BAB 1 PENDAHULUAN Tanatologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perubahan-perubahan pada tubuh seseorang yang telah meninggal. Perubahan – perubahan yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi secara cepat (early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). (FK UI, 2007) & (Apuranto, 2007). Ilmu tanatologi merupakan ilmu yang paling dasar dan paling penting dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah (visum et repertum). Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menentukan apakah seseorang benar –benar sudah meningal atau belum, menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
Tanatologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perubahan-
perubahan pada tubuh seseorang yang telah meninggal. Perubahan – perubahan
yang terjadi setelah kematian dibedakan menjadi dua yaitu perubahan yang terjadi
secara cepat (early) dan perubahan yang terjadi secara lambat (late). (FK UI,
2007) & (Apuranto, 2007).
Ilmu tanatologi merupakan ilmu yang paling dasar dan paling penting
dalam ilmu kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah
(visum et repertum). Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk
menentukan apakah seseorang benar –benar sudah meningal atau belum,
menetapkan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian, dan mengangkat
atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi dan untuk
membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan kelainan-
kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup, serta untuk mengetahui saat
waktu kematian. (FK UI, 2007) & (Apuranto, 2007).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang beerhubungan dengan
kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran
Forensik yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian yaittu definisi
atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut (FK UI, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknlogi ada alat menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi
seecara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi kematian
batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak (FK UI,
1997).
Ada tiga manfaat tanatologi ini, antara lain untuk dapat menetapkan hidup
atau matinya korban, memperkirakan lama kematian korban, dan menentukan
wajar atau tidak wajarnya kematian korban (FK UI, 1997).
Menetapkan apakah korban masih hidup atau telah mati dapat kita ketahui
dari masih adanya tanda kehidupan dan tanda-tanda kematia. Tanda kehidupan
dapat kita nilai dari masih aktifnya siklus oksigen yang berlangsung dalam tubuh
korban. Sebaliknya tidak aktifnya siklus oksigen menjadi tanda kematian (FK UI,
1997).
2.2 Jenis Kematian
Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga sistem
yang mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut antara lain sistem
persarafan, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Ketiga sistem itu sangat
mempengaruhi satu sama lainnya, ketika terjadi gangguan pada satu sistem, maka
sistem-sistem yang lainnya juga akan ikut berpengaruh (FK UI, 1997).
Mati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi
sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya
perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan
respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi
kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak
(FK UI, 1997).
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis
(mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang
otak). (FK UI, 1997).
Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena sesuatu
sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap
(FK UI, 1997). Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan
adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba, denyut
jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara napas tidak
terdengar saat auskultasi.
Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan
kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat
sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam (FK UI, 1997).
Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan
tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup
masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian
seluler pada tiap organ tidak bersamaan (FK UI, 1997).
Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak
yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem
lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan
bantuan alat (FK UI, 1997).
Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi
kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang
otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka
dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan (FK UI, 1997).
2.3 Perubahan Post Mortem
Beberapa tanda kematian tidak pasti :
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.
2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang
masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata (FK UI, 1997).
A. Perubahan fase awal
1. Terhentinya 3 sistem vital dalam tubuh, yaitu sistem kardiovaskuler, sistem
respirasi, sistem sarap pusat.
Ada 6 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem kardiovaskuler :
a) Denyut nadi berhenti pada palpasi.
b) Detak jantung berhenti selama 5-10 menit pada auskultasi.
c) Elektro Kardiografi (EKG) mendatar/flat.
d) Tes magnus : tidak adanya tanda sianotik pada ujung jari tangan setelah jari
tangan korban kita ikat.
e) Tes Icard : daerah sekitar tempat penyuntikan larutan Icard subkutan tidak
berwarna kuning kehijauan.
f) Tidak keluarnya darah dengan pulsasi pada insisi arteri radialis.
Ada 5 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem respirasi :
a) Tidak ada gerak napas pada inspeksi dan palpasi.
b) Tidak ada bising napas pada auskultasi.
c) Tidak ada gerakan permukaan air dalam gelas yang kita taruh diatas perut korban
pada tes Winslow.
d) Tidak ada uap air pada cermin yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.
e) Tidak ada gerakan bulu burung yang kita letakkan didepan lubang hidung atau
mulut korban.
Ada 5 cara mendeteksi tidak berfungsinya sistem saraf :
a) Areflex
b) Relaksasi
c) Pergerakan tidak ada
d) Tonus tidak ada
e) Elektoensefalografi (EEG) mendatar/flat
2. Kulit wajah:
Kulit wajah tampak memucat, ini dikarnakan sirkulasi darah berhenti, akan terjadi
pengendapan darah terutama pembuluh darah besar
3. Relaksasi primer :
Relaksasi primer terjadi akibat menghilangnya tonus otot, ini akan tampak jelas
terlihat pada otot yang menyokong organ melawan gravitasi, seperti pada rahang
bawah yang tampak melorot
4. Perubahan pada mata :
Perubahan pada mata setelah kematian dapat dipakai sebagai penentuan saat mati.
Perubahan ini meliputi :
- hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang menyebabkan kornea
menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negative, hilangnya reflek
cahaya pada kornea ini disebabkan karena kegagalan kelenjar lakrimal
untuk membasahi bola mata.
- Kekeruhan pada kornea akan timbul beberapa jam setelah kematian,
kekeruhan pada lapisan dalam kornea ini tidak dapat dihilangkan atau
diubah kembali walaupun digunakan air untuk membasahinya. Bila
kelopak mata dalam keadaan terbuka , kekeruhan pada kornea secara
keseluruhan akan tampak jelas dalam waktu 10-20 jam setelah kematian.
- Penurunan tekanan intra okuler, tekanan intra okuler yang turun ini mudah
menyebabkan kelainan bentuk pupil sehingga pupil kehilangan bentuk
sirkuler setelah mati dan ukurannya pun menjadi tidak sama ,pupil dapat
berkontraksi dengan diameter 2 mm atau berdilatasi sampai 9 mm dengan
rata-rata 4-5 mm oleh karena pupil mempunyai sifat tidak tergantung
dengan pupil lainnya maka sering terdapat perbedaan sampai3 mm. Nicati
(1894) telah melakukan pengukuran terhadap tekanan bola mata
posmortem dimana tekanan normal pada bola mata pada waktu hidup
adalah 14g -25g akan tetapi begitu sirkulasi terhenti maka penurunan
tekanan bola mata menjadi sangat rendah (tidaksampai mencapai 12g) dan
dalam waktu 30 menit akan berkurang menjadi 3g yang kemudian menjadi
nol setelah 2 jam kematian. Penurunan tekanan bola mata ini pernah
dicoba untuk menentukan perkiraan saat kematian.
- Perubahan warna retina, perubahan yang terjadi pada retina dicoba
dihubungkan dengan perkiraan saat kematian. Dengan berhentinya aliran
darah maka pembuluh darah retina akan mengalami perubahan yang
disebut segmentasi atau ‘trucking’ dan ini terjadi dalam 15 menit pertama
setelah kematian. Pada pemeriksaan dalam 2 jam pertama setelah
kematian, dapat dilihat retina tampak pucat dan daerah sekitar fundus
tampak kuning, demikian pula daerah sekitar makula. Sekitar 6 jam batas
fundus menjadi tidak jelas, dan tampak gambaran segmentasi pada
pembuluh darah, dengan latar belakang yang berwarna kelabu kekuningan.
Gambaran ini mencapai seluruh perifer retina sekitar 7-10 jam. Setelah 12
jam diskus hanya dapat dilihat sebagai titik yang terlokalisasi dengan sisa-
sisa pembuluh darah yang bersegmentasi hingga pada akhirnya diskus dan
pembuluh darah retina menghilang yang ada hanya makula yang berwarna
coklat gelap. Beberapa pengamat menggambarkan perubahan dini
posmortem yang terjadi pada retina mempunyai arti yang kecil untuk
dihubungkan dengan perkiraan saat mati. Sedangkan Tomlin ( 1967)
beranggapan bahwa segmentasi pada retina lebih berindikasi pada
kematian serebral daripada penghentian sirkulasi. Wroblewski dan Ellis
(1970) mempelajari perubahan mata pada 300 mayat dimana tidak
hanyaperubahan yang terjadi pada retina tetapi juga perubahan yang terjadi
pada kornea juga dicatat. Mereka telah memeriksa 204 fundus dari subjek
dan 115 diantaranya terdapat segmentasi atau trucking’ pada satu atau
kedua matasetelah satu jam posmortem dan negatif pada 89 lainnya.
B. Perubahan fase lanjut
1. Penurunan suhu badan (Algor Mortis)
Setelah sesorang meninggal, maka produksi panas akan berhenti, sedang
pengeluaran panas berlangsung terus, dengan akibat suhu jenazah akan turun.
Cara pengukuran penurunan suhu jenazah adalah dengan thermo couple
(Apuranto, 2007).
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari badan
ke benda yang lebih dingin, malalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan
konveksi. Berdasarkan penelitian, kurva penurunan suhu mayat akan berbentuk
kurva sigmoid, dimana pada jam-jam pertama penurunan suhu akan berlangsung
dengan lambat, demikian pula bila suhu tubuh mayat telah mendekati suhu
lingkungan. Tubuh terdiri dari lapisan yang tidak homogen, maka lapisan yang
berada di bawah kulit akan menyalurkan panasnya ke arah kulit, sedangkan
lapisan tersebut juga menerima panas dari lapisan yang berada dibawahnya.
Keadaan tersebut yaitu dimana terjadi pelepasan atau penyaluran panas secara
bertingkat dengan sendirinya membutuhkan waktu, hal ini menerangkan mengapa
pada jam-jam pertama setelah terjadinya kematian somatik penurunan suhu
berlangsung lambat (Apuranto, 2007).
Bila telah tercapai suatu keadaan yang dkenal sebagai temperature
gradient, yaitu suatu keadaan dimana telah terdapat perbeadaan suhu yang
bertahap di antara lapisan-lapisan yang menyusun tubuh, maka penyaluran panas
dari bagian tubuh ke permukaan dapat berjalan dengan lancar, penurunan suhu
tubuh mayat akan tampak jelas. Proses metabolisme sel yang masih berlangsung
beberapa saat setelah kematian somatik dimana juga terbentuk energi, merupakan
faktor yang menyebabkan mengapa penurunan suhu mayat pada jam-jam pertama
berlangsung dengan lambat (Apuranto, 2007).
Oleh karena suhu mayat akan terus menurun, maka akan dicapai suatu
keadaan dimana perbedaan antara suhu mayat dengan suhu lingkungan tidak
terlalu besar, hal ini yang menerangkan mengapa penurunan suhu mayat pada saat
mendekati suhu lingkungan berlangsung lambat (Apuranto, 2007).
Kecepatan turunnya suhu dipengaruhi oleh (Apuranto, 2007).
1. Suhu udara : makin besar perbedaan suhu udara dengan suhu tubuh jenazah, maka
Syarat : tidak boleh ada kepompong & dicari larva lalat yang paling besar.
Bila sudah ada kepompong, maka penentuan saat kematian berdasarkan umur
larva tidak dapat dipakai. Karena kepompong it statis (besarnya selalu tetap
meskipun isinya bertambah). Bila belum ada kepompong, hanya ada larva lalat
dapat dipakai untuk menentukan umurnya karena larva lalat bila tumbuh akan
menjadi bertambah besar. (Apuranto, 2007).
Larva Musca domestica mencapai panjang 8 mm pada hari ke-7, berubah menjadi
kepompong pada hari ke-8, menjadi lalat pada hari ke-14. Larva Sarcophaga
cranaria mencapai panjang 20 mm pada hari ke-9, menjadi kepompong pada hari
ke-10 dan menjadi lalat pada hari ke-18. Necrophagus species akan memakan
jaringan tubuh jenazah. Sedangkan predator dan parasit akan memakan serangga
Necrophagus. Omnivorus species akan memakan keduanya baik jaringan tubuh
maupun serangga. Telur lalat biasanya akan mulai ditemukan pada jenazah
sesudah 1-2 hari postmortem. Larva ditemukan pada 6-10 hari postmortem.
Sedangkan larva dewasa yang akan berubah menjadi pupa ditemukan pada 12-18
hari. (Apuranto, 2007).
Reaksi supravital
Reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi
jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Rangsang listrik dapat menimbulkan
kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit pasca mati, mengakibatkan sekresi
kelenjar sampai 60-90 menit pasca mati, trauma masih dapat menimbulkan
perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati
BAB III
PENUTUP
Tanatologi merupakan ilmu yang sangat berperan penting dalam ilmu
kedokteran kehakiman terutama dalam hal pemeriksaan jenazah dan pembuatan
visum et repertum. Dengan mengetahui dan memahami ilmu tanatologi, maka
penentuan mengenai apakah seseorang benar –benar sudah meningal atau belum,
penetapan waktu kematian, sebab kematian, cara kematian dapat diperkirakan
dengan tepat. Dan dapat pula membantu dalam kepentingan mengenai
mengangkat atau mengambil organ untuk kepentingan donor atau transplantasi
dan untuk membedakan perubahan-perubahan yang terjadi post mortal dengan
kelainan-kelainan yang terjadi pada waktu korban masih hidup.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: FKUI; 1997.
2. Apuranto Hariadi, Hoediyanto. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. BAgian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universita Airlangga, Surabaya. 2007
3. Idries, Abdul Mun’im. Saat Kematian dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa Aksara, Jakarta. 1997
4. Budiyanto Arif, Wibisana Widiatmaka, Siswandi Sudiono, et al. Tanatologi dalam Ilmu Kedokteran Forensik. FK UI, Jakarta. 1997
5. Sampurna Budi, Zulhasmar Samsu. Tanatologi dan Perkiraan Saat Kematian dalam Peranan Ilmu Forensik dalamPenegakan Hukum, Sebuah Pengantar. Jakarta. 2004.
6. Basbeth F, 2009. Dekomposisi Pasca Mati. Bagian Forensik & Medikolegal FKUI Jakarta.