Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Dewasa ini cara ini jauh lebih aman daripada dahulu berhubung dengan adanya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik. 1 WHO( World Health Organization ) memperkirakan bahwa angka persalinan dengan seksio sesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara- negara berkembang dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika Serikat. Kanada pada 2003 memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an menyebutkan bahwa kurang dari 1 kematian dari 2.500 yang menjalani bedah caesar, dibandingkan dengan 1 dari 10.000 untuk persalinan normal. 2 Persalinan dengan seksio sesarea sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam kadaan gawat darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan seksio sesarea dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu maupun bayinya. Menurut Cunningham, et al (2005), lebih dari 85 % persalinan seksio sesarea disebabkan oleh riwayat seksio sesarea, distosia persalinan, kemacetan persalinan, gawat janin, letak sungsang. 3 Indikasi persalinan dengan seksio sesarea yang paling sering terjadi jika ditinjau dari faktor ibu adalah disproporsi Sefalo-pelvik (panggul sempit) yang merupakan ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi dengan ukuran panggul ibu. 4
34

Manajemen Anestesi pada SC.docx

Nov 29, 2015

Download

Documents

hermansitohang

SC pada CPD
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Manajemen Anestesi pada SC.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding

perut dan dinding uterus. Dewasa ini cara ini jauh lebih aman daripada dahulu berhubung

dengan adanya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi

yang lebih baik.1 WHO(World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan

dengan seksio sesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara

berkembang dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika Serikat.

Kanada pada 2003 memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an menyebutkan bahwa

kurang dari 1 kematian dari 2.500 yang menjalani bedah caesar, dibandingkan dengan 1 dari

10.000 untuk persalinan normal.2

Persalinan dengan seksio sesarea sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan

memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam

kadaan gawat darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan seksio sesarea

dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu maupun bayinya. Menurut

Cunningham, et al (2005), lebih dari 85 % persalinan seksio sesarea disebabkan oleh riwayat

seksio sesarea, distosia persalinan, kemacetan persalinan, gawat janin, letak sungsang.3 Indikasi

persalinan dengan seksio sesarea yang paling sering terjadi jika ditinjau dari faktor ibu adalah

disproporsi Sefalo-pelvik (panggul sempit) yang merupakan ketidakseimbangan antara ukuran

kepala bayi dengan ukuran panggul ibu.4

Perubahan anatomi dan fisiologi terjadi pada banyak sistem organ selama kehamilan

dan persalinan. Perubahan pada tahap awal disebabkan karena peningkatan kebutuhan

metabolik yang berasal dari janin, plasenta dan rahim serta peningkatan hormon kehamilan.

Perubahan tahap lanjutan terjadi pada pertengahan kehamilan disebabkan oleh perubahan

anatomi, tekanan mekanis dari rahim berkembang. Perubahan ini memerlukan manajemen

anastesi yang khusus pada wanita hamil maupun yang akan melahirkan baik secara normal

maupun dengan faktor penyulit.5

Beberapa jenis anestesi telah digunakan untuk melakukan persalinan dengan seksio

sesarea. Anestesi regional (RA) dan anestesi umum (GA) adalah teknik anestesi yang

umumnya digunakan untuk operasi caesar (CS), keduanya memiliki kelebihan dan

kekurangan. Namun, penggunaan teknik anestesi umum telah mengalami penurunan pada

Page 2: Manajemen Anestesi pada SC.docx

beberapa dekade ini dan sekarang hanya 5% dari persalinan seksio sesarea di amerika serikat

dan inggris yang menggunakan teknis anestesi umum.6

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan bedah pada

obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Anestesi spinal

mempunyai banyak keuntungan pada seksio sesarea.7 Pasien tetap sadar sehingga jalan

nafasnya aman. Bayi dalam kandungan juga tidak tersedasi dan lahir dalam kondisi baik

sehingga hipotensi dapat dicegah. Spinal anestesi juga memiliki onset cepat aksi dan

memerlukan obat lebih sedikit. Setiap jenis anestesi yang digunakan pada seksio sesarea

mempunyai kelebihan dan kelemahan sehingga dibutuhkan kemampuan seorang anestesiolog

untuk memilih dengan tepat.8

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami tentang

manajemen anestesi pada seksio sesarea serta untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti

kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Anastesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya

yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat mengetahui dan

memahami manajemen anestesi pada seksio sesarea.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Fisiologis Ibu Hamil

Page 3: Manajemen Anestesi pada SC.docx

Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem organ pada

maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari korpus luteum dan

plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus

memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini

memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi

pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi,

kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal.9

2.1.1. Berat Badan dan Komposisi

Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira 17% dari BB

sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat badan adalah akibat dari peningkatan

ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1 kg, fetus dan plasenta 4 kg),

peningkatan volume darah dan cairan interstitial (masing-masing 2 kg), dan lemak serta

protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan BB normal selama trimester pertama adalah 1-2 kg

dan masing-masing 5-6 kg pada trimester 2 dan 3.

Implikasi Klinisnya:

Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan oksigen sebelum induksi anestesi

umum. Penusukan spinal atau epidural anestesi menjadi lebih sulit. Karena penambahan berat

badan dan penambahan besar buah dada kemungkinan menimbulkan kesulitan intubasi.

2.1.2. Perubahan Kardiovaskular

Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa beberapa

perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular terlihat pada awal

trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan

ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita

yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai

tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit

peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%

peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan kehamilan.

Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya peningkatan dari volume

sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana

meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada wanita tidak hamil.

Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan

sekitar 20% yang terlihat pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam

Page 4: Manajemen Anestesi pada SC.docx

denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen

simpatis.10

Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi penting

secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38, setelah itu dapat

menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac

output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine selama minggu terakhir kehamilan,

menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan

ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi

supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang

mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan

pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi

uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu,

perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara

rutin selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan.9

Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam dada,

sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan deviasi aksis kiri

dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering

ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung

tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan

asimptomatik.11

Implikasi Klinis:

Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita hamil dengan

penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral) atau penyakit jantung

koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24 minggu kehamilan, selama

persalinan, dan segera setelah melahirkan.

2.1.3. Perubahan Hematologi

Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai akibat

dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi

sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah

meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%.

Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam

kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun,

transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan

Page 5: Manajemen Anestesi pada SC.docx

kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke

kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin.10

Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang memberikan

keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat proses persalinan.

Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin

mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester

ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet

sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia

defisiensi folat dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak

terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan

terjadinya infeksi viral.11

Implikasi Klinis:

Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting yaitu untuk memenuhi

kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta, mengisi reservoir vena,

melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan karena ibu menjadi hipercoagulabel

selama proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung sampai 8 minggu setelah melahirkan.

2.1.4. Perubahan Sistem Respirasi

Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan oksigenasi ibu

dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu.12

Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam masa

kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada

aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat

hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik dihindari melalui

mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga

dapat meningkatkan PaO2 secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi

efek hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen

dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen meningkat

dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah

jantung memicu perfusi jaringan.11

Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan umumnya

diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari cavum thorax. Mulai

bulan ke lima, expiratory reserve volume, residual volume,dan functional residual capacity

menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada

wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve

Page 6: Manajemen Anestesi pada SC.docx

volume sehingga kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil,

penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang

mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas,

atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang

menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi

hubungan abnormal antara closing volume dan functional residual capacity. Volume residual

dan functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan.9

Implikasi Klinisnya:

1. Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan MAC akan

menyebabkan paturien lebih sensitive terhadap anestetika inhalasi daripada wanita

yang tidak hamil.

2. Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas membran mukosa,

harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa endotrakhea yang lebih kecil

daripada untuk wanita yang tidak hamil.

2.1.5. Perubahan Sistem Renal

Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada awal masa

kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya membesar. Peningkatan dari

renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju

filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama dan laju filtrasi

glomerulus menurun menuju ke batas normal pada trimester ketiga. Serum kreatinin dan

Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL.

Penurunan threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering

mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300 mg/dL). Osmolalitas

plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg.11

Implikasi Klinis:

Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita yang tidak hamil,

maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak hamil menunjukkan adanya

fungsi ginjal yang abnormal.

2.1.6. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi topik

yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal mengalami

Page 7: Manajemen Anestesi pada SC.docx

perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang

berhubungan dengan anestesi general.10

Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan.

Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan dari sfingter

gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus,

dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor

tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi

dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak

pendapat yang menyatakan mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian

melaporkan bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di

samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60%

dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah

dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan

antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya

refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan

dengan ingesti makanan terakhir sebelum proses persalinan dan penundaan pengosongan

lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil

akan terjadinya muntah dan mual.11

Implikasi Klinis:

Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat lama puasa prabedah. Bila

mungkin anestesi umum dihindari. Dianjurkan penggunaan rutin antacid non-partikel.

Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu postpartum.

2.1.7. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer

Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa kehamilan.

Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general. Namun, konsentrasi

alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar

hormon maternal dan opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi

ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada

normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara

signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan dan

kelahiran.11 Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis

anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi secara

neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak

Page 8: Manajemen Anestesi pada SC.docx

hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan.10 Minimum local analgesic

concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi

relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi

analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal persalinan.

Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena

pleksus epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir

kehamilan menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2)

penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua

efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan

epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi lebih

tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.11

Implikasi Klinisnya:

Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi lokal yang

digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam postpartum.

2.1.8. Perubahan Sistem Muskoloskeletal

Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan kelahiran

dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis

dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera

punggung. Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam

kehamilan.11

Implikasi Klinis:

Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis merupakan sebab utama

dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang menyulitkan dilakukan spinal atau epidural

analgesi.

2.1.9. Sirkulasi Uteroplasental

Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan

perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat menjadi penyebab

utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat

mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada aliran darah uterus

yang adekuat dan fungsi normal plasenta.11 Aliran darah uterin meningkat secara progresif

selama kehamilan dan mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.

Page 9: Manajemen Anestesi pada SC.docx

Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki resistensi

rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa gestasi. Aliran darah

uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh darah dilatasi maksimal selama

masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan

curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus

dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah fetus.

Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:

UAP-UVP

UBF=

UVR

UBF = uterine blood flow

UAP = uterine arterial pressure

UVP = uterine venous pressure

UVR = uterine vascular resistance

Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal tersebut

terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan blokade simpatis.

Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi

uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi

mengakibatkan gangguan pada aliran darah.10

Implikasi Klinis:

Perhatikan obat yang menembus sawar darah plasenta.

2.2. Seksio Sesarea

2.2.1. Definisi

Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi)

dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus

ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen.13

2.2.2. Indikasi Seksio Sesarea

2.2.2.1 Indikasi Absolut

Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas:

a. Berasal dari ibu

i. Induksi persalinan yang gagal

ii. Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)

Page 10: Manajemen Anestesi pada SC.docx

iii. Disproporsi sefalopelvik

b. Uteroplasenta

i. Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)

ii. Riwayat ruptur uterus

iii. Obstruksi jalan lahir (fibroid)

iv. Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar

c. Janin

i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan

ii. Prolaps tali pusat

iii. Malpresentasi janin

2.2.2.2 Indikasi Relatif

Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas 12:

a. riwayat ibu

i. bedah sesar elektif berulang

ii. penyakit ibu

b. uteroplasenta

i. riwayat bedah uterus sebelumnya

ii. presentasi funik pada saat persalinan

c. janin

i. malpresentasi janin

ii. makrosomia

iii. kelainan janin

2.2.2.3.Kontraindikasi Seksio Sesarea

Kontraindikasi tindakan seksio sesarea meliputi infeksi piogenik dinding abdomen,

janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu)

dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau tenaga yang sesuai.14

2.2.3. Teknik Seksio Sesarea

2.2.3.1 Insisi Abdominal

Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau transversal

suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian atau midtransversum

digunakan.13

2.2.3.2 Insisi Abdominal Vertikal

Page 11: Manajemen Anestesi pada SC.docx

Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah yang rendah

meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat digunakan untuk seksio sesarea

klasik. Insisi garis tengah biasanya mengikuti linea nigra dan memanjang dari umbilikus

sampai simfisis pubis. Setelah menginsisi jaringan subkutan, insisilah rafe garis tengah secara

tajam dan masuki peritoneum parietal dengan diseksi tajam. Umumnya, setelah melakukan

insisi vertikal dilakukan penjahitan pada lapisan peritoneal dengan poliglikolik 00 atau 0.

Jaringan fasia ditutup dengan jahitan terputus menggunakan benang berukuran 0 yang dapat

diserap atau tidak dapat diserap. Setelah jaringan subkutan didekatkan kembali, kulit

ditutup.14

2.2.3.3 Insisi Abdominal Transversal

Selain metode insisi abdominal pada linea mediana dikenal juga metode insisi

abdominal transversal. Metode Pfannenstiel, Maylard, dan Joel-Cohen , merupakan metode

seksio sesarea yang menggunakan insisi transversal pada dinding abdomen. Insisi

Pfannenstiel meliputi insisi transversal semi lengkung (curved) setinggi 2 jari di atas tulang

simfisis pubis, muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dan peritoneum parietal diinsisi

pada linea mediana. Insisi Maylard hampir serupa dengan metode Pfannen stiel namun

muskulus rektus dipotong secara transversal menggunakan pisau bedah. Insisi ini menjadi

pilihan ketika dijumpai adanya perlengketan akibat insisi Pfannenstiel pada operasi

sebelumnya. Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal yang lurus setinggi 3 cm di atas

tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis secara tumpul,bila perlu digunakan gunting

bukan pisau. Kemudian plica vesicouterina digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi

pada segmen bawah uterus di bawah insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul

dengan arah horizontal. Insisi Joel-Cohen berhubungan dengan waktu operasi yang singkat

serta berkurangnya febris post operatif.13

2.2.3.4 Insisi Uterus

Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim secara transversal

seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau seperti yang dinyatakan oleh Kronig pada

tahun 1912. Segmen bawah uterus relatif kurang vaskular dibandingkan korpus uteri,

sehingga diharapkan perdarahan yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada seksio sesarea

secara klasik. Insisi lain yaitu insisi klasik, merupakan insisi vertikal pada korpus uteri hingga

ke fundus dan insisi ini jarang digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim mempunyai

Page 12: Manajemen Anestesi pada SC.docx

keuntungan yaitu hanya membutuhkan sedikit pembebasan kandung kemih dari

myometrium.13

2.2.3.5 Seksio Sesarea Klasik

Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak janin melintang atau oblik

dan jika persalinan cepat sangat penting. Seksio sesarea klasik merupakan tindakan paling

sederhana. Buatlah insisi vertikal pada bagian bawah korpus uteri melalui peritoneum viseral

ke dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uteri , perluaslah insisi ke arah kaudal

dan kranial dengan gunting perban. Lahirkan bayi, plasenta, dan selaput ketuban. Tutuplah

insisi dengan tiga lapis jahitan yang dapat diserap. Tutuplah dua lapisan yang lebih dalam

dengan jahitan terputus atau bersambung menggunakan benang 0 atau 00 dan lapisan yang

lebih atas dengan jahitan bersambung(atau baseball) menggunakan benang 00 atau 000.13

2.2.4. Komplikasi Seksio Sesarea

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus seksio sesarea.14

a. Kematian Ibu.

Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000, meningkat sebanyak

25 kali angka kematian ibu pada persalinan per vaginam.

b. Kesakitan Ibu selama Operasi.

Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea berkisar di atas 11% (kira-kira 80%

minor dan 20% mayor). Komplikasi mayor meliputi trauma pada kandung kemih, laserasi

sampai serviks atau vagina, laserasi korpus uteri, laserasi melalui ismus ke ligamentum

latum, laserasi pada kedua arteri uterina, trauma usus dan trauma pada bayi dengan sekuele.

Komplikasi minor meliputi transfusi darah, trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor

pada isus dan kesulitan melahirkan.

c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi

Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15 % dan sekitar 90% di antaranya

disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi saluran kemih, sepsis karena luka). Komplikasi

lebih banyak terjadi pada kasus seksio darurat kira kira 25% sedangkan pada kasus elektif

hanya 5%. Predisposisi terjadi kesakitan pasca operasi adalah lamanya pecah selaput ketuban

sebelum operasi, lama persalinan sebelum operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non

infeksi pasca bedah yang lazin (< 10% total komplikasi) meliputi ileus paralitik, perdarahan

intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis dan gangguan paru.

Page 13: Manajemen Anestesi pada SC.docx

2.3. Anestesi Regional untuk Seksio Sesarea

2.3.1. Anestesi Spinal

Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena deposit

obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang spinalis yang

akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.11

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit,

aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara

umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya

terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi

sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik

ke arah sephalad.Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling

resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi

obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade otonom 2 atau lebih

dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai

3 segmen ke arah kaudal dari level analgesi.11

2.3.1.1 Indikasi Spinal Anestesi

Beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal.11

1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah.

2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.

3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik, rectosigmoid,

kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis

4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi spinal

anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat

menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.

5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).

6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

2.3.1.2 Kontra Indikasi Absolut

Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal.15

1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah,

terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

Page 14: Manajemen Anestesi pada SC.docx

3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi

kehilangan cairan serebrospinal.

4. Bila pasien menolak.

5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.

6.Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa, neurosyphilys,

dan porphiria.

7. Hipotensi.

2.3.1.3 Kontra Indikasi Relatif

Beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal.15

1. Pasien dengan perdarahan.

2. Problem di tulang belakang.

3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

2.3.1.4 Anatomi

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4

coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medulla

spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4,

L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6.

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medulla

spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut16:

1. Ligamentum supraspinosum.

2. Ligamentum interspinosum.

3. Ligamentum flavum.

4. Ligamentum longitudinale posterior.

5. Ligamentum longitudinale anterior.

2.3.1.5 Teknik Spinal Anestesi

Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang sesuai dan

pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi telah tersedia.

Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal harus siap untuk

digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam

keadaan terbuka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir

Page 15: Manajemen Anestesi pada SC.docx

waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan

pasien.16

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut11:

1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-

operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam

penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.

2. Posisi pasien

a) Posisi Lateral

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi mendekati

perut, kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk

Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang

telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk

memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle

block.

c) Posisi Prone

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau

prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit

ditutupi dengan “doek” bolong steril.

4. Cara penusukan.

Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin

kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala

(PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum

spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid.

Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah,

tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih

merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi

lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus

dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda

asing (Meningismus).

2.3.1.6 Obat-obat yang dipakai

Page 16: Manajemen Anestesi pada SC.docx

Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain,

bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal

yang poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan

5% dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan

lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75- 100mg untuk operasi

ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100- 150mg untuk spinal analgesia tinggi.

Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.11

2.3.1.7 Pengaturan Level Analgesia

Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut : level

segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit,

sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan

klinik, level anestesi dibagi atas :

1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal bawah

dan sakral.

2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk

segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.

3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk

segmen torakal, lumbal, dan sacral.

4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk

segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan

hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.17

Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan

suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan

gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level

anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat

anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan

mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa

ujung jarum masih ada di ruangan subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi

penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan

yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level

anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.17

Page 17: Manajemen Anestesi pada SC.docx

Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat jenis

likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik.

Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035,

sedangkan hipobarik 1,001- 1,002.17

Perawatan Selama pembedahan15

1. Posisi yang enak untuk pasien.

2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.

4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.

6. Berikan oksigen per nasal.

Perawatan Pascabedah15

1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.

2. Minum banyak, 3 lt/hari.

3. Cegah trauma pada daerah analgesi.

4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.

6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7.Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan

tekanan darah dan frekuensi nadi.

2.3.1.8 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal

Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal.10

1. Sistim Kardiovaskuler

a) Penurunan resistensi perifer

1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus

vasokonstriksi simfatis.

2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.

3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni

terjadinya vasokonstriksi.

b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata

Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan

darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia

medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15

Page 18: Manajemen Anestesi pada SC.docx

mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan

dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan

cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin.

Dosis efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian

intravena, dan 10-20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.

c) Penurunan denyut jantung.

Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan

mempengaruhi myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf

cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut

jantung dan mungkin juga tekanan darah.

2. Sistim Respirasi

Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga

terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopressor.

Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5).

Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.

3. Sistim Gastrointestinal

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi,

hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan traction

reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran

likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang

terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila

duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1- 2minggu.

Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal

headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus

akan menghilang dalam 4 hari.

Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :

1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).

2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum

tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan

menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan:

Page 19: Manajemen Anestesi pada SC.docx

1. Memakai abdominal binder.

2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural

tempat kebocoran.

3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari. Kejadian post spinal headache 10-

20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah);

9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit

kepala daripada laki-laki.

5. Backache

Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal

anestesi.

6. Retensio Urinae

Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi di

daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarachnoid,

setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan

kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai

syringedan jarum yang disposible, spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit

sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta

obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke

ruang subarachnoid.

2.3.2. Epidural Anestesi

Keuntungan epidural anestesi untuk seksio sesarea adalah:

1. Kejadian dan beratnya hipotensi ibu lebih rendah

2. Tidak ada tusukan dura, menyebabkan berkurangnya kejadian PDPH.

3. Dengan memasang kateter, dapat dipakai untuk operasi yang lama juga untuk

menghilangkan sakit pada periode pasca bedah.

Kerugian epidural anestesi adalah:

1. Teknik lebih sulit daripada anestesi spinal.

Page 20: Manajemen Anestesi pada SC.docx

2. Onset obat anestesi lebih lama.

3. Membutuhkan obat anestesi local yang lebih banyak.

Masalah:

Ada perbedaan efek kardiovaskular antara epidural anestesi dan spinal anestesi untuk seksio

sesarea. Penurunan tekanan darah umumnya lebih kurang pada epidural karena onset bloknya

lebih lambat. Bila ditambahkan ephinephrin maka harus diperhatikan karena absorpsi

sistemik dan ephhinephrin dapat menyebabkan penurunan tekanan darah ibu akibat efek

betamimetik.

Komplikasi

- Kejadian suntikan intravaskuler memalui epidural kateter kurang lebih 2,3%

- Kejadian menusuk duramater 0,2-20%

- Kejadian PDPH dengan jarum epidural no.17 adalah 76%.

- Kejadian emboli udara pada vena 9,5%-65%, yang bisa terjadi pada anestesi spinal, anestesi

epidural atau anestesi umum

-Kejadian menggigial 14-68%, mekanisme belum jelas tetapi dapat diterapi dengan epidural

fentanil/subfentanil atau petidin intravena.

Kontraindikasi

1. Hipotensi berat

2. Gangguan koagulasi

3. Kelainan neurologis

4. Pasien menolak

5. Kesulitan teknis

6. Sepsis. Local atau general

Tabel 2.1. Perbedaan spinal dan epidural anestesi

Spinal Anestesi Epidural Anestesi

Sederhana, cepat, reliable Kejadian hipotensi rendah

Paparan obat minimal Menghindari tusukan duramater

Ibu bangun Dengan kateter dapat digunakan untuk

operasi yang lama da anestesi pasca

bedah.

Kerugian

Hipotensi Lebih kompleks

Mual muntah Mula kerja lama

Page 21: Manajemen Anestesi pada SC.docx

Headache Diperlukan antestsi local yang banyak

2.3.2. Anestesi Umum untuk Seksio Sesarea

Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepa, mudah dikendalikan, kegagalan

anestesi tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya adalah kemungkinal

adanya aspirasi, masalah pengelolaan jalan nafas, bayi terkena obat-obat narkotik serta ada

kemungkinan awareness.18

a. Maternal Aspirasi18

Aspirasi pneumonia akibat aspirasi cairan lambung disebut sebagai Mendelson

syndrome, maka penting sekali menetralkan asam lambung. Tetapi pemberian antacid jangan

berbentuk partikel. Glycopyrrolate suatu antichlonergic dapat menurunkan sekresi gaster,

tetapi dapat menyebabkan relaksasi sphincter gastrooesophageal, sehingga meningkatkan

resiko regurgitasi dan aspirasi. Cimetidin dan ranitidine suatu histamib (H2) reseptor

antagonis dapat menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan volume gaster.

Metoclopramid dapat meningkatkan motilitas gaster dan karena itu tonus sphincter

oesephagus menigkat, sering diberikan sebelum anestesi umum pada seksio sesarea.

Metoclopramide juga berefek anti emetic sentral yang bekerja di chemoreceptor trigger zone

(CTZ).

b. Pengelolaan jalan nafas18

Penurunan saturasi O2 pada parturien lebih cepat daripada pasien-pasien yang tidak

hamil. Hal ini dihubungkan dengan penigkatan konsumsi O2 dan penuruan FRC.

Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai induksi anestesi.

Induksi yang cepat dengan tekanan Cricoid (Selluck maneuver) diikuti intubasi

endotrakeal adalah metode yang sering dilakukan.

c. Depresi Neonatus18

Penyebab depresi neonatus pada anestesi umum:

1. Penyebab fisiologis

- hipoventilasi ibu

- hiperventilasi ibu

- penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortocaval

2.Penyebab Farmakologis

- obat-obat induksi: pentotal (dosis 4mg/kgBB)

- pelemas otot: succynilcholine

- rendahnya konsentrasi oksigen

Page 22: Manajemen Anestesi pada SC.docx

-N2O dosis tinggi (>50%) dan obat anestesi inhalasi lainnya

- efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery

d. Awareness18

Masalah utama anestesi umum untuk seksio sesarea adalah kejadian awarnss karena kita

memakai dosis kecil dan kosentrasi rendah obat anestesi untuk mengurangi efek pada foetus.

Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan konsentrasi kecil volatile anesthetic dapat

mencegah awareness dan recall tanpa efek yang jelek pada neonates atau perdarahan uterus

yang banyak.