Makalah Tentang Otonomi Pendidikan BAB IPENDAHULUANA. Latar
belakang masalahOtonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani
autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hokum atau
aturan. Dalam konteks etimologi otonomi diartikan sebagai
perundangan sendiri. Menurut Syarif Saleh, otonomi sebagai hak
mengatur dan memerintahkan daerah sendiri, hak mana yang diperoleh
dari pemerintah pusat.Otonomi pendidikan merupakan kekuasaan yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengatur, mengelolah, mengorganisir urusan pendidikan yang secara
tidak langsung di awasi oleh pemerintah pusat. Otonomi juga
diartikan sebagai kemandirian suatu daerah untuk mengatur daerahnya
secara mandiri.Pelaksanaan otonomi pendidikan ini berlangsung
karena adanya kewenangan yang diberikan langsung dari pemerintah
pusat untuk didirikannya otonomi daerah suatu daerah. Adapun hak
yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu
tidak langsung diberikan sepenuhnya. Pemerintah pusat disini
bertugas mengawasi pelaksanaan otonomi pendidikan ini. Dalam proses
pembuatan makalah ini saya menggunakan cara eksplorasi internet dan
buku-buku rujukan. Untuk lebih lanjutnya akan dibahas dalam makalah
ini.B. Rumusan masalahAdapun rumusan masalah yang di angkat dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:1. Apa konsep otonomi pendidikan
?2. Bagaimanakah pelaksanaan otonomi pendidikan di Indonesia?
BAB IIPEMBAHASANA. Konsep Otonomi Pendidikan IslamOtonomi atau
autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan
nomos yang berarti Hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini,
beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi
diartikan sebagai perundangan sendiri, mengatur atau rnemerintah
sendiri.Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang
diberikan oleh para pakar dan penulis, di antaranya Syarif Saleh
mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah
sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Wayong
mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara
dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri,
menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Sugeng Istanto
menyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Sementara itu, Ateng
Syafruddin mengemukakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna
kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan
yang harus dipertanggungjawabkan.B. Otonomi/ Desentralisasi
Pendidikan Islam1. Konsep Otonomi PendidikanOtonomi berasal dari
bahasa Yunaniautosyang berarti sendiri dan nomosyang berarti hukum
atau atauran. Sedangkan menurut Ateng Syafrudin mengatakan bahwa
istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi
bukan kemerdekaan.[1]Otonomi pendidikan menurut UU Sistem
Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan
kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada
bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa
masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban
pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna
terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15
tahun.Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi
pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosifi,
tujuan, format dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan itu
sendiri. Impikasi dari semua itu adalah setiap daerah otonomi harus
memiliki visi dan misi pendidkan yang jelas dan jauh kedepan dengan
melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang tren
perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh masyarakat
yang lebih baik kedepannya serta merancang sistem pendidikan yang
sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia yang bineka
tunggal ika.Untuk itu kemandirian daerah itu harus diawali dengan
evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal
daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tetang kondisi daerah,
sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dalam upaya
mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan
berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan
produktif.[2]2. Otonomi Pendidikan sebagai Optimalisasi Potensi
DaerahUUD tahun 45menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah
menyusun dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang
diatur oleh negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelanggaraan pendidikan nasional. Dengan adanya UU Otonomi
Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No
32 tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem pemerintahan yang
sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah memiliki
kewenangan untukmengatur dan mengurus sistem pemerintahannya
sendiri guna mensejahterakan masyarakat di daerahnya.[3]Pelimpahan
wewenang kepada daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan guna
mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12
ayat 1 UU No 32 tahun 2004 bahwa urusan pemerintahan yang
diserahkan daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan
sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang
disentralisasikan.Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan
desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab
pemeritah daerah akan meningkat dan semakin luas, termasuk dalam
menejemen pendidikan. Pemerintah daerah di harapkanuntuk senantiasa
meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan
pendidikan, mulai dari tahap perumusan kebijakan daerah,
perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan dan monitoring di
daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional
yang digariskan pemerintah.[4]Pemberian dan berlakunya otonomi
pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk
berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah
diseluruh Indonesia, terutama yang berkaitan langsung dengan SDM
dan SDA masing-masing daerah dalam upaya menggali dan
mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat yang selama ini masih
terpendam. Begitu juga adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah
daerah baik tingkat I maupun tingkat II dapat memulai peranannya
sebagai basis pengelolaannya sebagai pendidikan dasar. Untuk itu
perlu adanya lembag non struktural yang melibatkan masyarakat luas
untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang
disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan daerah tersebut.Di era
otonomi ini, sudah saatnya kita berpikir kritis untuk membangun
sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan
berperadaban. Agar masyarakat selama ini dimarjinalkan dalam lubang
berpikir yangortodokstidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan
masyarakatdinamis danprogesif. Maka bila hal ini bisa terwujud,
masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan pada
nantinya akan respek terhadap kemajuan dan pekembangan yang terjadi
dalam lingkungan sosial maupun pendidikan. Karena masyarakat telah
diberikan penghargaan yang tinggi sebagai mahluk sosial dan sebagai
hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh
komponen masyarakat dan sekolah itu dapat berjalan dengan sinergis,
beriringan dan selaras sesuai dengan tujuan pendidikan itu
sendiri.Selain itu juga di era otonomi ini, masyarakat perlu
diberikan kepercayaan untuk ikut serta dalam pemberdayaan dan
pengelolaan pendidikan, tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau
penambah dana bagi sekolah yang terlambangkan dalam BP3. Dengan
kata lain ketidak seimbangan dan ketimpangan antara hak dan
kewajiban anggota BP3 yang terdiri dari masyarakat atau orang tua
peserta didik harus tiadakan. Karena hal itu telah menjadikan
lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat tidak ada
fungsinya lagi (disfuction), untuk itu ketika otonomisasi telah
digalakkan maka sudah saatnya masyarakat diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tetapi tidak
hanya sekedar sebagai formalitas saja dalam arti masyarakat dalam
musyawarah nantinya sekedar menjadi objek saja atau sebagai
pendengar, tetapi harus benar-benar dilibatkan secara langsung,
namun peran serta masyarakat juga terbatas pada lingkup tartentu
dengan diikutsertakan masyarakat dalam pendidikan akan lebih
efektif kerena secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat itu
sendiri.Berkaitan dengan implementasinya otonomi pendidikan, maka
sudah tentunya peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat
pengetahuan, IPTEK ,dan budaya menjadi lebih penting serta
stategis. Hal itu dilakukan dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk
mempertegas otonomi yang sedang berjalan.[5]3. Permasalahan dalam
pelaksanaan otonomi pendidikanPembagian kewenangan dan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan fokus bahwa
pelaksanaan otonomi daerah adalah didaerah kabupaten dan daerah
kota. Dalam situasi yang demikian ini, baik dari segi kewenangan
maupun sumber pembiayaan dibidang pendidikan, daerah kabupaten atau
kota akan memegang peranan penting terutama dalam pelaksanaannya.
Sementara itu koordinasi dan singkronisai program pendidikan perlu
di tingkatkan agar mampu menghindari ego kewilayahan. Untuk itu
pelaksanaan desentralisasi pendidikan, menjadi penting kiranya kita
mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi dalam
pelaksanaannya,[6] dan diantara masalah itu adalah:a. Kepentingan
NasionalSalah satu tujuan nasional yang dicita-citakan dalam
pembukaan UUD 45, yaitu Mencerdaskan kehidupan bangsa . Untuk
mencapai hal tersebut pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan segala
amandemennya menegaskan demokratisasi dan pemenuhan hak-hak dasar
bagi semua warga negara untuk memperoleh pendidikan. Kemungkinan
yang terjadi adalah bagaimana dengan masing-masing daerah kabupaten
atau kota, yang potensi sumber pembiyayaannya berbeda, dapatkah
menjamin agar tiap warga negara memperoleh hak pendidikan tersebut.
Hal lain yang berkaitandengan kepentingan nasional adalah bagaimana
melalui pendidikan dapat tetap dikembangkan dalam satu kesatuan
arah dan tujuan.[7]b. Peningkatan mutuSalah satu dasar pemikiran
yang melandasi lahirnya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan baik eksternal maupun
internal khususnya menghadapi tantangan persaingan global dan
persaingan pasar bebas. Ada tiga kemampuan dasar yang diperlukan
agar masyarakat indonesia dapat ikut dalam persaingan global, yaitu
kemampuan menejemen, teknologi dan kualitas SDM yang semua itu
dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu. Mutu yang dimaksud
disini bukan hanya yang memenuhi Standar Nasional tetapi juga
internasional. Persoalannya adalah dengan adanya otonomi
pelaksanaan pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah
kabupaten atau kota yang kualitas sumberdaya,prasarana dan
kemampuan pembiayaannya bagi masyarakat akankah dapat menghasilkan
mutu yang dibawah atau diatas standar?c. Efisiensi pengelolaanGuna
memacu peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dalam kondisi
keterbatasan sumber dana yang kemudian dibagi-bagi pada daerah
otonomi, pelaksanakanotonomi daerah juga diharapkan dapat
meningkatkan efesiensi pengelolaan (technical efficiency) maupun
efisiensi dalam mengelolakan anggaran (economic efficiency). Sistem
pengelolahan yang sangat sentralistik selama ini akan mempunyai
potensi problem efisiensi pengelolaan didaerah, apalagi
diseolah,jika tidak dilakukan secara profesional dan
proporsional.d. Sumber Daya ManusiaSumber daya manusia merupakan
pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi otonomi
pendidikan. SDM selama ini belum memadai, maksudnya yaitu
berhubungan dengan kuantitas dan kualitas SDM tersbut. Masih ada
daerah yang belum dapat memahami, menganalisis, serta
mengaplikasikan konsep otonomi pendidikan. Demikian halnya yang
berkaian dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada.[8]e.
PemerataanPelaksanaan otonomi pendidikan dapat meningkatkan
aspirasi masyarakat akan pendidikan yang diperkirakan akan juga
meningkatkannya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi
yang jadi permasalahan adalah semakin tingginya jarak antara daerah
dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang akhirnya akan
mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan.f.
Peranserta MasyarakatSalah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk
memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas,
meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan
sumber dan dalam menyelanggarakan pendidikan. Peran serta
masyarakat dalam pendidikan dapat berupa perorangan,kelompok
ataupun lembaga seperti dunia usaha dan industri.g. Pengawasan
PendidikanSistem pendidikan nasional termasuk aspek kepengawasannya
diharapkan memiliki kemampuan untuk merespon berbagai tuntutan
daerah, terus bersaing secara global. Sistem pengawasan hendaknya
menitik beratkan kepada pengembangan mutu, mewujudkan efisiensi dan
efektivitas layanan manejemen. Pengawasan pendidikan hendaknya juga
juga tidak hanya sekedar diposisikan sebagai perilaku birokratis
dan perundang-undangan saja. Lebih dari itu hendaknya diperlakukan
sebagai bagian dari budaya profesional dalam organisasi pendidikan.
Sekalipun pengawasan itu merupakan rangkaian atau siklus dari
proses menejemen, akan tetapi makna pengawasan melekat, dan
pengawasan masyarakat harus selalu bersinergi dengan pengawasan
fungsional.[9] h. Masalah KurikulumSebagaimana telah kita ketahui
bahwa kondisi masyarakat indonesia sangat heterogen dengan berbagai
macam keragamannya, seperti budaya, adat, suku, SDA dan bahkan
SDM-nya. Masing-masing daerah mempunyai esiapan dan kemampuan yang
berbeda dalam pelaksanaan otonomi penidikan. Dalam konteks otonomi
daerah, kurikulum suatu lembaga pendidkan tidak sekedar daftar mata
pelajaran yang dituntut dalam suatu jenis jenjang pendidikan, dalam
pengertian yang luas kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan
suatu rencana atau program pelajaran tertentu.Sedangkan menurut
Hasbullah, kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan
kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan
visi dan misi lembaganya.[10]4. Pelaksanaan Desentralisasi
Pendidikan di IndonesiaDesentralisasi pendidikan yang telah
diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa hal
positif pelaksanaanya, misalanya banyaknya daerah terutama daerah
yang kaya memiliki semangat memajukan pendidikan bagi masyarakatnya
dengan meningkatkan anggara pendidikan pada Anggara Pendapatan dan
Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan adalah
menyederhanakan dan mempersingkat birokrasi pendidikan di daerah,
meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah dalam mengelola
pendidikan yang lebih memungkinkan tercapainya pemerataan
pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar
karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan dengan
didukung dengan biaya dengan porsi yang lebih besar dalam upaya
pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi,
kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena itu,
kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar
menjadi lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan.Armida S.
Alisjahbana[11]menyebutkan bahwa dalam wujud pelaksanaan
desentralisasi pendidikan, ada beberapa kewenangan-kewenangan
pendidikan yang dapat didisentralisasikan, yakni sebagai
berikut:Komponen pendidikanKewenangan
Organisasi dan poses belajar Mengajar Menentukan sekolah mana
yang dapat diikuti seorang murid.Waktu belajar di sekolah.
Penentuan buku yang digunakan.Kurikulum.Metode pembelajaran.
Manajemen guru- Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.-
Memilih dan memberhentikan guru.- Menentukan gaji guru.- Memberikan
tanggung jawab pengajaran kepada guru.- Menentukan dan mengadakan
pelatihan kepada guru.
Struktur dan perencanaan- Membuka atau menutup suatu sekolah.-
Menentukan program yang ditawarkan sekolah.- Definisi dari isi mata
pelajaran.- Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya- Program pengembangan sekolah.- Alokasi anggaran
untuk guru dan tenaga administratif (personnel).- Alokasi
anggarannon-personnel.- Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di
bidang pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada bidang
pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan
desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat
kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan
atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.Sehubungan
dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan harus dikemas
dalam programschool based management(MBS), yakni suatu sistem
manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan
sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh
infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana
prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur
manejemen tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti
perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan dan
dikontrol.[12] MBS harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang
diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang memiliki peran
sebagai berikut:a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.b. Pendukun
(supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun
tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.c. Pengontrol (controlling
agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
dan keluaran pendidikan.d. Mediator antara pemerintah (eksekutif)
dan legislatif dengan masyarakat.[13]Selain itu salah satu upaya
dalam menerapkan desentralisasi pendidikan di sekolah, adalah
dengan meningkatkan kapasitas otonomi sekolah itu sendiri dengan
cara sebagai berikut:a. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)b.
Pelibatan Masyarakatc. Pemberdayaan Masyarakatd. Orientasi pada
Kualitase. Meniadakan Penyeragaman.[14]Namun dibalik itu semua
bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum
mampu membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah.
Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di daearah belum
menunjukkan perbedaan yang berararti, atau sama saja antara sebelum
dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan
desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah
menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional
di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan,
karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi.
Masalah-masalah sebagaimana disebutkan oleh Hasbullah antara
lain:a. Masalah KurikulumKondisi masyarakat Indonesia adalah
heterogen dan masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan
yang berbeda-beada dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan kurangnya
kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem
pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya.
Untuk itu kurikulum suatu lembaga pendidikan jangan hanya sekedar
daftar mata pelajaran saja yang dituntut di dalam suatu jenis dan
jenjang pendidikan, tetapi lebih luas lagi yakni berisi kondisi
yang sesuai dengan karakteristik daerah. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikatakan Armida S. Sjahbana bahwa perlu kejelasan tentang
kebijakan perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan muatan lokal dalam
persentase yang cukup signifikan diserahkan pada masing-masing
daerah atau bahkan langsung pada msing-masing sekolah. Saat ini
kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat dan daerah
hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dal
persentase yang sangat kecil.[15]b. Masalah Sumber Daya Manusia
(SDM)SDM merupakan pilar utama dalam mengimplementasikan
desentralisasi pendidikan, karena SDM yang kurang profesional akan
menghambat pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Penataan SDM yang
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya
menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Misalnya ada
beberapa tenaga kependidikan bahkan Kepala Dinas Pendidikakan
diangkat dari mantan camat, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan
lain-lain. Meskipun para mantan pejabat itu pernah mengurus orang
banyak, tatapi berbeda dengan karakteristik dengan peserta didik
adan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.c.
Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana PendidikanPersolan dana
merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan
pembangunan sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini dikeluhkan
bahwa mutu pendidikanrendah karena dana yang tidak mencukupi,
anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal ini semestinya tidak
perlu terjadi di era desentralisasi pendidikan karena anggaran
pendidikan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah dengan
dikelurakannya UU-PKPD Tahun 2004. Begitu pula telah ditegaskan
dalan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 49 ayat (1)
dikemukakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari APBD.[16]Sayangnya, amanat yang
jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat ini belum
bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah eksekutif
dan legislatif belum menganggap pendidikan sebagai prioritas dalam
pembangunan.d. Masalah Organisasi KelembagaanDalam hal kelembagaan
kependidkian antar kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan
terkesan berjalan sendiri-sendiri, baik manyangkut struktur, nama
organisasi kelembagaan, dan lainsebagainya. Menurut undang-undang
memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya
itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak
berjalan.Sebagai gejala umum, jenjang dan jenis kelembagaan
pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga tampak satu sama
lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi
misalnya seolah-olah tidak berkaitan dengan kelembagaan
menengah.[17]Disamping itu juga memiliki sisi kelemehan, antara
lain:1) Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah
untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan dan kesiapan
daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh
menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.2) Tidak meratanya
kemampuan keuangan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD)
dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahn ya masing-masing,
terutama daerah-daerah miskin.3) Belum adanya pengalaman dari
masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan
pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang
bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan
desentralisasi pendidikan bagi sekolah dan orang tua akan
memperbanyak sumber pendanaan dan memperbesar akses terhadap
informasi yang pada gilirannya akan dapat melahirkan beragam
metode, kreteria, pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara
perlahan-lahan, keragaman ini akan menimbulkan ketidaksetaraan
sekolah antar daerah.[18]Dengan demikian dalam konteks
desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama
aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun
pendidikan yang mandiri dan profesional. Karena titik berat
disentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota, untuk itu
peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah sangatlah
mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang
akan memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada
tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong
partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan
pendidikan.[19]Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah
keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya terkesan suatu
tindakan agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat
dari belum memadainya sumber daya manusia (SDM) daerah, sarana
prasarana yang kurang memadai, menajemen pendidikan yang belum
optimal, di samping itu juga masih banyak permasalahan yang
dihadapi dunia pendidikan di daerah.Di antara persoalan yang
dihadapi pendidikan di daerah sekarang adalah menyangkut mutu
lulusan yang masih rendah, kondisi fisik sekolah yang
memprihatinkan, kekurangan guru dan kualifikasinya yang tidak
sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, kurikulum dan
lain-lain. Merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi
pemerintah daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.Apabila
otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin jika
Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang
pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan
desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi.
Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin de,
artinya lepas dan centrum, yang berartipusat, sehingga bisa
diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No.
32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa:Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan RI. Istilah desentralisasi muncul
dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya
dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk
melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan.Menurut Bray
dan Fiske Desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana
suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan
kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan,
termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan
kebijakan dan pembiayaan.Desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32
Tahun 2004). Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang
dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut.1) Desentralisasi
merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut
bidang legislatif, judikatif, atau administratif (Encyclopedia of
the Social Sciences, 1980).2) Desentralisasi sebagai suatu sistem
yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari
sentralisasi, di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat
dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan (Soejito, 1990).3)
Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari
pernerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga
pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam
bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2002).4) Desentralisasi adalah
sehagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umurn
yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan
kepentingan sendiri mengambil lceputusan pengaturan pernerintahan,
serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu (Hoogerwerf,
1978).5) Decentralization is the transfer of planning, decision
inaking, or ndnlinistrative authority from the central government
to its field organizations, local and administrative units, setni
autonomous and pcrastatal organizations, local government, or
nongoverrirnental ornanizatioais (Rondinelli clan Chcema, 1983:
77).6) Pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna
bahwa melalui proses desentralisasi unisan-urusan pemerintahan yang
semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat
sebagian diserahkan kepada pernerintah daerah agar menjacli urusan
rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada clan
menjadi wewenang clan tanggung jawab pernerintah daerah (Koswara,
1996).7) Desentralisasi atau mendesentralisasi pemerintahan bisa
berarti merestrukturisasi atau mengatur kembali kekuasaan sehingga
terdapat suatu sistem tanggung jawab bersama antara
institusi-institusi pemerintah tingkat pusat, regional, maupun
lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas. Sehingga meningkatkan
kualitas keefektifan yang menyeluruh dari sistem pemerintahan, dan
juga meningkatkan otoritas dan kapasitas tingkat subnasional (UNDP,
2004: 5).Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa
desentralisasi merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan
yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusanurusan tersebut.Secara politis,
desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk memenuhi
tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalarn
vvilayahnya. Semakin tinggi praktikpraktilc diskriminasi, akan
semakin kuat menciptakan tuntutan akan otonomi.Menurut Rondinelli
(1984), desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi
kepadatan beban kerja di pernerintah pusat. Sementara itu, di lain
pihak Maddick (1963) mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan
suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah clan
incmperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah,
untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan
untuk mengantisipasi secara cepat manakala prrsoalan-persoalan
timbul dalam pelaksanaan.Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai
alat untuk mcmobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan
nasional dengan menginformasikannya kepada masyarakat (Lurah untuk
menggalang partisipasi di dalam perencanaan pembangunan dan
pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal dLipat digalang melalui
keterlibatan dari berbagai kepentingan sepcrti
kepentingan-kepentingan politik, agama, suku, kelompok-kelompok
profesi di dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan oleh
pemerintah daerah (Oentarto, et.al., 2004: 20).Bagaimanapun, secara
politis keberadaan pemerintah daerah sangat penting untuk
mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan daerah. Menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa kewenangan
daerah mencakup kewenangan dalam scluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta kewenangan
lain yang diatur secara khusus. Selain itu, semuanya menjadi
kewenangan daerah, termasuk salah satunya bidang pendidikan. Tujuan
pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan,
demokratisasi clan penghormatan terhadap budaya lokal, serta
memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.Kewenangan
pengelolaan pendidikan berubah dari system sentralisasi ke sistem
desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya
pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kcpada daerah
untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan.Otonomi
pendidikan Islam berawal dari masa klasik, masa Rasulullah, masa
Khulafaurrasyidin, sampai pada masa sekarang ini. Untuk lebih
lanjut akan saya bahas satu persatu dalam makalah ini.1. Sistem,
Metode, dan Kurikulum Pendidikan Islam KlasikSystem pendidikan itu
tidak berdiri sendiri, untuk melihatnya dibutuhkan informasi yang
menyajikan konstruk social, politik, dan keagamaan yang terjadi
pada masa-masa tertentu seingga menunjukkan adanya hubungan
fungsional dan substansial antara dunia pendidikan dengan keadaan
yang terjadi ketika itu.Metode pendidikan dapat dikelompokkan
menjadi dua bentuk: (1) metode perolehan (acquisition) dan metode
penyampaian (transmission). Metode perolehan lebih ditekankan
sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik ketika mengikuti
proses pendidikan, sedangkan metode penyampaian diasosiasikan
sebagai cara pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian,
metode perolehan ditekankan kepada peserta didik sedangkan metode
penyampaian dititik beratkan kepada guru.Kurikulum pendidikan Islam
klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidkan
modern. Pada kurikulum pendidikan modern ditentukan oleh pemerintah
dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa komponen:
tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Untuk itu kurikulum
pendidikan Islam klasik dipahami dengan subjek-subjek ilmu
pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan.[20]2.
Pendidikan Islam masa Rasulullah (611-632 M/12 SH- 11 H)Rasulullah
SAW sebagai suru teladan dan rahmatan lilalamin bagi orang yang
mengharapkan rahmat dan kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut
Allah (al-ahzaab:21) adalah pendidik pertama dan terutama dalam
dunia pendidikan Islam. Proses transformasi ilmu pengetahuan,
internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan emosional
yang dilakukan Rasulullah dapat dikatakan sebagai mukjizat luar
biasa, yang manusia apa dan dimanapun tidak dapat melakukan hal
yang sama.Hasil pendidikan Islam periode Rasulullah terlihat dari
kemampuan murid-muridnya (para sahabat) yang luar biasa, misalnya
Umar Ibn Khatab ahli hokum dan pemerintahan, abu Hurairah ahli
hadis, Salman al-Farasi ahli perbandingan agama: Majusi, Yahudi,
Nasrani, dan Islam. Dan Ali bin Abi Thalib ahli hokum dan tafsir
Al-Quran, kemudian murid dari para sahabat di kemudian hari,
tai-tabiin, banyak yang ahli berbagai bidang ilmu pengetahuan
sains, teknologi, astronomi, filsafat yang mengantarkan Islam ke
pintu gerbang zaman keemasan.[21]Pendidikan pada masa Rasulullah
dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan periode
Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak nabi diutus sebagai
rasul hingga hijrah ke Madinah system pendidikan Islam lebih
bertumpu kepada nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan
untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain
nabi. Nabi melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi
terutama pada keluarganya, disamping berpidato dan ceramah di
tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi
pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat Al-Quran
sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya.a. Fase MekkahAllah
Mahabijaksana, sebagai calon panutan umat manusia, Muhammad ibn
Abdullah sejak awal sekali disiapkan Allah, dengan menjaganya dari
sikap-sikap jahiliah. Dengan akhlaknya yang terpuji, syarat dengan
nilai-nilai humanism dan spiritualisme ditengah-tengah umat yang
hamper saja tidak berperikemanusiaan, Muhammad ibn Abdullah, masih
sempat mendapat gelar penghargaan tertinggi, yaitu al-Amin. Ibnu
Abdullah, seorang yang teguh mempertahankan tradisi Nabi Ibrahim,
tabah dalam mencari kebenaran hakiki, menjatuhkan diri dari
keramaian dan sikap hedonism dengan berkontemplasi di Gua Hira.
Pada tanggal 17 Ramadhan turunlah wahyu Allah yang pertama, surat
al-Alaq ayat 1-5 sebagai fase pendidikan Islam Makkah.[22]Sebelum
kelahiran Islam, pada masa jahiliah institusi pendidikan kuttab
telah berdiri. Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis
kepada masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada
masyarakat Himyariyin. Adapun orang yang pertama kali belajar
membaca dan menulis di antara penduduk makkah adalah Sufyan ibn
Umayah dan Abu Qais ibn Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada
Bisyr ibn Abd al-Malik. Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar
membaca dan menulis. Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika
nabi menyiarkan ajaran Islam di masyrakat Quraisy, baru ada 17
laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.[23]Pada awal
turunnya wahyu pertama al-Quran surat 96 ayat 5, pola pendidikan
yang dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi
social-politik yang belum stabil. Dimulai dari dirinya sendiri dan
keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik istrinya, Khadijah
untuk beriman kepada dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian
Zaid ibn Haritsah seorang pembantu rumah tangga Rasulullah yang
diangkat menjadi anak angkatnya, kemudian sahabat karibnya Abu
Bakar, secara berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan secara
meluas.Pendidikan secar sembunyi-sembunyi berlangsung selama 3
tahun, samapai turun wahyu berikutnya, yang memerintahkan dakwahh
secara terbuka dan terang-terangan. Ketika wahyu tersebut turun,
beliau mengundang hati terhadap azab yang keras di kemudian hari
(hari kiamat) bagi orang- orang yang tidak mengakui Allah sebagai
Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Seruan
tersebut dijawab Abu Lahab, celakalah kamu Muhammad! Untuk inikah
kami mengumpulkan kamu? Saat itulah turun wahyu menjelaskan periahl
Abu Lahab dan istrinya.Hasil seruan dakwah secar terang-terangan
yang terfokus kepada keluarga dekat, kelihatannya belum maksimal
sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka Rasulullah mengubah
strategi dakwahnya dari seruan yang terfokus kepada keluarga dekat
beralih kepada seruan umum, umat manusia secara keseluruhan. Seruan
dalam skala internsional tersebut didasarkan kepada perintah Allah,
surat al-Hijr ayat 94-95. Sebagai tindak lanjut dari perintah
tersebut, pada musim haji Rasulullah mendatangi kemah-kemah para
jamaah haji. Pada awalnya tidak banyak yang menerima kecuali
sekelompok jamaah haji dari Yastrib, kabilah Khazraj yang menerima
dakwah secara antusias. Dari sinilah sinar Islam memancar keluar
Makkah.[24]Materi pendidik pada fase Makkah yaitu materi pendidikan
tauhid, materi ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama
tauhid yang dibawah Nabi Ibrahim, yang tellah diselewengkan oleh
masyarakat jahiliah. Materi yang kedua yaitu materi pengajaran
al-Quran, materi ini dapat dirinci kepada baca tulis al-Quran,
mengahafal ayat-ayat al-Quran dan memahamiayat-ayat al-Quran atau
tafsir al-Quran.Metode yang digunakan Rasulullah dalam membidik
sahabatnya antara lain; metode ceramah, dialog, diskusi, metode
perumpamaan, metode kisah, metode pembiasaan dan metode
hafalan.Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rasulullah adalah
al-Quran yang Allah wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi,
kejadian dan peristiwa yang dialami umat Islam pada saat itu, oleh
karena itu dalam praktiknya tidak saja logis dan rasional, tetapi
juga fitrah dan pragmatis. Hasil cara yang demikian dapat dilihat
dari sikap rohani dan mental para pengikutnya.Lebaga pendidikan
Islam pada fase Makkah ada dua yaitu Rumah Arqam ibn Arqam, rumah
ini merupakan lembaga pendidikan pertama atau madrasah yang pertama
sekali dalam Islam. Yang kedua yaitu Kuttab, kuttab berasal dari
bahasa Arab yakni kataba, yaktubu, kitaaban yang artinya telah
menulis.[25]b. Fase MadinahKedatangan Nabi Muhammad bersama kaum
muslimin Makkah, disambut oleh penduduk Madinah dengan gembira dan
penuh rasa persaudaraan. Maka, Islam mendapat lingkungan baru yang
bebas dari ancaman para penguasa Quraisy Makkah, lingkungan yang
dakwahnya, menyampaikan ajaran Islam dan menjabarkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Wahyu secara beruntun selama periode Madinah
kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam mengajarkan al-Quran adalah
menganjuran pengikutnya untuk menghafal dan menuliskan ayat-ayat
al-Quran sebagaimana diajarkannya.Pada periode Madinah, tahun
622-632 M, atau tahun 1-11 H usaha pendidikan nabi yang pertama
adalah membangun insititusi masjid. Melalui pendidikan masjid ini,
nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat
persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa
permusuhan, terutama antara penduduk Ansyar dan penduduk Muhajirin.
Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang diterima sebanyak 22
surat, sepertiga dari isi al-Quran.Secara umum, materi pendidikan
berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan
akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang
berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan terdiri dari
keimanan dan ibadah, pada bidang pendidikan akhlak lebih menekankan
pada penguatan mental yang telah dilakukan pada periode Makkah,
pendidikan jasmani ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang
dipahami dari amaliah ibadah.[26]3. Pendidikan Islam masa Khulafa
al-Rasyidin [632-661 M/12-41 H]Sistem pendidikan Islam pada masa
Khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh
pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khatab yang turut
campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat
yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan
masing-masing, sehingga pada masa Abu Bakar lembaga pendidikan
kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga
kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan
beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah
maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting.[27]a. Masa
Khalifah Abu Bakar as-SiddiqSetelah nabi wafat, sebagai pemimpin
umat Islam adalah Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah. Khalifah
adalah pemimpin yang diangkat setelah Nabi wafat untuk menggantikan
Nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan
pemerintahan.[28]Masa kekhalifahan Abu Bakar diguncang
pemberontakan oleh orang-orang murtad, orang-orang yang mengaku
sebagai nabi dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Berdasarkan hal ini Abu Bakar mamusatkan perhatiannya untuk
memerangi para pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan
mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk
menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian, dikirimlah pasukan
untuk menumpas para pemberontak di Yamamah. Dalam penumpasan ini
banyak umat Islam yang gugur, yang terdiri dari sahabat dekat
Rasulullah dan para hafiz al-Quran, sehingga mengurangi jumlah
sahabat yang hafal al-Quran. Oleh karena itu, Umar ibn Khatab
menyarankan kepada khalifah Abu Bakar untuk mengupulkan ayat-ayat
al-Quran, kemudian untuk merealisasikan saran tersebut diutuslah
Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan al-Quran. Pola
pendidikan pada masa Abu Bakar as-Siddiq masih seperti pada masa
Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga pendidikannya.[29]Dari
segi materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan tauhid atau
keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain sebagainya.[30] Ada
juga materi pendidikan yang diajarkan pada masa Abu Bakar untuk
kuttab yaitu belajar membaca dan menulis, membaca al-Quran dan
menghafalnya, dan belajar pokok-pokok agama Islam.[31]b. Masa
Khalifah Umar ibn KhatabSesuai dengan kedudukan manusia sebagai
makhluk yang mulia, pikiran, perasaan dan kemampuan berbuat,
merupakan komponen dari kemuliaan dan kesempurnaan yang melengkapi
ciptaan manusia.Abu Bakar telah menyaksikan persoalan yang timbul
di kalangan kaum muslimin setelah Nabi wafat, berdasarkan hal
inilah Abu Bakar menunjuk penggantinya yaitu Umar ibn Khatab, yang
tujuannya adalah untuk mencegah supaya tidak terjadi perselisihan
dan perpecahan di kalangan umat Islam, kebijakan Abu Bakar tersebut
ternyata diterima masyarakat. Pada masa khalifah Umar ibn Khatab
kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam
memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah Islam pada masa Umar ibn
Khatab meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Syiria, Irak,
Persia, dan Mesir.[32]Pada masa khalifah Umar ibn Khatab, mata
pelajaran yang diberikan adalah membaca dan menulis al-Quran dan
menghafalnya serta belajar pokok-pokok agama Islam. Pendidikan pada
masa Umar ibn Khatab ini lebih maju dibandingkan dengan sebelumnya.
Pada masa ini tuntutan untuk belajar bahasa Arab juga mulai tampak,
orang yang baru masuk Islam dari daerah yang ditaklukkan harus
belajar bahasa Arab, jika ingin belajar dan memahami pengetahuan
Islam.c. Masa Kahlifah Usman bin AffanPada masa khalifah Usman bin
Affan, pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa
sebelumnya. Pendidikan dimasa ini hanya melanjutkan apa yang telah
ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan yang mewarnai pendidikan
Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah
yang dulu pada masa Khalifah Umar tidak diperbolehkan keluar dari
Madina kini diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di
daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar
pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.Proses
pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan
lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin
menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga
lebih banyak, sebab pada masa ini para sahabat bisa memilih tempat
yang mereka inginkan untuk memberikan pendidikan kepada
masyarakat.d. Masa Khalifah Ali bin Abi ThalibAli bin Abi Thalib
bin Abdul Muthalib adalah putra dari paman Rasulullah dan suami
dari Fatimah anak Rasulullah. Ali bin Abi Thalib diasuh dan dididik
oleh Nabi. Ali terkenal sebagai anak yang mula-mula beriman kepada
Rasulullah.Ali adalah khalifah yang keempat setelah Usman bin
Affan. Pada pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan
Aisyah (istri Nabi) beserta Talhah dan Abdullah bin Zubair karena
kesalahpahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman,
peperangan diantara mereka disebut peperangan Jamal (untah) karena
aisyah menggunakan kendaraan untah. Setelah pemberontakan Aisyah,
muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali
tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian.Pusat-pusat
pendidikan pada masa khulafaur rasyidin antara lain: Mekkah,
Madinah, Basrah, Kuffah, Damsyik, dan Mesir.[33]Dari masa khulafa
al-Rasidin ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
sebagaiperkembangan pemikiran dan pedaban Islam, yaitu:1) Setelah
Rasul wafat muncul sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan
Khalifah.2) Sistem pemelihan khalifah, yaitu : Abu Bakar dipilih
melalui musyawarah,Umar ibn Khattab melalui wasiat dari Abu
Bakar,Usman ibn Affan melalui musyawarah enam orang sahabat untuk
memilih, dan Ali ibn Abi Thalib dibaiat langsung oleh masyarakat
Islam.3) Kemajuan dari aspek perluasan kekuasaan dan dawah serta
aspek peradaban Islam,4. Pendidikan Islam di IndonesiaPendidikan
secara cultural pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan
tujuan yang tidak berbeda, semuanya hidup dalam upaya yang
bermaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui
transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of
knowledge dan transfer value.[34]Pendidikan Islam termasuk masalah
sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari
lembaga-lembaga social yang ada. Lembaga disebut juga institusi
atau prenata, sedangkan lembaga social adalah suatu bentuk
organisasi yang tersusun relative tetap atas pola-pola tingkah
laku, peranan-peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam
mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hokum,
guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan social dasar.Berbicara tentang
lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut, di Indonesia memang
terdapat banyak jenis dan bentuknya. Akan tetapi dalam konteks ini
hanya sebagaian saja yang coba di kemukakan, yaitu pesantren,
madrasah, majelis taklim dan institusi agama Islam negeri.
a. Pesantren1) Latar belakang historisPesantren merupakan
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama
Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.Sebagai suatu
lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis cultural
dapat dikatakan sebagai training center yang otomatis menjadi
cultural central Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh
masyarakat Islam itu sendiri yang secara defacto tidak dapat
diabaikan oleh pemerintah.Pada masa penjajahan colonial Belanda,
yaitu sekitar abad ke 18-an, nama pesantren sebagai lembaga
pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang
penyiaran agama Islam. Kelahiran pesantren baru, selalu diawali
dengan cerita perang nilai antara pesantren yang akan berdiri
dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri dengan kemenangan pihak
pesantren, sehingga pesantren dapat diterima untuk hidup di
masyarakat, dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya
dalam bidang kehidupan moral.2) Tujuan dan sistem pengajaranPondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari.Adapun tujuan didirikannya pondok
pesantren ini pada dasarnya terbagi kepada dua hal, yaitu:a) Tujuan
khusus yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim
dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalam masyarakat.b) Tujuan umum yakni bimbingan anak
didik untuk menjadi manusia yangberkepribadian Islam yang sanggup
dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat
sekitar melalui ilmu dan amalnya.
BAB IIIKESIMPULANDari pemaparan makalah diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa pada saat ini indonesia telah ditetapkan otonomi
daerah dan juga berdampak adanya otonomi pendidikan. Dimana daerah
berhak mengatur pendidikan di daerahnya sendiri tanpa campur tangan
pemerintah pusat secara langsung. Walaupun demikian pemerintah
pusat juga bertugas mengontrol dan mengawasi pelaksanaan otonomi
pendidikan tersebut.Otonomi pendidikan dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi-potensi daerah yang ada dimasina-masing
daerah tersebut. Karena potensi masing-masing daerah di indonesia
sangat beragam dan tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Potensi tersebut dikembangkan dan dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan disekolah, agar nantinya outputnya sesuai dengan kondisi
yang ada didaerah tersebut. Tapi dalam kenyataannya dilapangan,
otonomi pendidikan yang dilaksanakan tidak semudah teorinya, karena
masih banyaknya hambatan serta permasalahan yang dihadapi sebagai
mana yang telah disebutkan diatas yang masih perlu di perbaiki
lagi. Dalam pendidikan terdapat mutu pendidika, dimana mutu
pendidikan perlu ditingkatkan untuk menghasilkan pendidikan yang
lebih baik. Juga terdapar prinsip-prinsip peningkatan mutu
pendidikan.
[1] Hasbullah,Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan
Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan,(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007) h. 7[2] http://
re-searchengines.com/kunluthfi.html, 27/03/2013, jam 10.30[3]
http://karpetguru.blogspot.com/2009/09/optimalisasi-potensi-daerah.
html,1/04/2013.jam 10.35[4] Hasbullah,Otonomi Pendidikan; Kebijakan
Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan, h.18[5] Khoirul umam,mempertegas otonomi pendidikan;
menuju masyarakat edukatif,http://re-searching.com.20/11/2010, jam
10.40[6] M. Nurdin Matry,Implimentasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah
Dalam Era Otonomi Daerah,(Makasar: Aksara Madani, 2008) h. 7[7] M.
Nurdin Matry,Implimentasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era
Otonomi Daerah, h. 8[8] SamM Chan dan Tuti T Sam,Analisis Swot:
Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah,(Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 4[9] M. Nurdin Matry,Implimentasi Dasar-Dasar
Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah, h. 9-11[10]
Hasbullah,Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan
Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, h 20-22[11]
Armida S. Alisjahbana,Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan,
(Bandung, Universitas Padjajaran, 2000), h. 3[12] Hasbullah,Otonomi
Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan, h. 56[13] H.A.R Tilaar,Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), h. 30.[14]
Hasbullah,Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan
Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, h.
56-63[15]Armida S. Alisjahbana,Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Pendidikan, (Bandung, Universitas Padjajaran, 2000), h. 8 [16]
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.[17] Hasbullah,Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi
Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (
Jakarta, Rajawali Pers, 2010), h. 20-29[18]
http://www.desentralisasi_pendidikan.com, diakses tanggal 26 Maret
2013.[19] Hasbullah,Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah
dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, h. 14-15[20]
Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 3-6[21] Samsul Nizar, sejarah
pendidikan Islam: menelusuri jejak sejarah pendidikan era
Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007),
h. 29[22] Samsul Nizar, sejarah pendidikan Islam: menelusuri jejak
sejarah pendidikan era Rasulullah sampai Indonesia, h. 32[23]
Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan Islam, , h. 8-9[24]
Samsul Nizar, sejarah pendidikan Islam: menelusuri jejak sejarah
pendidikan era Rasulullah sampai Indonesia, h. 33[25]Samsul Nizar,
sejarah pendidikan Islam: menelusuri jejak sejarah pendidikan era
Rasulullah sampai Indonesia, h. 37[26] Suwendi, sejarah dan
pemikiran pendidikan Islam, h. 10[27] Suwendi, sejarah dan
pemikiran pendidikan Islam, h. 12[28] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h.
36[29] Hanun Asrohah, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Wacana
Ilmu, 2001), h. 36[30] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Hidyakarya Agung, 1989), h.18[31] Suwendi M.Ag, sejarah
dan pemikiran pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), h. 13[32] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, sejarah
pendidikan Islam: menelusuri jejak sejarah pendidikan era
Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007),
h. 46[33] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, sejarah pendidikan
Islam: menelusuri jejak sejarah pendidikan era Rasulullah sampai
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 51[34]
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1999), h. 5