Top Banner
105 Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka MAKNA RUANG DALAM BUDAYA MASYARAKAT SIKKA Abstract: The essence of human existence depends on the environment and fellow humans. The activity of human life takes place in space and to show its existence human beings always create space, so that there is a process of human settlement in a certain place. The culture of settling in the people of East Nusa Tenggara creates certain patterned settlements. The phenomenon of living culture-based occurs in the Sikka community. Space philosophy emerged in the process of building houses and villages in the Sikka community. This paper presents the meaning of space in the culture of the settlements of the Sikka community. Research carried out with a qualitative paradigm, presented descriptively and associated with relevant literature. As a result, the culture settled and built the residence of the tribes within the village (Wisung-wagang), kampung, magical concepts (Lero and kala), and Amerta were closely related to the concepts and meaning of space according to the culture of the Sikka community. Keywords:space, culture, house, Sikka community Abstrak: Hakekat keberadaan manusia bergantung pada lingkungan dan sesama manusia. Aktivitas kehidupan manusia berlangsung dalam ruang dan untuk menunjukkan eksistensinya manusia selalu menciptakan ruang, sehingga terjadi proses bermukim manusia pada tempat tertentu. Budaya bermukim pada masyarakat Nusa Tenggara Timur menciptakan permukiman berpola tertentu. Fenomena bermukim berbasis budaya terjadi di kalangan masyarakat Sikka. Filosofi ruang muncul pada proses pembangunan rumah maupun kampung di kalangan masyarakat Sikka. Tulisan ini memaparkan makna ruang dalam budaya bermukim masyarakat Sikka. Penelitian dilakukan dengan paradigma kualitatif, disajikan secara deskriptif dan dikaitkan dengan pustaka yang relevan. Hasilnya, budaya bermukim dan membangun tempat kediaman suku-suku dalam kampung (Wisung-wagang), kampung, konsep magis (Lero dan kala), dan Amerta berkaitan erat dengan konsep dan makna ruang menurut budaya masyarakat Sikka Kata kunci; ruang, budaya, rumah, masyarakat Sikka PENDAHULUAN Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandira Jl. San Juan, Penfui Timur, Kupang - Nusa Tenggara Timur E-mail: [email protected] Hakekat keberadaan atau eksistensi kehidupan manusia sangat bergantung pada lingkungan dan sesamanya. Keinginan untuk terus menunjukan eksistensinya menyebabkan manusia selalu ingin menciptakan ruang hidup yang terus mempunyai hubungan erat dengan lingkungan dan sesamanya, sehingga terjadilah proses bermukim manusia pada suatu tempat. Rumah menjadi pilihan pribadi perorangan atau keluarga sebagai tempat tinggal, melakukan berbagai aktifitas pemikiran dan tingkah laku serta mengembangkan berbagai usaha untuk perbaikan derajad hidup manusia sebagai manusia (Budihardjo, 1990). Pengertian tradisional rumah merupakan tempat berlindung sedangkan pengertian moderen rumah dipergunakan untuk melayani berbagai kebutuhan dan bukan hanya melindungi manusia dari berbagai kebutuhan dan menyediakan ruang untuk berbagai kegiatan seperti memasak, makan, bekerja, rekreasi dan tidur. Rumah juga haruslah menyediakan lokasi yang menentukan jarak relatif ke sekolah, tempat kerja, tempat parkir, pedagang eceran, rumah sahabat dan lain sebagainya Pada kebudayaan tradisional, bentuk permukiman dihadapkan pada latar belakang pengaturan yang bersifat ritual, yang pada dasarnya bertujuan sebagai pengaturan tatanan secara harmoni. Menurut Putra (2005:5) terdapat dua sistem pengaturan utama pada konsep ruang tradisional, yaitu pengaturan geometrik yang dihubungkan dengan hal-hal bersifat ritual dan kosmologi. Pada konteks budaya terkait dengan ruang
12

Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

Mar 26, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

105

Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily: Makna Ruang

dalam Budaya Masyarakat Sikka

MAKNA RUANG DALAM BUDAYA MASYARAKAT SIKKA

Abstract: The essence of human existence depends on the environment and fellow humans. Theactivity of human life takes place in space and to show its existence human beings always createspace, so that there is a process of human settlement in a certain place. The culture of settling inthe people of East Nusa Tenggara creates certain patterned settlements. The phenomenon ofliving culture-based occurs in the Sikka community. Space philosophy emerged in the process ofbuilding houses and villages in the Sikka community. This paper presents the meaning of space inthe culture of the settlements of the Sikka community. Research carried out with a qualitativeparadigm, presented descriptively and associated with relevant literature. As a result, the culturesettled and built the residence of the tribes within the village (Wisung-wagang), kampung, magicalconcepts (Lero and kala), and Amerta were closely related to the concepts and meaning of spaceaccording to the culture of the Sikka community.

Keywords:space, culture, house, Sikka community

Abstrak: Hakekat keberadaan manusia bergantung pada lingkungan dan sesama manusia.Aktivitas kehidupan manusia berlangsung dalam ruang dan untuk menunjukkan eksistensinyamanusia selalu menciptakan ruang, sehingga terjadi proses bermukim manusia pada tempattertentu. Budaya bermukim pada masyarakat Nusa Tenggara Timur menciptakan permukimanberpola tertentu. Fenomena bermukim berbasis budaya terjadi di kalangan masyarakat Sikka.Filosofi ruang muncul pada proses pembangunan rumah maupun kampung di kalanganmasyarakat Sikka. Tulisan ini memaparkan makna ruang dalam budaya bermukim masyarakatSikka. Penelitian dilakukan dengan paradigma kualitatif, disajikan secara deskriptif dandikaitkan dengan pustaka yang relevan. Hasilnya, budaya bermukim dan membangun tempatkediaman suku-suku dalam kampung (Wisung-wagang), kampung, konsep magis (Lero dan kala),dan Amerta berkaitan erat dengan konsep dan makna ruang menurut budaya masyarakat Sikka

Kata kunci; ruang, budaya, rumah, masyarakat Sikka

PENDAHULUAN

Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. LilyProgram Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandira

Jl. San Juan, Penfui Timur, Kupang - Nusa Tenggara TimurE-mail: [email protected]

Hakekat keberadaan atau eksistensi kehidupanmanusia sangat bergantung pada lingkungan dansesamanya. Keinginan untuk terus menunjukaneksistensinya menyebabkan manusia selalu inginmenciptakan ruang hidup yang terus mempunyaihubungan erat dengan lingkungan dan sesamanya,sehingga terjadilah proses bermukim manusia padasuatu tempat. Rumah menjadi pilihan pribadiperorangan atau keluarga sebagai tempat tinggal,melakukan berbagai aktifitas pemikiran dan tingkahlaku serta mengembangkan berbagai usaha untukperbaikan derajad hidup manusia sebagai manusia(Budihardjo, 1990).

Pengertian tradisional rumah merupakan tempatberlindung sedangkan pengertian moderen rumahdipergunakan untuk melayani berbagai kebutuhan

dan bukan hanya melindungi manusia dari berbagaikebutuhan dan menyediakan ruang untuk berbagaikegiatan seperti memasak, makan, bekerja, rekreasidan tidur. Rumah juga haruslah menyediakan lokasiyang menentukan jarak relatif ke sekolah, tempatkerja, tempat parkir, pedagang eceran, rumahsahabat dan lain sebagainya

Pada kebudayaan tradisional, bentukpermukiman dihadapkan pada latar belakangpengaturan yang bersifat ritual, yang pada dasarnyabertujuan sebagai pengaturan tatanan secaraharmoni. Menurut Putra (2005:5) terdapat duasistem pengaturan utama pada konsep ruangtradisional, yaitu pengaturan geometrik yangdihubungkan dengan hal-hal bersifat ritual dankosmologi.

Pada konteks budaya terkait dengan ruang

Page 2: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

106

Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2018

permukiman, Sasongko (2005:89) menyatakanuntuk menjelaskan makna dari organisasi ruangdalam konteks tempat (place) dan ruang (space)harus dikaitkan dengan budaya. Budaya sifatnyaunik, antara satu tempat dengan tempat lain bisasangat berbeda maknanya. Terkait dengan budayadan ritual ditunjukkan sebagai peristiwa publik yangditampilkan pada tempat khusus (sacredplaces).Pada upacara ritual yang berkaitan dengan:kelahiran, puber, perkawinan, kematian, danberbagai peristiwa krusial lainnya sebagai perubahanatau transisi dalam kehidupan seseorang (Sasongko2005:90).

Rapoport dalam Wikantiyoso (1997:26)mengemukakan bahwa permukiman tradisionalmerupakan manifestasi dari nilai sosial budayamasyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosialbudaya penghuninya, yang dalam prosespenyusunannya menggunakan dasar norma– normatradisi. Lawson dalam Sasongko (2002:119)menambahkan bahwa beberapa norma– normatersebut mungkin murni dari kesepakatan warga,tetapi sebagian besar lainnya adalah dari kebutuhandan karakter masyarakatnya sendiri (sebelumperancangan disusun secara profesional),perancangan dan kreatifitas ruang lebih bersifatsosial dan vernakular serta terlihat lebihmemperhatikan aspek budaya.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Wikantiyoso(1997:26-29) juga menambahkan bahwapermukiman tradisional adalah aset kawasan yangdapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan.Identitas kawasan tersebut terbentuk dari polalingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitassosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas. Polatata ruang permukiman mengandung tiga elemen,yaitu ruang dengan elemen–elemen penyusunnya(bangunan dan ruang disekitarnya), tatanan (for-mation) yang mempunyai makna komposisi sertapattern atau model dari suatu komposisi.

Penelitian pendahulu tentang ruang dalamkonteks budaya etnis di Indonesia telah banyakdilakukan, antara lain: di kalangan etnis(masyarakat) Aceh (Meria Burhan et al. 2008),etnis Bali Aga (Ganesha et al. 2012), (Permana etal. 2010), dikalangan etnis Batak Mandailing

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian BudayaKebudayaan merupakan kata berimbuhan dari

kata dasar budaya. Budaya atau kebudayaanberasal dari Bahasa Sansekerta yaitu budayah, yangmerupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atauakal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitandengan budi dan akal manusia.(duniabaca.com).Dalam Bahasa Inggris, kebudayaan disebut denganculture yang berasal dari Bahasa Latin Colere, yangberarti mengolah atau mengerjakan. Dalam BahasaIndonesia culture sudah menjadi kata serapan yaitukultur. Kebudayaan sangat erat kaitannya denganmasyarakat. Melville J. Herskovits dan BronislawMalinowski mengemukakan bahwa segala sesuatuyang terdapat dalam masyarakat ditentukan olehkebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itusendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat segalaupaya yang dilakukan manusia untuk menemukandan penciptakan suatu inovasi merupakan prosesdan hasil dari budaya. Menurut Andreas Eppink,kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian

(Nuraini 2015), etnis Dawan di Timor (Purbadi2010), etnis Jawa di lingkungan Kraton Surakarta(Angelina & Wardani 2014), etnis Jawa di Kudus(Theresia 2013), etnis Jawa Osing (Suprijanto2002), etnis Jawa di Kotagede (Sumardiyanto etal. 2016), etnis Madura di Madura (Citrayati et al.2008), etnis Madura perantauan (Indeswari et al.2013), (Fathony et al. 2012), (Tulistyantoro 2005),etnis Sasak di Lombok (Pawitro 2011), etnis Sunda(Khairunnisa 2014) dan etnis Tolaki di Sulawesi(Ramadan 2018). Penelitian ini mengkaji maknaruang dalam konteks budaya etnis (masyarakat)Sikka di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Dalam kehidupan masyarakat di kabupatenSikka, ruang memiliki peran yang penting. Secarasepintas pada rumah adat masyarakat Sikka, ruangberhubungan dengan budaya yang dijalankan dalamperilaku masyarakat, perletakan ruang, dan wujudruannya. Untuk itu penelitian tentang makna ruangdalam budaya masyarakat Sikka merupakan halyang penting dan perlu dilakukakan agar dapatmengungkapkan hubungan ruang dan kebudayaantersebut.

Page 3: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

107

Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily: Makna Ruang

dalam Budaya Masyarakat Sikka

nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan sertakeseluruhan struktur-struktur sosial, religius, danlain-lain, tambahan lagi, segala penryataan intelektualdan artistik yng menjadi ciri khas suatu masyarakat(wikipedia.org). Sedangkan definisi dari Ki HajarDewantara, mengartikan kebudayaan sebagai buahbudi manusia yang merupakan perjuangan manusiaterhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman alam yangmerupakan bukti kejayaan hidup manusia untukmengatasi berbagai macam rintangan dan kesukarandalam hidup (fadila-hasnan93.blogspot.com).

Perwujudan dari kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagaimakhluk yang berbudaya, berupa perilaku danbenda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasisosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanyaditujukan untuk membantu manusia dalammelangsungkan kehidupan bermasyarakat. Jadi,kebudayaan merupakan suatu yang akanmemengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi ideatau gagasan yang terdapat dalam fikiran manusia,sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaanitu bersifat abstrak.

Namun, kebudayaan dapat dilihat dari perilakudan benda-benda yang bersifat nyata yang ada dilingkungan masyarakat sebagai wujud ciptaannyasebagai makhluk yang berbudaya. Setiapmasyarakat memiliki tujuh unsusr kebudayaan (cul-tural universal) yang dikemukan oleh C. Kluckhon,yaitu: 1) Sistem religius (homo religius) Merupakanproduk manusia sebagai makhluk homo religius.

Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran danperasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatandirinya terdapat kekutan lain yang Maha Besar.Karena itu, manusia takut sehingga menyembah-Nyadan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadiagama. 2) Sistem organisasi kemasyarakatn (homosocius) Merupakan produk manusia sebagai homosocius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemahnamun memiliki akal, maka disusunlah organisasikemasyarakatan di mana manusia bekerja samauntuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. 3)Sistem pengetahuan (homo sapiens) Merupakanproduk manusia sebagai homo sapiens.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran

sendiri maupun dari orang lain. 4) Sistem matapencaharian hidup dan sistem ekonomi (homoeconomicus) merupakan produk manusia sebagaihomo economicus, yaitu menjadikan tingkatkehidupan manusia secara umum terus meningkat.5) Sistem peralatan hidup dan teknologi (homofaber) merupakan produk manusia sebagai homofaber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdasdan dibantu dengan tangannya manusia dapatmembuat dan menggunakan alat, dengan alat-alatciptaannya itulah manusia dapat lebih mampumencukupi kebutuhannya. 6) Kesenian 7) Sistembahasa Kebudayaan adalah produk akal manusiadan merupakan anugerah Tuhan.

Dengan budaya manusia mampumengembangkan aktivitas dan kreativitasnya hinggapada tingkiat luar biasa. Budaya dapat diartikansebagai sistem nilai dan gagasan utama. MenurutKoentjaraningrat, 1990 dalam Mufid, 2014kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistemgagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalamrangka kehidupan mayarakat yang dijadikan milikdiri manusia dengan belajar. Dengan demikian,hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaankarena sangat sedikit tindakan manusia yangdilakukan melalui proses refleks, tanpa melaluiproses berfikir dan belajar. Sedangkan insting ataunaluri adalqh pembawaan yang bersifat universal,yang dimiliki oleh setiap manusia dan ada kesamaandalam performa sepert takut, sedih, tertawa,menangis dan lainnya tanpa dipelajari, dia adasecara universal tanpa memandang etnis dangeografis.

Menurut Van Peursen 1976 dalam Mufid, 2014,membicarakan kebudayaan sama denganmembicarakan manusia. Ini bermakna bahwaantara manusia dan budayanya tidak dapatdipisahkan. Dengan kata lain, jika membicarakantentang hakikag manusia, sama dengan denganmembicarakan hakikat budayanya. Manusia, akaldan budayanya adalah satu kesatuan yang tak dapatdipisahkan yang telah terintegrasi ke dalam sosokmanusia Kebudayaan menurut Taylor dalamSoekanto (1990), kebudayaan merupakankompleks yang mencakup pengetahuan,kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadatdan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia

Page 4: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

108

Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2018

Pengertian RumahRumah juga mempunyai hubungan yang bersifat

kualitatif antara penghuninya. Rumah yangmerupakan kebutuhan dasar manusia,perwujudannya ternyata berfungsi menurut “siapa”penghuninya, mengikuti teori jenjang kebutuhan(hiearachy of needs) yang dikemukakan olehMaslow dalam (Laurens, 2001) dan penelitian yangdilakukan oleh Soebroto (1983) dalam (Budihardjo,2009 ) sebagai berikut:

a. Jenjang yang pertama adalah kebutuhanfisiologis (physiological needs). Kebutuhan fisiologismerupakan kebutuhan yang paling dasar darimanusia agar ia dapat tetap hidup. Kebutuhan inimeliputi makanan, air, serta udara untukpernapasannya. Di samping itu secara sederhanaia juga sudah membutuhkan tempat atau ruanguntuk berlindung, istirahat dan tidur.

b. Begitu kebutuhan pada tingkat dasarterpenuhi maka kebutuhannya akan meningkatpada kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhanakan rasa aman (security and safety needs).Kebutuhan manusia akan rumah pada tingkat inibukan lagi sekedar ia bisa tidur, istirahat, tetapikekuatan serta daya lindung tersebut juga sudahdiperlukan. Sehingga kita akan merasa aman danterlindung bila berada di dalamnya. Termasuk dalam

hal ini adalah kebutuhan akan kekuatan konstruksi,bahan bangunan serta cara-cara pembangunannya.

c. Jenjang kebutuhan berikutnya adalahkebutuhan akan hubungan sosial (social needs).Pada tingkatan ini manusia membutuhkan pengakuanakan kepemilikannya dan ini berarti bahwa manusiamembutuhkan kontak sosial dalam lingkungannya.Dalam masalah rumah pada tingkat ini merekamembutuhkan lingkungan perumahan sebagai satukesatuan yang dapat ditemu kenali dengan adanyaaktivitas lingkungan, tata letak rumah, bentuk rumah,pola tata ruang, serta perlengkapan-perlengkapanlingkungan lainnya.

d. Kebutuhan penghargaan terhadap diri sendiri(selfestecm orego needs) merupakan jenjangkebutuhan berikutnya. Setiap manusiamembutuhkan pengakuan atas dirinya. Rumah,kemudian akan dibentuk berdasarkan adat sertabudaya masyarakatnya. Seseorang akan merasaperlu membutuhkan rumah yang bercorak laindengan umumnya dimiliki kelompoknya sesuaidengan status dan kedudukannya.

e. Jenjang kebutuhan yang tertinggi adalahkebutuhan akan aktualisasi diri (self actualizasineeds). Ini merupakan tingkat yang tertinggi darikebutuhan manusia. Rumah dituntut dapatmemberikan kepuasan pribadi yang menunjukkanstatus sosial, kekayaan, kekuasaan serta selerapenghuninya. Seseorang akan merasa terpuaskanapabila dapat memiliki rumah yang berpenampilanlebih atau berbeda. Aspek keindahan juga menjadikebutuhan yang akan memberikan kepuasankepada pemiliknya.

Kebutuhan hidup manusia tersebut padadasarnya merupakan hak asasi manusia, yang dalamkonteks relasi state-society menjadi kewajibannegara untuk menghormati, memajukan,mewujudkan, dan melindungi hak-hak tersebut.Secara filosofis, HAM adalah hak yang melekatpada manusia karena kodratnya sebagai manusia.Menurut Gunawan Setiardja (1993:75), hak yangmelekat pada kodrat manusia, artinya hak-hak itutidak lain dari aspek-aspek kodrat manusia ataukemanusiaan sendiri. Kemanusiaan setiap manusiaadalah suatu ide yang luhur dari Sang Pencipta yangmeghendaki supaya setiap orang berkembang dan

sebagai warga masyarakat, maka perubahankebudayaan adalah segala perubahan yangmencakup unsur-unsur tersebut.

Dalam konteks kebudayaan, bentukpenghormatan kepada mata air, pohon, gunung danhutan sebagai ruang yang diyakini sebagai tempatyang memiliki ’penjaga’ yang dimaknai memilikikekuatan gaib, ternyata dapat menciptakan caraberperilaku manusia yang tidak jauh dengan prinsipkonservasi. Karena dalam prinsip konservasi, yangdibutuhkan adalah rasa saling menghormati danmenjaga alam. Masyarakat cenderung akan berpikirulang jika melakukan kegiatan di tempat-tempatyang dianggap memiliki kekuatan atau ada’penjaga’. Mereka akan menjaga dan menghormatitempat-tempat tersebut. Meskipun bentuk daripenghormatan tersebut seringkali berupa ritual-ritual tertentu, namun dapat merubah sikapbijaksana untuk menjaga harmoni dengan alam.

Page 5: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

109

Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily: Makna Ruang

dalam Budaya Masyarakat Sikka

mencapai kesempurnaan sebagai manusia.

Dikaitkan dengan konsep HAM sebagaimanadijelaskan di atas, maka kebutuhan-kebutuhanmanusia yang pemenuhannya melalui atauberhubungan dengan keberadaan sebuah bangunangedung, adalah juga merupakan hak asasi manusia.Hak-hak tersebut meliputi hak milik atas bangunangedung, hak bertempat tinggal di bangunan gedung,hak menggunakan bangunan gedung untuk berbagaiaktivitas kemanusiaan baik yang bersifat individualmaupun kolektif, hak atas keselamatan dalampemanfaatan bangunan gedung, hak atas lingkunganhidup yang baik dan sehat di mana bangunan gedungberada, dan sebagainya, yang kesemuanya bermuarapada hak atas kesejahteraan.

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas,dapat disimpulkan bahwa ditetapkannya UUBangunan Gedung yang dimaksudkan untukmengatur penyelenggaraan bangunan gedung agarterwujud bangunan gedung yang fungsional, serasidan selaras dengan lingkungan, dan terjaminkeandalan teknisnya dari segi keselamatan,kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan, sertakepastian hukum, tidak lain ditujukan untuk padaakhirnya mewujudkan hak asasi manusiasebagaimana disebutkan atas. Kendatipun dalamkonteks penyelenggaraan bangunan gedung didalamnya ada hak asasi manusia yang sangat fun-damental, yaitu hak atas tempat tinggal demipencapaian tujuan kesejahteraannya, tetapi karenapencapaian tujuan tersebut tidak dapat dilepaskandari pembangunan sistem tata ruang, maka selainhak, di dalamnya juga terdapat berbagai kewajibanyang dibebankan kepada masyarakat agar terciptalingkungan yang bersih dan sehat. Di sinilah peranhukum tertulis, yaitu UU Bangunan Gedung danperaturan perundang-undangan lain yang berkaitanmenjadi penting untuk mengarahkan baik aktivitasnegara dan masyarakat dalam pencapaian tujuanpenyelenggaraan pembangunan gedung demiterciptanya kesejahteraan masyarakat.

Peraturan daerah sebagai salah satu bentukperaturan perundang-undangan tingkat lokal,pembentukannya harus memperhatikan kebutuhanmasyarakat (social need), kondisi masyarakat (so-cial condition), dan modal/kekayaan masyarakat

(social capital), agar tidak terjadi penolakan darimasyarakat, karena substansi peraturan daerah telahsesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan, kondisi,dan modal yang dimiliki masyarakat. Denganpenerimaan masyarakat ini maka peraturan daerahyang ditetapkan diharapkan mampu mengarahkanperilaku negara dan masyarakat dalampenyelenggaraan bangunan gedung.

Dalam konteks keilmuan hukum, persoalanpenerimaan masyarakat terhadap hukum yangditetapkan akan berkaitan dengan teori keberlakuankaidah hukum. Menurut Bruggink18, ada tiga faktoryang menjadi parameter sebuah produk hukumdapat berlaku secara baik, yakni mempunyai dasarkeberlakuan yuridis, sosiologis, dan filosofis.Keberlakuan yuridis atau normatif suatu peraturanatau kaidah, adalah ketika kaidah tersebut menjadibagian dari system peraturan perundang-undanganyang ada di suatu Negara, yang di dalam kaidah-kaidah hukum tersebut saling merujuk dan/ataumenunjuk kepada kaidah hukum yang lain. Sistemkaidah hukum yang demikian terdiri atas suatukeseluruhan hirarkhi kaidah hukum khusus yangbertumpu pada kaidah hukum umum.

Di dalamnya kaidah hukum khusus yang lebihrendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebihtinggi. Dengan demikian, dalam konteks peraturandaerah tentang bangunan gedung, keberlakuanyuridis atau normatifnya berarti bahwa penciptaansuatu peraturan daerah tentang bangunan gedungharus dipastikan agar bentuk dan substansiperaturan tersebut merupakan bagian dari sistempenyelenggaraan bangunan gedung yang telahditetapkan dalam UU Bangunan Gedung danperaturan pelaksanaannya di tingkat pusat. Dengandemikian, maka peraturan daerah yang mengaturpenyelenggaraan bangunan gedung akan menjadisub sistem dari keseluruhan hirarkhi kaidah hukumbangunan yang telah ditetapkan secara nasionalsebagai kaidah hukum umum.

Dapat dikatakan juga bahwa substansi produkhukum lokal merupakan derivasi dari kaidah hukumyang lebih tinggi. Dalam kerangka ini makapembentukan produk hukum lokal harusmemperhatikan beberapa hal, yaitu: (1) ruanglingkup kewenangan pemerintah daerah terkait

Page 6: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

110

Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2018

PEMBAHASAN

Budaya Membangun Rumah di KabupatenSikka

Rumah tinggal di Maumere menurut Paul Arndt,SVD dalam bukunya Hubungan KemasyarakatSikka Tahun 1963, bagian rumah di Maumere terdiridari dua bagian utama, tedang (serambi) dan une(ruangan dalam). Kedua bagian ini dibagi lagimenjadi beberapa bagian dengan dinding pelupuh.Di beberapa wilayah bagian ini berbeda-bea danmempunyai nama yang berbeda pula.

Di daerah Wolokoli pada umunya serambimempunyai tiga bagian: tedang, tedang gete danseka poar. Tedang adalah ruang tidur untuk laki-laki dewasa dan hamba-hamba lelaki; tedang geteadalah ruang tidur anak-anak perempuan dewasadan nenek (nenek yang sudah janda); sedangkanseka poar digunakan untuk beristirahat. Bagaindalam dibagi dalam dua ruangan yang besar, yangsatu disebut une gete yaitu ruang tidur untuk orang

Gambar 2. Tampak depan dan Samping Rumah adat diKabupaten Sikka. Sumber: Penulis 2017

Gambar 3. Pembagian Ruang dalam dan Tampak KonstruksiAtap bagian dalam. Sumber: Penulis 2017

dengan penyelenggaraan bangunan gedung; (2)bentuk, jenis, dan materi muatannya haruslah sejalandengan peraturan yang menjadi dasarnya; (3)prosedur pembuatannya sejalan dengan peraturanyang menjadi dasarnya; dan (4) substansiperaturannya tidak bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi dankepentingan umum.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian tentang makna ruang dalam budayamasyarakat sikka dilakukan dalam paradigmakualitatif dan disajikan secara deskriptif denganmengungkapkan penjelasan-penjelasan mengenaimakna ruang dalam kaitannya dengan budayamasyarakat Sikka serta kaitkan dengan pustakayang relevan. Pembahasan disajikan denganmengaitkan teori dengan budaya membangun rumahdan kampung pada masyarakat Sikka. Penjelasantentang makna ruang dikaji menurut beberapa tatacara yang berhubungan dengan adat istiadat yaknibudaya membangun, tempat kediaman suku-sukudalam kampung (Wisung-Wagang), kampung,konsep magis (Lero dan Kala), dan Amerta.Beberapa tata cara tersebut berkaitan erat dengankonsep ruang menurut masyarakat Sikka

Page 7: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

111

Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily: Makna Ruang

dalam Budaya Masyarakat Sikka

tua dan anak-anak yang masih kecil dan yang keduadisebut bilik kolor yaitu kamar tidur untuk kakek-nenek atau untuk perempuan dewasa.

Di daerah Nita anak-anak perempuan dewasaboleh tidur di kamar orang tua. Di antara keduakamar itu ada sebuah ruangan kosong yang dipakaiuntuk melahirkan anak atau membaringkan orangsakit atau keperluan semacam itu. Di samping ketigaruangan ini ada sebuah lorong dan diujung lorongtersebut ada kamar berukuran kecil untuk dipakaioleh kakek/nenek atau satu Keluarga lagi.

Di wilayah Barat Maumere terdapat rumah-rumah yang jauh lebih besar dan terdapat lebihbanyak kamar untuk tempat tinggal beberapakeluarga seperti anak laki-laki bersama dan istri dananak-anaknya dan didiami oleh lima keluarga; jadimemuat sampai lima puluh orang dalam satu rumah.Segala kepunyaan keluarga-keluarga terpisah,masing-masing mempunyai urusan rumah tangga danladang terpisah dari kepunyaan keluarga lainnya.

Rumah di Tana’Ai terdiri dari satu ruang yangbesar yang tidak dibagi-bagi. Pada umumnyamasing-masing orang mempunyai tempat tersendiriuntuk tidur dengan nama-nama seperti: une geteyaitu tempat tidur untuk orang tua, suku untuk kakekdan nenek, tepi untuk anak-anak. Anak-anakperempuan tidur bersama nenek (suku wiri), anaklaki-laki tidur bersama kakek (suku wana). Parahamba tinggal di luar rumah, di woga tedang

Tabel 1. Pembagian Ruang Berdasarkan Wisung

Tempat diam suku-suku dalam Kampung(Wisung-Wangang )

Di Tana’Ai tidak ada ‘wisung karenapengertian suku di Tana’Ai berbeda dengan diwilayah Barat. Kesatuan territorial di wilayahBarat yang lebih tinggi disebut ‘wisung, yangdinamakan ‘wisung wangang tempat diamsuku-suku dalam kampung. Nama wisung samadengan nama suku yang mendiaminya. Kadang-kadang sebuah ‘wisung hanya terdiri dari saturumah karena anggota suku sudah sangat sedikitatau karena ukuran rumah yang tidak dapatmenampung anggota suku yang ada.

Di daerah Nita setiap ‘wisung terdapat duarumah yang didirikan tidak berdampingan tapirumah yang satu berada dibelakang rumah utama(rumah ketua suku). Anggota-anggota suku yangtidak mendapat tempat dalam ‘wisung tinggaldalam perkampungan kecil diluar ‘wisung yangdisebut klo’ang, tetapi mereka tetap dihitungdalam ‘wisung mereka dalam kampung, hal inilahyang menjadi cikal bakal kampung-kampung barulainnya. Di daerah Uma Uta setiap ‘wisung terdiridari lima sampai enam rumah.

(serambi). Di rumah ini beberapa keluarga dapattinggal bersama,masing-masing mempunyailadangnya sendiri tetapi hasilnya kerap kalidikumpulkan dan digunakan bersama.

Page 8: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

112

Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2018

KampungPenghuni kampung merasa terikat dalam satu

kesatuan,terutama dalam situasi sulit dalam waktupeperangan dan kelaparan. Jika ada satu kampungmusuh datang menyerang, maka seluruh penghunikampung bersatu untuk melawan musuh bersama-sama. Selain itu mereka bersama-sama membuatpagar dan dinding mengelilingi kampung. Penyebabpeperangan biasanya adalah persoalantanah,pencurian,perampokan dan zinah. Padawaktu kekeringan dan kelaparan merekamengadakan perayan kurban bersama serta berdoamemohon pada Lero Wulan(g) Niang Tana danpara nitu. Dalam kesulitan pribadi orang dapatmeminta bantuan selain sanak saudara bantuandapat dimintakan pada orang-orang dalamkampung dengan perjanjian bahwa dalam situasiyang sama orang dapat mengembalikan bantuanyang sama atau yang lebih baik. Mengungsi kekampung lain atau mendirikan kampung yang barubiasanya disebabkan oleh pertikaian, peperangan,penyakit entah penyakit menular atau yang hanyaada dalam satu keluarga atau suku.

Setiap kampung mempunyai paling kurang duaorang pemimpin, tana pu’ang dan kokek. Karenatana puang itu orang yang pertama datang di tempatitu maka ia menjadikan seluruh tanah itu miliknyadan milik keluarganya. Rumah tana pu’ang lebihbesar dan lebih bagus dari rumah orang-orang lainterutama serambinya sangat luas karena disitulah iaharus menerima tamu-tamu dan di serambi diadakanpertemuan/perundingan yang penting. Pada umunyadi tempat ini disimpan harta milik suku yang paling

Lero (Konsep Magis pada bangunan)Lero adalah matahari, identik dengan Le Rha

Yunani, Rha Mesir, Le Roi Perancis, masyarakatLamaholot Flores Timur menyebutnya Lera, LioEnde = Leja, Palu’e = Era, Timor= Loro dalampengertian konsep “The Sun Culture” sejak Mesir,Lautan Tengah hingga Pasifik.

Agastya Sikka Kroese tersembunyi dalamlegenda Mo’an(g) –Umin(g) Blon (g) Mata Merakatau Etnis Lio Mbengu dengan Ame Kumi Meradan etnis lain dari Ende, Nagekeo hingga bajawaNgada menyebutnya dengan Ame Kumi Toro.Tokoh ini dilegendakan oleh Sang Tua Berjanggut

Gambar 3. Elemen Uhe Pahong dan Uhe Pelat ornamenukiran kayu pada ambang atas dan ambang bawah pinturumah adat Sumber: Penulis 2017

Kampung Nita yang lama berbentuk bujursangkar atau setengah lingkaran. Memungkinkanuntuk bentuk sebuah perahu. Di Nita terdapatSepuluh Wisung. Diujung atas sebelah barat terletak“Wisung Ulun” (ulu berarti atas, bagian atas,kepala, ujung atas) yang didiami oleh keturunanLolo Jong, kuat bao (pohon beringin). Suku initerbagi atas dua tingkat, satu tingkat lebih tinggi danmulia, sedangkan tingkat yang satu lebih rendahyang dinamakan une dan tedang, bagian dalamrumah dan serambi:suatu pembagian berdasarkannilai sembilan wisung yang lainnya (dapat dilihatpada tabel).

tua seperti: gading yang besar, perhiasan emas yangberbentuk keping/sabit yang melambangkanmatahari dan bulan; yang berbentuk bulan sabitdinamakan wulan(g) nitan dan keping dinamakangebe.

Page 9: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

113

Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily: Makna Ruang

dalam Budaya Masyarakat Sikka

Kala (konsep Magis pada bangunan)Sejenis binatang yang dikenal dalamn mitologi

Jawa Hindu. Dalam arkeologi binatang inidigambarkan sangat seram, bermata bundar besar,mulut menganga sehingga terlihat taringnyamenonjol. Kala ditempatkan ditengah bingkai ataspintu candi: nama singkatan dari Kalajengkingberacun. Penggambaran Kala selalu dilengkapiMakra berupa buaya-kambing (KIAI-P3BDepdikbud hal 40-41).

Di samping Bhairawa atau Kalaruda adalah namalain bagi Dewa Ciwa dalam bentuk dasyat, marahmenakutkan. Rumah adat Sikka Krowe lepoorin(g) mengenal binatang magis sakral, rupanyasama seram, dianggap totem pelindung, penyelamatdari marabahaya. Rupa relief ini diukirkan padasetiap jenjang pintu masuk rumah yang disebut uhepahong. Reptil semacam kala ini berupa nipa,naga, teke yakni ular, naga, cecak tokek, tiga rep-tile totemisme yang bersimbolkan reptile penjagasetiap rumah tangga demi kebahaian dankesejahteraan penghuni: Lepo naha sareng, woganaha kelang.

Bila mitologi Hindu mengenal tiga konsep duniapada candi, maka konsep ini pun mirip dengankonsep rumah tradisional di Flores pada umumnya,yakni baghian atap: Orin(g) buwung; adalah tempatroh-roh; orin(g) lewun (g) adalah bagian bawahtempat roh jahat.

Di bagian tengah: orin(g) tebon(g) tempat batupersembahan: watu mahang atau watu blapurpada sudut kanan untuk persembahan: tung-piyongdan menempatkan persembahan: piong pare tewoktua kepada ina nian(g) Tana Wawa-Ama LeroWulan Reta dan roh-roh para leluhur. Dijaga ketattiga reptil sangat seram nipa naga teke dan duaserangga sengat beracun kalaweti dan karangbetir.Sebuah Jawa Hinduisme yang tidak meragukansecara komparatif.

Selanjutnya, doa leluhur Rae Raja Rubang Sina

AmertaAmerta merupakan “Air peghidup”yaitu air yang

dapat membuat peminumnya tidak dapat meninggal.Dalam mitologi agama Hindu cerita mengenaiamerta ini dapat ditemukan dalamSamudramanthana (KIA-p3B Depdikbud hal.4)

Dalam kitab Adiparwa diceritakan asal-usul airamerta. Dewa Ciwa mengutus Dewa Wisnu untukmencari air kehidupan di dasar SamudraKsiranarwa. Untuk mendapatkan air amerta itu,Dewa wisnu menggunakan gunung untuk mengaduklaut (ksiranarwa) sedangkan adalah naga yangmelingkar gunung. Para Dewa mengaduk lauttersebut dengan gunung yang dilingkari naga, ekordipegang Dewa Wisnu dan kepakla dipegang dewalainnya. Setelah diaduk-aduk maka didapatkan airamerta. Para Dewa meminumair amerta tersebutsehingga para dewa hidupnya abadi.

Air Amerta dalam bahasa Sikka Krowe danKrowe Tana ‘Ai disebut: wair-moret. Maknanyasama, yakni tidak meninggal tetapi hidup abadi.Bahasa Latin, ab-mortus, sinonim dengan a-mertasangskerta= tidak meninggal.

Ab-mortus dan amerta tidak berlawanan artidengan moret Sikka Krowe yang artinya hidup.Konsep tidak meninggal/hidup abadi dapatditafsirkan bahwa kata moret Sikka Krowe inikehilangan vocal awal “a” sebagai sebuahpergeseran vokal dalam bahasa. Tetapi ia sebuahdenotatip sekaligus konotatif yang sama dalamfonologi.

Hikayat Kerajaan Sikka Krowe, tahun 1600menceritakan leluhur Ina Gete Ama Gahar(pemimpin tertingi) Mo’ang Alesu selain memahamiair kehidupan, beliau berusaha mencari tana moretdimana tidak ada kematian sampai ke negeri

yang berasalkan Benggala menyebutkan istanamereka sebagai balai di negeri Cina: blapu Sina,elok dan indah sementara tangganya berasalkanJawa bertingkat delapan: dang Jawa Taur Waluadalah sebuah deskripsi asal-usul yang jelas bahasadan budayanya, masih survival dalam masyarakatSikka Krowe. Terutama ia harus dijagai denganmagis oleh Kalaweti dan Karangbetir yang identikdengan Kalarudra Hinduisme itu, baik denotativemaupun konotif dalam upaya komparatif ini.

Panjang bermata merah, dihormati, ditakuti anak-anak, disegani karena berani dan bijak laksana guru,sebuah identifikasi Hinduisme dalam bahasa danbudaya Sikka Krowe, Ende Lio dan Ngadabernuansa pendidikan.

Page 10: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

114

Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2018

Kalawati dan Karangbetir Sikka Krowe, ukiranrelief semacam ini banyak terdapat di seluruh NusaNipa, rumah-rumah adat Flores, terutama di EndeLio dengan: nindi kala dan di Bajawa Ngadadengan: wunu kara. Fonem pergeseran vokal dankonsonan Kalaweti, Karangbetir, nindi kala danwunu kara jelas sangat merujuk dan identik ,kala-makara Jawa Hindu diatas. Terlebih Klarudra,nama lain Ciwa yang dahsyat menakutkan identikdan sama sinonim dengan konsep Kalaweti danKarangbetir dalam doa magis Sikka Krowe.

Sementara konsep Uhe Sina Dang Jawa SikkaKrowe ini adalah sebuah lambing simbolismegemerlapnya candi-candi Siam Cina dan ukiranpada pintu dan tangga masuk candi Jawa Hinduyang sangat indah penuh magis.

KESIMPULANPenjelasan mengenai makna ruang dalam budayamasyarakat Sikka disimpulkan sebagai berikut :

1. Kebudayaan merupakan suatu yang akanmemengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi ideatau gagasan yang terdapat dalam fikiran manusia,sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaanitu bersifat abstrak. Namun, kebudayaan dapatdilihat dari perilaku dan benda-benda yang bersifatnyata yang ada di lingkungan masyarakat sebagaiwujud ciptaannya sebagai makhluk yangberbudaya.

2. Kearifan lokal masyarakat di KabupatenSikka dipandang sebagai upaya pengelolaan alamsemesta dalam menciptakan ruang baik berwujudrumah maupun kampung yang dapat dikembangkanmenjadi konsep pengembangan rumah dan ruangdalam konteks yang lebih luas.

3. Budaya membangun Lepo Gete, denganmempertahankan filosofi ruang dalam adat budayaSikka adalah kegiatan kebudayaan yang digelarsebagai bentuk penghormatan terhadap sangpencipta dan menjaga harmoni antara manusia danalam.

Saran :1. Kebudayaan sebagai hasil karya yang

diperoleh melalui proses belajar harus terusdilestarikan dalam rangka mendekatkan hubungan

Malaka. Worila, Raja Malaka menyuruh iamemeluk agama Serani, karena surga itulahtempatnya tidak ada kematian. Bandingkan denganbunga morteus “mitos” negeri Barat tentangkhasiatnya menyembuhkan dan meluputkan seorangsakit dari kematian. Sebuah mitos, folkore darihikayat tentang keinginan mencari keabadianmengglobal semenjak pra sejarah dari Barat hinggake dunia Timur.

Page 11: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

115

Donatus Ara Kian, Robertus M. Rayawulan, Yuliana Mberu, Budhi B. Lily: Makna Ruang

dalam Budaya Masyarakat Sikka

manusia dan alam.

2. Berbagai kearifan lokal dalam bentuk ritualHarus terus digalakan sebagai upaya konservasiguna pencegahan terhadap kerusakan lingkungan.

3. Budaya membangun Lepo Gete yang tetapmemperhatikan aspek ruang pada masyarakat Sikkamerupakan kegiatan kebudayaan yang terusdilestarikan guna menjaga harmoni ruang antaramanusia dan alam semesta.

PUSTAKAAlexander.H.2004. Panduan Perancangan

Peraturan daerah di Indonesia.Jakarta. PTXSYS Solusindo.

Angelina, P.J. & Wardani, L.K., 2014. MaknaRuang Ritual dan Upacara pada Interior KeratonSurakarta. Jurnal Intra.

Arndt.P.Hubungan Kemasyarakatan di WilayahSikka (Flores Tengah Bagian Timur) SeriEtnologi Candratya No.3. Maumere.PuslitCandraditya

Budiharjo, E. 1990. Arsitektur Kota di Indone-sia. Bandung. Alumni

Burggink.1966. Refleksi tentang Hukum.Bandung: Citra Aditya.

Citrayati, N., Antariksa & Titisari, E.Y., 2008.Permukiman Masyarakat Petani Garam Di DesaPinggir Papas, Kabupaten Sumenep. ArsitekturE-Journal, 1(1), pp.1–14.

E.P Da Gomes, Oskar Pareira Mandalangi, 2003,Don Thomas Peletak Dasar SikkaMembangun, Yayasan Pendidikan Thomas.

Fathony, B., Mulyadi, L. & Sukowiyono, G., 2012.Konsep Spasial Permukiman Suku Maduradi Gunung Buring Malang; Studi Kasus DesaNgingit. Dalam Temu Ilmiah IPLBI 2012.Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan, pp. 61–64.

Ganesha, W., Antariksa & Wardhani, D.K., 2012.Pola Ruang Permukiman Dan Rumah TradisionalBali Aga Banjar Dauh Pura Tigawasa. Arsitekture-Journal, 5(2), pp.60–73.

Indeswari, A., Widjil, G. & Dwi, L., 2013. PolaRuang Bersama pada Permukiman MaduraMedalungan di Dusun Baran Randugading.

Jurnal RUAS, 11(1), pp.37–46.

Khairunnisa, M., 2014. Kosmologi Ruang AdatSebagai Identitas Permukiman Kampung Naga,Tasikmalaya-Jawa Barat. Jurnal Teknik, 35(1),pp.49–55.

M. Mandalangi Pareira, 2003, Adat Istiadat SikkaKrowe di Kabupaten Sikka, YayasanPendidikan Thomas.

Meria Burhan, I., Antariksa & Meidiana, C., 2008.Pola Tata Ruang Permukiman TradisionalGampong Lubuk Sukon, Kabupaten AcehBesar. Arsitektur E-Journal, 1(3), pp.172–189.

Nuraini, C., 2015. Posisi Teori Bincar-Bonomdalam Konsep Dasar elemen-elemenPembentuk Permukiman (Cut Nuraini). JurnalArsitektur NALARs, 14(2), pp.97–106.

Pawitro, U., 2011. Prinsip-Prinsip “Kearifan Lokal”Dan Kemandirian “Berhuni” Pada ArsitekturRumah Tinggal “Suku Sasak” Di Lombok Barat.In Simposium Nasional RAPI X FT UMS.Surakarta: Universitas MuhammadiyahSurakarta, pp. 1–9.

Permana, M., Basuki, E. & Sari, N., 2010.Perubahan Pola Ruang Tradisional Desa AdatTenganan Pegringsingan , Karangasem – Bali.Arsitektur e-journal, 3(November 2010),pp.75–90.

Purbadi, Y.D., 2010. Tata Suku dan Tata Spasialpada Arsitektur Permukiman Suku Dawandi Desa Kaenbaun di Pulau Timor. Disertasi,Universitas Gadjah Mada.

Ramadan, S., 2018. Interpretasi Kalosara DalamRumah Adat Tolaki. NALARs JurnalArsitektur, 17(2), pp.145–154. Available at:https://jurnal.umj.ac.id/index.php/nalars/article/view/2673/2207.

Rapoport, A. 1993. Development, Culture,Change and Supportive Design. USA: Uni-versity of Wisconsin-Milwaukee

Setiardja.G.1993. Hak-Hak asasi manusiaberdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta:Kanisius.

Sumardiyanto, S., Antariksa, A. & Salura, P., 2016.

Page 12: Makna Ruang dalam Budaya Masyarakat Sikka

116

Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2018

Makna Ruang Publik Pada Rumah TradisionalMasyarakat Jawa Kasus Studi: Desa JagalanKotagede Yogyakarta. Jurnal ArsitekturNALARs, 15(1), pp.1–12.

Suprijanto, I., 2002. Rumah Tradisional Osing?:Konsep Ruang Dan Bentuk Teori Ruang PadaRumah Tradisional Jawa. Dimensi TeknikArsitektur, 30(1), pp.10–20.

Theresia, J., 2013. Studi Tata Ruang Dalam RumahAdat Kudus. Jurnal Intra.

Tulistyantoro, L., 2005. Makna Ruang Pada TaneanLanjang di Madura. Dimensi Interior, 3(2),pp.137–152.

Wijoyo, S. 1999. Karakteristik Hukum AcaraPeradilan Administrasi. Surabaya: AirlanggaUniversity.