Top Banner
1 Kesalahan-kesalahan Dalam Menafsirkan al-Qur’an Ulwi albab Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA Yogyakarta Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Abstrak Al-Qur‟an sebagai kitab yang menjadi blue print bagi kaum muslim, tidak saja menarik untuk di kaji dalam hal kandungan isinya per se, akan tetapi juga menarik dikaji dari segi manapun dilihat, artinya dari perspektif apapun Al-Qur‟an akan selalu menampakkan keistimewaannya. Akan tetapi dalam mengkaji dibutuhkan beberapa faktor diantara lain: menguasai beberapa Ulum Al-Qur‟an ( Asbabun Nuzul, Naskh Mansukh, Qiraa‟,dll) serta ilmu pendukung (Bahasa Arab, Nahwu, Sharf, Balaghoh, Fiqh, Hadist, dll). Tidak kalah pentingnya lagi mempunyai akidah yang lurus, niat yang baik, taat dan beramal baik, zuhud, tawadhu‟ serta berlaku jujur dan teliti. Makalah ini dimaksudkan untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan mengkaji isi kandungan Al-Qur‟an serta menciptakan Mufassir yang handal dan berbudi luhur.
16

MAKALAH U QURAN

Feb 04, 2023

Download

Documents

Moch Nur Ichwan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MAKALAH U QURAN

1

Kesalahan-kesalahan Dalam Menafsirkan al-Qur’an

Ulwi albab

Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA Yogyakarta

Jurusan Pendidikan Bahasa Arab

Abstrak

Al-Qur‟an sebagai kitab yang menjadi blue print bagi kaum muslim, tidak saja

menarik untuk di kaji dalam hal kandungan isinya per se, akan tetapi juga menarik dikaji

dari segi manapun dilihat, artinya dari perspektif apapun Al-Qur‟an akan selalu

menampakkan keistimewaannya. Akan tetapi dalam mengkaji dibutuhkan beberapa faktor

diantara lain: menguasai beberapa Ulum Al-Qur‟an ( Asbabun Nuzul, Naskh Mansukh,

Qiraa‟,dll) serta ilmu pendukung (Bahasa Arab, Nahwu, Sharf, Balaghoh, Fiqh, Hadist, dll).

Tidak kalah pentingnya lagi mempunyai akidah yang lurus, niat yang baik, taat dan beramal

baik, zuhud, tawadhu‟ serta berlaku jujur dan teliti. Makalah ini dimaksudkan untuk

menanggulangi kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan mengkaji

isi kandungan Al-Qur‟an serta menciptakan Mufassir yang handal dan berbudi luhur.

Page 2: MAKALAH U QURAN

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‟an Al-Karim adalah mu‟jizat islam yang kekal dan kemu‟jizatannya selalu

diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan.1 Al-Qur‟an memuat apa yang di butuhkan oleh

manusia , baik dalam urusan agama maupun dunia meraka. untuk memahami pesan Al-

Qur‟an tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut dengan tafsir. Menafsirkan Al-Qur‟an

bukan upaya mudah. Hal ini karena sejarah mencatat bahwa didalam Al-Qur‟an terdapat

banyak kosa kata yang tidak atau belum dipahami oleh sahabat nabi.2 Padahal mereka

adalah orang Arab asli yang langsung menerima Al-Qur‟an yang berbahasa Arab dari Nabi

Muhammad saw, dan menyaksikan situasi serta kondisi yang melatar belakangi turunnya

ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut.3

Dalam menafsirkan Al-Qur‟an, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa

cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Al-Qur‟an. Ia tidak

memiliki kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak memiliki kapasitas yang cukup

untuk menjadi seorang mufassir. Rasulullah mengancam dengan siksa neraka bagi siapa

saja yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an tanpa penguasaan ilmunya.4 Tidak semua

orang boleh menafsirkan Al-Qur‟an. Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur‟an

mestilah terlebih dahulu menguasai‟ulum al-qur‟an (ilmu-ilmu Al-Qur‟an). Bila seseorang

mufasir tidak menguasai „ulum al qur‟an maka akan timbul kesalahan-kesalahan dalam

menafsirkan al-qur‟an. Disini pemakalah akan membahas tentang sebab-sebab kesalahan

mufasir dalam menafsirkan al-qur‟an.

B. Rumusan Masalah

1 Manna Khalil Al-Qattan, Mabahits Fi „Ulum Al-Qur‟an, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2002),. Hal. 2.

2 Menurut riwayat yang bersumber dari Sahabat Anas bin Malik, Umar bin Khattab pernah ditanya

tentang makna kata arbba-n yang terdapat pada surat abbasa ayat 31, yang dijawab dengan pernyataan “ kita

dilarang memberatkan diri dalam hal memahami sesuatu di luar kemampuan kita”

3 Abu Anwar, Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar, ( Pekan Baru : Amzah, 2005 ) Hal. 20.

4 Al-Zarqani, ,Manahil al-„Irfan ,tt ,Hal. 55.

Page 3: MAKALAH U QURAN

3

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah Tafsir itu?

2. Apakah Syarat dan Adab Mufasir itu ?

3. Apa Sebab-sebab Kesalahan dalam Menafsirkan Al Qur‟an itu?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir

1. Tafsir Secara Bahasa

Tafsir berasal dari kata bahasa arab, fassara, yufassiru, tafsiran, yang berarti penjelasan,

pemahaman, dan perincian. Selain itu tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin yaitu

penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan

timbangan (wazan) kata taf‟il, diambil dari kata al fasr yang berarti al bayan (penjelasan)

dan al kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al

tafsarah,yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh

dokter untuk mengetahui suatu penyakit.5

Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam “Tafsir wa Al Mufassirun” menerangkan arti

etimologi tafsir dengan “al idhah(penjelasan) dan al bayan(keterangan)”, makna tersebut

digambarkan dalam QS. Al furqan ayat 33, sedangkan dalam kamus yang berlaku tafsir

berarti “al ibahah wa kasyf mugtha” (menjelaskan atau membuka yang tertutup).6

2. Tafsir Menurut Istilah

Setelah mengetahui arti tafsir secara bahasa maka diperlukan penjelasan tafsir al-qur‟an

itu sendiri. Selanjutnya pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Al qur‟an tampil

dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al jurjani misalnya, mengatakan

bahwa tafsir al-qur‟an ialah menjelaskan makna ayat-ayat Al qur‟an dari berbagai seginya,

baik konteks historisnya maupun sebab al nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau

keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.

Sementara itu Al Imam Az Zarqani mengatakan, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas

kandungan Alqur‟an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah

5 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 161-162

6 Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta, Kencana,

2007), hal. 106

Page 4: MAKALAH U QURAN

4

,menurut kadar kesanggupan manusia. Dalam pada itu Az Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir

adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Al qur‟an) yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum

serta hikmah yang terkandung didalamnya. Menurut Imam abu salamah dalam kitab

karangannya “ manhajul furqon” mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas

tentang keadaan al-qur‟an yang terjaga, dari segi dalil-dalil atas suatu maksud yang

dikehendaki allah dalam kitabnya sesuai dengan kemampuan manusia. Sedangkan Abu

hayyan berkata : tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tatacara merucap menggunakan

lafadz-lafadz al-qur‟an, dalil-dalilnya, hukum keterpisahan dan penyusunannya, dan arti yang

terkandung didalam pengurutan atau penyusunan, dan pengakhiran.

Dari beberapa defenisi diatas kita menemukan tiga ciri utama tafsir. Pertama, dilihat

dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Al qur‟an) yang didalamnya terkandung

firman Allah.Kedua, dilihat dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan,

menyingkap kandungan Al qur‟an sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan dan

ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah

hasil penalaran, kajian dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan

kemampuan yang dimilkinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.

Dengan demikian secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud

dengan ilmu tafsir adalah lmu yang membahas tentang makna-makna yang dimaksudkan oleh

allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia.7

B. Adab dan Syarat Mufassir

1. Adab mufassir

Yang dimaksud dengan syarat mufassir adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang

harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam

menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para

ulama terdahulu, al-salaf al-salih, mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang

alim.8

Imam Abu Talib al-Tabary seperti yang dikutip oleh Khālid Abd al-Rahmān

mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, "Ketahuilah

bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen

terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya yang tidak dapat

7 Jalal al-Din al-Suyuti, al Itqon fi Ulumil al-Qur‟an, Juz 2. (Beirut : Dar al Fikr, 1996), hal. 174.

8 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh Vol.I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 119.

Page 5: MAKALAH U QURAN

5

dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak

dipercaya dalam agama untuk meriwayatkan dari seorang alim, maka bagaimana ia dapat

dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta'ala? Sebab ia tidak dipercaya

apabila tertuduh sebagai atheis dan ia cenderung akan mencari-cari kekacauan serta menipu

manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Batiniyahdan

sekte Rafidah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak

dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai

dengan bid'ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka

menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk

menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk".9

Sedangkan Imam al-Zarkazy10

mengatakan: “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat

memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya apabila di

dalam hatinya terdapat bid'ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar

melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang

tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan

penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya.11

Melihat apa yang disampaikan oleh al-Zarkazy di atas, al-Suyūty12

mengomentari:

"Saya katakan, inilah makna firman Allah ta'ala,

"سأصزف عه ءاياتي الذيه يتكبزون في الرض بغيز الحق ..."

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi

tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.

Mengutib perkataan dari Sufyān bin 'Uyainah yang mengatakan bahwa: Para ulama

mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai

Al-Qur‟an. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.13

Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuty di atas, Ahmad Bazawy Al-

Dāwy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:

1. Akidah yang lurus

9 Khālid Abd al-Rahmān al-'Ak, Usūl al-Tafsīr wa Qawā'iduh (Bairut: Dār al-Nafāis, 1986), hal.189

10 Lahir di desa Gontor 21 Maret 1910 dan Berpulang ke rahmatullah 30 April 1985 pukul 21.00 WIB di

Rumah Sakit Umum Madiun

11 Muhammad ibn Abd Allah al-Zarkazy, al-Burhān fi 'Ulūm al-Qur‟ān. Juz II. (Kairo: Dār al-Turāth),

hal. 180-181.

12 Imam as-Suyuthi dilahirkan pada waktu Maghrib malam Ahad awal bulan Rajab 849 H, Meninggal

Pada waktu Ashar tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H di al-Qarafah.

13 Jalāl al-Din al-Suyyuty, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur‟an. Juz II, (Bairut: Dār al-Fikr, 1996), hal. 479.

Page 6: MAKALAH U QURAN

6

2. Terbebas dari hawa nafsu

3. Niat yang baik

4. Akhlak yang baik

5. Tawadhu' dan lemah lembut

6. Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata

karena ta'ala

7. Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syara' serta sikap

menghindar dari perkara-perkara yang dilarang

8. Tidak bersandar pada ahli bid'ah dan kesesatan dalam menafsirkan

9. Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitab

Allah sebagai pemimpin yang diikuti.14

Sedangkan Manna' Al-Qattan menyebutkan sebelas etika atau adab yang harus dimiliki

oleh seorang mufassir, yaitu:

1. Berniat baik dan bertujuan benar; sebab amal perbuatan bergantung pada niat.

2. Berakhlak baik; karena muafsir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak

akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal

akhlak dan perbuatan mulia.

3. Taat dan beramal; ilmu akan lebih dapat diterima (oleh khalayak) melaui orang

yang mengamalkannya ketimbang dari mereka yang hanya memiliki ketinggian

pengetahuan dan kecermatan kajiannya.

4. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan; sehingga mufasir tidak berbicara atau

menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya.

5. Tawadu' dan lemah lembut; karena kesombongan ilmiah merupakan dinding

kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.

6. Berjiwa mulia; seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang

remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai

peminta-minta yang buta.

7. Vokal dalam menyampaikan kebenaran; karena jihad paling utama adalah

menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa zalin.

8. Berpenampilan baik yang menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam

cara duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksakan.

14

Ahmad Bazawy Al-Dāwy, Syurūt Al-Mufassir wa Ādābuh, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1994), hal 5

Page 7: MAKALAH U QURAN

7

9. Bersikap tenang dan mantap; mufasir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam

berbicara tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap, dan jelas, kata

demi kata.

10. Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya; seorang mufasir

hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai

pada waktu mereka masih hidupdan tidak pula merendahkan mereka sesudah

mereka wafat.

11. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik; seperti

memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosakata, menerangkan

susunan kata, menjelaskan segi-segi balaghah15

dan i‟rob yang padanya

bergantung pada penentuan makna.16

2. Syarat Mufassir

Ahmad Bazawy dalam bukunya “Shuruth al-Mufassir wa Adabuhu”menjelaskan

bahwa syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua aspek (aspek pengetahuan dan aspek

kepribadian).17

Aspek pengetahuan meliputi:

1. Mengetahui dan memahami bahasa Arab dan ketentuan-ketentuannya (ilmu nahwu dan

sharaf). Pemahaman seorang mufassir terhadap bahasa Arab harus dimiliki, karena Al-

Qur‟an diturunkan dalam bentuk bahasa Arab.

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar

kamu memahaminya”.

“Dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al

Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa

orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam18

,

sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang”.

15

Ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajaran untuk bisa

mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan seseorang berdasarkan kepada kejernihan dan ketelitian dalam

menangkap keindahan suatu kalimat.

16 Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur‟an (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),. hal. 323-

324.

17Ahmad Bazawy adh-dhawy, Shuruth al-Mufasir, hal.1.

18 Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik,

karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa

Arab.

Page 8: MAKALAH U QURAN

8

2. Mengetahui ilmu balaghah (ma‟any, bayan, badi‟)

Kaitan ilmu balaghah dalam mentafsirkan Al-Qur‟an karena kajiannya yang berkaitan

dengan nilai-nilai kesusastraan dan keindahan yang melekat pada ayat-ayat Al-Qur‟an

yang dikenal dengan Balaghat al-Qur‟an. Namun ilmu balaghah ini dapat diperinci

menjadi tiga, yakni: ma‟any, bayan, dan badi‟. Adapaun pengertiannya Ma‟any adalah

ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui ihwal keadaan

kalimat Arab yang sesuai dengan keadaan dan relevan dengan tujuan

pengungkapannya. Ilmu Bayan (yang membahas segi makna lafal yang beragam)

adalah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang dengannya dapat diketahui

penyampaian makna yang satu dengan berbagai ungkapan, namun terdapat perbedaan

kejelasan makna antara satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang beragam

tersebut. Dan yang berikutnya ilmu badi‟ adalah ilmu yang membahas tentang

keindahan kalimat arab (Ilmu Badi‟ adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui

bentuk-bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai keindahan dan

estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat memperbagus

dan mempermolek ungkapan itu,disamping relevansinya dengan tuntutan keadaan.

3. Mengatahui Ushul Fiqih

Sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa ushul fiqih merupakan salah satu

sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaiman yang dikehendaki oleh

Allah dan rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan maslah aqidah, ibadah, mu‟amalah,

„uqubah maupun akhlak yang bersumber dari al-Qur‟an.19

Sehingga dengan demikian

ushul fiqih sangat membantu bagi mufassir untuk memahami pesan-pesan yang

terkandung dalam Al-Qur‟an, khusunya yang berkaitan dengan hukum.

4. Mengetahui Asbab al-Nuzul.

Tidak semua ayat Al-Qur‟an mempunyai asbab al-nuzul, akan tetapi sangat perlu untuk

mengetahui latar belakang suatu ayat dari ayat-ayat yang memiliki asbab al-nuzul untuk

memahami makna dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang

belum bisa dipahami tanpa mengetahui asbab al-nuzulnya terlebih dahulu.

5. Mengetahui tentang Nasakh dan Mansukh.

19

Rahmat Shafe‟i. Ilmu ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal.24.

Page 9: MAKALAH U QURAN

9

Karena Al-Qur‟an diturunka secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang

mengiringinya, seperti ayat yang menjelaskan hokum dari komer. Darisini dapat

dipahami bahwa seorang mufassir juga harus memahami tentang nasakh dan mansukh.

Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ilmu yang harus dimiliki oleh seseorang

sebagai syarat menjadi mufassir ada 7 macam, yaitu: Bahasa Arab: secara umum undang-

undang bahasa Arab: ilmu tashrif dan ilmu nahwu, ilmu ma‟ani, bayan dan badi‟ dapat

menentukan mubham, dapat menjelaskan yang mujmal dan dapat mengetahui asbabun nuzul

dan nasakh. Penjelasan-penjelasan ini diambil dari ilmu Hadits, mengetahui ijmal, tabyin,

„am, khash, ithlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan, dan sebagainya. Hal ini

diambil dari ilmu ushul fiqh, ilmu kalam dan ilmu qira‟at.20

Adapun Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasaniy menetapkan 15 cabang ilmu yang

seharusnya dikuasai oleh seorang mufassir, yaitu21

: nahwu, Shorf, istiqoq,

ma‟ani, bayan, badi‟, qiraat, kalam, Ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh, fiqh, al-

Hadits dan mauhibah22

.

Selain syarat-syarat diatas, maka seorang mufassir juga dituntut untuk

mematuhi Syarat-syarat yang lain sebagaimana diungkapkan oleh Manna Khalil al-Qattan

yaitu memiliki:

(1) Aqidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan

seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berhianat dalam penyampaian berita.

(2) Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk

membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusi dengan kata-kata halus dan

ketrangan menarik seperti dilakukan golongan qodariah, syi‟ah, dll.

(3) Menafsirkan lebih dahulu Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, karena sesuatu yang masih

global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara

ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.

(4) Kemudian mencari penafsiran dari as-Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai

pensyarah Qur‟an dan penjelasannya. Rasulullah mengatakan: “ketahuilah bahwa telah

20

Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqiy, Pengantar Ilmu Alqur‟an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang,tt), Hal.

207.

21 Muhammad bin Alawiy al-Maliki, Al-Hasaniy, Zubdatul Itqan fi Ulumil Qur‟an, ( Dar al-Syuruq,

1986),. Hal. 170-172.

22 Ilmu mauhibah adalah ilmu yang berfungsi sebagai pembuka makna-makna al-qur‟an dan rahasia-

rahasianya.

Page 10: MAKALAH U QURAN

10

diberikan kepadaku Qur‟an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya”, yakni

sunnah.

(5) Jika tidak didapatkan dalam sunnah, hendaklah meninjau pendapat dari para sahabat

karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur‟an; mengingat merekalah yang

menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur‟an diturunkan.

(6) Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur‟an, sunnah maupun pendapat

para sahabat, maka dilakukan pemeriksaan pendapat tabi‟in(generasi setelah sahabat).

(7) Menguasai Bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena Qur‟an diturunkan dalam

bahasa Arab dan pemahaman tentangnya amat bergantung pada penguraian mufradat (kosa

kata) lafadz-lafadz dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya menurut letak kata-kata

dalam rangkaian kalimat.

(8) menguasai pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Alqur‟an, seperti ilmu qira‟ah

karena dengan ilmu ini diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafadz-lafadz) qur‟an, ilmu

tauhid agar mufassir tidak menta‟wilkan ayat-ayat berkenaan dengan hak allah dan sifat-

sifatnya secara melampui batas. Dan ilmu usul terutama usulut tafsir untuk memperjelas

sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud Qur‟an seperti asbabun nuzul,nasakh

mansukh, dan lain sebagainya.

(9)pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mrngukuhkan sesuatu makna atas

yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syari‟at. 23

C. Sebab-sebab kesalahan dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Beberapa hal yang wajib dihindari mufassir dalam menafsirkan Al-Qur‟an, adalah:

1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta'ala dalam firman-Nya padahal tidak

mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu

yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.

2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti

perkara-perkaramutashabihat. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani

membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta'ala menjadikannya sebagai

salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya.

3. Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsan).

4. Menafsirkan Al-Qur‟an untuk menetapkan madhhab yang rusak dengan

menjadikan madhhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya.

23

Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum Alqur‟an. Terj.(Jakarta: Pustaka Litera, 2002), Hal. 462-

465.

Page 11: MAKALAH U QURAN

11

Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat

sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madhhabnya dengan segala

cara.

5. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan

begitu tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar'i berdasarkan firman

Allah ta'ala,

"...وأن تقولوا على هللا ما ال تعلمون"

Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahu.24

Az-Zahabiy dalam bukunya “Tafsir wa Mufassirun” mengemukakan bentuk-bentuk

penyimpangan penafsiran Al-Qur'an dapat dikembalikan pada 3 faktor. Pertama: Berkaitan

dengan subyektivitas mufasir. Ini terlihar dari kecenderungan-kecenderungan para mufassir

untuk menafsirkan Al-Qur`an menurut seleranya, mazhabnya, bidang kajian yang

diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau

kelompok. Kedua: Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau

dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Ketiga: berkaitan dengan kekurangan

penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ini kita bisa dilihat pada

kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam

menafsirkan Al-Qur`an) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan

penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya, jika seorang

ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen

Al-Qur`an. Terjadinya kesalahan dalam penafsiran sering kali disebabkan oleh tindakan

mufassir yang mengabaikan sumber-sumber primer yang sahih dan beralih pada sumber-

sumber yang lemah.

Ţāhir Mahmud Muhammad Ya‟kūb menyebutkan ada sembilan unsur yang termasuk

dalam kategori ini. Diantaranya;

1. Menggunakan ijtihad dalam menafsirkan ayat, padahal ada nas lain yang menjelaskan

maksud ayat tersebut.

Nas dalam ilmu ushul fiqh yaitu suatu lafaz yang memiliki makna yang jelas

dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Berbeda dengan defenisi ini, Nas al

mufassir (nas yang menjelaskan maksud ayat) yang dimaksudkan Ţāhir Mahmud

Muhammad Ya‟kūb disini adalah ayat Al-Qur`an, baik ayat ini berada langsung

setelah ayat yang ditafsirkan atau terdapat dalam surah yang berbeda, hadis sahih,

24

Muhammad Husain al-dhahaby, 'Ilm al-Tafsir (Kairo: Dar al-Ma'arif), hal.58.

Page 12: MAKALAH U QURAN

12

perkataan sahabat yang diketahui tidak ada sahabat lain yang menyalahinya dan ijma‟

ulama tafsir.

Nas yang termasuk dalam kategori ini adalah nas-nas yang terkait langsung

dengan pemahaman ayat, baik jawaban dari pertanyaan, penjelasan tentang asbabun

nuzul, penjelasan sahabat tentang makna kata-kata yang musykil, penafsiran Nabi

akan makna ayat sebelum membacanya.

Meskipun menafsirkan Al-Quran dengan Al-Qur`an atau riwayat yang sahih

merupakan metode tafsir yang paling benar dan utama. Hanya saja sebagian mufassir

mengabaikan metode ini. Mereka menafsirkan Al-Qur`an mengunakan ra‟yi atau

ijtihad sendiri. Sebelum melihat ayat Al-Qur`an dan riwayat yang berhubungan

dengan tafsiran ayat tersebut. Hal inilah yang menimbulkan kesalahan pada

produk tafsir yang mereka hasilkan.

2. Berpegang pada hadis Maudu‟ dan Dha‟if

Salah satu metode yang benar dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah

menafsirkan Al-Qur`an dengan hadis sahih. Imam Alusi sebagaimana dikutip oleh Ibn

Hayyān dalam mukadimah tafsirnya mengkritik mufassir yang memasukkan kedalam

tafsirnya riwayat-riwayat yang tidak sahih. Dia berkata “ … begitu juga mereka

mencantumkan dalam kitab tafsir mereka riwayat-riwayat da‟if tentang asbāb al

nuzūl, hadis-hadis tentang keutamaan surah, hikayat-hikayat bohong, dan cerita

israiliyat, padahal semua ini tidak pantas dimasukkan dalam kitab tafsir”.25

3. Mengambil riwayat Israiliyat

Perbedaan pendapat di kalangan mufassir terkadang terjadi pada hal-hal yang

tidak berguna dan tidak perlu diketahui, yaitu tindakan sebagian mufasir yang

menukil cerita-cerita Isra‟illiyat dari ahli kitab. Misalnya perbedaan mereka tentang

nama-nama penghuni gua, warna anjing dan jumlah mereka. Padahal mengeanai hal

ini allah telah berfirman: “ katakanlah: „tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka;

tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” (al-kahfi18:22)

Tidak dapat dipungkiri, kisah-kisah israiliyat[8]

banyak terdapat dalam kitab

tafsir, baik yang bercorak al-maksur maupun al-rakyi. Berbeda dengan zaman

sahabat, dimana mereka sangat berhati-hati dalam mengambil riwayat israiliyat, pada

masa tabi‟in dan masa-masa sesudah itu kehatian-kehatian ini semakin berkurang.

Imbasnya kisah-kisah israiliyat banyak mempengaruhi penafsiran mereka. Sikap

ulama tafsir pun berbeda-beda dalam mengambil riwayat Israiliyat. Ada yang

25

Ibn Hayyān, Bahr al Muhīt, Beirut: Dār al Kutub al-„Ilmiyah, juz 1, hal. 104

Page 13: MAKALAH U QURAN

13

bersikap hati-hati dan hanya mengambil riwayat yang tidak bertentangan dengan Al-

Qur`an dan sunnah, seperti Ibn Kasir. Ada yang bersikap sebaliknya, mereka tidak

menyeleksi riwayat israiliyat yang dicantumkan dalam kitab tafsir mereka, seperti al-

Tabariy. Dan Ada yang sama sangat mengantimasi masuknya kisah-kisah israiliyat

dalam kitab tafsirnya , seperti imam Alusi. Hanya saja kalau kita perhatikan kitab

tafsir mereka masih ditemukan kisah-kisah israiliyat, hanya saja setelah mengutip

kisah ini mereka menjelaskan kualitas kisah yang dikutip. Tujuan dari penyebutannya

tidak lain adalah untuk menjelaskan letak kesalahan dan kebohongan kisah tersebut.

4. Berpegang pada prasangka dan hikayah (wahm )

Yang dimaksud dengan prasangka dan hikayat disini adalah berita-berita,

cerita dan dongeng orang-orang terdahulu yang digunakan dalam penafsiran Al-

Qur`an, padahal ia tidak memiliki dasar dari Al-Qur`an, sunnah dan ijma‟ umat serta

tidak memiliki sanad yang sahih. Cerita-cerita ini sering kali digunakan untuk

menjelaskan persoalan-persoalan akidah, hal-hal gaib dan masalah-masalah

keagamaan lainnya. Pengunaan hikayat ini merupakan kesalahan yang fatal. Al-

Qur`an sendiri mengingatkan umat Islam untuk berpegang dengan dalil yang kuat dan

menghindari prasangka.

5. Hanya berpedoman pada makna bahasa semata dan mengutamakannya dibanding

riwayat yang sahih.

6. Berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziah dan tunduk pada tamsil dan

imajinasi.

7. Terlalu mendalam dalam membicarakan filsafat dan ilmu kalam.

8. Hanya mengandalkan rakyi dan mengutamakannya dari pada riwayat yang sahih

Akal merupakan pemberian dan nikmat Allah yang sangat besar. Dengannya

manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang

salah. Dalam disiplin ilmu tafsir, penggunaan akal dalam menafsirkan Al-quran

termasuk kedalam salah satu metode penafsiran Al-Qur`an. Walaupun begitu, dalam

menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufassir tidak boleh hanya berlandaskan pada akal

semata dan mengabaikan naql. Orang yang hanya mengunakan akal, akan

melahirkantafsir bil-rakyi al mazmum (tidak diterima.)

9. Menundukkan nas Al-Qur`an untuk kepentingan hawa nafsu dan Mengambil

perkataan dari ahli bid‟ah serta fanatisme mazhab.

10. Menyepelekan penerapan kaidah tarjih yang dirumuskan ulama tafsir

11. Berpaling dari metode salafushalih, tafsir yang otentik dan sahih.

Page 14: MAKALAH U QURAN

14

12. Tidak paham dengan kaedah bahasa Arab serta tidak teliti dalam memahami teks

ayat dan dilalahnya.

13. Mengabaikan maksud turunnya Al-Qur`an dan tujuannya yang asli dan syarat-syarat

mufassir.26

BAB III

KESIMPULAN

Tafsir secara bahasa berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Sedangkan tafsir

secara istilah adalah ilmu untuk memahami kitab allah SWT, yang diturunkan kepada nabi

muhammad SAW, menjelaskan makna-makna yang terkandung didalamnya, serta

mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah di dalam kitab suci Al-Qur‟an.

Dalam menafsirkan al-qur‟an seorang mufasir harus mempunyai adab atau etika serta

memenuhi syarat sebagai mufasir diantara lain yaitu berniat baik dan bertujuan benar,

berakhlak mulia, taat dan beramal, berlaku jujur dan teliti dalam penta‟wilan, tawadhu‟,

lemah lembut, niat yang ikhlas dan bersih dari hawa nafsu, menguasai bahasa aab dengan

segala cabangnya, mengetahui ulum al-qur‟an, dan sebagainya.

Adapun penyebab timbulnya kesalahan dalam menafsirkan al-qur‟an diantaranya

yaitu berpaling dari dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan shahih, mengabaikan

sumber primer yang shahih dan beralih pada sumber yang lemah, tidak teliti dalam

memahami teks ayat dan dilalahnya, mengabaikan sebagian syarat dan adab seorang mufasir

serta menyepelekan kaidah tarjih yang dirumuskan ulama ahli tafsir.

26

Thahir Mahmud Muhammad Ya‟kub, Asbāb al-Khata‟ fi Tafsīr, hal. 930-950

Page 15: MAKALAH U QURAN

15

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Rahmān al-'Ak, Khālid, Usūl al-Tafsīr wa Qawā'iduh, Bairut: Dār al-Nafāis,

1986.

Adh-Dāwy, Ahmad Bazawy, Syurūt Al-Mufassir wa Ādābuh, Beirut : Dar Ibn

Hazm,1994

Al-Hasaniy, Muhammad bin Alawiy al-Maliki, Zubdatul Itqan fi Ulumil

Qur‟an, Dar al-Syuruq, 1986.

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahits Fi „Ulum Al-Qur‟an, Mesir: Maktabah Wahbah,

2002

al-Suyyuty, Jalāl al-Din, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur‟an. Juz II, Bairut: Dār al-Fikr,

1996

al-Zarkazy, Muhammad ibn Abd Allah, al-Burhān fi 'Ulūm al-Qur‟ān. Juz II. Kairo:

Dār al-Turāth,tt

Al-Zarqani, ,Manahil al-„Irfan ,tt

Anwar, Abu, Ulumul Qur‟an Sebuah Pengantar, Pekan Baru : Amzah, 2005

Ash-Shiddieqiy, TM. Hasbi, Pengantar Ilmu Alqur‟an/Tafsir, Jakarta: Bulan

Bintang,Tt.

Hayyān, Ibn, Bahr al Muhīt, Beirut: Dār al Kutub al-„Ilmiyah,tt. juz 1.

Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,

Jakarta, Kencana, 2007.

Muhammad Husain al-dhahaby, 'Ilm al-Tafsir, Kairo: Dar al-Ma'arif,2005.

Muhammad Ya‟kub, Thahir Mahmud, Asbāb al-Khata‟ fi Tafsīr.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002

Shafe‟i, Rahmat, Ilmu ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.

Shihab, M. Quraish, Tafsîr al-Mishbâh Vol.I, Jakarta: Lentera Hati, 2002

Page 16: MAKALAH U QURAN

16