Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial
Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial
BAB IPENDAHULUANLatar Belakang"Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama?.Itulah orang yang menghardik anak yatim.dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang shalat.(yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.orang-orang yang berbuat riya.dan enggan (menolong
dengan) barang berguna." (QS. Al-Maun: 1-7)Ayat di atas
merupakanbasis ideologi perjuanganMuhammadiyah yang memberikan
landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhuafa) dan kaum teraniaya
(mustadhafin). Semangat Al-Maun merupakan dasar pijakan dalam
pengembangan awal gerakan PRO-Penolong Kesengsaraan Oemoem dengan
tokoh Kyai Sudjak di awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912.
Penerjemahan tersebut disesuaikan dengan munculnya gagasan baru
tentang pembentukan masyarakat sipil atau masyarakat madani atau
masyarakat yang beradab. Masyarakat madani yang dimaksud dalam hal
ini adalah masyarakat yang terbuka dan bermartabat. Sayyid Quthb
(dalam Tafsir fi Zhilalil Quran Vol. 24) menjelaskan bahwa surat
pendek ini mampu memecahkan hakikat besar yang mendominasi
pengertian iman dan kufur secara total. Boleh jadi definisi iman
dan kufur di sini sangat berbeda bila dibandingkan definisi
tradisional. Karena kufur (mendustakan agama) di sini diartikan
sebagai menghardik anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin, ayat 2-3). Logika kufur muncul karena seharusnya saat
iman seorang sudah mantap di hati niscaya anak-anak yatim dan orang
miskin tentu tidak akan diterlantarkan. Rumusan MasalahRumusan
masalah yang dapat di tarik dari penjelasan latar belakang adalah
bagaimana sebenarnya makna Muhammadiah dalam gerakan sosial?Tujuan
Pembahasan Tujuan dari pembahasan ini adalah melakukan diskusi yang
di harapkan dapat menjelaskan dan memahami bagaimana makna
Muhammadiya dalam bidang sosial. BAB IITINJAUAN PUSTAKABerdirinya
organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah tidak terlepas dari
sumbangsih empat kuartet bersaudara. Mereka amat dihormati oleh
warga Muhammadiyah, dari sejak dulu hingga kini. Empat bersaudara
tersebut antara lain H Muhammad Sudjak, KH Fakhruddin, Ki Bagus
Hadikusuma, dan KH Zaini.Mereka merupakan generasi pertama gerakan
Muhammadiyah yang langsung di bawah bimbingan KH Ahmad Dahlan,
Bapak Muhammadiyah. Dan dari empat orang bersaudara itu, yang
paling tua adalah H Muh Sudjak. H Muhammad Sudjak terlahir di
Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1885/1303 H. Dia berasal dari
keluarga abdi dalem santri keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah H.
Hasyim yang menjabat sebagai seorang abdi dalem keraton Yogyakarta
pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.Dari sekian
banyak kader muda KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai pola pikir dan
perjuangan pragmatis dan bergerak di bidang sosial adalah Sudjak.
Sikap seperti itu merupakan hasil pendidikan yang diberikan KH
Ahmad Dahlan di mana dia senantiasa menekankan pentingnya aksi
(praktek amaliah) dari pada hanya sekedar beretorika. Dan Sudjak
dipandang sebagai tokoh yang pantas memimpin Bagian PKU
Muhammadiyah.Sebagai pemimpin Bagian PKU Muhammadiyah, Sudjak yakin
lembaga tersebut akan mampu membuktikan bahwa bangsa Indonesia,
khususnya Muhammadiyah dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin,
rumah anak yatim dan sebagai aksi sosialnya. Rencananya untuk
mendirikan beberapa amal sosial itu kemudian dipresentasikan saat
dilantik menjadi ketua Bagian PKU Muhammadiyah. Rencana Sudjak
terdengar sangat berlebihan untuk ukuran saat itu sehingga di depan
khalayak dia malah ditertawakan. Meski demikian dia tetap yakin
akan tekadnya.Dia berpegang pada realitas bahwa telah banyak orang
non-Muslim (Kolonial Belanda) yang dapat mendirikan rumah sakit,
rumah miskin dan rumah yatim hanya karena dorongan rasa kemanusiaan
tanpa didasari rasa tanggungjawab kepada Allah SWT. Jika umat
non-Muslim saja mampu melakukan aksi-aksi sosial, mengapa umat
Islam yang mempunyai landasan agama seperti yang tertera dalam QS
Al Maun, tidak dapat melakukannya.Lebih jauh dia berprinsip bahwa
jika Allah telah menetapkan ketentuannya di dalam Alquran, pasti
ketentuan itu dapat dilakukan umat-Nya, karena mustahil Allah
membuat ketentuan yang tidak dapat dilakukan kaum-Nya. Pada
perkembangannya kemudian, ternyata apa yang digagas Sudjak menjadi
kenyataan. Perlahan tapi pasti Muhammadiyah mampu mendirikan rumah
sakit di Yogyakarta serta mendirikan rumah miskin dan panti anak
yatim di mana-mana sebagai amal usaha-amal usaha andalan di bidang
sosial.Itulah sumbangan terbesar yang diberikan Sudjak dalam
merintis dan mengembangkan gerakan Muhammadiyah, khususnya di
bagian PKU. Sudjak pun dipandang sebagai inspirator dan perintis
utama aksi sosial dalam gerakan Muhammadiyah setelah KH Ahmad
Dahlan sendiri. Di lingkungan Muhammadiyah, meski belum pernah
menjabat sebagai ketua Muhammadiyah dan jabatan tertingginya hanya
sampai pada jabatan wakil ketua, tapi nama Sudjak cukup populer.
Hal ini karena dia dipandang sebagai salah seorang murid dan kader
langsung dari KH. Ahmad Dahlan.Bahkan pada sekitar tahun 1937
ketika terjadi gejolak di kalangan muda Muhammadiyah yang
menghendaki adanya regenerasi dia adalah salah satu di antara trio
angkatan tua bersama-sama dengan M. Mukhtar dan H. Hisyam yang
sangat populer. Dalam kongres Muhammadiyah yang ke-26 di Yogyakarta
pada tahun 1937, Sudjak tetap diberi kepercayaan untuk memimpin
Bagian (Majlis )PKU yang memang bidangnya. Setelah itu, Sudjak
tidak lagi duduk di dalam kepengurusan besar Muhammadiyah secara
fungsional. Namun, hingga masa akhir hayatnya pada tahun 1962, dia
dipercaya menjadi anggota penasehat PP
Muhammadiyah.BABIIIPEMBAHASANKetika pertama kali lahir tahun 1912,
Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang tidak
hanya terilhami oleh kenyataan tidak murninya praktik ajaran Islam
di tanah air. Di luar persoalan ini, sebenarnya Muhammadiyah juga
lahir karena terdapat kondisi sosial yang sangat timpang. Sekadar
menyebut contoh, praktik dualisme pendidikan, yakni pendidikan
Belanda yang sekular untuk kaum priyayi dan anak-anak Belanda, di
satu sisi, dan pendidikan pesantren yang sangat tradisional untuk
penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain, merupakan contoh
ketimpangan sosial yang terjadi itu.Tafsir sosial yang dilakukan
oleh Kiai Dahlan atas semua persoalan pada masanya sangat lugas.
Penerjemahan teks-teks Qurani ke dalam praksis sosial dilakukan
oleh Kiai Dahlan dengan sangat tangkas. Barangkali karena Kiai
Dahlan tidak banyak berteori, sehingga sementara pengamat
menggolongkannya sebagai man of action dan bukan man of thought.
Sampai batas-batas tertentu, ungkapan ini tentu benar. Tetapi
secara lebih mendasar apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan bukan
berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam terhadap kondisi yang
dihadapi. Refleksi kritis terhadap realitas sosial yang terjadi dan
kemudian mencarikan solusi yang tepat untuk mengentaskannya inilah
yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam ilmu sosial.
Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini banyak
diintrodusir, dianggap perlu dipertimbangkan sebagai sebuah
pendekatan baru dalam metode tafsir sosial
Muhammadiyah.Muhammadiyah memihak pada domain sosial yang sangat
luas. Penerjemahan teks-teks Quran menjadi praksis sosial yang
memihak merupakan sebuah ciri penting Muhammadiyah masa awal. tidak
seorangpun yang bisa membantah kenyataan bahwa Muhammadiyah lahir
dengan pemihakan yang luar biasa terhadap realitas sosial yang
terwujud dalam kemiskinan, ketertindasan, kurang atau rendahnya
pendidikan. Selama bertahun-tahun lamanya semangat ini menjadi
spirit utama gerakan Muhammadiyah, sehingga kehadiran Muhammadiyah
sebagai sebuah mesin yang mampu melakukan transformasi sosial
mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari berbagai kalangan.
Contoh transformasi itu, misalnya, terwujud dalam partisipasi
Muhammadiyah menciptakan kelas-kelas sosial baru yang mungkin tidak
akan pernah terwujud jika Muhammadiyah tidak hadir dengan
nilai-nilai barunya. Kuntowijoyo bahkan meyakini bahwa sulit
dibayangkan akan lahir kelas-kelas sosial baru dalam masyarakat
Indonesia, jika Muhammadiyah tidak hadir dengan menawarkan
modernisasi sistem pendidikan di Indonesia yang dualistik di atas.
Karena sistem pendidikan sebagaimana yang disebut di atas, justru
melanggengkan ketimpangan sosial.Kritik dan Kelemahan-kelemahan
terhadap Gerakan Sosial MuhammadiyahMuhammadiyah sering menuai
kritik sebagai gerakan sosial yang mulai terjangkit penyakit
elitisme. Perkembangan Muhammadiyah yang kian pesat dari hari ke
hari dalam banyak hal menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi,
termasuk orientasi gerakan sosialnya. Jika pada mulanya, amal usaha
Muhammadiyah, khususnya dalam bidang sosial lebih banyak berbicara
pada bidang-bidang sosial yang berorientasi voulentaire, kini
hampir bisa dipastikan bahwa seluruh amal usaha Muhammadiyah
berorientasi pada persoalan ekonomi dan sampai batas-batas tertentu
cenderung profit oriented. Hal itu tidak sepenuhnya salah, karena
sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah harus profesional, dan
profesionalitas itu antara lain harus diwujudkan dalam
bentuk-bentuk seperti itu, sedangkan pola-pola volunteerism tentu
memiliki potensi yang kontra produktif dengan kenyataan tersebut.
Tetapi hal itu sekaligus menimbulkan dilema: pada satu sisi
Muhammadiyah memang harus terus mengembangkan profesionalitasnya,
tetapi yang juga harus diingat adalah, jangan sampai
profesionalitas yang hendak dicapai itu melupakan fungsi-fungsi
sosial Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan.Secara
teologis konsep amar maruf nahi munkar yang menjadi ciri utama
Muhammadiyah, menurut Kuntowijoyo ternyata memiliki dinamika
internal untuk menimbulkan desakan terhadap adanya transformasi
sosial secara berkesinambungan. Amar maruf berarti humanisasi dan
emansipasi, sementara nahiy munkar berarti upaya untuk melakukan
liberalisasi. Dan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial
semestinya memiliki sifat seperti di atas. Tetapi sayang, dari
perspektif transformasi sosial, Muhammadiyah belum memiliki konsep
gerakan sosial yang jelas.Jika dikaitkan dengan teori gerakan, maka
Muhammadiyah cenderung berada pada posisi peripheral,tidak Kiri
tidak juga Kanan. Maka tidak ada salahnya jika Muhammadiyah
mengambil peran gerakan Kiri, bukan dalam bentuk, tetapi dalam
fungsi, untuk melakukan keberpihakan ulang terhadap kaum proletar
seperti pada masa-masa awal berdirinya organisasi ini. Secara umum,
Kiri diartikan sebagai kelompok yang cenderung radikal, sosialis,
anarkis, reformis, progresif atau liberal. Dengan kata lain, Kiri
selalu menginginkan kemajuan (progress) yang memberikan inspirasi
bagi keunggulan manusia atas takdir sosial yang dialaminya.
Kelemahan Muhammadiyah dalam bidang gerakan sosial lainnya adalah
pendasaran pembinaan sosial pada jenis kelamin dan usia yang pada
gilirannya menjadikan Muhammadiyah seolah-olah tidak peduli dengan
interest group, seperti petani, buruh, nelayan kalangan proletar
lainnya. Akibatnya, Muhammadiyah seolah-olah membiarkan warganya
yang menjadi buruh berbondong-bondong ke organisasi lain yang
dirasa lebih aspiratif dengan kepentingannya, seperti APSI, atau
petani yang ke HKTI dan sebagainya. Maka proletarisasi
Muhammadiyah, nampaknya merupakan suatu persoalan yang sangat urgen
untuk dilakukan dalam diri Muhammadiyah. Mau tidak mau harus
diakui, bahwa apapun yang dilakukan oleh Muhammadiyah kurang
menyentuh massa di kalangan grass root. Jika hal ini terus
berlanjut, maka sedikit demi sedikit Muhammadiyah akan mulai
kehilangan basis massa pendukungnya, khususnya dari kalangan kelas
menengah ke bawah. Kecuali jika Muhammadiyah memang sudah puas
dengan basis massa kalangan menengah ke atas yang saat ini
dimilikinya.Patut dicatat di sini, bahwa proletarisasi Muhammadiyah
dan adopsi peran gerakan Kiri yang dimaksudkan bukan untuk
membenturkan kelas menengah ke atas (kaum borjuis) dengan kelas
menengah ke bawah (kaum proletar), seperti halnya gerakan Kiri ala
Marxis, tetapi lebih sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi
paradigma gerakan sosial Muhammadiyah yang oleh Kuntowijoyo disebut
belum jelas. Dan lebih dari itu, proletarisasi Muhammadiyah dan
adopsi peran gerakan Kiri dimaksudkan untuk seperti kata Kazuo
Shimogaki melawan takdir sosial yang dialami oleh sebagian besar
umat Islam.Teori Sosial Kritis sebagai Metode Alternatifthe new
social movement. Proses berteologi yang selama ini lebih menganggap
teologi sebagai disiplin ilmu mestinya mulai dirubah menjadi
teologi sebagai sebuah gerakan, sehingga teologi merupakan kerja
pedagogis kemanusiaan yang bisa berwatak pembebasan. Bahwa
perubahan bukan hanya harus dilakukan oleh satu komunitas tertentu
saja, melainkan juga oleh lapisan sosial lainnya, sehingga
perubahan itu terjadi secara kolektif.Globalisasi, dalam konteks
ini penting dibicarakan supaya kita mengenal the New Social
Movement lebih baik lagi. Ada empat hal dalam globalisasi yang
memaksa kita mengkaji ulang semua, terutama berkaitan dengan apakah
kesadaran teologis kita hubungannya dengan bentuk praktis the New
Social Movement. Empat hal itu dapat dapat merubah tingkat
kesadaran intelektual orang yang menjadi arus luar biasa sekarang
ini, yaitu: capital on the move, media on the move; people on the
move, dan gagasan-gagasan revolusioner.Ketika globalisasi menjadi
dominan, mungkin tidak ada kekuatan lokal yang survive. Globalisasi
selalu mengandaikan adanya main village, padahal main village sudah
tidak ada, bahkan ethnicity mulai pudar.Nasionalisme kalah dengan
kapitalisme, kapital tidak mengenal nasionalisme dan bahkan tidak
mengenal agama, begitu pula dengan media. Meskipun pemilik media
adalah orang Islam, mialnya, bukan berarti akan terjadi Islamisasi
media, walaupun persoalannya orang Islam harus punya media. Apa
arti Muhammadiyah di tengah problematika yang semakin pelik ini,
ketika Nasionalisme-nasionalisme sudah mulai luntur? Maka
jawabannya ialah bagaimana menjadi subjek yang kritis dan kreatif
serta komitmen intelektual kita menjadi imajinatif dan lebih
kreatif. Tanpa imajinasi itu, tidak ada peran yang bisa kita
mainkan.BAB VIKESIMPULANBerjalan dari QS Al-Maun tersebut
Muhammadiyah sebagai organisasi islam menekankan untuk bergerak di
bidang sosial yang mana gerakan sosial Muhammadiyah ini di cetuskan
pertama kali oleh KH M Sudjak,dia adalah seorang murid langsung
dari KH Ahmad Dahlan. Pola pikir KH M Sudjak yang bergerak di
bidang sosial ini adalah hasil pendidikan yang diberikan KH Ahmad
Dahlan di mana dia senantiasa menekankan pentingnya aksi (praktek
amaliah) dari pada hanya sekedar berteorika.Tafsir sosial yang
dilakukan oleh Kiai Dahlan atas semua persoalan pada masanya sangat
lugas. Penerjemahan teks-teks Qurani ke dalam praksis sosial
dilakukan oleh Kiai Dahlan dengan sangat tangkas. Barangkali karena
Kiai Dahlan tidak banyak berteori, sehingga sementara pengamat
menggolongkannya sebagai man of action dan bukan man of thought.
Sampai batas-batas tertentu, ungkapan ini tentu benar. Tetapi
secara lebih mendasar apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan bukan
berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam terhadap kondisi yang
dihadapi. Refleksi kritis terhadap realitas sosial yang terjadi dan
kemudian mencarikan solusi yang tepat untuk mengentaskannya inilah
yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam ilmu sosial.
Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini banyak
diintrodusir, dianggap perlu dipertimbangkan sebagai sebuah
pendekatan baru dalam metode tafsir sosial Muhammadiyah.Akan tetapi
gerakan sosial Muhammadiyah ini masih benyak memiliki
kekurangan-kekurangan yang harus di benahi dan di kritisi agar
gerakan sosial Muhammadiyah ini berjalan dengan lebih baik sehingga
organisasi Muhammadiyah menjadi lebih besar dan lebih sempurna
dalam mengamalkan ajaran-ajaran yang telah di sampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Allah SWT
didalam Al-Quran-Nya.DAFTAR PUSTAKA Kuntowijoyo, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991, h. 338. Kazuo
Shimugaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah
Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1993, h. 6.
Kuntowijoyo, op. cit., h. 266.
http://lembagabencana.blogspot.com/2011/04/workshop.html
http://zulfiifani.wordpress.com/2010/02/12/seabad-muhammadiyah-dan-implementasi-al-ma%E2%80%99un/
http://sakha140887.multiply.com/journal/item/6
Pembahasan dan pembicaraan tentang gerakan Muhammadiyah dapat
dibaca, didengar dan dilihat dari berbagai literature atau melalui
pandangan para aktivis Muhammadiyah baik pada tingkat lokal maupun
nasional. Muhammadiyah dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 08
Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M
dengan tokoh utamanya KH. Ahmad Dalah.
[1] Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan telah merumuskan
visi dan misi[2] yang sudah jelas, sehingga dapat melahirkan
gerakkan yang terarah dan mencapai tujuan serta sasaran yang
diinginkan secara bersama. Sebagai sebuah gerakan, dalam
perjalanannya Muhammadiyah melaksanakan usaha dan kegiatannya dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat di Indonesia. [1] Muhammadiyah
sebagai sebuah persyarikatan telah merumuskan visi dan misi[2] yang
sudah jelas, sehingga dapat melahirkan gerakkan yang terarah dan
mencapai tujuan serta sasaran yang diinginkan secara bersama.
Sebagai sebuah gerakan, dalam perjalanannya Muhammadiyah
melaksanakan usaha dan kegiatannya dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat di Indonesia. Usaha dan kegiatan Muhammadiyah dapat
dikelompokkan ke dalam empat bidang, yakni: pertama,bidang
Keagamaan, yang meliputi memberikan tuntunan dan pedoman dalam
bidang aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah berdasarkan al-Quran dan
as-Sunnah, mendirikan masjid dan mushalla sebagai tempat sarana
ibadah, mencetak kader ulama (fuqaha), menelaah berbagai kajian
keislaman dan perkembangan umat Islam, memberi fatwa dan tuntunan
dalam bidang Keagamaan dan melakukan dakwah. Kedua,bidang
pendidikan, yang meliputi pendidikan yang beroerientasi kepada
perpaduan antara sistem pendidikan umum dan sistem pesantren.
Ketiga,bidang social kemasyarakatan, yang meliputi kegiatan dalam
bentuk amal usaha rumah sakit, rumah bersalin, poliklinik, balai
pengobatan, apotik, panti asuhan anak yatim, Keempat,bidang
partisipasi politik, di mana Muhammadiyah bukan partai dan
underbouw partai politik, akan tetapi sebagai partisipasi politik
Muhammadiyah dalam bentuk beramar maruf nahi mungkar dan memberikan
panduan etika, moral dan akhlakul karimah terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah dan masyarakat.[3]Dalam dunia
pendidikan, Muhammadiyah telah melakukan aktifitasnya dalam bentuk
mendirikan madrasah-madrasah dan pesantren dengan memasukkan
kurikulum pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan umum dan
modern, mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan kurikulum
keislaman dan kemuhammadiyahan. Lembaga pendidikan yang didirikan
di atas dikelola dalam bentuk amal usaha dengan penyelenggaranya
dibentuk sebuah majelis dengan nama Majelis Pendidikan Dasar dan
Menengah, secara vertikal mulai dari Pimpinan Pusat sampai ke
tingkat Pimpinan Cabang.[4]Pendirian pendidikan Muhammadiyah, Abdul
Muti mengungkapkan dengan pemikirannya bahwa pendidikan
Muhammadiyah didirikan dan dilandasi atas motivasi teologis bahwa
manusia akan mampu mencapai derajat keiamanan dan ketaqwaan yang
sempurna apabila mereka memiliki kedalaman ilmu pengetahuan.
Motivasi teologis inilah menurut Muti, yang mendorong KH. Ahmad
Dahlan menyelenggarakan pendidikan di emperan rumahnya dan
memberikan pelajaran agama ekstra kurikuler di OSVIA dan
kweekschoool.[5] Pada aspek yang berbeda, Muhammad Azhar melihat
pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah pada aspek
burhani yakni sebuah lembaga pendidikan lebih banyak melahirkan
output ketimbang outcome, aspek irfani yakni pendidikan
Muhammadiyah yang bercirikan rasionalitas dan
materialitas-birokratik, aspek bayani, yakni pendidikan
Muhammadiyah yang model pengajarannya menjadi terasa kering,
mengingat paradigma pergerakan Muhammadiyah yang
modernistik.[6]Majelis Dikdasmen yang diserahi tugas sebagai
penyelenggaran amal usaha di bidang pendidikan, dalam melaksanakan
program mengacu kepada Tanfidz Keputusan Muktamar, Tanfidz
Keputusan Musywil dan Tanfidz Keputusan Musda. Agar penyelenggaraan
pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mempunyai acuan dan aturan
yang jelas, Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah
mentanfidzkan Keputusan Rapat Kerja Nasional Majelis Pendidikan
Dasar dan Menengah Muhammadiyah seluruh Indonesia.Sebagai bagian
dari persyarikatan Muhammadiyah, Majelis Dikdasmen mempunyai tugas
pokok adalah menyelenggarakan, membina, mengawasi dan mengembangkan
penyelenggaraan amal usaha di bidang pendidikan dasar dan menengah.
Dalam melaksanakan tugas pokok di atas, majelis pendidikan dasar
dan menengah Muhammadiyah harus mengacu kepada visi, misi, asas dan
tujuan pendidikan Muhammadiyah.[7] Amal usaha pendidikan yang
dikelola dan diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen tersebut adalah
SD, MI, SMP, MTs, SMA, SMK, MA dan Pondok Pesantren.Hubungan
Muhammadiyah dan Parpol
Untuk memahami bagaimana sebenarnya hubungan Muhammadiyah dan
Partai Politik, kita tidak bisa hanya sekedar mengatakan bahwa
Muhammmadiyah adalah sebuah ormas sosial keagamaan yang tidak ada
hubungan sama sekali dengan parpol. Hal tersebut merupakan statemen
yang amat sederhana dan terlalu lugu. Untuk memahami bagaimana
sebenarnya sikap Muhammadiyah mengenai hubungan dirinya dengan
partai politik dan politik, kita perlu melakukan telaah
historis-empiris sepanjang perjalanan organisasi ini sejak
berdirinya tahun 1912 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut,
setidak-tidaknya terdapat empat masa dengan situasi politik yang
berbeda, yakni masa Demokrasi Liberal, masa Demokrasi Terpimpin,
Masa Orde Baru, dan Masa Reformasi. Pada masa Demokrasi Liberal
yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan
Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika
pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3
Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui
Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah
menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama
tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat 50 %
keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah. Dan selama
waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di
kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin,
Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur
kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit mengalami
dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan
Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang
Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan
peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal
serupa terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan
rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota
istimewa Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah
di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini
mengambang kembali, dan justru Sidang menyerahkan kepada PP
Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959 di
Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan voting.
Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari
keanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini
baru tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun
1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak
peristiwa yang bisa kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim
demokrasi yang kurang kondusif. Kepemimpinan nasional terpusat pada
presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan boneka
yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari presiden.
Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim
idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada
paruh pertama masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan
masyarakat (dimobilisasi untuk) mendukung kepemimpinan nasional,
dengan munculnya berbagai gelar untuk Soekarno, seperti Pemimpin
Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham Soekarnoisme. Hingga kini,
sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut
partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah,
Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung
terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak
melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada
paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana
hujatan pada sistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang
berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa
G.30/S/PKI. Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut.
Paradigma Pembangunan yang mengedepankan pembangunan ekonomi
daripada politik, berdampak pada penyederhanaan organisasi sosial
politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini
banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam
proses pembangunan. Sementara di sisi lain, menguatnya institusi
pemerintah yang diperkuat dengan (Partai) Golkar. Secara
kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan apapun dengan
partai politik pada masa ini. Namun dampak dari situasi politik ini
bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islam umumnya) adalah
tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai politik manapun.
Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalam mana
Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep
pembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang konsep
kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan
seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian
dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun
Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader Muhammadiyah yang
memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitik praktis,
dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI. Situasi
inilah yang kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah sebagai
tenda besar kultural yang diharapkan tetap menjaga jarak dengan
semua partai politik sekaligus melindungi para politisinya yang ada
di mana-mana. Memang situasi keterkungkungan politik ini ada juga
dampaknya secara organisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga
terhadap ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8
tahun 1985, terutama masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran
Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui Muktamar ke 41 di Surakarta.
Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama, Identitas dan Kedudukan,
dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah) beraqidah Islam
dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Sementara itu pada Bab II
Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini berasas
Pancasila. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih
tersisa sekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi sejak 1997,
sebenarnya tidak lepas dari peran Muhammadiyah. Pada era Reformasi,
Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang
signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk
mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi
pematangan dan implementasi gerakan amar makruf nahi munkar dalam
aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru.
Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim
Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar.
Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan
menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik.
Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau
bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak
ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah. Dalam
konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran politik
Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang disebut-sebut
sebagai high politik tadi. Beberapa isyu politik penting berhasil
diangkat, seperti demokratisasi, pemberantasan KKN, dan Keadilan.
Seluruh isyu tersebut memang merupakan mainstream Reformasi dan
sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai gerakan
reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat
kita lihat betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya
poros tengah dan mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999),
meskipun pada akhirnya langkah ini harus segera dikoreksi pada
pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan pemerintahan Megawati,
akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi ini semakin
menguat. Krena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004,
Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi
perubahan yang signifikan.Kontekstualisasi amar makruf nahi
munkarBanyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar
yang telah menjadi khittah Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan
untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan
sosial semata. Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah
pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran,
maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa, maka
hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah
dengan nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani
adalah selemah-lemahnya Iman. Sepanjang masa orde baru, jargon amar
makruf nahi munkar tersebut oleh para petinggi Muhammadiyah sering
hanya dibatasi pada level dakwah dan pendidikan. Untuk ini terdapat
beberapa alasan. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan
Pendidikan masih pada tahapan ekspansi secara kuantitas, sehingga
belum menyentuh aspek politik. Kedua, Iklim politik masa orba yang
kurang kondusif untuk mengemukakan gagasan-gagasan langsung yang
berkaitan dengan keputusan-keputusan politik apalagi misalnya
tentang isu suksesi. Ketiga, terkait dengan yang kedua, partai
politik tidak sepenuhnya dapat merepresentasikan gagasan rakyat.
Pada masa pascareformasi sekarang ini, tidak ada salahnya, bahkan
harus, bagi muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik, dengan
mempertegas komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih
tinggi, yakni kepemimpinan nasional. Mengapa ? Terdapat beberapa
argumen yang patut kita perhatikan. Pertama, menyimak hadits Nabi
di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar
makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarang
ini reformasi telah digulirkan, di antara jargonnya adalah
pemberantasan KKN. Dalam model kultur masyarakat Indonesia yang
paternalistik, hanya tauladan pucuk pimpinan nasional yang bisa
berpengaruh. Ibaratnya, bila sapu yang digunakan untuk membersihkan
KKN itu bersih, baru KKN bisa dihilangkan, akan tetapi jika sapunya
kotor, mana mungkin bisa membersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka
tidak ada jalan lain kecuali merebut kepemimpinan nasional, bila
ingin menyelamatkan reformasi. Kedua, Melihat perkembangan hasil
reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang belum
menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang
signifikan. Hal ini tentunya erta terkait dengan visi dan komitmen
presiden sebagai panutan rakyat. Dengan demikian misi amak makruf
nahi munkar tidaklah menjadi hilang, malah diberi pemaknaan sesuai
konteksnya.Dakwah Kultural Vs Politik Praktis ?Beberapa kalangan,
seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah) beberapa waktu ini sibuk melakukan kritik
terrhadap keputusan PP Muhammadiyah yang mendukung pencapresan
Amien Rais. Di antaranya adalah, mempertanyakan misi dakwah
kultural yang sudah diputuskan dalam sidang Tanwir di Bali beberapa
tahun lalu, mengapa harus diganti dengan orientasi politik praktis
sesaat ? Juga ada yang mempermasalahkan hubungan Muhammadiyah-PAN,
dengan menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan mengajukan capres
dan cawapres adalah partai politik, bukan ormas seperti
Muhammadiyah. Mengenai pertentangan atau dikotomi dakwah kultural
Vs Politik praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut. Ide dakwah
kultural sesungguhnya adalah suatu model dkwah yang dikembangkan
Muhammadiyah melalui aspek budaya, seperti budaya bersih, budaya
disiplin, budaya keadilan, budaya hemat, budaya jujur, budaya
rasional, budaya profesional, dan seterusnya. Dalam konteks
pembenahan Indonesia era reformasi ini, maka tentu saja
pemberantasan budaya KKN menjadi agenda penting bagi bangsa
Indonesia, juga Muhammadiyah. Inilah dakwah kultural, yang dalam
aspek politiknya mengandung implikasi ketauladanan, pergerakan, dan
mobililasi yang berujung pada kepemimpinan bangsa. Dalam konteks
ini, maka sesungguhnya tidak ada dikotomi dakwah kultural Vs
politik praktis, namun yang ada adalah strategi dakwah kultural
dengan pilihan pada sosok kepemimpinan yang bakal memberikan
tauladan.Beberapa Persoalan PentingUntuk lebih menghayati bagaimana
variabel-variabel penting yang perlu mendapatkan perhatian dan
sekaligus pemikiran kita, setidaknya ada tiga persoalan yang
menjadi bidang garap kita dalam waktu dekat ini.1. Membangun Visi
Indonesia BaruKepentingan politik Muhammadiyah dalam konteks
membangun masa depan Indonesia tidak lain adalah dengan memulai
tahapan yang telah menjadi cirikhasnya, yakni meneruskan reformasi
yang masih belum tuntas. Apa saja itu, dan apa relevansinya dengan
gerakan Muhammadiyah ? Membuka wacana hubungan gerakan Muhammadiyah
dan Reformasi tidaklah mudah, terutama bagi orang yang tidak
mengetahui asal usul gerakan ini. Terdapat beberapa karakteristik
yang menunjukkan persamaan antara gerakan Muhammadiyah dengan
reformasi. Pertama adalah sifat pemberontakannya terhadap tradisi
dan kemapanan. Muhammadiyah lahir tahun 1912 dengan maksud
memberikan pengajaran Igama (baca: agama) terutama bagi para
pelajar dan di lembaga persekolahan yang waktu itu merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh ummat
Islam. Penyelenggarakan pengajian dan pendidikan agama semacam itu
adalah di luar kebiasaan. Demikian juga reformasi 98, menunjukkan
pemberontakannya terhadap kemapanan orde baru yang telah
berlangsung 32 tahun. Isyu sentral yang terkristalisasi dalam
gerakan reformasi 98 ini antara lain soal demokratisasi dan
pemberantasan KKN. Isyu demokratisasi antara lain soal suksesi
kepemimpinan, pemilihan presiden secara langsung dan
disentralisasi. Dalam konteks ini maka sebetulnya kepentingan
Muhammadiyah dalam melanjutkan reformasi tidaklah perlu dicurigai,
karena memang ada kesamaan karakter.Apa yang sebenarnya diinginkan
Muhammadiyah dalam melanjutkan proses reformasi di tanah air ?
Apakah benar bahwa Muhammadiyah telah bergeser dari orientasi
dakwah dan pendidikan yang substantif ke arah pragmatis ? Kita
berikan beberapa bukti di antaranya : Pertama, Setelah Muhammadiyah
menggulirkan isyu Negara Federasi yang kemudian menjadi otonomi
daerah, justru yang menikmati adalah penguasa-penguasa daerah,
sementara muhammadiyah tidak mendapatkan keuntungan apapun. Pada
saat mengegolkan UU Sisdiknas, Muhammadiyah menjadi pelopor, namun
setelah UU itu jadi, banyak kalangan yang memanfaatkannya dengan
pendepatan kepada pemerintah tentang dana 20 % untuk pendidikan.
Demikian juga sekarang dengan pemilihan presiden secara langsung,
maka yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki anggota yang
secara kuantitas memenuhi, sementara Muhammadiyah justru pada
kualitasnya. Dengan demikian tidak benar bahwa gerakan politik
Muhammadiyah akhir-akhir ini hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi
justru untuk kepentingan bangsa jangka panjang.2. Visi Pemimpin
bangsa menurut Muhamma- diyah Bila kita lihat hasil-hasil keputusan
resmi Muhammadiyah seperti yang nampak dalam hasil Sidang Pleno
diperluas PP Muhammadiyah tanggal 10-12 Pebruari 2004, pemimpin
bangsa yang diharapkan adalah seorang dengan ciri-ciri :
a. Reformisb. Bebas dari KKNc. Mampu menyelenggarakan tata
pemerintahan dengan baikd. Memiliki visi kebangsaan yang luase.
Tegas dan berwibawa dalam membawa bangsa ke tengah pergaulan
internasionalf. Mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatg.
Menunjukkan kehidupan bangsa menuju ke masa depan yang baikBila
pada Pilihan Presiden tanggal 5 Juli 2004 Muhammadiyah menentukan
sikap untuk memunculkan kader terbaiknya Prof. Dr. H. Amien Rais
sebagai calon Presiden, maka ada beberapa catatan yang perlu kita
simak, yakni :a. Bahwa langkah tersebut diambil tentunya dalam
rangka kerja besar Muhammadiyah berupa amar makruf nahi munkar.
Dengan demikian alasan paling tepat untuk memunculkannya adalah
untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini.
Seorang Amien Rais yang telah berhasil mempelopori gerakan
reformasi sejak 1997, sudah sepantasnya diberi kesempatan untuk
melanjutkan langkah-langkah reformasi yang sudah mengalami
kemandegan selama empat tahun terakhir.b. Bilamana dalam pemilihan
presiden nanti Amien Rais berhasil menduduki sebagai orang nomor
satu dalam republik ini, Muhammadiyah tidak perlu terlalu
berbangga, namun justru tetap mendukung langkah-langkah yang
positif, dan menjadi yang pertama untuk mengingatkan bila terjadi
penyimpangan dalam pemerintahan. Jangan sampai terulang pengalaman
seperti pendukung Gus Dur yang membabi buta.c. Bila tidak berhasil
untuk menduduki jabatan Presiden, Muhammadiyah tidak perlu berkecil
hati. Apa yang sudah diupayakan hanyalah sebuah usaha dengan niat
yang baik. Muhammadiyah harus tetap konsisten sebagai gerakan amar
makruf nahi munkar, meski tidak bisa dengan tangan (kekuasaan),
masih ada jalan yang lain (dengan lisan atau wacana).