MAKALAH HADITS SHAHIH, HASAN, DAN DHA’IF Mata Kuliah : Ulumul Hadits Dosen Pengampu : Dr. H. M. Akib, M.Ag. Disusun oleh Kelompok 5 Psikologi Islam B : Zuliana Halimatus Sa’diyah (933406914) Putri Mahsunatul Qoiriah (933407014) Iva Nur Kiftiyah (933407114) Annisa Nuril Fadilla (933407314) PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM JURUSAN USHULUDDIN
menjelaskan dari subtansi-substansi hadits dari tingkat shahihnya
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKALAH
HADITS SHAHIH, HASAN, DAN DHA’IF
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Akib, M.Ag.
Disusun oleh Kelompok 5 Psikologi Islam B :
Zuliana Halimatus Sa’diyah (933406914)
Putri Mahsunatul Qoiriah (933407014)
Iva Nur Kiftiyah (933407114)
Annisa Nuril Fadilla (933407314)
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2014
A. PENDAHULUAN
Pengkodifikasian hadits sudah dimulai sejak abad ke-2 H. Pada masa
ini belum ada klasifikasi antara hadits-hadits marfu’, mauquf dan maqthu’.
Setelah tersusun kitab-kitab tadwin, para ulama’ hadits berdasarkan jumlah
perawinya membagi hadits menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits
mutawatir bersifat qath’iy ats-tsubut (absah secara mutlak) yang wajib
diterima dan diamalkan. Sedangkan hadits ahad masih bersifat dhanniy
(dugaan yang kuat akan kebenarannya). Sehingga harus diteliti lagi baik
sanad maupun matannya.
Dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits
shahih, hasan, dan dha’if. Pengklasifikasian ini terjadi pada abad ke-3 H yang
didasarkan atas penelitian terhadap sanad dan matan hadits. Sebuah hadits
harus terbukti keotentikannya atau keshahihannya. Sebuah hadits harus
memiliki kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Diriwayatkan dengan
sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai Rasulullah saw; (2) Sanad
tersebut terdiri dari orang-orang yang bertakwa dan kuat ingatannya; (3)
Kandungan matan hadits tidak berlawanan dengan al-Qur’an atau hadits lain
yang diriwayatkan dengan sanad yang kualitasnya lebih unggul; dan (4)
Hadits tersebut tidak mengandung kecacatan. Namun demikian, tetap ada
golongan yang menolak otentisitas hadits, yakni kaum orientalis.
Dari ulasan singkat sejarah hadits diatas, pemakalah akan membahas
lebih lanjut tentang bagaimana penjabaran substansi-substansi dari hadits
shahih, hasan, dan dha’if. Kemudian tentang bagaimana perbedaan pemikiran
ulama’ hadits klasik dengan ulama’ hadits kontemporer. Dan tentang
kontroversi orientalis dalam menilai otentisitas suatu hadits.
B. SETTING HISTORIS
1. Ulama’ Hadits Klasik
1
Pada mulanya, hadits berdasarkan jumlah perawinya dibagi
menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Sedangkan hadits ahad dibagi
lagi menjadi dua berdasarkan dari segi kehujjahannya, yaitu hadits
maqbul dan mardud. Menurut mayoritas ulama’ hadits maqbul adalah
hadits shahih dan hadits hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits
dha’if.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hadits tersebut salah
satunya intelektualitas para perawi yang berbeda-beda. Kemudian jalur
periwayatan hadits yang bervariasi seperti contohnya riwayat hadits oleh
Bukhari,Muslim,Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibn Majah dan lain-
lain. Kemudian persambungan sanad mulai dari awal sampai akhir.
Disini tingkat kedhabitan perawi sangat penting agar mata rantai sanad
dan matan terjaga.
2. Ulama’ Hadits Kontemporer
Masa ulama’ hadits kontemporer adalah masa pengembangan dan
penyempurnaan sistem penyusunan kitab hadits. Setelah munculnya
Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, serta al-Musnad
karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama’ mengalihkan perhatian pada upaya
menyusun kitab-kitab Jawami, kitab Syarah Mukhtasar, Tahrij, kitab
Athraf dan Jawaid, serta menyusun kitab hadits secara tematis. Ulama’
yang masih menyusun kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih
Penyusunan kitab pada masa ini mengarah pada usaha
mengembangkan variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang telah
ada, diantaranya dengan mengumpulkan isi kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Abdillah
al-Jauzaqi dan Ibnu al-Furat (w. 414 H). Mereka pun mengumpulkan isi
kitab yang sama, seperti yang dilakukan oleh Ibnu al-Kharrat (w. 583 H),
al-Fairu az-Zabadi dan Ibnu al-Asir al-Jazari. Ada yang mengumpulkan
2
kitab-kitab hadits mengenai hukum, seperti yang dilakukan oleh ad-
Daruquthni, al-Baihaqiy, Ibnu Daqiq al-Ied, Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dan
Ibnu Qudamah.1
Masa ini juga merupakan masa penyaringan hadits. Yaitu harus
diketahui seluk-beluk para perawinya, silsilah sanadnya, dan makna
hadits secara tekstual karena sering terjadi perubahan huruf dan syakal
dalam kalimat matan hadits.
C. SUBSTANSI DARI TERMINOLOGI
1. SHAHIH
a. Pengertian Hadits Shahih
1) Menurut Abu Amr ibn ash-Shalah
بنقل اسناده يتصل المسندالذي هو الصحيح الحديث
والمعلال شاذا يكون وال منتهاه الى الضابط .العدل
Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil
lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak
mu’allal (terkena ‘illat).2
2) Menurut Imam Nawawiy
وال شذود غير من الضابطون بالعدول سنده مااتصل هو
.علة
Hadits shahih adalah hadits yang muttashil sanadnya melalui
(periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz
dan ‘illat.3
Yang dimaksud muttashil disini adalah hadits tersebut
sanadnya bersambung sampai akhir, baik marfu’ (sampai kepada
Rasulullah saw.) maupun mauquf yang berarti hadits tersebut
1 Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, CV Pstaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 189.2 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 276.3 Ibid.
3
diriwayatkan oleh sahabat. Sedangkan hadits yang maqthu’ tidak
termasuk muttashil karena periwayatnya terhenti sampai tabi’in saja.
Perawi yang adil lagi dhabit disebut perawi tsiqah. Disini
dapat kita simpulkan bahwa hadits shahih adalah hadits yang
muttashil sanadnya oleh perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah
pula sampai akhir, dan tidak syadz dan tidak terkena ‘illat.
b. Kriteria-kriteria Hadits Shahih
1) Persambungan sanad (muttashil)
Yakni setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima
periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (
ة/ ر1 1اش1 6م5ي) atau secara hukum (م3ب dari awal sanad sampai (ح3ك
akhirnya.
a) Pertemuan langsung (mubasyarah), seorang bertatap muka
langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan.
b) Pertemuan secara hukum (hukmiy), seorang meriwayatkan
hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan
ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin
melihat.
2) Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah)
Adil secara bahasa artinya seimbang atau meletakkan
sesuatu pada tempatnya. Orang yang adil adalah orang yang
lurus agamanya, baik pekertinya serta bebas dari kefasikan.
Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj’an at-tha’ah),
mempermudah dosa besar atau melenggangkan dosa kecil secara
kontinu. Seorang perawi haruslah menjaga muru’ah, artinya
menjaga kehormatan, menjalankan segala adab dan akhlak yang
terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut umun dan
tradisi.
3) Para perawi bersifat dhabit (dhabt ar-ruwah)
4
Dhabit berarti kuat dan sempurna hafalannya. Maksudnya,
para perawi itu benar-benar sadar dan paham ketika
meriwayatkan hadits, dan menghafalnya sejak pertama
menerima sampai meriwayatkan suatu hadits. Daya ingat dan
hafalan kuat ini sangat diperlukan dalam rangka menjaga
otentisitas hadits.
4) Tidak terjadi kejanggalan (syadz)
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau
menyalahi aturan, maksud syadz disini adalah periwayatan
orang yang tsiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang
lebih tsiqah.
5) Tidak terjadi ‘illat
Dalam bahasa arti ‘illat = penyakit, sebab, alasan atau
udzur. Sedang arti ‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi
yang membuat cacat suatu hadits padahal dhahirnya selamat
dari cacat tersebut.
c. Pembagian Hadits Shahih
Pembagian hadits shahih ada dua macam, yaitu:
1) Shahih li dzatihi (shahih dengan sendirinya), yaitu karena sudah
memenuhi 5 kriteria hadits shahih secara maksimal.
2) Shahih li ghairihi (shahih karena sebab lain), yaitu hadits shahih
yang kurang memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Seperti
rawinya adil tetapi kurang sempurna kedhabitannya, atau hadits
tersebut berkualitas hasan li dzatihi namun memiliki mutabi’4
yang menguatkan hadits tersebut.
d. Istilah-istilah dalam Hadits Shahih
4 Lihat halaman
5
Ada beberapa istilah yang bisa digunakan oleh ulama’ hadits
dalam menunjuk hadits itu shahih, misalnya sebagai berikut.5
1) 6ح/ ي ص1ح5 6ث/ ح1د5ي ini hadits shahih. Artinya hadits tersebut = ه1ذ1ا
telah memenuhi segala persyaratan hadits shahih baik sanad dan
matannya.
2) 6ح/ ي ص1ح5 6ر3 غ1ي 6ث/ ح1د5ي ini hadits tidak shahih. Artinya hadits = ه1ذ1ا
tersebut tidak memenuhi persyaratan hadits shahih baik
dan al-Mustadrak Ala ash-Shahihain karya Abu Abdullah al Hakim
an-Naisaburiy (321-405 H).
Selain itu terdapat Musnad Ahmad karya Imam Ahmad Ibn
Hanbal al-Syaibaniy (164-241 H) yang merupakan kitab hadits
terlengkap yang masih ada dan sampai kepada kita. di dalamnya
terdapat hadits shahih, hasan dan dha’if, namun Imam Suyuthiy
mengatakan: “Semua yang ada di dalam Musnad Ahmad adalah
maqbul. Karena hadits dha’if yang ada di dalamnya mendekati
kualitas hasan.”12
10 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 285.11 Ibid.12 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 292.
10
Kemudian ada pula empat kitab Sunan yaitu Sunan Abu
Dawud karya Abu Dawud as-Sijistani (202-275 H), Sunan at-
Tirmidziy karya Imam at-Tirmidziy (209-279 H), Sunan an-Nasa’iy
karya Imam an-Nasa’iy (215-303 H), dan Sunan Ibn Majah karya
Imam Ibn Majah al-Quzwainiy (209-273 H). Empat kitab ini
memuat tidak mengkhususkan pada hadits shahih saja, juga terdapat
hadits hasan dan dha’if.
i. Perbedaan Antara Hadits Shahih Klasik dan Kontemporer
Dalam perkembangan ilmu kritik hadits, pada setiap zamannya
selalu muncul para pemikir tertarik untuk meneliti hadits. Kajian
hadits tersebut pada umumnya lebih banyak membicarakan apa yang
seharusnya disebut hadits, bukan apa yang dimaksud dari hadits
tersebut. Disinilah letak perbedaan pemikiran antara ulama’ hadits
klasik dan kontemporer, pada metodologinya dalam mengkaji hadits.
Ulama’ klasik mengkaji hadits menggunakan metode tahlili
(meneliti semua aspeknya: sanad dan matan), metode ijmali
(menafsirkan secara global), dan metode muqaran (membandingkan
dengan al-Qur’an). Memahaminya pun melalui pendekatan
kebahasaan dan kesejarahan (historis). Sehingga yang dihasilkan
adalah makna asli dari hadits tersebut.
Sedangkan ulama’ kontemporer mengkajinya dengan
menggunakan metode maudhu’i (tematik) seperti yang dilakukan
para orientalis. Pemahamannya melalui pendekatan fenomenologi
(dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada manusia) dan
hermeneutika (penafsiran pada fenomenologi). Hasil kajiannya
bersifat aplikatif dan solutif.
2. HASAN
a. Pengertian Hadits Hasan
11
Hadits hasan adalah hadits yang telah memenuhi syarat shahih
seluruhnya namun seluruh perawinya atau sebagian kurang
kedhabitannya. Definisi hadits hasan yang paling lengkap
dikemukakan Ibn Hajar (w. 852 H) sebagai Khabar Ahad:13
والشاذ معلل غير المسند متصل الضبط قليل عدل نقله .ما
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang sedikit
kedhabitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai Nabi saw
dan tidak mempunyai ‘illat serta tidak syadz.
b. Kriteria-kriteria Hadits Hasan
Syarat-syarat hadits hasan14:
1) Sanadnya bersambung (muttashil)
2) Perawinya adil
3) Perawinya dhabit, tetapi berada dibawah perawi hadits shahih.
4) Tidak ada kejanggalan (syadz)
5) Tidak ada ‘illat
c. Pencetus Istilah Hasan
Menurut Ibnu Taimiyah, orang yang pertama kali
memperkenalkan pembagian hadits dari segi kualitas kepada shahih,
hasan dan dha’if adalah at-Tirmidziy. Awalnya beliau hanya
membaginya menjadi shahih dan dha’if. Namun seringkali beliau
menyebut suatu hadits dengan sebutan “hasan shahih”. Barangkali
inilah yang kemudian oleh para ulama’ menjadi klasifikasi tersendiri
yakni hadits hasan. Menurut at-Tirmiziy hadits hasan adalah hadits
yang berbilangan jumlah sanad-nya dan tidak terdapat seorang
perawi yang tertuduh dusta dan ganjil (syadz).
d. Pembagian Hadits Hasan
13 Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 60.14 Musthofa Hasan, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.228
12
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam,
hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits li dzatihi
dan hasan li ghairihi:15
1) Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hadits li dzatihi adalah hadits hasan dengan
sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan
persyaratan yang ditentukan sebagaimana definisi dan
Adalah hadits dha’if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad)
lain yang sama atau lebih kuat.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits
dha’if bisa naik menjadi hasan li ghairihi dengan dua syarat,
yaitu:
1) Harus ditemukan periwayat sanad lain yang seimbang atau
lebih kuat.
2) Sebab kedha’ifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik,
tetapi ringan seperti hapalan yang kurang atau terputusnya
sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas
perawi.
e. Istilah-istilah dalam Hadits Hasan16
Istilah-istilah yang digunakan dalam hadits hasan:
15 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 160.16 Ibid., hlm. 161.
13
1) Di antara gelar ta’dil para perawi yang digunakan dalam hadits
maqbul atau hasan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-
Jarh wa at-Ta’dil. Sebagian ulama’ mempersamakan dalam
gelar ta’dil para perawi hadits dalam kata al-jayyid = bagus
antara shahih dan hasan. Sebagian ulama’ lain lebih
berpendapat bahwa sekalipun gelar al-jayyid dengan makna
shahih, tetapi para muhadditsin senior tidak pindah dalam
menilai shahih menjadi al-jayyid tersebut kecuali ada tujuan
tertentu.
2) Perkataan mereka muhadditsin : 1اد5 ن 5س6 ال6 ح1س1ن3 6ث/ ح1د5ي = ه1ذ1ا
ini hadits hasan sanadnya. Maknanya hadits ini hanya hasan
sanadnya saja sedang matannya perlu penelitian lebih lanjut.
Mukharrij hadits tersebut tidak menanggung ke-hasan-an matan
mungkin ada syadz atau ‘illat. Berarti ada kesempatan luas bagi
para peneliti belakangan untuk mengadakan penelitian lebih
lanjut tentang matan hadits tersebut apakah matannya juga hasan
atau tidak.
3) Ungkapan at-Tirmiziy dan yang lain : /6ح ي ص1ح5 ح1س1ن/ 6ث/ = ح1د5ي
ini hadits hasan shahih. Makna ungkapan ini ada beberapa
pendapat, diantaranya:
a) Hadits tersebut memiliki dua sanad, yang shahih dan hasan.
b) Terjadi perbedaan dalam penilaian hadits sebagian
berpendapat shahih dan golongan lain berpendapat hasan.
c) Atau dinilai hasan li dzatihi dan shahih li ghairihi.
f. Ashabul Asanid Hadits Hasan
Seperti hadits shahih yang mempunyai tingkatan-tingkatan
dalam sanadnya, para ulama’ juga membagi sanad-sanad hadits
hasan dalam tingkatan.
Imam adz-Dzahabiy mengatakan: “Tingkat hasan tertinggi
adalah riwayat Bahz Ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Ibn
14
Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian
ulama’ dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat
shahih terenda. Kemudian sanad yang diperselisihkan antara hasan
dan dha’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn
Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.17
g. Kehujjahan Hadits Hasan
Hadits hasan baik li dzatihi maupun li ghairihi dapat dijadikan
hujjah dan diamalkan seperti hadits shahih meskipun tingkatannya
dibawah hadits shahih. Bahkan sebagian ulama’ memasukkannya ke
dalam hadits shahih, seperti al-Hakim (w. 405 H), Ibnu Hibban dan
Ibn Khuzaimah. Namun akan tetap dimenangkan hadits shahih
apabila terjadi kontradiksi dengan hadits hasan.
h. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Hasan
Para ulama belum menyusun kitab-kitab khusus yang hanya
memuat hadits-hadits hasan secara terpisah seperti penulisan hadits
shahih, tetapi hadits hasan banyak kita temui pada sebagian kitab,
diantaranya:
1) Jami’ at-Tirmidziy, dikenal dengan Sunan at-Tirmidziy, yang
merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan.
2) Sunan Abu Dawud
3) Sunan ad-Daruquthni
3. DHA’IF
a. Pengertian Hadits Dha’if18
Hadits dha’if adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi
bahasa dha’if berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti kuat.
Kelemahan hadits dha’if ini karena sanad-nya dan matan-nya tidak
17Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 301.18 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 163.
15
memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hujjah. Dalam
istilah hadits dha’if adalah:
ط5ه5 و6 ر3 ش3 م5ن6 ط? ر6 ش1 5ف1ق6د5 ب ن5 6ح1س1 ال ص5ف1ة1 1ج6م1ع6 ي 1م6 ل م1ا ه3و1
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu
dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Jadi hadits dha’if adalah hadits-hadits yang tidak memenuhi
sebagian atau semua persyaratan hadits shahih atau hasan.
b. Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits dha’if adalah hadits
yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Diantaranya:
(1) sanadnya terputus; (2) perawinya tidak adil; (3) perawinya tidak
dhabit; (4) mengandung syadz; (5) mengandung ‘illat.
c. Pembagian Hadits Dha’if
1) Mursal
Definisi hadits mursal yang paling umum digunakan
mayoritas ulama’ adalah:
من وسلم عليه الله صلى الرسول إلى التابعي رفعه ما
أوكبيرا التابعي كان صغيرا أوتقرير أوفعل .قول
Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang seorang tabi’iy kepada
Rasul saw, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik
tabi’iy itu kecil atau besar.19
Dengan demikian, seorang tabi’iy menyandarkan sebuah
hadits langsung kepada Rasulullah saw (marfu’) tanpa
menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Untuk kehujjahannya, terdapat tiga pendapat yang paling
populer, yaitu:
a) Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini
merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, 19 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 304.
16
Imam Ahmad dan sejumlah ahli fiqh, ahli hadits, dan ahli
ushul.
b) Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
Ini diceritakan oleh Imam an-Nawawiy dari mayoritas ahli
hadits, Imam Syafi’iy dan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli
ushul. Imam Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih
mengatakan: “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami
dan pendapat ahli hadits tidak dapat menjadi hujjah”.
c) Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.
Misalnya dari jalur lain ia diriwayatkan secara musnad
ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat
ataupun oleh mayoritas ahli ilmu.
2) Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang terdapat satu perawi
atau lebih yang gugur dari awal sanad. Terputusnya sanad pada
hadits mu’allaq terjadi pada sanad yang pertama, atau pada
seluruh sanad. Sehingga sanadnya tampak tidak berpijak pada
“shalih al-hadits”, dan Ibnu Hajar menilainya shaduq rubama akhtha’
(jujur tapi kemungkinan keliru).
b. Hadits Hasan Li Ghairihi
Contoh hadits hasan li ghairihi adalah hadits yang diriwayatkan
Ibnu Majah dari al-Hakam ibn Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’id
ibn al-Musayyab dari Aisyah sebagai berikut.
aالحل في فأقتلها غيره وال aيا مصل تدع ال العقربب الله لعن
.والحرم
Allah melaknat kalajengking, janganlah engkau membiarkannya, baik
keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di tanah halal atau
di tanah haram.31
Hadits ini dha’if karena al-Hakam ibn Abdul Malik seorang
yang dha’if. Namun dalam riwayat ibnu Khuzaimah terdapat sanad
lain yang berbeda perawi di kalangan tabi’in yang berfungsi sebagai
mutabi’ melalui Syu’bah dari Qatadah. Sehingga naik derajatnya
menjadi hasan li ghairihi.
3. DHA’IF
a. Mursal
Contoh hadits mursal adalah hadits riwayat Abdurrazaq dalam
kitab al-Mushannaf sebagai berikut.
: , إذ سلaم و عليه الله صلaى aنبي aأن عطاء عن جريج ابن عن
عليكم السaالم الناسفقال على بوجهه أقبل المنبر .صعد
31 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 181.
30
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw apabila naik ke
mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu
mengucap, “Assalamu’alaikum”.32
Atha’ ibn Rabah adalah seorang tabi’iy besar. Namun pada
hadits ini beliau meriwayatkannya dengan tidak menyebut nama
sahabat periwayat hadits, dan langsung menyandarkannya kepada
Rasulullah saw.
b. Munqathi’
Contoh hadits munqathi’ adalah hadits riwayat Ibnu Majah dan
at-Tirmidziy sebagai berikut.
عن ليث عن إبراهيم بن إسماعيل حدثنا حجر بن علي حدثنا
جدaتها عن الحسين بنت فاطمة أمaه عن الحسن بن الله عبد
دخل إذا وسلaم الله صلaى الله رسو كان قالت الكبرى فاطمة
ذنوبي اغفرلي aرب وقال وسلaم محمaد على صلaى المسجد
فضلك أبواب لي .وافتح
‘Ali ibn Hajar bercerita kepada kami, katanya Ismail ibn Ibrahim
bercerita kepada kami dari Laits dari ‘Abdullah ibn Hasan dari
ibunya Fathimah binti Husain dari neneknya Fathimah al-Kubra
katanya, “Apabila Rasulullah memasuki masjid, ia membaca shalawat
bagi Nabi Muhammad dan berdo’a, ‘Ya Tuhanku, ampunilah dosaku
dan bukalah pintu rahmat-Mu’. Dan jika ia keluar juga membaca
shalawat untuk Muhammad dan berdo’a, ‘Ya Tuhanku, ampunilah
dosaku dan bukalah pintu keutamaan-Mu’”.33
Fathimah binti Husain tidak pernah bertemu neneknya,
Fathimah binti Rasulullah (biasa dikenal Fathimah az-Zahra’ atau
Fathimah al-Kubra). Seperti kita ketahui bahwa Fathimah binti
Rasulullah meninggal satu bulan setelah wafatnya Rasulullah,
32 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 133-134.33 Dr. Idri, M.Ag., Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 187.
31
sedangkan saat itu Fathimah binti Husain belum lahir. Disini dapat
diketahui ada perawi yang gugur, sehingga hadits ini munqathi’.
c. Mu’dhal
Contoh hadits mu’dhal adalah hadits riwayat Imam Malik dalam
kitabnya al-Muwaththa’ sebagai berikut.
: : وسلم عليه الله صلaى الله رسول قال قال هريرة أبا aأن
وكسوته طعامه .للمملوك
Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah besabda,”Bagi si budak
mempunyai hak, berupa makanan dan pakaian.”34
Beliau meriwayatkannya langsung dari Abu Hurairah padalah
beliau termasuk tabi’it-tabi’iy. Dengan demikian terdapat perawi yang
gugur. Setelah diadakan penelitian dengan membandingkan pada kitab
lain, ternyata didapati perawi yang gugur adalah Ajlan dan bapaknya.
d. Mu’allaq
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwatkan al-
Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari sebagai berikut.
: تستتر ال كان القبر حب لصا وسلaم عليه الله صلى aبىa الن وقال
بوله من
Nabi saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu ia tidak
membersihkan kencingnya”.35
Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari tanpa menyebut semua
sanadnya, dan hanya mengatakan “Nabi saw bersabda”.
e. Mudallas
Contoh hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan Imam
Ahmad dan Imam Abu Dawud sebagai berikut.
34 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 137.35 Ibid., hlm. 138-139.
32
أبي عن الألجلح ثنا نمير بن ثنا أبي حدثني الله عبد حدثنا
: , وسلaم عليه الله رسول قال قال عازب بن البراء عن إسحاق
قا aيتفر أن قبل لهما aغفر إال فيتصافحان يلتقيان مسلمين من ما
( ضعيف( : إسناد وهذا لغيره صحيح األرنؤوط قال
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ ibn ‘Azib, dia berkata, Rasulullah
bersabda, “Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu lalu
berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka
berdua sebelum mereka berpisah”.36
Abu Ishaq al-Sabi’i adalah Amr ibn Abdullah. Sebenarnya
beliau tsiqah, hanya saja beliau dianggap men-tadliskan perawi dalam
hadits ini.
Pada hadits ini beliau meriwayatkan dengan ungkapan yang
mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu
dengan menggunakan kata ‘an. Padahal beliau tidak mendengar
langsung hadits ini dari al-Barra’ ibn ‘Azib, tetapi dari Abu Dawud al-
A’ma (Nafi’ ibn al-Harits). Sedangkan Nafi’ ibn al-Harits ini matruk
(tertolak haditsnya) dan tertuduh berdusta.
f. Mu’allal
Contoh hadits mu’allal adalah hadits riwayat Ibnu Majah
sebagai berikut.
عن هري aالز عن يزيد يونسبن حدaثنا الوليد بن aة بقي حدaثنا
, الجمعة صالة من ركعة أدرك من قال عمر ابن عن سالم
الصالة أدرك فقد وغيرها
Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat dan shalat
lainnya, maka telah mendapatkan shalatnya.37
Oleh Abu Hatim ar-Razi, hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah
ini sanad dan matannya salah. Yang benar adalah riwayat az-Zuhriy
36 Ibid., hlm. 141.37 Ibid., hlm. 140.
33
dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, yang mana lafadz “shalat
Jumat” tidak ada.
g. Mudhtharib
Contoh hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan al-
Hakim an-Naisaburiy dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-
Shahihain sebagai berikut.
سألته وأنا مطر بن محمaد بن خعفر بن عمرومحمaد أبو حدثني
حدثنا: الحافظ نصر بن أحمد بن جعفر محمaد أبو حدثني قال
إسحاق أبي عن شيبان عن هشام بن معاوية حدثنا كريب أبو
: الله رضي الصaديق بكر أبو قال aاسقال عب بن عن عكرمة عن
: قال شبت قد أراك سلaم و عليه الله صلaى الله لرسول عنه
مسكوaرت aالش وإذا ءلون وعمaيتسا والواقعة هود .شيبتني
Abu ‘Amr Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Mathar bercerita
kepadaku dan aku bertanya kepadanya, katanya Abu Muhammad
Ja’far ibn Ahmad ibn Nashr al-Hafidz bercerita kepada kami, katanya
Abu Kuraib bercerita kepada kami, katanya Mu’awiyah ibn Hisyam
bercerita kepada kami dari Syaiban dari Abu Ishaq dari ‘Ikrimah dari
Ibnu ‘Abbas katanya, Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, “Aku melihat
Hud, al-Waqi’ah, al-Mursalat, ‘Amma Yatasaa-alun, dan Wa Idza asy-
Syams Kuwwirat telah menyebabkanku tampak muda”.39
h. Maqlub
Contoh hadits maqlub adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang
terdapat dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut.
بصدقة ... تصدaق aرجل aظلaه إال aظل ال يوم الله aهم يظل سبعة
شماله تنفق ما يمينه تعلم ال aى حت .أخفاها
Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tiada
naungan kecuali naungan-Nya. ... Dan seseorang yang bersedekah
dengan suatu sedekah, lalu ia menyembunyikannya, sampai tangan
kanannya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan
kirinya.40
Jika melihat dalam kitab Shahih al-Bukhari, al-Muwaththa’, dan
lainnya maka akan didapati bahwa redaksi hadits diatas terbalik.
Redaksi yang benar adalah sebagai berikut.
يمينه ... تنفق ما شماله تعلم ال .حتى
Sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh
tangan kanannya.41
i. Syadz
39 Ibid.40 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 311.41 Ibid.
35
يمينه عن فليضطجع الفجر ركعتي أحدكم صلaى .إذا
Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan shalat dua rakaat
fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya.42
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidziy
dari hadits Abdul Wahid ibn Ziyad dari al-A’masy dari Abu Saleh dari
Abu Hurairah secara marfu’. Dalam hal ini menurut al-Baihaqiy,
Abdul Wahid adalah mukhalafah (berbeda/melakukan penyimpangan)
dan tafarrud (melakukan penyendirian) dari sekian murid al-A’masy.
j. Munkar
Contoh hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-
Nasa’iy dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah secara marfu’ sebagai berikut.
: حدaثني قال مقدم بن عطاء بن علي بن عمر بن محمaد أخبرنا
: يذكر عروة بن هشام سمعت قيسقال بن محمaد بن يحيى
: عليه الله صلaى الله رسول قال قالت عائشة عن أبيه عن
يطان aالش غضب أكله إذا آدم aبن فإن aمر بالت البلح كلوا وسلaم
بالجديد الحلق أكل aى حت آدم عاشبن .وقال
Muhammad ibn ‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Atha’ ibn Miqdam bercerita
kepada kami katanya, Yahya ibn Muhammad ibn Qais bercerita pada
kami katanya, aku mendengar Hisyam ibn ‘Urwah menyebutkan
(hadits) dari ayahnya dari ‘Aisyah katanya, Rasulullah saw bersabda,
“Makanlah kurma yang masih muda. Karena jika seseorang
memakannya, maka setan akan marah dan berkata, ‘Seseorang telah
hidup sampai makan ciptaan yang baru”43
Yahya ibn Muhammad ibn Qais dari Hisyam ibn ‘Urwah dari
ayahnya dari ‘Aisyah meriwayatkan secara tafarrud. Juga maknanya
kaku karena tidak sejalan (inkar) dengan prinsip-prinsip syariah,
42 Ibid., hlm. 313.43 Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 209.
36
karena setan tidak akan marah hanya karena hidupnya seseorang, tetapi
karena hidup seorang Muslim yang taat kepada Allah swt.
k. Matruk44
l. Mudraj
Contoh hadits mudraj adalah hadits riwayat az-Zuhriy dari ‘Aisyah ra
sebagai berikut.
غارحراء -- في aث يتحن سلaم و عليه الله صلaى aبيa الن كان
العدد-- ذوات aيالي الل aد aعب .وهوالت
Nabi saw bertahannuts –yaitu beribadah—di dalam Gua Hira’
beberapa malam.45
Kalimat aد aعب adalah وهوالت pernyataan az-Zuhriy sebagai
penjelas istilah tahannuts.
E. KONTROVERSI ORIENTALIS TENTANG HADITS
Belum jelas kapan dan siapa orang Barat yang pertama kali melakukan
pengkajian terhadap Islam. Beberapa pakar sejarah mengatakan bahwa kali
pertama orang-orang Barat mempelajari Islam adalah saat kekhalifahan Islam
(pada saat itu Dinasti Umayyah) menguasai Andalusia (sekarang Spanyol)
pada tahun 93 H/711 M.
Setelah penaklukan, bangsa Eropa dengan bebas menimba ilmu dari
Spanyol Islam. Diantaranya Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of
Bath (1070-1135 M), Pierre Le Venerable (1094-1156 M), Gerard de
Gremona (1114-1187 M), Leonardi Fibonacci (1170-1241 M) dan lain-lain.46
Mereka pernah tinggal dan mempelajari Islam di Toledo, Granada, Cordoba,
44 Lihat halaman45 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 335-336.46 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 7.
37
dan kota-kota lain. Setelah itu mereka pulang ke Eropa dan menyebarkan
ilmunya.
Nama-nama diatas tercatat sebagai orang-orang Barat yang melakukan
pengkajian terhadap Islam pertama kali. Yang selanjutnya disebut
orientalisme. Orientalisme sendiri adalah studi tentang dunia Timur
menggunakan perspektif bangsa Barat, yang dalam perkembangannya
mengalami penyempitan menjadi studi tentang dunia Islam. Maka orientalis
adalah orang-orang yang mempelajari Islam menggunakan logika ontologis
dan dan epistemologis Barat, entah ia orang Barat atau bukan, muslim
maupun nonmuslim.
1. Orientalis Mengkritik Otentisitas Hadits
Pada awal perkembangannya, kajian orientalis hanya pada Islam
yang bersifat umum. Namun selanjutnya terjadi spesifikasi kajian seperti
pada al-Qur’an, hadits, hukum Islam, dan sejarah Islam.
Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, orientalis yang pertama kali
melakukan kajian terhadap hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1920 M)
melalui karyanya yang berjudul Muhammadanische Studien pada tahun
1890 M. Buku ini menjadi menjadi ‘kitab suci’ bagi kaum orientalis.
Dalam buku ini Goldziher berhasil menanamkan keraguan terhadap
otentisitas hadits.
Dalam Islam, ulama’ muslim sendiri telah melakukan kritik
terhadap otentisitas (keshahihan) hadits. Yaitu sejak terbunuhnya
Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan pada tahun 36 H, dimana mulai
diberlakukannya Kritik Sanad Hadits yang sebelumnya hanya berlaku
Kritik Matan Hadits. Para ulama’ sesudah generasi mereka menyusun
kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Sebuah hadits harus
diriwayatkan dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai
Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut terdiri dari orang-orang yang
bertakwa dan kuat ingatannya; (3) Kandungan matan hadits tidak
berlawanan dengan al-Qur’an atau hadits lain yang diriwayatkan dengan
38
sanad yang kualitasnya lebih unggul; (4) Hadits tersebut tidak
mengandung kecacatan.
Empat kriteria tersebut telah ditetapkan dan diterapkan sejak abad
ke-3 sampai kira-kira abad ke 13 Hijriah tanpa ada yang
mempersoalkannya. Baru pada tahun 1890 M dunia kritik hadits
dikejutkan dengan gebrakan Ignaz Goldziher seperti yang telah
disebutkan diatas.
Kemudian muncul Joseph Schacht (1902-1969 M) dengan bukunya
The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950 M, yang
kemudian dianggap sebagai ‘kitab suci kedua’ bagi para orientalis. Jika
Goldziher berhasil menanamkan keraguan terhadap otentisitas hadits,
maka Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadits yang
otentik.
Tradisi orientalisme menyebar di hampir seluruh wilayah Eropa,
yaitu meliputi: Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, Hongaria, Italia,
Spanyol, dan bahkan kini Amerika. Sejatinya orientalisme ini bertujuan
melemahkan Islam, baok dari segi agama, politik, maupun ekonomi.
2. Teori Orientalis Tentang Hadits
Meskipun orientalisme pada umumnya terkesan menyudutkan Islam,
namun ada juga yang benar dan murni mempelajari Islam sebagai ilmu
pengetahuan. Ada pula yang lebih tendesius menggunakan pendekatan
teologis. Berikut tokoh-tokoh dan penjelasannya.
a) Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis berkebangsaan
Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M. Ia
belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Ia juga berangkat ke Timur
Tengah yaitu Syiria pada tahun 1873 M untuk mempelajari Islam
kepada Syeikh Thahir al-Jazairiy. Ia juga pergi ke Palestina, kemudian
ke Mesir untuk belajar kepada sejumlah ulama’ di al-Azhar selama
setahun.
39
Sepulangnya dari al-Azhar dia diangkat menjadi guru besar di
Universitas Budapest. Karya-karya ilmiahnya banyak dipublikasikan
ke dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Karyanya yang paling
berpengaruh dan menjadi master piece adalah Muhammadanische
Studien. Buku ini dianggap sebagai ‘kitab suci’ dan menjadi sumber
rujukan utama dalam penelitian hadits oleh kaum orientalis.
Goldziher mengatakan, “Bagian terbesar dari hadits tidak lain
adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik
dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial. Tidaklah benar
pendapat yang mengatakan bahwa hadits merupakan dokumen Islam
yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan), melainkan
adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.47
Bagi Goldziher, hadits Nabawiy adalah hasil tradisi masyarakat
Arab. Hadits bukanlah sumber terpercaya bagi Islam di abad pertama,
namun hanya sebagai sumber yang bernilai tinggi bagi dogma, konflik
dan perhatian para Muslim abad kedua dan ketiga yang telah membuat
dan menyebarkan hadits. Ia tidak menolak kemungkinan bahwa
sahabat telah berusaha menyimpan kata-kata dan perbuatan Nabi saw
dalam bentuk shahifah. Namun Goldziher mempertahankan
pendapatnya bahwa shahifah-shahifah tersebut adalah hasil karangan
generasi Islam abad kedua dan ketiga Hijriah.
Sasaran utamanya adalah az-Zuhriy (w. 123 H), yang ia anggap
sebagai pemalsu hadits pertama kali. Goldziher merubah teks-teks
sejarah untuk memperkuat argumennya tersebut. Menurutnya, az-