Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan jaringan limfatik di organ lainnya. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ lain. Ia merupakan salah satu keganasan sistem hematopoietik, terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin (HL) dan limfoma non-Hodgkin (NHL). HL jarang ditemukan di Indonesia. Limfoma malignum merupakan salah satu di antara 10 jenis kanker yang tersering ditemukan di Indonesia. Karena termasuk salah satu di antara sekitar 10 jenis kanker yang dapat disembuhkan maka limfoma malignum perlu dikenali oleh dokter yang bertugas di fasilitas kesehatan terdepan agar dapat dirujuk pada stadium yang dini ke rumah sakit dengan fasilitas yang memungkinkan penatalaksanaan penderita. Dalam bidang ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher (THT-KL), limfoma malignum merupakan kelainan neoplasma kepala dan leher kedua terbanyak setelah karsinoma sel skuamosa. Majoritas dari limfoma malignum pada kepala dan leher adalah dari golongan limfoma non-Hodgkin (NHL). NHL 1
31

Makalahnya

Jul 03, 2015

Download

Documents

Nik Syukri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalahnya

BAB I

PENDAHULUAN

Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan jaringan

limfatik di organ lainnya. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu

pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang.

Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara

lain pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ lain. Ia merupakan salah satu keganasan

sistem hematopoietik, terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin (HL) dan

limfoma non-Hodgkin (NHL). HL jarang ditemukan di Indonesia.

Limfoma malignum merupakan salah satu di antara 10 jenis kanker yang tersering

ditemukan di Indonesia. Karena termasuk salah satu di antara sekitar 10 jenis kanker yang

dapat disembuhkan maka limfoma malignum perlu dikenali oleh dokter yang bertugas di

fasilitas kesehatan terdepan agar dapat dirujuk pada stadium yang dini ke rumah sakit dengan

fasilitas yang memungkinkan penatalaksanaan penderita.

Dalam bidang ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher (THT-KL),

limfoma malignum merupakan kelainan neoplasma kepala dan leher kedua terbanyak setelah

karsinoma sel skuamosa. Majoritas dari limfoma malignum pada kepala dan leher adalah dari

golongan limfoma non-Hodgkin (NHL). NHL dapat mengenai tonsil yang merupakan bagian

dari cincin Waldeyer.

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat

dengan kripta di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil

palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin

Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fossa tonsilaris

di kedua sudut orofaring. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.

1

Page 2: Makalahnya

BAB II

LIMFOMA MALIGNUM PADA TONSIL

A. DEFINISI

Limfoma malignum adalah neoplasma ganas primer pada kelenjar limfe dan jaringan

limfatik, dan ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening yang terkenan. Dapat dibedakan

menjadi dua, limfoma Hodgkin (HL) dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Tonsil yang

merupakan salah satu dari jaringan limfatik yang ada dalam tubuh manusia, maka limfoma

malignum dapat ditemukan pada tonsil juga.

B. EPIDEMIOLOGI

Insidens limfoma Hodgkin (HL) kira-kira 3 per 100.000 penderita per tahun. Pada

pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah

3 : 2. Pada HL distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam

distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35

tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir

terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian HL, terutama bentuk nodular sklerotik pada

golongan umur lebih muda.

Insidens Limfoma Non Hodgkin (NHL) ± 8 kali lipat HL, insiden baru tahun 2004 di

amerika serikat 50.000 kasus lebih, di china di perkirakan lebih dari 40.000 kasus. Insiden

NHL meningkat sangat pesat. Ras orang kulit putih memiliki risiko lebih tinggi daripada

orang kulit hitam di Amerika dan Asia. Jenis kelamin rasio laki dan perempuan sekitar 1.4:1,

tetapi rasio dapat bervariasi tergantung pada subtipe NHL, karena menyebar pada

mediastinum primer besar misalnya B-sel limfoma terjadi lebih sering pada wanita

dibandingkan pada pria. Usia untuk semua subtipe NHL lebih dari 60 tahun, kecuali untuk

pasien dengan grade tinggi limfoma noncleaved lymphoblastic dan kecil, yang merupakan

jenis yang paling umum NHL diamati pada anak-anak dan dewasa muda. pada pasien berusia

35-64 tahun hanya 16% kasus pada pasien lebih muda dari 35 tahun.

2

Page 3: Makalahnya

C. ETIOLOGI

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak

diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr. Adanya peningkatan

insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS

(Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori

yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada

gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan

selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.

D. KLASIFIKASI

Diagnosis HL berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya sel

Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran dasar

yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih

dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku

sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.

Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh

adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel

eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering

mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang sedikit

atau kurang luas yang sklerotik.

Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit,

eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.

Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat.

Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe HL atau NHL. Bentuk kaya limfosit

(HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit

kecil dan histiosit reaktif.

3

Page 4: Makalahnya

(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)

Tipe utama Sub-tipe FrekuensiBentuk lymphocyte predominance (LP) Nodular

Difus

}5%

Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular

Fibrosis difus

}1%

Bentuk histopatologik limfoma hodgkin

Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap

dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh data

biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas.

Gambar: Sel Reed-Sternberg

4

Page 5: Makalahnya

Formulasi kerja NHL merupakan suatu sistem klasifikasi limfoma non Hodgkin yang

dikemukakan tahun 1982, klasifikasi ini terutama didasarkan pada kriteria morfologi (pola

pertumbuhan kelenjar limfe karakteristik sitologik sel tumor) dan sifat progresivitas biologik

(tingkat keganasar rendah, sedang, tinggi), bermanfaat tertentu dalam memprediksi survival dan

kesembuhan pasien. Kekurangan dari sistem klasifikasi ini adalah belum membedakan asal

tumor dari sel B atau sel T, selain itu karena belum memanfaatkan teknik imunologi dan genetik

molekular, belum dapat mengidentifikasi jenis tertentu yang penting. Namun demikian, karena

penggunaannya secara klinis sudah relatif lama dan klasifikasinya sederhana, maka masih

memiliki nilai referensi tertentu.

Formulasi kerja limfoma non-Hodgkin (NHL)

Keganasan rendah A. Limfoma jenis sel kecil

B. Limfoma jenis predominan sel belah kecil folikular

C. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil folikular

Keganasan sedang D. Limfoma jenis sel besar: folikular

E. Limfoma jenis predominan sel belah kecil difus

F. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil difus

G. Limfoma jenis sel besar difus

Keganasan tinggi: H. Limfoma jenis imunoblastik

1. Limfoma jenis limfoblastik (inti berkelok atau tidak berkelok)

2. Limfoma jenis sel kecil tak belah (Burkitt atau non-Burkitt)

E. MANIFESTASI KLINIS (UMUM)

Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe,

biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m.

sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang

bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul

dari kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang

keras, teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah supraklavikula,

atau disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati halus.

5

Page 6: Makalahnya

Gambar: Mekanisme pembesaran kelenjar limfe

Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-

30% kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15%

kasus disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.

Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga

terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi

virus lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan

kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat diadakan biopsi

untuk penentuan diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi

jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma

malignum pada biopsi harus disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau

perlu pemeriksaan DNA untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan

imunofenotipe.

Gambar: Pembesaran kelenjar limfe

6

Page 7: Makalahnya

Perbedaan karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma nonHodgkin

(NHL)

Limfoma Hodgkin (HL) Limfoma nonHodgkin (NHL)

Keluhan pertama berupa limfadenopati

superficial terutama pada leher

Sekitar 40% timbul pertama di jaringan

limfatik ekstranodi

Pembesaran 1 kelompok kelenjar limfe,

dapat dalam jangka waktu sangat panjang

tetap stabil atau kadang membesar dan

kadang mengecil

Perkembangannya tidak beraturan

Limfadenopati lebih lunak, lebih mobile Berderajat keganasan tinggi. Sering

menginvasi kulit (merah, udem, nyeri),

membentuk satu massa relatif keras

terfiksir.

Berkembang relatif lebih lambat,

perjalanan penyakit lebih panjang, reaksi

terapi lebih baik

Progresi lebih cepat, perjalanan penyakit

lebih pendek, mudah kambuh, prognosis

lebih buruk

Pada limfoma Hodgkin sering terdapat anemia normositik normokrom, kausa

anemia sering kali adalah menurunnya produksi dan peningkatan destruksi, tapi

anemia hemolitik dengan tes Coomb positif tidak sampai 1%. Granulosit sering meningkat

hingga timbul lekositosis, sebagian pasien dapat menunjukkan peningkatan eosinofil

granulosit, limfosit sering menurun, terutama pada stadium lanjut, jumlah absolut limfosit dapat

<1 x 109/L. Pada HL dengan demam, kadang kala terjadi reaksi lekemik, jumlah total lekosit

dapat mencapai 50 x 109/L lebih.

Apusan sumsum tulang pada HL sering menunjukkan hiperproliferasi granulosit, sering

disertai peningkatan histiosit dan sel plasma, sehingga menyerupai gambaran 'sumsum

tulang infeksius'. Apusan sumsum tulang jarang dapat menemukan sel R-S, tapi biopsi

sumsum tulang (ternasuk biopsi pungsi) dapat menemukan sel R-S (inti dobel atau tunggal)

pada infiltrasi fokal atau difus sumsum tulang, juga sering disertai hiperplasia fibrosa dalam

sumsum tulang. Jika menemukan secara jelas fibrosis (dibuktikan biopsi sumsum tulang, atau

berkali-kali pungsi `aspirasi kering' sumsum tulang dengan pansitopenia), sangat kuat

menunjukkan invasi tumor ke sumsum tulang. HL sering terdapat peningkatan laju endap

7

Page 8: Makalahnya

darah, ini dapat menjadi indikator pemeriksaan aktivitas penyakit. NHL sering disertai

anemia, kausanya dapat multifaktorial, seperti invasi sumsum tulang, invasi saluran

gastrointestinal menyebabkan tukak berdarah dan gangguan absorpsi besi dan asam folat, serta

akibat konsumsi kronis, radioterapi dan kemoterapi menyebabkan depresi hematopoiesis atau

eritropoiesis inefektif dan faktor lainnya. NHL juga dapat mengalami anemia hemolitik

autoimun (tes Coombs positif).

Pada NHL sering terdapat invasi sumsum tulang, jika dilakukan biopsi pungsi krista iliaka

posterior superior berkali-kali, pada jenis limfosit kecil dan jenis lainnya dapat ditemukan

setidaknya 50-60% mengalami invasi sumsum tulang, sedangkan pada limfoma sel B

besar difus (DLBCL) hanya 10% mengalami invasi sumsum tulang. Sebagian kasus dengan

invasi sumsum tulang, kemudian sel abnormal dapat muncul di darah tepi sehingga timbul

gambaran lekemia. Bila jenis limfosit kecil menampilkan gambaran lekemia, sangat sulit

dibedakan dari lekemia limfositik kronis. Bila jenis sel besar menampilkan gambaran lekemia,

dapat menyerupai lekemia limfositik akut. Ada juga kasus dengan dismorfia sel lekemia

menonjol, atau nukleolus relatif menonjol. Tapi pada umumnya sangat sulit hanya dari

morfologi sel membedakan apa yang disebut sel limfosarkoma'. Limfoma jenis limfo-

blastik' dengan karakteristik massa besar mediastinum sangat mudah berkembang

menjadi lekemia limfositik akut.

Hiperkalsemia, hipofosfatemia, fosfatase alkali serum meningkat sejalan dengan per-

kembangan penyakit, tembaga serum dan asam urat darah juga dapat meningkat,

albumin rendah sedangkan β2-globulin jelas meningkat, C reaktif protein, C3, fibrinogen juga

dapat meningkat, pada stadium dini terdapat 40% pasien menunjukkan IgG, IgA agak

meningkat, IgM menurun, pada stadium lanjut 50% menunjukkan hipogamaglobulinalfa-emia,

produksi antibodi juga menurun.

F. MANIFESTASI KLINIS (BIDANG THT-KL)

8

Page 9: Makalahnya

Limfoma malignum pada tonsil, seperti limfoma malignum yang menyerang kelenjar

atau jaringan limfatik lainnya, ditemukan manifestasi klinis secara umum, yaitu berat badan

menurun, demam, lesu, keringat malam dan nyeri pada tulang.

Manifestasi klinis yang berhubungan dengan limfoma malignum pada tonsil bisa

kesulitan dalam menelan, nyeri menelan dan merasa adanya massa di tenggorok. Jika terjadi

penyebaran lebih luas, penderita bisa mengalami nyeri dan bengkak pada wajah, diplopia,

bengkak pada mata, obstruksi hidung, gangguan pendengaran, nyeri telinga, trismus, suara

serak dan sesak nafas akibat obstruksi .

G. DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Untuk anamnesis, bisa

ditanyakan kepada pasien apakah mengalami keluhan-keluhan yang telah disebutkan di

bagian manifestasi klinis sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik dalam pemeriksaan palpasi bisa ditemukan pembesaran

kelenjar getah bening yang tidak nyeri di leher terutama supraklavikuler, aksila dan inguinal.

Mungkin lien dan hati teraba membesar.

Perlu dilakukan pemeriksaan THT-KL secara menyeluruh untuk mencari keterlibatan

tonsil dalam penyakit limfoma malignum pada penderita. Bisa ditemukan pembesaran tonsil

unilateral atau bilateral, dan ulserasi pada palatum, tonsil, nasofaring dan laring.

Gambar: pemeriksaan tonsil dan faring

9

Page 10: Makalahnya

Gambar: limfoma malignum pada tonsil

Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian

penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit.

atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien HL serta pada penyakit neoplastik atau kronik

lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan

dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang

normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai

berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.

Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan. Juga dijumpai monositosis absolut

limfositopenia absolut (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan

penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai

indikator keparahan penyakit. Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau

terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih

terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga,

kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase

akut lain dalam serum.

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis

pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi

hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma, dan limfoma maligna. Ciri khas

sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak aspek serta

pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan

adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan

sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin. Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada

Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin

10

Page 11: Makalahnya

folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi,

biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif. Penyakit lain dalam diagnosis

sitologi biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya

negatif palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah negatif palsu

dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan tumor.

Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka

pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.

Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe

histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan

bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsi

tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di

leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak

dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi dilakukan dibawah anestesi umum

untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat

mengacaukan pemeriksaan jaringan.

Gambar: hasil histopatologi biopsi tonsil menunjukkan infiltrasi difus dari sel B yang malignan

Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan radiologi dan termasuk di dalamnya adalah:1. Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca aortal3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH

11

Page 12: Makalahnya

Gambar: CT-scan kontras kepala yang menunjukkan pembesaran tonsil kanan akibat limfoma

malignum

H. DIAGNOSIS BANDING

Ada beberapa penyakit dan kelainan pada tonsil yang bisa menyerupai limfoma

malignum pada tonsil, maka harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang yang teliti agar tidak terjadi kesalahan diagnosis. Diagnosis banding yang

termasuk adalah:

Infeksi (bakteri, jamur, parasit)

Penyakit inflamasi (sarkoidosis, systemic lupus erythematosus, poliarteritis nodusa)

Proses neoplasma (karsinoma sel skuamosa atau sel basal, melanoma,

estesioneuroblastoma, karsinoma kistik adenoid, adenokarsinoma, fibrosarkoma,

mieloma sel plasma, limfoma sinonasal)

Penggunaan kokain

Trauma

I. STADIUM

Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Atas

dasar penetapan stadium klinis pada limfoma Hodgkin pada 60% penderita

penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan

12

Page 13: Makalahnya

sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan

limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.

Gambar: Stadium limfoma berdasarkan klasifikasi Ann Arbor

Klasifikasi Ann Arbor

Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik atau organ (IE)

Stadium II

Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang sama diafragma (IIE)

Stadium III

Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).

Stadium IV

Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.

13

Page 14: Makalahnya

J. TERAPI

Terapi limfoma Hodgkin

Tiap penderita dengan HL harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga berlaku untuk

penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif sesudah terapi

pertama. Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan

atau dikurangi tanpa alasan yang berat.

Pilihan terapi pertama pada limfoma HodgkinTerapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya lapangan mantel saja

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan radioterapi

- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan “involved field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapiStadium IIIB – IV

Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

Stadium klinik I dan II:

Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di atas

diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah paraaortal

dan limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah ini, seperti ternyata

dari hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu berlangsung 4 minggu untuk

daerah mantel dan sesudah periode istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar

limfe paraaortal dan limpa. Dengan terapi ini ketahanan hidup bebas penyakit yang

berlangsung lama adalah kira-kira 75%, ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik

tolak bahwa periode bebas penyakit 5-7 tahun berarti penyembuhan.

Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II diberikan

penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa, kelenjar iliakal dan

kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam lapangan penyinaran. Karena itu

dipertimbangkan pada wanita muda untuk menempatkan ovarium di luar lapangan

penyinaran. Jika kelainan di perut sangat voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam

kombinasi dengan radioterapi.

14

Page 15: Makalahnya

Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial harus

diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini pada umumnya

ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko tambahan diterapi

dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai

akibat penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan

kemungkinan timbul masalah kardial.

Stadium IIIA:

Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin,

misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di

limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y

terbalik (radiasi “total node”). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan

kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB – IV.

Stadium IIIB – IV:

Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990). Skema MOPP

yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam

hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa

dengan pilihan ini kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja.

Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada umumnya

lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi

(misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus

diperhatikan efek samping yang timbul kemudian.

15

Page 16: Makalahnya

Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma HodgkinDosis

(mg/m2)Hari ke-

1 5 8 15

MOPPNitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisone

6

1,4

100

25

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

+ +

+ +

—————————

—————————ChlVPP

ChlorambusilVinblastinProcarbazinePrednisone

6

6

100

25

p.o.

i.v.

p.o.

p.o.

—————————

+ +

—————————

—————————ABVD

AdriamisinBleomisinVinblastinDTIC

25

10

6

250

i.v.

i.v.

i.v.

i.v.

+ +

+ +

+ +

+ +MOPP/ABV

Nitrogen mustardVinkristinProcarbazinePrednisoneAdriamisinVinblastinBleomisin

6

1,4

100

40

35

6

10

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

i.v.

i.v.

i.v.

+

+

——————

—————————

+

+

+CEP

CCNUEtoposidPrednimustin

80

100

80

p.o.

p.o.

p.o.

+

———

———K. Keterangan : + dosis sekali

L. — diminum tiap hari berkelanjutan

16

Page 17: Makalahnya

Terapi limfoma non-Hodgkin

Metode terapi terpenting terhadap limfoma non-Hodgkin (NHL) adalah kemoterapi,

terutama terhadap tingkat keganasan sedang dan tinggi. Radioterapi juga memilik: peranan

tertentu dalam terapi NHL. Sedangkan operasi juga merupakan pilihan berguna dalam terapi

gabungan terhadap sebagiar. lesi ekstranodus, misal pada terapi limfoma gastrointestinal,

terutama bila terdapa: bahaya perforasi di lokasi tumor. Terapi terhadap limfoma non-

Hodgkin berkaitan erat dengan subtipe patologiknya.

Sekarang ini klasifikasi patologik umumnya memakai sistem klasifikasi baru

menurut WHO tahun 2001:

1. Limfoma indolen (tingkat keganasan rendah)

Limfoma indolen (keganasan rendah) memiliki ciri tabiat biologis tumor relatif tenang,

survival relatif panjang. Limfoma sel B indolen meliputi limfoma sel limfosit kecil difus,

limfoma limfoplasmasitik, limfoma zona marginal splenik, plasmasitoma, limfoma sel

B zona marginal ekstranodal, limfoma sel B zona marginal nodus limfatikus, limfoma

folikular, granuloma limfoproliferatif, dll. Kebanyakan pasien saat diagnosis sudah

tergolong stadium lanjut, hanya sekitar 10-20% pasien termasuk stadium I-II. Pasien

stadium lanjut (III-IV) sangat sedikit yang berpeluang sembuh, terapi umumnya bersifat

paliatif. Limfoma indolen stadium I-II umumnya diradioterapi (area terkena + area drainase),

bila sebelum radioterapi diberikan kemoterapi dengan formula FND kemungkinan dapat

meningkatkan masa survival bebas penyakit jangka panjang. Kasus stadium .IIIA pasca

kemoterapi ditambah radioterapi lokal dapat memperbaiki masa survival tanpa penyakit DF S5

tahun sekitar 60%), masih kontroversial apakah dapat disembuhkan. Pasien stadium IIIB-IV

berdasarkan ukuran tumor, ada tidaknya tanda desakan, gejala sistemik, laju progresi

tumor dan faktor lain, secara terpisah dilakukan observasi, kemoterapi obat tunggal,

kemoterapi kombinasi atau perpaduan kemo/radioterapi. Terhadap lesi yang tidak besar, tanpa

tanda desakan, dan progresi sangat lambat, dapat dilakukan observasi. Bila terdapat gejala,

umumnya dianjurkan kemoterapi obat tunggal (seperti klorambusil, siklofosfamid atau

fludarabin). Bila efektivitas kemoterapi obat tunggal kurang baik dan gejala

mempengaruhi secara nyata kualitas hidup pasien, dapat dikemoterapi kombinasi dengan

formula FND, CVP, CHOP, dll.

2. Limfoma agresif (tingkat keganasan sedang)

Limfoma agresif meliputi limfoma sel B besar difus, limfoma sel B besar mediastinal,

17

Page 18: Makalahnya

limfoma sel besar anaplastik, dan subtipe lain, terapi standar dengan formula CHOP.

3. Limfoma sangat agresif (tingkat keganasan tinggi).

Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt termasuk limfoma dengan keganasan tinggi,

tapi terapi keduanya memiliki ciri yang berbeda.

(1) Limfoma limfoblastik: tergolong keganasan tinggi, mortalitas tinggi, harus diterapi

dengan formula terhadap lekemia limfositik akut, masih ada kemungkinan sembuh. Limfoma

limfoblastik pada anak-anak berprognosis lebih baik, pada dewasa sangat buruk, tanpa

invasi sumsum tulang dan sistem saraf pusat, bila LDH normal prognosis lebih baik.

(2) Limfoma Burkitt: walaupun keganasan tinggi, namun dengan terapi rasional tidak sedikit

pasien dapat disembuhkan.

Formula kemoterapi terhadap limfoma non-Hodgkin

1) Formula CHOP

CTX 750mg/m2 iv, dlADR 50mg/m2 iv, dlVCR 1,4mg/m2 iv (dosis maks. 2mg), dlPred. 60mg/m2 po, d1-5

Diulangi setiap 21 hari.

2) Formula M-BACOD

MTX 3000mg/m2 iv, d8, d15 (berikut salvasi CF)CF 100mg/m2 po, q6h x8 (mulai 24jam pasca MTX)

BLM 4U/m2 iv, dlADR 45mg/m2 iv, dlCTX 600mg/m2 iv, dlVCR 1,4mg/m2 iv, dlDXM 6mg/m2 d1-5

Diulangi setiap 21 hari.

3) Formula CHOP-RituximabCTX 750 mg/m2 iv, d3ADR 50 mg/m2 iv, d3

VCR 1,4 mg/m2 iv (dosis max.2 mg), d3

Pred. 100 mg/m2 po, d3-7

Rituximab 375 mg/m2 iv, dl

Diulangi setiap 21 hari.

4) Formula FMD.FDR 25mg/m2 iv, d1-5

MIT 10mg/m2 iv, dl

DXM 20mg/m2 iv, d1-5

Diulangi setiap 21 hari.

18

Page 19: Makalahnya

K. OPERASI

Operasi pada penderita limfoma malignum pada tonsil tidak sering dilakukan. Tapi

biasanya dilakukan jika pengobatan dengan radioterapi dan kemoterapi tidak berhasil, untuk

dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi, dan untuk stabilisasi salur pernafasan.

Jika dalam pertimbangan untuk dilakukan operasi pada limfoma malignum tonsil, ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: apakah tumor primer bisa direseksi

(dioperasi/diangkat), apakah kelainan pada leher tersebut bisa direseksi, apakah terdapat

metastasis jauh di tempat lain, apakah operasi tersebut akan memberikan kebaikan yang

sangat signifikan kepada penderita, apakah terdapat kelainan atau penyakit lain yang akan

mengganggu operasi dan hasil operasi tersebut atau akan membahayakan penderita, dan

apakah pasien benar-benar memilih untuk dilakukan operasi.

Tumor pada tonsil dianggap tidak bisa direseksi jika sudah terjadi invasi terhadap

m.pterygoid lateral, dinding lateral nasofaring, basis kranium atau tumor sudah mengelilingi

dan melekat pada arteri karotis.

L. PROGNOSIS

Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan

limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu yang

lama dan dapat pula disembuhkan.

Beberapa penderita bisa mengalami kesembuhan total, sedangkan penderita lainnya

harus menjalani pengobatan seumur hidupnya. Kemungkinan penyembuhan atau angka

harapan hidup yang panjang tergantung kepada jenis limfoma dan stadium penyakit pada saat

pengobatan dimulai.

Biasanya jenis yang berasal dari limfosit T tidak memberikan respon sebaik limfosit

B. Angka kesembuhan juga menurun pada penderita yang berusia diatas 60 tahun, limfoma

yang sudah menyebar ke seluruh tubuh, penderita yang memiliki tumor (pengumpulan sel-sel

limfoma) yang besar dan penderita yang fungsinya dibatasi oleh kelemahan yang berat dan

ketidakmampuan bergerak.

19

Page 20: Makalahnya

BAB III

KESIMPULAN

Limfoma malignum merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid yang

dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin.

Limfoma malignum dapat mengenai tonsil, yang juga merupakan salah satu dari jaringan

limfoid di tubuh manusia. Limfoma Hodgkin bercirikan adanya sel malignum khusus, yang

disebut dengan sel Reed-Sternberg, pada limfonodus atau jaringan limfatik lainnya. Limfoma

malignum non-Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat.

Dalam bidang ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher (THT-KL),

limfoma malignum merupakan kelainan neoplasma kepala dan leher kedua terbanyak setelah

karsinoma sel skuamosa. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus,

khususnya virus Epstein Barr.

Limfoma malignum pada tonsil, seperti limfoma malignum yang menyerang kelenjar

atau jaringan limfatik lainnya, ditemukan manifestasi klinis secara umum, yaitu berat badan

menurun, demam, lesu, keringat malam dan nyeri pada tulang. Manifestasi klinis yang

berhubungan dengan limfoma malignum pada tonsil bisa kesulitan dalam menelan, nyeri

menelan dan merasa adanya massa di tenggorok.

Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Setelah diagnosis

ditegakkan maka ditentukan stadium dari penyakitnya, lalu dilakukan terapi yang terdiri dari

radioterapi dan kemoterapi. Operasi biasanya hanya dilakukan jika akan dilakukan

pemeriksaan biopsi histopatologi, stabilisasi jalan nafas dan jika terapi radioterapi dan

kemoterapi tidak berhasil.

Prognosisnya pula tergantung kapan terapi tersebut dimulai. Jika dimulai pada saat

stadium limfomanya sudah lanjut maka prognosisnya lebih buruk. Begitu juga jika penderita

sudah berumur di atas 60 tahun.

20

Page 21: Makalahnya

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Soepardi EA, Iskandar EA.

Jakarta:FKUI. 2010. P 214-5.

2. Corwin EJ. Penyakit Hodgkin dan Limfoma Non-Hodgkin. Dalam: Buku Saku

Patofisiologi Edisi Bahasa Indonesia. Cetakan ke-1. Corwin EJ. Alih bahasa: Pendit

BU, Pakaryaningsing E. Jakarta: EGC. 2002. P 135-137.

3. Santoso M, Krisifu C. Diagnostik dan Penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin.

Dalam: Dexa Media No. 4 Volume 17. Jakarta. 2004. P 143-6.

4. Hacihanefioglu A, Tarkun P, Gonullu E, Vardar O. Lymphomas of Waldeyer’s Ring:

Clinical features, management and prognosis of eleven adult patients. Dalam: Turk J

Hematol. 2008. 25: P 75-8.

5. Tan LHC. Lymphomas Involving Waldeyer’s Ring: Placement, Paradigms,

Peculiarities, Pitfalls, Patterns and Postulates. Dalam: Annals Academy of Medicine.

July 2004. Vol.33 No, 4. P 15-26.

6. Kokot N. Malignant Tumors of the Tonsil, Surgical Treatment. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/848034-followup Accessed March 5, 2011.

7. Dunleavy KM. Lymphomas of the Head and Neck. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/854110-followup Accessed March 5, 2011.

8. Liess BD. NK-Cell Lymphomas of the Head and Neck. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/871609-followup Accessed March 5, 2011.

21