (Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs). Golongan obat ini
menghambat enzim cyclooxygenase sehingga konversi asam arachidonat
menjadi prostaglandin terinhibisi. Prostaglandin memediasi sejumlah
besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan
lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet. Enzim
cyclooxygenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1 dan COX-
2.
13
Gambar 2. Jalur COX 1 dan COX 2
Step II: Penderita yang relatif tidak toleran dan menderita nyeri sedang sampai
berat, atau yang gagal mendapatkan perbaikan setelah percobaan dengan
analgesik nonopioid harus diobati dengan opioid konvensional yang
digunakan untuk nyeri sedang (opioid lemah). Yang termasuk dalam
golongan ini adalah kodein, hidrokodon, dihidrokodein, profoksifen.
Obat-obatan ini umumnya dikombinasikan dengan nonopioid dan bisa
diberikan bersama-sama dengan analgesik adjuvan.
Step III: Penderita yang menderita nyeri berat, atau gagal mendapatkan perbaikan
yang adekuat setelah pemberian obat pada tangga kedua, harus menerima
opioid konvensional yang digunakan untuk nyeri berat (opioid kuat).
Obat golongan ini terdiri atas2,8:
1. Opioid kerja lama, seperti fentanyl transdermal atau metadon yang
dapat menangani hampir semua keluhan nyeri. Opioid kerja lama
memiliki waktu paruh sekitar 12 jam, sehingga penderita
mendapatkan obat ini dua kali setiap harinya.
2. Opioid kerja cepat, seperti hidromorfon, atau tablet fentanyl
transmukosal yang digunakan untuk mengatasi nyeri insidental atau
breaktrough pain. Kebanyakan opioid kerja cepat memiliki waktu
14
paruh 3-4 jam dan pada preparat oral kadar maximal dicapai dalam 60
menit, 30 menit melalui jalur subkutan dan 15 menit melalui intavena.
Obat-obatan golongan opioid ini dapat memberikan kesembuhan pada
70-90% penderita.
Gambar 3. Step Ladder WHO
15
Gambar 4. Lokasi Kerja Analgetik
WHO menganjurkan pemakaian obat nyeri kanker adalah sebagai berikut13:
1. Obat diberikan secara oral
2. Tepat waktu. Harus dimakan sesuai jadwal, bila sedang tidur
dibangunkan untuk minum obat anti nyeri
3. Sesuai dengan pedoman step ladder WHO
4. Individual, pengobatan nyeri sama dengan pengobatan lain, setiap
pasien memberikan respon yang mungkin tidak sama, sehingga
perlakuannya bersifat individual.
5. Penuh perhatian terhadap hal-hal kecil
Pada pasien ini diberikan dysnatat intravena dan fentanyl transdermal.
Dysnatat (parecoxib) merupakan obat yang termasuk dalam golongan NSAID
yang bekerja selektif terhadap COX 2. Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim
16
yang mengkatalis sintesis prostaglandin dari asam arachidonat. Prostaglandin
memediasi sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi
pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal dan agregasi platelet.
Pemilihan golongan NSAID yang bekerja pada COX 2 dimaksudkan untuk
mengurangi efek samping yang lebih besar jika dibandingkan pemberian NSAID
non-selektif karena dapat mempengaruhi barier mukosa lambung dan agregesi
platelet. Parecoxib merupakan inhibitor COX 2 spesifik yang hanya tersedia
dalam sediaan parenteral.14,15
Fentanyl yang merupakan golongan opiod sintetik dari kelompok
fenilpiperidin. Fentanyl merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan
κ. Fentanyl merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300
kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur
susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl transdermal melepaskan fentanyl
perlahan ke subkutis dan selanjutnya ke aliran darah. Nyeri mulai reda setelah 8-
12 jam dari pemasangan fentanyl patch dan perlu diganti setelah 72 jam.2,16
Pada pasien ini diberikan terapi analgesia multimodal yakni menggunakan
dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk
mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek
samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dynastat
yang merupakan golongan NSAID yang menghambat cyclooxygenase (COX) dan
selektif terhadap COX-2 sedangkan fentanyl merupakan salah satu opiod
kuat.14,15,16
G. KESIMPULAN
Nyeri merupakan masalah yang sering berdampingan dengan penyakit
kanker. Pemahaman mengenai mekanisme nyeri dan penilaian nyeri yang tepat
merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Keluhan pasien merupakan arti sangat
penting dalam pengobatan nyeri, keluhan ini harus diuraikan dengan jelas.
Penanggulangan nyeri kanker merupakan bagian dari pengobatan kanker dan
sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Penanggulangan nyeri kanker
17
harus secara interdispiliner. Untuk mencapai bebas nyeri diperlukan pengkajian
yang tepat, komprehensif dan berkesinambungan.
Untuk memudahkan pengobatan nyeri, WHO membuat suatu pedoman
penilaian nyeri yang sangat dikenal dan dipakai hampir di seluruh dunia, yaitu
Step ladder WHO. Berdasarkan pedoman ini akan lebih mudah untuk
menatalaksana nyeri kanker.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; h. 178-81.
2. Myers J, Shetty N. Going beyond efficacy: strategies for cancer pain management. Current oncology. 2008; 15(1): 41-9.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology 4th Edition. New York: Blackwell Science; 2009.
4. Setiyohadi B, Sumariyono, Kasjmir YI, Isbagio H, Kalim H. Nyeri. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.1166-1173.
5. Giordano J. The Neuroscience of pain and analgesia. In Boswell MV, Cole BE, editors. Weiner's pain management a pratical guide for clinicians. 7th ed. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 15-20.
6. Gottschalk A, Smith DS. American family physician. [Online].; 2001 [cited 2012 August. Available from: http://www.aafp.org.
7. Davis LE, King MK, Schultz JE. Disorders of Pain and Headache. In: Fundamentals of Neurologic Disease. New York: Demos Medical Publishing; 2005. p. 201-2.
8. Gubbels SP, Andersen PE. Head and Neck Cancers. In: Sibell, David M.; Kirsch, Jeffrey R, eds. 5 Minute Pain Management Consult, The , 1st Edition.New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
9. Susworo. Cermin dunia kedokteran. [Online]. [cited 2012 August. Available from URL : http://www.kalbe.co.id.
10. Gwinnutt CL, ed. Lecture Notes Clinical Anaesthesia Second Edition. Massachusetts: Blackwell Science Ltd. 2004. p. 139-50
11. David N. Wong Baker Faces Pain Rating Scale Permission Form. UK: Elsevier Ltd. 2005. [cited: November 2012]. Available from URL: http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/US-promofiles/d/Wong%20Baker%20FACES%20Permissions%20Form.pdf
12. Worgo BW, Burton AW. Cancer pain. In wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and management. New York: McGraw Hill; 2005. p. 183-189.
13. Harsal A. Penanggulangan Nyeri pada Kanker. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simanibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; h.885-7
14. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik analgesik anti-inflamasi
nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007.
15. Portenoy RK. Three Step Analgesic Ladder for management of cancer pain. 2006.
16. Dewoto HR. Analgesik opiod dan antagonis. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2006.