BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien baik sebagai alasan utama pasien berobat atau sebagai keluhan tambahan. Terapi utama dari nyeri idealnya adalah menyingkirkan penyebab nyeri. 1,2 Tetapi, seringkali hilangnya penyebab tersebut tidak menyebabkan nyeri serta merta hilang dan terkadang pada kasus-kasus tertentu, nyeri yang dirasakan sangat hebat sehingga bantuan terapi penghilang rasa nyeri menjadi penting. 1 Dari segi waktu berjalannya pernyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. 1 Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda yang juga membuat modalitas terapi untuk ekdua macam nyeri tersebut dibedakan. Khusus untuk bahasan kali ini akan ditekankan terutama pada nyeri kronik. Tatalaksana pada nyeri kronik sering kali menyulitkan baik bagi dokter maupun bagi pasien. 1 Penyebab nyeri seringkali sulit untuk ditemukan dan memakan banyak waktu bagi dokter dan secara emosional terasa sangat membebani. Biasanya, pendekatan medis secara biasa untuk mencari proses patologi utama tidak berhasil dan seringkali diperlukan penanganan secara multidisiplin termasuk penatalaksanaan dari aspek psikososial. 1,2 Masuknya modalitas psikososial ini karena kasus nyeri kronik memiliki gangguan dasar psikologis dan/atau gangguan psikologis tersebut 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nyeri merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien baik sebagai alasan utama pasien
berobat atau sebagai keluhan tambahan. Terapi utama dari nyeri idealnya adalah menyingkirkan
penyebab nyeri.1,2 Tetapi, seringkali hilangnya penyebab tersebut tidak menyebabkan nyeri serta
merta hilang dan terkadang pada kasus-kasus tertentu, nyeri yang dirasakan sangat hebat
sehingga bantuan terapi penghilang rasa nyeri menjadi penting.1
Dari segi waktu berjalannya pernyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua yaitu nyeri akut dan
nyeri kronik.1 Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda yang juga membuat modalitas
terapi untuk ekdua macam nyeri tersebut dibedakan. Khusus untuk bahasan kali ini akan
ditekankan terutama pada nyeri kronik.
Tatalaksana pada nyeri kronik sering kali menyulitkan baik bagi dokter maupun bagi pasien. 1
Penyebab nyeri seringkali sulit untuk ditemukan dan memakan banyak waktu bagi dokter dan
secara emosional terasa sangat membebani. Biasanya, pendekatan medis secara biasa untuk
mencari proses patologi utama tidak berhasil dan seringkali diperlukan penanganan secara
multidisiplin termasuk penatalaksanaan dari aspek psikososial.1,2 Masuknya modalitas
psikososial ini karena kasus nyeri kronik memiliki gangguan dasar psikologis dan/atau gangguan
psikologis tersebut muncul sekunder akibat frustasi pasien menghadapi penyakitnya dan turut
berperan dalam eksaserbasi penyakitnya.1-4
Salah satu penyebab nyeri kronik yang cukup sering adalah kelaian pada TMJ
(temporomandibular junction).1,3 Kira-kira 60-70% populasi umum mempunyai setidaknya satu
keluhan gangguan TMJ, namun hanya seperempat saja menyadari akan keluhannya itu.3 Lebih
jauh lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan sedikitnya satu gangguan tersebut yang
mencari pertolongan pengobatan ke dokter.3 Salah satu keluhan dari gangguan TMJ ini adalah
nyeri yang sifatnya kronik.3
Gangguan TMJ ini merupakan gangguan yang kompleks dengan banyak sekali faktor yang
saling terkait yang dimodulasi oleh faktor psikologis terutama stres, ansietas, dan depresi.3
1
Seperti disebutkan di atas, penanganan nyeri kronik seringkali menyulitkan baik bagi dokter
maupun pasien. Terapi yang tidak tepat akan menyebabkan gangguan yang lama dan menyita
banyak sekali waktu dan perhatian. Untuk pasien dengan TMJ, hal ini tentu sangat menganggu
dan akan memperparah keadaan penyakitnya. Oleh sebab itu, bagi seorang dokter dalam
penanganan nyeri kronik, gangguan TMJ harus masuk dalam kemungkinan diagnosis pasien
tersebut. Dengan demikian, diharapkan penanganan pada pasien tersebut dapat lebih cepat dan
dapat mengurangi beban pasien baik secara waktu, material, maupun emosional.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Memahami kelainan TMJ
b. Mengetahui sifat nyeri kronik pada gangguan TMJ sehingga dapat mendiagnosis gangguan
nyeri kronik pada TMJ
c. Mengetahui terapi yang efektif untuk gangguan TMJ
d. Mengetahui tatalaksana secara terpadu dan menyeluruh dalam penanganan kasus gangguan
TMJ
e. Mengetahui peranan dokter umum dalam tatalaksana penyakit TMJ
2
BAB 2
TEMPOROMANDIBULAR DISORDER
2.1. Anatomi Sendi Temporomandibular
TMJ atau sendi rahang adalah sendi yang menghubungkan temporal dan mandibula yang terdiri
dari:
1. Tulang mandibula dengan kondilusnya (ujung membulat)
2. Diskus yaitu jaringan penyambung antara kondilus dengan soketnya pada tulang temporal
3. Sistem neurovaskuler
Persendian ini di lapisi oleh lapisan tipis dari kartilago dan dipisahkan oleh diskus. Persendian
ini secara konstan terpakai saat makan, berbicara dan menelan.
Gambar 2.1: Potongan sagital sendi temporomandibuler. Ruang sendi atas dan bawah dalam
kondisi normal terkompresi. Pada gambar ini ruangan tersebut dilebarkan untuk memperlihatkan
aspek anteroposterior. Daerah posterior bilaminae mengandung fleksus vena.
3
2.2. Definisi dan Epidemiologi Gangguan Sendi Temporomandibular
Gangguan temporomandibular adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan yang
mengganggu sendi temporomandibular, otot pengunyah, dan struktur terkait yang
mengakibatkan gejala umum berupa nyeri dan keterbatasan membuka mulut.2 Biasanya pada
praktek umum (general practitioner) pasien dengan gangguan ini mengeluhkan gejala yang
eprsisten atau nyeri wajah yang kronik. Biasanya nyeri pada gangguan temporomandibular
disertai suara click pada sendi rahang dan keterbatasan membuka mulut.2
Sekitar 60-70% populasi umum mempunyai setidaknya satu gejala gangguan
temporomadibualr.2 Tetapi, hanya seperempatnya yang menyadari adanya gangguan tersebut.2
Lebih jauh lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan satu atau dua gejala gangguan
temporomandibular yang pergi ke dokter.2 Kelainan ini paling banyak dialami perempuan (1:4),
dan sering terjadi pada awal masa dewasa.2
2.3. Etiologi Gangguan Temporomandibular 5,6
Nyeri yang dirasakan pada persendian ini dapat dikarenakan oleh beberapa faktor seperti,
penggunaan yang berlebihan pada daerah yang bersangkutan, contohnya adalah pada individu
yang mempunyai kebiasaan buruk mengerat gigi (bruxism), sering menguap, mengunyah
cenderung pada satu sisi. Hal ini menyebabkan pemberian beban yang terus menerus pada daerah
persendian. Faktor lain yang terlibat adalah faktor maloklusi gigi terutama pertumbuhan gigi
geraham belakang yang tidak normal dapat menyebabkan desakan yang terus menerus serta
adanya kelainan anatomi rahang dapat berakibat menimbulkan rasa nyeri pada TMJ.
Penggunaan berlebih pada diskus dan ligament-ligamen yang berhubungan dengan TMJ dapat
menyebabkan fleksibilitas pada discus dan ligament tersebut menurun, dan bila tidak
ditanggulangi dan terus berlanjut akan menyebabkan inflamasi yang berakhir pada rupture discus
dan ligament yang akan menimbulkan sensasi nyeri pada individu. Selain terjadinya inflamasi
pada discus, dapat pula terjadi inflamasi dari otot akibat hiperfungsi dari system musculoskeletal
yang akan menimbulkan nyeri juga.
Sensasi nyeri juga dapat timbul oleh karena adanya iskemi lokal yang disebabkan karena
hiperfungsi dari kontraksi otot yang mengakibatkan mikrosirkulasi tidak adekuat. Hal ini akan
4
menyebabkan nutrisi pada jaringan akan berkurang sehingga menyebabkan iskemik pada
jaringan tersebut yang akan menimbulkan sensasi nyeri.
Persendian pada temperomandibular ini sama seperti persendian di daerah tubuh lainnya, dimana
dapat juga terjadi hal-hal seperti osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan jenis-jenis inflamasi
lainnya didaerah persendian ini yang akan menimbulkan sensasi nyeri juga. Osteoartritis adalah
kondisi dimana sendi terasa nyeri akibat inflamasi yang diakibatkan gesekan ujung-ujung tulang
penyusun sendi. Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis (RA) merupakan suatu penyakit
autoimun dengan karakteristik sinovitis erosif simetris sebagian besar pasien menunjukkan gejala
penyakit kronik hilang timbul dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan
persendian dan deformitas sendi progresif yang berakhir pada disabilitas.
2.4. Faktor Risiko Gangguan Temporomandibular7
Kelainan TMJ paling sering pada wanita dengan usia berkisar 30-50 tahun. Faktor resiko lain:
Jaw clenching
Teeth grinding (bruxism)
Rheumatoid arthritis
Fibromialgia
Trauma wajah dan rahang
Kelainan congenital pada tulang wajah
2.5. Jenis dan Gejala Gangguan Temporomandibular
Ada tiga gangguan tempotomandibular yang tesering, yaitu nyeri miofasial, internal2
dearrangement, dan osteoartrosis. 2 Nyeri miofasial adalah gangguan yang tersering ditemukan.2
Adapun gejala lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:5,6
Nyeri pada telinga
Kekakuan atau nyeri pada otot rahang
Nyeri pada daerah pipi
Bunyi pada rahang
Keterbatasan pergerakan pada rahang
Lock jaw
5
Nyeri kepala yang sering
Kekakuan pada otot wajah dan leher, daerah preaurikuler
Asimetris dari wajah
Maloklusi
Kronik postural head tilting
Gambar 2.2: Terdapat kasus dimana pasien ini mengalami kelainan TMJ. Pada titik A dan C
pasien mengalami kekakuan otot. Pada point B dan D pasien mengalami kelemahan otot dan
stretched out. 7
2.6. Diagnosis TMJ
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang seperti foto roentgen atau MRI
6
BAB 3
NYERI KRONIK PADA GANGGUAN TEMPOROMANDIBULAR
3.1. Nyeri Kronik
Nyeri merupakan salah satu gejala penting karena nyeri adalah gejala universal akan adanya
penyakit. Memahami gejala ini penting dalam mempertahankan fungsi tubuh dan mengurangi
penderitaan pasien. Terapi utama untuk nyeri adalah menghilangkan sumber penyakit yang
menyebabkannya. Tetapi untuk mencari penyebab ini seringkali su;it dilakukan terutama untuk
nyeri kronik. Oleh karena itu, terkadang diperlukan pendekatan lain yang sifatnya mengurangi
gejala nyeri tersebut.
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan terhadap suatu stimulus. Ketika nyeri dirasakan,
sensasi ini akan mencapai level serebrum melalui interaksi yang kompleks dan dinamik.
Mekanisme dimana stimulus dinilai sebagai nyeri ditentukan oleh berbagai macam faktor. Pusat-
pusat saraf level tinggi dapat menghambat atau menambah pesan stimulus secara keseluruhan
melalui aktivitas prilaku, kognitif, psikologis, biologis (misalnya hormon), atau farmakologis.
Saat stimulus dinilai sebagai suatu nyeri, respon pertama kali adalah mencari asal sensasi nyeri
untuk menghindar dari stimulus tersebut. Respon dari sensasi nyeri tersebut dapat berbagai
macam. Hal ini terjadi akibat adanya modulasi stimulus pada berbagai macam tingkat aktivitas
neuron dari perifer ke pusat. Oleh karenanya, persepsi terhadap suatu stimulus dapat berbeda.
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi peresepsi seseorang terhadap nyeri. Bukan hanya
faktor organik saja, faktor emosional dan lingkungan juga berpengaruh. Hal ini terkait modulasi
persepsi nyeri di tingkat serebrum. Stimulus yang muncul akan dimodulasi dan diproses melalui
berbagai tingkatan yang melibatkan berbagai level memori.
Teori gate-control, yang diperkenalkan oleh Melzak dan Wall pada tahun 1965, menyebutkan
bahwa pengalaman nyeri merupakan proses multidimensional dengan berbagai macam pengaruh.
Penjelasan yang diajukan akan adanya nyeri yang menetap setelah penyembuhan berkaitan
dengan perubahan (neuraoplastisitas) pada sistem saraf pusat. Sel saraf dikatakan mampu
mengubah struktur dan fungsi mereka terhadap respon terhadap rangsangan, yang akan berakibat
pada hubungan baru antara rangsangan dan respon. Sensitisasi ini tidak memerlukan masukan
7
perifer tetapi merupakan konsekuensi akan adanya perubahan dan sensitivitas dari neuron di
sumsum tulang belakang. Perubahan-perubahan tersebut meliputi:
1. Berkurangnya batas ambang stimulus, dengan akibat bahwa neuron tidak lagi memerlukan
stimulus hebat untuk diaktifkan.
2. Adanya perubahan pada pola sementara dari respon, maka akan jika ada stimulus yang
transien akan membangkitkan aktivitas yang hebat.
3. Adanya peningkatan secara umum dari daya respon neuron motorik, akan membuat stimulus
yang hebat akan menghasilkan efek lebih besar lagi.
4. Adanya ekspansi lapang reseptor, akan berakibat pada respon akan terjadi pada area yang
lebih luas.
Manifestasi klinis akan adanya perubahan-perubahan ini meliputi hiperalgesia (peningkatan
respon pada stimulus yang secara normal menyakitkan); allodynia (nyeri terhadap stimulus yang
secara normal tidak menimbulkan nyeri); dan nyeri spontan, menjalar, dan merujuk.
Interaksi antara sistem saraf somatis dan simpatis memiliki peran dalam nyeri kronik dan diduga
menjadi penyebab dari banyak namun bukan semua kasus gejala nyeri kompleks regional.
Kaitannya mungkin berada pada coupling yang diperantarai neurotransmitter noradrenaline, yang
dilepaskan dari ujung akhir saraf bebas, sehingga mengakibatkan depolarisasi. Mekanisme ini
dipikirkan lebih ke arah sensitvitas terhadap sistem somatosensoris daripada hiperaktivitas sistem
simpatis eferen.
Pada nyeri kronik, interaksi antara faktor biologis dan lingkungan sangat perlu untuk dipahami.
Nyeri kronik sering kali menyebabkan gangguan emosi berupa depresi atau ansietas pada pasien.
Sayangnya, faktor emosi ini dapat memperparah gejala nyeri yang ditimbulkan. Akibatnya, jika
penatalaksanaan nyeri tidak adekuat, akan menambah penderitaan pasien.
8
Gambar 3.1: Faktor biopsikososial yang berinteraksi dan memerantarai persepsi nyeri.
Dengan demikian, tatalaksana yang cepat dan tepat sangat penting dalam menangani nyeri
kronik. Anamnesis yang baik tetap menjadi kunci bagi penentuan diagnosis untuk mencari terapi
yang paling tepat untuk pasien.
3.2. Rasionalitas Terapi Nyeri pada Gangguan Temporomandibular
Sementara sebagian besar pasien dengan kelainan temporomandibular memberikan respon
terhadap terapi nonbedah yang diberikan, sebagian kecil pasien akan mengalami nyeri kronik
dan disabilitas.5 Akibatnya, kelompok pasien ini seringkali mengalami distres psikologis yang
besar dan gangguan berat dalam aktivitas sehari-hari.3,5 Memperkirakan apakah suatu kasus akan
berkembang menjadi kronis merupakan bagian dari tata laksana kelainan temporomandibular
yang sangat penting karena hal ini perlu diintervensi lebih lanjut.
Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memperkirakan kemunculan nyeri kronik pada kasus
kelainan temporomandibular antara lain: faktor psikologis pasien, nyeri intensitas tinggi,
diagnosis nyeri miofasial, komorbiditas dengan nyeri muskuloskeletal yang luas dan trauma.8
3.3. Patofisiologi Nyer Kronik pada Gangguan Temporomandibular
Hiperaktivitas otot pengunyah yang berkembang menjadi “lingkaran setan” diajukan sebagai
penyebab nyeri miofasial. Isitalh diagnostik yang dipakai untuk menjelaskan kondisi ini adalah
9
miospasme, spasme otot, dan reflex splinting. Kaitan antara hiperaktivitas otot dan kelainan nyeri
belum didemonstrasikan. Perbedaan antara aktivitas istirahat elektromiografi pada otot penutup
rahang yang nyeri dengan yang tidak nyeri belum ditemukan. Atrisi gigi yang menunjukkan
lapuknya gigi sebagai akibat bruxism tidak berkaitan dengan click pada TMJ atau nyeri atau
dengan nyeri pada otot pengunyah.
Hasil dari studi eksperimental terhadap nyeri miofasial menunjukkan konsistensi pada hipotesis
yaitu nyeri disebabkan oleh perubahan proses sistem saraf pusat, namun penemuan ini juga dapat
diinterpretasikan sebagai konsekuensi dari nyeri bukan sebagai penyebab nyeri itu sendiri.
Hipotesis psikologis menunjukkan bahwa kelainan diakibatkan stress psikologis yang biasa
muncul pada individu dengan lingkungan stres; stres psikologis berakibat pada kebiasaan buruk
yang berakibat nyeri otot. Tantangan yang dihadapi pada kelainan nyeri kronis adalah dalam
menentukan berapa banyak stres psikologis yang menjadi penyebab atau yang akan terjadi akibat
nyeri kronis. Melihat bukti yang ada, sters emosi lebih menjadi akibat dibandingkan sebab dari
nyeri.
Kurangnya bukti dari satu penyebab jelas nyeri mengarahkan bahwa etiologi nyeri adalah
multifaktorial. Faktor ini berkontribusi pada inisiasi, aggravasi, dan atau perpetuasi nyeri.