MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Rizky Subagia NIM: 1112032100053 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019
94
Embed
MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT DESA PACIRAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46587/1/RIZKY...MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT DESA PACIRAN KECAMATAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT
DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Rizky Subagia
NIM: 1112032100053
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019
i
LEMBAR PERSETUJUAN
MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYA RAKAT DESA PACIRAN
KECAMATAN PACIRAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh
Rizky Subagia
NIM : 1112032100053
Di bawah Bimbingan
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si
NIP : 19651129 199403 1 002
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2019
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rizky Subagia
NIM : 1112032100053
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/ Prodi : Studi Agama-Agama
Telp/HP : 085730449167
Judul Skripsi : Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran
Kecamatan Paciran
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan Skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Jakarta, 26 Juli 2019
RIZKY SUBAGIA
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Skripsi ini berjudul MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT
DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Prodi
Studi Agama-Agama.
Ciputat, 31 Juli 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Syaiful Azmi, MA
NIP: 19751019 200312 1 003
Sekretaris Merangkap Anggota,
Aktobi Gozali, MA.
NIP: 19730520 200501 1 003
Anggota,
Penguji I,
Dra. Halimah SM, MA.
NIP: 19590413 199603 2 001
Penguji II,
Dra. Marjuqoh, MA.
NIP: 19680901 199403 2 002
Pembimbing,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si
NIP : 19651129 199403 1 002
iv
ABSTRAK
“Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran Kecamatan Paciran”
Rizky Subagia
Skripsi ini akan mendeskripsikan tentang makna tradisi kupatan bagi
masyarakat Desa Paciran, Kecamatan Paciran. Kupatan adalah tradisi keagamaan yang
berhubungan dengan tradisi Islam. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk warisan
budaya leluhur yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Paciran
Kabupaten Lamongan. Selain itu tradsi kupatan merupakan kegiatan sosial yang
melibatkan seluruh masyarakat dalam usaha untuk memperoleh keselamatan dan
ketentraman. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengetahui
bagaimana makna yang terkandung dalam tradisi kupatan desa paciran kabupaten
lamongan?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan melakukan penelitian dengan
jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan historis, dengan
menjelaskan sejarah, perkembangan dan eksistensi tradisi kupatan di Desa Paciran,
Kabupaten Lamongan. Kemudian pendekatan fenomenologi, dengan cara
mendeskripsikan fenomena-fenomena keagamaan serta realitas yang terjadi di
masyarakat Desa Paciran. Untuk menperkuat penelitian penulis mendapatkan data dari
hasil kepustakaan, serta melakukan wawancara terhadap tokoh Masyarakat, tokoh
Agama dan pejabat pemerintahan desa. Selain itu penulis juga melakukan observasi
langsung kelapangan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan hasil analisis tentang makna yang terkandung dalam tradisi
kupatan di Desa Paciran Kabupaten Lamongan ada beberapa aspek diantaranya adalah
Aspek Spiritual, Aspek Sosial dan Aspek Ekonomi.
Kata Kunci: Makna, Tradisi Kupatan, Desa Paciran.
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan iman,
islam, dan ihsan, serta kesehatan yang tidak terhingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa
Paciran Kabupaten Lamongan” Shalawat serta salam tidak lupa dihaturkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan
sampai zaman terang benderang seperti ini, kelak semoga mendapatkan syafaat
darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari kata sempurna ini tidak akan
dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik seacara materil maupun
moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada
yang terhormat:
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. Marjuqoh, M.A selaku penasehat akademik yang memberikan arahan dan
persetujuan dalam penulisan skripsi ini.
3. Zaenal Muttaqin, MA yang telah banyak memberikan masukan masukan
sehingga sampai kepada judul yang ditetapkan dan diberlakukan.
4. Syaiful Azmi, M.A selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama dan Lisfa
Sentosa Aisyah, S.Ag., M.A selaku Sektretaris Jurusan Studi Agama-agama
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan kepada
mahasiswanya dengan baik.
5. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amani Lubis, MA atas
kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas Ushuluddin.
Tidak lupa kepada Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas Ushuluddin
khususnya Sahabat Jamil, serta para staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ali Usman dan Ibu Suhartining yang
telah memberikan kesempatan berjuang hingga akhir masa studi dan tidak lupa
kepada adik tercinta M. Wildan Firdaus yang memberikan dukungan sampai
saat ini dan selamanya.
8. KH. Salim Azhar, serta masyarakat desa Paciran khususnya para informan yang
telah membantu dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.
9. Adik sekaligus kekasih terbaik Ghania Ahsani Rahmadhani yang selalu ada dan
mensupport hingga skripsi ini bisa terselesaikan.
10. Keluarga Besar Paramuda Travel terkhusus H. Abdullah Mas’ud, Hj Margaret
Aliyatul Maimunah sebagai orang tua kedua selama di Jakarta yang selalu
mensupport hingga skripsi ini bisa terselesaikan, tak lupa untuk Hazimatul
layyinah, Whasfi Vella Sulfa.
11. Karyawan Paramuda dan Paramudaris, Yugotri Prasetyo, Erlangga, Oki Radita,
Amelia Rossa, Zizi Mubaroq, M. Zaky Mubarok, Majius Sulthoni sebagai
teman seperjuangan dalam meniti karir selama ini.
vii
12. Senior serta Mbak terbaik Zaimah Imamatul Baroroh yang telah membimbing
dan mensupport hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
13. Keluarga Besar NU Kota Tangsel bapak Himam Muzahir, bapak Suhud Isnadi,
bapak Asmawi yang selalu memberikan semangat untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
14. Keluarga Besar Wasiat Jakarta sebagai tempat pijakan pertama ketika sampai
di Jakarta.
15. Teman-teman seperjuangan Prodi Studi Agama-agama angkatan 2012,
Khususnya Hidayatulloh, Ahmad Fauzi, Jarkasih, Elvita Fatchiyatus Sa’adah
16. Teman-teman KKN Galeri yang telah memberikan warna baru dalam
kehidupan.
Tiada kata yang dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih atas semua yang
membantu kelancaran proses penulisan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas
kebaikan kalian semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan yang
masih perlu disempurnakan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan yang
sifatnya membangun dari semua pihak, demi peningkatan dari skripsi ini. Akhirnya
kepada Allah SWT penulis berserah diri, semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua,
terutama bagi penulis sendiri. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Jakarta, 26 Juli 2019
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 8
F. Kerangka Teori................................................................................................ 10
G. Metodologi Penetitian ..................................................................................... 14
H. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 17
BAB II : GAMBARAN UMUM DESA PACIRAN LAMONGAN ...................... 19
A. Sejarah Desa Paciran ....................................................................................... 19
B. Kondisi Geografis ........................................................................................... 20
1. Luas Wilayah ............................................................................................ 21
2. Kesuburan Tanah ...................................................................................... 23
3. Curah Hujan dan Tinggi Tempat............................................................... 23
terhadap sesama.2 Sedangkan Kupat merupakan bentuk jamak dari kafi, yaitu kuffat
yang berarti cukup, jelasnya cukup akan pengharapan hidup ini setelah berpuasa satu
bulan di bulan Ramadhan3
Menurut KH. Salim Azhar tokoh masyarakat desa Paciran mengatakan bahwa
kupat berasal dari bahasa arab Huffat, yang sesuai dengan hadis Nabi SAW.
حفت الجنة بالمكاره وحفت النار بالشهوات
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu
diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim)
Dengan mengambil kata huffat dari hadist tersebut, KH. Salim menjelaskan
lebih lanjut bahwa lebaran ketupan mempunyai nasehat filosofi yang sangat penting.
Yakni, dimana setelah melakukan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh,
hendaknya tetap berhati-hati menjaga diri dari kesenangan nafsu yang menyesatkan
dan tetap istiqomah dalam menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. 4
Ketupat adalah simbolisasi makna permohonan ampun dan maaf yang
berhubungan dengan hak-hak Allah (habl min Allâh) dan juga hak-hak manusia (habl
min al-nâs). Karena itulah, keberadaan kupat banyak dijumpai saat hari raya lebaran
yang merupakan hari raya kembali pensucian diri dan momen saling memaaf-maafkan
antar sesama. Ketupat seolah-olah manifestasi dari ungkapan do’a yang lazim
dipanjatkan saat hari raya Idul Fitri, yaitu “kullu ‘âm wa nahnu ilâ Allâh wa al-hasanât
aqrab. Taqabbalallâhu minnâ wa minkum” (semoga setiap tahun kita semakin dekat
2 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 3 Diakses pada 29 Agustus 2012 https://www.nu.or.id/post/read/39477/kupatan 4 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Masyarakat desa Paciran, 25 November 2018.
34
dengan Allah dan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah memaafkan kita semua dan
menerima amal kita).
Kupat juga merupakan kependekan dari “laku papat” atau “empat tindakan”
yang merupakan etape stasiun spiritual” (al-maqâmât al-rûhiyyah al-arba’ah), yaitu :
a. Tindakan pertama adalah “lebaran”, yang berasal dari kata lebar (usai atau
selesai). Di sini, lebaran menandakan sudah usai dan berakhirnya waktu
menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
b. Tindakan kedua adalah “luberan”, yang berasal dari kata luber (meluap atau
melimpah). Dalam hal ini luberan diartikan sebagai ajakan untuk saling
berbagi limpahan rizki dengan berzakat dan bersedekah untuk kaum miskin
dan mereka yang berhak menerimanya.
c. Tindakan ketiga adalah “leburan”, yang berasal dari kata lebur (melebur atau
menghilangkan). Artinya mengakui kesalahan, memohon maaf dan memberi
maaf. Manusia dituntut untuk saling memaafkan antar satu sama lain. Dengan
demikian, dosa-dosa dan kesalahan pun menjadi lebur.
d. Adapun tindakan yang keempat adalah “laburan”, yang berasal dari kata labur,
atau kapur untuk memutihkan dinding rumah dan menjernihkan air. Dalam hal
ini, leburan memaksudkan agar manusia selalu menjaga kesucian lahir dan
batinnya.5
Dilihat dari sisi kuliner, ketupat merupakan makanan khas Indonesia yang
terbuat dari beras dan dibungkus dengan selongsong yang berbahan dari janur/daun
5 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213.
35
kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada
umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim tepat di hari ke delapan lebaran Idul
Fitri yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA KUPAT”.6
Dibungkusnya ketupat dengan daun kelapa muda yang dianyam juga memiliki
nilai filosofi tersendiri. Dalam bahasa Jawa, daun kelapa muda pembungkus ketupat
dikenal juga dengan nama janur. Kata janur berasal dari bahasa Arab, yaitu jâ’a nûr,
yang atinya “telah datang seberkas cahaya terang”. Filosofi makna yang tersimpan di
balik janur sebagai bungkus kupat adalah bahwa manusia senantiasa mengharapkan
datangnya cahaya petunjuk dari Allah SWT. yang maha memberikan petunjuk dan
membimbing mereka pada jalan kebenaran yang diridhai oleh-Nya. Janur7 juga
merupakan sebuah simbolisasi atas harapan yang dipanjatkan umat Islam dan
manifestasi atas do’a yang termaktub dalam surat al-Fâtihah; “ihdinâ-s shirâth-al
mustaqîm. Shirât-alladzîn-a an’amta ‘alaihim ghair-il maghdhûbi ‘alaihim wa lâdh-
dhâllîn” (tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepadanya, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan
mereka yang sesat).8
2. Sejarah Munculnya Tradisi Kupatan
Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi
juga merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk memperlancar perkembangan
6 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019. 7 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia janur adalah daun kelapa muda yang berwarna
kuning. 8 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya,h.
214.
36
pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju kedewasaan.
Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat.
W.S. Rendra menekankan pentingnya sebuah tradisi dengan mengatakan bahwa, tanpa
tradisi pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi
biadab. Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya sebagai
pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai pembimbing,
melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karena itu, tradisi yang kita terima
perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan dengan zamannya.9
Sedangkan tradisi menurut Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun-
temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.10
Menurut Bahasa Latin, Tradisi disebut traditio yang bermakna diteruskan atau
kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah
dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini,
suatu tradisi dapat punah.
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara manusia masa lalu dan masa kini. Ia
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan
9 Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12-13. 10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/tradisi.
dicampurkan dengan urusan budaya. Namun pendapat dari ulama yang lain
mengatakan tidak apa-apa untuk melakukannya. Karena di dalam tradisi Kupatan
mengandung nilai-nilai kearifan dan ibadah kepada Tuhan yang Maha Esa.15
Seiring pergeseran zaman tradisi perayaan ketupat sudah tidak lagi menjadi
kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat lingkup kecil, namun tradisi tersebut telah
meluas ke masyarakat luar, dan dikokohkan oleh masyarakat desa Paciran sebagai
perayaan besar tahunan. Perayaaan tersebut tetap berlangsung hingga saat ini, dan
dengan kreatifitas masyarakat perayan tersebut semakin berkembang dari tahun ke
tahun. Masyarakat berusaha menjadikan perayaan kupatan semakin dikenal generasi
selanjutnya dengan mengemas kegitaan tersebut agar terlihat lebih menarik dan
dinikmati semua kalangan tanpa mengurangi atau menodai nilai kerifan kupatan yang
diajarkan oleh Raden Noer Rahman.16
Sejak sepuluh tahun terakhir tradisi perayaan kupatan di desa Paciran dijadikan
momen perayaan hari besar yang dirayakan setiap tahunnya. Dimana ketupat sudah
tidak lagi di bawa ke musshola-mushola namun ketupat dibentuk semenarik mungkin
dan disusun menjadi gunungan yang kemudian di arak dari Terminal ASDP melewati
Goa Maharani dan berakhir di Tanjung Kodok. Menurut masyarakat setempat arak-
arakan tersebut bermaksud memperingati napak tilas Sunan Sendang yang dianggap
sebagai pencetus tradisi kupatan di daerah Paciran Kabupaten Lamongan.17
15 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat Desa Paciran, pada 22 November 2018 16 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama desa Paciran, pada 25 April 2019
17 Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019
40
3. Prosesi Pelaksanaan Perayaan Tradisi Kupatan
Seperti yang telah dijelaskan, masyarakat desa Paciran seluruhnya menganut
agama Islam, sehingga kegiatan masyarakat sehari-hari mengacu pada nilai ajaran
Islam yaitu al-Qur’an dan Hadist. Masyarakat desa Paciran juga masih kental akan
tradisi-tradisi warisan dari nenek moyang, yang dianggap sakral dan harus dilestarikan
oleh budaya-budaya yang ada tersebut. Adapun beberapa macam tradisi yang
dilakukan masyarakat desa Paciran seperti : Mauludan, Isra’ Mi’raj, Rajaban dan
Kupatan.
Tradisi kupatan dilaksanakan oleh seluruh warga desa Paciran, dari anak-anak,
remaja sampai orang tua, mereka ada yang terlibat langsung dalam prosesi dan ada juga
sebagai peserta yang ikut memeriahkan tradisi tersebut. Keterlibatan anak-anak tidak
hanya sebagai penggembira saja, tetapi secara tidak langsung anak-anak diperkenalkan
dengan tradisi yang sudah ada sejak dulu yakni kupatan.
Dalam melaksanakan tradisi kupatan ada beberapa tahapan yang terbagi
menjadi tiga yaitu:
a. Persiapan
Pada Tahap persiapan masyarakat membuat ketupat yang dibungkus dengan
janur dan disusun dalam berbagai bentuk dan ukuran. Di samping persiapan membuat
ketupat sebagian masyarakat ada yang bertugas untuk membuat hiasan-hiasan
tambahan guna menyemarakkan perayaan dan arak-arakan kupatan. Setelah semua
bahan sudah siap kemudian kupat dan lepet serta bahan yang lain di susun menjadi
gunungan-gunungan ketupat untuk nantinya di doakan dan diperebutkan saat perayaan
tradisi kupatan.
41
b. Waktu dan Tempat Perayaan
Waktu perayaan kupatan biasanya dilakukan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri,
karena merupakan perwujudan rasa syukur setelah mengerjakan puasa satu bulan
penuh dan disempurnakan dengan puasa sunah enam hari di bulan syawal.
Sebagaimana dikatakan oleh kyai Salim Azhar tokoh agama desa Paciran Sebagai
berikut:
"Bahwa setelah masyarakat mengerjakan puasa Ramadlan satu bulan penuh,
mereka menyempurnakan dengan puasa syawal enam hari, kemudian ditutup dengan
perayaan kupatan", Beliau juga mengutarakan acuan dengan hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Muslim, dari Abi Ayyub Al-Anshari, bahwasanya Rosulullah Saw,
telah bersabda, yang artinya "Barang siapa puasa Ramadlan kemudian ia sempurnakan
dengan puasa enam dari pada bulan syawal, pahalanya seperti puasa setahun penuh",18
Sedangkan tempat pelaksanaan kupatan biasanya adalah tempat-tempat yang
dahulu pernah digunakan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dalam menimba ilmu
secara natural sebagai bentuk napak tilas perjuangan, seperti : Goa, Pesisir Pantai,
Lereng Gunung, makam dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat.
Tempat-tempat tersebut di atas masih dianggap mempunyai nilai-nilai keramat
sebagai petilasan atau bekas tempat menimba ilmu dengan berbagai cara misalnya
duduk bersila.
Adapun tempat yang digunakan untuk prosesi perayaan tradisi kupatan antara
lain:
18 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama Desa Paciran, 25 April 2019
42
1. Goa
Goa yang biasanya digunakan untuk perayaan tradisi kupatan desa Paciran
adalah goa maharani yang terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan desa Paciran, goa
maharani merupakan petilasan Sunan Sendang dan juga tempat keramat yang sekarang
menjadi tempat wisata desa Paciran.
2. Pesisir Pantai
Pantai yang digunakan dalam perayaan tradisi kupatan ini adalah tanjung
kodok. Pantai ini terkenal unik dengan adanya batu besar yang berbentuk menyerupai
hewan kodok, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa Paciran. Selain
itu, pantai sendiri merupakan sumber kehidupan masyarakat nelayan desa Paciran, dan
pemberian sedekah untuk alam dalam suatu perayaan kupatan di pantai bertujuan untuk
memohon kepada yang maha kuasa agar memberikan keselamatan dan hasil tangkapan
ikan yang melimpah, serta dijauhkan dari segala macam bencana baik berupa angin
barat (angin kencang) maupun air pasang.
Pesisir pantai tanjung kodok dipilih sebagai salah satu tempat perayaan tradisi
kupatan karena, di tanjung kodok inilah Sunan Drajat dan Sunan Sendang pertama kali
singgah dan memulai menyebarkan agama Islam di desa Paciran dan sekitarnya.
Sebagai bentuk napak tilas perjuangan yang telah dilakukan oleh Sunan Sendang dan
Sunan Drajat sehingga Islam di desa Paciran dan sekitarnya bisa tersebar.
3. Tempat Ibadah
Tempat ibadah yang digunakan adalah masjid-masjid dan mushola yang ada di
desa Paciran, masjid dan mushola merupakan tempat berkumpulnya orang-orang
muslim guna melaksanakan rukun Islam yang ke dua, juga sebagai tempat
43
berkumpulnya masyarakat desa Paciran untuk melaksanakan perayaan keagamaan
sehingga silaturrahmi tetap terjalin diantara masyarakat.
4. Makam atau kuburan
Kuburan yang di ziarahi oleh masyarakat Paciran sebagai salah satu tempat
perayaan tradisi kupatan adalah makam Sunan Sendang dan Sunan Drajat yang dikenal
sebagai penyebar ajaran agama Islam di wilayah pesisir pantai utara. Juga sebagai
pencetus adanya tradisi kupatan yang sampai sekarang masih dilaksanakan.
Sedangkan makna yang diambil dari ziarah makam Sunan Sendang dan Sunan
Drajat adalah mencari keberkahan dari para waliyullah yang sudah berjasa dalam
penyebaran agama Islam di desa Paciran dan sekitarnya, di samping itu agar senantiasa
ingat bahwa kematian adalah hal yang pasti akan terjadi pada setiap manusia.
Sedangkan untuk lokasi arak-arakannya sendiri di mulai dari terminal ASDP
berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di pesisir pantai Tanjung Kodok Paciran.
c. Pelaksanaan
Pelaksanaan Tradisi kupatan dimulai sejak malam harinya, masyarakat
berbondong-bondong membawa sebagian ketupat ke tempat-tempat ibadah untuk
berdoa bersama dan saling bertukar ketupat dengan tetangga kemudian masing-masing
pulang kerumah dengan membawa ketupat yang sudah ditukar dengan yang lain. Ada
juga yang malam harinya ziarah makam Sunan Sendang dan Sunan Drajat untuk
memanjatkan do’a seraya membaca yasin dan tahlil. Mereka berkeyakinan dengan
berziarah ke makam seorang yang dianggap wali akan mendapatkan berkah. Kemudian
pada pagi harinya dimulailah perayaan besar tradisi Kupatan. Biasanya acara dimulai
44
dengan pembukaan yang dibuka oleh pemerintah setempat dan pemuka agama
kemudian setelahnya adegan arak-arakan dimulai.
Arak-arakan sendiri mempunyai makna meluapkan kegembiraan atas
terlaksananya tradisi kupatan, arak-arakan boleh dibilang rangkaian acara dalam tradisi
kupatan yang paling meriah karena menampakkan kepada publik dan melibatkan
partisipasi banyak orang.19 Ketupat yang sudah dihias menjadi gunungan-gunungan
diarak mulai dari Terminal ASDP berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di
pesisir Tanjung Kodok. Sesampainya di Tanjung kodok arak-arakan ketupat disambut
dengan parade perahu hias yang menjadikan perayaan tradisi kupatan di desa Paciran
semakin ramai. Dalam perayaan kupatan di desa Paciran juga terdapat sebuah
pertunjukan drama, drama tersebut menceritakan tentang “Madeke Masjid sendang
Agung” pembuatan Masjid Agung Sendang Dhuwur sebagai tonggak awal
berlangsungnya tradisi kupatan di pantura desa Paciran. Drama diawali kirab
kedatangan rombongan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dari dua arah yang berbeda.
Setiap rombongan beranggotakan kelompok musik kendang tanjidor. Sejumlah
perempuan membawa ketupat, lepet, dan buah-buahan.
Kedua rombongan bertemu di Pantai Tanjung Kodok. Selanjutnya adegan
berlanjut dengan menunggu kedatangan kapal yang membawa utusan Mbok Rondo
Mantingan dari Jawa Tengah. Rombongan Mbok Rondo Mantingan membawa bahan
bangunan berupa kayu, yang akan digunakan untuk membangun Masjid Agung
Sendang Dhuwur. Dalam adegan ini juga digambarkan rombongan ini diserang
19 Wawancara dengan Khusnul Khuluq, pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019.
45
perompak. Namun, perompak bisa dikalahkan dengan bantuan Sunan Sendang dan
Sunan Drajat sehingga para perompak masuk Islam.
Setelah pertunjukan drama selesai gunungan ketupat akan dipanjatkan do’a
oleh pemuka agama kemudian gunungan ketupat diperebutkan oleh ratusan masyarakat
yang menginginkan keberkahan dari gunungan ketupat tersebut. Acaara diakhiri
dengan kenduri ketupat, yakni makan beramai-ramai ketupat dengan berbagai sayur
dan olahan sayur oleh seluruh masyarakat yang hadir dalam acara perayaan tradisi
kupatan secara gratis.
Hasil observasi penulis terdapat juga beberapa kesenian asli lamongan yang
ikut menyemarakkan perayaan kupatan diantaranya tongklek, jaran jenggo dan jedor.
Tongklek adalah tradisi membangunkan warga untuk mempersiapkan makan sahur saat
bulan ramadhan dengan suara kentongan dari bambu. Biasanya warga melakukan
dengan cara bergerombol, ramai-ramai keliling kampung, secara bersama-sama
mereka memukul alat tradisional kentongan sehingga muncul suara Tong dan Klek.
Sedangkan kesenian jaran jenggo adalah seni kuda yang dilatih njenggo,yang berarti
mengangguk-anggkan kepala sambil menari/berjoget menurut panduan seorang
pawang yang disesuaikan dengan irama musik. Kesenian Jaran Jenggo di Solokuro
Kabupaten Lamongan. Jaran Jenggo sendiri memiliki makna jaran goyang atau kuda
goyang.
Terdapat pula macam-macam perlombaan yang di selenggarakan oleh panitia
diantaranya adalah, lomba cipta ketupat yang di ikuti oleh ibu-ibu yang terdiri dari
empat sampai lima orang dalam satu kelompok nya, dalam perlombaan tersebut yang
46
dilombakan adalah keunikan dalam menghias makanan ketupat dan yang pasti cita rasa
nya. Lomba lainnya adalah perahu hias, keterangan dari panitia kenapa perahu hias,
karena mayoritas penduduk desa Paciran bekerja sebagai seorang nelayan, dalam
perlombaan ini diikuti oleh sepuluh perahu hias yang sudah dihias sedemikian rupa
sehingga turut serta menyemarakkan perayaan kupatan.
47
BAB IV
ANALISA TENTANG MAKNA DAN TUJUAN TRADISI KUPATAN BAGI
MASYARAKAT DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Makna Tradisi Kupatan
Ada beberapa aspek yang terkandung dalam makna tradisi kupatan. Makna tradisi
kupatan sangat berpengaruh dalam kehidupan orang yang menjalankan tradisi tersebut,
adapun beberapa aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aspek Spirirtual
Beberapa dampak secara spiritual yang yang menjadikan masyarakat desa Paciran
lebih semangat dalam menjalankan hal-hal yang terkait dengan keagamaan diantaranya
adalah
a. Saling Bermaaf Memaafan
Makna yang paling terlihat ketika perayaan tradisi kupatan dari aspek spiritual
adalah saling bermaaf-maafan, makna ini diambil dari arti kata Kupat dalam Bahasa
jawa, yang berarti ngaku lepat atau mengakui kesalahan dengan cara saling bermaaf-
maafan yang biasa dipraktekkan oleh masyrakat desa Paciran dengan Sungkeman.
Dampak positifnya dari makna ini adalah masyarakat yang biasanya enggan untuk
bermaaf-maafan dengan tetangga menjadi lebih semangat untuk melaksanakannya.
Seperti yang dikatakan oleh Munaji masyarakat desa Paciran bahwa,
“masyarakat desa Paciran ketika kupatan berlangsung semuanya pada guyub rukun dan
48
keluar rumah masing-masing untuk sungkeman serta saling bermaaf-maafan dengan
tetangga dan orang terdekatnya.”1
Dikuatkan juga oleh zaky masyarakat desa Paciran, “hanya ketika lebaran idul
fitri dan lebaran ketupat jalanan desa diramaikan oleh masyarakat guna saling
sungkeman dan bermaaf-maafan. Sangat berbeda sekali dengan hari-hari biasa di luar
perayaan tradisi kupatan dan lebaran idul fitri masyarakat enggan untuk guyub rukun
ramai-ramai keluar rumah untuk saling sapa dan bermaaf-maafan satu dengan
lainnya.”2
Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134 yang artinya “(yaitu) orang yang
berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang
berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134) ayat tersebut menerangkan bahwa pentingnya
saling bermaaf-maafan kepada sesama manusia karena Allah tidak akan menerima
permintaan maaf hambanya jika orang yang disakitinya belum memberikan maaf atas
kesalahan yang diperbuat.
Oleh karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang
memohon maaf atas kesalahnnya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali
perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil
mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya
1 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019 2 Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
49
dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan
kepada yang dimohonkan maafnya.3
Kupat juga kepanjangan dari laku papat berarti al-Qur’an, hadits, ijma’ dan
qiyas yang merupakan sumber hukum islam.4 Di samping itu ada yang memberikan
makna berbeda dari laku papat yaitu sebagai empat tindakan meliputi lebaran, luberan,
leburan, dan laburan.5 Makna saling mengakui kesalahan ditunjukkan dengan
bersalam-salaman dan saling bermaaf-maafan setelah melaksanakan puasa Ramadhan
dan puasa syawal.
b. Mendatangkan Cahaya
Dampak selanjutnya dari segi spriritual adalah mendatangkan cahaya atau
mendatangkan ketenangan dan keberkahan, yang diambil dari arti kata Janur,
Kepanjangan dari Ja’a Nur yang artinya “telah datang seberkas cahaya terang”.
Filosofi makna yang tersimpan di balik “janur” sebagai bungkus “kupat” adalah bahwa
manusia senantiasa mengharapkan datangnya cahaya petunjuk dari Allah yang
memberikan petunjuk dan membimbing mereka pada jalan kebenaran yang diridhai
oleh-Nya, bukan pada jalan yang tidak disukai oleh-Nya.6 Janur sendiri adalah pupus
dari daun kelapa atau daun kelapa yang masih muda, daun yang dipakai untuk
membungkus lepet.7
3 Diakses pada Sabtu 24 Juni 2017 https://www.nu.or.id/post/read/79180/perihal-maaf-
memaafkan 4 Wawancara dengan KH. Salim Azhar, Tokoh agama desa Paciran, pada 25 April 2019 5 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 6 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 7 Kamus besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/janur
menyiapkan acara kupatan dari persiapan hingga pelaksanaan dilapangan, bukan hanya
dari kalangan bapak-bapak saja, tetapi semua kalangan seperti, ibu-ibu, remaja sampai
anak-anak ikut andil dan bersama-sama untuk mensukseskan acara perayaan tradisi
kupatan terserbut.
Bapak-bapak sibuk mempersiapkan matrial untuk gunungan ketupat dan
mengatur suSunan acara pelaksanaan perayaan tradisi kupatan sedangkan ibu-ibu sibuk
mempersiapkan ketupat dan makanan yang lain seperti, lepet, buah-buahan, sayur-
sayuran dan lain-lain sebagai hiasan untuk gunungan ketupat. Untuk anak-anak dan
remaja mereka sibuk dengan berlatih drama kolosal yang akan dipersembahkan dalam
acara perayaan tradisi kupatan.
2. Aspek Ekonomi
Dalam aspek Ekonomi tradisi kupatan sangat berdampak pada para masyarakat
desa Paciran yang bermata pencaharian sebagai penjual daun lontar maupun daun janur
yang digunakan sebagai bahan utama membuat ketupat dan lepet. Dua bahan pokok ini
ketika menjelang pelaksanaan tradisi kupatan mengalami kenaikan harga disamping
permintaan banyak dan stok barang terbatas yang menjadikan barang tersebut
mengalami kenaikan harga.
Bukan hanya itu ketika perayaan tradisi kupatan berlangsung juga mempunyai
dampak ekonomi yang sangat besar dibuktikan dengan banyaknya para penjual
dadakan yang membuka lapak nya di pinggir-pinggir jalan yang digunakan sebagai rute
perayaan arak-arakan gunungan ketupat guna menjajakan barang dagangannya kepada
para peserta arak-arakan dan pengunjung yang sengaja datang untuk melihat meriahnya
perayaan tradisi kupatan desa Paciran.
53
Salah satu informan mengatakan ”kalau tidak ada perayaan tradisi kupatan
seperti ini ya saya tidak jualan, biasanya saya jualan hanya di rumah saja itupun
hasilnya tidak seberapa tetapi ketika ada perayaan tradisi kupatan seperti ini saya bisa
mendapatkan hasil lebih banyak dari biasanya.”11
3. Tujuan Tradisi Kupatan
Ada beberapa tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan diantaranya adalah:
1. Sebagai Sarana Komunikasi Dan Silaturrahmi
Silaturahmi menjadi hal yang sangat diutamakan oleh masyarakat desa Paciran
melalui praktik kupatan. Melalui tradisi inilah silaturahmi antara warga, santri, dan
Kyai terjalin lebih kuat. Sebagaimana ditekankan dalam hadist nabi yang artinya
“Barangsiapa ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya
hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.(HR.Bukhori)”, dengan tujuan
mendapatkan banyak manfaat, sebagaimana diakui oleh Ismunawan bahwa “Acara ini
adalah adat yang baik, adat yang Islami, warga semangat menjalankan agar mendapat
barokah.”12 Dengan kata lain, melalui tradisi kupatan inilah diyakini akan tercipta
ukhuwah Islamiyah yang semakin kuat.
Kata silaturahmi terbentuk dari dua kosa kata; silahun dan ar-rahm. Shilah
artinya hubungan dan ar-rahm artinya kasih sayang, persaudaraan atau rahmat Allah
ta’ala. Ada yang suka menyebut silaturrohim atau silaturrahmi pada dasarnya
mengandung maksud yang sama. Silaturahmi adalah hubungan persaudaraan yang
11 Wawancara dengan fariha, pedagang desa Paciran, pada 12 Juni 2019. 12 Wawancara dengan Ismunawan, pejabat pemerintahan kabupaten Lamongan, pada 12 Juni
2019.
54
terikat atas dasar kebersamaan, persaudaraan, saling mengasihi, melindungi, sehingga
rahmat Allah menyertai ditengah ikatan persaudaraan itu.13
Ibn al Mandzur mengutip pendapat Ibn al Atsir mengatakan bahwa silaturrahmi
adalah istilah lain dari berbuat baik, menyayangi, mengasihi dan memperhatikan
keadaan kaum kerabat. Silaturahmi bukan sekedar kunjung mengunjung, akan tetapi
yang lebih penting adalah upaya seseorang yang bersilaturrahmi untuk menanamkan
dan menumbuhkan rasa persaudaraan yang mendalam sehingga dapat saling
mengetahui, memahami dan tolong menolong antar sesama tanpa membedakan
kedudukan, jabatan ataupun kekayaan.14 Dengan demikian, silaturahmi berarti
menghubungkan tali persaudaraan merupakan salah satu pesan moral yang dapat
menumbuhkan kepedulian dan kepekaan terhadap orang lain.
Selain itu bapak Munaji mengatakan bahwa “Orang yang saling bersilaturahmi
itu akan dipanjangkan umurnya oleh Gusti Allah”.15 Bahkan ajaran Islam sendiri
memberikan catatan akan pentingnya menjaga tali silaturahmi, dan memberikan
penegasan (ancaman) bagi siapa saja yang memutuskan tali silaturahmi kepada
sesamanya.16
Pendapat tersebut di kuatkan oleh bapak Ismunawan, ia mengatakan bahwa
“spirit yang dibawa oleh masyarakat desa Paciran adalah spirit silaturrahmi seperti
13 Fatihuddin, Dahsyatnya Silaturohmi, hal. 13. 14 Abu Bakar, “Shilaturrahmi Dalam Sunnah Nabawiyah”, Dialogia, 3 (Juli-Desember, 2005),
hal. 29. 15 Wawancara dengan Munaji, Tokoh Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019 16 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Jakarta: LPPI, 2007), hal. 189-190.
55
yang sudah dicontohkan oleh para sesepuh terdahulu tentang betapa pentingnya
silaturrahmi untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar masyarakat desa”.17
Dari observasi penulis melihat bahwa makna silaturrahmi yang terkandung
dalam perayaan tradisi kupatan desa Paciran kabupaten Lamongan benar-benar di
aplikasikan, dengan bukti banyaknya masyarakat desa Paciran yang berbondong-
bondong untuk ikut serta meramaikan perayaan kupatan tersebut. Bukan hanya dari
kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak dan remaja pun ikut serta dan berbaur menjadi
satu. Dengan adanya perayaan tradisi kupatan ini bisa menyatukan seluruh elemen
masyarakat desa Paciran sehingga silaturrahim dan komunikasi antar warga tetap
terjaga.
2. Sebagai Sarana Sedekah
Makna yang melekat dari tradisi kupatan adalah berbagi dengan sesama yang di
kuatkan dengan salah satu dari wejangan kanjeng Sunan Drajat yaitu “menehono
mangan marang wong kang luweh” yang artinya berilah makan kepada orang yang
lapar. Wejangan tersebut bisa dirujuk sebagai dasar bagi masyarakat desa Paciran
dalam mempraktikkan tradisi open house saat acara kupatan. Sehingga, meski tamu
yang berkunjung ke rumahnya sangat banyak, tidak lantas membuat mereka terbebani.
Justru, semakin banyak tamu yang berkunjung ke rumah mereka untuk menikmati
hidangan kupat, diyakini akan semakin banyak pula berkah yang mereka dapatkan.
Sebagaimana diakui oleh Mustaqimah, “Kita masyarakat Paciran ikhlas memberikan
17 Wawancara dengan Ismunawan, pemerintah Kabupaten Lamongan, 12 Juni 2019
56
hidangan kupat kepada para tamu. Kalau kita memberi ke orang lain insyaalloh rejeki
kita bisa makin banyak”.18
Sedekah berasal dari kata bahasa Arab yaitu صدقة yang berarti suatu pemberian
yang diberikan oleh seorang kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa
dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan
oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala
semata. Sedekah secara bahasa berasal dari huruf ق ,د ,ص serta dari unsur al-Sidq yang
berarti benar atau jujur, artinya sedekah adalah membenarkan sesuatu. Sedekah
menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah SWT.19
Dalam tradisi Kupatan di desa Paciran, wejangan tentang sedekah terwujud
dalam bentuk praktik open house. Masyarakat mempraktikkan wejangan tersebut
dalam bentuk hidangan ketupat yang mereka berikan kepada siapapun yang berkunjung
ke rumahnya. Meski ada juga dari warga desa Paciran tidak mengetahui bahwa yang
mereka praktikkan sejalan dengan wejangan kanjeng Sunan Drajat, tetapi mereka
meyakini bahwa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan yang sudah di syari’atkan
oleh agama.
Dari observasi yang dilakukan oleh penulis melihat bahwa semangat
masyarakat desa Paciran dalam rangka bersedekah dengan cara menyiapkan hidangan
berupa ketupat, lepet dan berbagai macam buah-buahan adalah bentuk rasa syukur
mereka karena sudah diberi kenikmatan berupa kesempatan untuk bisa menjalankan
18 Wawancara dengan Mustaqimah, masyarakat desa Paciran, 13 Juni 2019 19 Taufiq Ridha, Perbedaan Ziwaf (Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia, tt), Hal. 01
57
puasa selama enam hari pada bulan syawal dan ditutup dengan perayaan tradisi
kupatan.
3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu
Realitas bahwa masyarakat desa Paciran sangat antusias dalam menyambut dan
memuliakan para tamu yang datang ke rumahnya saat pelaksanaan tradisi kupatan,
didasari adanya keyakinan itu terkait dengan pemahaman mereka tentang konsep
sedekah.
Memuliakan tamu, mereka wujudkan dalam bentuk sambutan hangat, serta
senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikan.
Sikap ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka. Melayani tamu
dengan berbagai macam hidangan ketupat itulah yang mereka maknai sebagai sikap
memuliakan tamu. Bahkan mereka mempersilahkan siapapun yang lewat di depan
rumahnya untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan, sampai ada pula
sebagian dari mereka yang tidak segan untuk ‘merayu’ para tamunya supaya mau
menambah makanan yang sudah dihabiskan. Biasanya mereka mengatakan dengan
istilah “monggo, ditanduk kupatipun” (silahkan ditambah ketupatnya). Masyarakat
desa Paciran menganggap, siapapun yang melintasi rumah, bahkan jalan raya Paciran
sebagai tamu mereka, tanpa memandang asal, bahkan agamanya. Masyarakat non-
muslim pun turut berkunjung ke rumah-rumah warga.20 Di sinilah terlihat wujud
nyata dari praktik memuliakan tamu. Tanpa mengenal istilah tamu khusus, warga
mana, dan agamanya apa. Dengan kata lain, tradisi ini mendorong orang untuk lebih
20 Observasi penulis, pada 12 Juni 2019
58
mengedepankan prinsip kearifan lokal, tidak hanya menunjukkan wajah dan orientasi
agama, tetapi juga berwajah dan berorientasi sosial. Sebagaimana terjadi dalam
praktik tradisi lokal masyarakat di Jawa yang sudah mengalami akulturasi dengan
budaya Islam.21 Sekat agama dan status sosial melebur menjadi satu, ke dalam prinsip
menghormati dan memuliakan tamu.
Tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan
kemampuan, tanpa ada unsur paksaan. Masyarakat pun tidak pernah merasa terbebani
dengan adanya tradisi ini. Bahkan atas keinginan sendiri, mereka menabung jauh-
jauh hari sebelum diselenggarakannya acara tersebut, dengan tujuan agar saat tiba
hari raya kupatan mereka bisa memberikan jamuan terbaik kepada para tamunya.
Sebaliknya, orang yang bertamu pun harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang
baik, agar orang yang menerimanya pun senang untuk melayani. Meskipun tamu
tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh sang pemilik rumah sekalipun. Hal terpenting
bagi warga desa Paciran adalah memberikan sambutan yang hangat kepada siapapun.
Ada sebuah filosofi jawa yang berbunyi “Gupuh Aruh Rengkuh Rengkuh
Lungguh Suguh”22 adapun makna yang dari filosofi itu adalah yang pertama Gupuh
secara harfiah artinya tergesa gesa atau tergopoh gopoh. Makna yang luas dari gupuh
ini adalah perasaan gembira ketika menyambut kehadiran tamu. Arti lainnya adalah
ketika menerima kehadiran tamu tuan rumah hendaknya bersikap ramah, hangat dan
21 M Aly Haedar, “Pergeseran Pemaknaan Ritual ‘Merti Dusun’; Studi Atas Ritual Warga
Dusun Celengan, Tuntang, Semarang,” Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat XIII, no. 1 (2016),
hal. 1–23. 22 Diakses Pada 13 April 2016 http://pakuspedia.blogspot.com/2016/04/aruh-gupuh-rengkuh-
antusias saat menyambut kehadirannya. Seorang tuan rumah harus rela meninggalkan
kegiatannya dan harus bisa menekan amarah dalam hatinya. Misalnya berusaha
menyembunyikan raut wajah yang tadinya cemberut menjadi lebih berseri-seri atau
yang semula berpakaian seadanya menjadi lebih rapi.
Makna kedua adalah Aruh yang berarti menyapa. Maksud dari aruh ini adalah
membuka diri melalui percakapan agar seseorang yang diajak bicara tidak merasa
canggung dan bisa bertukar fikiran secara terbuka. Mari kita lestarikan khazanah
budaya agar tetap terjaga sepanjang masa. Makna selanjutnya adalah Rengkuh berarti
dengan lapang dada menerima kehadiran tamu, meskipun hal itu tidak kita harapkan.
Ibarat kata legowo (menerima dengan penuh kesadaran), hal ini wajib dilakukan oleh
tuan rumah kepada tamu yang datang.
Makna yang keempat adalah Lungguh berarti mempersilahkan seseorang untuk
segera masuk kelingkungan tempat kita untuk segera duduk. Dalam budaya kita,
tamu tidak akan duduk sebelum dipersilahkan untuk duduk, istilahnya belum
"dimanggakne". Biasanya sambil mempersilahkan duduk tuan rumah memberi
sambutan basa-basi sebagai bumbu penyedap agar suasana menjadi lebih gayeng atau
semarak misalnya : wah kok masih awet muda saja ataupun njanur gunung (tumben
jauh-jauh datang kesini) dan menanyakan kabar, hal semacam ini adalah sebuah
pembukaan sehingga seseorang yang datang bisa merasa nyaman sebelum masuk
kedalam suasana percakapan yang lebih serius.
Makna yang terakhir adalah Suguh berarti memberi suguhan atau memberikan
hidangan. Hidangan ini bisa sekadarnya ataupun hidangan besar. Dalam budaya
Suguh ini ada sedikit penekanan bagi tuan rumah untuk berkorban secara finansial
60
dengan sedikit “memaksakan diri” demi menghormati tamu. Bagi seseorang yang
sedang berkunjung pun juga harus bisa menyikapi suguh ini, jika belum dipersilahkan
mencicipi hidangan maka jangan pernah serta merta mengambil makanan yang
disuguhkan, tamu harus sabar menunggu hingga tuan rumah mempersilahkan untuk
mencicipi hidangan dan tamu pun harus rela untuk sedikit mencicipi hidangan
meskipun tidak merasa lapar semua demi sebuah penghormatan.
Hadis Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Malik, al Bukhori,
Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibn Majah yang artinya : “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya,
masa bertamu yang dibolehkan adalah satu hari dan satu malam, dan penjamuan
tamu itu tiga hari, maka selebihnya adalah sedekah, dan tidak halal bagi tamu untuk
menginap disisinya hingga menyebabkan tuan rumah berdosa (karena melakukan
ghibah dan lain-lain).”23 dari hadis tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa tradisi
memuliakan tamu yang dilakukan oleh masyarakat desa Paciran ketika perayaan
tradisi kupatan adalah baik dan sesuai dengan yang di ajarkan oleh Rosulullah.
4. Sebagai sarana merawat tradisi leluhur
Seperti yang sudah disampaikan dalam bab sebelumnya bahwa tradisi kupatan
adalah tradisi yang turun temurun dari dulu hingga sekarang, Tradisi kupatan ini
merupakan tradisi sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur. Ia adalah murid dari
Sunan Drajat, pada waktu itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuan kepada santri-
23 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Shohih At-Targhib Wa Tarhib.(Jakarta:Pustaka
Sahifa, 2008). hal.76
61
santrinya berupa kupat dan lepet ketika silaturahmi setelah lebaran. Darisitulah tercetus
tradisi kupatan yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Masyarakat Paciran memaknai kupatan sebagai bagian dari merawat tradisi
yang sudah di bawa oleh Sunan Drajat dan Sunan Sendang bukan hanya itu saja, tetapi
berkat kegigihan beliau berdua Islam tersebar di pesisir pantai utara. Ada banyak cara
yang dilakukan oleh masyarakat Paciran untuk merayakan kupatan diantaranya adalah
membuat ketupat dan berbondong” membawanya ketempat ibadah seperti mushola dan
masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian saling bertukar ketupat,
sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak membawa ketupat yang sama
ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin menarik dengan
adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon sebagai
Sunan Sendang dan Sunan Drajat dengan iringan musik tradisional. Di samping itu
terdapat pula kesenian-kesenian khas kabupaten Lamongan diantaranya musik
tongklek, jaran jenggo, dan tanjidor Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari Goa
Maharani hingga menuju Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari
Lamongan.24
Seiring berjalannya waktu pemerintah desa Paciran ikut andil dalam rangka
perayaan kupatan tersebut. Yang sebelumnya murni di pegang oleh masyarakat tanpa
ada andil dari pemerintah setempat. Sehingga semakin tahun semakin semarak
perayaan tradisi kupatan desa Paciran. Menjadi daya Tarik juga bagi masyarakat di luar
desa Paciran untuk ikut dalam kemeriahan perayaan tradisi kupatan tersebut.
24 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, Pada 22 April 2019
62
4. Pandangan Masyarakat Tentang Tradisi Kupatan
a. Tokoh Agama
Dalam wawancara yang penulis lakukan kepada KH Salim Azhar, penulis
menanyakan pertanyaan terkait pandangan terhadap perayaan tradisi kupatan desa
Paciran kabupaten Lamongan, beliau mengatakan:
“Tradisi kupatan di desa Paciran ini sudah sejak lama di lakukan oleh
masyarakat dan memiliki filosofi yang cukup tinggi yakni sebagai simbol
permohonan maaf antar umat beragama Islam setelah menjalani bermasyarakat
selama setahun, kemudian ditandai dengan saling bermaaf-maafaan seperti
melekat pada istilah kupat yakni ngaku lepat atau mengaku salah. Jadi tidak ada
salahnya untuk tetap dilestarikan sebagai bentUk merawat tradisi yang sudah
ada.”25
Dalam melaksanakan tradisi kupatan ini tidak ada suatu keharusan bagi
masyarakat untuk melakukan, tetapi dalam prakteknya kebanyakan masyarakat selalu
ikut serta dalam memeriahkan tradisi kupatan di desa Paciran. Karena sebagai bentuk
rasa syukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah serta sebagai
bentuk saling maaf memaafkan antar sesama masyarakat.
b. Pemerintahan
Wawancara yang penulis lakukan selanjutnya di tujukan kepada masyarakat
desa, salah satunya yaitu Bapak Ismunawan:
”Tradisi kupatan yang sudah ada ini harus tetap dilestarikan karena tradisi ini
adalah tradisi yang baik, tradisi yang Islami, warga semangat menjalankan agar
mendapat barokah. Kami juga selaku pemerintah setempat akan terus
mensupport pelaksanaan tradisi kupatan ini sehingga bisa menjadi daya tarik
25Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh agama desa Paciran, pada 12 Juni 2019
63
bagi masyarakat yang lainnya untuk ikut serta dalam melestarikan tradisi
leluhur kita.”26
Dalam perayaan tradisi kupatan di desa Paciran tiga tahun terakhir pemerintah
setempat juga ikut andil guna menambah meriahnya acara yang sebelumnya murni
dilakukan oleh masyarakat mulai dari persiapan, pengumpulan dana hingga
pelaksanaan semuanya di laksanakan langsung oleh masyarakat.
Pernyataan di atas diperkuat oleh bapak Khusnul Khuluq selaku kepala desa
Paciran, ia mengatakan:
“Tradisi kupatan ini menjadi fokus kerja pemerintah untuk mengembangkan
sisi pariwisata, sehingga dengan adanya tradisi perayaan kupatan ini bisa
menarik minat wisatawan untuk bisa melihat, meramaikan serta mencicipi
berbagai masakan khas perayaan kupatan.”27
c. Masyarakat
Wawancara yang penulis lakukan selanjutnya di tujukan kepada masyarakat
desa, salah satunya yaitu Bapak Munaji:
“selaku masyarakat desa Paciran sangat senang dengan adanya perayaan tradisi
kupatan, di samping saya bisa bersilaturrahmi dengan tetangga dekat dan
tetangga jauh yang bisajadi ketika hari biasa tidak pernah ketemu ketika
perayaan kupatan jadi kita bisa bertemu dan saling maaf memaafkan. Tradisi
kupatan ini tidak ada paksaan untuk mengikuti tetapi masyarakat memang ingin
menghargai dan merawat tradisi yang penuh akan makna yang terkandung
didalamnya.”28
Dari responden lain mengatakan bahwa :
26 Wawancara dengan Ismunawan, Pemerintah kabupaten Lamongan, pada 12 Juni 2019 27 Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019 28 Wawancara dengan Munaji, masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019
64
“Tradisi kupatan yang dilakukan setahun sekali ini sangat di nantikan karena
menyajikan banyaknya kesenian dan makanan-makanan khas yang bisa di
santap secara gratis, selain itu kupatan yang di tunggu-tunggu adalah royokan
gunungan ketupat (berebut gunungan ketupat) yang diyakini membawa
keberkahan bagi yang mendapatkannya.”29
Dari dua keterangan informan bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat
sendiri sangat menanti-nanti tradisi kupatan ini, di samping mencari keberkahan
dengan memperebutkan gunungan ketupat, juga bisa saling maaf memaafkan serta
bersilaturrahim antar sesama warga.
29 Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai makna dan tujuan tradisi kupatan bagi
masyarakat desa Paciran kabupaten lamongan, maka penulis menyimpulkan bahwa
penelitian ini dibagi menjadi beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut:
Penulis membagi beberapa aspek makna tradisi kupatan diantaranya adalah:
1. Aspek Spiritual
Aspek pertama adalah secara spiritual dengan bertambah semangat masyarakat
desa Paciran dalam menjalankan ibadah seperti sholat berjamaah di masjid dan
musholla kemudian puasa enam hari dibulan syawal, bukan hanya saja tetapi semangat
untuj silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan juga bertambah dengan dibuktikan
banyak nya masyarakat yang keluar rumah untuk mengunjungi sanak saudara dan
tetangga guna silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan.
2. Aspek Sosial
Aspek yang kedua adalah dari segi sosial kemasyarakatan makna yang sangat
terlihat adalah semangat masyarakat dalam rangka gotong royong untuk
mempersiapkan perayaan tradisi kupatan mulai dari persiapan materi hingga persiapan
pelaksanaa tradisi tersebut. Semua dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran dari
anak-anak, remaja, hingga dewasa semua ikut serta dalam mensukseskan acara
perayaan tradisi kupatan.
66
3. Aspek Ekonomi
Aspek yang terakhir adalah dari segi ekonomi sangat terlihat sekali perbedaan
antara ketika adanya perayaan tradisi kupatan dan tidak, yang paling diuntugkan adalah
para penjual bahan pokok untuk membuat ketupat dan lepet yakni daun janur dan
lontar. Para penjual tersebut meraup penghasilan yang lebih banyak dari hari-hari biasa.
Bukan hanya penjual daun lontar dan janur tetapi bagi para penjual jajanan juga
mengalami peningkatan penjualan ketika perayaan tradisi kupatan berlangsung dengan
bukti banyaknya para pedagang dadakan yang membuka lapak dagangannya di
seppanjang jalan rute perayaan tradisi kupatan dilaksanakan.
Sedangkan tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan adalah:
1. Sebagai Sarana Komunikasi dan silaturrahmi
Pada perayaan tradisi kupatan ini komunikasi dan silaturrahim masyarakat desa
Paciran Kabupaten Lamongan benar-benar terjalin, hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya masyarakat yang hadir meramaikan perayaan tradisi kupatan tersebut,
bukan hanya dari kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak dan remaja juga ikut serta
merayakan tradisi kupatan. Sebagaimana pengertian kupat dalam filosofi jawa yang
mempunyai arti ngaku lepat (mengakui kesalahan) bahwa pelaksanaan tradisi kupatan
juga sebagai sarana untuk saling maaf memaafkan.
2. Sebagai Sarana Sedekah
Tradisi kupatan juga mempunyai makna sebagai sarana untuk bersedekah, hal ini
ditunjukkan dengan semangat masyarakat desa Paciran dalam menyiapkan
hidangan berupa ketupat, lepet dan aneka buah-buahan sebagai wujud rasa syukur
67
mereka karena sudah diberikan kenikmatan berpuasa selama enam hari pada bulan
syawwal.
3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu
Selanjutnya dalam tradisi kupatan, masyarakat desa Paciran memberikan jamuan
yang sudah disediakan oleh tuan rumah kepada setiap tamu yang berkunjung.
Meskipun tamu tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh tuan, ia akan disambut
dengan dan diterima dengan baik.
4. Sebagai Sarana Merawat Tradisi Leluhur
Sebagaimana yang sudah dideskripsikan bahwa tradisi kupatan adalah tradisi yang
turun temurun dari dulu hingga sekarang, Tradisi kupatan ini merupakan tradisi
sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur. Ia adalah murid dari Sunan Drajat,
pada waktu itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuan kepada santri-santrinya
berupa kupat dan lepet ketika silaturahmi setelah lebaran. Darisitulah tercetus
tradisi kupatan yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Adapun tatacara dan praktik tradisi kupatan desa Paciran dimulai sejak malam hari,
dengan melaksanakan doa bersama di tempat-tempat ibadah sambil membawa ketupat
yang sudah disiapkan dari rumah masing-masing. Pada pagi harinya pelaksanaan
tradisi kupatan dilanjutkan dengan arak-arakan yang menjadi rangkaian acara paling
ramai dan meriah dalam setiap perayaan tradisi kupatan. Arak-arakan dimulai dari
terminal ASDP berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di Pesisir Pantai Tanjung
Kodok. Ada beberapa perlombaan dan pertunjukan diantaranya adalah lomba cipta
ketupat dan lomba perahu hias. Sedangkan untuk pertunjukannya adalah fragmen
kolosal yang berjudul “Madeke Masjid Sendang Duwur” yang artinya berdirinya
68
masjid sendang duwur. Perayaan tradisi kupatan ditutup dengan doa dan dilanjutkan
memperebutkan gunungan ketupat.
b. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini penulis berharap besar kepada pemerintah
kabupaten Lamongan agar tradisi ini bisa di perkenalkan ke masyarakat luas, supaya
tidak hanya masyarakat desa Paciran yang melaksanakan tradisi serupa. Karena tradisi
ini merupakan warisan luhur dan memiliki nilai budaya yang harus dilestarikan,
dirawat serta diperkenalkan kepada generasi muda. Bagi pengembangan ilmiah,
sebaiknya penelitian ini digunakan untuk menambah khazanah keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, “Shilaturrahmi Dalam Sunnah Nabawiyah”, Dialogia, 3, 2005
Ajiboye, Emmanuel Olanrewaju, Social Phenomenologi of Alfred Schutz and the
Development of African Sociology, British Journal of Arts and Social Sciences,
2012
Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa
(Terj), ed. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto Jakarta, 2013
Dawam Rahardjo, Pesantren Dan Pembaharuan, Jakarta : LP3ES, 1985
Dokumen Profil Desa Paciran
Engkus Kuswarno, Fenomenologi; fenomena pengemis kota bandung. Bandung:
Widya Padjadjaran, 2009
Fatihuddin, Dahsyatnya Silaturohmi, Delta Prima Press 2010
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj Alimandan,
Jakarta: Kencana, 2007
Husni Thamrin, Orang Melayu : Agama, Kekerabatan, Prilaku Ekonomi Lpm : Uin
Suska Riau, 2009
Hendro Ari Wibowo, Wasino & Dewi Lisnoor Setyowati, Kearifan Lokal Dalam
Menjaga Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo
Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Journal of Educational Social Studiesh
JESS 1 (1) – 2012
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, cet 8 Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1994
Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi
budaya Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian
Agama RI, 2018
Kamus besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/janur
Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi Yogyakarta: Kanisius, 1994
Nurcholish Madjid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan Jakarta: PB. HMI, 2016