MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN TUHAN MENURUT AL-GHAZALI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh: Mohammad Mufid 1113033100035 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSASFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN
TUHAN MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh:
Mohammad Mufid
1113033100035
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSASFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN
TUHAN MENURUT AL-GHAZALI
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi
Persyaratan Meraih Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Mohammad Mufid
NIM: 1113033100035
Dosen Pembimbing:
Dr. Edwin Syarif, M. Ag.
NIP. 196709181997031001
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H./2018 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Maksiat Hati Sebuah Hijab Hubungan Manusia Dengan
Tuhan Menurut Al-Ghazali (Kajian Tentang Sebuah Maksiat Hati)” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Aqidah Filsafat Islam.
Ciputat, 5 Februari 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekertaris Merangkap Anggota,
................................
.................................
Anggota,
Penguji I,
Penguji II
.........................
..........................
Pembimbing,
Dr. Edwin Syarif, M. Ag.
iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi yang berjudul “Maksiat Hati Sebuah Hijab Hubungan Manusia
Dengan Tuhan menurut Al-Ghazâlî (Kajian tentang maksiat hati)” ini
merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memeroleh gelar Sarjana Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB V PENUTUP .................................................................................... 74
A. Kesimpulan .......................................................................... 74
B. Saran .................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena modernisme telah menawarkan berbagai macam kemudahan
hidup. Perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi yang begitu sangat pesat
telah menjadikan manusia sebagai penguasa alam raya secara global. Berbagai
macam produk teknologi telah menyempitkan dunia yang kita diami ini, kita
bagaikan berada dalam satu kapal besar yang bernama bumi, yang sekarang
sedang berlayar.
Begitu sangat sempitnya dunia kita ini bila diameter (diukur) dengan
kecanggihan dan kehebatan teknologi dan sains yang berkembang begitu sangat
cepat. Demikianlah, kita senantiasa berlomba dengan perkembangan sains dan
teknologi yang melaju cepat sehingga kita tidak sempat lagi untuk berpikir
tentang hal-hal yang gaib, kita sudah lupa dengan entitas-entitas (kenyataan-
kenyataan) yang kita anggap sebagai sebuah kesakralan dan berada di luar pikiran
kita.
Dalam dunia materalisme-hedonisme yang selalu menggoda nafsu-nafsu
terhadap perilaku kita, membuat kita merasa kehilangan ketajaman pandangan
spiritual. Keinginan nafsu kita hanya tertuju pada kesenangan-kesenangan fisik.
Mata batin kita telah dibuta oleh debu-debu sains dan teknologi yang sangat
berbahaya, sehingga sensitivitas qalbu (hati) kita pupus habis oleh kenikmatan
duniawi.
2
Dari satu sisi, keunggulan sains dan teknologi telah membuat manusia
sombong, merasa dirinyalah yang paling hebat dan kuat di alam raya ini. Pada
saat-saat seperti inilah Nietzsche melontarkan ucapan, “Tuhan telah mati”. Tuhan
telah dihabisi oleh produk teknologi canggih, sehingga penguasaan alam ada di
tangan manusia.
Apabilah hati manusia modern sudah lupa dengan Tuhan yang telah
menciptakannya, maka ia sudah tidak lagi mengakui Tuhan sebagai Sang Pencipta
dan yang mengatur alam ini. Ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menciptakan
dan mengatur kehidupan di muka bumi ini. Karena itu, lihatlah manusia modern,
sisa hidupnya harus diisi dengan bekerja keras untuk mencari sesuatu yang ia
inginkan, malahan ia tidak disertai dengan berdoa dan berkontemplasi (renungan)
dalam bekerja.1
Zaman modern sudah dihembuskan di benua Eropa Barat Laut sekitar abad
ke-18 seiring dengan memuncaknya Revolusi Industri di bagian Negara Inggris
dan Revolusi Sosial di Prancis. Kelompok pemikiran Aufklarung (abad
pencerahan) yang tumbuh di Inggris dan Prancis dipandang sebagai pelopor
gerakan revolusi di masa modern. Filsafat empirisme (pengalaman) John Lucke
dan teori fisika Newton merupakan bahan yang telah membuka masyarakat Eropa
untuk memasuki gerbang abad modern.
Dari pemikiran dua tokoh tersebut dunia modern mengembangkan sains
yang diiringi dengan memakai penerapan teknologi. Pencapaian-pencapaian
gemilang dalam dunia sains telah mempermudah kehidupan yang sebelumnya
1Yunasir Ali, Mata Air Kehidupan Bekal Spiritual Menghadapi Tantangan Globalisasi,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 10-11.
3
dirasakan sulit dan memberikan banyak kemudahan dalam perkembangan
pengetahuan. Pengetahuan modern yang kita sering sebut sains telah
memperpendek jarak ruang dan mempersingkat perputaran waktu, sehingga dunia
yang kita tinggali ini hanya bagaikan kapal besar yang menjadi tempat tumpangan
milyaran manusia.2
Pencapaian-pencapain sains yang begitu sangat gemilang telah membawa
sifat-sifat maksiat hati di dalam diri manusia modern seperti mempunyai perasaan
sombong, dan membanggakan dirinya sehingga ia semakin percaya diri untuk
menatap masa depannya. Hal-hal yang bersifat metafisik dan yang bersifat
teologis tidak lagi dipikirkan dan sudah selayaknya untuk ditinggalkan. Kalau
manusia modern masih berpikir tentang masalah-masalah yang ghaib (tidak
kelihatan) bersifat metafisik dan teologis (keyakinan) berarti mengembalikan
kehidupan ke masa lalu, yang seharusnya ditinggalkan dan merupakan sebuah
kesia-siaan.3
Sudah tidak bisa diragukan lagi kalau manusia sudah jauh dari Tuhan dan
terhalang hubungannya dengan Tuhan adalah sebuah keguncangan yang akan
menerpa siapa saja yang mengalaminya. Dan inilah yang membuat manusia
memperoleh sebuah kerugian yang sangat besar karena sudah menjauhkan dirinya
dari Tuhan.4
2Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-
agama, (Jakarta: PT Gramedia , 2012). h. 215. 3Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-
agama, h. 215. 4Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, Penerjemah Fuad Syaifudin
Nur, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014). h.256 & 257.
4
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia modern untuk mempelajari ilmu
tasawuf, karena ilmu tasawuf begitu sangat penting di zaman modern ini. Ilmu ini
mengkaji tentang konsep yang mengatur tentang wilayah batin (jiwa dan hati)
dalam rangka untuk tazkiyatunnafsi (membersihkan hati) dari berbagai macam
dosa. Karena tujuan dari ilmu tasawuf ialah agar seorang hamba bisa wushul
(sampai) kepada Tuhan. Zat yang Maha tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi.5
Oleh sebab itu, manusia modern harus bisa menjaga hatinya dari berbagai
macam dosa dan maksiat, terutama tentang gemerlapnya dunia yang bisa
membutakan hati manusia. Hati yang selalu diwarnai oleh berbagai persoalan
dunia menjadi buram dan gelap. Jika hakikat dunia disebut gelap, maka wujud
Tuhan diibaratkkan sumber cahaya yang menerangi hati. Tuhan berfirman di
dalam surat an-Nur, ayat 35.
الله نورالسماوات والارض
Artinya: “Tuhan (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. Bagaimana
hati bisa memantulkan cahaya ketuhanan jika masih tertutup oleh keadaan dan
lukisan-lukisan dunia.
Tatkala hati tidak mampu melihat dengan bashiratul qolbi (penglihatan hati)
pasti ada sesuatu yang menjadi penyebab terhalangnya sumber cahaya tersebut,
sehingga hati tidak bisa memantulkan cahayanya. Yang menghalangi wujud
Tuhan ialah pandangan dan rasa kemanusiaan pada setiap wujud selain-Nya. Jika
hati orang yang menuju Tuhan ada rasa cinta dan ambisi untuk memiliki dan
menguasai sesuatu, maka rasa terhadap sesuatu itu juga sebagai penghalang atau
hijab.
5Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Jejak Sufi Membangun Moral berbasis Spiritual, (
Kediri: Lirboyo Press, 2011 ), h. 221.
5
Kemudian, bagaimana bisa seseorang akan sampai menuju Allah jika tidak
mampu melepaskan dirinya dari syahwat-syahwat yang timbul dari dalam hatinya.
Padahal Tuhan sudah memberikan jalan kepada hamba-hamba-Nya untuk
“berniaga ruhani”, dengan imbalan keuntungan berupa pembebasan diri (manusia)
dari keinginan syahwat dan maksiat yang ada di dalam hatinya.6
Al-Ghazali beranggapan bahwa hati bagaikan sebuah kaca. Pengetahuan tak
lain adalah terpancarnya hakikat-hakikat dalam cermin tersebut. Di saat kaca hati
tersebut tak mengkilap, maka tak mampu memantulkan hakikat-hakikat keilmuan
tersebut. Yang menjadikan kaca hati menjadi buram adalah hatinya dipenuhi
dengan syahwat dan penyakit-penyakit hati lainnya. “Melakukan ketaatan kepada
Tuhan, memalingkan diri dari tuntutan-tuntutan syahwat, adalah sesuatu yang bisa
mengkilapkan hati dan membersihkannya.”7 Oleh karena itu, jika seseorang ingin
hatinya dipenuhi dengan pengetahuan Tuhan, maka hatinya harus dibersihkan dari
macam-macam dosa dan maksiat. Ibnu „Atha‟illah secara tegas mengatakan:
“Dasar dari berbagai macam maksiat ialah manusia sudah lupa terhadap Tuhan
dan menuruti segala keinginannya karena mengikuti hawa nafsunya…”.8
Oleh sebab itu, jika manusia ingin terhindar dari berbagai macam maksiat, ia
harus bisa menjaga dirinya agar selalu dekat dengan Tuhan dan menjauhkan
dirinya dari bujukan hawa nafsunya.
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Filsuf Islam, dan sufi yang mendalami
sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau mendapkan gelar hujjatul Islam dan
6Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: GP Press, 2012), h. 98-99.
7Abu Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2008), h. 201. 8Lihat pendapat Ibnu „Atha‟illah tentang pangkal maksiat dalam buku Labib Mz, Kuliah
Ma‟rifat, (Surabaya: Tiga Dua, 1996), h. 60.
6
pembaharu dalam segala disiplin ilmu, yaitu beliau akan membuat pembaharuan
atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterapkannya.
Beliau berbeda dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa
yang diterimanya, mengulangi, dan menukilnya. Bahkan beliau seorang ulama
yang aktif, pengetahuan yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana
kebenaran dan kebatilannya. Oleh sebab itu, ada kalanya beliau menolak,
mengubah atau menjelaskan dan menguraikan lalu membuat pembaharuan dalam
segala bidang ilmu.9
Alasan penulis memilih pembahasan tentang maksiat hati tidak memilih
maksiat-maksiat anggota badan lainnya karena hatilah yang menjadi penggerak
dan mendatangkan maksiat-maksiat anggota badan lainnya. Maksiat hati juga bisa
merusak segala macam amal ibadah manusia, malahan hati yang dipenuhi dengan
maksiat bisa mendatangkan sebuah kemusyrikan.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk memahami dan memperdalam lebih
tajam tentang masalah-masalah maksiat hati yang menjadi penyebab terhijabnya
manusia dengan Tuhan menurut pandangan al-Ghazali. Untuk itu, penulis tertarik
untuk mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Maksiat Hati Sebuah Hijab
Hubungan Manusia dengan Tuhan Menurut al-Ghazali.”
B. Identifikasi Masalah
9Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), h. 157-158
7
Dari latar belakang di atas, penulis akan mengidentifikasikan beberapa
masalah yang berkaitan dengan maksiat hati. Di antaranya:
1. Apa corak tasawuf al-Ghazali?
2. Bagaimana hati menurut al-Ghazali?
3. Ada berapa macam penyakit hati?
4. Kenapa maksiat hati menjadi sebuah hijab menurut al-Ghazali?
5. Apa akibat dari maksiat hati?
6. Bagaimana cara menghilangkan maksiat hati?
7. Apa penyebab dari maksiat hati?
8. Bagaimana Tuhan menurut al-Ghazali?
9. Bagaimana manusia menurut al-Ghazali?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis hanya akan mengambil satu
tokoh saja, yaitu al-Ghazali. Ia adalah seorang sufi besar yang nama dan ajaran
tasawufnya sudah menyebar luas keseluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun,
ajaran tasawuf al-Ghazali yang akan dibahas oleh penulis ialah yang berkaitan
dengan maksiat hati. Penulis merasa sangat tertarik untuk membahas
permasalahan-permasalahan tentang maksiat hati, karena belum ada karya yang
meneliti secara khusus tentang bahaya besar akibat maksiat hati menurut
pandangan al-Ghazali. Oleh sebab itu, penulis perlu memberikan batasan pada
permasalahan yang akan dikaji dan diteliti agar pembahasannya tidak melebar
jauh. Adapun batasan yang akan dikaji oleh penulis ialah maksiat hati yang
8
menjadi sebuah penyebab terhijabnya hubungan manusia dengan Tuhan menurut
al-Ghazali.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas tadi, penulis hanya akan
merumuskan tentang tasawuf al-Ghazali yang berkaitan dengan maksiat hati.
Yaitu:
1. Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali?
2. Bagaimana maksiat hati menjadi sebuah hijab hubungan manusia dengan
Tuhan menurut al-Ghazali?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan (menguraikan) maksiat hati sebagai sebuah hijab atau
penghalang hubungan Manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan bisa memiliki nilai manfaat akademis
maupun praktis.
1. Manfaat Akademis
Memberikan kontribusi kepada para akademisi agar bisa menjaga hatinya
dari berbagai macam maksiat hati. Karena kehidupan di dalam dunia akademisi
9
tidak bisa terhindar dari persaingan yang membuat hatinya terdapat berbagai
macam penyakit.
2. Manfaat Praktis
a. Mampu menambah wawasan tentang bahayanya maksiat hati menurut al-
Ghazali.
b. Mampu menambah khazanah keilmuan, terutama yang berkaitan dengan
maksiat hati menurut pandangan al-Ghazali.
c. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
Program Strata Satu (S1) dalam bidang Akidah dan Filsafat Islam (AFI).
G. Telaah Pustaka
Sejauh penulis ketahui tentang karya tulis yang membahas tentang al-
Ghazali yang sudah dijadikan sebuah skripsi, yakni Hubungan Syari‟at dan
Hakikat perspektif al-Ghazali yang ditulis oleh Amirul Muttaqin mahasiswa
Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2016. Skripsi ini menjelaskan hubungan keduanya untuk mendekatkan manusia
kepada Allah.
Skripsi yang lainnya yaitu Pengaruh Tasawuf al-Ghazali Terhadap Akhlak
Santri Putri Pondok Pesantren Dảr El-Hikam yang ditulis oleh Putriana Sallamah
mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Skripsi ini menjelaskan tentang perilaku
ketaatan maupun sosial santri putri Dảr el-Hikam yang mengandung nilai-nilai
tasawuf al-Ghazali.
10
Oleh sebab itu, penulis yakin kalau pembahsan yang disajikan oleh penulis
dalam bentuk skripsi ini sebuah karya akademik yang baru dalam menganalis
maksiat hati al-Ghazali.
H. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai
literatur yang relevan. Data-data yang terkumpul diambil dari kitab Ihya
„Ulumuddin dan Minhảjul „Abidỉn dan karya lainnya imam al-Ghazali sebagai
referensi pokok dalam skripsi ini. Untuk referensi selebihnya dijadikan sebagai
penguat sekaligus pembanding.
Metode penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini bersifat kualitatif
dengan teknik pembahasan deskriptif-analitis, yaitu data yang dikumpulkan
pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Langkah ini diambil
sebagai awal yang penting karena akan menjadi dasar bagi metode pembahasan
selanjutnya. Mengingat bahwa pemikiran senantiasa dipengaruhi oleh kondisi
setempat. Metode ini relevan digunakan untuk menjelaskan maksiat hati menurut
al-Ghazali.
Sebagai pedoman teknik penulisan skripsi, penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan CeQda tahun 2013.
I. Sistem Penulisan
11
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menulis secara sistematis agar
pembahasannya teratur, maka penulis akan menguraikannya ke dalam lima bab
yang memuat beberapa sub-bab di dalamnya. Hal ini karena penulisannya bersifat
kepustakaan sehingga dibutuhkan analisis yang mendalam. Adapun uraian dalam
lima bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I, sebagai bab pendahuluan, bagian ini menjelaskan latar belakang
dengan rumusan masalah sebagai bingkai dan penentu arah dalam penelitian
skripsi ini, dengan ditunjang serta manfaat penelitian, tinjauan pustaka sebagai
penunjang penelitian dahulu yang relevan, disertai dengan metodologi penelitian.
Penelitian ilmiah harus memiliki jalan atau cara yang ditempuh guna
mendapatkan hasil yang optimal. Kemudian penulis mengakhiri bab ini dengan
sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini membahas tentang biografi al-Ghazali, menjelaskan
mengenai riwayat hidup, pendidikan, pengaruh tasawuf al-Ghazali, dan karya-
karyanya.
Bab III, dalam bab ini membahas tentang dasar-dasar teori tasawuf yang
bersumberkan dari al-Qur‟an, al-Hadits, dan penulis juga akan menulis tema
tasawuf yang ada kaitannya dengan maksiat hati.
Bab VI, dalam bab ini membahas secara khusus ajaran tasawuf al-Ghazali
tentang manusia, Tuhan, dan maksiat hati yang menjadi sebuah hijab hubungan
manusia dengan Tuhannya menurut al-Ghazali.
Bab V, dalam bab ini berisi penutup. Adapun penutup ini hanya terbagi ke
dalam dua sub-bab. Pertama, kesimpulan. Kesimpulan ini berisi tentang sebuah
jawaban dari rumusan masalah yang sudah diuraikan di atas. Kedua, saran-saran.
12
Saran-saran ini diarahkan kepada para akademisi dan masyarakat. Penulis
berharap kepada para akademisi agar ada yang melanjutkan penelitian tentang
maksiat hati ini agar pembahasannya semakin jelas. Penulis juga berharap kepada
para masyarakat dengan adanya skripsi ini agar bisa menjaga hatinya dari
berbagai macam bentuk maksiat hati.
12
BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup al-Ghazali
Di kalangan umat Islam, nama al-Ghazali tidak begitu asing bagi telinga
mereka. Mereka membicarakan al-Ghazali bagaikan mengunjungi orang tua yang
telah lama dikenal, namun tetap menyimpan segi kerahasiaan, jika tidak dapat
disebut sebuah misteri. Nama tokoh yang satu ini menjadi buah bibir
perbincangan harian di kalangan masyarakat Muslim.
Al-Ghazali memang tidak pernah terlepas dari siapa pun yang ingin
memahami tentang ilmu agama Islam yang secara luas dan dalam. Ia terkait erat
dengan proses pengukuhan paham yang berbasis Sunni. Di luar madzhab
Hambali. Dan karena di bidang fiqh al-Ghazali adalah seorang pengikut madzhab
Syảfi’i, maka nama pemikir besar itu lebih lagi tidak dapat dilepaskan dari dunia
pemikiran dan pemahaman Islam di Indonesia, sebab hampir kaum Muslim di
Indonesia itu bermadzhabkan imam Syảfi’i.1
Nama lengkap imam al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali, beliau dilahirkan di tanah Thus (Khurasan) pada tahun 405 H
yang bertepatan dengan tahun 1058 M.2 Nama Muhammad yang ada di depannya
1Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997),
h.79-80. 2Moh. Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956). h.7.
13
ialah namanya sendiri, nama ayahnya, dan nama kakeknya, dan setelah itu
diatasnya lagi bernama Ahmad.3
Sebutan nama laqob (julukan nama) dalam kalangan umat Islam zaman
dahulu yang menghubungkan nama seseorang kepada nama keluarganya seperti
ayahnya, kakeknya itu sudah menjadi tradisi bagi kalangan umat Islam zaman
klasik. Nama seorang anak akan memakai kata “ibnu” dan diakhirnya akan
menyebutkan nama ayahnya atau nama kekeknya. Seperti nama ibnu Siena, ibnu
Rusyd, ibnu Khaldun, dan nama yang lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali nama
yang dipakainya dari nama tempat kelahirannya, yakni al-Ghazalah.
Sama halnya seperti tokoh-tokoh Islam lainnya, seperti al-Kindi yang
berasal dari al-Kindah, al-Farabi yang berasal dari al-Farab. Dan ada pula yang
dihubungkannya kepada pekerjaan setiap harinya, misalnya al-Qaffal (tukang
kunci), al-Khayyam (pembuat khaimah) dan sebutan nama yang lainnya.
Nama-nama seorang tokoh besar yang dihubungkan kepada keturunannya,
pada pekerjaannya, atau pada tanah kelahirannya itu merupakan sebuah
kebanggan yang menaikkan derajat nama keluarga, keturanan, dan tanah
kelahirannya. Sehingga nama keluarga, pekerjaan, dan tanah kelahirannya
menjadi populer dikalangan dunia.4
Al-Ghazali lahir dari keluarga sangat miskin, ayahnya adalah seorang yang
sangat mencintai ilmu dan mempunyai cita-cita sangat besar. Ayah al-Ghazali
selalu berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak-anak yang alim,
3Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 27-
29. 4Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 28-29.
14
mempunyai wawasan luas, dan mempunyai banyak ilmu. Baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu yang lainnnya.
Alangkah bahagia hati ayah al-Ghazali ketika doanya dikabulkan oleh Allah.
Beliau dikaruniai dua anak laki-laki. Anak pertama diberi nama Muhammad yang
kemudian mendapat gelar “Abu Hamid”, dan dia adalah Imam al-Ghazali.
Kemudian anak kedua diberi nama Ahmad yang kemudian mendapatkan gelar
”Abu al-Futủh”, dan beliau ini adalah seorang ulama yang ahli dalam da’wah.
Yang di kemudian hari terkenal dengan sebuatan seorang “Mujidduddỉn”.5
Ayah al-Ghazali adalah seorang penenun bulu dan pedagang yang
mempunyai sebuah tokoh, beliau meninggalkan kedua puteranya, yakni ketika
Muhammad dan Ahmad masih dalam usia kanak-kanak. Kemiskinan keluara al-
Ghazali tidak bisa diragukan lagi.6 Oleh sebab itu kedua putranya dididik sendiri.
Pada masa kecilnya, ayahnya merasa mempunyai tanggung jawab yang
besar untuk memberikan sebuah pengajaran dan pendidikan kepada al-Ghazali
dan saudara kandungnya, yakni Akhmad. Namun, keinginannya tidak dapat
terwujudkan, karena belum beberapa lama, ayahnya wafat berpulang
kerahmatullah. Mungkin karena terlalu keras kerjanya demi untuk mencari nafkah
buat keluarganya sehingga ayahnya sering sakit-sakitan hingga akhirnya
meninggal dunia.
Sebelum meninggal, ayahnya berpesan kepada kedua anaknya supaya
mereka berdua meneruskan belajarnya kepada salah seorang sahabatnya (seorang
yang ahli dalam bidang tasawuf) yakni syaikh Ahmad Arrozakony. Ayah al-
5Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 29.
6Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 31.
15
Ghazali pernah berkata kepada sahabatnya itu, katanya: ,,, “Saya sangat menyesal
tentang pelajaran kedua anak saya dan saya ingin mewujudkankan apa yang
sudah menjadi pertanggung jawaban saya terhadap kedua anak saya ini. Ajarlah
dan didiklah mereka berdua dan laksanakan pertanggung jawaban saya terhadap
mereka berdua itu.” Itulah permohanan ayah al-Ghazali kepada sahabatnya agar
mau mendidik dan mengajari kedua anaknya tersebut.
Baru setelah ayahnya meninggal dunia, al-Ghazali dan Ahmad pergi kepada
guru sahabat ayahnya, mereka berdua menuruti wasiat ayahnya. Gurunya pun
sangat bahagia menyambut kedatangan al-Ghazali dan saudara kandungnya
dengan tangan terbuka. Mereka berdua belajar membaca dan menulis. Jadi, pada
masa kecilnya al-Ghazali belajar membaca dan menulis juga mempelajari ilmu
fikih di negerinya sendiri.7
Setelah beberapa lamanya mendidik dan mengasuh al-Ghazali dan
saudaranya, gurunya tersebut sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan
hidup al-Ghazali dan Ahmad, ia menganjurkan agar mereka berdua dimasukkan
kedalam madrasah untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang baru, juga agar
bisa memperoleh sebuah santunan untuk kebutuhan hidupnya.8
B. Pendidikan al-Ghazali
Pada masa itu, madrasah-madrasah tidak ada yang memunguti biaya sepeser
pun. Oleh sebab itu para orang tua berbondong-bondong untuk menyekolahkan
anak-anaknya untuk belajar di madrasah-madrasah. Termasuk al-Ghazali dan
saudaranya ikut mendaftarkan diri di sebuah madrasah tempat kelahirannya. Dan
7Moh Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956), h.7.
8Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 78.
16
kesempatan ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk belajar sampai ke perguruan
yang lebih tinggi.
Pada masa itu, di kota Thus banyak para ulama dan ilmuwan yang
memberikan beasiswa kepada setiap pelajar yang tidak mampu untuk membiayai
pendidikannya. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh al-Ghazali dan
saudaranya. Atas saran sahabat ayahnya, al-Ghazali menemui seorang ilmuwan
Muslim yang kaya raya bernama syaikh Ahmad bin Muhammad Razkafi untuk
mendapatkan beasiswa. Setelah memperoleh beasiswa, al-Ghazali belajar di kota
tersebut selama bertahun-tahun.9
Setelah diterima di madrasah yang ada di tanah kelahirannya, al-Ghazali
belajar ilmu fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain kepada Ahmad al-Radzkani di
Thus, juga al-Ghazali belajar kepada Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu,
al-Ghazali kembali lagi ke thus, dan selama tiga tahun berada di tempat
kelahirannya, ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar ilmu
kesufian kepada Yusuf al-Nassaj (w. 478 H).10
Al-Ghazali mulai belajarnya kepada seorang sufi besar yang memberikan
pelajaran tentang ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, juga kepada gurunya ia belajar
tentang ilmu tasawuf. Ia kemudian belajar ilmu syariah kepada Syekh Ahmad at-
Tusi, lalu ia pergi lagi ke Jurjan untuk belajar kepada Syekh Abu Nasr.
Setelah pulang dari Jurjan, al-Ghazali kembali lagi ke Thus, ia mengabdikan
dirinya untuk mempelajari ilmu kesufian dan pada tahun 1078 M, ia diterima di
9Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 2-3.
10Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.
17
Madrasah Nizamiyyah di kota Nishapur dan menjadi murid kepala sekolahnya
sendiri, yakni Syeikh Abu al-Ma’ali, seorang syekh dari Harảmain.
Dibawah bimbingan Syaikh Ma’ali, al-Ghazali belajar ilmu agama, filsafat,
dan hukum alam. Semua orang yang ada di Madrasah Nizamiyyah merasa kagum
tentang pengetahuan al-Ghazali yang begitu mendalam ditambah lagi oleh
kejeniusan otak al-Ghazali. Tanpa ada rasa malu dan rasa iri, gurunya mengakui
kepandaian muridnya tersebut sambil berkata kepada al-Ghazali, “Engkau telah
mengalahkan aku selagi hidup, paling tidak engkau bisa menunggu aku sampai
meninggal”. 11
Itulah ucapan gurunya yang begitu sangat rendah diri mengakui
keunggulan ilmu muridnya.
Di sisi lain, gurunya merasa sangat bangga atas prestasi yang telah diperoleh
oleh al-Ghazali. Walaupun al-Ghazali sudah memperoleh kemasyhuran namanya,
namun ia tetap setia terhadap gurunya tersebut dan tidak mau meninggalkannya
sampai gurunya wafat pada tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, ia sempat
memperkenalkan al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk, seorang perdana menteri
Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham al-Mulk adala pendiri madrasah-madrasah di
Nizhamiyah. 12
Nizham al-Mulk adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh Bani
Saljuk. Nama aslinya ialah Abu Ali Hasan ibn Ali ibn Ishaq at-Thusi yang lahir di
Nauqan pada tahun 408 H. Di usianya yang masih sangat mudah, yakni 11 tahun,
11
M. Atique Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ira
Puspitorini, (Yogyakarta: Diglosia, 2013). h. 51. 12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.
18
ia dibimbingan ayahnya sendiri tentang belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu
keagamaan. Ia juga belajar sastra Arab dan fiqh yang bermadzhab Syafi’i.13
Pada bulan Jumadil Awal tahun 484 H, al-Ghazali diperintah oleh Nizham
al-Mulk agar pergi ke Baghdad untuk menjadi seorang guru besar di Madrasah
Nizhamiyah. Pada saat itu usia al-Ghazali masih sangat mudah, 34 tahun. Tetapi
ia sudah memperoleh kedudukan yang sangat penting di Madrasah Nizhamiyah.
Hingga banyak muridnya dari berbagai kalangan yang mengikuti kajiannya,
hingga muridnya mencapai sekitar 300.14
Ketika al-Ghazali sudah menjabat sebagai seorang guru besar, ia mengalami
kekosongan jiwa di dalam dirinya yang menyebabkan dirinya tidak betah untuk
tinggal di Baghdad. Kemudian al-Ghazali melepaskan jabatannya dan pergi ke
Syiriah untuk mencari ketenangan batin dengan cara berkhalwat (menyendiri
sambil merenung) dan melakukan riyadhah (latihan kebatinan). Ia melakukan ini
setelah ia bergelut dengan keraguan di dalam dirinya yang tidak berkunjung
selesai. Dan konflik kejiwaan antara kesibukan urusan dunia dengan kepentingan
akhirat. Ia melepaskan jabatannya agar bisa khusủ’ menjalankan shalat dan
memerangi hawa nafsunya.
Al-Ghazali sendiri mengemukan corak mengapa ia menjauhkan dirinya dari
kegemerlapan dunia dan mengisahkan perjalanan spiritualnya tentang menjauhkan
dirinya dari orang lain kemudian memfokuskan dirinya untuk menjalankan
ibadah. Ketika al-Ghazali sedang menggeluti menjadi seorang guru, ia
13
Mahbub Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta: Senja Publshing,
2015), h. 41-41. 14
Mahbub, Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, h. 46.
19
mendapatkan keikhlasan kerja, bahkan ia sendiri terkecoh oleh kecintaan terhadap
harta dan tahta. Konflik batin yang terus –menerus menghantui dirinya. Ketika ia
ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai guru besar, hasrat duniawi menariknya
pada sebuah jabatan.
Pada saat al-Ghazali sedang terjebak dalam keraguan terus-menerus, antara
keinginan duniawi dan kepentingan akhirat, sekitar enam bulan lamanya, saat itu
bertepatan dengan bulan rajab tahun 488 H. Pada saat itu keadaan al-Ghazali
semakin memburuk melampaui kemampuannya. Lida terasa kaku dan tidak bisa
menyampaikan matakuliah kepada para muridnya. Namun, ia terus berusaha
untuk tetap mengajar para muridnya, walaupun hanya sehari sekedar untuk
menghilangkan kegundahan hatinya. Namun lida tidak bisa mengeluarkan kata-
kata yang sesuai dengan perasaan di dalam hatinya. Keadaan yang seperti ini
membuat al-Ghazali semakin merasa sedih. Oleh sebab itu, al-Ghazali
memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan kepergiannya itu tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya.15
Setelah berkelana ke semua kota-kota untuk mencari pengetahuan untuk
menenangkan batinnya, al-Ghazali dirundung rindu atas kampung halamannya. Ia
ingin kembali ke kota kelahirannya. Pada saat itu, para pejabat tinggi Khalifah
Abbasiyah dan pemerintahan Saljuk mengundangnya. Namun, ia tetap pada
pendiriannya untuk kembali ke Ghazalah.
Setelah berada di Ghazalah, al-Ghazali kemudian menikah dan dikaruniai
tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Al-Ghazali mengisi kegitan
15
Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1990), h. 8-11.
20
sehari-harinya dengan mengajar dan menulis sebuah buku. Buku-buku yang ia
tulis mencapai 300 judul. Beliau pun mendirikan sebuah asrama bagi para pelajar
yang datang dari luar kota.
Adapun al-Ghazali wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau
bertepatan dengan tahun 1111 M. Sebelum ia wafat, al-Ghazali meminta kepada
para kerabatnya untuk dibawakan keranda yang biasa digunakan untuk
mengangkut jenazah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, al-Ghazali
sempat menatap keranda jenazah itu sambil berkata, “apapun perintah Allah, aku
siap melaksanakannya.” Setelah berkata seperti itu, al-Ghazali menghembuskan
nafas terakhirnya. Dan ia disemayamkan di kota Thus, Iran.16
C. Pengaruh al-Ghazali Terhadap Tasawuf
Tidak dapat diragukan lagi yang menjadi permasalahan sasaran kritik al-
Ghazali adalah para filosof klasik. Dalam sebuah karyanya al-Munqidz min al-
Dlalảl, al-Ghazali mengatakan bahwa, setelah dirinya mengupas tuntas tentang
pemikiran para filosof, para teolog, dan golongan bathiniyah, ia masih belum puas
memperoleh jalan menuju keyakinan yang hakikat. Menurut al-Ghazali,
“kebenaran yang hakiki hanya bisa diperoleh melalui jalan tasawuf”. Di jalan
tasawuflah ia baru bisa mengenal sesuatu secara yakin, sebagaimana yang
dikatakannya sendiri. Kaum sufi adalah sosok seorang yang menempuh di jalan
Allah, dan itu adalah sebaik-baiknya jalan. Jalan yang mereka gunakan ialah jalan
yang benar, dan akhlak mereka ialah akhlak yang suci.17
16
Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 8- 9. 17
Yusuf Qordhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra,Penerjemah Hasan Abrori,
(Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), h. 191.
21
Imam al-Ghazali bukanlah orang yang pertama kali mendapat gelar seorang
sufi. Ia juga bukan seorang perintis dan peletak dasar ilmu tentang tasawuf. Jauh
sebelum al-Ghazali menulis tentang kitab-kitab tasawuf, pada abad sebelumnya
sudah muncul beberapa ulama yang bergelut dengan ilmu tasawuf. Pada abad
kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufa, Bashrah,
Madinah, Khurasan, dan Mesir.18
Namun, walaupun al-Ghazali bukan seorang perintis dan peletak dasar
dalam ilmu tasawuf, tetapi al-Ghazali sebenarnya sudah pernah menjalani
kehidupan tasawuf ketika ia masih berusia sangat muda, akan tetapi ia masih
belum yakin untuk menjalani kehidupan tasawufnya. Baru setelah ia pergi
meninggalkan Baghdad pada bulan dzulhijjah 488 H atau 1095 M, ia merasa
yakin untuk menjalani tasawuf. Namun, al-Ghazali baru menjalani dan
mempraktekkan ketasawufannya ketika ia berada di Syria.
Setelah berada di Syria selama dua tahun, ia menjalani dan mempraktekkan
tasawufnya di dalam Masjid Umaiyah, kemudian ia pindah lagi ke Yerussalem
untuk melakukan hal yang sama di Masjid Umar dan monument suci The Dome of
The Rock. Setelah menziarahi makam Nabi Ibrahim di Hebron, ia baru pergi untuk
menunaikan ibadah haji, kemudian ia kembali menjalani kehidupan sufinya di
Mekkah dan Madinah.19
Al-Ghazali mempunyai intelektualitas yang sangat luas dan mendalam. Ia
memiliki intelektualitas yang berbeda-beda pada masanya, dan mampu
18
Kautsar Azhari Noer,ed, Warisan agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi,
(Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 361. 19
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuh kembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhana, 1994 ), h. 23.
22
menguasainya dengan sangat mengherankan. Itu semua tampak dari karya-karya
yang telah ditulisnya.
Al-Ghazali membangun sebuah tasawuf Sunni yang didirikan atas dasar
akidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, dan berusaha menjauhkannya dari pengaruh
Gnostis dari berbagai macam pemikiran yang telah mempengaruhi para filsuf
Muslim, Ismailiyyah (salah satu sekte dari Syiah), Ihwan ash-Shafa’, dan yang
lainnya. Ia juga menjauhkan wilayah tasawuf dan konsep ketuhanan Aristoteles,
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teori emanasi dan penyatuan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali beralirkan Islam murni.
Al-Ghazali sangat merasa kagum terhadap para sufi-sufi klasik, terutama
pada sufi abad ketiga dan keempat hijriyah yang beraliran Sunni. Ia mengambil
keilmuan kesufiannya dari Harits al-Muhasibi, dan sangat mengaguminya seperti
yang telah dikemukakan oleh Ibn Ibad Randi dalam kitab Syarakh Himak.
“Imam Abu Abdillah al-Harits al-Muhasibi, menulis sebuah kitab
yang berjudul Nasbaih, yang di dalamnya mengandung pemikiran-
pemikiran tentang hawa nafsu dan kejelekan-kejelekannya secara
menyeluruh, dan sekaligus mengkaji kesunnahan secara menyeluruh
sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita, serta melakukan
penelitian dan melihat segala sesuatu yang yang bisa memperbaiki
perbuatan, kondisi, dan jiwa mereka, serta menjaga kesucian hati, dan
menekankan kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam dosa.”20
Imam al-Ghazali memberikan pujian terhadap al-Muhasibi dalam salah satu
bab di kitabnya (Ihya’) dan bahkan mengemukakannya secara leterlek, setelah
memuji penulisannya, kemudian ia menjelaskan kepada orang-orang yang belum
mengetahuinya tentang keilmuan dan keutamaannya, ia mengatakan: “Al-
20
Lihat ucapan Ibn Ibad randi tentang pujian al-Ghazali kepada al-Muhasibi dalam buku
Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya,Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama), h. 192-193.
23
Muhasibi merupakan orang yang sangat memumpuni dalam bidang mu’ammalah.
Pembahasannya tentang cela-cela yang ada di dalam jiwa, penyakit-penyakit
dalam amal perbuatan, dan segala sesuatu yang bisa merusak amal ibadah, telah
mendahului orang-orang yang membahas permasalahan tersebut.”21
Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan dominasinya nuansa akhlak
dalam tasawuf al-Ghazali. Perhatiannya terhadap tasawuf sebagaimana al-
Muhasibi dan sufi-sufi kurun ketiga dan keempat, adalah tentang nafs (jiwa atau
hawa nafsu). Manusia, dan bahaya-bahayanya mekanisme melakukan pembinaan
terhadap akhlaknya. Secara keseluruhan, tasawufnya adalah berkenaan dengan
sebuah pembinaan akhlak.22
Sebelumnya al-Ghazali sangat tidak suka terhadap tasawuf. Ia tidak
mempercayai tentang maqam-maqam (tingkatan-tingkatan), kondisi-kondisi
spiritual, dan penyingkapan hijab (kasyf) yang banyak digunakan oleh kalangan
para sufi. Apalagi ia melihat sendiri bagaimana cara hidup golongan sufi pada
masa itu, yang tampak jelas anti intelektual. Namun, setelah mempelajari kitab-
kitab tasawuf dari berbagai para tokoh-tokohnya sendiri, al-Ghazali mengetahui
bahwa sebenarnya para sufi itu telah melenceng dari apa yang telah digariskan
oleh para sufi-sufi yang lurus.”Penempuh jalan Tuhan,” demikian menurut al-
Ghazali.
Selain itu, al-Ghazali juga mengkritisi para sufi di masa itu yang tidak mau
mempelajari ilmu lahiriah. Padahal ilmu lahiriah seperti fiqh dan syar’i lain sangat
21
Lihat pujian al-Ghazali dalam buku Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf
Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya, h. 193. 22
Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya, h. 193.
24
membantu meluruskan seorang salik (Pejalan menuju Tuhan) untuk menimbang
kelurusan jalan yang ia tempuhnya. Hal ini dibuktikan, di antaranya, ia
memulainya di dalam kitab ihya’ ‘Ulủmuddỉn dengan bab ilmu, yang berisi
anjuran dan sangat penting mempelajari berbagai macam ilmu.
Al-Ghzali mengatakan di dalam kitabnya tersebut: “Tipu daya di jalan
menuju Allah sedemikian begitu banyak macamnya, tidak bisa dihitung….”,
kemudian al-Ghazali melanjutkan sesudah beberapa uraian : “….Semua itu
disebabkan karena kekeliruan dan was-was yang diletakkan oleh setan, karena
mereka sibuk dengan bermujahadah sebelum menguasai ilmu; karena mereka
tidak mengikuti seorang guru yang bertakwa lagi berilmu, yang pantas untuk
dijadikan teladan.”23
Setelah mengkaji pemikiran teologi, filsafat, dan ajaran Batiniyyah, al-
Ghazali memberi sebuah kesimpulan bahwa tasawuflah sebuah jalan yang bisa
mengantarkan manusia untuk menuju ke jalan Tuhan, dan golongan para sufilah
yang paling nyata dalam mencari sebuah kebenaran. Jalan para sufi ialah
kombinasi (gabungan) antara ilmu dan amal, dan buahnya adalah sebuah
moralitas.
Dengan demikian, menurut pendapat al-Ghazali, mempelajari ilmu para sufi
melalui karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkan
ilmunya. Kemudian al-Ghazali menyatakan bahwa keistimewahan dan kelebihan
khusus hanya milik para sufi tidak mungkin keistimewahan dan kelebihan khusus
tersebut dicapai hanya melalui belajar, tetapi harus melalui ketersingkapan batin
23
Mahbub Djamaluddin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta:Senja Publishing,
2015), h. 112-113.
25
(kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Bagi al-Ghazali tasawuf
adalah sebuah pengalaman yang nyata.24
D. Karya-karya al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat menguasai dalam segala hal
bidang tentang ilmu agama. Begitu juga ia adalah seorang ulama yang sangat
produktif dalam hal tulis-menulis. Oleh sebab itu, beliau mempunyai beberapa
karya dalam segala bidang agama. Seperti dalam bidang tasawuf, filsafat, fikih,
dan bidang ilmu agama lainnya. Namun penulis hanya akan mencantumkan
beberapa karya beliau yang fenomenalnya saja.
Dalam bidang tasawuf beliau menulis kitab Ihyả’ ‘Ulủmuddỉn
(Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid yang
pertama menjelaskan tentang masalah ibadah (al-‘Ibảdah). Jilid yang kedua
menjelaskan tentang masalah yang berkaitan tentang perilaku (al-‘Ảdat). Jilid
yang ketiga menjelaskan tentang menjelaskan masalah yang membinasakan (al-
Muhlikah). Dan jilid yang keempat berisi tentang menjelaskan masalah yang
menyelamatkan (al-Munjiyah).
Kitab Minhảj al-‘Ảbidỉn (Jalan para Ahli Ibadah) membahas tentang
masalah ibadah, etika, dan masalah tentang tasawuf. Adapun kitab Kaimiyyah al-
Sa’ảdah (Metode Kebahagiaan) menjelaskan tentang manusia, Tuhan, dan
masalah pernikahan.
Dalam bidang filsafat, beliau menulis al-Tahảfut al-Falảsifah (Kerancauan
pemikiran para Filusuf). Kitab ini berisi tentang kritikan al-Ghazali terhadap para
24
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). h. 42.
26
filusuf Islam sesudahnya yang mengatakan tentang tidak adanya hari kebangkitan,
ketidaktahuan Tuhan tentang masalah juz’i, dan tentang masalah kekekalan alam.
Adapun kitab Munqỉdz min al-dlalảl (Pembebasan dari Kesesatan). Kitab ini
membicarakan tentang golongan yang mengingkari terhadap segala ilmu,
membicarakan tentang keberhasilan ilmu filsafat, dan pembahasan yang lainnya.
27
BAB III
SUMBER DASAR TASAWUF
A. Al-Qur’an
Seiring dengan maraknya kritikan-kritikan tajam yang diarahkan pada
tasawuf yang menyebabkan timbulnya ketegangan-ketegangan dalam dunia
pemikiran Islam. Tampaknya sudah mulai muncul argumentasi tentang apakah
tasawuf benar-benar ilmu keislaman atau ia hanya sekedar pengislamisasian
unsur-unsur non-Islam?1
Menurut para orientalis seperti Louis Massignon dan J. Spencer, tasawuf
berasal dari sumber murni Islam dan dampak terhadap tasawuf dari luar Islam itu
sangatlah terbatas.Lebih jauh lagi, perkembangan tasawuf yang sangat nyata
ialah mengikuti garis Islam.Massignom dalam kajian ilmiahnya tentang tasawuf
mempunyai kesimpulan kalau sumber yang terpenting dalam tasawuf ialah al-
Qur‟an.2
Al-Qur‟an merupakan kitab yang berisi tentang firman-firman-Nya.Yang di
dalamnya mengandung sebuah ajaran-ajaran tentang Islam. Baik berupa aqidah,
syari‟ah, maupun mu‟ammalah.Ketiganya banyak yang tercermin di dalam ayat-
ayat yang tertulis di dalam al-Qur‟an. Ayat-ayat al-Qur‟an itu, terkadang ada
yang dipahaminya melalui cara tekstual-lahiriah, dan adakalanya di pahaminya
melalui kontekstual-rohaniah. Oleh sebab itu, al-Qur‟an kalau hanya
dipahaminya secara lahiriah saja, maka ayat-ayat al-Qur‟an akan terasa kaku,
1A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999),h. 46. 2Lihat pendapat Massignom dan Spencer tentang sumber tasawuf dalam buku Syamsun
Ni‟am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), h. 61.
28
kurang dinamis, dan bukan tidak mustahil lagi akan ditemukannya persoalan
yang tidak dapat diterima secara psikis.3
Islam sudah mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah maupun kehidupan
yang sifatnya bathiniah.Pada unsur kehidupan bathiniahlah kehidupan tasawuf
muncul.Kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari
sumber ajaran agama Islam, yakni al-Qur‟an dan al-Hadits.Al-Qur‟an sendiri
berbicara tentang kemungkinan manusia bisa saling mencintai dengan Tuhannya,
memberikan perintah agar manusia senantiasa selalu bertaubat memohon
ampunan kepada Allah, dan membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang keji.4
Ada beberapa ayat al-Qur‟an yang bisa dijadikan sebagai sebuah sumber
dasar tasawuf, di antaranya terdapat di dalam surat al-Baqarah yang bunyinya:
Nasir al-Din al-Tusi,Sifat-sifat Kemuliaan Metode Para Salik dalam Mencapai
Kesempurnaan,Penerjemah Ahmad, Y Samantho, ( Jakarta: Pustaka Intermasa, 2004 ), h. 14.
39
Syaikh Abdul Qodir al-Jailani mengatakan, hal yang pertama sekali
perkataan taubat itu harus keluar dari dalam hati, kemudian dengan mulut kalian.
Karena pertaubatan itu akan mengguncangkan kekuasaan nafsu, sikap egois,
ajakan setan, dan teman yang jahat. Dengan bertaubat, manusia akan
menghilangkan kemaksiatan dan menggantinya dengan ketaatan.28
Intinya, manusia itu harus selalu meminta ampunan kepada Allah atas apa
yang telah ia kerjakan setiap harinya. Karena, manusia itu tidak akan bisa
terlepasa dari yang namanya dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu manusia harus
memperbanyak meminta pengampunan kepada Allah agar segala dosanya bisa
diampuni oleh Allah.
28
Syaikh, abdul Qadir al-Jailani, Nasehat-nasehat Wali Allah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani, Penerjemah Achmad Sunarto, ( Bandung: Husaini Bandung, 1995 ), h. 167.
40
BAB IV
PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG MAKSIAT HATI
A. Tuhan
Konsep tentang Tuhan menjadi sebuah pembahasan yang sangat
menarik dari berbagai golongan seperti para sufi, teolog, dan filusuf. Para
teolog dan filosof membahas Tuhan tentang masalah pengetahuan Tuhan.
Apakah Tuhan mengetahui suatu hal yang terperinci, misalnya Tuhan
mengetahui bahan-bahan dari alam semesta ini atau apakah Tuhan
mengetahui semut hitam berjalan di malam gelap di atas batu hitam.
Persoalannya adalah jika Tuhan mengetahui hal-hal yang juz‟i, maka
Tuhan amat sangat sibuk, dan apa gunanya Tuhan mengetahui semua
segala hal itu. Jika Tuhan tidak mengetahui, maka Tuhan terkesan tidak
mengetahui. Dan ini bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang
menjelaskan Tuhan Maha Mengetahui. Itulah yang menjadi persoalan para
teolog dan filusuf tentang Tuhan.1
Berbeda dengan ajaran para sufi, terutama sufi periode pertama.
Mereka tidak mengajarkan tentang pengetahuan Tuhan, tetapi mereka
mengajarkan sebuah ajaran kesufian tentang kezuhudan dan pengendalian
hawa nafsu.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat sebuah kecenderungan
yang sangat kuat ke arah ajaran mistisisme, hal ini terlihat pada ajaran-
ajaran para tokoh sufi besar. Seperti yang terdapat di dalam sebuah ajaran
1Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). h. 165.
41
sistem mistisisme, maka boleh dikatakan bahwa sistem mistisisme yang
diajarkan oleh mereka lebih cenderung kepengembangan dari konsepsi
filosofis terhadap sifat ketauhidan Tuhan, hubungan antara jiwa manusia
dengan Tuhan, kemungkinan naiknya jiwa manusia kepada Tuhan dan
praktek-praktek yang digunakan untuk pendakian jiwa agar manusia bisa
bersatu dengan Tuhan.
Konsep ketauhidan Tuhan para sufi periode pertama, lebih kental
tentang sifat-sifat Tuhan yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan keyakinan-
keyakinan yang dianut oleh kaum ortodok Islam. Tuhan adalah berdiri
sendiri sejak dahulu, tidak terbatas, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu,
dzat dan sifat-sifatnya tidak berubah.2
Oleh karena itu, manusia harus merenungkan tentang wujud dan
sifat-sifat Tuhan, agar manusia bisa sampai pada sebagian pengetahuan
tentang Tuhan.Walaupun banyak manusia yang telah melakukan
perenungan tetapi masih belum juga bertemu Tuhan, berarti manusia harus
melakukan cara-cara agar manusia bisa bertemu dan menegetahui tentang
Tuhan.3 Jadi, manusia yang ingin dekat dengan Tuhan, maka ia harus
merenungi tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan. Seperti yang dikatakan
oleh al-Ghazali:
Tuhan bukanlah terdiri dari sebuah jasad, subtansi atau aksiden. Dia
(Tuhan) tidak bisa diserupakan dengan segala sesuatu yang hidup maupun
2Margaret Smith,mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan
Pertumbuhannya,Penerjemah Amroeni Dradjat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 251. 3Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah
Haidar Bagir,( Bandung: Penerbit Mizan, 2014), h. 31.
42
dengan benda yang mati. Dia tidak bertempat tinggal di bumi maupun di
langit. Dia Yang Maha Dipuja oleh semua mahluk di atas muka bumi dan
dekat dengan segala wujud yang ada.Tuhan mengawasi segalanya.Tuhan
tidak terbatasi oleh waktu maupun bertempat disuatu rungan, karena
Tuhan ada sebelum adanya waktu dan ruang. Tuhan akan selamanya ada
dan akan tetap ada.
Al-Ghazali kemudian kembali menegaskan, manusia yang sudah
merenungkan dirinya tentang Tuhan, maka ia akan mengetahui kalau
dirinya sebelumnya tidak ada. Yang ada hanya Tuhan. Sebagaimana yang
tertulis di dalam al-Qur‟an yang artinya, “Tidakkah manusia tahu bahwa
sebelumnya ia bukan apa-apa?” (QS. Maryam: 67). Ia (manusia)
mengetahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung
intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan yang lainnya. Dari sini
sudah jelas, setinggi apa pun tingkatan kesempurnaan manusia, ia tidak
bisa menciptakan dirinya dan ia sendiri tidak akan mampu menciptakan
sehelai rambut pun.4 Manusia harus berpikir tentang dirinya sendiri
sebelum berpikir tentang Tuhan. Ia sebelumnya tidak ada kemudian
diciptakan oleh Tuhan menjadi ada. Sedangkan Tuhan sudah ada sebelum
adanya manusia. Ia hanya makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dari
setetes air mani. Dan Ia (Tuhan) selamanya akan tetap ada.
Kemudian al-Ghazali melanjutkan, setelah manusia melakukan
perenungan mengetahui tentang esensi dan sifat-sifat kekuasaan Tuhan,
maka akan bisa dipahami metode kerja, pengaturan, dan pendelegasian
4Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 32.
43
kekuasaan Tuhan kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan yang
lainnya, yakni dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing
manusia mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri.5
Sebenarnya, Tuhan sangat mudah dipahami oleh akal sehat manusia
dan keberadaan Tuhan bisa dilihat oleh manusia melalui pandangan mata
batinnya. Melalui pandangan batin itu, manusia bisa melihat tentang wujud
dan keindahan Tuhan. Manusia memperoleh sebuah keanugerahan
kesenangan yang sangat tinggi.6
Tuhan menurut al-Ghazali, Dia adalah transenden dan immanen. Dia
Penciptan dan Penyebab Pertama dari segala yang wujud. Penggerak
Pertama sekaligus wujud dan Hikmah Abadi. Dia juga Keindahan yang
tinggi melampaui keindahan yang ada dalam karya manusia, keindahan
penya‟ir ada di dalam bait-bait sya‟irnya, keindahan pelukis ada di dalam
sebuah lukisannya.Yang Indah tetap Indah ialah hanya Tuhan, Keindahan
yang paripurna, paling bercahaya, paling agung, dan Keindahan yang tidak
bisa dijelaskan. Karena Keindahan Tuhan berada di luar jangkauan konsep
pikiran manusia.7
Jadi, Tuhan itu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Dan
Tuhan tidak bisa digambarkan oleh pikiran manusia, juga keindahan-
keindahannya tidak bisa diungkapkan oleh akal manusia. Yang
5Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 36.
6Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah
Amrouni, (Jakarta: riora Cipta, 2000), h. 151. 7Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah
Amrouni, h. 156.
44
mengetahui tentang Tuhan dan keindahannya hanyalah Tuhan sendiri yang
mengetahuinya.
Al-Ghazali kembali melanjutkan, Dia (Tuhan) adalah Sang Pengatur
jagat raya dan Dia berada di luar ruang dan waktu, kualitas dan kuantitas.
Dia yang mengatur semua apa-apa yang sudah demikian terkondisikan.
Sebagaimana ruh mengatur jasad dan semua anggotanya dalam keadaan ia
tidak bisa dilihat oleh mata, tidak terbagi-bagi, dan tidak pula di tempatkan
di sebuah tempat manapun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak
terbagi-bagi mau di tempatkan pada sesuatu yang bisa terbagi-bagi.8
Pendapat al-Ghazali ini menegaskan kalau yang mengatur jagat raya
ini ialah Tuhan. Al-Ghazali mengumpamakannya ruh yang ada di dalam
jasad manusia. Yang mengatur anggota tubuh manusia adalah ruh. Tanpa
adanya ruh jasad manusia tidak akan berfungsi. Begitu juga tentang
keberadaan Tuhan, Dia tidak membutuhkan ruang dan waktu. Dia ada tapi
tidak bertempat di suatu tempat dan tidak di lingkari oleh waktu. Tentang
memahami Tuhan, al-Ghazali mengatakan:
“Tidak ada seorang manusia pun yang bisa memahami seorang
raja, kecuali rajanya sendiri yang bisa memahaminya. Karena itu, Tuhan
sudah menjadikan masing-masing manusia, katakanlah sebagai raja
dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan sebuah tiruan dari
kerajaan Tuhan yang telah disusunkan secara tidak terbatas.Tuhan telah
menggambarkan kerajaan di dalam diri manusia berupa ruh dan malaikat
(Jibril) oleh hati, kursyi (kursi) oleh otak, dan al-lauh al-mahfủzh oleh
ruang pikiran.Jiwa yang tidak ditempatkan dan tidak terbagi-bagi,