Top Banner
387 MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI KABUPATEN SINJAI THE SYMBOLIC MEANING OF THE KARAMPUANG CUSTOM HOUSE ARCHITECTURE IN SINJAI REGENCY Ansaar Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883743, Faksimile (0411) 865116 Pos-el: [email protected] Handphone: 081342362575 Diterima: 5 Juli 2016; Direvisi: 13 September 2016; Disetujui: 30 November 2016 ABSTRACT The Karampuang custom house has a traditional architecture of ancient Bugis inhabited by local custom stakeholders, such as Tomatoa, Sanro and Guru. The custom house located in Karampuang, Tompobulu Village, Sinjai Regency serves as a dwelling house and also has a social function for the supporters. The material of this study taken from the results of field research by using interviews, observation, and literature. This study aims to give an overview of the form and function of Karampuang custom house architecture and reveals the symbolic meanings contained on it. The study results show that the Karampuang custom house as a creation of traditional architecture of Karampuang society has a shape of long rectangular with thirty pieces of pole, the roof is prism-shaped duplex, and the stair, door and kitchens located in the middle of the bodyhouse (lontang dua). For the Karampuang society, these poles are a religious symbol that implies a meaning that the sacred book of Islam, the Holy Quran, consists of thirty chapters; the placement of stair and door are in the middle of the bodyhouse is a symbol of female reproductive organs; and the two kitchens are placed near the top of the door is a symbolic manifestation of women’s breasts and implies a meaning that women are the source of human life, as the kitchen is the source of life in the house. Keywords: the traditional architecture, Karampuang custom house, meaning and symbol. ABSTRAK Rumah adat Karampuang memiliki arsitektur tradisional Bugis kuno yang dihuni oleh para pemangku adat setempat, seperti Tomatoa, Sanro, dan Guru. Rumah adat yang terletak di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kabupaten Sinjai ini berfungsi sebagai rumah tempat tinggal sekaligus memiliki fungsi sosial bagi masyarakat pendukungnya. Materi kajian ini diambil dari hasil penelitian lapangan yang menggunakan metode wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Kajian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang bentuk dan fungsi arsitektur rumah adat Karampuang dan mengungkap makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah adat Karampuang yang merupakan karya arsitektur tradisional masyarakat Karampuang memiliki bentuk persegi empat panjang dengan jumlah tiang sebanyak tiga puluh buah, atapnya berbentuk prisma bersusun dua, serta tangga, pintu, dan dapur terletak di tengah- tengah badan rumah (lontang dua). Bagi masyarakat Karampuang, tiang-tiang tersebut merupakan simbol keagamaan yang mengandung makna bahwa kitab suci agama Islam, Alqur’an, terdiri atas tiga puluh juz; penempatan tangga dan pintu di tengah-tengah badan rumah merupakan simbol dari alat reproduksi wanita; dan dapur sebanyak dua buah yang ditempatkan di dekat pintu bagian atas merupakan menifestasi simbolik dari buah dada perempuan sekaligus mengandung makna bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia, begitu pula dapur adalah sumber kehidupan di rumah. Kata kunci: arsitektur tradisional, rumah adat Karampuang, makna dan simbol.
14

MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

387 PB

MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI KABUPATEN SINJAI

THE SYMBOLIC MEANING OF THE KARAMPUANG CUSTOM HOUSE ARCHITECTURE IN SINJAI REGENCY

AnsaarBalai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221Telepon (0411) 885119, 883743, Faksimile (0411) 865116

Pos-el: [email protected]: 081342362575

Diterima: 5 Juli 2016; Direvisi: 13 September 2016; Disetujui: 30 November 2016

ABSTRACTThe Karampuang custom house has a traditional architecture of ancient Bugis inhabited by local custom stakeholders, such as Tomatoa, Sanro and Guru. The custom house located in Karampuang, Tompobulu Village, Sinjai Regency serves as a dwelling house and also has a social function for the supporters. The material of this study taken from the results of field research by using interviews, observation, and literature. This study aims to give an overview of the form and function of Karampuang custom house architecture and reveals the symbolic meanings contained on it. The study results show that the Karampuang custom house as a creation of traditional architecture of Karampuang society has a shape of long rectangular with thirty pieces of pole, the roof is prism-shaped duplex, and the stair, door and kitchens located in the middle of the bodyhouse (lontang dua). For the Karampuang society, these poles are a religious symbol that implies a meaning that the sacred book of Islam, the Holy Quran, consists of thirty chapters; the placement of stair and door are in the middle of the bodyhouse is a symbol of female reproductive organs; and the two kitchens are placed near the top of the door is a symbolic manifestation of women’s breasts and implies a meaning that women are the source of human life, as the kitchen is the source of life in the house.

Keywords: the traditional architecture, Karampuang custom house, meaning and symbol.

ABSTRAKRumah adat Karampuang memiliki arsitektur tradisional Bugis kuno yang dihuni oleh para pemangku adat setempat, seperti Tomatoa, Sanro, dan Guru. Rumah adat yang terletak di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kabupaten Sinjai ini berfungsi sebagai rumah tempat tinggal sekaligus memiliki fungsi sosial bagi masyarakat pendukungnya. Materi kajian ini diambil dari hasil penelitian lapangan yang menggunakan metode wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Kajian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang bentuk dan fungsi arsitektur rumah adat Karampuang dan mengungkap makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah adat Karampuang yang merupakan karya arsitektur tradisional masyarakat Karampuang memiliki bentuk persegi empat panjang dengan jumlah tiang sebanyak tiga puluh buah, atapnya berbentuk prisma bersusun dua, serta tangga, pintu, dan dapur terletak di tengah-tengah badan rumah (lontang dua). Bagi masyarakat Karampuang, tiang-tiang tersebut merupakan simbol keagamaan yang mengandung makna bahwa kitab suci agama Islam, Alqur’an, terdiri atas tiga puluh juz; penempatan tangga dan pintu di tengah-tengah badan rumah merupakan simbol dari alat reproduksi wanita; dan dapur sebanyak dua buah yang ditempatkan di dekat pintu bagian atas merupakan menifestasi simbolik dari buah dada perempuan sekaligus mengandung makna bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia, begitu pula dapur adalah sumber kehidupan di rumah.

Kata kunci: arsitektur tradisional, rumah adat Karampuang, makna dan simbol.

Page 2: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

388 PB

PENDAHULUAN

Usaha pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional tidak dapat dipisahkan dari upaya pendataan dan pengungkapan unsur-unsur kebudayaan pada suku-suku bangsa yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini karena unsur-unsur kebudayaan tersebut merupakan sumber yang potensial bagi terwujudnya kebudayaan nasional yang memberi corak pluralistik, tetapi sesungguhnya tetap satu: “Bhineka Tunggal Ika”. Salah satu unsur kebudayaan yang kini masih tetap bertahan dan dijadikan sebagai tuntunan serta pedoman dalam kehidupan sehari-hari oleh suku-suku bangsa di Indonesia adalah arsitektur tradisional.

Arsitektur merupakan salah satu bentuk seni tertua, mula tumbuh sejak zaman prasejarah dan ditemukan pada setiap suku bangsa di dunia. Arsitektur lahir dari kebutuhan manusia untuk melindungi diri dari buruknya cuaca pada musim-musim tertentu. Bentuknya bervariasi menurut bahan bangunan yang tersedia. Arsitektur pun mengalami perkembangan sejalan dengan perkembagan peradaban, kebudayaan, ilmu dan teknologi, serta bahan bangunan. Akhirnya, arsitektur berkembang dalam kehidupan manusia untuk memenuhi tuntutan yang semakin meningkat. Bangunan harus cukup kuat untuk memberikan rasa aman dan tahan lama, memberikan rasa nyaman bagi para penghuninya dan menimbulkan kesan indah bila dipandang mata (Hartanto dalam Faisal, 2015:3)

Relevan dengan pandangan tersebut di atas, Faisal (2008:1) menyatakan, bahwa arsitektur tradisonal adalah merupakan salah satu unsur kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suku bangsa ataupun bangsa. Oleh karena itu arsitektur tradisional yang dimiliki oleh suatu suku bangsa sangat terkait dengan kondisi dan potensi sumber daya alam sekitarnya. Demikian pula fungsi sosialnya yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku, bentuk, model dan ornamen pada arsitektur tradisioal yang erat kaitannya dengan makna-makna simbolis dan sistem kepercayaan masyarakat

setempat. Berdasarkan hal tersebut, setiap suku bangsa memiliki arsitektur tradisional yang khas.

Batasan tentang arsitektur tradisional dapat diartikan sebagai suatu bangunan, di mana bentuk, struktur, fungsi, ragam hias dan cara membuatnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk melaksanakan segala aktifitas kehidupan. Fungsi arsitektur tradisional tidak hanya bertumpu pada fungsi substansinya, yaitu sebagai tempat tinggal, tempat musyawarah, tempat ibadah dan tempat penyimpanan, tetapi juga pada fungsi etika dan estetika. Fungsi etika berorientasi pada kewajiban moral dan nilai, yaitu mengenai hal yang baik dan buruk, sedangkan fungsi estetika berorientasi pada seni dan keindahan.

Bangunan-bangunan tradisional, seperti rumah tempat tinggal (bola), tempat musyawarah (baruga), tempat penyimpanan termasuk rumah-rumah adat, secara universal dimiliki oleh setiap masyarakat suku bangsa, termasuk masyarakat atau komunitas adat yang ada di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, meskipun satu sama lain memiliki arsitektur yang berbeda, baik dari segi bentuk, besaran rumah maupun ragam-ragam hias yang melekat di dalam maupun di luar rumah. Bentuk rumah Bugis-Makassar dibangun atas suatu arsitektur tersendiri menurut kondisi alam dengan menggunakan bahan-bahan dan ramuan yang diperolehnya dari persediaan alam lingkungannya.

Dalam arsitektur tradisional terdapat berbagai simbol budaya yang di dalamnya terkandung makna-makna tertentu. Bagian-bagian rumah atau bangunan tradisional yang paling sering memiliki simbol budaya dapat dilihat, antara lain pada bentuk tangga, bentuk atap dan bubungan, jendela dan berbagai ragam hias yang melekat di dalam maupun di luar rumah. Simbol-simbol budaya atau ragam hias yang melekat pada bagian-bagian rumah tersebut, pada hakekatnya adalah merupakan perwujudan dari simbol komunikatif terhadap status sosial dari si pemilik, artinya rumah dijadikan sebagai media komunikasi untuk membahasakan status

Page 3: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

389 PB

sosial si pemilik kepada orang lain (Ansaar, dkk, 2010:2).

Salah satu bangunan arsitektur tradisional di Sulawesi Selatan yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini, adalah rumah adat Karampuang yang terletak di Dusun Karampuang Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, atau tepatnya di puncak sebuah bukit yang disebut Batu Lappa. Rumah adat ini, selain berfungsi sebagai rumah tempat tinggal bagi pemangku adat (seperti To Matoa: raja atau yang dituakan, Sanro: dianggap sebagai orang pintar dan berjenis kelamin perempuan dan Guru: orang yang melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam), juga memiliki fungsi sosial bagi masyarakat pendukungnya, antara lain sebagai pusat pelaksanaan pesta adat Mappogau Hanua (pesta satu kampung) yang biasanya dilaksanakan pada bulan Syawal setiap tahun, mabbahang (musyawarah adat), maupun acara adat lainnya seperti attudang sipulung pallaoromae atau duduk bersama setelah panen padi selesai (Manda dan Ahmadin, 2005:2).

Sebagaimana dengan arsitektur rumah-rumah tradisional lainnya, dalam struktur rumah adat Karampuang pun sarat dengan simbol-simbol yang mengandung makna, hanya saja di antara simbol-simbol budaya tersebut, simbol perempuan tampaknya lebih banyak teraplikasikan pada bagian-bagian tertentu. Misalnya pintu rumah tidak ditempatkan di depan atau samping, tetapi berada di tengah. Ini adalah simbol miliknya perempuan yang paling berharga. Pintu itu memiliki pemberat dari batu bundar, oleh masyarakat Karampuang juga disimbolkan sebagai alat reproduksi perempuan yang mengandung makna, bahwa kehormatan seorang perempuan harus senantiasa dijaga dan dikunci rapat-rapat, sebab kehormatan perempuan di Karampuang adalah simbol kehormatan negeri. Selain itu, di dekat pintu juga terdapat dua dapur besar yang melambangkan buah dada perempuan. Ini juga mengandung makna, bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia sebagaimana dapur yang menjadi sumber kehidupan di rumah.

Mengacu pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka fokus masalah dalam penulisan ini mempertanyakan, bagaimana bentuk dan fungsi dari arsitektur tradisional rumah adat Karampuang dan apa makna simbolik yang terkandung dalam setiap unsur arsitektur tradisional rumah adat Karampuang di Kabupaten Sinjai.

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yakni suatu metode yang berusaha memberi gambaran secara objektif sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai tipologi dan makna-makna simbolik yang terkandung dalam arsitektur rumah adat Karampuang di Kabupaten Sinjai. Menurut Koentjaringrat (1983:29), pendekatan deskriptif adalah penggambaran secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Sementara pendekatan kualitatif menurut Salim (2006:5), adalah merupakan bagian integral dari membangun paradigma keilmuan yang selama ini berkembang.

Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan terhadap sejumlah informan yang dipilih secara purposive, yaitu tokoh-tokoh adat setempat seperti Tomatoa (Arung), Gella, Sanro, dan Guru serta orang-orang lainnya yang dianggap memahami keberadaan arsitektur rumah adat Karampuang. Dalam wawancara ditentukan topik tentang tipologi arsitektur rumah adat Karampuang dan makna-makna simbolik yang terdapat pada arsitektur rumah adat Karampuang di Kabupaten Sinjai. Wawancara (interview) yang digunakan adalah bebas mendalam (depth interview) yang oleh Singarimbun, dkk (1982:145) menyebutnya sebagai suatu proses interaksi dan komunikasi. Selain itu, teknik pengumpulan data juga dilakukan dengan observation (pengamatan), seperti pengamatan kondisi wilayah, sarana dan prasarana lingkungan, aktivitas penduduk sehari-hari serta pengamatan pada rumah adat Karampuang. Sedangkan penerapan studi pustaka (library studies) dilakukan untuk memperoleh

Makna Simbolik Arsitektur ... Ansaar

Page 4: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

390 PB

konsep-konsep ilmiah yang berkaitan dengan materi penelitian, sehingga efektif dalam rangka penyusunan kerangka pemikiran yang selanjutnya menjadi acuan dalam penelitian ini. Operasionalisasi studi pustaka dilakukan dengan menggunakan teknik inventarisasi dan dokumentasi. Teknik inventarisasi digunakan untuk mencatat segenap nama dan judul bahan pustaka yang akan dijadikan sasaran studi, sedangkan teknik dokumentasi digunakan untuk menjaring informasi yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan.

PEMBAHASAN

Tompobulu Sebagai Kawasan Adat Karampuang

Desa Tompobulu adalah termasuk salah satu unit pemerintahan tingkat desa dalam wilayah pemerintahan administratif Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Orbitasi desa ini terhadap ibu kota kecamatan berjarak kurang lebih 16 km, sedangkan ke pusat kota Sinjai sebagai ibukota kabupaten mencapai jarak sekitar 32 km. Batas wilayah desa ini diapit oleh beberapa desa, kecamatan dan Kabupaten, yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bone, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bulutellue, di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sinjai Barat, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Duampanuae. Desa Tompobulu memiliki luas wilayah kurang lebih 32,03 km2 membawahi 7 wilayah administratif berupa dusun, yakni Dusun Data, Dusun Karampuang, Dusun Laiya, Dusun Salohe, Dusun Balle, Dusun Bulo, dan Dusun Aholiang (Profil Desa Tompobulu, 2011).

Desa yang berada pada ketinggian sekitar 618 meter di atas permukaan laut ini, memiliki kawasan hutan yang cukup asri dan terjaga kelestariannya, begitupun tanahnya amat subur. Berbagai macam tumbuhan dan pepohonan menghiasi bukit dan lereng-lereng pegunungan serta lekukan-lekukan sawah yang seolah mengukir permukaan tanah, semuanya merupakan anugerah yang diberikan Yang Maha Kuasa pada wilayah tersebut, sehingga

terciptalah suatu panorama alam yang sangat indah (foto.1).

Foto.1 Tampak salah satu areal persawahan di Dusun Karampuang

Kawasan rumah adat Karampuang yang lokasinya berada di tengah bukit berbatu, dapat dicapai dengan melewati salah satu dari dua pintu gerbang. Menurut Hafid (2014:81), bahwa untuk masuk maupun keluar dari kawasan rumah adat Karampuang tidak ada ketentuan perihal pintu gerbang mana yang harus dilewati, tergantung jalur mana yang dilewati. Bila masuk melalui jalur Desa BulutelluE, maka harus melewati pintu dua (pintu barat), namun jika melalui Desa Tompobulu, maka jalur masuknya lewat pintu satu (pintu utara). Namun demikian, biasanya pengendara lebih banyak melewati pintu utara.

Guna menjaga kelangsungan hidupnya, masyarakat Desa Tompobulu, khususnya komunitas adat Karampuang mengembangkan berbagai pekerjaan yang dapat menambah penghasilan pokok mereka sebagai petani, seperti bekerja sebagai buruh bangunan dan berdagang. Bagi mereka, penghasilan sebagai petani penggarap dianggapnya tidak memadai untuk mengangkat kualitas hidup, karena itulah mereka melakukan berbagai strategi yang dianggap dapat menopang penghasilan utamanya.

Jika dilihat tata letak rumah dalam kawasan adat Karampuang, maka di situ tampak bahwa tidak satu pun anggota komunitas adat Karampuang membangun rumah yang berdekatan dengan rumah adat. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis atau alamnya, terutama pada bagian selatan dan barat dari rumah adat

Page 5: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

391 PB

Karampuang adalah gunung yang tinggi dan jurang, sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan lokasi mendirikan bangunan rumah.

Mengenai sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Karampuang, pada dasarnya masih bercirikan animisme, yakni suatu kepercayaan yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini, baik itu hidup ataupun mati mempunyai roh dan itu harus dihormati agar tidak mengganggu manusia, tetapi malah membantu kehidupan mereka. Sebagai gambaran dari hal tersebut dapat dilihat pada pelaksanaan ritual mappogau hanua yang dilaksanakan setiap tahunnya. Mereka melakukannya karena adanya keyakinan terhadap roh-roh para leluhur atau nenek moyang mereka dan kepercayaan atas dewa-dewa atau penguasa suatu tempat. Ketika dilihat dari segi keyakinan, maka pelaksanaan ritual yang mereka lakukan itu tentunya didasari oleh keyakinan transendental mereka atas keberadaan roh-roh nenek moyang mereka, bahwa mereka harus selalu berinteraksi dengan para leluhurnya melalui media ritual, karena mengingat mereka sudah berlainan alam. Untuk mewujudkan hal itu, prosesnya harus dipimpin oleh seorang yang memiliki kemampuan khusus untuk itu. Dalam komunitas Karampuang dapat kita temukan ritual yang menjadi media tersebut, yakni mappogau hanua yang dipimpin oleh pemimpin ritual yang telah diberikan tugas khusus oleh adat. Mereka itu adalah Tomatoa, Gella, Sanro dan Guru. Para anggota komuntas adat Karampuang yang menjadi pendukung dari ritual tersebut, tentunya akan melaksanakan dengan penuh keyakinan dan loyalitas, termasuk loyalitas dan ketaatan terhadap pemimpin upacara. Mereka akan dengan setia menyediakan segala sesuatu yang menjadi bahan pelengkap dalam ritual yang dikatakan oleh pemangku adat di atas legitimasi adat. Mereka tidak mampu dan tidak memiliki keberanian melakukan penentangan terhadap apa yang tidak bisa mereka lakukan, karena dibalik pelaksanaan ritual tersebut terdapat sangsi yang mengikat mereka yang melakukan pelanggaran, karena ritual tersebut juga merupakan aturan adat.

Arsitektur Rumah Adat Karampuang

a. Kosmologi dalam Arsitektur Rumah Adat Karampuang

Seperti kebanyakan rumah-rumah di Sulawesi Selatan yang berbentuk rumah panggung, arsitektur tradisional rumah adat Karampuang pun tidak lepas dari pandangan kosmologi suku bangsa Bugis yang membagi dunia ini menjadi tiga bagian atau tiga tingkat, yakni boting langi untuk dunia atas sebagai tempat bersemayamnya dewa seuwae atau patotoe yang terdiri atas tujuh susunan, ale kawa untuk dunia tengah yang dihuni oleh manusia, serta paratiwi yang juga terdiri dari tujuh susun sebagai tingkatan terbawah, yakni tempat besemayamnya orang-orang yang telah tiada sehingga rumah adatnya tidak beralas dan tiangnya ditanam ke dalam tanah.

Pandangan ini digambarkan pula pada bentuk bangunan rumahnya yang terdiri atas rakkeang (digambarkan sebagai boting lagi), ale bola (digambarkan sebagai ale kawa), serta kolong rumah (sebagai paratiwi). Rumah adat Karampuang pun dibagi dengan penggambaran seperti demikian, sehingga penempatan dari penggunaan bagian rumah tidak lepas dari pandangan kosmologi suku bangsa Bugis.

Rakkeang atau boting langi adalah ruangan di atas badan rumah yang terbentuk oleh kemiringan atap. Digunakan untuk tempat menyimpan padi dan hasil pertanian lainnya. Menurut lontarak Galigo, padi adalah sangiang-seri, penjelmaan We Oddang Riu Putri Batara Guru (Ambo Enre, 2003). Karena itu di kalangan masyarakat Bugis (dahulu), padi dipandang sakral dan dikeramatkan sehingga rakkeang sebagai simbol boting langi (dunia atas) diperuntukkan sebagai tempat bersemayam Sangiangseri (dewi padi). Sementara itu, ale bola adalah ruang tempat tinggal sebagai simbol ale kawa (dunia tengah) yang menjadi tempat manusia bermukim. Ale kawa berfungsi sebagai tempat berlangsungnya aktifitas kehidupan rumah tangga sehari-hari, seperti makan, tidur, memasak, menerima tamu, acara keluarga, termasuk mengadakan upacara-upacara ritual dan sebagainya. Adapun awa bola

Makna Simbolik Arsitektur ... Ansaar

Page 6: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

392 PB

atau kolong rumah, yakni ruang di bawah badan rumah sebagai simbol dunia bawah. Awa bola ini berlantai tanah dan tidak berdinding, berfungsi sebagai tempat memelihara ternak dan tempat menyimpan alat-alat pertanian, tempat bercanda atau tempat bermain anak-anak (Palemmui Shima, 2006:53-54).

Sebagai suatu pandangan hidup yang diyakini dan didukung oleh komunitas adat Karampuang, maka tentu kepatuhannya atas kosmologi itu diapresiasikan dalam wujud melestarikannya. Konsep pembagian ini lahir sebelum kedatangan agama Islam, kendatipun dewasa ini sejumlah bagian sudah mendapatkan pengaruh dari agama dan budaya Islam dan termaknai beberapa simbol secara islami (Muhannis dalam Manda, 2008:13).

b. Bentuk dan FungsiRumah adat Karampuang memiliki bentuk

yang tidak lepas dari makna yang terkandung secara sosial, yakni sebagai simbol yang terpadu dari fungsi rumah adat itu sendiri, seperti fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi keamanan dan berbagai simbol-simbol Islam yang menyertainya (foto.2).

yang bertiang satu seperti payung, kemudian rumah bertiang tiga di Toanja, selanjutnya menjadi bentuk seperti yang sekarang dan telah diperkaya dengan simbol-simbol Islam, salah satunya berada pada tiang rumah.

Rumah adat Karampuang yang dapat dilihat dewasa ini adalah berbentuk persegi empat panjang dengan jumlah tiang sebanyak 30 buah. Tiang-tiang tersebut berdiri membujur dari arah timur ke barat. Satu baris tiang terdiri atas enam batang ke belakang dan selanjutnya terbentuk lima petak membanjar.

Bentuk rumah adat Karampuang sebagaimana halnya dengan kebanyakan rumah-rumah panggung Bugis di Sulawesi Selatan juga memiliki tiga bagian utama, yaitu: Pertama, Ale bola atau ale kawa. Ale bola atau ale kawa adalah badan rumah, berbentuk persegi empat panjang. Bagian ini berfungsi sebagai tempat tinggal, yaitu tempat berlangsungnya aktifitas kehidupan rumah tangga sehari-hari. Suatu keunikan yang terdapat pada rumah adat Karampuang dan mungkin tidak dimiliki oleh rumah-rumah adat yang lain adalah, karena ale bola tidak memiliki pembatas antara petak yang satu dengan yang lainnya, kecuali pada petak kelima.

Bagian-bagian dalam pada rumah adat Karampuang disebut lontang (petak). Lontang satu dan lima dibuat dalam bentuk lebih tinggi (sekitar 30 cm) daripada petak tengah, yakni petak dua, tiga dan empat. Khusus pada lontang ke lima, terdapat bilik sebanyak empat kamar yang dihuni oleh Arung, Sanro dan Guru. Namun apabila ada anggota keluarga atau tamu yang lain, maka mereka dibebaskan mencari tempat di lontang bagian tengah untuk tidur atau untuk keperluan lainnya. Selain itu, pada rumah adat Karampuang tersebut tidak terdapat pembatas yang disebut dengan panampa’ yang berfungsi untuk menggantikan pattolo riawa, seperti pada umumnya rumah-rumah Bugis lainnya. Panampa’ justru berada dalam bagian rumah. Diletakkannya panampa dalam rumah, dimaksudkan agar proses sidang adat berfungsi sebagai sandaran to matoa.

Foto 2. Rumah adat Karampuang tampak dari depan

Seiring dengan berkembangnya agama Islam di daerah pegunungan beberapa tahun silam, maka saat itu pula bentuk atau arsitektur rumah adat Karampuang mulai mengalami perubahan dengan memasukkan unsur-unsur Islam. Secara historis, perubahan itu dapat ditelusuri dari bentuk awal rumah adatnya yang disebut dengan langkeang, yakni rumah adat

Page 7: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

393 PB

Pintu rumah (batu lappa) pada rumah adat Karampuang, terletak di lette atau lontang dua bagian dalam dan rata dengan lantai. Dengan demikian, ketika orang akan masuk, maka pintu harus ditolak ke atas, dan sebaliknya ketika akan keluar, pintu ditarik turun dengan tali yang sudah terpasang (www.sinjaikab.go.id).

Adapun makna filosofis ditempatkannya pintu dan tangga pada bagian tengah rumah ini, adalah sebagai simbol dari alat reproduksi wanita. Pintu tersebut mempunyai pemberat yang terbuat dari batu bundar. Secara fungsional, batu tersebut berfungsi sebagai penyeimbang dari beban pintu pada saat akan dibuka sehingga pintu dapat dibuka penuh atau setengah. Secara simbolik, batu tersebut dimaknai sebagai bagian dari kemaluan wanita, yakni klitoris. Selanjutnya, di bagian depan pintu terdapat dua buah dapur sebagai makna sumber kehidupan. Dua buah dapur tersebut sebagai manifestasi simbolik dari buah dada perempuan. Logikanya, secara biologis buah dada perempuan merupakan sumber makanan yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak atau bayi, karena di situlah tempat makanan yang dibutuhkan untuk dapat tetap bertahan hidup (Manda, 2008:13-14).

Kedua, rakkeang atau boting langi. Seperti pada kebanyakan rumah-rumah Bugis lainnya, batas antara ale bola dengan rakkeang biasanya terdiri dari pattolo riase’ dan bare’. Namun untuk rumah adat Karampuang, fungsi pattolo riase’ digantikan oleh sameng yang sekaligus berfungsi sebagai lantai rakkeang. Sameng bagi komunitas Karampuang adalah sebagai kolong rumah dari rumah di boting langi atau rakkeang, befungsi sebagai tempat penyimpanan padi yang dilambangkan sebagai Sangianseri. Sementara itu, bare’ sebagai penguat tiang rumah digantikan oleh here’ yang juga dilahirkan dari makna-makna yang ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam, yakni arah barat atau kiblat. Jumlah bare’ sebanyak lima buah adalah simbol lima kali menghadap arah kiblat sehari semalam bagi umat Islam. Here’ sebagai salah satu bagian penting dari rumah adat Karampuang, memiliki makna yang sangat dalam bagi warga pendukungnya

sehingga dalam proses penentuan bahan, semua pemuka adat turut dilibatkan.

Ketiga, awa bola atau kolong rumah. Bagian rumah ini berlantai tanah dan tidak berdinding, berfungsi sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian, seperti rakkala, bingkung, palungeng (lesung) ataupun tempat istirahat atau berkumpul bagi warga komunitas Karampuang manakala akan menghadiri suatu hajatan atau upacara ritual dalam rumah adat.

Demikian, maka secara umum dapat dikatakan, bahwa walaupun bentuk rumah penduduk komunitas Karampuang relatif sama dengan rumah tradisional lainnya, yakni berbentuk rumah panggung, namun beberapa bagian yang ada di rumah adat Karampuang tidak ada atau tidak diikuti oleh anggota komunitas adat tersebut. Sebagai contoh, penempatan tangga dan pintu pada rumah anggota komunitas adat Karampuang tidak mengikuti rumah adat mereka. Bentuk dan posisi pintu rumah anggota komunitas adat Karampuang sama saja dengan rumah-rumah Bugis pada umumnya.

c. Struktur dan Konstruksi

Dalam pengkonstruksian rumah bagi komunitas adat Karampuang, tiang rumah mendapat perhatian yang serius dari uragi (ahli pembuat rumah). Pemilihan bahan tersebut menjadi sangat penting mengingat adanya pandangan tradisional pada pasu atau pusar kayu yang memiliki makna tertentu. Penjelasan dari makna keberadaan pasu itu adalah apabila terdapat pasu yang terletak pada tiang depan dan araseng, serta di antarai lubang, disebut pasu garutu, maka pemiliknya selalu terkena musibah. Pasu yang lain adalah pasu sobbu, yakni pasu yang terletak antara tiang yang mempunyai bekas pasu yang menyembunyikan kulit yang menyebabkan pemiliknya sering terkena musibah kematian. Namun demikian tidak semua keberadaan pasu memilki makna tidak baik, karena ada pula pasu yang diyakini membawa berkah tersendiri bagi pemiliknya, seperti tada’, yakni pasu yang berada pada tiang baris ketiga yang menghadap keluar. Keberadaan

Makna Simbolik Arsitektur ... Ansaar

Page 8: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

394 PB

pasu ini dipercaya dapat memberi energi kepada gadis-gadis penghuni rumah cepat mendapatkan jodoh. Meskipun kepercayaan ini lahir sebelum adanya pengaruh Islam, namun umunya masih diyakini oleh komunitas adat Karampuang yang telah menganut agama Islam (Manda, 2008:13-14).

Struktur rangka pada rumah adat Karampuang terdiri dari 30 tiang yang merupakan pemaknaan dari kitab suci agama Islam, yakni Al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz. Keseluruhan tiang tersebut berdiri membujur dari arah timur ke barat. Satu baris tiang terdiri atas enam batang ke belakang yang merupakan makna dari rukun iman. Selanjutnya terbentuk lima petak membanjar yang dimaknai sebagai rukun Islam.

Tipologi rumah panggung tentu saja memilki batas antara awa bola dengan ale bola yang terdiri dari aliri dan pattolo riawa serta araseng. Namun pada rumah adat Karampuang tidak ditemukan adanya pattolo riawa dan pattolo riase. Lantai rumah berbahan salima (belahan-belahan bambu) dimaknai sebagai tulang rusuk. Pada araseng inilah diletakkan bambu-bambu membentang dari arah utara ke selatan yang disebut dengan tunebbe. Selanjutnya belahan-belahan bambu tersebut diikat dengan tampeng (sejenis rotan) yang membujur dari timur dan barat dan dimulai dari selatan ke utara. Dalam kepercayaan masyarakat adat Karampuang, tampeng disimbolkan sebagai urat nadi manusia. Untuk itu ikatan tampeng tersebut sama sekali tidak diperkenankan paku sebagai gantinya. Dalam proses pembuatan lantai, para pekerja harus berhati-hati untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh adat, seperti maggarutu, yakni apabila dua pasu bertemu serta ikatan tampeng menghadap ke atas. Untuk menguatkan lantai yang hanya terbuat dari belahan-belahan bambu, maka lantai tersebut dibuat menjadi dua belas bidang yang memiliki makna dua belas Gallareng yang dibentuk oleh saudara-saudara Manurungnge ri Karampuang yang meninggalkan Karampuang untuk menjadi raja di tempat lain. Kedua belas bidang ini di antarai

dengan padongko sebagai penguat. Selain itu, makna lain dari dua belas bidang lantai ini adalah keterbukaan menerima tamu dari mana saja.

Batas antara ale bola dengan rakkeang biasanya terdiri dari pattolo riase’ dan bare’ seperti pada kebanyakan rumah-rumah panggung Bugis lainnya. Pada rumah adat Karampuang, fungsi dari pattolo riase’ digantikan oleh sameng yang sekaligus berfungsi sebagai lantai rakkeang. Sameng bagi komunitas Karampuang adalah sebagai kolong rumah dari rumah di boting langi’ di samping juga sebagai tempat menyimpan padi yang dilambangkan sebagai Sangianseri. Sementara itu, bare’ sebagai penguat tiang rumah digantikan oleh here’ yang juga dilahirkan dari makna-makna yang ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam, yakni arah barat atau kiblat. Jumlah bare atau here sebanyak lima buah, adalah simbol lima kali menghadap arah kiblat sehari semalam bagi umat Islam.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka secara umum dapat digambarkan bahwa, struktur bangunan rumah adat Karampuang (seperti halnya bangunan rumah-rumah Bugis pada umumnya) adalah juga terdiri dari lima bagian yang dibuat dengan cara lepas pasang, yaitu: a) rangka utama (tiang dan balok), b) konstruksi atap, c) konstruksi lantai, d) konstruksi dinding, dan e) tangga. Jika dilihat dari segi fungsinya, kelima bagian tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu kategori elemen struktural dan kategori elemen non struktural. Elemen struktural adalah “rangka utama” yang mendukung berdirinya bangunan rumah, terdiri dari tiang-tiang vertikal (aliri) dan balok-balok induk horizontal (here’, sameng dan araseng). Sedang elemen non struktural adalah elemen ‘pembungkus’ bangunan (seperti atap, lantai dan dinding) dan perlengkapan bangunan yakni tangga untuk naik rumah.

Aliri berfungsi memikul semua beban dari balok induk dan menyalurkannya langsung ke dalam rumah. Sedang balok here’, araseng dan sameng berfungsi mengikat baris aliri dalam arah membanjar ke belakang maupun melintang ke samping dan menerima beban horizontal dan

Page 9: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

395 PB

vertikal lalu mendistribusikannya ke baris-baris aliri. Hubungan antara aliri dan balok-balok induk diselesaikan dengan cara tradisional, yakni dengan cara lubang dan pasak serta ikatan tali hitam yang terbuat dari serat enau. Setiap tiang vertikal (aliri), pada ujung atasnya dibuat lubang setengah lingkaran (dikao) agar dudukan here’ menjadi kuat. Dengan demikian, pemasangan here’ dalam hal ini tidak dilakukan dengan melubang tiang balok lalu memasukkan ke dalamnya, melainkan hanya meletakkannya pada ujung atas tiang vertikal yang telah diberi dudukan sesuai ukuran balok (here’). Satu lubang pada bagian atas tiang (dibawa dudukan here’) adalah untuk sameng yang sekaligus juga berfungsi sebagai dudukan lantai rakkeyang. Sementara itu, satu lubang lainnya pada bagian tengah setiap tiang adalah untuk araseng sebagai dudukan lantai rumah yang terbuat dari belahan-belahan bambu. Melalui lubang-lubang itu, balok-balok induk (araseng) menembus baris tiang (aliri) dalam arah membanjar dari depan ke belakang. Agar hubungan tiang (aliri) dengan balok induk menjadi lebih kaku, maka pada bagian petemuannya diberi pasak. Ini akan menjadi faktor penentu kemampuan struktur bangunan rumah dapat menahan beban balok horizontal (balok-balok induk).

Atap pada bangunan rumah adat Karampuang berbentuk prisma dan bersusun dua memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah. Atap tersebut menggunakan rumbiah, dimana pada puncak bagian atasnya dipasang belahan bambu sebagai penutup pada pertemuan kedua sisi atap bagian atas. Pada bagian depan atap terdapat timpa laja (penutup bubungan) dalam bentuk bersusun tiga yang memberi identitas tentang status sosial pemiliknya. Selain itu, di puncak bubungan rumah juga terdapat hilua (tali hitam yang terbuat dari bahan serat enau yang dililitkan pada sepotong balok) yang disimbolkan sebagai rambut wanita. Begitupun di sisi kiri dan kanan rumah, tepatnya di bawah atap, terdapat bate-bate (semacam aksesoris perempuan) yang memberikan nilai estetis pada rumah adat, namun

tetap memiliki makna trasformatifnya dari tubuh perempuan yang dimaknai sebagai anting-anting bagi wanita.

Selanjutnya, tangga pada rumah adat Karampuang jika dilihat dari posisi penempatannya, berbeda dengan rumah-rumah Bugis pada umumnya yang tangganya kebanyakan ditempatkan di bagian depan atau samping. Pada rumah adat Karampuang, tangga ditempatkan di bagian tengah rumah, atau tepatnya pada petak (lontang dua) bagian dalam dan ujung atasnya rata dengan lantai. Jumlah tangganya hanya satu, sehingga akses untuk keluarpun harus tetap melewati tangga yang sama. Penempatan tangga di tengah-tengah rumah adat tersebut adalah simbol kemaluan wanita, “pintu bunga mawar” tempat orang pertama kali keluar dari rahim ibu.

Pada ujung bagian atas tangga terdapat pintu yang disebut batu lappa’, dan pintu tersebut rata dengan lantai. Oleh karena posisinya rata dengan lantai, maka pada saat orang akan masuk pintu harus ditolak ke atas. Begitupun ketika akan keluar, maka pintu ditarik dengan tali yang telah terpasang. Pintu tersebut mempunyai pemberat yang terbuat dari batu bundar sebagai penyeimbang dari beban pintu pada saat akan dibuka. Pintu dapat dibuka penuh atau setengah. Secara simbolik batu tersebut dimaknai sebagai bagian dari kemaluan perempuan yaitu klitoris

Makna Simbolik dalam Arsitektur Tradisional Rumah Adat Karampuang.

Arsitektur rumah adat Karampuang sebagai salah satu unsur kebudayaan daerah, di samping memiliki ciri fisik yang menonjol bila dibanding dengan rumah-rumah penduduk pada umumnya, juga memiliki berbagai simbol budaya yang mengandung makna tertentu. Untuk menggambarkan secara jelas mengenai hal tersebut, di bawah ini akan dikemukakan:

a. Makna simbol yang terkait pada rumah adat.

Bagi komunitas adat Karampuang, rumah adat yang mereka miliki bersama disimbolkan

Makna Simbolik Arsitektur ... Ansaar

Page 10: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

396 PB

sebagai istana. Sebagai simbol istana, rumah adat itu juga memiliki makna sosial yang sangat penting, karena selain menjadi tempat pemusatan aktifitas perayaan adat, juga digunakan untuk keperluan yang sifatnya ritual atau keagamaan, termasuk yang sifatnya ritual keislaman, seperti pattang lombo, yakni berbuka puasa di bulan Ramadan yang dilaksanakan sekali.

b. Makna simbol yang terkait pada arah rumah

Seiring dengan berkembangnya agama Islam di wilayah Karampuang beberapa waktu yang lampau, menjadikan arsitektur rumah adat Karampuang mengalami perubahan dengan memasukkan unsur-unsur Islam. Salah satu perubahan yang terjadi itu dapat dilihat pada bangunan rumah adatnya yang arahnya sudah dikaitkan dengan unsur simbol Islam (arah kiblat). Bagi komunitas adat Karampuang, penempatan rumah adat mereka dengan posisi menghadap arah barat (kiblat) bukanlah sesuatu tanpa makna, karena dalam falsafah hidup mereka, arah barat (kiblat) adalah simbol kehidupan akhirat (agama). Ini mempunyai makna bahwa segala prosesi ritual atau yang berkaitan dengan hari akhirat yang akan diselenggarakan warga, harus terlebih dahulu direncanakan di rumah adat. Dengan demikian warga yang terlibat di dalam kegiatan ritual yang diselenggarakan dalam rumah adat, secara tidak langsung diingatkan agar senantiasa tetap mengingat atau mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, menjauhi segala larangannya dan percaya akan adanya hari akhirat.

c. Makna simbol yang terkait pada rangka bangunan.

Tiang sebagai suatu komponen utama bangunan rumah adat Karampuang adalah merupakan lambang atau simbol religi yang paling sedikitnya mengandung dua makna budaya menurut pengetahuan tradisional masyarakat setempat. Pertama, apabila terdapat pasu yang terletak pada tiang depan dan araseng serta diantarai lubang yang disebut dengan pasu

garuttu, maka pemiliknya akan selalu terkena musibah. Pasu yang lain adalah pasu sobbu, yakni pasu yang terletak antara tiang yang mempunyai bekas pasu yang menyembunyikan kulit, dapat menyebabkan pemiliknya sering terkena musibah kematian. Kedua, selain keberadaan pasu yang memiliki makna tidak baik, ada pula pasu yang diyakini membawa berkah tersendiri bagi pemiliknya, seperti tada, yakni pasu yang berada pada tiang baris ketiga yang menghadap keluar. Keberadaan pasu ini diyakini dapat memberi energi kepada gadis-gadis penghuni rumah cepat mendapatkan jodoh.

Pemaknaan simbol lainnya (simbol agama) pada tiang rumah dapat pula diuraikan berdasarkan jumlah tiang yang dimilikinya. Pada bangunan rumah adat Karampuang, jumlah tiang (aliri) yang digunakan ada sebanyak 30 buah. Jumlah tersebut adalah merupakan simbol keagamaan yang mengandung makna, bahwa kitab suci agama Islam, yakni Alqur’an terdiri dari 30 juz. Tiang-tiang tersebut dipasang membujur dari arah timur ke barat, satu baris tiang tediri dari enam batang ke belakang yang merupakan makna dari rukun iman ada enam. Selanjutnya terbentuk lima petak membanjar dimaknai sebagai rukun Islam ada lima (foto.3)

.

Foto.3 Tampak beberapa tiang pada rumah adat Karampuang

Simbol keagamaan lainnya dapat pula dilihat pada salah satu tiang, yakni pada tiang tengah rumah atau yang dikenal dengan posi’ bola, dimana pada tiang tersebut telah diberi ukiran yang menyerupai kaligrafi serta balutan kain putih pada bagian atasnya. Makna simbolik yang dikandung pada ukiran atau yang disebut

Page 11: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

397 PB

dengan poto’ nabi tersebut, adalah bahwa dalam hidup bermasyarakat, termasuk dalam kehidupan berkeluarga, keteladanan atau kepemimpinan Nabi Muhammad SAW haruslah tetap senantiasa dijadikan contoh sehingga apapun yang dikerjakan akan mendapat berkah dan hasil yang baik. Sementara keberadaan kain putih yang melingkar pada bagian atas dari ukiran itu, bagi komunitas adat Karampuang adalah simbol kesucian atau keikhlasan yang mengandung makna bahwa dalam melakukan sesuatu pekerjaan, betapapun beratnya haruslah senantiasa dilandasi dengan niat atau hati yang suci dan ikhlas.

Adapun here sebagai penguat atau pengikat tiang rumah bagian atas, juga merupakan simbol keagamaan yang dilahirkan dari makna-makna yang ada kaitannya dengan nilai-nilai Islam, yakni arah barat atau kiblat. Jumlah here sebanyak lima buah, adalah simbol lima kali menghadap arah kiblat sehari semalam (melaksanakan shalat lima waktu bagi umat Islam). Dengan demikian, pengertian here dalam hal ini sama dengan barat, sedang barat adalah simbol arah kiblat bagi umat Islam (foto.4)

sesuai dengan kepercayaan petani setempat, bahwa sanghyangseri yang diibaratkan sebagai dewi padi tidak ubahnya dengan manusia biasa yang senang jika dihormati atau diperlakukan dengan baik. Karena itulah melalui pemujaan itu, diharapkan kiranya sanghyangseri sudi memberikan berkah dan rahmat kepada pemilik rumah agar senantiasa berada dalam kecukupan, khususnya dalam hal hasil panen padi yang dimilikinya.

Di samping itu, adanya pandangan hidup (kosmologi) bagi komunitas adat Karampuang yang membagi dunia ini menjadi tiga bagian atau tiga tingkatan, yakni boting langi, ale kawa, serta kolong rumah digambarkan sebagai paratiwi, maka keberadaan sameng sebagai kolong rumah di boting langi (rakkeyang) adalah merupakan simbol kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara tingkatan yang satu dengan yang lainnya. Simbol ini mempunyai makna, bahwa alam raya (dunia) ini terdiri dari tiga tingkatan yang harus dilihat secara utuh berdasarkan pandangan kosmologi, yakni boting langi untuk dunia atas (tempat bersemayamnya dewa patotoe), ale kawa untuk dunia tengah yang dihuni oleh manusia, serta paratiwi sebagai tingkatan terbawah, tempat bersemayamnya orang-orang yang telah tiada.

d. Makna simbolik yang terkait pada konstruksi penutup bangunan.

Atap, selain berfungsi sebagai pelindung atau penutup bangunan, juga kadangkala di dalamnya terkandung makna simbolik, terlebih jika dilihat dari segi bentuknya. Bagi komunitas adat Karampuang, bentuk atap bersusun dua serta penutup bubungan (timpa’ laja) bersusun tiga pada rumah adat mereka, adalah simbol status sosial yang mengandung makna, bahwa yang menempati rumah adat itu adalah golongan bangsawan (Arung) atau yang digelari “To Matua” (foto.5)

Foto.4 Tampak sebuah here sebagai pengikat tiang rumah bagian atas pada rumah adat

Karampuang.

Salah satu rangka utama pada bangunan rumah adat Karampuang yang juga memiliki makna simbolik adalah sameng. Sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, sameng merupakan simbol religi yang mempunyai makna sebagai tempat untuk mereflesikan pemujaan terhadap sanghyangseri. Hal ini

Makna Simbolik Arsitektur ... Ansaar

Page 12: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

398 PB

Foto. 5 Bentuk atap dan bubungan pada rumah adat Karampuang

Selain bentuk atapnya bersusun dua serta bubungannya yang bersusun tiga, tampilan lainnya yang juga dapat memberi pesan bahwa penghuninya adalah dari kalangan bangsawan (sebagai simbol status sosial), dapat dilihat pada puncak bubungannya, dimana pada bagian tersebut telah terpasang sebuah ragam hias yang terbuat dari kayu (menyerupai tanduk kerbau) yang disimbolkan sebagai mahkota (raja).

Pada bagian lainnya, tepatnya sisi kanan dan kiri atap bagian bawah, terdapat hiasan yang terbuat dari bahan kayu yang telah diukir, oleh komunitas adat Karampuang disimbolkan sebagai keindahan dari rumah adat dan dimaknai sebagai aksesoris atau anting wanita (foto.6)

ikatan yang disebut tampeng (sejenis rotan). Bagi komunits adat Karampuang, tampeng adalah juga merupakan simbol religi yang mengandung makna sebagai urat nadi manusia. Untuk menguatkan lantai yang terbuat dari belahan-belahan bambu itu, maka lantai dibuat menjadi dua belas bidang. Kedua belas bidang ini, oleh masyarakat adat Karampuang dipandang sebagai simbol kesatuan dari dua belas gellareng yang ada di Karampuang.

Pada rumah adat Karampuang, tangga ditempatkan di kolong rumah bagian tengah atau tepatnya pada lontang dua bagian dalam. Penempatan tangga pada posisi seperti ini dimaksudkan sebagai simbol dari alat reproduksi wanita, tempat orang pertama kali keluar dari rahim ibu. Pada ujung bagian atas tangga terdapat pintu sebagai tempat keluar masuk yang disebut batu lappa. Seperti halnya dengan penempatan tangga, penempatan pintu pada rumah adat Karampuang juga terletak di lette atau lontang dua bagian dalam dan rata dengan lantai rumah. Karena penempatan tangga dan pintu rumah saling terkait, maka posisi pintu rumah dalam hal ini juga merupakan simbol dari alat reproduksi wanita (foto.7a dan 7b).

Foto. 6 Hiasan dari kayu yang disimbolkan sebagai aksesoris (anting) bagi kaum

perempuan

Lantai pada rumah adat Karampuang berbahan salima (belahan-belahan bambu). Lantai seperti ini, bagi komunitas adat Karampuang adalah merupakan simbol religi yang dimaknai sebagai tulang rusuk manusia. Sementara itu, untuk memperkuat belahan-belahan bambu agar tidak terlepas dari penyangganya, maka diberi

Foto 7a. Tangga pada rumah adat Karampuang

Foto7 b. Pintu rumah adat Karampuang dalam posisi terangkat (terbuka) ke atas.

Page 13: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

399 PB

Pintu tersebut mempunyai pemberat yang terbuat dari batu bundar, dan secara fungsional batu tersebut sebagai penyeimbang dari beban pintu pada saat akan dibuka. Secara simbolik, batu tersebut dimaknai sebagai bagian dari kemaluan perempuan yakni klitoris (foto.8).

tetap bertahan hidup. Pandangan tersebut di atas sesuai dengan model dan falsafah yang dimiliki rumah adat Karampuang, dimana pembahasan yang ditampilkan lebih banyak simbol-simbol perempuan. Perlu dijelaskan bahwa banyaknya aspek dan simbol-simbol perempuan yang teraplikasi pada rumah adat tersebut, pada dasarnya tidak terlepas dari sejarah Karampuang dimana orang yang pertama membangun dan memakmurkan Karampuang adalah seorang perempuan. Penggunaan dan penempatan simbol-simbol terhadap bagian maupun ornamen rumah mewakili anatomi tubuh perempuan (www.academia.edu).

PENUTUP

Arsitektur tradisional rumah adat Karampuang sebagai salah satu unsur kebudayaan masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai, khususnya komunitas adat Karampuang, adalah merupakan perwujudan nilai-nilai yang dianut dan dipelihara untuk diwariskan ke generasi berikutnya.

Rumah adat Karampuang sebagai suatu karya arsitektur Bugis kuno, di samping memiliki ciri fisik yang menonjol bila dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk pada umumnya, pada beberapa bagiannya juga tercermin simbol-simbol budaya yang mengandung makna tertentu, seperti yang terlihat pada atap, bubungan, tiang serta penempatan tangga dan pintu.

Bagi komunitas adat Karampuang, keberadaan rumah adat yang disimbolkan sebagai istana itu, juga memiliki makna sosial yang sangat penting, karena tidak hanya dijadikan tempat pemusatan aktifitas perayaan adat, melainkan juga digunakan untuk keperluan yang sifatnya ritual atau keagamaan, termasuk yang sifatnya ritual keislaman, seperti pattang lombo, yakni berbuka puasa di bulan Ramadan yang dilaksanakan sekali.

Bila diperhatikan secara saksama, simbol-simbol budaya yang tercermin hampir pada setiap bagian dari rumah adat Karampuang, tampaknya lebih banyak mengarah pada simbol perempuan di samping simbol agama (Islam),

Foto. 8 Sebuah pemberat dari batu bundar sebagai penyeimbang beban pintu

Selanjutnya, di dekat pintu atau ujung tangga bagian atas, terdapat dapur sebanyak dua buah yang merupakan simbol kehidupan dalam rumah. Kedua buah dapur tersebut adalah sebagai menifestasi simbolik dari buah dada perempuan yang sekaligus mengandung makna, bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia, sebagaimana dapur adalah sumber kehidupan di rumah (foto.9).

Foto. 9 Tampak dua buah dapur yang terletak di dekat pintu

Sebagai simbol kehidupan, maka keberadaan dua buah dapur yang berdekatan dengan pintu rumah mengandung makna, bahwa secara biologis buah dada perempuan merupakan simbol makanan yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak, karena disitulah tempat makanan yang dibutuhkan untuk dapat

Makna Simbolik Arsitektur ... Ansaar

Page 14: MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI ...

400 PB

seperti yang terlihat pada penempatan tangga dan pintu rumah. Bagi komunitas adat Karampuang, penempatan tangga dan pintu rumah di tengah-tengah badan rumah pada rumah adat mereka, adalah merupakan simbol alat reproduksi wanita yang memiliki makna, bahwa di situlah tempat orang pertama kali keluar dari rahim ibu. Begitupun peralatan dapur yang berjumlah dua buah yang ditempatkan di dekat pintu bagian atas, adalah simbol kehidupan dalam rumah. Bagi mereka kedua buah dapur tersebut merupakan menifestasi simbolik dari buah dada perempuan yang sekaligus mengandung makna, bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia, sebagaimana dapur adalah sumber kehidupan di rumah.

Terkait dengan simbol agama, perwujudannya dapat pula dilihat, antara lain pada deretan tiang-tiang yang terpasang serta jumlah here (pengikat tiang rumah bagian atas) yang digunakan. Bagi komunitas adat Karampuang, tiang-tiang yang berjumlah 30 buah pada rumah adat mereka adalah simbol, bahwa Alquran terdiri atas 30 juz. Sedangkan here yang berjumlah 5 buah, adalah simbol lima kali menghadap arah kiblat sehari semalam (melaksanakan shalat bagi umat Islam).

Keberadaan simbol-simbol perempuan maupun simbol agama (Islam) pada beberapa bagian dari rumah adat Karampuang, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Karampuang dimana orang yang pertama membangun dan memakmurkan Karampuang adalah seorang perempuan (leluhur) yang dipadukan dengan ajaran agama Islam yang telah masuk di wilayah tersebut, di samping sebagai pengungkapan rasa estetika masyarakatnya yang diwujudan dalam bentuk visuaisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ambo Enre, Fachruddin, 2003. Budidaya Padi Berdasarkan Naskah La Galigo “La Galigo, Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia”. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Ansaar, dkk, 2010. Makna Simbolik Dalam Arsitektur Tradisional Rumah Adat Balla

Lompoa Di Kabupaten Gowa. Makassar: Naskah laporan hasil penelitian BPNB Makassar (tidak terbit).

Faisal, 2015. Arsitektur Tradisional Komunitas Adat Kajang. Makassar: Arus Timur

Faisal, 2008. Arsitektur Mandar Sulawesi Barat. Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film.

Hafid, Abdul, 2014. Sistem Kepemimpinan Tradisional Pada Komunitas Adat Karampuang di Kabupaten Sinjai, Jurnal Sejarah dan Budaya “Walasuji” Vol. 5 Nomor 1 Juni, Makassar: BPNB Makassar.

Koentjaraningrat, 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 2000. “Pengantar Ilmu Antropologi”, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kantor Pemerintahan Desa Tompobulu. Profil Desa Tompobulu 2012.

Manda, Darman, 2008. Komunitas Adat Karampuang. Makassar. Cetakan Pertama: UNM Makassar

Muhannis. 2004. Upacara Adat Mappogau Hanua: Tradisi Megalitik Dalam Kawasan Adat Karampuang Kabupaten Sinjai. Makassar: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bekerjasama dengan Unhas

Manda, Darman dan Ahmadin, 2005. Artikel Singkat Karampuang LSM-LAPAR Makassar. Naskah tidak terbit

Palemmui Shima, Nadji, 2006. Arsitektur Rumah Tradisional Bugis. Cetaka Pertama. Makasar: Badan Penerbit UNM.

Singarimbun, Masri, Irawati dan Sofian Efendi, 1982. Metode Penelitian Survei, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Salim, Agus, 2006. Teori dan Paradigma. Penelitian Sosial. Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.

www.sinjaikab.go.id Sejarah Ritual Karampuang “Sebuah Kajian House of Spirit”. Diakses tanggal 18 Oktober 2016

www.academia.edu “Aspek Gender Arsitektur Rumah adat Karampuang di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan”. Diakses tanggal 18 Oktober 2016.

WALASUJI Volume 7, No. 2, Desember 2016: 387—400