TRADISI TAHLILAN DALAM ISLAMMAKALAHUntuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Pendidikan Agama IslamYang Dibimbing Oleh Ibu Vita Fitria,
M.pd
Disusun Oleh :1. Siti Nur Hasanah (12312241011)2. Taufik Nur
Rahmadi (12312241014)3. Ratna Sari (12312241011)4. Tri Handayani
(12312241011)5. Listina Widiastuti (12312241009)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA2012KATA PENGANTARPuji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Tradisi Tahlilan Dalam Islam dengan lancar. Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam. Dalam penulisan makalah ini penulis banyak
mendapatkan arahan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis mengucakpakn terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Vita Fitria, M. Pd selaku dosen
pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan semua pihak yang
telah membantu penulisan makalah ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.Makalah ini ditulis berdasarkan hasil
penyusunan data-data sekunder dan informasi yang penulis peroleh
dari media massa (cetak maupun elektronik )yang berhubungan dengan
tradisi Tahlilan di masyrakat. Makalah yang ditulis dengan
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan ini, tentu tidak luput dari
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena ituselalu
terbuka bagi adanya kritik dan saran serta penyempurnaan. Namun
demikian penulis akan terus mencoba dan berusaha agar pada waktu
yang akan datang dapat lebih menyempurnakan pengetahuan penulis di
bidang ilmu agama.Semoga dengan makalah yang sederhana ini dapat
memberikan tambahan ilmu bagi para pembaca umumnya dan bagi penulis
khususnya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kitik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah selanjutnya.
Terima kasih.
Yogyakarta, 07 November 2012
PenulisBAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANGManusia merupakan makhluk yang paling sempurna
di antara makhluk-makhluk yang lain. Hal ini dikarenakan Allah
memberikan akal kepada manusia, dengan akal tersebut manusia
dituntut untuk memikirkan segala sesuatu, baik yang berkaitan
dengan agama, sesuatu, hablum minannas maupun hablum
minallah.Setiap yang bernyawa akan mengalami ajal atau kematian,
ajal manusia sudah menjadi ketentuan, bila sudah waktunya meninggal
dunia,maka kita harus bersikap sabar atas keluarga yang meninggal.
Ada sebuah wacana yang mengatakan bahwa mayit disiksa karena
ratapan keluarganya. Dan bila seseorang sampai meneteskan air mata,
bila keluarganya meninggal dunia,maka hal tersebut sudah biasa
sebagai rasa duka, yang penting tidak sampai menangis
keterlaluan.Bila salah satu dari keluarga (famili) meninggal, maka
kita harus tetap bertaqwa kepada-Nya dan bersikap sabar atas
musibah tersebut dan kita berusaha jangan sampai berputus asa,
menggerutu dan bahkan sampai marah-marah, karena semua itu kejadian
yang pasti dan bila sudah waktunya maka tidak ada seorangpun yang
bisa mengelaknya.Maka atas dasar tersebut, dalam menghadapi orang
dan keluarga atau teman yang meninggal janganlah bersikap kurang
baik melainkan kita harus mendoakan baik secara perorangan ataupun
secara bersama-sama. Beberapa keluarga mayit biasanya mengadakan
tahlilan bersama warga sekitar dan sanak saudara yang lain untuk
mendoakan si mayit. Namun ternyata ada sebagian golongan yang
melarang pengadaan tahlilan dengan alasan tertentu. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa tahlilan merupakan Bidah yang tidak ada
tuntunannya. Hal ini cukup menjadi perdebatan di kalangan
masyarakat tentang bagaimana sebenarnya hukum tahlilan yang sudah
menjadi tradisi dalam masyarakat.Untuk mengetahui lebih banyak
tentang tahlilan serta bagaimana hukum melaksanakannya, maka
penulis menulis makalah dengan judul Tradisi Tahlilan dalam
Islam.
B. RUMUSAN MASALAHBerdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :1. Bagaimana
definisi tentang tahlilan ?2. Bagaimana asal-usul tradisi tahlilan
?3. Bagaimana bacaan-bacaan doa tahlilan ?4. Bagaimana pendapat
beberapa ulama tentang pelaksanaan tahlilan ?5. Bagaimana hukum
melaksanakan tahlilan ?6. Bagaimana menanggapi perbedaan pendapat
yang ada pada saat ini tentang hukum melaksanakan tahlilan agar
tidak menimbulkan konflik antar umat Islam yang berselisih paham
?
C. TUJUANBerdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :1. Menjelaskan
definisi tentang tahlilan2. Menjelaskan asal-usul tradisi
tahlilan3. Menunjukkan dan menjelaskan bacaan-bacaan doa tahlilan4.
Menjelaskan pendapat beberapa ulama tentang pelaksanaan tahlilan5.
Menjelaskan hukum melaksanakan tahlilan6. Menjelaskan cara
menanggapi perbedaan pendapat yang ada pada saat ini tentang hukum
melaksanakan tahlilan agar tidak menimbulkan konflik antar umat
Islam yang berselisih paham.
BAB IIPEMBAHASAN
A. DEFINISI TENTANG TAHLILANSecara lughah tahlilan berakar dari
kata berbahasa arab yakni hallala () yuhallilu ( ) tahlilan ( )
artinya adalah membaca/mengucap kalimat "Laa ila ha illallah" makna
inilah yang dimaksud dengan pengertian tahlilan. Dikatakan sebagai
tahlil, karena memang dalam pelaksanaanya lebih banyak membaca
kalimat-kalimat tahlil yang mengesakan Allah seperti bacaan tahlil
(Laa ila ha illallah) dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi
masyarakat setempat atau pemahaman dari guru (syekh) suatu daerah
tertentu. Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan tahlil (Laa ila
ha illallah) ada juga bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid
(Alhamdulillah), takbir (Allahu akbar), sholawat (Allahumma sholli
ala syaidina Muhammad), serta beberapa ayat Al-Qur'an seperti QS.
Yaasin, QS. Al-Baqarah : 1-5, 163, 255, 284-286, dan lain
sebagainya yang bagi umat muslim dianggap memiliki fadhilah dan
syafaat. Sebagian muslim sering mengamalkanya dalam segala macam
acara, bahkan dalam resepsi (sebelum atau sesudah akad nikah) tidak
meninggalkan amalan tahlilan ini. Dengan kata lain, dalam tahlilan
menggunakan bacaan-bacaan (doa) tetentu yang mengandung banyak
keutamaan (fadhilah). Fenomena yang terlihat di masyrakat,
penyebutan kata tahlilan umumnya dipakai untuk persembahan yang
dikelompokan menurut jenis, maksud,dan suasananya. Ketika dipakai
untuk peristiwa gembira (kemenangan) tahlilan disebut sebagai
syukuran, ketika dipakai untuk peristiwa sedih (kematian), ketika
dipakai untuk meminta perlindungan (pindah rumah, menempati
kantor/rumah baru, awal membuka usaha dll.) disebut selamatan, dan
ketika dipakai untuk meminta sesuatu (menghasratkan sesuatau)
disebut hajatan. Selain itu tahlilan juga dilaksanakan pada
acara-acara tertentu seperti saat seseorang akan pergi jauh dan
dalam waktu yang cukup lama (pergi haji, merantau belajar, atau
bekerja diluar negeri), acara pertemuan keluarga seperti arisan
keluarga maupun halal- bihalal, dan khitanan. Tradisi tahlilan
dalam masyrakat Jawa juga sering disebut dengan kata sedekah
(sedekahan, karena dalam setiap kegiatannya diangggap selalu
memberikan sedekah (pemberian) baik bagi mereka yang datang
berkunjung atau bagi pemilik hajat. Jadi masing-masing saling
bersedekah (memberi) dalam bentuk barang atau pun berupa dukungan
moral yang sangat mereka harapkan. Dukungan moral diantara mereka
secara psikologis dapat saling memberi motivasi. Dalam kenyataan
istilah syukuran, hajatan dan sedekah sulit dibedakan, mereka lebih
sering menggunakan kata tahlilan.Berdasarkan beberapa pengertian
tentang tahlilan tersebut, tahlilan sebagai syukuran, hajatan,
selamatan, tahlilan dalam arisan maupun dalam acara keluarga
lainnya tidak menjadi masalah yang diperdebatkan sebagian golongan.
Akan tetapi tahlilan dalam rangka memeringati kematian seseoranglah
yang saat ini banyak menjadi perbincangan yang diperdebatkan
sebagian golongan. Tahlilan dalam konteks memeringati kematian
seseorang inilah yang akan penulis bahas lebih lanjut.
B. ASAL-USUL TRADISI TAHLILANUpacara atau ritual tradisional
dengan beragam jenisnya di negeri kita, tentu punya kajian hukum
tersendiri. Sebagian ada yang dipandang oleh para ulama sebagai hal
yang sejalan dengan aqidah dan syariah, sebagian lainnya memang
tidak bisa diterima. Terdapat begitu banyak budaya yang berakar
kepada syirik dan penyembahan kepada yang selain Allah. Misalnya
budaya meramal kedukun, memberi sesaji kepada jin dan roh penunggu
tempat keramat, atau menghadirkan roh dan makhluk halus, percaya
kepada nasib naas, horoskop, dan wangsit. Termasuk di dalamnya
mempelajari ilmu kebal, ilmu santet, ilmu sihir, ilmu teluh,
jelangkung dan tuyul. Semua itu jelas tidak akan bisa dijadikan
dasar hukum karena pada hakikatnya justru tradisi itu yang ingin
dihilangkan dari aqidah bangsa ini.Selain terkait dengan syirik,
terkadang ada juga budaya yang secara radikal memang bertabrakan
dengan garis-garis syariah Islam. Misalnya tradisi
bermabuk-mabukan, gonta ganti pasangan, membuka aurat dalam
berpakaian, membagi waris dengan tradisi yang berbeda dengan hukum
Islam, berjudi, nyawer, sabung ayam dan seterusnya. Salah satu
acara tradisional yang berkembang dalam masyarakat adalah tahlilan.
Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Sanga. Keberhasilan
dawah Wali Sanga ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang
mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Sanga mengajarkan
nilai-nilai Islam secara luwes mereka tidak secara frontal
menentang tradisi hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat,
namun membiarkan tradisi itu berjalan hanya saja isinya diganti
dengan nilai-nilai islam, tradisi dulu bila ada orang mati maka
sanak famili dan tetangga berkumpul dirumah duka yang dilakukan
bukannya mendoakan si mayat malah bergadang dengan bermain judi
atau mabuk-mabukan.Wali Sanga tidak serta merta membubarkan tradisi
tersebut, masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya
diganti dengan mendoakan pada mayit, jadi tahlil dengan pengertian
diatas sebelum Wali Sanga tidak dikenal. Kalau membuka catatan
sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa
Rasulullah shalAllahualaihiwasallam, di masa para sahabatnya dan
para Tabiin maupun Tabiuttabiin. Bahkan acara tersebut tidak
dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam
Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya yang
semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Awal mula acara
tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek
moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha.
Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang
yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu
seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis
di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu
dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain
dengan bacaan dari Al Quran, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala
Islam menurut mereka.Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui
bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan
sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.Acara tahlilan ini
biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus
berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan
kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara
tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun
terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.Tidak
lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap
kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya
selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut.
Namun pada dasarnya menu hidangan "lebih dari sekedarnya" cenderung
mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut
terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.Entah
telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga
tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada
yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi
adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh
lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukumya itu sunnah
(baca: "wajib") untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidah (hal yang
baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.Sebenarnya acara tahlilan
semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat
Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran,
semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah
Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh
setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu
wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah
berfirman (artinya): "Maka jika kalian berselisih pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan ArRasul
(As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik
akibatnya." (AnNisaa: 59)
C. PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG PELAKSANAAN TAHLILANBerikut
ini merupakan cuplikan beberapa pendapat ulama mengenai pelaksanaan
tahlilan:1. Imam SyafiI Aku benci Al MATAM yaitu berkumpul-kumpul
dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya
yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan . (Al-Umm, Juz 1,
hal 248)2. Imam NawawiAdapun bacaan Al-Quran dan mengirimkan
pahalanya untuk mayit dan menggantikan shalatnya mayit tersebut.
Menrut Imam SyafiI dan Jumhur Ulama mengatakan tidak dapat sampai
kepada simayit yang dikirimkan dan keterangan seperti ini telah
diulang-ulang oleh Imam Nawawi didalam kitabnya Syarah Muslim. (As
Subuki, TAKMILATUL MAJMU, syarah MUHADZAB, Juz X, hal. 426)3.
Al-HaitamiMayit tidak boleh dibacakan apa pun, berdasarkan
keterangan yang mutlak dari para Ulama Mutaqaddimin (terdahulu),
bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada simayit) adalah
tidak sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk
pembacanya saja. Sedangkan pahala hasil amalan tidak dapat
dipindahkan ari amil (yang mengamalkan) pernuatan itu, berdasarkan
firman Allah Dan manusia tidak memperoleh, kecuali dari pahala
hasil usahanya sendiri. (Al-Haitami, Al-Fatwa Wa Al Kubra Al
Fighiyah, Juz II, hal.9).
4. Imam Al KhazinDan yang masyhur dalam madzhab SyafiI, bahwa
bacaan Al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah
tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. (Al Khazin,
Al-Jamal, Juz IV, hal.236)5. Ibnu KatsirDan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.(An-Najm :39), Imam SyafiI r.a dan ulama-ulama yang
mengikitinya mengambil kesimpulan, bahwa pahala bacaan yang
pahalanya dikirimkan kepada simayit adalah tidak dapat sampai,
karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu
Rosulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan
(pengiriman pahala bacaan). Dan tidak pernah memberikan bimbingan,
baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorang sahabatpun
yang tidak pernah mengamalkan hal tersebut, kalau toh amalan
semacam itu baik , tentu mereka lebih dulu mengerjakannya, padahal
amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah ) hanya terbatas yang
ada nash-nashnya (dalam Al-Quran dan Sunnah Rosulullah SAW) dan
tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat.
(Tafsir Ibnu Katsir IV:258)
Analisis Firman Allah:Dan bahwasanya seseorang tidak akan
mendapatkan sesuatu selain apa yang telah diusahakan1. Tafsir Ibnu
Katsir IV: 258(maksudnya) ialah bagaimana seseorang tidak akan
dibebani dengan dosa (orang) lain, demikian ia tidak dapat
memperoleh pahala selain dari apa yang telah iya upayakan untuk
dirinya. Imam SyafiI r.a dan ulama-ulama yang mengikitinya
mengambil kesimpulan, bahwa pahala bacaan yang pahalanya dikirimkan
kepada simayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil
usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah SAW tidak pernah
menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan).
Dan tidak pernah memnerikan bimbingan, baik dengan nash maupun
isyarat, dan tidak ada seorang sahabatpun yang tidak pernah
mengamalkan hal tersebut, kalau toh amalan semacam itu baik , tentu
mereka lebih dulu mengerjakannya.2. Tafsir Al-Maraghi
XXVII:66)Adapun madzhab Ahmad bin Hanbal dan segolongan para ulama
(menyatakan) bahwa bacaan Al-Quran akan sampai (pahalanya) kepada
yang telah mati, apa bila bacaan itu dilakukan dengan tidak
mengambil upah. Adapun apabila mengambil bayaran atau upah
sebagaimana dilakukan orang-orang dewasa ini, ialah dengan member
bayaran/ upah kepada pembaca Al-Quran diatas kuburan dan yang
lainnya, maka hal seperti itu tidak akan sampai kepada yang telah
mati.3. Sarah Shahih MuslimAdapun Al-Quran pendapat yang masyhur
dari madzhab SyafiI tidak sampai pahalanya kepada yang telah mati,
sementara sebagian pengikut Imam SyafiI berpendapat bahwa pahala
bacaan itu sampai kepada orang yang telah mati.4. Adzkar
An-NawawiPara ulama berselisih pendapat dalam hal sampai dan
tidaknya pahala bacaan Al-Quran, maka pendapat yang masyhur dari
madzhab Imam SyafiI serta golongan para ulama bahwasanya pahala
bacaan Al-Quran itu tidak akan sampai kepada orang yang telah
mati.(AL HIDAYAH, Bab Menghadiyahkan Pahala Bacaan Al-Quran Kepada
Orang Yang Telah Mati hal.784, A.Zakariya)
Analisa Kitab1. Ianatut Thalibinya, apa yang dikerjakan orang,
yaitu berkumpul dirumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan
untuk itu, adalah termasuk BIDAH Munkarat (bidah yang diingkari
agama). Yang bagi memberantasnya akan diberi pahala. (Ianatut
Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 145)Dan apa yang dibiasakan
orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk
dihidangkan para undangan. Adalah BIDAH yang tidak disukai dalam
agama. Sebagaimana berkumpul dirumah simayit itu sendiri. Karena
ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al
Bajalii Kami ( yakni para Shahabat semuanya ) memandang/menganggap
( yakni menurut madzhab kami para Shahabat ) bahwa berkumpul-kumpul
di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan adalah sama dengan
hokum Niyahah (meratapi mayit) yakni haram. (Ianatut Thalibin,
Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 146)Dan tidak disukai menyediakan
makana pada hari pertama kematian. Hari ketiga, sesudah seminggu,
dan juga memindahkan makanan ke luburan secara musiman seperti
haul. (Ianatut Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 146)Dan
diantara bidah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang
biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita,
berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah
haram. (Ianatut Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 145-146)Dan
tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bidah
munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BIDAH,
membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya
pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka
berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan.
(Ianatut Thalibin, Sarah Fathul Muin, Juz 2 hal. 145-146)2. Al-Umm
Aku benci Al MATAM yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit
meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu
akan memperbaharui kesedihan . (Al-Umm, Juz 1, hal 248)3. Mughnil
MuhtajAdapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya orang-orang banyak disitu, adalah BIDAH, yang tidak
disunatkan, dan didalam hal ini Imam Ahmad bin Ibnu Majah
meriwayatkan dengan sanad yang sah dari Jarir bin Abdullah Al
Bajalii Kami ( yakni para Shahabat semuanya ) memandang/menganggap
( yakni menurut madzhab kami para Shahabat ) bahwa berkumpul-kumpul
di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan adalah sama dengan
hokum Niyahah (meratapi mayit) yakni haram. (Mughnil Muhtaj, Jus 1,
hal 268)4. Hasyiyatul QalyubiSyekh Ar Romli berkata diantara bidah
yang munkarat yang tidak dibenarkan agama, yang tidak disukai
dikerjakan, yaitu sebagaimana yang diterngangkan dalam kitab Ar
Raudlah, yaitu apa yang dikerjakan orang, yang disebut kifarah, dan
hidangan makanan untuk acara berkumpul dirumah keluarga mayit. Baik
senelum maupun sesudah kematian, dan juga penyembelihan dikuburan.
(Hasyiyatul Qalyubi, Juz 1, hal 353)5. Al-Majmu Sarah
MuhadzabAdapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya orang-orang banyak disitu, adalah BIDAH yang tidak
disunatkan. (Al-Majmu Sarah Muhadzab, Juz 5, hal.286
6. Al Fiqhu Alal Madzahibil ArbaahDan diantara BIDAH yang tidak
disukai agama ialah, apa yang dikerjakan orang tentang menolong
binatang-binatang ketika mayit dikeluarkandari tempat
bersemayamnya, atau dikuburan, dan juga menghidangkan makanan yang
diperuntukkna bagi orang-orang yang taziah (menjenguk yang
meninggal). (Al Fiqhu Alal Madzahibil Arbaah, Juz 1, hal
539)(TAHLILAN dan SELAMATAN: Menurut Madzhab Syafii)Dari awal
sampai saat ini sudah teramat sangat jelas apa itu TAHLILAN/ MATAM
dari sudut pandang Syariah (Al-Quran dan As-Sunah), Qaul Ulama,
Kitab-kitab dan lain sebagainya, akan tetapi kenapa lagi-lagi masih
banyak disekitar kita yang melakukan hal BODOH seperti itu, apakah
para asatidz yang pura-pura tidak tahu ? ? ? tidak ingin tahu ? ? ?
takut kehilangan BESEK (Berkat, Imbalan sehabis TAHLILAN/ MATAM),
dan biasanya hal ini identik dengan kegiatan orang-orang NU, afwan
ane pribadi miris ketika orang-orang diluar sana mencap NU sebagai
Ahlul Bidah, ana miris karena ini semua perbuatan masyarakat BODOH
yang TAQLID dan FANATIK yang mengaku-ngaku Nahdiyin akan tetapi ia
tidak tau menau apa-apa (BODOH), majalah NU Al-Mawaid menentang
keras TAHLILAN/ MATAM bahkan didalam majalah yang tebit pada tahun
1930an itu mengutip bahwasanya Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan
TAHLILAN/ MATAM min AFALIL JAHILIYAH (PERBUATAN ORANG JAHILIYAH)
dan menurut sejarah itu berasal dari agama BUDHA, naudzubillahhi
min dzalik.K.H Wahab Muhsin dan K.H Muhammad Syihabuddin Muhsin
rohimahullah beserta para asatidz NU lainnya berjuang memerangi
TAHLILAN/ MATAM 17 tahun lamanya didaerah Suka Rame, Suka Rapih,
Singaparna, Tasikmalaya. Ini harus kita jadikan contoh terutama
bagi orang-orang yang mengaku Ahlussunah. karena NU bukan
perkumpulan orang yang CINTA BIDAH, TAQLID BUTA dan FANATIK akan
tetapi tajdid yang senantiasa berpegang kepada Al-Quran dan
As-Sunah Shahihah.Yaa Allah bukakan lah pintu hidayahMu dan
bimbinglah kami kedalam jalan yang Engkau ridhoi
D. HUKUM MELAKSANAKAN TAHLILANAkhir-akhir ini kita sering
mendengar kegiatan tahlil bersama, sehubungan dengan perginya orang
penting di negara ini.Kegiatan tahlilan marak dilakukan oleh
sebagian orang yang ingin mendoakan agar amal ibadah yang
bersangkutan diterima oleh Allah Subhanahu wa taala.Dalam sebuah
kitab kecil, selamatan kematian atau yang biasa kita sebut tahlilan
dibahas secara singkat dan padat, khususnya dari pandangan imam
Syafii sendiri. Tujuannya adalah untuk meluruskan pemahaman yang
keliru dari kegiatan ini.Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak
jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.Dari Jabir bin Abdillah Al
Bajaliy, ia berkata:Kami (yakni para Sahabat semuanya)
memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa
berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan
sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang
shahih.Dan an niyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang
dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;Diriwayatkan
dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:Ada dua perkara
yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan
bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati.
Pandangan Imam SyafiiDidalam kitab al Umm (I/318), telah berkata
imam Syafii berkaitan dengan hal ini;Aku benci al matam, yaitu
berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan,
karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui
kesedihan.Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan
tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh
ummat Islam sendiri. Membaca Al Quran untuk orang mati (menurut
Imam Syafii)Dalam Al Quran, di surat An Najm ayat 38 dan 39
disebutkan disana;[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain,[53.39] dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir
menafsirkannya sebagai berikut;Yaitu, sebagaimana seseorang tidak
akan memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan
memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan
untuk dirinya sendiri.Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy
Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan
suatu hukum: Bahwa Al Quran tidak akan sampai hadiah pahalanya
kepada orang yang telah mati.Karena bacaan tersebut bukan dari amal
dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan
bacaan Quran kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah
menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik
dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan
isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).Dan tidak
pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah
mengirim bacaan Al Quran kepada orang yang telah mati).Kalau
sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului
kita mengamalkannya.Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas
kepada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan rayu
(pikiran).Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa
perbuatan membaca Al Quran dengan tujuan pahalanya disampaikan
kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama
besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri
ini.reposting :
http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/1059
TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BIDAH MUNKAR DENGAN IJMA
PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM
Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat : ( : ) ( )
"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni
para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab
kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan
membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian
meratap"
TAKHRIJ HADITS:Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh
Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadznya) dan Imam Ahmad
di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya
keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi
Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di
atas. Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya
semuanya tsiqat (dapat dipercaya) atas syarat Bukhari dan
Muslim.Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jamaah para
Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau
atsar di atas dalam beberapa hal.Pertama : Mereka ijma' atas
keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama
-sepanjang yang diketahui penulis- wallahu alam yang mendloifkan
hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad
hadits ini sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk
rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.Kedua : Mereka
ijma' dalam menerima hadits atau atsar dari ijma' para shahabat
yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada
seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan
penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya
ijma para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di
antara mereka yang menyalahinya.Ketiga : Mereka ijma' dalam
mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat
sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan
apa yang telah di ijma'kan oleh para shahabat yaitu
berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita
kenal di negeri kita ini dengan nama " Selamatan Kematian atau
Tahlilan".
LUGHOTUL HADITS:1. / = Kami memandang/menganggap.Maknanya :
Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul
di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian
meratap.Ini menunjukkan telah terjadi ijma/kesepakatan para
shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma para shahabat menjadi
dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan Sunnah dengan
kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.2. = Berkumpul-kumpul di
tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang
kemudian mereka makan bersama-sama3. i = Sesudah mayit itu
ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam
Ahmad.Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di
rumah ahli mayit sebelum dikubur!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah
ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di
rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.4. = Termasuk dari
meratapi mayit. Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat
ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama selamatan
kematian/tahlilan adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan
ijma para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian
meratap sedangkan meratap adalah dosa besar.FATWA PARA ULAMA ISLAM
DAN IJMA MEREKA DALAM MASALAH INIApabila para shahabat telah ijma
tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini,
maka para tabiin dan tabiut-tabiin dan termasuk di dalamnya Imam
yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafiiy dan Ahmad) dan seluruh
Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijmanya para sahabat
yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ
adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah. Berikut
adalah kumpulan fatma dari para ulama.1. Telah berkata Imamnya para
Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam
Asy-Syafiiy di kitabnya Al-Um (I/318).
Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit
meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu
akan memperbaharui kesedihan"[1]Perkataan imam kita diatas jelas
sekali yang tidak bisa dita'wil atau ditafsirkan kepada arti dan
makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan
berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul
saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini
sebagai Tahlilan ?"2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya
Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh
Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :Adapun ahli mayit membuatkan
makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram
). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan
menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai
perbuatan orang-orang jahiliyyah.
Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada
Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab
Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di
rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !"
Berkata Umar, " Itulah ratapan !"3. Telah berkata Syaikh Ahmad
Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad
Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :
"Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan
Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang
banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits
Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi
mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya
(yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap
dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah
tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan
alasan ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.
Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah
ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah telah dijelaskan oleh
Imam Syafi'i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan
semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut).
Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang
kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit )
dengan alasan untuk ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu
adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari
Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."Kemudian Syaikh Ahmad
Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir
menegaskan : Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang
sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan
alasan taziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan,
memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta
yang banyak dalam seluruh urusan yang bidah ini mereka tidak
maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang
memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan
menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah
HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan
Salafush shalih dari para shahabat dan tabiin dan tidak pernah
diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita).
Kita memohon kepada Allah keselamatan !4. Al Imam An Nawawi,
dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah
menjelaskan tentang bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan
dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy
-Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil
dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal
inipun beliau tegaskan di kitab beliau Raudlotuth Tholibin
(2/145).5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya
Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama
Al Majmu' Syarah Muhadzdzab : "Tidak disukai /dibenci duduk-duduk
(ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena
sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah "
Bid'ah ".6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir
(2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut
adalah " Bid'ah Yang Jelek". Beliau berdalil dengan hadits Jarir
yang beliau katakan shahih.7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya
Zaadul Ma'aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul
(dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan
Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya
dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam8. Al Imam Asy Syaukani,
dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut
Menyalahi Sunnah.9. Berkata penulis kitab Al-Fiqhul Islamiy (2/549)
: Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal
tersebut dibenci dan Bidah yang tidak ada asalnya. Karena akan
menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan
mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang
jahiliyyah.10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang
masalah ini beliau menjawab : " Dibuatkan makanan untuk mereka
(ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan
untuk para penta'ziyah." [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam
Abu Dawud hal. 139]11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, "
Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada
mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para
penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain." [Al
Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]12. Berkata Al Imam Al Ghazali,
dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi'i (I/79), " Disukai
membuatkan makanan untuk ahli mayit."
Berdasarkan fatwa- fatwa tersebut dapat disimpulkan
bahwa:Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya
adalah BID'AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan
ulama' termasuk didalamnya imam empat.
Kedua : Akan bertambah bid'ahnya apabila ahli mayit membuatkan
makanan untuk para penta'ziyah.Ketiga : Akan lebih bertambah lagi
bid'ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan
seterusnya.Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut
SUNNAH NABI Shallallahu alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili
dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang
sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari
semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
ketika Ja'far bin Abi Thalib wafat."Buatlah makanan untuk keluarga
Ja'far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang
menyibukakan mereka (yakni musibah kematian)." [Hadits Shahih,
riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah
dan Ahmad (I/205)]
Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafiiy dan
lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami
turunkan di atas).Berkata Imam Syafiiy : Aku menyukai bagi para
tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit
pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat
mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah
(mengikuti) SUNNAH (Nabi) [Al-Um I/317]
BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULAN1. Tahlilan adalah acara peringatan
hari kematian seseorang yang acara diisi dengan doa doa untuk
mendoakan seseorang yang telah meninggal tersebut.2. Hukum
pelaksanaan tahlilan itu relatif. Tahlilan boleh dilaksanakan
asalkan tidak memberatkan keluarga dari si mayat. Tetapi apabila
acara tahlilan memberatkan keluarga yang ditinggalkannya hukumnya
haram.
DAFTAR
PUSTAKAhttp://thetrueideas.multiply.com/journal/item/1059http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-seputar_1302.htmlhttp://warkopmbahlalar.com/2011/09/strategi-dakwah-wali-songo/http://suaraaswaja.com/wahabi-saudi-akan-hancurkan-makam-nabi-sahabat.htmlsuaraaswaja.com/wahabi-saudi-akan-hancurkan-makam-nabi-sahabat.htmlhttp://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,37823-lang,id-c,ubudiyyah-t,Tentang+Tahlilan+dan+Dalilnya-.phpxhttp://mighamir.wordpress.com/2009/10/10/makalah-hukum-tahlilan/
24