Page 1
1
Kesalahan-kesalahan Dalam Menafsirkan al-Qur’an
Ulwi albab
Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA Yogyakarta
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Abstrak
Al-Qur‟an sebagai kitab yang menjadi blue print bagi kaum muslim, tidak saja
menarik untuk di kaji dalam hal kandungan isinya per se, akan tetapi juga menarik dikaji
dari segi manapun dilihat, artinya dari perspektif apapun Al-Qur‟an akan selalu
menampakkan keistimewaannya. Akan tetapi dalam mengkaji dibutuhkan beberapa faktor
diantara lain: menguasai beberapa Ulum Al-Qur‟an ( Asbabun Nuzul, Naskh Mansukh,
Qiraa‟,dll) serta ilmu pendukung (Bahasa Arab, Nahwu, Sharf, Balaghoh, Fiqh, Hadist, dll).
Tidak kalah pentingnya lagi mempunyai akidah yang lurus, niat yang baik, taat dan beramal
baik, zuhud, tawadhu‟ serta berlaku jujur dan teliti. Makalah ini dimaksudkan untuk
menanggulangi kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan mengkaji
isi kandungan Al-Qur‟an serta menciptakan Mufassir yang handal dan berbudi luhur.
Page 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an Al-Karim adalah mu‟jizat islam yang kekal dan kemu‟jizatannya selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan.1 Al-Qur‟an memuat apa yang di butuhkan oleh
manusia , baik dalam urusan agama maupun dunia meraka. untuk memahami pesan Al-
Qur‟an tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut dengan tafsir. Menafsirkan Al-Qur‟an
bukan upaya mudah. Hal ini karena sejarah mencatat bahwa didalam Al-Qur‟an terdapat
banyak kosa kata yang tidak atau belum dipahami oleh sahabat nabi.2 Padahal mereka
adalah orang Arab asli yang langsung menerima Al-Qur‟an yang berbahasa Arab dari Nabi
Muhammad saw, dan menyaksikan situasi serta kondisi yang melatar belakangi turunnya
ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut.3
Dalam menafsirkan Al-Qur‟an, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa
cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Al-Qur‟an. Ia tidak
memiliki kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak memiliki kapasitas yang cukup
untuk menjadi seorang mufassir. Rasulullah mengancam dengan siksa neraka bagi siapa
saja yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an tanpa penguasaan ilmunya.4 Tidak semua
orang boleh menafsirkan Al-Qur‟an. Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur‟an
mestilah terlebih dahulu menguasai‟ulum al-qur‟an (ilmu-ilmu Al-Qur‟an). Bila seseorang
mufasir tidak menguasai „ulum al qur‟an maka akan timbul kesalahan-kesalahan dalam
menafsirkan al-qur‟an. Disini pemakalah akan membahas tentang sebab-sebab kesalahan
mufasir dalam menafsirkan al-qur‟an.
B. Rumusan Masalah
1 Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits Fi „Ulum Al-Qur‟an, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2002),. Hal. 2.
2 Menurut riwayat yang bersumber dari Sahabat Anas bin Malik, Umar bin Khattab pernah ditanya
tentang makna kata arbba-n yang terdapat pada surat abbasa ayat 31, yang dijawab dengan pernyataan “ kita
dilarang memberatkan diri dalam hal memahami sesuatu di luar kemampuan kita”
3 Abu Anwar, Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar, ( Pekan Baru : Amzah, 2005 ) Hal. 20.
4 Al-Zarqani, ,Manahil al-„Irfan ,tt ,Hal. 55.
Page 3
3
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah Tafsir itu?
2. Apakah Syarat dan Adab Mufasir itu ?
3. Apa Sebab-sebab Kesalahan dalam Menafsirkan Al Qur‟an itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
1. Tafsir Secara Bahasa
Tafsir berasal dari kata bahasa arab, fassara, yufassiru, tafsiran, yang berarti penjelasan,
pemahaman, dan perincian. Selain itu tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin yaitu
penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan
timbangan (wazan) kata taf‟il, diambil dari kata al fasr yang berarti al bayan (penjelasan)
dan al kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al
tafsarah,yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh
dokter untuk mengetahui suatu penyakit.5
Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam “Tafsir wa Al Mufassirun” menerangkan arti
etimologi tafsir dengan “al idhah(penjelasan) dan al bayan(keterangan)”, makna tersebut
digambarkan dalam QS. Al furqan ayat 33, sedangkan dalam kamus yang berlaku tafsir
berarti “al ibahah wa kasyf mugtha” (menjelaskan atau membuka yang tertutup).6
2. Tafsir Menurut Istilah
Setelah mengetahui arti tafsir secara bahasa maka diperlukan penjelasan tafsir al-qur‟an
itu sendiri. Selanjutnya pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Al qur‟an tampil
dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al jurjani misalnya, mengatakan
bahwa tafsir al-qur‟an ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al qur‟an dari berbagai seginya,
baik konteks historisnya maupun sebab al nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau
keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
Sementara itu Al Imam Az Zarqani mengatakan, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
kandungan Alqur‟an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah
5 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 161-162
6 Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta, Kencana,
2007), hal. 106
Page 4
4
,menurut kadar kesanggupan manusia. Dalam pada itu Az Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir
adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Al qur‟an) yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum
serta hikmah yang terkandung didalamnya. Menurut Imam abu salamah dalam kitab
karangannya “ manhajul furqon” mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
tentang keadaan al-qur‟an yang terjaga, dari segi dalil-dalil atas suatu maksud yang
dikehendaki allah dalam kitabnya sesuai dengan kemampuan manusia. Sedangkan Abu
hayyan berkata : tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tatacara merucap menggunakan
lafadz-lafadz al-qur‟an, dalil-dalilnya, hukum keterpisahan dan penyusunannya, dan arti yang
terkandung didalam pengurutan atau penyusunan, dan pengakhiran.
Dari beberapa defenisi diatas kita menemukan tiga ciri utama tafsir. Pertama, dilihat
dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Al qur‟an) yang didalamnya terkandung
firman Allah.Kedua, dilihat dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan,
menyingkap kandungan Al qur‟an sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan dan
ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah
hasil penalaran, kajian dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan
kemampuan yang dimilkinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud
dengan ilmu tafsir adalah lmu yang membahas tentang makna-makna yang dimaksudkan oleh
allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia.7
B. Adab dan Syarat Mufassir
1. Adab mufassir
Yang dimaksud dengan syarat mufassir adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang
harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam
menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para
ulama terdahulu, al-salaf al-salih, mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang
alim.8
Imam Abu Talib al-Tabary seperti yang dikutip oleh Khālid Abd al-Rahmān
mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, "Ketahuilah
bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen
terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya yang tidak dapat
7 Jalal al-Din al-Suyuti, al Itqon fi Ulumil al-Qur‟an, Juz 2. (Beirut : Dar al Fikr, 1996), hal. 174.
8 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh Vol.I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 119.
Page 5
5
dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak
dipercaya dalam agama untuk meriwayatkan dari seorang alim, maka bagaimana ia dapat
dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta'ala? Sebab ia tidak dipercaya
apabila tertuduh sebagai atheis dan ia cenderung akan mencari-cari kekacauan serta menipu
manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Batiniyahdan
sekte Rafidah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak
dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai
dengan bid'ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka
menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk
menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk".9
Sedangkan Imam al-Zarkazy10
mengatakan: “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat
memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya apabila di
dalam hatinya terdapat bid'ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar
melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang
tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan
penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya.11
Melihat apa yang disampaikan oleh al-Zarkazy di atas, al-Suyūty12
mengomentari:
"Saya katakan, inilah makna firman Allah ta'ala,
"سأصزف عه ءاياتي الذيه يتكبزون في الرض بغيز الحق ..."
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi
tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.
Mengutib perkataan dari Sufyān bin 'Uyainah yang mengatakan bahwa: Para ulama
mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai
Al-Qur‟an. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.13
Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuty di atas, Ahmad Bazawy Al-
Dāwy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1. Akidah yang lurus
9 Khālid Abd al-Rahmān al-'Ak, Usūl al-Tafsīr wa Qawā'iduh (Bairut: Dār al-Nafāis, 1986), hal.189
10 Lahir di desa Gontor 21 Maret 1910 dan Berpulang ke rahmatullah 30 April 1985 pukul 21.00 WIB di
Rumah Sakit Umum Madiun
11 Muhammad ibn Abd Allah al-Zarkazy, al-Burhān fi 'Ulūm al-Qur‟ān. Juz II. (Kairo: Dār al-Turāth),
hal. 180-181.
12 Imam as-Suyuthi dilahirkan pada waktu Maghrib malam Ahad awal bulan Rajab 849 H, Meninggal
Pada waktu Ashar tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H di al-Qarafah.
13 Jalāl al-Din al-Suyyuty, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur‟an. Juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, 1996), hal. 479.
Page 6
6
2. Terbebas dari hawa nafsu
3. Niat yang baik
4. Akhlak yang baik
5. Tawadhu' dan lemah lembut
6. Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata
karena ta'ala
7. Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syara' serta sikap
menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8. Tidak bersandar pada ahli bid'ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9. Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitab
Allah sebagai pemimpin yang diikuti.14
Sedangkan Manna' Al-Qattan menyebutkan sebelas etika atau adab yang harus dimiliki
oleh seorang mufassir, yaitu:
1. Berniat baik dan bertujuan benar; sebab amal perbuatan bergantung pada niat.
2. Berakhlak baik; karena muafsir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak
akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal
akhlak dan perbuatan mulia.
3. Taat dan beramal; ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalayak) melaui orang
yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang hanya memiliki ketinggian
pengetahuan dan kecermatan kajiannya.
4. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan; sehingga mufasir tidak berbicara atau
menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya.
5. Tawadu' dan lemah lembut; karena kesombongan ilmiah merupakan dinding
kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6. Berjiwa mulia; seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang
remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai
peminta-minta yang buta.
7. Vokal dalam menyampaikan kebenaran; karena jihad paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa zalin.
8. Berpenampilan baik yang menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam
cara duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksakan.
14
Ahmad Bazawy Al-Dāwy, Syurūt Al-Mufassir wa Ādābuh, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1994), hal 5
Page 7
7
9. Bersikap tenang dan mantap; mufasir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam
berbicara tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap, dan jelas, kata
demi kata.
10. Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya; seorang mufasir
hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai
pada waktu mereka masih hidupdan tidak pula merendahkan mereka sesudah
mereka wafat.
11. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik; seperti
memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosakata, menerangkan
susunan kata, menjelaskan segi-segi balaghah15
dan i‟rob yang padanya
bergantung pada penentuan makna.16
2. Syarat Mufassir
Ahmad Bazawy dalam bukunya “Shuruth al-Mufassir wa Adabuhu”menjelaskan
bahwa syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua aspek (aspek pengetahuan dan aspek
kepribadian).17
Aspek pengetahuan meliputi:
1. Mengetahui dan memahami bahasa Arab dan ketentuan-ketentuannya (ilmu nahwu dan
sharaf). Pemahaman seorang mufassir terhadap bahasa Arab harus dimiliki, karena Al-
Qur‟an diturunkan dalam bentuk bahasa Arab.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya”.
“Dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al
Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam18
,
sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang”.
15
Ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajaran untuk bisa
mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang berdasarkan kepada kejernihan dan ketelitian dalam
menangkap keindahan suatu kalimat.
16 Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur‟an (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),. hal. 323-
324.
17Ahmad Bazawy adh-dhawy, Shuruth al-Mufasir, hal.1.
18 Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik,
karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa
Arab.
Page 8
8
2. Mengetahui ilmu balaghah (ma‟any, bayan, badi‟)
Kaitan ilmu balaghah dalam mentafsirkan Al-Qur‟an karena kajiannya yang berkaitan
dengan nilai-nilai kesusastraan dan keindahan yang melekat pada ayat-ayat Al-Qur‟an
yang dikenal dengan Balaghat al-Qur‟an. Namun ilmu balaghah ini dapat diperinci
menjadi tiga, yakni: ma‟any, bayan, dan badi‟. Adapaun pengertiannya Ma‟any adalah
ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui ihwal keadaan
kalimat Arab yang sesuai dengan keadaan dan relevan dengan tujuan
pengungkapannya. Ilmu Bayan (yang membahas segi makna lafal yang beragam)
adalah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang dengannya dapat diketahui
penyampaian makna yang satu dengan berbagai ungkapan, namun terdapat perbedaan
kejelasan makna antara satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang beragam
tersebut. Dan yang berikutnya ilmu badi‟ adalah ilmu yang membahas tentang
keindahan kalimat arab (Ilmu Badi‟ adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui
bentuk-bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai keindahan dan
estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat memperbagus
dan mempermolek ungkapan itu,disamping relevansinya dengan tuntutan keadaan.
3. Mengatahui Ushul Fiqih
Sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa ushul fiqih merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaiman yang dikehendaki oleh
Allah dan rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan maslah aqidah, ibadah, mu‟amalah,
„uqubah maupun akhlak yang bersumber dari al-Qur‟an.19
Sehingga dengan demikian
ushul fiqih sangat membantu bagi mufassir untuk memahami pesan-pesan yang
terkandung dalam Al-Qur‟an, khusunya yang berkaitan dengan hukum.
4. Mengetahui Asbab al-Nuzul.
Tidak semua ayat Al-Qur‟an mempunyai asbab al-nuzul, akan tetapi sangat perlu untuk
mengetahui latar belakang suatu ayat dari ayat-ayat yang memiliki asbab al-nuzul untuk
memahami makna dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang
belum bisa dipahami tanpa mengetahui asbab al-nuzulnya terlebih dahulu.
5. Mengetahui tentang Nasakh dan Mansukh.
19
Rahmat Shafe‟i. Ilmu ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal.24.
Page 9
9
Karena Al-Qur‟an diturunka secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang
mengiringinya, seperti ayat yang menjelaskan hokum dari komer. Darisini dapat
dipahami bahwa seorang mufassir juga harus memahami tentang nasakh dan mansukh.
Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ilmu yang harus dimiliki oleh seseorang
sebagai syarat menjadi mufassir ada 7 macam, yaitu: Bahasa Arab: secara umum undang-
undang bahasa Arab: ilmu tashrif dan ilmu nahwu, ilmu ma‟ani, bayan dan badi‟ dapat
menentukan mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat mengetahui asbabun nuzul
dan nasakh. Penjelasan-penjelasan ini diambil dari ilmu Hadits, mengetahui ijmal, tabyin,
„am, khash, ithlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan, dan sebagainya. Hal ini
diambil dari ilmu ushul fiqh, ilmu kalam dan ilmu qira‟at.20
Adapun Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasaniy menetapkan 15 cabang ilmu yang
seharusnya dikuasai oleh seorang mufassir, yaitu21
: nahwu, Shorf, istiqoq,
ma‟ani, bayan, badi‟, qiraat, kalam, Ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh, fiqh, al-
Hadits dan mauhibah22
.
Selain syarat-syarat diatas, maka seorang mufassir juga dituntut untuk
mematuhi Syarat-syarat yang lain sebagaimana diungkapkan oleh Manna Khalil al-Qattan
yaitu memiliki:
(1) Aqidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan
seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berhianat dalam penyampaian berita.
(2) Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk
membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusi dengan kata-kata halus dan
ketrangan menarik seperti dilakukan golongan qodariah, syi‟ah, dll.
(3) Menafsirkan lebih dahulu Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, karena sesuatu yang masih
global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara
ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
(4) Kemudian mencari penafsiran dari as-Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai
pensyarah Qur‟an dan penjelasannya. Rasulullah mengatakan: “ketahuilah bahwa telah
20
Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqiy, Pengantar Ilmu Alqur‟an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang,tt), Hal.
207.
21 Muhammad bin Alawiy al-Maliki, Al-Hasaniy, Zubdatul Itqan fi Ulumil Qur‟an, ( Dar al-Syuruq,
1986),. Hal. 170-172.
22 Ilmu mauhibah adalah ilmu yang berfungsi sebagai pembuka makna-makna al-qur‟an dan rahasia-
rahasianya.
Page 10
10
diberikan kepadaku Qur‟an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya”, yakni
sunnah.
(5) Jika tidak didapatkan dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat dari para sahabat
karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur‟an; mengingat merekalah yang
menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur‟an diturunkan.
(6) Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur‟an, sunnah maupun pendapat
para sahabat, maka dilakukan pemeriksaan pendapat tabi‟in(generasi setelah sahabat).
(7) Menguasai Bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena Qur‟an diturunkan dalam
bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian mufradat (kosa
kata) lafadz-lafadz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata
dalam rangkaian kalimat.
(8) menguasai pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Alqur‟an, seperti ilmu qira‟ah
karena dengan ilmu ini diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafadz-lafadz) qur‟an, ilmu
tauhid agar mufassir tidak menta‟wilkan ayat-ayat berkenaan dengan hak allah dan sifat-
sifatnya secara melampui batas. Dan ilmu usul terutama usulut tafsir untuk memperjelas
sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud Qur‟an seperti asbabun nuzul,nasakh
mansukh, dan lain sebagainya.
(9)pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mrngukuhkan sesuatu makna atas
yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syari‟at. 23
C. Sebab-sebab kesalahan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Beberapa hal yang wajib dihindari mufassir dalam menafsirkan Al-Qur‟an, adalah:
1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta'ala dalam firman-Nya padahal tidak
mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu
yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti
perkara-perkaramutashabihat. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani
membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta'ala menjadikannya sebagai
salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya.
3. Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsan).
4. Menafsirkan Al-Qur‟an untuk menetapkan madhhab yang rusak dengan
menjadikan madhhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya.
23
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum Alqur‟an. Terj.(Jakarta: Pustaka Litera, 2002), Hal. 462-
465.
Page 11
11
Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat
sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madhhabnya dengan segala
cara.
5. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan
begitu tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar'i berdasarkan firman
Allah ta'ala,
"...وأن تقولوا على هللا ما ال تعلمون"
Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahu.24
Az-Zahabiy dalam bukunya “Tafsir wa Mufassirun” mengemukakan bentuk-bentuk
penyimpangan penafsiran Al-Qur'an dapat dikembalikan pada 3 faktor. Pertama: Berkaitan
dengan subyektivitas mufasir. Ini terlihar dari kecenderungan-kecenderungan para mufassir
untuk menafsirkan Al-Qur`an menurut seleranya, mazhabnya, bidang kajian yang
diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau
kelompok. Kedua: Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau
dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Ketiga: berkaitan dengan kekurangan
penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ini kita bisa dilihat pada
kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam
menafsirkan Al-Qur`an) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan
penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya, jika seorang
ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen
Al-Qur`an. Terjadinya kesalahan dalam penafsiran sering kali disebabkan oleh tindakan
mufassir yang mengabaikan sumber-sumber primer yang sahih dan beralih pada sumber-
sumber yang lemah.
Ţāhir Mahmud Muhammad Ya‟kūb menyebutkan ada sembilan unsur yang termasuk
dalam kategori ini. Diantaranya;
1. Menggunakan ijtihad dalam menafsirkan ayat, padahal ada nas lain yang menjelaskan
maksud ayat tersebut.
Nas dalam ilmu ushul fiqh yaitu suatu lafaz yang memiliki makna yang jelas
dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Berbeda dengan defenisi ini, Nas al
mufassir (nas yang menjelaskan maksud ayat) yang dimaksudkan Ţāhir Mahmud
Muhammad Ya‟kūb disini adalah ayat Al-Qur`an, baik ayat ini berada langsung
setelah ayat yang ditafsirkan atau terdapat dalam surah yang berbeda, hadis sahih,
24
Muhammad Husain al-dhahaby, 'Ilm al-Tafsir (Kairo: Dar al-Ma'arif), hal.58.
Page 12
12
perkataan sahabat yang diketahui tidak ada sahabat lain yang menyalahinya dan ijma‟
ulama tafsir.
Nas yang termasuk dalam kategori ini adalah nas-nas yang terkait langsung
dengan pemahaman ayat, baik jawaban dari pertanyaan, penjelasan tentang asbabun
nuzul, penjelasan sahabat tentang makna kata-kata yang musykil, penafsiran Nabi
akan makna ayat sebelum membacanya.
Meskipun menafsirkan Al-Quran dengan Al-Qur`an atau riwayat yang sahih
merupakan metode tafsir yang paling benar dan utama. Hanya saja sebagian mufassir
mengabaikan metode ini. Mereka menafsirkan Al-Qur`an mengunakan ra‟yi atau
ijtihad sendiri. Sebelum melihat ayat Al-Qur`an dan riwayat yang berhubungan
dengan tafsiran ayat tersebut. Hal inilah yang menimbulkan kesalahan pada
produk tafsir yang mereka hasilkan.
2. Berpegang pada hadis Maudu‟ dan Dha‟if
Salah satu metode yang benar dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah
menafsirkan Al-Qur`an dengan hadis sahih. Imam Alusi sebagaimana dikutip oleh Ibn
Hayyān dalam mukadimah tafsirnya mengkritik mufassir yang memasukkan kedalam
tafsirnya riwayat-riwayat yang tidak sahih. Dia berkata “ … begitu juga mereka
mencantumkan dalam kitab tafsir mereka riwayat-riwayat da‟if tentang asbāb al
nuzūl, hadis-hadis tentang keutamaan surah, hikayat-hikayat bohong, dan cerita
israiliyat, padahal semua ini tidak pantas dimasukkan dalam kitab tafsir”.25
3. Mengambil riwayat Israiliyat
Perbedaan pendapat di kalangan mufassir terkadang terjadi pada hal-hal yang
tidak berguna dan tidak perlu diketahui, yaitu tindakan sebagian mufasir yang
menukil cerita-cerita Isra‟illiyat dari ahli kitab. Misalnya perbedaan mereka tentang
nama-nama penghuni gua, warna anjing dan jumlah mereka. Padahal mengeanai hal
ini allah telah berfirman: “ katakanlah: „tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka;
tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” (al-kahfi18:22)
Tidak dapat dipungkiri, kisah-kisah israiliyat[8]
banyak terdapat dalam kitab
tafsir, baik yang bercorak al-maksur maupun al-rakyi. Berbeda dengan zaman
sahabat, dimana mereka sangat berhati-hati dalam mengambil riwayat israiliyat, pada
masa tabi‟in dan masa-masa sesudah itu kehatian-kehatian ini semakin berkurang.
Imbasnya kisah-kisah israiliyat banyak mempengaruhi penafsiran mereka. Sikap
ulama tafsir pun berbeda-beda dalam mengambil riwayat Israiliyat. Ada yang
25
Ibn Hayyān, Bahr al Muhīt, Beirut: Dār al Kutub al-„Ilmiyah, juz 1, hal. 104
Page 13
13
bersikap hati-hati dan hanya mengambil riwayat yang tidak bertentangan dengan Al-
Qur`an dan sunnah, seperti Ibn Kasir. Ada yang bersikap sebaliknya, mereka tidak
menyeleksi riwayat israiliyat yang dicantumkan dalam kitab tafsir mereka, seperti al-
Tabariy. Dan Ada yang sama sangat mengantimasi masuknya kisah-kisah israiliyat
dalam kitab tafsirnya , seperti imam Alusi. Hanya saja kalau kita perhatikan kitab
tafsir mereka masih ditemukan kisah-kisah israiliyat, hanya saja setelah mengutip
kisah ini mereka menjelaskan kualitas kisah yang dikutip. Tujuan dari penyebutannya
tidak lain adalah untuk menjelaskan letak kesalahan dan kebohongan kisah tersebut.
4. Berpegang pada prasangka dan hikayah (wahm )
Yang dimaksud dengan prasangka dan hikayat disini adalah berita-berita,
cerita dan dongeng orang-orang terdahulu yang digunakan dalam penafsiran Al-
Qur`an, padahal ia tidak memiliki dasar dari Al-Qur`an, sunnah dan ijma‟ umat serta
tidak memiliki sanad yang sahih. Cerita-cerita ini sering kali digunakan untuk
menjelaskan persoalan-persoalan akidah, hal-hal gaib dan masalah-masalah
keagamaan lainnya. Pengunaan hikayat ini merupakan kesalahan yang fatal. Al-
Qur`an sendiri mengingatkan umat Islam untuk berpegang dengan dalil yang kuat dan
menghindari prasangka.
5. Hanya berpedoman pada makna bahasa semata dan mengutamakannya dibanding
riwayat yang sahih.
6. Berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziah dan tunduk pada tamsil dan
imajinasi.
7. Terlalu mendalam dalam membicarakan filsafat dan ilmu kalam.
8. Hanya mengandalkan rakyi dan mengutamakannya dari pada riwayat yang sahih
Akal merupakan pemberian dan nikmat Allah yang sangat besar. Dengannya
manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
salah. Dalam disiplin ilmu tafsir, penggunaan akal dalam menafsirkan Al-quran
termasuk kedalam salah satu metode penafsiran Al-Qur`an. Walaupun begitu, dalam
menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufassir tidak boleh hanya berlandaskan pada akal
semata dan mengabaikan naql. Orang yang hanya mengunakan akal, akan
melahirkantafsir bil-rakyi al mazmum (tidak diterima.)
9. Menundukkan nas Al-Qur`an untuk kepentingan hawa nafsu dan Mengambil
perkataan dari ahli bid‟ah serta fanatisme mazhab.
10. Menyepelekan penerapan kaidah tarjih yang dirumuskan ulama tafsir
11. Berpaling dari metode salafushalih, tafsir yang otentik dan sahih.
Page 14
14
12. Tidak paham dengan kaedah bahasa Arab serta tidak teliti dalam memahami teks
ayat dan dilalahnya.
13. Mengabaikan maksud turunnya Al-Qur`an dan tujuannya yang asli dan syarat-syarat
mufassir.26
BAB III
KESIMPULAN
Tafsir secara bahasa berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Sedangkan tafsir
secara istilah adalah ilmu untuk memahami kitab allah SWT, yang diturunkan kepada nabi
muhammad SAW, menjelaskan makna-makna yang terkandung didalamnya, serta
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah di dalam kitab suci Al-Qur‟an.
Dalam menafsirkan al-qur‟an seorang mufasir harus mempunyai adab atau etika serta
memenuhi syarat sebagai mufasir diantara lain yaitu berniat baik dan bertujuan benar,
berakhlak mulia, taat dan beramal, berlaku jujur dan teliti dalam penta‟wilan, tawadhu‟,
lemah lembut, niat yang ikhlas dan bersih dari hawa nafsu, menguasai bahasa aab dengan
segala cabangnya, mengetahui ulum al-qur‟an, dan sebagainya.
Adapun penyebab timbulnya kesalahan dalam menafsirkan al-qur‟an diantaranya
yaitu berpaling dari dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan shahih, mengabaikan
sumber primer yang shahih dan beralih pada sumber yang lemah, tidak teliti dalam
memahami teks ayat dan dilalahnya, mengabaikan sebagian syarat dan adab seorang mufasir
serta menyepelekan kaidah tarjih yang dirumuskan ulama ahli tafsir.
26
Thahir Mahmud Muhammad Ya‟kub, Asbāb al-Khata‟ fi Tafsīr, hal. 930-950
Page 15
15
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Rahmān al-'Ak, Khālid, Usūl al-Tafsīr wa Qawā'iduh, Bairut: Dār al-Nafāis,
1986.
Adh-Dāwy, Ahmad Bazawy, Syurūt Al-Mufassir wa Ādābuh, Beirut : Dar Ibn
Hazm,1994
Al-Hasaniy, Muhammad bin Alawiy al-Maliki, Zubdatul Itqan fi Ulumil
Qur‟an, Dar al-Syuruq, 1986.
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahits Fi „Ulum Al-Qur‟an, Mesir: Maktabah Wahbah,
2002
al-Suyyuty, Jalāl al-Din, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur‟an. Juz II, Bairut: Dār al-Fikr,
1996
al-Zarkazy, Muhammad ibn Abd Allah, al-Burhān fi 'Ulūm al-Qur‟ān. Juz II. Kairo:
Dār al-Turāth,tt
Al-Zarqani, ,Manahil al-„Irfan ,tt
Anwar, Abu, Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar, Pekan Baru : Amzah, 2005
Ash-Shiddieqiy, TM. Hasbi, Pengantar Ilmu Alqur‟an/Tafsir, Jakarta: Bulan
Bintang,Tt.
Hayyān, Ibn, Bahr al Muhīt, Beirut: Dār al Kutub al-„Ilmiyah,tt. juz 1.
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,
Jakarta, Kencana, 2007.
Muhammad Husain al-dhahaby, 'Ilm al-Tafsir, Kairo: Dar al-Ma'arif,2005.
Muhammad Ya‟kub, Thahir Mahmud, Asbāb al-Khata‟ fi Tafsīr.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002
Shafe‟i, Rahmat, Ilmu ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Shihab, M. Quraish, Tafsîr al-Mishbâh Vol.I, Jakarta: Lentera Hati, 2002