malaria malaria
1. Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang
disebabkan oleh satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan
panas tinggi bersifat intermitten, anemia, dan hepato-splenomegali.
Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan darah tepi
(apusan tebal atau tipis) untuk konfirmasi adanya parasit
Plasmodium.
2. Epidemiologi
Malaria terjadi di sebagian besar daerah tropis di dumia.
Plasmodium Falciparum lebih banyak terdapat di Afrika, New Guinea,
dan Haiti; Plasmodium vivax lebih umum ditemukan di Amerika Tengah.
Prevalensi kedua spesies ini rata-rata sama antara di Amerika
selatan, Negara bagian Amerika, Asia timur, dan kepulauan
Oceania.
Epidemiologi malaria bersifat kompleks dan bisa sangat besar
didalam area geografi yang sempit. Secara klasik endemis
didefinisikan dalam istilah of parasitemia rates atau secara
palpasi dinyatakan sebagai spleen rates pada anak-anak usia 29
tahun sebagai hipoendemik (75%). Di daerah holoendemik dan
hiperendemik dimana transmisi P. falciparum sangat hebat sekali,
orang kemungkinan bisa tergigit nyamuk lebih banyak dalam sehari
dan terinfeksi secara berulang kali dalam hidupnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih beresiko malaria
karena sampai 2007 masih terdapat 396 kabupaten (80 persen) endemis
malaria. Pada 2008 terdapat 1,62 juta kasus malaria klinis dan 2009
menjadi 1,14 juta kasus, selain itu jumlah penderita positif
malaria (hasil pemeriksaan mikroskop terdapat kuman malaria) pada
2008, 266 ribu kasus dan masih 199 ribu kasus pada 2009.
Pada tahun 2010, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari
mengingatkan bahwa 424 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang
ada merupakan endemis malaria. Sekitar 45 persen penduduk Indonesia
berisiko tertular penyakit malaria. Jumlah tersebut diperkirakan
karena masih banyaknya daerah endemis untuk malaria di
Indonesia.
Menurut Menkes Siti Fadilah, daerah endemis tinggi dengan Annual
Parasite Incidence [API] lebih dari lima per seribu tersebar di
provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara
dan Nusa Tenggara Timur. Sedang wilayah di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Barat termasuk daerah endemis sedang dengan
API satu hingga lima per seribu. Hanya sebagian daerah di Jawa,
Kalimantan dan Sulawesi yang termasuk daerah endemis rendah dengan
API kurang dari satu per 1000 sementara daerah nonendemis hanya ada
di DKI Jakarta, Bali dan Kepulauan Riau.
3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam
genus Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat
intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium
vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium
ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat
bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies Plasmodium yang
terdapat di Indonesia yaitu P. vivax menimbulkan malaria vivax
disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan
penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. P. ovale merupakan
penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria
falsiparum atau malaria tropika.
Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium,
dikenal sebagai infeksi campuran/majemuk (mixed infection). Pada
umumnya dua jenis Plasmodium yang paling sering dijumpai yaitu
campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax atau
Plasmodium malariae. Kadang dijumpai tiga jenis plasmodium
sekaligus tapi hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran
biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir-
akhir ini di beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah
resisten klorokuin, bahkan juga resisten terhadap
pirimetamin-sulfadoksin.
Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan,
tetapi pada anak-anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi
serangan malaria tropika yang berat, bahkan tertian dan kuartana
dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak dengan gangguan
gizi
Malaria dapat ditularkan melalui penularan (1) alamiah (natural
infection melalui gigitan nyamuk anopheles, (2) penularan bukan
alamiah yaitu malaria bawaan (congenital) dan penularan secara
mekanik melalui transfuse darah atau jarum suntik. Sumber infeksi
adalah orang yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa
gejala klinis.
Nyamuk Anopheles menyukai air yang bersih dan tidak terpolusi,
ritme gigitan menggigit pada malam hari dan beristirahat di dalam
dan luar ruangan (tergantung pada spesies). Selain itu, lebih
menyukai warna yang lebih gelap. Nyamuk betina dengan satu makanan
darah dapat membuahkan 50 150 butir telur. Anopheles spp. memiliki
morfologi sebagai berikut:
Dewasa Bercak pucat dan gelap pada sayapnya dan beristirahat di
kemiringan 45 derajat suatu permukaan.
Larva beristirahat secara paralel dengan permukaan air.
Panjang telur kurang-lebih 1 mm dan memiliki pelampung di kedua
sisinya.
Tahapan telur menjadi dewasa membutuhkan 6 10 hari. Metamorfosis
sempurna meliputi tahap telur, larva, kepompong, dan dewasa.
Perbedaan Nyamuk anopheles dengan nyamuk lainnya
4. Siklus Hidup Plasmodium
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya,
yaitu manusia dan nyamuk anopheles betina.
4.1 Siklus Pada Manusia
Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia,
sporozoit yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke
dalam peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu
sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati.
Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000
sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus
eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada
P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung
berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang memjadi bentuk dorman
yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam
sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu
saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat
menimbulkan relaps (kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke
dalam peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel
darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit
sampai skizon (8-30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini
disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi skizon)
pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah
lainnya. Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer.
Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang
meninfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu
gametosit jantan dan betina.
4.2 Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung
gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina
melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang
menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Di luas
dinding lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya
menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat infektif dan siap
ditularkan ke manusia.
Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari
sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis
yang ditandai dengan demam bervariasi, tergantung dari spesies
Plasmodium. Sedangkan masa prepaten atau rentang waktu mulai dari
sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan
pemeriksaan mikroskopik.
5. Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara
parasit, inang dan lingkungan. Plasmodium berikatan dengan
glikoporin, suati protein membrane eritrosit. Eritrosit terinfeksi
plasmodium bergantung pada kemampuan plasmodium dan pengaruh
protein knobs. Adanya ikatan antigen dengan glikoporin merangsanga
antibody, antibody ini bekerja dalam sel.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler.
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan
produk samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit.
Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan
produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag
dalam system retikuloendotelial dan dalam sirkulasi menangkap
pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar
jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke
sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan
kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah.
Parasit malaria melepaskan semacam endotoksin yang mengakibatkan
aktivasi jaras sitokin. Sel-sel dari makrofag dan monosit juga
mungkin endothelium terstimulasi untuk melepaskan sitokin. Pada
awalnya dihasilkan tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1
(IL-1) yang kemudian menginduksi pe;epasan sitokin-sitokin
proinflamatoris ;ain termasuk interleukin-6 (IL-6) dan
interleukin-8(IL-8). Pirogen endogen (IL-1) dapat diidentifikasi
dalam darah pada saat terjadi krisis malaria. Pecahnya eritrosit
juga diikuti pelepasan kalium, fosforilasi glukosa, proses oksidasi
hemoglobin, rusaknya globin. Juga terjadi perlekatan mekanis
eritrosit yang mengandung skizon pada endothelium.
Demam mulai muncul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang
sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan
bermacam-macam sitokin diantaranya TNF. TNF akan dibawa ke
hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi
demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu
yang berbeda-beda, P.falciparum memerlukan waktu 36-48 jam,
P.vivax/ovale 48 jam, dan P.malariae 72 jam. Demam pada P.
falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/ovale selang waktu
sehari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi
maupun yang tidak terinfeksi. P.falciparum menginfeksi semua jenis
sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut
dan kronis. P.vivax dan P.ovale hanya menginfeksi sel darah merah
muda yang jumlahnya 2 % dari seluruh jumlah sel darah merah.
Sedangkan P.malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya
1% dari seluruh sel darah merah, sehingga anemia yang disebabkan
oleh P.vivax. P.ovale dan P.malariae terjadi pada keadaan kronis.
Beratnya anemi tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan
adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini
diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan
fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa
sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya
anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.
Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah Black
Water Fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh
Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolisis intravascular berat,
hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus,
disertai angka kematian yang tinggi.
Splenomegali: Limpa dapat membesar pada serangan akut. Limpa
mengalami pembesaran dan pembendungan. Pada titik ini, kapsul tipis
dan mudah robek, dan pulpa mengalir sebagian. Sesudah beberapa
tahun, kapsul menebal dan pulpa fibrotik; splenomegali menjadi
ireversibel. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan
sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun
yang tidak terinfeksi. Pembesaran limpa begitu khas untuk tujuan
epidemiologis untuk menentukan indeks prevalensi, penyebaran, dan
intensitas malaria. Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari
retikulosit diserta peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran
limpa di daerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria
kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatankadar IgM.
Peningkatan antibody terhadap malaria ini mungkin menimbulkan
respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.
Hepatomegali: Hepatomegali juga lazim ditemukan pada malaria.
Sel kupffer terisi dengan hemozoin coklat sampai hitam, dan sel
parenkim dengan hemosiderin kuning. Sebagai akibatnya hati menjadi
berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis
terjadi infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang
meningkat sejalan dengan berulangnya serangan malaria. Hepatomegali
dengan infiltrasi sel mononukleus merupakan bagian dari syndrome
pembesaran hati di daerah tropis.
Mungkin ada nekrosis sentrilobular yang dapat dihubungkan dengan
hipoksemia. Fungsi hati biasanya tidak secara serius terganggu,
walaupun bilirubin terkonjugasi, SGOT/SGPT, dan fosfatase alkali
dapat meningkat. Albumin serum dapat menurun, dan hamper selalu ada
peningkatan absolute globulin serum. Uji serologis positif palsu
untuk sifilis lazim ada.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan
ginjal. Pada malaria serebral otak berwarna kelabu akibat pigmen
malaria, sering diserang edema hyperemia. Pendarahan berbentuk
petekia tersebar pada substansi putih otak dan dapat menyebar
sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopik,
sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi
eritrosit yang telah mengandung parasit dan dapat dijumpai
pembekuan fibrin, dan dapat terdapat reaksi selular pada ruang
perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria
tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada
jantung atau saluran cerna atau ditempat lain dari tubuh, yang
berakibat pada berbagai manifestasi klinik.
Pada ginjal selain terjadi pewarnaan oleh pigmen malaria juga
dijumpai salah satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis
tubulus akut dan atau membranoproliverative glomerulonefritis.
Nekrosis tubulus akut dapat terjadi bersama dengan hemolisis massif
dan hemoglobinuria pada black water fever tetapi dapat juga terjadi
tanpa hemolisis, akibat kurangnya aliran darah karena hipovolemia
dan hiperviskositas darah. P.falciparum menyebabkan nefritis
sedangkan P.malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan
syndrome nefrotik.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan
invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit
yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan
biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan
tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel,
sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang
telah terinfeksi P. falciparum pada reseptor di bagian endotelium
venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada
eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah
eritrosit yang mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh
sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentu
seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan
darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan
eritrosit yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah
multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit
tetapi juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit
sehingga menimbulkan anemia dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis
intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black white
fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu
makrofag yang sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai
mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit
malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang
merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia
dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat
menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan
pada orang dewasa.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka
Eritrosit yang terinfeksi dengan P.falciparum menjadi terasing
dalam kapiler visceral tempat skizogoni terjadi. Pengasingan
(sequestrasi) eritrosit terinfeksi P.falciparum matang dalam
mikrosirkulasi tampaknya patogenetik yang penting. Diyakini bahwa
eritrosit yang terinfeksi P.falciparum menjadi kurang bisa berubah
bentuk dibanding sel normal; maka tidak mudah melintasi pembuluh
kapiler.
Bukti penelitian menunjukkan bahwa struktur seperti benjolan,
elekron-dense pada membrane eritrosit yang terinfeksi penting untuk
mengarahkan ligan adhesi ke reseptor sitoadheren sel endotel
seperti CD-36 dan mungkin ICAM-1, tetapi sekarang tampaknya
benjolan ini tidak perlu untuk sitoadheren. Lebih jauh, protein
membrane eritrosit yang terinfeksi dengan berat 270 kD yang baru
ditemukan, sekuestrin, tampaknya mengikat khusus pada CD-36.
Pengamatan ini menunjukkan lebih jauh bahwa CD-36 adalah reseptor
utama untuk ligan parasit pada endotel vascular. Akhirnya,
eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk
gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia
dan edema jaringan.
Pertama parasit dalam sel darah merah (PRBCs) menempel pada
reseptor yang diekspresikan oleh sel endotel mikrovaskular di otak,
diantaranya molekul adhesi intracellular 1 (ICAM1), melalui
ekspresi membrane protein 1 (EMP1) pada permukaan eritrosit yang
mengandung Plasmodium falciparum. Ketika merozoit dikeluarkan dari
PRBCs 4 jam kemudian, glycosylphosphatidylinositol (GPI) parasit,
yang mana dikeluarkan kedalam aliran darah atau nampak di membran
parasit, berfungsi sebagai pathogen yang berhubungan dengan bentuk
molekuler dan toksin, dengan cara demikian menginduksi respons
inflamasi. Respons fase akut local kemudian terjadi, yang mana
mengaktifkan produksi sitokin dan chemokin endotel dan local, dan
ini hasil dari peningkatan ekspresi molekul adhesi sel endotel.
Dalam waktu 24 jam kemudian, siklus ini dipertahankan dan
dieksaserbasi, memperlihatkan peningkatan jumlah parasit dan ikatan
PRBCs pada sel endotel yang membangkitkan ekspresi molekul
adhesi.
GPI dapat juga berfungsi sebagai ligand CD1 yang dibatasi sel
natural killer T (NKT), yang menyebabkan aktivasinya. Pengaktifan
sel NKT dapat mengatur differensiasi sel T CD 4 menjadi sel T
helper 1 (Th1) atau Th2, tergantung pada lokus kompleks natural
killer yang diekspresikan sehingga teraktivasi. Ditambah lagi,
chemokin membangkitkan monosit dan netrofi ( walaupun netrofiltidak
diketahui menginfiltrasi mikrovaskuler otak pada sesorang dengan
serebral malaria). Pengaktifan monosit dapat juga berdiferensiasi
menjadi makrofag dan beristirahat di mikrovaskuler otak.
Aktivasi makrofag local menghasilkan lebih banyak chemokin, yang
mana dikeluarkan secara sistemik, dengan demikian mengakibatkan
penambahan infiltrasi sel, sekuestrasi PRBCs dan mengeluarkan
mikropartikel. Lebih banyak mikropartikel platelet, sel endotel,
dan monosit dikeluarkan, yang mana menyebabkan penyebaran
pro-inflamasi dan pro-koagulan. Akhirnya, menyebabkan kerusakan
endotel, kemungkinan pendarahan perivascular, jejas axonal, dan
neurotransmitter dan terjadi gangguan metabolik.
6. Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien
non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval
tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode bebas
demam (periode laten. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah,
nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien
dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium
atau satu jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu
berbeda), maka serangan demam terus menerus (tanpa interval),
sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang
berurutan yakni stadium dingin (cold stage), stadium demam (hot
stage) dan stadium berkeringat (sweating stage) Paroksisme ini
biasanya jelas terlihat pada orang dewasa tapi jarang dijumpai pada
usia muda. Pada anak dibawah 5 tahub, stadium dingin seringkali
bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama
didahului oleh masa inkubasi (intrinsic). Masa inkubasi bervariasi
antara 9-30 hari tergantung padaspesies parasit, paling pendek pada
Plasmodium falciparum dan paling panjang pada Plasmodium malariae.
Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi,
pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas
pejamu. Pada malaria akibat transfuse darah, masa inkubasi
Plasmodium falciparum adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari dan
Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfuse. Masa
inkubasi pada penularan secara alamiah pada masing-masing spesies
parasit, untuk Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale 13-17 hari, dan Plasmodium malariae 28-30 hari.
Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa
timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium yaitu:
Periode dingin(
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang
sangat dingin. Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya
dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat
tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering
dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada pasien mungkin muntah dan
pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15
menit sampai 1 jam.
Periode demam(
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa
kepanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti
terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi
menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi kuat lagi. Biasanya
pasien menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai
410 C atau lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam
disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang
telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah.
Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap
generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam
setiap hari ketiga terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada
Plasmodium malariae, demam terjadi pada 72 jam (setiap hari
keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada Plasmodium
falciparum, setiap 24-48 jam.
grafik demam malaria
Periode berkeringat(
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat
tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat,
kadang-kadang sampai dibawah normal.
Gejala tersebut diatas tidak selalu sama pada setiap pasien,
tergantung pada spesies parasit, berat infeksi dan usia pasien.
Gejala klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang
disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk tropozoit dan
skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tetentu
seperti otak, hati, dan ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya
pembuluh darah organ-organ tersebut. Gejala mungkin berupa koma,
kejang sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling sering
disebabkan oleh malaria jenis ini. Black watwr fever yang merupakan
komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin sehingga
menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari
Black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti
empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang
menderita infeksi Plasmodium falciparum berulang. Dengan infeksi
yang cukup berat.
Didaerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau
holoendemik), pada orang dewasa seringkali tidak dijumpai gejala
klinis walaupun darahnya mengandung parasit malaria. Hal ini
disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena infeksi
berulang. Limpa biasanya membesar pada serangan pertama yang berat
atau setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama.
Dengan pengobatan yang baik, limpa secara berangsur-angsur akan
mengecil kembali.
Malaria tanpa komplikasi(
Pada daerah hiper atau holoendemik, control malaria efektif
sehingga serangan malaria akut sering terjadi pada anak usia 6
bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas secara
aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat imunitas, maka gejala
klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada
anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau
lupa minum obat saat masuk ke daerah endemis malaria. Pada daerah
hipoendemik malaria,semua usia dapat terserang malaria.
Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah,
anoreksia, pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala dan mual.
Demam selalu dijumpai tetapi bervariasi. Muntah, nyeri perut dan
diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati sering dijumpai pada
anak. Pada serangan akut, pembesaran hati biasanya terjadi pada
awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan lebih
sering terjadi daripada pembesaran limpa.
Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan
progresivitas penyakit, namun fungsinya jarang terganggu
dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat dijumpai pada
beberap anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar
transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.
Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua;
pembesaran limpa progresif sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada
anak yang telah mengalami serangan berulang, limpa dapat sangat
besar dengan konsistensi keras. Anemia merupakan akibat penting
malaria tropika pada anak. Pada infeksi akut,beratnya anemia
berhubungan lansung dengan derajat parasitemia.
Malaria ovale mempunya gejala klinis lebih ringan daripada
malaria tertian. Pada hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi
gelisah, anoreksia sedangkan anak besar mengeluh nyeri kepala dan
nausea. Demam periodic tiap 48 jam tetapi stadium dingin dan
menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode
demam, anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat.
Demam sering terjadi pada sore hari. Pada anak jarang terjadi
parasitemia berat, terdapat pada kurang dari 2%. Malaria tertian
dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya membesar
dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat
meningkat tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar
transaminase sedikit meningkat untuk waktu singkat. Limpa bertambah
besar selama serangan dan dapat teraba pada mingu kedua. Kejang
dapat terjadi saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila
disertai penyakit lain yang berat, gizi buruk, dan anemia berat.
Pada malaria tertian dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat
tetap berada dalam hati dan dapat menyebabkan relaps. Relaps dapat
terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan hanya obat skizontosida
saja.
Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertian,
hanya periode demam terjadi tiap 72 jam. Sindrom nefrotik dapat
terjadi pada usia 2 samapi 12 tahun dengan puncak pada usia 5-7
tahun. Dijumpai edema berat, proteinuria berat yang menetap,
hipoproteinuria berat dan asites. Serum albumin kurang dari 2 gr/dL
bahkan pada 95% kurang dari 1gr/dL. Tekanan darah biasanya normal
dan tidak jelas adanya azotemia dan hematuria.
Anak-anak dibawah usia 5 tahun sebagian besar mengalami efek
berat dari malaria karena mereka belum memiliki imunitas terhadap
parasit. Infeksi berat dapat menyebabkan kematian pada anak dalam
waktu beberapa jam. Malaria dalam kehamilan dapat berupa infeksi
asimptomatik sampai infeksi berat yan membutuhkan terapi. Di area
yang transmisi malarianya stabil sebagian besar wanita telah
memiliki imunitas alami yang biasanya infeksi tidak menimbulkan
gejala selama kehamilan. Di beberapa area utama malaria, infeksi
malaria berhubungan dengan anemia pada ibu dan adanya parasit dalam
plasenta yang mengakibatkan berat badan lahir rendah (BBLR), yang
mempengaruhi pertumbuhan dan kematian bayi. Di area malaria yang
transmisinya tidak stabil, wanita memiliki sedikit imunitas dan
berisiko mengalami malaria berat dan kematian.
Malaria berat(
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
falciparum yang menyerang berbagai organ dengan gejala dan tanda
yang bervariasi. Penyakit ini menyebabkan 90% dari mortalitas yang
berkaitan dengan infeksi P. falciparum di seluruh dunia, sehingga
WHO menetapkan kriteria standar untuk diagnosis dini dan penanganan
penyakit malaria berat untuk mengurangi angka kematian.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
falciparum stadium aseksual. Malaria dengan disertai satu atau
lebih kelainan seperti tertera dibawah ini merupakan malaria berat,
antara lain:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran menurun (delirium,
stupor, koma)
2. Anemia berat, kadar hemoglobin kurang dari sama dengan 5
g/dL
3. Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolic) dan
gangguan elektrolit
4. Hipoglikemia berat
5. Gagal ginjal
6. Edema paru berat
7. Kegagalan sirkulasi (Algid malaria)
8. Kecenderungan terjadinya pendarahan
9. Hiperpireksia/hyperthermia
10. Hemoglobinuria/ Black water fever
11. Ikterus
12. Hiperparasitemia
Angka kematian malaria berat dalam penelitian Halim ID,dkk
adalah 4% yang terjadi pada penderita malaria serebral dan malaria
algid. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan
penelitian di Gambella Ethiopia Barat yang dilakukan pada tahun
1998-1999 dengan angka kematian sebesar 22% dan kebanyakan kematian
terjadi dalam 24 jam pertama. Demikian pula angka kematian malaria
berat di Kenya sekitar 10% dengan kematian terjadi sebanyak 27%
dalam 48 jam pertama. Pada penelitian di Myanmar tahun 1995
ditemukan angka kematian terbanyak terjadi dalam 24 jam pertama
sebesar 57%.
Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. RD Kandou Manado
1991-2000 ditemukan 67 kasus dengan angka kematian sebesar 17,2%.11
Pada penelitian Schellenberg et al di Kenya mendapatkan bahwa
penderita malaria berat yang dirawat di rumah sakit sebagian besar
bertempat tinggal dekat rumah sakit dengan jarak kurang dari 5 km
(31,6%), jarak 5-10 km sebanyak 22,6%, jarak 10-15 km sebanyak 21%,
jarak 15-20 km sebanyak 14,8%,dan jarak lebih dari 25 km sebanyak
5%. Dikatakan juga, meskipun dengan penggunaan antimalaria secara
parenteral dan penanganan komplikasi malaria yang intensif, angka
kematian dari malaria serebral masih sekitar 25-50% dan akan
terjadi cacat neurologik sebesar 10%. Jika tidak ditangani dengan
baik malaria serebral akan meninggal dalam 24-72 jam.
Tanda dan gejala klinis malaria berat dapat berbeda menurut umur
dan letak geografis serta berbeda dalam hal frekuensi penularan
penyakit malaria. Malaria serebral merupakan bentuk malaria berat
yang sering ditemukan di Gambia, sedangkan malaria falciparum
dengan anemia berat sering ditemukan pada anak-anak di Papua New
Guinea. Demikian juga pada penelitian di Gambella didapatkan bahwa
malaria falciparum dengan anemia yang berat paling sering ditemukan
dengan jumlah sekitar 33%. Pendapat ini didukung oleh penelitian
Ejov et al di Myanmar pada tahun 1995 yang mendapatkan penderita
malaria berat yang disertai dengan anemia sebesar 75% dari seluruh
penderita. Pada penelitian ini kami menemukan bahwa malaria
falciparum dengan hiperparasitemia yang terbanyak sekitar 49% dan
diikuti oleh malaria falciparum dengan anemia berat. Hal itu
mungkin disebabkan adanya faktor dari imunitas atau kekebalan yang
terdapat pada anak-anak yang berada di daerah endemis.
Malaria Serebral
Malaria serebral merupakan komplikasi berat dari malaria
falciparum dan menyebabkan kematian bila tidak cepat diobati.
Keadaan ini merupakan kegawatan akut yang memerlukan penanganan
segera. Penanganannya adalah memberantas parasitemia, mengurangi
edema serebri, mengatasi kejang, memperbaiki keseimbangan cairan
dan elektrolit, dan perawatan yang baik.
Pada penelitian Halim ID,dkk ditemukan angka kematian malaria
serebral sebesar 24% (sebanyak 5 penderita dari 21 penderita
malaria serebral yang dirawat). Hal itu kemungkinan disebabkan
terlambatnya penderita dibawa berobat, dengan lama perawatan
rata-rata 2,2 hari dan beratnya komplikasi yang sudah terjadi. Hal
itu sesuai dengan angka kematian penderita malaria serebral pada
penelitian anak-anak di Afrika tahun 1998 sebesar 18,6%.
Pada malaria serebral, kesadaran anak apatis sampai koma. Tanda
neurologic yang penting pada malaria serebral adalah gangguan upper
motor neuron yang simetris dan batang otak. Pendarahan dan eksudat
pada retina dijumpai pada beberapa kasus namun lebih jarang
dibandingkan orang dewasa. Delirium, halusinasi atau mengamuk
sangat jarang pada anak. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya
dalam batas normal. Pada sebagian besar malaria serebral disertai
anemia berat dan parasitemia berat. Kadang-kadang jumlah
parasitemia didalam darah tepi rendah yang mungkin disebabkan oleh
pengobatan antimalaria yang tidak adekuat atau berada didalam
kapiler organ dalam. Hati dan limpa sering dapat diraba. Edema paru
dijumpai pada 10% kasus anak, sedangkan oliguria dan azotemia
jarang ditemukan pada anak dibandingkan dengan orang dewasa.
Pemeriksaan EEG terdapat kelainan yang tidak spesifik.
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang
dan koma, tanpa penyebab lain lain dari koma. Gejala paling dini
dari malaria serebral anak-anak umumnya adalah demam (37,50 -410
C), selanjutnya tidak bisa makan atau minum, sering mengalami rasa
mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang mendahului koma
dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering
kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami
malaria serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah
jam setelah kejang. Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan skala
koma Glasgow (GCS) atau modifikasi khusus pada anak yaitu skala
koma Blantyre, melalui pengamatan terhadap respons rangsangan bunyi
atau rasa nyeri yang standar, ketukan (knuckle) iga pada dada anak
dan jika tidak ada respons lakukan tekanan kuat pada kuku ibu jari
dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi
kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali
untuk menilai ada kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi
pada sebelum atau sesudah timul koma. Hal ini secara bermakna
berhubungan dengan morbiditas dan gejala sisa. Sekelompok anak yang
dapat ertahan hidup setelah menderita malaria serebral kurang lebih
10% mengalami gejala sisa neurologic yang menetap. Selama periode
penyemuhan, gejala sisa dapat berbentuk hemiparesis, ataksia
serebelar, kebutaan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental,
kekakuan yang menyeluruh atau afasia.
Skala Koma Blantyre
Penilaian Spontan Nilai
Pergerakan mata Terarah (misalnya mengikuti wajah ibunya) 1
Tidak terarah 0
Respons verbal Menangis yang wajar 2
Menangis yang tidak wajar atau merintih 1
Tidak ada 0
Respons motorik Rangsangan nyeri setempat (ketuk iga atau
sternum) 2
Menarik tungkai dari sumber nyeri (tekan kuat pada kuku dengan
pensil) 1
Respons yang tidak spesifik 0
Jumlah 0-5
Pada skala koma Blantyre disebut unrousable coma bila jumlah
nilai 3
Anemia
Anemia merupakan penyebab penting dari angka kematian dan
kesakitan pada penderita yang mengalami infeksi malaria berat dan
merupakan salah satu komplikasinya di wilayah endemis. Dalam
penelitian Halim dkk, anemia pada tingkatan manapun tidak
menimbulkan kematian, namun bila anemia disertai dengan adanya
komplikasi dari malaria berat lainnya akan dapat mengakibatkan
kematian. Hal itu sama dengan penelitian yang dilakukan di Gambia
dan juga yang dilakukan di Gambella. Umur dari 148 penderita antara
1 tahun 2 bulan dan 12 tahun 8 bulan dengan ratarata 6 tahun 4
bulan. Grebe menemukan penderita sebagian besar berumur 1-5 tahun
sebanyak 110 penderita (87%) dan berumur di atas 5 tahun sebanyak
17 penderita (13%) dengan umur rata-rata 36,7 bulan. Pada
penelitian Ejov et al tahun 1995 di Myanmar mendapatkan bahwa angka
kesakitan malaria berat ditemukan terbanyak pada anak yang berumur
5-9 tahun.
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia
terjadi. Pada beberapa pasien, serangan malaria berulang yang tidak
diobati secara adekuat akan menyebabkan anemia normokrom sebagai
akibat perubahan eritropoetik di dalam sumsum tulang. Walaupun
parasitemia tidak berat, didalam darah perifer sudah tampak sel
leukosit monosit berpigmen. Seorang anak yang mendadak menderita
anemia berat seringkali berhubungan dengan hiperparasitemia. Anemia
dapat pula terjadi akibat penghancuran eritrosit yang mengandung
parasit. Anak dengan anemia berat dapat menderita takikardia dan
dispneu. Anemia turut berperan dalam (1) gejala serebral yaitu
bingung, gelisah, koma dan pendarahan retina, (2) gejala
kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan
edema paru. Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun
(1997-1998) ditemukan anemia (Hb 5% dan adanya skizontaemia yang
berhubungan dengan malaria berat. Penderita dengan parasitemia
berat akan meningkatkan terjadinya resiko komplikasi berat.
7. Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis pasti infeksi malaria ditegakkan dengan
pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic
cepat.
1. Anamnesis
( Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan
pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang
lalu ke daerah endemik malaria.(
Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.(
Riwayat sakit malaria.(
Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.(
Riwayat mendapat transfusi darah.(
Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka anak malaria
berat, dapat ditemukan keadaan di bawah ini:
Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.(
Keadaan umum yang lemah.(
Kejang-kejang.(
Panas sangat tinggi.(
Mata dan tubuh kuning.(
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.(
Nafas cepat (sesak napas).(
Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.(
Warna air seni seperti teh pekat dan dapa(t sampai
kehitaman.
Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.(
Telapak tangan sangat pucat.(
2. Pemeriksaan Fisik
Demam (37,5oC)(
Kunjunctiva atau telapak tangan pucat(
Pembesaran limpa(
Pembesaran hati(
Pada anak tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis
sebagai berikut:
Temperature rectal 40oC.(
Nadi capat dan lemah.(
Tekanan darah sistolik( 40 kali permenit pada balita, dan >50
kali permenit pada anak dibawah 1 tahun.
Penurunan kesadaran.(
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.(
Tanda-tanda dehidrasi.(
Tanda-tanda anemia berat.(
Sklera mata kuning.(
Pembesaran limpa dan atau hepar.(
Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.(
Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.(
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada
anak adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam darah
tepi. Pemeriksaan darah tetes tebal (identifikasi
plasmodium/tingkat parasitemia) dan tipis dengan pewarnaan Giemsa
untuk menentukan:
Ada/tidaknya parasit malaria.(
Spesies dan stadium Plasmodium(
Kepadatan parasit(
- Semi kuantitatif:
(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB
(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
- Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah
tebal (leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit).
Contoh:
Bila dijumpai 1500 parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah
leukosit 8000/uL maka hitung parasit 8000/200 x 1500 parasit =
60.000 parasit/uL.
Bila dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Bila jumlah
eritrosit 450.000 maka hitung parasit = 450.000/1000x50 = 225.000
parasit/uL
Gambar Tetes darah tebal dan tipis
Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai
dari retikulosit sampai eritrosit yang telah matang. Pada
pemeriksaan darah tepi baik hapusan maupun tetes tebal terutama
dijumpai parasit muda bentuk cincin (ring form). Juga dijumpai
gametosit dan pada kasus berat yang biasanya disertai komplikasi,
dapat dijumpai bentuk skizon. Pada kasus berat, parasit dapat
menyerang sampai 20% eritrosit. Bentukseksual/gametosit muncul
dalam waktu satu minggu dan dapat sampai beberapa bulan setelah
sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan tipis,
gametositnya berbentuk pisan dan terdapat bintik Maurer pada sel
darah merah. Pada sediaan darah tebal dapat dijumpai gametosit
berbentuk pisang, banyak sekali bentuk cincin tanpa bentuk lain
dewasa (star in the sky), terdapat balon merah di sisi luar
gametosit.
Plasmodium falciparum
Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada
pemeriksaan darah tepi bik hapusan tipis maupun tebal biasanya
dijumpai semua bentuk parasit aseksual dari bentuk ringan sampai
skizon. Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit. Tanda-tanda
parasit malaria yang khas pada sediaan darah tipis, dijumpai sel
darah merah membesar, terdapat titik Schuffner pada sel darah merah
dan sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang sedang
berkembang dan bayangan merah di sisi luar gametosit
Plasmodium vivax
Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah
matang. Pada sediaan hapusan darah perifer tipis maupun tetes tebal
dapat dijumpai semua bentuk parasit aseksual. Biasanya parasit
menyerang kurang dari 1% dari jumlah eritrosit. Parasit pada
sediaan darah tepi tipis berbenyuk khas seperti pita (band form),
skizon berbentuk bunga ros(rosette form), tropozoit kecil bulat dan
kompak beisi pigmenyang menumpuk, kadang-kadang menutupi
sitoplasma/inti atau keduanya.
Plasmodium malariae
Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan
hal-hal sebaga berikut:
Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negative, perlu diperiksa
ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.(
( Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari
berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria
disingkirkan
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic
Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit
malaria, dengan menggunakan metoda immunokromatografi dalam bentuk
dipstik. Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada
saat terjadi kejadian luar biasa dan didaerah terpencil yang tidak
tersedia fasilitas laoratorium serta untuk survey tertentu.
Tes yang tersedia di pasaran saat ini mengandung:
HRP-2 (Histidin rich protein 2) yan diproduksi oleh tropozoit,
skizon dan gametosit muda Plasmodium falciparum.(
( Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang
diproduksi oleh parasit bentuk aseksual atau seksual Plasmodium
falciparum, P.vivax, dan P.malariae.
Kemampuan rapid test yang beredar pada umumnya ada 2 jenis
yaitu:
Single yang mampu mendiagnosis hanya infeksi Plasmodium
falciparum(
Combo yang mampu mendiagnosis infeksi P.falciparum dan non
falciparum(
Oleh karena tekhnologi ini baru memasuki industry maka sngat
perlu untuk memperhatikan kemampuan sensitivitas dan spesifisitas
dari alat ini. Dianjurkan untuk menggunakan rapid test dengan
kemampuan minimal sensitivity 95% dan spesifisity 95%. Hal yang
penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari
es tetapi tidak dalam frezer pendingin.
c. Tes serologi
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adlah IFA
(indirect fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination
test) dan ELISA ( Enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes
ini untuk diagnosis malaria akutsanat terbatas, karena baru akan
positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam
darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik
untuk diagnosis epidemiologi. Pada daerah endemis atau pernah
endemis, tes serologi berguna untuk:
Menentukan berapa lama endemisitas berlangsung(
Menentukan perubahan derajat transmisi malaria(
Menentukan daerah malaria dan focus transmisi(
Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan
untuk:
Skrining donor darah.(
Menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada
pemeriksaan darah tidak ditemukan parasit.(
Menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria
bila cara lain tidak berhasil.(
Tekhnik diagnostic lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative
buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga
akridin kemudian diperiksa dibawah mikroskop fluoresens. Tekhnik
mutahir lain dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe
untuk deteksi antigen.
d. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:
Hemoglobin dan hematokrit(
Hitung jumlah leukosit, trombosit(
( Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT &
SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium
dan kalium, analisis gas darah)
EKG(
Foto thoraks(
Analisis cairan serebrospinalis(
Biakan darah dan uji serologi(
Urinalisis(
8. Pengobatan Malaria
Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain
klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivate
artemisin. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk
profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal
malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria,
sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal
penderita malaria falciparum tanpa komplikasi. Kina merupakan obat
anti malaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria falciparum
tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan
malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Primakuin digunakan
sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan
radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk
pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten
multidrugs.(14).
Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria.
Khusus di Rumah Sakit, obat tersebut dapat digunakan dengan
kombinasi obat antimalaria lain, untuk mengobati penderita resisten
multidrugs. Obat antibiotika yang sudah diujicoba sebagai
profilaksis dan pengobatan malaria diantaranya adalah derivate
tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin,
sulfametoksazol-trimetoprim dan siprofloksasin. Obat-obat tersebut
digunakan bersama obat anti malaria yang bekerja cepat dan
menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina.
Penatalaksanaan Malaria tanpa komplikasi
Obati anak secara rawat jalan dengan obat antimalaria lini1.
Terapi yang direkomendasikan WHO sekarang adalah kombinasi antara
artemisinin sebgai obat lini 1. Klorokuin dan sulfadoksin
pirimetamin tidak lagi menjadi obat anti malaria lini 1 maupun ke2
karena tingginya angka resistensi obat ini terhadap malaria
falciparum. Berikan pengobatan 3 hari dengan memberikan regimen
yang dapat dipilih dibawah ini.
- Artesunat ditambah amodiakuin
Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 153 mg Amodiakuin basa
Artesunat: 4 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
Amodiakuin: 10 mg/KgBB/dosis tunggal selama 3 hari
- Dehidroartemisinin ditambah piperakuinin
Dehidroartemisinin: 2-4 mg/kgBB
Piperakuin: 16-32 mg/kgBB/dosis tunggal
Obat kombinasi ini diberikan selama 3 hari
- Artesunat ditambah sulfadoksin pirimetamin
Artesunat tablet terpisah 50 mg dan 500 mg sulfadokasin atau 25
mg pirimetamin
Dosis artesunat 4 mg/kgBB dosis tunggal selama 3 hari
SP 25 mg/kgBB dosis tunggal
- Artemeter atau lumefantrin
tablet kombinasi yang mengandung 20 ng artemeter dan 120
lumefantrin
Artemeter: 3,2 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
Lumefantrin: 20 mg/kgBB
Tablet kombinasi ini dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 3
hari
- Amodiakuin ditambah Sulfadoksin pirimetamin
Tablet terpisah 153 mg Amodiakuin dan 500 mg Sulfadoksin atau 25
mg pirimetamin
Amodiakuin: 10 mg/kgBB/ dosis tunggal
SP: 25 mg/kgBB/dosis tunggal
Untuk malaria falciparum, khusus untuk usia >1 tahun
tambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB/ dosis tunggal selama 1 hari.
Untuk vivax, ovale dan malariae tambahkana primakuin 0,25
mg/kgBB/dosis tunggal selama 14 hari.
Tindak lanjut
Minta ibu untuk kunjungan ulang jika demam menetap setelah obat
diminum berturut-turut dalam 3 hari atau lebih awal jika kondisi
anak memburuk. Ibu juga harus kembali lagi jika demam timbul
lagi.
Jika hal ini terjadi, periksa apakah anak memang minum obatnya
dan ulangi apusan darah. Jika obat tidak diminum ulangi pengobatan.
Jika obat telah diberikan, namun hapusan darah masih positif
berikan obat antimalaria lini ke 2. Lakukan penilaian ulang pada
anak untuk mengetahui dengan jelas kemungkinan lain penyebab demam.
Jika demam timbul pada pengobatan lini ke 2 minta ibu untuk
kunjungan ulang untuk menilai kembali penyebab lain demam.
Menurut keputusan menteri kesehatsn Indonesia tahun 2007,
ditetapkan pengobatan malaria yaitu:
a. Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuin
dosis artesunat= 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10
mg/kgBB (dosis tunggal), primakuin= 0,75 mg/kgBB (dosis
tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat
badan anak, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan
umur. Dosis makasimal penderita dewasa yan dapat diberikan untuk
artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, 3 tablet untuk
primakuin.
Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut
Kelompok Umur.
Hari
Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
I Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4
Primakuin - - 1 2 2-3
II Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4
III Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan
malaria falciparum. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan
untuk membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin
bertujuan untuk membunuh gametosit yang berada di dalam darah.
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila
pengobatan lini pertama tidak efektif.
Lini kedua: Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin
Dosis kina=10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin=
4 mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th,
2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin= 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7
hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan
berat badan anak, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan
golongan umur.
Tabel 3. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum
Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-11 bln 1-4 th 5- 9 th 10-14 th 15 th
I Kina * 3x 3x1 3x 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
Primakuin - 1 2 2-2
II-VII Kina * 3x 3x1 3x 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
* : dosis diberikan per kgBB
** : 2x50 mg doksisiklin
*** : 2x100 mg doksisiklin
b. Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale
Lini pertama: Klorokuin+Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai piliha utama untuk pengobatan
malaria vivax dan ovale. Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh
parasit stadium aseksual dan seksual. Pemberian primakuin selain
bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat membunuh
parasit aseksual di eritrosit(3).
Dosis total klorokuin= 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3 hari),
primakuin= 0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan
berat badan anak obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur,
sesuai dengan tabel.
Tabel 4. Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale
Hari Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis
tunggal)
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
I Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1
II Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1
III Klorokuin 1/8 1 1 2
Primakuin - - 1
IV-XIV Primakuin - - 1
Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah
pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh
(sejak hari keempat) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual
sejak hari ketujuh(3). Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28
hari setelah pemberian obat:
Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau(
Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak
berkurang atau timbul kembali setelah hari ke-14.(
( Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali
antara hari ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps
atau infeksi baru).
Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin
Lini kedua: Kina+Primakuin
Dosis kina= 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin=
0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis
berdasarkan golongan umur sebagai berikut:
Tabel 5. Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin
Hari
Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
1-7 Kina * * 3x 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - 1
*: dosis diberikan per kgBB
Pengobatan malaria vivax yang relaps
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang
ditingkatkan. Dosis klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3
hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan selama
14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga dapat
ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan
umur.
Tabel 6. Pengobatan Malaria vivax yang Relaps
Hari
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
1 Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1 1 2
2 Klorokuin - 2 3 3-4
Primakuin - - 1 1 2
3 Klorokuin 1/8 1 1 2
Primakuin - - 1 1 2
14-14 Primakuin - - 1 1 2
c. Pengobatan malaria malariae
Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25
mg/kgBB. Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual dan
seksual P. malariae. Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan
golongan umur anak.
Tabel 7. Pengobatan Malaria Malariae
Hari
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
I Klorokuin 1 2 3 3-4
II Klorokuin 1 2 3 3-4
III Klorokuin 1/8 1 1 2
Penatalaksanaan Malaria dengan komplikasi (Malaria Berat)
Tindakan gawat darurat-harus dilakukan dalam waktu satu jam
pertama
- Bila ada hipoglikemia atasi sesuai dengan tatalaksana
hipoglikemia
- Atasi kejang sesuai dengan tatalaksana kejang
- Perbaiki gangguan sirkulasi darah
- Jika anak tidak sadar, pasang pipa nasogastrik dan isap isi
lambung secara teratur untuk mencegah risiko pneumonia aspirasi
- Atasi anemia berat
- Mulai pengobatan dengan obat anti malaria yang efektif.
Pengobatan anti malaria
Obat antimalaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina
pirimetamin dan sulfadoksin. Obat anti malaria dapat digolongkan
dalam 5 kelompok, yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer
Obat anti malaria yang tergolong kelompok ini dapat membunuh
parasit stedium praeritrositer dalam beberapa hari sehingga parasit
masuk ke dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai profilaksis
kausal. Contoh: proguanil, pirimetamin
2. Skizontisida jaringan sekunder
Kelompok obat ini dapat membunuh parasit siklus praeritrositer
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dan digunakan untuk
pengobatan radikal sebagai anti relaps. Contoh: primakuin
3. Skizontisida darah
Kelompok obat antimalaria yang membunuh parasit stadium
eritrositik pada malaria akut (disertai gejala klinik) pada semua
spesies plasmodium. Contoh: kuinin, klorokuin, proguanil dan
pirimetamin
4. Gametositosida
Obat kelompok gametosida berfungsi menghancurkan semua bentuk
seksual terasuk gametosida Plasmodium falciparum, contoh primakuin
sebagai gameosida keempat spesies, sedangkan kuinin dan klorokuin
sebagai gametosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale
5. Sporontosida
Sporontosida dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam
darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles.
Contoh: primakuin, proguanil.
Jika konfirmasi apusam darah untuk malaria membutuhkan waktu
lebih dari satu jam, mulai berikan pengobatan malaria sebelum
diagnosis dipastikan atau sementara gunakan RDT.
WHO merekomendasikan artesunat, dimana Jadwal pemberian
Artesunat IV yaitu untuk Jam ke-0, Jam ke-12, Jam ke-24 Artesunate
2.4 mg/kg. Kemudian tiap 24 jam: Artesunate 2.4 mg/kg perhari
sampai pasien dapat mentoleransi pengobatan oral. Artesunat dapat
diberikan secara IM dengan dosis yang sama dengan IV. Untuk
pengobatan Malaria berat, dapat diberikan Arthemeter IM jika
injeksi Artesunat tidak tersedia. Jam ke-0 Artemether 3.2 mg/kg H24
Artemether 1.6 mg/kg setiap 24 jam sampai pengobatan oral bisa
ditoleransi. Gunakan semprit 1 ml untuk memberikan volume suntikan
yang kecil
Untuk pengobatan malaria berat lainnya dapat diberikan Kina
(IV), dimana pada jam ke-0 sampai jam ke-4, 20 mg/kg dalam cairan
NaCL diberikan lebih dari 4 jam (lebih baik dipilih pemberian dalam
burette) . Jam ke-8, 10 mg/kg diberikan lebih dari 2 jam dan ini
diulang tiap 8 jam (Jam ke 16, jam ke 24 dan seterusnya, total
dosis harian 30 mg/kg) sampai anak bisa minum obat. Kemudian
berikan dosis oral untuk menyelesaikan 7 hari pengobatan atau
berikan 1 dosis SP bila tidak ada resistensi. Jika ada resistensi
SP berikan dosis penuh terapi kombinasi artemisin. Dosis awal kina
diberikan hanya bila ada pengawasan ketat dari perawat terhadap
pemberian infuse dan pengaturan tetesan infuse. Jika ini tidak
memungkinkan lebih aman untuk memberikan obat kina intramuskuler.
Kina intramuskuler diberikan jika obat kina melalui infuse tidak
dapat diberikan. Quinine dihidroklorida dapat diberikan dalamm
dosis yang sama melalui suntikan intramuskuler. Berikan aram kina
10 mg/kgBB IM dan ulangi setiap 8 jam. Larutan parenteral harus
diencerkan sebelum digunakan karena akan lebih mudah untuk diserap
dan tidak nyeri.
Perawatan penunjang
Pada anak yang tidak sadar:
- Jaga jalan nafas
- Posisi miring untuk menghindari aspirasi
- Ubah posisi pasien tiap setiap 2 jam
o Pasien harus berbaring dialas yang kering
o Perhatikan titik-titik yang tertekan
Lakukan tindakan pencegahan berikut dalam pemberian cairan:
- Jika dehidrasi
- Selama rehidrasi, pantau tanda kelebihan cairan. Tanda yang
paling mudah adlah pembesaran hati. Tanda lainnya adalah irama
derap, fine cracles (ronki) pada dasar paru dan atau peningkatan
JVP. Edema kelopak mata merupakan tanda yang berguna.
- Jika, setelah rehidrasi dieresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam,
berikan furosemid intravena dengan dosis awal 1 mg/kgBB. Jika tidak
ada reaksi, gandakan dosis dengan interval tiap jam hingga maksimal
8 mg/kgBB (diberikan selama 15 menit).
- Pada anak tanpa dehidrasi, pastikan anak mendapatkan cairan
sesuai kebutuhan.
Hindari menggunakan obat-obatan tambahan yang tidak berguna dan
membahayakan seperti kortikosteroid (dan obat anti radan lainnya),
heparin, adrenalin, prostasiklin dan sikosporin.
Terapi untuk komplikasi khusus
a. Koma
Untuk mengukur tingkat kesadaran dapat digunakan Glasgow Coma
Scale pada dewasa dan Blantyre Coma Scale pada anak 5 tahun.
1) Cek gula darah , hipoglikemia = < 2.2 mmol/l; < 40
mg/100ml
2) Lihat tanda-tanda meningitis, diantaranya kaku kuduk: jika
ada, pertimbangkan untuk lumbal pungsi (LP) dan mulai pemberian
antibiotic IV. Jangan lakukan LP jika ada tanda peningkatan TIK
diantaranya pupil anisokor, pupil tidak reaktif, bradikardia atau
nafas tidak teratur. Jika tidak bisa melakukan LP tapi sudah yakin
ada meningitis, maka mulailah pemberian antibiotic.
3) Observasi secara teratur, awal setiap jam sampai pasien
stabil dan kemudian tiap 4 jam, ini meliputi gula darah, nadi,
tekanan darah, kesadaran.
4) Monitor dan catat input dan output cairan, sebaiknya dipasang
kateter urin. Saat urin kurang dari 0.5ml/kg/jam atau ada
tanda-tanda dehidrasi, pertimbangkan untuk pemberian cairan bolus.
Cairan Normal Salin awalnya 20 ml/kg pada anak-anak.Ini dapat
diulang maksimal 40ml/kg pada anak-anak. Observasi tanda-tanda
oedema paru dan auskultasi dada untuk mendengarkan krepitasi
(oedema paru). Jika ada pertimbangkan pemberian furosemid
1mg/kgBB.
5) Observasi kejang, jika ada kejang sebaiknya diterapi.
6) Monitor parasitaemia setiap 6-12 jam sampai negatif
7) Cek haemoglobin atau haematocrit setiap 24 jam
8) Berikan asuhan keperawatan yang baik
9) Masukkan NGT dan kosongkan isi lambung
10) Pertimbangkan untuk mulai pemberian makanan pada hari ke-2
pada anak-anak dan hari.
b. Anemia Berat
Anemia berat ditandai dengan pucat yang sangat pada tangan,
sering diikuti dengan denyut nadi yang x=cepat. Kesulitan vernafas,
kebingungan atau gelisah. Tanda gagal jantung seperti irama Gallop,
pembesaran hati dan edema paru bisa ditemukan.
Berikan transfusi darah sesegera mungkin kepada:
- Hb < 5 gr/dL atau Hct kuramg dari 15%
- Hct > 15%, atau Hb > 5 gr/dL dengan tanda2 sebagai
berikut:
o Dehidrasi, shok, penurunan kesadaran, pernafasan kismaull,
gagal jantung, parasitemia yang sangat tinggi.
Berikan PRC 10 ml/kgBB selama 3-4 jam. Jika tidak tersedia PRC
berikan WB 20 ml/kgBB dalam wwaktu 3-4 jam.
Periksa nafasdan nadi setiap 15 menit, jika salah satnya
mengalaami kenaikan, berikan transfuse dengan tetesan yang lebih
lambat. Jika ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah,
berikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB hingga jumlah maksimal 20
mg/kgBB. Setelah transfuse jika Hb tetap rendah ulangi transfuse.
Pada anak dengan gizi buruk kelebihan cairan merupakan komplikasi
yang umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya
sekali.
c. Hipoglikemia
Gula darah < 2,5 mmol/liter atau < 45 mg/dl lebih sering
terjadi pada pasien umur < 3 tahun, yang mengalami kejang atau
hiperparasitemia dan pasien koma. Periksa glukosa plasma setiap 4
jam pada pasien tidak sadar. Berikan pasien hipoglikemia dengan
Dextrose 50%, 1 ml per kgBB lebih dari 10 menit. Perhatikan bahwa
hipoglikemia dapat kambuh dengan cepat. Hal ini penting untuk
memastikan bahwa hipoglikemia, syok atau penyakit yang berbeda
seperti meningitis bukanlah penyebab kesadaran berubah. Kemungkinan
hipoglikemia lebih tinggi pada anak-anak dan pengobatan dengan
pengobatan kina. Juga, periksa glukosa darah jika ada penurunan
tingkat kesadaran.
d. Meningitis
Jika ada keraguan tentang diagnosis malaria serebral, pungsi
lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan meningitis bakteri,
asalkan tidak ada kontraindikasi. Meningitis harus diperhatikan
jika slide negatif untuk bentuk aseksual P. falciparum, pasien
shock atau jika ada leukositosis dan / atau pergeseran ke kiri
dalam jumlah sel putih (karena ini bukan fitur-fitur umum malaria
berat ), atau jika ada tanda-tanda keterlibatan meningeal seperti
leher kaku. Cairan cerebrospinal berawan (CSF), berarti meningitis
jadi pengobatan awal (idealnya) dengan sefalosporin generasi ke-3
(dewasa ceftriaxone IV 2000 mg BD, anak-anak 80mg/kg BD). Jika
mungkin, CSF harus dikirim untuk jumlah sel, glukosa dan tingkat
protein, Gram dan BTA dan budaya. Gram stain dan kultur (CSF dan
darah) adalah yang paling penting.
e. Jaundice
Pasien dengan malaria berat bisa sangat kuning, karena hemolisis
intravaskular sel darah merah dan disfungsi hati. Ini adalah tanda
prognosis, tetapi tidak ada terapi spesifik.
f. Blackwater Fever
Haemoglobinuria karena hemolisis intravaskular dikaitkan dengan
terapi kina dan defisiensi G6PD. Transfusi darah segar bertujuan
untuk mempertahankan hematokrit di atas 20%. Tidak ada terapi
spesifik. terapi antimalaria tidak harus dihentikan.
g. Shock
Hipotensi berat (tekanan darah sistolik di bawah 80 mmHg) adalah
temuan jarang pada malaria berat dan jika syok septik hadir harus
dicurigai. Sumber infeksi mungkin harus dicari, jika sama sekali
tidak diketahui maka darah harus diambil dan terapi antibiotik
empiris yang mencakup organisme gram negatif harus dijalankan
(misalnya untuk orang dewasa ceftriaxone 2 g BD, untuk anak-anak
80mg/kg BD atau 1 g cefotaxime untuk orang dewasa dan TID 25mg/kg,
dengan atau tanpa dosis tunggal gentamisin 4 mg / kg). Pemberian
cairan (pada orang dewasa 1 L NSS;. Pada anak 20ml/kg NSS (koloid
jauh lebih mahal dan tidak memiliki keuntungan besar) harus
diberikan. Jika ini tidak meningkatkan tekanan darah, pasien
mungkin akan memerlukan terapi vasopresor (dopamin, noradrenalin)
dan harus dirujuk ke rumah sakit. Sementara itu harus dilanjutkan
sampai tekanan darah rata-rata (diastolik BP + 1 / 3 * (diastolik
sistolik) di atas 60 hingga 70 mmHg. Pada syok septik tanpa bantuan
obat-obatan vasopresor dan kemungkinan untuk intubasi/ventilasi,
keseimbangan antara resusitasi cairan dan dekompensasi
kadang-kadang tidak dapat dicapai.
h. DIC
Disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat dicurigai
bila terdapat perdarahan spontan dan oozing dari tempat
venepuncture. Hal ini sangat jarang pada malaria berat (5%), tapi
sangat sering pada septicaemia. Untuk therapy, 10 mg vitamin K
diberikan intravenously (secara lambat) 24 jam untuk 3 hari.
Diagnosisdapat ditegakkan dengan pengukuran clotting times dalam
blood, tapi hal ini tidak essentialpada setiap situasi. Terapi
tambahan tidak direkomendasikan.
g. Kejang
Terapi segera dengan diazepam dan cek gula darah. Dewasa 10 mg
IV setelah 5 menit, Anak 0.3 mg/kg IV, atau pemberian rectal 0.5
mg/kg
Kejang lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa
dengan malaria berat. Profilaksis untuk kejang tidak
direkomendasikan (pedoman WHO 2006). Fenobarbital 20 mg / kg pada
anak-anak Kenya dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, mungkin
dari depresi pernapasan. kejang berulang pada orang dewasa dapat
diobati dengan fenobarbital IM 7 mg / kg, jika tersedia. Pada
anak-anak fenitoin IV 18 mg / kg selama 20 menit (dewasa 5mg/kg)
adalah pilihan.
9. Pencegahan
Pemakaian obat anti malaria(
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah
endemic malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu
setelah keluar dari daerah endemic malaria, tiap minggu diberikan
obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam) maksimal 300 mg basa
sekali seminggu atau
b. Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75
mg/kgBB atau Sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk
umur 6 bulan atau lebih)
Menghindari dari gigitan nyamuk(
o Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk
Penggunaan kelambu dalam pengendalian malaria adalah dalam
rangka melindungi pemakai kelambu dari gigitan dan membunuh yang
hinggap di kelambu untuk mencegah terjadinya penularan.
Sasaran penggunaan dan pembagian kelambu
a. Lokasi
- Daerah atau desa endemis tinggi malaria
- Desa terpencil
- Desa/dusun terjadi KLB
- Di daerah yang penyemprotan rumah tidak efektif
b. Penduduk
- Ibu hamil
- Bayi dan anak balita
- Keluarga miskin
Jenis kelambu yang digunakan dalam pengendalian malaria
adalah
a. Kelambu celup
Kelambu celup adalah jenis kelambu nylon atau katun yang dicelup
dengan insektisida tertentu yang berguna mencegah gigitan nyamuk
dan membunuh nyamuk yang hinggap pada kelambu tersebut.
b. Kelambu Berinsektisida (LLITN=Long Lasting Insecticide
Treated Net)
Kelambu LLITN adalah kelambu yang serat benangnya bercampur
insektisida tertentu kemudian dipintal menjadi benang dan dibuat
rajutan kelambu sehingga insektisida bertahan lama pada kelambu
tersebut. Insektisida dapat bertahan lama sampai 5 tahun yaitu
masih efektif membunuh nyamuk, meskipun dicuci 20 kali.
Sejak November 2004, WHO merekomendasikan LLITN untuk program
pengendalian malaria. Kelambu ini lebih mahal tetapi dibandingkan
kelambu celup (Impregnated Bed Net/IBN), kelambu ini relative lebih
mudah, karena tidak perlu celup ulang setiap 6 bulan dan
efektifitasnya bertahan sampai 5 tahun.
o Menggunakan obat pembunuh nyamuk dan menyemprot obat nyamuk
sebelum malam
o Pakailah pakaian pelindung
o Meminimalkan paparan nokturnal.
o DEET penolak serangga atau minyak kayu putih aroma lemon dapat
diterapkan pada kulit untuk cegah gigitan
o Memakai pakaian lengan panjang dan celana panjang jika berada
di luar pintu atau di luar rumah setelah matahari terbenam.
Vaksin malaria(
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu
mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam-macam stadium pada
perjalanan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya.
Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin,
yaitu
o Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a) Sporozoit yang
berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia, b) Merozoit yang
menyerang eritrosit, dan c) Gametosit yang menginfeksi nyamuk
o Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan.
Jadi, pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masin, tergantung tujuan mana yang
akan dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium falciparum merupakan
vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil,
dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika terutama
pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin
dengan rekayasa genetika.
Konsep memori imunologik dan transfer imunitas lewat serum atau
imunoglobulin tampaknya berperan pada proses terbentuknya kekebalan
terhadap malaria. Individu yang sudah terpapar Plasmodium dalam
waktu yang lama mungkin sudah lebih dulu membangun imunitas
sehingga gejala infeksi tidak begitu nyata, walaupun dari analisis
darah tebal sudah ditemukan Plasmodium. Selain itu apabila serum
darah seorang dewasa yang sudah sering terpapar Plasmodium
diberikan kepada orang lain yang belum pernah terpapar, maka
resipien serum itu akan memperoleh sejumlah imunitas.
Karena itu, prinsip vaksinasi adalah membuat seseorang yang
tidak pernah terpapar Plasmodium menjadi imun dengan cara
memaparkannya pada Plasmodium yang dilemahkan. Dalam hal ini
sporozoit adalah bentuk yang terpenting karena sesuai dengan bentuk
Plasmodium yang dimasukkan nyamuk ke dalam tubuh manusia. Konsep
ini sudah dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan sporozoit
lewat radiasi, namun kendala perbedaan spesies Plasmodium yang amat
bervariasi membuat konsep ini tidak terlalu berkembang pada saat
itu. Sedangkan pada masa sekarang, permasalahan utama adalah
resistensi parasit yang berkembang dengan cepat.
Selain pada fase sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin
bekerja pada tahap lain dalam siklus hidup Plasmodium. Secara
teoritis setiap tahap perkembangan Plasmodiumdalam tubuh manusia
dapat dibuatkan vaksin. Vaksin preeritrositer (hepatik) dibuat
berdasarkan konsep penghambatan pelepasan trofozoit dari skizon
hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T sitotoksik untuk merusak
sel-sel hati yang terinfeksi. Vaksin eritrositer diharapkan dapat
menghambat multiplikasi trofozoit yang dilepaskan skizon hati atau
mencegah invasi trofozoit menuju eritrosit. Ada pula konsep
pembuatan vaksin yang mampu mencegah perlekatan eritrosit ke
dinding pembuluh darah. Fase seksual juga dapat dijadikan dasar
pengembangan vaksin. Fase ini tidak berperan imunologis pada
manusia, namun berperan dalam mencegah penularan lebih lanjut lewat
nyamuk.
Pengembangan vaksin malaria pada saat ini ditujukan untuk dua
kelompok besar. Yang pertama kepada populasi di daerah endemik
malaria, dan yang kedua ditujukan untuk turis dari negara
nonendemik yang berkunjung ke negara endemik. Sebenarnya saat ini
malaria pada turis dapat dicegah dengan pengobatan kemoprofilaksis;
namun pertimbangan efek samping, kepatuhan, kontraindikasi, dan
kenyamanan; cukup membuat para turis dan calon turis mengharapkan
alternatif pencegahan malaria yang lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa kandidat vaksin malaria yang pernah
diuji.
Pada tahun 1987 dikembangkan kandidat vaksin SPf66, dengan
menggunakan antigen permukaan sporozoit dan merozoit Plasmodium
falciparum. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase III, di
mana efektivitasnya turun dari 75% menjadi 60%.
CSP adalah vaksin terhadap Plasmodium falciparum yang
menggunakan rekombinan terhadap komposisi protein permukaan
sporozoit (circumsporozoite protein) yang berikatan dengan toksin
Pseudomonas aeruginosa. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di
fase I, karena efek protektifnya tidak begitu kuat.
Vaksin multifase NYVAC-Pf7 yang mengkombinasikan 7
antigenP.falciparum. Vaksin ini mengandung CSP dan PfSSP2 (antigen
permukaan sporozoit) yang berfungsi protektif pada fase sporozoit;
4 antigen LSA1 (beberapa di antaranya AMA-1, antigen serin, MSP-1)
yang protektif di fase eritrositer; dan 1 antigen fase seksual
(Pfs25). Uji klinik terhadap vaksin ini gagal memicu terbentuknya
antibodi protektif pada manusia.
RTS,S merupakan kandidat vaksin rekombinan yang mengandung
protein permukaan sporozoit P.falciparum dari fase preeritrositer
yang digabungkan dengan antigen permukaan virus hepatitis B;
sehingga diharapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan adjuvan yang
teruji klinis cukup baik imunogenisitasnya adalah monofosforil A
dan QS21 (SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini cukup
baik, terutama bagi anak-anak. Efektivitas vaksin pada anak-anak
ditemukan sebesar 53% untuk adjuvan AS01E (Bejon et.al; 2008) dan
65.2% untuk adjuvan AS02D (Abdulla et.al; 2008).
PvRII (Plasmodium vivax region II) merupakan kandidat vaksin
yang ditujukan untuk mengikat protein reseptor untuk P.vivax; yaitu
antigen Duffy.
Sanaria PfSPZ adalah kandidat vaksin lainnya yang menggunakan
sel utuh Plasmodium falciparum yang dilemahkan sebagai pemicu
respons imunitas. Prinsip dasarnya sama dengan metode yang iradiasi
nyamuk yang mengandung Plasmodium falciparum untuk melemahkan
parasit, yang pernah dikembangkan pada tahun 1970-an.
10. Prognosis
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P.vivax pada umumnya
baik, tidak menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati
infeksi rata-rata dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama
oleh karena mempunyai sifat relaps, sedangkan P.malariae dapat
berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah
dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi Plasmodium falciparum tanpa
penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi Plasmodium
falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila tidak
ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal
terutama pada gizi buruk. WHO mengemukakan indicator prognosis
buruk apabila:
Indikator klinis
o Umur 3 tahun atau kurang
o Koma yang berat
o Kejang berulang
o Refleks kornea negative
o Deserebrasi
o Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
o Terdapat pendarahan retina
Indikator Laboratorium
o Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
o Schizontemia dalam darah perifer
o Leukositosis
o PCV (packed cell volume) 3 kali normal
o Antitrombin rendah
o Peningkatan kadar plasma 5-nukleotidase