Top Banner
Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah Oleh Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya Geometri merupakan bagian Matematika yang membicarakan titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392). Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line .” Akibatnya, pengajaran Geometri di sekolah memerlukan kompetensi dan semangat guru yang memadai. Siswa Belajar dengan Ilusi Seperti diketahui bersama, permasalahan pembelajaran pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk pengajaran Matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedikitnya ada empat faktor penyebab kesulitan. Pertama, krusialitas muatan kurikulum (stndar isi). Dalam konteks 1
38
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah

Oleh

Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya

Geometri merupakan bagian Matematika yang membicarakan titik, garis, bidang,

ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980)

berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and

construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word

“geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).

Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada

pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya

tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or

thickness. We cannot see a geometric line.” Akibatnya, pengajaran Geometri di sekolah

memerlukan kompetensi dan semangat guru yang memadai.

Siswa Belajar dengan Ilusi

Seperti diketahui bersama, permasalahan pembelajaran pada dasarnya

dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk pengajaran Matematika pada Sekolah Menengah

Pertama (SMP), sedikitnya ada empat faktor penyebab kesulitan. Pertama, krusialitas

muatan kurikulum (stndar isi). Dalam konteks ini banyak materi Matematika di SMP

memiliki tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata

(sebagai contoh stnadar isi tentang “Kesebangunan Segitiga”, “Eksponen”, “Lingkaran”,

dan “Barisan dan Deret”). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam

memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus

yang demikian banyak. Sejak SD, siswa telah memperoleh banyak rumus, setelah di

SMP mereka kembali menerima berbagai macam rumus, yang jumlahnya tidak sedikit.

Akhirnya, untuk mengingat rumus yang demikian banyak itu, merupakan beban

tersendiri bagi siswa. Apalagi kalau guru hanya menyodorkan rumus “siap pakai”

kepada siswa, maka siswa tidak pernah tahu cara menurunkan rumus tersebut. Akhirnya

1

Page 2: Makalah_Pembelajaran_Geometri

generasi penerus bangsa ini hanya bersifat menghafal. Ketiga, keterbatasan fasilitas;

sampai saat ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran,

seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Seperti diketahui bersama,

belakangan ini pemerintah nyaris tidak lagi memasok alat peraga matematika ke

sekolah. Kalau guru pasif dan hanya bersifat menunggu, maka dapat dipastikan sekolah

tidak memiliki alat-alat pendukung pembelajaran matematika. Keempat, kesulitan yang

bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan metode

penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya

guru dalam menciptakan pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien,

Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk

mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan

kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal-soal berbentuk ‘problem solving’ dan

soal bersifat open-ended. Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada

permasalahan yang bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam belajar

Geometri, sebab kendala tentang kurikulum dan fasilitas memerlukan “sentuhan”

pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan

dalam bidang pendidikan.

Khusus dalam pengajaran bidang Geometri, beradasarkan pengalaman langsung

di lapangan, yang tampak paling dominan sebagai penyebab kesulitan adalah

keterbatasan alat pendukung pembelajaran. Dengan kata lain, permasalahan pengajaran

Geometri muncul ketika banyak guru tidak sempat atau memandang tidak perlu, serta

tanpa usaha untuk melakukan visualisasi objek-objek Geometri yang abstrak itu.

Bahkan, sangat dikhawatirkan jika kelompok guru yang telah menyadari betul

pentingnya alat peraga juga melakukan “pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari.

Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran.

Tidak jarang juga sebagian pahlawan pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah

terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu bantuan alat dari pemerintah

atau pihak-pihak lainnya, tanpa berupaya membuat alat sendiri. Apalagi tidak pernah

terpikir olehnya untuk menugasi siswa membuat model yang dapat mempermudah

mereka memahami konsep-konsep Geometri.

2

Page 3: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Sejalan dengan sikap ”tunggu bola” dan kepasrahan itu, akhirnya dalam

pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk

only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru bukan menunjukkan

model kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing itu. Contoh lain, ada

oknum guru hanya bercerita tentang diagonal ruang dan bidang diagonal dalam

pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda

nyata yang dapat dijadikan model.

Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya

menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan

membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap

hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi ilusionis.

Tentunya dalam konteks yang berbeda dengan pesulap legendaris Dedy Corbuzer

maupun ilusionis atraktif seperti Demian, yang dalam kiprahnya menghasilkan banyak

uang. Kalau pembelajaran di sekolah terus berwujud ”dunia khayalan”, dapat

dibayangkan betapa banyaknya ilusionis tanpa penonton yang akan memenuhi negeri

ini, sementara tugas besar pembangunan yang menghadang di depan mata tidak tergarap.

Keadaan ini dapat dikatakan fase ”Full illusion and no action”, yang ditakuti setiap

negara.

Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran

Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran

Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru itu

sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara penurunan

rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam

menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien,

Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan

pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian

cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal

model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.

3

Page 4: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau untuk

mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melakukan inovasi pembelajaran. Guru

hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi

ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara

yang dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam

pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus

yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai belajar tentang konsep

Geometri dengan melakukan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca

indranya.. Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai

berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak

hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga

melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti

(2002: 54).

Lebih jauh Meier menegaskan bahwa belajar adalah berkreasi, bukan

mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan

sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar

memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang

telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru,

dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.

Aneka “Aksi” yang Dapat Diangkat

Aksi (action) apa yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri?

Sedikitnya dapat dibedakan menjadi tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan

siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses

berpikir tentang konsep. Kedua, kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk

menyusun rumus atau membuktikan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu

produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.

1. Membuat sketsa atau gambar

4

Page 5: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan

spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam

Murtanto, 2002) menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:

Saya membuat gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).

Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan masalah

dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-

jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur

visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan

pengalamannya berjuang memecahkan persoalan matematika yang membingungkan

selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).

Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar dalam

belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan sketsa

atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep

pelajaran yang abstrak sangatlah penting.

Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-

unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar atau

diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abstrak

sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih dapat

digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu

artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari

Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat

hendaknya jangan sampai menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:

Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan agar

5

Page 6: Makalah_Pembelajaran_Geometri

gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).

2. Kegiatan manipulasi objek

Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan

akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran

“garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis

hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan

Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are

only representations of geometric lines.”

Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan

aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya dapat

dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan,

Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun

Geometri ke dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:

Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).

Untuk suatu pembuktian tentang kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru,

dengan bantuan benda-benda konkret yang relevan akan mempercepat pemahaman

siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai

contoh dalam membuktikan bahwa volum kerucut adalah sepertiga dari volum tabung

yang jari-jari alas dan tinggi kedua bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam

kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.

3. Membuat produk (karya nyata)

Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam

proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu

6

Page 7: Makalah_Pembelajaran_Geometri

karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung

di dalamnya. Memang muara dari kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang

berguna bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu

karya tertentu, siswa diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu

untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.

Ambil contoh, siswa yang baru saja belajar jaring-jaring kubus dan balok

kemudian memiliki gagasan untuk menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang

bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan

telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan

membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil

ciptaan anak bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak

paten, tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan

itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang

relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat

intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat adalah guru yang

memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang

berguna).

Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di

tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu memvisualisasikan objek bahasan

yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang

berhubungan dengan alat peraga atau alat praktik yang mampu memudahkan dan

mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan

suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan

pelajaran lebih bermakna.

Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan

materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi asing dengan

kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model

pembelajaran yang mampu mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.

Jika tidak sejak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang

diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat

7

Page 8: Makalah_Pembelajaran_Geometri

mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang

ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu

bagaikan Gatotkaca yang dapat terbang melangit namun tidak mampu menapak bumi.

Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar

mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran,

menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat

siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal

ini diharapkan dapat mengurangi frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda sebagian

siswa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi

pelajaran dengan objek nyata.

Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai dua

kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau pemodelannya salah,

maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan

terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian

guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar

berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya aksi yang tidak

pas.

Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan ”kegamangan”

Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi

syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran. Seperti yang telah

disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana

kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam bentuk

grafik sebagai berikut:

8

Aksi Ilusi

Aksi yang belum pas

Page 9: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat

menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan

akibat kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan

dalam menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya, kecenderungan siswa

untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan

dalam mengkonversi bangun dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam

mengubah variabel pokok dari suatu formula.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Rahmani (Penerjemah). 2002. The Accelerated Learning (Dave Meier). Bandung: Mizan Media Utama.

Iswadji, Djoko, dkk. 1995/1996. Materi Pokok Geometri Ruang, Modul 1-9. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D-III.

Murtanto, Yudhi. 2002. Sekolah Para Juara, Menerapkan Multiple Intellegences di Dunia Pendidikan. Bandung: Kaifa.

Oka Yadnya, I Gusti Agung. 2006. Penerapan Model Pembelajaran “Sipitu Berbasis Gambar” untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika (Geometri) Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja (Laporan Penelitian Tindakan Kelas). Singaraja: /t, p/.

Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals of Mathematics. Seventh Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Penulis:Drs. I Gusti Agung Oka YadnyaGuru di SMP Negeri 1 Singaraja

9

Aksi

Ilusi

Gb. 2: Hubungan antara Aksi dan Ilusi

Semakin besar ”aksi” semakin kecil kecen-

derungan siswa ber-”ilusi”

Page 10: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Problematik Pembelajaran Geometri: Antara ”Action” dan ”Illusion”*)

Oleh

Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya**)

I. PENDAHULUAN

10

Page 11: Makalah_Pembelajaran_Geometri

A. Latar Belakang

Geometri merupakan bagian dari Matematika yang membicarakan hal-hal yang

menyangkut titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana

diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes,

and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts

and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).

Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak jelas pada

pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan misalnya penjelasannya

tentang “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or

thickness. We cannot see a geometric line.”

Masalah pembelajaran Geometri pada jenjang Pendidikan Dasar muncul ketika

banyak guru tidak sempat, memandang tidak perlu, atau tanpa usaha untuk melakukan

visualisasi objek-objek Geometri yang abstrak itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan jika

kelompok guru yang telah menyadari betul pentingnya alat peraga juga melakukan

“pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan

ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga sebagian pahlawan pendidikan

ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu

bantuan alat dari pemerintah atau pihak-pihak lainnya, tanpa upaya untuk membuat alat

sendiri atau tidak menugasi siswa untuk membuat model yang dapat mempermudah

pemahaman konsep.

Sejalan dengan sikap ”cuek” dan kepasrahan itu, akhirnya dalam pelaksanaan

pembelajaran di kelas, guru lebih dominan memilih bentuk verbalitas (talk only).

Sebagai contoh dalam pembahasan bangun ”kerucut”, guru bukan menunjukkan model

kerucut, namun hanya berwacana tentang bangun runcing itu. Contoh lain, ada oknum

guru hanya bercerita tentang adanya diagonal ruang dan bidang diagonal dalam

pembahasan tentang kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda

nyata yang dapat dijadikan model.

Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya

menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan

11

Page 12: Makalah_Pembelajaran_Geometri

membayangkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap

hari diajak berhalusinasi dan lama kelamaan mereka menjelma menjadi ilusionis.

Keadaan ini dapat dikatakan fase ”No action and Full Illusion”.

B. Pembatasan Masalah

Permasalahan pembelajaran pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor.

Berdasarkan pengalaman nyata, sedikitnya ada empat faktor penyebab munculnya

permasalahan dalam pembelajaran Geometri di tingkat pendidikan dasar, khususnya

pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat. Pertama, muatan

kurikulum. Dalam konteks ini banyak materi Geometri di SMP memiliki tingkat

kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata (beberapa

contoh materi krusial disajikan pada lampiran 1). Kedua, ketidaksiapan siswa secara

individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan

(mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Ketiga, keterbatasan fasilitas; sampai

saat ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti:

alat peraga, dan media pendukung lainnya. Keempat, kesulitan yang bersumber dari

guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan metode penurunan

rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam

menciptakan pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien,

Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk

mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan

kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ dan soal

bersifat open-ended.

Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang

bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam belajar Geometri, sebab kendala

tentang kurikulum dan fasilitas memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak

lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.

II. PEMBAHASAN

12

Page 13: Makalah_Pembelajaran_Geometri

A. Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran Geometri

Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran

Geometri, yang dapat ditanggulangi guru adalah kendala yang bersumber dari guru itu

sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam menciptakan cara-cara penurunan

rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam

menciptakan model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien,

Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru memilih jalan

pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian

cara penurunan rumus itu, sampai pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal

model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.

Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini diharapkan guru mau untuk

mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melakukan inovasi pembelajaran. Guru

hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi

ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara

yang dapat ditempuh adalah mengajak siswa melakukan aksi (action) langsung dalam

pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus

yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai belajar tentang konsep

Geometri dengan melakukan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca

indranya.. Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai

berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak

hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, memakai “otak kiri”, verbal), tetapi juga

melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti

(2002: 54).

Lebih jauh Meier menegaskan bahwa belajar adalah berkreasi, bukan

mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan

sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar

memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang

telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru,

dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.

13

Page 14: Makalah_Pembelajaran_Geometri

B. Jenis “Aksi” dalam Pembelajaran Geometri

Aksi (action) apa yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran Geometri?

Sedikitnya dapat dibedakan menjadi tiga macam kegiatan nyata yang mesti dilakukan

siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses

berpikir tentang konsep. Kedua, kegiatan memanipulasi objek atau praktik untuk

menyusun rumus atau membuktikan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu

produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.

1. Membuat sketsa atau gambar

Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan

spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam

Murtanto, 2002) menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:

Saya membuat gambar yang abstrak. Saya baru menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi saat saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, lalu apa yang diperkirakan sebagai bagian esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, baru kemudian teknik analitis dapat diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita dapat memilih salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).

Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan strategi pemecahan masalah

dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-

jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya meliputi unsur

visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan

pengalamannya berjuang memecahkan persoalan matematika yang membingungkan

selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).

Dari beberapa pendapat itu jelas bahwa begitu pentingnya peran gambar dalam

belajar. Dengan demikian kegiatan melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan sketsa

atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep

pelajaran yang abstrak sangatlah penting.

14

Page 15: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-

unsur penting Geometri pada umumnya dapat divisualisasikan dengan gambar atau

diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abstrak

sekalipun, seperti halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih dapat

digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu

artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari

Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibuat

hendaknya jangan sampai menyesatkan, seperti pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:

Gambar dari suatu bangun Geometri haruslah dapat membantu memberikan penjelasan dalam rangka usaha menanamkan pengertian tentang bangun itu. Misalnya jika Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan agar gambar yang Anda buat itu dapat membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).

2. Kegiatan manipulasi objek

Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan

akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran

“garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga dapat dimodelkan. Gambar garis

hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abstrak itu. Perhatikan penegasan

Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are

only representations of geometric lines.”

Lebih jauh dari itu, dengan sedikit usaha tidak mustahil guru dapat menemukan

aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” misalnya dapat

dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan,

Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun

Geometri ke dalam benda konkret, seperti yang diungkapkan berikut ini:

Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses kegiatan belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konkret dari suatu benda pikiran dapat berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).

15

Page 16: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Untuk suatu pembuktian tentang kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru,

dengan bantuan benda-benda konkret yang relevan akan mempercepat pemahaman

siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai

contoh dalam membuktikan bahwa volum kerucut adalah sepertiga dari volum tabung

yang jari-jari alas dan tinggi kedua bangun itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam

kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.

3. Membuat produk (karya nyata)

Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam

proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu

karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung

di dalamnya. Memang muara dari kegiatan belajar tentunya menghasilkan sesuatu yang

berguna bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan menciptakan suatu

karya tertentu, siswa diharapkan akan mampu mengembangkan kemampuannya itu

untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.

Ambil contoh, siswa yang baru saja belajar jaring-jaring kubus dan balok

kemudian memiliki gagasan untuk menciptakan suatu karya ”kemasan produk” yang

bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan dapat dikatakan

telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan

membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang tua siswa. Apalagi misalnya hasil

ciptaan anak bersangkutan sampai menang dalam lomba karya ilmiah dan memiliki hak

paten, tentu saja akan mengangkat citra dan martabat daerah dan bangsa. Dengan alasan

itu, maka guru diharapkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang

relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat

intelektual siswa. Bukankah menurut Wiles (1955), guru yang hebat adalah guru yang

memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang

berguna).

Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di

tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk mampu memvisualisasikan objek bahasan

yang bersifat abstrak dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang

16

Page 17: Makalah_Pembelajaran_Geometri

berhubungan dengan alat peraga atau alat praktik yang mampu memudahkan dan

mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan

suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan

pelajaran lebih bermakna.

Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan

materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi asing dengan

kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model

pembelajaran yang mampu mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.

Jika tidak sejak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang

diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak dapat

mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang

ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa seperti itu

bagaikan Gatotkaca yang dapat terbang melangit namun tidak mampu menapak bumi.

Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melakukan “aksi” dalam kegiatan belajar

mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran,

menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat

siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat kegiatan nyata (aksi) tersebut. Hal

ini diharapkan dapat mengurangi frekuensi khayalan (ilusi) yang telah melanda sebagian

siswa, sebagai akibat kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi

pelajaran dengan objek nyata.

Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu dapat dipandang sebagai dua

kutub yang bertolak belakang. Tetapi, jika cara visualisasi atau pemodelannya salah,

maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan

terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian

guru dalam memilih padanan objek agar tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar

berikut menunjukkan terjadinya “kegamangan konsep” akibat adanya aksi yang tidak

pas.

17

Aksi Ilusi

Aksi yang belum pas

Page 18: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Gb. 1: Aksi yang belum pas menimbulkan ”kegamangan”

Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi

syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran. Seperti yang telah

disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana

kontribusi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, dapat digambarkan dalam bentuk

grafik sebagai berikut:

Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini diharapkan sekaligus juga dapat

menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan

akibat kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan

dalam menghubungkan antara gambar bangun dengan rumusnya, kecenderungan siswa

untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan

dalam mengkonversi bangun dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam

mengubah variabel pokok dari suatu formula.

B. “Sipitu” sebagai Sebuah Model Pembelajaran

Rendahnya prestasi belajar Matematika siswa, khususnya menyangkut pokok-

pokok bahasan Geometri, telah memotivasi penulis melakukan penelitian tindakan kelas

(PTK). Kelemahan mendasar yang dapat ditemukan pada siswa yang menjadi tanggung

18

Aksi

Ilusi

Gb. 2: Hubungan antara Aksi dan Ilusi

Semakin besar ”aksi” semakin kecil kecen-

derungan siswa ber-”ilusi”

Page 19: Makalah_Pembelajaran_Geometri

jawab penulis antara lain kelemahan siswa dalam mengingat rumus-rumus Geometri

yang demikian banyaknya. Sebagian besar siswa hanya bersifat ”menghafal” rumus dan

tidak memahami bagaimana asal mula terbentuknya rumus tersebut. Akibatnya mereka

cepat lupa, karena kekuatan mengingat manusia sangat terbatas, seperti yang

dikemukakan Negoro dan B. Harahap (1984) bahwa baik siswa, guru, bahkan profesor

pun tidak dapat mengingat semua rumus yang pernah dipelajarinya.

Bertolak dari fenomena itu, pada semester genap tahun ajaran 2005/2006 penulis

mencoba mengajak siswa untuk berpikir bahwa rumus bukanlah satu-satunya cara untuk

menghitung. Rumus yang banyak jumlahnya itu tidak perlu dianggap sebagai beban

yang harus dihafalkan semuanya. Selanjutnya penulis terapkan model pembelajaran

”Sipitu”, yang merupakan singkatan dari aksi-pikir-tulis. Artinya, model pembelajaran

ini menekankan pada tiga hal penting, yaitu: kerja praktik (aksi), memikirkan konsep

atau rumus yang diperoleh dari kerja praktik (pikir), dan menyusun serta menulis konsep

atau rumus tersebut (tulis). Adapun hasilnya cukup positif, selain motivasi belajar siswa

meningkat, kelompok siswa yang sebelumnya memiliki nilai ulangan Geometri rata-rata

di bawah 6,5, setelah dilakukan inovasi pembelajaran menjadi di atas 7,0. Hasil

penelitian ini, secara ringkas disajikan pada lampiran 2.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang

sifatnya abstrak. Jika objek yang abstrak ini disajikan oleh guru hanya dalam bentuk

wacana belaka, maka siswa akan mempelajari Geometri secara khayalan. Mereka

berhalusinasi dalam memikirkan konsep yang abstrak tanpa pernah diketahui

padanannya dengan benda nyata yang dapat ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari.

Untuk mengantisipasi hal itu, guru perlu melakukan inovasi pembelajaran

dengan melibatkan siswa secara langsung dalam kegiatan kerja praktik. Atau setidaknya,

pada waktu guru membicarakan objek Geometri, khususnya pada proses kegiatan

belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abstrak itu, misalnya balok atau kubus perlu

19

Page 20: Makalah_Pembelajaran_Geometri

ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk konkret dapat diamati

sehingga lebih mudah dipahami. Bentuk konhret dari suatu benda pikiran dapat berupa

model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan tentang

kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau

mungkin juga perlu disiapkan keduanya.

Satu penawaran tentang model pembelajaran yang telah terbukti memberikan

hasil positif di SMP Negeri 1 Singaraja adalah “Model Pembelajaran Sipitu”. Model

pembelajaran ini telah diujicobakan beberapa kali dan ternyata berdampak positif

terhadap peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa.

B. Saran-saran

Seiring dengan simpulan tersebut di atas, dalam kesempatan ini dikemukakan

beberapa saran, yaitu:

1. Kepada guru Matematika diharapkan segera melakukan pembaharuan

pembelajaran, terutama untuk pokok-pokok bahasan Geometri, mengingat materi

ini relatif sulit bagi siswa pada umumnya.

2. Kepada kepala sekolah diharapkan senantiasa mendukung upaya yang dilakukan

guru untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya, baik dalam bnetuk moril

maupun material sesuai dengan kemampuan lembaga yang dipimpinnya.

3. Kepada pihak-pihak terkait, yang berkompeten dalam bidang pendidikan, seperti

Dinas Pendidikan dan jajarannya, diharapkan menyediakan anggaran bagi guru

untuk melakukan kegiatan inovasi pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu

pendidikan, terutama pada jenjang Pendidikan Dasar.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Rahmani (Penerjemah). 2002. The Accelerated Learning (Dave Meier). Bandung: Mizan Media Utama.

Iswadji, Djoko, dkk. 1995/1996. Materi Pokok Geometri Ruang, Modul 1-9. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D-III.

20

Page 21: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Murtanto, Yudhi. 2002. Sekolah Para Juara, Menerapkan Multiple Intellegences di Dunia Pendidikan. Bandung: Kaifa.

Oka Yadnya, I Gusti Agung. 2006. Penerapan Model Pembelajaran “Sipitu Berbasis Gambar” untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika (Geometri) Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja (Laporan Penelitian Tindakan Kelas). Singaraja: /t, p/.

Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals of Mathematics. Seventh Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Seminar Pendidikan Matematika

Problematik Pembelajaran Geometri: Antara ”Action” dan ”Illusion”

21Aksi Ilus

i

Page 22: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Oleh

Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya

Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika tentang Pemantapan Konsep dan Pemecahan Masalah

Pembelajaran Geometri pada Pendidikan Dasar

Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja

Nopember 2008.

Tahun 2008

Lampiran 1

Cakupan Materi Geometri di SMP dan Ttitik Krusialitasnya

Materi Geometri di SMP meliputi garis, sudut, bangun datar, kesebangunan,

bangun ruang, dan Pythagoras. Standar Kompetensi Lulusan yang dikeluarkan Badan

Standar Nasional Pendidikan (BSNP), khususnya menyangkut materi Geometri adalah

sebagai berikut:

Memahami bangun-bangun geometri, unsur-unsur dan sifat-sifatnya, ukuran dan pengukuran, meliputi: hubungan antar garis, sudut melukis sudut dan membagi sudut), segitiga (termasuk melukis segitiga) dan segi empat, teorema Pythagoras, lingkaran

22

Page 23: Makalah_Pembelajaran_Geometri

(garis singgung sekutu, lingkaran luar dan lingkaran dalam segitiga dan melukisnya), kubus, balok, prisma, limas dan jaring-jaringnya, kesebangunan dan kongruensi, tabung, kerucut, bola, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah sehari-hari dan bidang lain (BSNP, 2006: 23).

Sebagian di antaranya memiliki titik-titik krusial bagi siswa SMP. Berikut ini

disajikan beberapa contoh pokok bahasan Geometri yang mengandung titik-titik krusial.

Tabel 1: Beberapa Pokok Bahasan Geometri dan Titik Krusialitasnya

No Pokok Bahasan Titik Krusialitasnya

1 Garis dan Sudut (di Kelas VII)

- Pengaplikasian perbandingan ke dalam pokok bahasan ini.

2 Segi Empat dan Segitiga (di Kelas VII)

- Mengingat rumus-rumus luas yang demikian banyak dan variatif.

- Mengidentifikasi alas dan tinggi segitiga yang beraneka ragam jenis dan posisinya.

3 Lingkaran - Luas tembereng, jika sudut pusatnya bukan sudut istimewa.

4 Kesebangunan - Mengenali sisi-sisi bersesuaian pada bangun yang bersifat kompleks.

5 Bangun Ruang Sisi Datar (di Kelas VIII)

- Pengaplikasian bentuk aljabar ke dalam pokok bahasan ini.

6 Dalil Pythagoras (di Kelas VIII)

- Mengenali bangun-bangun yang dibuat kompleks dan rumit.

- Perhitungan akar, jika ukuran-ukuran yang diberikan bukan bilangan kuadrat.

7 Bangun Ruang Sisi Lengkung (di Kelas IX)

- Proses penurunan rumus-rumusnya.- Mengingat rumus-rumus volum, luas

permukaan, dan luas selimut yang cukup banyak dan beraneka ragam.

8 Dan lain-lain - Dan lain-lainBIODATA PENULIS

Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya, Lahir di Desa Bongkasa, Abiansemal Badung

pada tahun 1963. Pendidikannya dimulai dari SD No. 1 Bongkasa, kemudian berlanjut

ke SMP Negeri Blahkiuh dan SMA Negeri Mengwi. Setamat SMA, melanjutkan studi

ke FKIP Unud Singaraja. Diploma Satu Pendidikan Matematika diselesaikan tahun

1984. Ketika diangkat menjadi Guru, tepatnya di SMP Negeri 1 Singaraja tahun 1985,

sekaligus melanjutkan ke jenjang S1 Pendidikan Matematika di perguruan tinggi yang

sama, yang diselesaikan tahun 1989.

23

Page 24: Makalah_Pembelajaran_Geometri

Prestasinya dalam Kejuaraan Guru di Tingkat Propinsi:

- 4 Kali menjadi juara Karya Tulis Ilmiah di tingkat propinsi

- 2 kali menjadi juara Lomba Artikel tingkat propinsi.

Prestasinya dalam Kejuaraan Guru Tingkat Nasional:

- 5 kali menjadi juara Kreativitas Guru Tingkat Nasional yang digelar LIPI.

- 2 kali menjadi juara Keberhasilan Guru Tingkat Nasional yang digelar

Depdiknas.

- 2 kali menjadi juara LKTI ”Lingkungan Hidup” Tingkat Nasional yang digelar

Depdiknas.

- 2 kali menjadi juara dalam Simposium Guru tingkat nasional.

Pengalaman Presentasi di Tingkat Nasional:

1. Menjadi juara I Presentasi Pembelajaran Guru MIPA digelar Universitas Negeri

Yogyakarta.

2. Menjadi juara III Presentasi Pembelajaran Guru MIPA Nasional yang digelar

UPI bekerjasama dengan JICA.

Karya tulis yang pernah diterbitkan:

- tiga karya diterbitkan oleh LIPI

- satu karya diterbitkan oleh Depdiknas.

- Satu karya diterbitkan oleh UPI – JICA.

Lain-lain:

Pernah menjadi Juara III Guru Teladan se-Bali.

24