MAKNA SIMBOLIK PATUNG MI LEK HUT DAN PATUNG TA OL LAO SHI DI VIHARA DHARMA JAYA (SIN TEK BIO) PASAR BARU JAKARTA PUSAT Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Salwa Anwar NIM: 11140321000021 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019
97
Embed
MAKNA SIMBOLIK PATUNG MI LEK HUT DAN PATUNG TA OL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47483/1/SALWA … · iv ABSTRAK SALWA ANWAR. “Makna Simbolik Patung Mi Lek
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKNA SIMBOLIK PATUNG MI LEK HUT DAN PATUNG TA OL LAO
SHI DI VIHARA DHARMA JAYA (SIN TEK BIO) PASAR BARU
JAKARTA PUSAT
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Salwa Anwar
NIM: 11140321000021
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
SALWA ANWAR. “Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao
Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.” Skripsi.
Jakarta: Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolik patung Mi
Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar
Baru Jakarta Pusat, serta melihat ritual pemujaan terhadap patung Mi Lek Hut dan
patung Ta Ol Lao Shi. Dalam hal ini penulis berusaha memahami makna simbolik
dan ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan patung Ta Ol Lao Shi di Vihara
Dharma Jaya.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research) yang
bersifat kualitatif. Sumber data dan informasi yang penulis dapatkan dari proses
wawancara langsung maupun dari buku-buku, jurnal, dan artikel yang sesuai
dengan tema dan judul yang dibahas. Penelitian ini menggunakan satu pendekatan
yaitu pendekatan antropologis. Penulis berusaha untuk menjelaskan hasil
penelitian berdasarkan pengamatan yang telah penulis lakukan selama beberapa
hari di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.
Hasil dari penelitian ini adalah prosesi ritual pemujaan patung Mi Lek Hut
dan Ta Ol Lao Shi sama dengan patung-patung lain yaitu berdoa dan kebaktian,
dengan melakukan pembakaran dupa atau hio lalu dan jamaah mempersembahkan
sesajian atau sesajen. Sesajen atau perlengkapan yang dibawa berupa lilin, buah-
buahan yang segar, air, bunga jajanan kue, manisan, nasi kuning, bubur merah,
bubur putih dan wajik. Adapun makna simbolik dari patung Mi Lek Hut
diantaranya adalah senyum yang lebar atau tertawa, melambangkan cinta kasih,
kebahagiaan dan kegemaran membawa kebahagiaan pada makhluk hidup lainnya,
telinga yang panjang melambangkan dengan kelembutan dan kebaikannya, beliau
dengan setia akan mendengarkan dan mengerti semua makhluk hidup, dada lebar
melambangkan pikiran yang luas, ketulusan dan cinta kasih pada semua makhluk
hidup, perut besar melambangkan rasa toleransi yang besar, hati yang terbuka dan
akan menanggung semua beban dunia tanpa membeda-bedakan. Makna filosofis
dari patung Mi Lek Hut untuk memperoleh kebahagiaan, rezeki serta keturunan.
Maka dari itu Mi Lek Hut sering digambarkan sebagai seorang bikkhu gendut
yang sedang tertawa dan dikelilingi lima orang anak kecil. Sedangkan makna
simbolik patung Ta Ol Lao Shi atau Mbah Jugo adalah sebagai penghormatan atas
keampuhan ilmu yang dimilikinya dan menolong terhadap sesama.
Kata Kunci : Simbolik, Patung, Ritual Pemujaan dan Vihara
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Skripsi yang berjudul Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta
Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat disusun
guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu, Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari
sempurna ini tidak akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dan banyak pihak
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada:
1. Kedua Orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, nasihat,
motivasi, saran, dukungan dan dorongan moril maupun materil. Semoga
adinda dapat membalas semua perjuangan Ayahanda H. Abdul Rachman
Anwar dan Ibunda Hj. Lily Nurlailiyah. Beserta kakak-kakak tersayang
Rif’at, Lya Shofwatul Mawaddah dan Hariry Anwar yang telah memberikan
motivasi, dukungan, doa dan keceriaan.
2. Bapak Drs. Dadi Darmadi, MA, sebagai dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan pencerahan dan arahan dalam membimbing pembuatan
proposal skripsi sampai selesai.
3. Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si, sebagai dosen pembimbing yang
selalu meluangkan waktu serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan
sehingga membuka cakrawala berpikir dan nuansa ilmu yang baru.
4. Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Kepala Jurusan Studi Agama-Agama dan
Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Sekertaris Jurusan Studi Agama-
vi
Agama yang memberikan arahan serta motivasi yang luar biasa kepada
penulis dan selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswa/i dengan baik.
5. Seluruh dosen Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
tidak dapat disebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu
dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.
6. Seluruh jajaran pimpinan dan staff Fakultas Ushuluddin atas bantuan dalam
persiapan pelaksanaan seminar proposal dan ujian komprehensif.
7. Bapak Santoso Witoyo selaku pimpinan Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)
Pasar Baru Jakarta Pusat dan Bapak Andy selaku jamaah Vihara Dharma Jaya
yang telah berkenan memberikan izin penelitian sekaligus menjadi
narasumber untuk melengkapi isi skripsi.
8. Handy Rizki Prima teman berjuang bersama dalam mengerjakan skripsi dari
awal hingga selesai.
9. Sahabat-sahabat terbaik penulis yang selalu memberikan semangat untuk ke
perpustakaan dan menulis skripsi hingga selesai Siti Pheunna Tiara Hati,
Muhammad Wahyu, Ridwan Efendi, Wahyu Vebry Putra, Zikri Sulthoni,
Muhammad Samtoni, Binna Ridhatul Shaumi, Qonita, Nur Afifah, dan Teti
Eliza. Kebaikan dan kekonyolan kalian akan selalu penulis ingat sampai tua
nanti.
10. Bidadari Macho; Nadya Qudsiyyah, Muthia Imantari, dan Sarah Maulidasari
terimakasih sudah bersedia mendengarkan keluh kesah dan selalu
memberikan semangat kepada penulis hingga skripsi selesai.
11. Ulfa Aulia Faradiba sebagai teman satu kost yang selalu menemani dari awal
kuliah hingga lulus, terimakasih banyak atas doa, dukungan, motivasi,
kebersamaan serta dorongan yang telah diberikan.
12. Squad anak bontot Bahauddin Hasan Al-Bisri, Ikhsan Nur Amal, Maulana
terimakasih banyak atas keceriaan yang selalu diberikan selama berada di
ciputat.
13. Seluruh teman-teman Studi Agama-Agama angkatan 2014 terimakasih sudah
memberikan warna kehidupan di Fakultas Ushuluddin.
vii
14. Kepada teman-teman KKN KLOROFIL 136 yang telah memberikan doa dan
semangat. Semoga kalian diberikan kelancaran dalam menyelesaikan urusan
dan selalu diberikan kesehatan.
15. Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan tanpa mengurangi
rasa hormat. Terimakasih banyak.
Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan dan
keterbatasan, penulis menyadari bahwa penelitian ini mungkin masih banak
kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak
dan dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh semua pihak. Semoga Allah SWT
memberikan keberkahan kepada kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 15 Juli 2019
Salwa Anwar
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah.................................................................................................. 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ......................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 12
BAB II SIMBOLISME ................................................................................................. 14
A. Pengertian Simbol ............................................................................................... 14
B. Fungsi Simbol ..................................................................................................... 19
C. Perbedaan Simbol dengan Tanda ........................................................................ 21
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG VIHARA DHARMA JAYA
(SIN TEK BIO) PASAR BARU JAKARTA PUSAT ................................................ 23
A. Perkembangan Agama Buddha di Jakarta........................................................... 23
B. Profil Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat .................. 25
ix
BAB IV ANALISIS MAKNA SIMBOLIK PATUNG MI LEK HUT DAN
PATUNG TA OL LAO SHI DI VIHARA DHARMA JAYA (SIN TEK BIO)
PASAR BARU JAKARTA PUSAT ............................................................................. 33
A. Makna Patung dalam Agama Buddha ................................................................. 33
B. Prosesi Ritual Pemujaan Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi .......... 38
C. Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi ...................... 46
1. Mi Lek Hut .......................................................................................................... 46
2. Ta Ol Lao Shi ...................................................................................................... 49
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 55
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 55
B. Saran ................................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 58
Lampiran I : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Pak Susanto Witoyo
Lampiran II : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Pak Andy
Lampiran III : Dokumentasi
Lampiran IV: Permohonan Bimbingan Skripsi
Lampiran V: Surat Izin Penelitian Skripsi
Lampiran VI: Hasil Ujian Proposal Skripsi
Lampiran VII: Hasil Ujian Komprehensif
Lampiran VIII: Sertifikat OPAK
Lampiran IX: Sertifikat KKN
Lampiran X: Hasil Ujian Toefl dan Toafl
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Buddha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama
ini memperoleh namanya dari panggilan yang diberikan kepada pendirinya
yaitu Siddharta Gautama, dan mendapat sebutan Buddha setelah menjalani
sikap hidup penuh kesucian, bertapa, berkhalawat, menggembara untuk
mencari kebenaran selama hampir tujuh yahun lamanya, dan dibawah
pohon besar di kota Goya ia memperoleh hikmat dan cahaya hingga sampai
kini pohon tersebut disebut Pohon hikmat.1
Kota Jakarta telah berdiri sejak awal abad XVII yaitu tahun 1527.
Dimulai dengan nama “Gemeente dan Stadgemeente Batavia” atau
singkatnya Batavia.2
Pada tahun 1929 di Batavia (Jakarta) berdiri sebuah organisasi yang
bernama The Association for the Propagation of Buddhism in Java
kemudian organisasi ini berganti nama menjadi Java Buddhist Association
yang diketuai oleh Ernest Erle Power serta sekertarisnya Josias van Dienst.
Di bawah aktivitas anggota Java Buddhist Association ini kemudian
diterbitkan sebuah majalah berbahasa Belanda bernama Nama Buddhaya
pada tahun 1934.3
1 Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1983), h.72. 2 https://www.adangdaradjatun.com diakeses pada tanggal 9 Mei 2018 pukul 12:28 WIB. 3 Abdul Syukur, Kebangkitan Agama Buddha (Bandung: Gunung Djati Press, 2009) h. 47
2
Asal mula peranan kehidupan agama Buddha di Indonesia, dimulai
pada zaman Crivijaya (Sriwijaya) di pulau Suvarnadvipa (Sumatera) sekitar
abad ke-7 sampai tahun 1377 dibawah pemerintahan Wangsa Syailendra.
Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha yang sangat terkenal pada waktu
itu. Di Sriwijaya ada seorang guru besar agama Buddha yang sangat
terkenal bernama Dharmakirti, seeorang pangeran dari India yang datang ke
Sriwijaya dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh dan lama penuh
dengan bahaya. Pangeran tersebut bernama Atisa Dipamkara yang telah
berguru kepada Dharmakirti selama sebelas tahun.4
Catatan-catatan berharga berupa prasasti-prasasti yang apabila
dikumpulkan menunjukkan adanya kerajaan Buddha di Palembang.
Diantara prasasti-prasasti itu adalah prasasti yang tertua ialah Prasasti
Kedukan Bukit (dekat Palembang) yang dipastikan tahun Caka (= 13 April
683) menceritakan perjalanan suci Dapunta Hyang berangkat dari
Minangtamwan.5
Kemudian perjalanan seorang peziarah Buddha dari negeri
Tiongkok yang terkenal dalam perjalanannya ke India yang bernama I-
Tsing (634-713) mengatakan bahwa ia dari negeri Tiongkok ke Sriwijaya
dengan kapal saudagar Persia. Sebelum ia pergi ke India, di Sriwijaya I-
Tsing belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Hal ini membuktikan
bahwa Sriwijaya adalah pusat untuk mempelajari agama Buddha Mahayana
pada waktu itu. Ia juga mengatakan bahwa Sriwijaya memiliki 1000 bhiksu,
4 Oka Diputhera, Agama Buddha Bangkit (Denpasar: Arya Suryacandra Berseri, 2006),
h.1. 5 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana (Palembang, Majelis Agama Buddha Indonesia,
1995), h. 533.
3
aturan dan tata upacara mereka sama dengan di India, demikian juga agama
Buddha Mahayana yang ada di negeri Tiongkok.6
Selanjutnya, puncak kejayaan masa agama Buddha di Indonesia
adalah pada masa kerjaan Majapahit. Raden Wijaya mendirikan keratonnya
di Majapahit, tempat markas besarnya di lembah kali Brantas, menjadi
pendiri dinasti besar terakhir dalam sejarah Jawa. Prasasti Negarakertagama
menyatakan bahwa semua orang Jawa bergembira dengan naik tahtanya
Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana dan perkawinannya
dengan keempat putri Kertanegara.7
Pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itu dapat dijadikan
tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia, karena memenuhi persyaratan
sebagai bangsa yang mempunyai negara karena berdaulat, bersatu dan
mempunyai wilayah Nusantara.8
Perkembangan agama Buddha dilandasi oleh ketaatan pemeluknya,
yang menghasilkan karya seni yang tinggi dalam budaya materi. Bangunan-
bangunan stupa dan arca-arca pemujaan merupakan hasil budaya materi
yang tercipta dari dedikasi seniman pada agama. Hasil-hasil budaya materi
ini tak lekang di makan zaman. Dan masih dapat disaksikan di Jawa dan
Sumatera serta beberapa tempat di dataran Asia Tenggara.9
Salah satu jenis ungkapan rasa seni manusia yang paling awal adalah
simbol. Bentuk ini telah dikenal oleh umat manusia beribu-ribu tahun
6 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, h. 535. 7 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, h. 540. 8 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, h.542. 9 Bambang Budi Utomo, Buddha di Nusantara (Jakarta: Buddhist Education Centre,
2008) h.xiv.
4
sebelum tulisan ditemukan, sehingga tidaklah mengherankan pemakaian
simbol pun telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban
manusia. Pada umumnya, simbol adalah sarana yang mengandung suatu
pernyataan khusus dimana makna tersebut berhubungan dengan
karakteristik visual dari tanda yang digunakan.10
Dalam sejarah pemikiran ada dua arti simbol yang sangat berbeda
satu sama lainnya, yaitu dalam pengertian agama dan dalam sistem logika
atau ilmu pengetahuan, berikut pemaparannya:
1. Dalam agama simbol dipandang sebagai ungkapan indrawi atas
realitas transenden.
2. Dalam sistem logika atau ilmu pengetahuan, simbol atau
lambang memiliki arti sebagai tanda yang abstrak.11
Simbol merupakan contoh terbaik tentang bentuk ekspresi
pengalaman keagamaan yang bercorak endeiktik. Endeiktik adalah bentuk
pengeskpresian pengalaman keagamaan dengan mengunakan isyarat atau
bentuk-bentuk terselubung lainnya.12
Simbol-simbol keagamaan memperlihatkan ciri umum dari segala
macam simbol dan merupakan gambaran penting yang berfungsi membantu
pikiran dan jiwa orang yang sedang melakukan pemujaan untuk memahami
realitas spiritual.13 Pemujaan yang merupakan perwujudan cinta manusia
10 Buletin Kamadhis UGM, Eka-Citta Bersatu dalam Dhamma: Simbol dalam Buddhisme
(Yogyakarta: Kamadhis UGM, 2008), h.2. 11 Gerald O’collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi. Terjemahan I. Suharyo
(Yogyakarta: Kanisius, 1996) h. 108. 12 Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 1998) h. 47. 13 Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian, h. 58-59.
5
kepada Tuhan ini adalah inti, nilai dan makna kehidupan yang sebenarnya.
Adapun cara pemujaanya tergantung pada agama, kepercayaan, kondisi dan
situasinya.14 Keanekaragaman mitos dapat kita kumpulkan dan kita
garisbawahi arti penting penggunaan dan fungsinya dalam hidup
keagamaan manusia.
Di dalam Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) terdapat ratusan patung
yang memiliki makna, yang terdapat di dalam diantaranya patung Mi Lek
Hut (Maitreya) dan patung Ta Ol Lao Shi. Patung Mi Lek Hut dipuja untuk
memperoleh kekayaan dan kebahagian. Ada juga yang mempercayainya
bisa memberikan keturunan kepada orang yang medambakannya. Sebab itu
seringkali dipatung beliau dikelilingi oleh lima orang anak kecil. Tapi
bentuk yang paling umum adalah dalam posisi wajahnya tertawa, perutnya
buncit terbuka dan kantong besar tergeletak disampingnya. Karena
penampilannya selalu tertawa, dijuluki Buddha Tertawa.15 Sedangkan
patung Ta Ol Lao Shi (Kyai Zakaria II atau akrab dengan sebutan Eyang
Djugo), sebuah patung kayu mengenakan sorban dengan sikap berdoa
memangku kitab suci. Eyang Djugo mendapat gelar Taw Low She/ Ta Ol
Lao Shi, artinya guru besar pertama. 16
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik
untuk meneliti tentang makna simbolik yang terdapat di dalam rumah
ibadah agama Buddha yaitu Vihara yang terletak di Pasar Baru Jakarta
14 Sujarwo, Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 37-38. 15http://lociabio.com/mi-lek-hud/ diakses pada tanggal 8 Juli 2018 pukul 20:07 WIB. 16 Olyvia Bendon, Klenteng Sin Tek Bio Pasar Baru Jakarta diakses dari
https://www.aroengbinang.com/2018/06/klenteng-sin-tek-bio-pasar-baru-jakarta.html pada tanggal
8 Juli 2018 pukul 20:24 WIB.
6
Pusat. Vihara tersebut diberi nama Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio).
Diyakini vihara ini dibangun pada tahun 1698 yang berdasarkan buku daftar
penyumbang pembangunan vihara ini yang tertulis dalam bahasa
Tionghoa.17
Dari penjeleasan latar belakang diatas skripsi ini diberi judul :
“Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi di
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat”.
17 Pradaningrum, vihara Sin Tek Bio dari Perkebunan Chastelein diakses dari
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membatasi masalah dan
mengambil pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol
Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)?
2. Apa makna simbolik yang terkandung dalam setiap unsur dari patung Mi
Lek Hut dan patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui proses ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan
patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio).
b. Untuk mengetahui makna simbolik yang terkandung dalam setiap
unsur dari patung Mi Lek Hut dan patung Ta Ol Lao Shi di Vihara
Dharma Jaya (Sin Tek Bio).
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian dibagi menjadi tiga, yaitu kegunaan teoritis, praktis
dan akademis.
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
sumbangan data ilmiah dan mampu memperkaya khasanah
keilmuan dalam memahami dan menginterpretasikan hasil karya
penulis mengenai makna simbolik patung Mi Lek Hut dan Ta Ol Lao
Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.
8
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi para
mahasiswa/i, khususnya jurusan studi agama-agama agar lebih
subjektif lagi dalam menginterpretasikan setiap hasil karya orang
lain, dan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan para peneliti lain
dengan tema atau judul yang serupa.
c. Kegunaan Akademis
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan guna untuk mendapatkan gelar
Sarjana Agama (S.Ag) jurusan Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Tujuan adanya tinjauan pustaka adalah untuk membuktikan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya memiliki objek dan
kajian yang relevan dengan penelitian ini. Dibawah ini merupakan beberapa
penulis yang pernah menulis atau sekilas mirip dengan penulis gunakan.
Pertama, skripsi Miskaningsih mahasiswa Universitas Negeri
Yogyakarta yang berjudul “ Makna Simbolis Ornamen Pada Bangunan
Utama Vihara Avalokitesvara Di Kawasan Banten Lama” di dalam skripsi
ini mendeskripsikan dan menjelaskan jenis-jenis ornamen yaitu ornamen
Naga yang melambangkan kekuatan dan kebaikan, keberanian dan
pendirian teguh, keberanian dan daya tahan, ornamen Naga ini diletakkan
pada tiang dan langit-langit Patung Dewi Kwan Im. Ornamen Qilin yang
melambangkan panjang umur ,kemegahan, kebahagiaan dan kebijaksanaan,
9
ornamen Qilin ini diletakkan pada kontruksi kayu atap bagian depan.
Ornamen burung Phoenix melambangkan keabadian, keselarasan, dan
keberuntungan, ornamen burung Phoenix ini selalu dipasangkan dengan
ornamen Naga. Sedangkan ornamen Bunga Teratai melambangkan
kesucian, ornamen Bunga Teratai ini diletakkan pada balok penyangga.18
Kedua, skripsi Kadek Arya mahasiswa Universitas Negeri
Yogyakarta yang berjudul “Kajian Makna Simbolik Bunga Mandarava di
Kuil Hosei-Ji Jakarta Selatan”. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan Bunga Mandarava serta mendeskripsikan Makna
Simbolik Bunga Mandarava di Kuil Hosei-Ji Jakarta Selatan.19
Ketiga, skripsi Choirulnisah Trisnayanti mahasiswa Institut Seni
Indonesia Surakarta yang berjudul “Studi Bentuk dan Bentuk Makna Relief
Candi Sojiwan”. Skripsi ini membahas tentang bentuk relief dan makna
relief Candi Sojiwan. Yang di fokuskan pokok permasalahannya adalah
bentuk relief dan makna relief Candi Sojiwan.20
Dari ketiga judul diatas, dapat diketahui bahwa judul yang penulis
angkat yaitu Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi
di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, dapat
dipastikan belum ada penelitian ilmiah yang membahas dengan detail.
18 https://eprints.uny.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 14:57 WIB. 19 https://eprints.uny.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 14:57 WIB. 20 https://repository.isi-ska.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 15:00 WIB.
10
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Reserach)
yang bersifat penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis
penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat
dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan
cara-cara lain dari kuantifikasi.21
2. Sumber Data
Terdapat dua model data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
sumber data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang
secara langsung berkaitan dengan objek material penelitian. Sedangkan
data sekunder penulis dapatkan dari buku-buku refrensi pelengkap
berupa buku-buku, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan bahan yang
sedang penulis teliti.22
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang sumber datanya
adalah bahan-bahan pustaka dan literatur-literatur lainnya dengan
tujuan sebagai dasar untuk mendapatkan data-data baik itu data
primer maupun data sekunder.23
21 Syamsir Salam, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h. 30. 22 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2008) h.32 23 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
h. 18.
11
b. Observasi
Metode ini menggunakan pengamatan atau penginderaan
langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi, proses atau
perilaku.24 Metode ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke
lapangan untuk mengetahui makna simbol patung Mi Lek Hut dan
patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar
Baru Jakarta Pusat.
c. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara mendalam adalah metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan berpedoman pada panduan atau petunjuk
wawancara yang berisi pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses
wawancara dengan maksud agar pokok-pokok yang direncanakan
tersebut mencakup seluruhnya dengan melakukan dialog antar
pewawancara dan informan terkait dengan tema penelitian.25 Dalam
penelitian ini yang menjadi responden adalah ketua yayasan Vihara
Dharma Jaya (Sin Tek Bio) atau orang lain yang dianggap relevan
dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini peneliti juga akan
menggunakan alat bantu lain seperti alat perekam suara, selanjutnya
hasil wawancara dituangkan dalam catatan data lapangan.26
Responden dalam penelitian ini ialah seorang pimpinan yang
27 Supardi, Metodologi Penelitian Bisnis (Yogyakarta: UII Press, 2005) h.138. 28 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 47.
13
Bab II Membahas tentang simbolisme, yang meliputi sub bab :
Pengertian simbol, fungsi simbol dan perbedaan simbol
dengan tanda.
Bab III Membahas gambaran umum tentang Vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, yang meliputi sub
bab: perkembangan agama buddha di Jakarta, dan profil
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.
Bab IV Membahas tentang Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan
Patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)
Pasar Baru Jakarta Pusat, yang meliputi sub bab yaitu:
makna patung dalam agama Buddha, makna simbolik Patung
Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi dan ritual pemujaan
Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi.
Bab V Penutup, yang menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran
14
BAB II
SIMBOLISME
A. Pengertian Simbol
Simbol memiliki arti penting dalam kebudayaan karena simbol
merupakan representasi dari dunia, hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-
hari dimana orang-orang sangat memerlukan dan membutuhkan simbol
untuk mengungkapkan tentang suatu hal.1 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata simbol memiliki arti yang sama dengan lambang,
yaitu sesuatu yang seperti tanda (lencana, lukisan, dsb) yang menyatakan
sesuatu atau mengandung maksud tertentu.2 Pada awalnya kata “simbol”
berasal dari bahasa Yunani yaitu “symbolos” yang memiliki arti tanda atau
ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.3
Simbol merupakan sesuatu yang dengan persetujuan bersama
dianggap sebagai gambaran atas realitas dan pemikiran. Simbol tidak
menunjuk langsung pada yang ditandakan. Simbol itu banyak memiliki arti,
merangsang perasaan dan berpartisipasi dalam dirinya. Sedangkan tanda
diubah menurut tuntutan kecocokan. Bagi manusia, membuat simbol adalah
aktivitas primer. Menciptakan simbol merupakan proses berpikir yang
fundamental dan berlangsung sepanjang waktu. Sepanjang hidupnya
1 Agustiano, A., “ Makna Simbol dalam Kebudayaan Manusia”, Jurnal Ilmu Budaya,
vol.8, no.1, tahun 2011, h.2. 2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-4
(Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.557. 3Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, 1983),
h.10.
15
manusia bergulat dengan simbol dan tanda. Simbol juga merupakan bagian
integral dari hidup dan kehidupan di planet bumi ini.4
Simbol juga merupakan “gambaran yang sakral” sekaligus juga
sebagai mediator manusia untuk berhubungan dengan yang sakral. Sebab,
manusia tidak bisa mendekati Yang Sakral secara langsung, karena yang
sakral itu adalah trasenden sedangkan manusia adalah makhluk temporal
yang terikat di dalam dunianya. Maka manusia bisa mengenal Yang Sakral,
agar bisa dikenal, yaitu melalui simbol. 5
Simbol biasanya sudah disepakati bersama dalam sebuah kelompok,
tetapi mungkin saja tidak dimengerti di luar lingkup kelompok tersebut.
Oleh karena itu, pemakaian simbol sering kali arbitrer6, misalnya seperti
hampir semua mahasiswa dapat mengerti frase “matakuliah ini tanpa
prasyarat”, sementara orang-orang di luar perkuliahan mungkin saja tidak
memahaminya.7
Hal senada itu diungkapkan oleh Sumbo Tinarbuko di dalam
jurnalnya, bahwa simbol merupakan tanda berdasarkan konversi, peraturan,
atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika
seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Seperti
contohnya, Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang
memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki
4B. Rahmanto, Simbolisme Dalam Seni, Basis. Edisi Maret XLI No.03 (Yogyakarta: Andi
Offset, 1992), h. 106. 5Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 63. 6Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Android, arbitrer mengandung arti
sewenang-wenang, sembarang, manasuka. Lihat KBBI Android 2.5.0 atau dapat diakses dari
https://yufid.com. 7Richard West dan Lynn H. Turner, Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Penerjemah
Maria Natalia Damayanti Maer (Jakarta: Salmbe Humanika, 2012),h. 7.
16
latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya Garuda Pancasila
hanya dipandang sebagai burung elang biasa.8
Menurut Charles Sunders Peirce dalam “Teori Semiotika
Arsitektural” yang sebagaimana dikutip oleh Wawan Junaidi dalam
artikelnya: “Simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai
hubungan yang sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian
(arbitrary relation) antara penanda dan petanda. Sedangkan dalam Sign,
Symbol an Architecture, Charles Peirce menjelaskan bahwa Symbol adalah
suatu tanda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari
dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus.”9
Isyarat adalah suatu keadaan yang diberitahukan oleh si subjek
kepada si objek, artinya subjek berbuat sesuatu untuk memberitahukan
kepada si objek yang diberi isyarat agar si objek mengetahuinya pada saat
itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan pemakaiannya, isyarat hanya
berlaku pada waktu itu juga saat dikeluarkan atau dilakukan oleh si subjek.
Isyarat yang dapat ditangguhkan atau di simpan pemakaiannya akan
berubah bentuknya menjadi tanda. Tanda adalah sesuatu hal yang
menerangkan atau memberitahukan sesuatu kepada si objek, sedangkan
simbol atau lambang adalah sesuatu hal yang memimpin pemahaman si
subjek kepada si objek. 10
8Sumbo Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda Pada Karya Desain Komunikasi Visual”,
Nirmana Vol.5. No. 1 (Januari 2003), h. 34-35. 9Wawan Junaidi, Definisi Tanda, Lambang dan Simbol,di akses pada tanggal 30
November 2018 pukul 20:00 dari http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/definisi-tanda-
lambang-dan-simbol.html. 10Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, h. 11.
17
Dari pengertian-pengertian simbol diatas maka Penulis memiliki
kesimpulan bahwa simbol atau lambang adalah suatu tanda atau ciri yang
memiliki maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada seseorang.
Kemudian, simbol akan dapat dipahami jika sekelompok orang telah
menyepakati arti atau makna dari simbol tersebut, yang berarti simbol
menjadi jembatan pemahaman terhadap perilaku realitas yang tersembunyi.
Ernest Cassirer11 cenderung untuk menandai manusia sebagai
Animal Symbolicum atau hewan yang bersimbol. Ia menegaskan bahwa
manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara
langsung tetapi melalui berbagai simbol.12
Untuk memahami arti dari simbol agama, agaknya sangat relevan
untuk merenungkan kembali pemikiran Mircea Eliade13 yang menyatakan
bahwa manusia pada dasarnya adalah Homo Symbolicus, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ernest Cassirer bahwa manusia pada dasarnya adalah Animal
Symbolicum. Oleh sebab itu, semua aktivitas manusia mengandung nilai
simbolis. Tidak ada dugaan yang lebih tepat daripada pernyataan bahwa
setiap perilaku keagamaan dan setiap objek pemujaan memiliki tujuan meta
empiris. Umpamanya adalah sebuah pohon atau batu yang menjadi objek
pemujaan, dia bukanlah disembah sebagai pohon atau batu semata,
melainkan sebagai sesuatu yang suci. Demikian pula setiap perilaku
11Ernest Cassirer dilahirkan di Breslau, Jerman pada tanggal 28 Juli 1874. Ia adalah salah
satu figur pengembangan idealisme filosofis di pertengahan abad ke-20, seorang filsuf Yahudi
Jerman. Ia menggunakan tradisi neo-Kantianisme Marburg, mengembangkan suatu filosofi budaya
sebagai teori simbol yang ditemukan di fenomenologi pengetahuan. Ia wafat pada tanggal 13 April
1945. 12Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, h. 10. 13Mircea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang
pegawai kemiliteran Rumania. Dimasa kecilnya Eliade suka menyendiri, menyenangi sains,
sejarah dan piawai dalam kepenulisan.
18
manusia yang didasarkan atas semangat keagamaan, adalah merupakan
simbol selama perilaku tersebut menunjuk kepada nilai-nilai supranatural.14
Menurut Mircea Eliade, berpendapat bahwa simbol-simbol
didasarkan pada prinsip-prinsip kemiripan atau analogi. Kualitas, bentuk
dan karakter-karakter sesuatu yang menyebabkan kita berkesimpulan
bahwa sesuatu itu sama dengan sesuatu yang lain. Dalam pengalaman
keagamaan, terdapat hal-hal yang kelihatannya sama dengan Yang Sakral
atau menandakan adanya Yang Sakral dan dapat memberikan petunjuk
mengenai alam supranatural. Sekarang bila kita ingin melihat bagaimana
cara kerja simbol, Eliade mengatakan satu hal yang perlu ditekankan, bahwa
apa saja dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja adalah bagian
dari Yang Profan. Dia hanya ada untuk dirinya sendiri. Namun, dalam
waktu tertentu, hal-hal Yang Profan dapat ditransformasikan menjadi Yang
Sakral. Seperti sebuah benda, seekor binatang, atau seorang manusia bisa
menjadi tanda Yang Sakral asalkan manusia menemukan dan kemudian
meyakininya.15
Dari uraian diatas, penulis sepaham dengan pengertian simbol
menurut Eliade bahwa simbol-simbol keagamaan memiliki arti penting bagi
manusia dalam mengungkapkan kebutuhan hidupnya baik dalam interaksi
sosial maupun dalam beribadah. Dengan simbol-simbol tersebut manusia
dapat memahami pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Karna
sebuah simbol, berasal dari sebuah benda Yang Profan kemudian terdapat
14Mircea Eliade, dkk, Metodologi Studi Agama, Penerjemah Ahmad Norma Permata
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), h.182. 15 Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Penerjemah Inyiak
Ridwan Mundzir dan M. Syukri (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), h. 258.
19
suatu peristiwa atau pemaknaan yang diyakini oleh umat manusia. Sehingga
benda Yang Profan ini menjadi Yang Sakral, yang dapat dipercayai
memiliki kekuatan supranatural didalamnya. Yang Profan disini artinya
adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara
teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu penting. Sementara yang Sakral
adalah wilayah yang supranatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah
dilupakan dan sesuatu yang amat penting. Apabila Profan itu mudah hilang
dan terlupakan, hanya bayangan, sebaliknya Yang Sakral itu abadi, penuh
substansi, dan realitas. Yang Profan adalah dimana manusia tempat berbuat
salah, selalu mengalami perubahan dan terkadang dipenuhi konflik. Yang
Sakral adalah tempat dimana segala keteraturan dan kesempurnaan berada,
tempat berdiamnya roh para leluhur, para kesatria dan dewa-dewi.16
B. Fungsi Simbol
Manusia sebagai makhluk yang dalam perjalanannya telah
mengenal simbol, menggunakan simbol demi tujuan mengungkapkan siapa
dirinya. Manusia menjalani hidupnya tidak mungkin sendirian melainkan
secara berkelompok atau yang disebut dengan masyarakat.
Seringkali manusia memakai simbol maupun lambang dalam
kehidupan sehari-hari untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan menggunakan simbol atau lambang realitas kehidupan lebih
bermakna. Contohnya seperti memaknai lampu merah, hijau dan kuning
sebagai pengatur lalu lintas di perempatan jalan raya, ternyata mampu
menertibkan lalu lintas dari kemacetan.
16 Pals, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, h. 258.
20
Menurut Ivan Th. J. Weismann, dalam artikelnya yang berjudul
“Simbolisme Menurut Mircea Eliade”, fungsi simbol yang mendasar adalah
fungsi religius, yaitu mentransformasikan suatu hal atau tindakan ke dalam
suatu hal atau suatu tindakan ke dalam sesuatu yang lain (yang kudus), yang
tidak nampak pada pengalaman yang profan (duniawi). Simbol menyatakan
yang kudus atau realitas kosmologis, menimbulkan solidaritas permanen
antara manusia dengan yang kudus. Simbol bukanlah univokal (memiliki
hanya satu macam ideologi atau kognitif) melainkan multivalen atau
polivalen (menyatakan motivasi yang berbeda), sehingga simbol dapat
menyingkap banyak arti pada suatu simbol dapat pula menimbulkan
kontradiksi, akan tetapi juga fungsi simbol adalah mempersatukan.17
Adapun fungsi simbol yang lain diantaranya:
1. Simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia
material dan sosial dengan membolehkan mereka memberi nama,
membuat kategori dan mengingat objek-objek yang mereka temukan
dimana saja. Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat
penting.
2. Simbol menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya.
3. Simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam
arti, berfikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri
sendiri.
17 Ivan Th. J. Weismann, “Simbolisme Menurut Mircea Eliade,” diakses pada tanggal 30
merah, bubur putih dan wajik. Perlengkapan itu memiliki makna sebagai
berikut:
1. Lilin dilambangkan sebagai penerangan batin yang terang. Biasanya
lilin warna merah yang dipergunakan untuk persembahan. Sebelum
menyalakan dupa, terlebih dahulu kita menyalakan lilin. Cara
menyalakan lilin, yang pertama lilin disebelah kanan, baru kemudian
lilin yang berada disebelah kiri. Lilin yang dinyalakan bermakna
memberikan penerangan atau cahaya yang menerangi jalan kehidupan
dan penghidupan di waktu sekarang. Cahaya Buddha Dharma
menerangi hati dan pikiran kita, dengan selalu membimbing kita ke jalan
yang benar, dan membawa kita ke jalan penerangan atau pencerahan
agung. Selain itu juga melambangkan jiwa seorang Boddhisattva yang
bermakna ia mencerahi setiap makhluk yang mengalami kegelapan
bathin tanpa pamrih.14.
2. Buah-buahan yang segar dipersembahkan di altar Hyang Buddha,
Bodhisattva atau Dewa merupakan sikap pengorbanan tulus terhadap
yang dipuja. Buah segar yang dipersembahkan merupakan tekad
mengabdi diri kepada semua makhluk dan membagi hasil pahala kepada
orang lain. Selain itu, ada beberapa makhluk suci (para dewa-dewi) yang
14 Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha, h. 72.
43
hidup dari persembahan buah-buah segar dan makhluk-makhluk suci
yang telah menerima persembahan itu akan melindungi dari gangguan-
gangguan jahat, serta dapat menimbulkan nilai-nilai kesakralan atau
getaran suci. Di dalam buah yang segar diantaranya itu terdapat pisang,
jeruk dan delima. Pisang dalam bahasa Hokkian nya adalah Cio yang
melambangkan keselamatan, jeruk dalam bahasa Hokkian nya adalah
Kiet yang melambangkan kesejahteraan. Sedangkan delima
melambangkan kelimpahan, karena buah delima ini isinya banyak.
3. Wajik, wajik ini sifatnya lengket dan tidak mudah dicerai beraikan.
Wajik melambangkan bahwa kita semua harus bersatu padu. Jangan
saling membeda-bedakan. Dengan adanya semangat kerjasama dan
gotong royong maka negara akan maju.15
4. Air mempunyai makna agar pikiran, ucapan dan perbuatan anda selalu
bersih. Air dapat membersihkan segala kotoran bathin (klesa) yang
berasal dari keserakahan (lobha), kebencian (dvesa) dan kebodohan atau
kegelapan bathin (moha) dan ia memancarkan kasih sayang (maitri),
welas kasih (karuna), memiliki rasa simpati (mudita) dan keseimbangan
bathin (upeksha).
5. Bunga mempunyai makna ketidakekalan, semua yang berkondisi adalah
tidak kekal atau tidak abadi. Demikian juga dengan badan jasmani anda
tidak kekal; lahir, tumbuh, tua atau lapuk, kemudian meninggal atau
hancur. Yang tertinggal hanyalah keburukan atau keharuman perbuatan
15 Sesaji Yang di Perlukan dalam Sembahyang dari
https://dhammanggala.com/dnews/sesaji-yang-diperlukan-dalam-sembahyang diakses pada
tanggal 14 Mei 2019 Pukul 12:50 WIB.
44
selama hidupnya saja, yang kelak dikenang oleh sanak saudara dan
handai taulan.16
6. Jajanan kue ini tersirat pesan agar dalam menjalani hidup hendaknya
tidak melupakan “rumah” dan memiliki kepekaan seperti kura-kura.
Kura-kura yang selalu membawa tempurungnya sebagai rumah, dan jika
di sentuh cepat-cepat menyembunyikan kepalanya. Dan juga di dalam
jajanan kue ini terkandung restu leluhur, agar usia panjang menyertai
hidup generasi selanjutnya.17
Ritual mempunyai perilaku yang bersifat simbolis, yang berarti
menyatakan hal-hal yang ada dengan simbol-simbil yang dipergunakan.
Maksudnya, ritual ingin menjelaskan ungkapan-ungkapan dalam diri
manusia melalui simbol-simbol yang mereka miliki. Contohnya, untuk
mengungkapkan rasa syukur, dengan adanya ritual ini disimbolkan dengan
mempersembahkan buah-buahan terbaik yang dimiliki. Ritual juga
memberikan suatu transformasi bagi kehidupan manusia sehingga ada
perubahan-perubahan ke arah situasi yang baru.18
Terdapat tujuan dan manfaat yang menjadi dorongan jamaah setelah
melakukan ritual pemujaan di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio), yaitu:
16 Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha, h. 73. 17 Makna Simbolis Beberapa Jenis Sajian dari https://www.spocjurnal.com/religi/makna-
simbolis-beberapa-jenis-sajian diakses pada tanggal 14 Mei 2019 Pukul 15:56 WIB. 18 Julie Lanz, Komunikasi diakses dari https://academia.edu/23259697/komunikasi pada
tanggal 15 September 2019 Pukul 19:29 WIB.
45
1. Tujuan mereka berdoa merupakan tradisi dari agama Buddha,
semata-mata untuk memuja Tuhan, Dewa-dewa, Boddhisatva agar
kehidupan mereka diberikan kelancaran oleh Tuhan.
2. Untuk meminta keluarganya menjadi semakin rukun dan harmonis.
Jamaah ada pula yang berdoa untuk negara kita bebas dari segala
masalah dan bencana.
3. Untuk meminta kelancaran dan dipermudah dalam urusan bisnis.
4. Untuk meminta dipertemukan dengan jodoh. 19
5. Menyerahkan diri secara bulat karena menyadari akan kelemahan
dan keterbatasannya.
6. Untuk mengadakan penebusan dosa yang dimiliki.
7. Untuk menolong dan menyelamatkan makhluk-makhluk lainnya
menuju kelepasan.
Adapun manfaat dari pelaksanaan setelah menjalankan ritual pemujaan
adalah:
1. Dapat meningkatkan kesucian hati dan fikiran
2. Dapat menumbuhkan keikhlasan.
3. Menumbuhkan rasa aman dan jiwa yang tenang.
4. Dapat menumbuhkan cinta kasih.
5. Dapat melestarikan alam dan semesta.
6. Dapat memelihara kesehatan jasmani.
19 Wawancara Pribadi dengan jamaah Pak Andy, pada tanggal 25 Maret 2019.
46
Saat melakukan ritual pemujaan hal yang terpenting adalah pikiran bersih,
penuh konsentrasi agar indra-indra terkendali saat membaca doa untuk
mengagungkan Triratna. Paritta yang dibaca dalam puja bakti berisi doa agar semua
makhluk berbahagia. 20
C. Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi
1. Mi Lek Hut
Mi Lek Hut atau Mi Le Fo berasal dari bahasa Sansekerta: Buddha
Maitreya, yang memiliki arti “Yang Maha Pengasih dan Penolong”.
Yang merupakan dewa dari Buddhisme yang sangat terkenal dari
Tiongkok. Ketenarannya hanya berada di bawah Guan Yin, sang Dewi
Welas Asih. Orang-orang yang percaya beranggapan bahwa siapa saja
yang memperoleh pertolongannya asal mau memusatkan pikiran dalam
samadhi dan menyebutkan namanya berulang kali. Karena itu ia sangat
di hormati baik di kalangan Mahayana maupun Theraveda. Menurut
legenda Mi Le Fo telah banyak kali mengalami bertumimbal lahir.
Reinkarnasinya yang paling terkenal adalah sebagai seorang pangeran,
putra raja Varanaisa di Asia Tengah. Menurut cerita zaman dahulu sang
Pangeran lahir lengkap dengan 32 tanda-tanda suci yang menunjukkan
bahwa ia kelak akan menjadi murid Buddha. Oleh sebab itu, walaupun
Maitreya masih dalam tingkat Boddhisattva yang ke-9, ia seringkali
dipuja sebagai Buddha karena dianggap sebagai Buddha pada masa
yang datang.21
20 Sumanera Utamo, Bhakti (Puja) (Jakarta: Sangha Theraveda Indonesia), h.45. 21 Mi Lek Hud dari http://lociabio.com/mi-lek-hud diakses pada tanggal 22 Mei 2019
pukul 14:10.
47
Pada umumnya, orang Tionghoa memuja Mi Lek Hut atau Mi Le Fo
ini untuk memperoleh kekayaan dan kebahagiaan. Sama hal nya seperti
di dalam Vihara Dharma Jaya, ketika jamaah memuja Mi Lek Hut atau
Mi Le Fo ini mereka membawa uang logam dan disebar disekitar
patung. Uang logam ini dibawa dan disebar guna untuk persembahan.
Dan juga uang logam yang disebar itu disimbolkan supaya dilancarkan
rezeki selama hidup berlangsung selain itu juga untuk beramal. Maka
dari itu Mi Lek Hut disebut juga sebagai dewa rezeki. Ada juga yang
begitu percaya bahwa beliau bisa memberikan keturunan kepada orang
yang mendambakan si buah hati. Oleh karena itu, sering kali beliau di
patungkan dengan di kelilingi oleh 5 orang anak kecil.
Menurut penjelasan Pak Santoso ketua yayasan vihara, bentuk
paling umum patung Mi Lek Hut atau Mi Le FO di vihara-vihara adalah
terbuka dan kantong besar tergeletak di sampingnya. Karena
tampilannya yang selalu tertawa maka dari itu beliau di juluki Buddha
Tertawa.22 Mi Lek Hut yang di juluki sebagai buddha tertawa ini kira-
kira di mulai pada akhir dinasti Tang dan permulaan zaman Lima
Dinasti (907-1060 M). Pada saat itu ada seorang Bikkhu yang berlimu
dan tiap orang memanggilnya sebagai Bu Dai. Bu Dai disini memiliki
arti kantong kain, karena ia selalu membawa kantong yang besar kalau
berpergian. Beliau adalah penduduk asli dari Provinsi Zhe-Jiang. Ia rajin
22 Wawancara pribadi dengan pimpinan vihara Santoso Witoyo, di Vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019.
48
dalam menyebarkan ajaran Buddha. Nama yang sesungguhnya tidak ada
yang tahu. Beliau memiliki watak yang ramah, jenaka, selalu ringan
tangan dalam menolong orang yang sedang menderita. Beliau juga tidak
pernah susah, sering berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain guna
untuk meminta sedekah dan mengajar Dharma kepada siapa saja yang
mau mendengarnya. Seringkali beliau pada saat itu terlihat
mengumpulkan segala macam benda yang di masukkan ke dalam
karung. Bagi seorang yang memikirkan keduniaan, tindakan ini biasa
dianggap tamak atau loba. Yang sesungguhnya perbuatan itu beliau
lakukan dalam arti mencari dan mengumpulkan makhluk-makhluk
untuk mengantarkan mereka ke tanah sua.
Ada beberapa makna simbol dari Mi Lek Hut diantaranya yaitu,
senyum yang lebar atau tertawa, melambangkan cinta kasih,
kebahagiaan dan kegemaran membawa kebahagiaan pada makhluk
hidup lainnya. Telinga yang panjang melambangkan dengan
kelembutan dan kebaikannya, beliau dengan setia akan mendengarkan
dan mengerti semua makhluk hidup. Telinga panjang juga berarti
kebijaksanaan. Dada lebar melambangkan pikiran yang luas, ketulusan
dan cinta kasih pada semua makhluk. Perut besar melambangkan rasa
toleransi yang besar, hati yang terbuka dan akan menanggung semua
beban dunia tanpa membeda-bedakan. Karung kain besar,
melambangkan cinta kasih dan kebijakan tanpa batas serta Dharma.
Karung ini konon ceritanya dapat menyimpan segala sesuatu, termasuk
seluruh alam semesa. Karung ini juga dipercaya membawa kebahagiaan,
49
cahaya, dan mengusir kekacauan. Karung ini menutup dan membungkus
semua kegelapan, kejahatan, kekacauan, penderitaan, sebagai gantinya
mendatangkan terang, kebaikan, kedamaian, kebahagiaan bagi manusia.
Tangan memegang bola dunia, melambangkan mencintai dan
memberikan berkat pada semua makhluk dan beliau juga berjanji untuk
merubah dunia menjadi tanah murni. Dan yang terakhir adalah tasbih
yang dipegang melambangkan senantiasa mengikat jodoh baik kepada
semua makhluk, membawa kebahagiaan kepada semua makhluk.
Menurut cerita pada zaman dahulu, orang-orang yang akrab dengan
beliau pasti tahu, bahwasanya beliau yang jenaka ini sangat cocok dalam
meramal nasib seseorang dan cuaca. Misalnya, apabila beliau berjalan
dengan terburu-buru dengan menggunakan sendal yang basah, itu
diartikan pasti hujan akan datang. Sedangkan apabila beliau memakai
sepatu dengan santainya berjalan kesana dan kemari, cuaca akan cerah.
Bu Dai atau Mi Lek Hut ini seringkali kelihatan tidur nyenyak diatas
tumpukkan salju di malam musim dingin dan tidak mandi walau udara
panas sekali. Kemudian, pada akhir hidupnya ia meninggal dengan
keadaan duduk dan semedi di lorong sebuah klenteng dengan
meninggalkan serangkum syair.
2. Ta Ol Lao Shi
Ta Ol Lao Shi atau biasa disapa Mbah Jugo di Vihara Dharma Jaya
digambarkan dengan patung yang mengenakan sorban dengan sikap
berdoa memangku kitab suci. Mbah Jugo mendapatkan gelar Taw Low
She atau Ta Ol Lao Shi, yang memiliki arti sebagai guru besar pertama.
50
23Ta Ol Lao Shi sebutan dari etnis tionghoa yang berarti guru pertama
atau yang biasa dikenal oleh masyarakat sekitar Gunung Kawi adalah
Mbah Djugo merupakan tokoh yang terkenal pada situs keramat Gunung
Kawi yang banyak dikunjungi baik etnis Tionghoa, Jawa, maupun etnis
lainnya. Dengan demikian, banyak yang belum mengenal riwayat
beliau.
Riwayat hidup Mbah Djugo yang mempunyai nama asli Kyai
Zakaria II dapat ditelusuri berdasarkan surat keterangan yang
dikeluarkan oleh pangageng Kantor Tepas Daerah dalam Kraton
Yogyakarta Hadiningrat nomor 55/TD/1964 yang ditanda tangani oleh
Kanjeng Tumenggung Donoehadiningrat pada tanggal 23 Juni 1964. Di
dalam surat itu terdapat silsilah Kyai Zakaria II atau Mbah Djugo yang
diterangkan sebagai berikut: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) memerintah
keraton Mataram pada tahun 1705 sampai 1719 berputera Bandono
Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro. Pangeran ini mempunyai putera
bernama Kanjeng Kyai Zakaria I. Pada saat itu beliau adalah seorang
ulama besar di lingkungan Keraton Kartasura.24
Kanjeng Kyai Zakaria I memiliki putera yang bernama Raden Mas
Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo. Di masa mudanya,
23 Olyvia Bendon, Klenteng Sin Tek Bio Pasar Baru Jakarta diakses dari
https://www.aroengbinang.com/2018/06/klenteng-sin-tek-bio-pasar-baru-jakarta.html pada tanggal
8 Juli 2018 pukul 20:24 WIB. 24 Tashadi, Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h.18.
51
ia telah tertartik mempelajari pengetahuan keagamaan.25 Setelah
dewasa, karena kemampuannya yang mahir dan ketekunannya dalam
mempelajari hal-hal keagamaan atas perkenan Kanjeng Susuhunan
Paku Buwana II, Raden Mas Soeryokoesoemo mengubah namanya
sesuai pemberian nama oleh Susuhan, nunggak semi26 dengan
ayahandanya, menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II. Jadi, Raden Mas
Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo itulah Kanjeng
Kyai Zakaria II.
Dalam perjalanan kisahnya Kyai Zakaria II mengembara ke Jawa
Timur dan menyamar sebagai rakyat biasa. Hal ini dimaksudkan agar
identitasnya sebagai bangsawan keraton yang terkenal itu, tidak
diketahui oleh orang lain terutama oleh penjajah Belanda. Kyai Zakaria
II pada saat itu memakai nama Mbah Sadjoego atau singkatnya Mbah
Djoeogo dan nama tersebut sangat populer hingga sekarang. Kyai
Zakaria II memulai perjalanannnya dari Yogyakarta di lanjutkan ke
Sleman, Nganjuk, Bojonegoro, dan yang terakhir Blitar. Sesampainya
di Blitar ia terkejut. Ternyata, tempatnya berdekatan dengan Kadipaten
yang dibawah kekuasaan Belanda. Kemudian ia menepi ke daerah
Kesamben, sekitar 60 km dari kota Blitar. Beliau menetap di tepi sungai
Brantas desa Sonan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Di desa ini
Kyai Zakaria II bertemu dengan Pak Tasiman yang menanyakan asal
usulnya. Ketika ditanya asal-usul ia merasa khawatir kehadirannya
25 Riwayat Mbah Jugo dari https://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2298-
riwayat-mah-jugo diakses pada tanggal 2 Mei 2019 pukul 11:37. 26 Nunggak semi adalah tradisi Jawa yang menggunakan nama sama dengan ayah.
52
diketahui oleh Belanda, disaat beliau ditanya oleh Pak Tasiman maka
beliau menjawab, “kulo niki sajugo” (saya ini sendirian). Namun, Pak
Tosiman salah sangka, dan mengira bahwa nama beliau adalah Sayugo.
Oleh sebab itu, Kyai Zakaria II dikenal dengan sebutan Mbah Jugo. 27
Pak Santoso selaku pimpinan vihara mengatakan bahwa Mbah Jugo
ini semakin terkenal dan di hormati oleh masyarakat baik karena
kearifannya, kemampuannya di bidang ilmu agama, keampuhan ilmu
yang dimilikinya dan juga pribadinya yang suka menolong sesama
umat.28
Ada salah satu wujud pertolongan beliau yaitu pada saat itu ketika
terjadi wabah penyakit hewan di desa Sonan pada tahun 1860.
Masyarakat disekitar sana panik karena penguasa Belanda tak mampu
mengatasi. Akhirnya dengan keampuhan ilmu Mbah Jugo, wabah
penyakit tersebut berhasil disingkirkan dan masyarakat semakin hormat
kepada Mbah Jugo. Karena peristiwa tersebut, namanya semakin
kondang dan Mbah Jugo melayani berbagai konsultasi dari masyarakat.
Dari soal jodoh, bertanam, berternak, bahkan sampai soal dagang yang
menguntungkan, semuanya dilayani dengan beliau secara memuaskan.
Selama hidupnya Mbah Jugo sangat di hormati dan disegani, sampai ia
meninggal pada tahun 1871 jasadnya di makamkan di komplek Pasarean
Gunung Kawi.29
27 Tashadi, Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur, h. 19. 28 Wawancara pribadi dengan pimpinan vihara Santoso Witoyo, di Vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019. 29 Tashadi, Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur, h. 19.
53
Keikutsertaan warga Tionghoa dalam lingkungan perziarahan di
Pasarean Gunung Kawi dimulai dari seorang yang bernama Tan Kie
Liem. Pada waktu itu ia sempat diobati dan disembuhkan oleh Eyang
Imam Sudjono berkat air guci wasiat dari peninggalan Mbah Jugo.
Kemudian Tan Kie Liem ikuy berguru di padepokan Gunung Kawi dan
tinggal disana. Sebagai seorang Tionghoa, ia mendirikan klenteng kecil
sendiri untuk bersembahyang dan untuk menghormati almarhum
gurunya.
Menurut penelusuran Martinus Herwiratno di dalam artikelnya yang
membuat Pasarean Gunung Kawi ini terkenal adalah ada seorang
Tionghoa ia adalah pendiri perusahaan rokok besar yang pernah berdiri
di Malang yang sekarang sudah bangkrut, ia datang untuk berguru di
padepokan Gunung Kawi. Namun, niat sang pendiri ini di tolak oleh
juru kunci dengan alasan si pendiri perusahaan ini tidak pantas menjadi
seorang pendekar melainkan ia pantas menjadi pedagang. Kemudian
sang juru kunci menyarankan untuk pulang dan membekalinya dua
batang bentoel atau umbi-umbian. Sesampainya dirumah, ia berpikir
bahwa oleh-oleh dua batang bentoel dari sang juru kunci ini pasti
memiliki arti. Akhirnya ia menggunakan Cap Bentoel sebagai merk
usahanya. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, perusahaan rokok Cap
Bentoel ini maju dan berkembang pesat. Rupanya, dari kesuksesan
rokok bentoel ini dan Pasarean Gunung Kawi dengan cepat menyebar
luas di kalangan masyarakat Tionghoa. Berbondong-bondong warga
Tionghoa datang dan kebetulan banyak yang berhasil. Hasil akhirnya
54
adalah sekarang komplek Pasarean Gunung Kawi menjadi tempat
percampuran budaya dan ritual khas Jawa dan Tionghoa.30
Vihara Dharma Jaya dengan adanya patung Mbah Jugo memiliki
makna bagi orang-orang yang datang. Patung ini dilambangkan sebagai
penghormatan kepada Mbah Jugo atas keampuhan ilmu yang
dimilikinya dan pribadinya yang suka menolong kepada sesama.
30 Martinus Herwiratno, Eyang Dojego dan Eyang RM Imam Soedjono: Dua Bangsawan
Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa diakses dari http://web.budaya.tionghoa.net/eyang-
djoego-dan-eyang-rm-imam-soedjono-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa pada
tanggal 4 Juli 2019 pukul 9:58 WIB.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan dalam skripsi ini
mengenai Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao
Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat,
yaitu sebagai berikut: Tata cara ritual pemujaan patung Mi Lek Hut
dan Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya sama seperti patung-patung
lainnya, yaitu dengan menggunakan dupa atau hio dan memberikan
sesaji atau sesajen. Sesaji yang dibawa oleh jamaah berupa lilin, buah-