Top Banner

of 32

Makalah TA kemiskinan petani dibalik kebijakan pertanian ( campuran dari beberapa jurnal)

Nov 05, 2015

Download

Documents

asterinabela

konsep kemiskinan, pertanian dan kebujakan pertanian
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

MakalahKemiskinan Petani Dibalik Kebijakan di Bidang PertanianMakalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Perekonomian IndonesiaDosen pengampu : Maimun Sholeh, M.Si

Disusun Oleh :Nama: Asterina Bela KhairiyahNIM: 12804244033Pendidikan Ekonomi B

Fakultas EkonomiUniversitas Negeri Yogyakarta2015

Kemiskinan Petani Dibalik Kebijakan di Bidang Pertanian. ii

DAFTAR ISIHalaman JuduliDaftar IsiiiKata Pengantariii

BAB I PEMBAHASANA. Petani dan Pertanian6B. Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Petani8C. Ketahanan dan Kemandirian Pangan12D. Kebijakan di Bidang Pertanian141. Kebijakan Pemberasan Indonesia142. Keberpihakan Pemkab Bantul terhadap Petani18E. Kemiskinan dan Kesenjangan Petani di Indonesia serta Pengaruh adanya Kebijakan di Bidang Pertanian21

BAB I PENUTUP1. Kesimpulan261. Kritik dan Saran27

Daftar Pustaka28

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya atas selesainya Makalah yang berjudul Kemiskinan Petani Dibalik Kebijakan di Bidang Pertanian. Makalah ini ditulis untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia. Dengan membaca Makalah ini, diharapkan para pembaca dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai kemiskina, distribusi pendapatan para petani, kebijakan dibidang pertanian dan cara mengatasi kemiskinan dan distribusi pendapatan para petani akibat kebijakan dibidang pertanian.Walaupun dalam penyusunan makalah ini saya sudah berusaha maksimal, namun saya menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Maka saya mengharapkan kritik, saran, petunjuk, pengarahan, dan bimbingan dari berbagai pihak.Semoga Makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan mendapat Ridho dari Allah SWT. Amin

Yogyakarta, Juni 2015Penyusun

BAB IPEMBAHASAN

Ada slogan yang berbunyi jika ingin hidup tentram jadilah petani, jika ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan jika ingin kaya jadilah pedagang Namun di zaman sekarang slogan tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku. Kehidupan para petani jauh dari kesan tentram dan sejahtera. Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah bahwa petani merupakan profesi inferior, dan sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan tersebut tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Padahal pada tahun 1970-an antara kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem (petani kecil yang memiliki lahan kurang dari 0,25 ha) maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993-2003 jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karenanya kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi. Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separonya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya termasuk kategori miskin. Demikian juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian.Sektor pertanian terus saja terpuruk, sehingga nasib petani tak kunjung sejahtera. Pendapatan keluarga petani disinyalir hanya Rp 500 ribu per bulan sehingga kemiskinan petani menjadi masalah kronis yang sulit terpecahkan. Ketua HKTI pernah mengkritisi kebijakan pertanian yang belum konsisten antar instansi. Contohnya adalah penetapan harga dasar gabah. Kebijakan Deptan untuk menetapkan harga dasar gabah adalah untuk mensejahterakan petani, namun di tempat lain Deperindag membuka kran impor beras sehingga petani tak bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara Bulog belum berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya persawahan Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan, mereka harus rela hidup prihatin entah sampai kapan. Kemiskinan merupakan isu yang akan tetap relevan untuk dibahas karena telah menjadi agenda penting, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Secara konseptual kemiskinan diposisikan sebagai isu ekonomi dan isu sosial (Yustika, 2007). Pada tahun 20022007, terdapat indikasi kuat bahwasanya meskipun terdapat kecenderungan positif dalam penanggulangan kemiskinan, tetapi ternyata implikasinya belum seperti yang diharapkan (Kuncoro, 2008). Saat ini kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi mencapai 32,53 juta penduduk. 16,68 persen. Penduduk Indonesia sebagian besar menggantungkan penghidupannya di sektor pertanian, yaitu sebesar 41,18 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang bekerja (BPS, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap didominasi oleh sektor pertanian.Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani identik dengan status pengangguran. Mengapa demikian? Karena dengan bekerja di pertanian seseorang itu curahan waktu dan kapasitasnya sangat minimal dan lebih banyak waktu tidak bekerjanya, upah yang tidak menentu bahkan cenderung minimum atau dibawah UMR. Itu semua menunjukan ketimpangan distribusi pendapatan antar perdesaan dengan perkotaan. Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh penduduk juga menyebabkan mereka kesulitan untuk memasuki pekerjaan formal dan mempunyai pekerjaan yang dapat memberikan pendapatan yang memadai. Distribusi pendapatan suatu daerah yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Begitu pula sebaliknya, distribusi pendapatan yang merata akan menciptakan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakatnya.Buruh tani di perdesaan adalah gambaran utama kemiskinan di daerah perdesaan. Naik turunnya upah buruh tani menggambarkan turun naiknya jumlah penduduk miskin diperdesaan. Masyarakat miskin di perkotaan umumnya terdiri dari pembantu rumahtangga, dan pekerja bangunan. Menurut berbagai indikasi dan keterangan resmi pemerintah daerah, para pengemis, anak jalanan, preman sulit untuk dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Informasi resmi tentang penghasilan yang diperoleh mereka memang belum tersedia, namun pada umumnya mencapai jumlah yang melewati garis batas kemiskinan (BPS, 2012).Menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002), penyebab utama kemiskinan suatu rumah tangga adalah rendahya pendapatan yang mereka terima. Sedangkan karakteristik penduduk miskin tersebut antara lain adalah memiliki rata-rata jumlah tanggungan yang banyak. Jumlah anggota dalam rumah tangga adalah indikasi yang dominan dalam menentukan miskin atau ketidakmiskinannya rumah tangga. Namun, penyebab tersebut tidak sama untuk setiap kondisi.Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu diantaranya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana tunai untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen, menyebabkan banyak petani terjebak sistem hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah. Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya. Merujuk World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani berhadapan dengan beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/perkembangannya yaitu: terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi, jeleknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan tidak memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan, investasi), marjinalnya social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah) dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (seperti kesempatan kerja di kota). Demikian banyak permasalahan yang dihadapi petani kecil dan miskin, menyebabkan kedaulatan petani semakin jauh dan sepertinya masih sekedar wacana dan angan-angan.Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris dan negara maritim, namun sampai sejauh ini dikedua bidang tersebut masih belum meraih kemakmuran. Impor beras, garam dan produk-produk pertanian lainnya masih saja terjadi. Setelah lebih dari 60 tahun merdeka, Indonesia belum berhasil mencukupi kebutuhan pangan dari produksi sendiri. Sektor pertanian di Indonesia sebagian besar dibangun oleh petani. Sehingga, kesejahteraan petani harus menjadi perhatian karena pertanian merupakan sektor pendukung ketahanan pangan nasional. Strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia didasarkan pada argumentasi bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kemiskinan akan dapat berkurang melalui mekanisme efek tetesan ke bawah (trickle down effect), namun program ini belum mencapai hasil yang diharapkan. Banyak faktor yang mempengaruhi masih tingginya angka kemiskinan, terutama pada petani. Faktor kultur dan struktural kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu hal yang perlu dianalisis adalah pola kehidupan petani. Pola tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor kultur dan struktural yang dapat menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan petani. Faktor kultural dan struktural ini sering digunakan sebagai acuan modal sosial (social capital) untuk melihat suatu permasalahan didasarkan pada apa yang dimiliki suatu komunitas. Menurut Fukuyama (1995) modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial merujuk pada hubungan kepercayaan, kebersamaan dan pertukaran, aturan dan norma bersama, keterkaitan, dan jaringan di dalam masyarakat memungkinkan setiap anggota masyarakat melakukan tindakan kolektif (collective action) dan mengamankan sumberdaya penting yang lain. Satu individu masyarakat secara alami akan cenderung memilih melakukan aksi bersama dengan individu lain ketika mereka merasa ada kesamaan dalam hal tujuan yang ingin dicapai dan ketika merasa ada ketidakpastian serta resiko yang dihadapi jika bergerak sendirian. Dengan demikian, transformasi modal sosial ke dalam tindakan kolektif menjadi bermanfaat sebagai faktor penting untuk mempengaruhi dan menentukan bentuk keputusan dasar, termasuk juga pengaturan kelembagaan pertanian.Sebagian besar kebutuhan bahan pangan utama (beras, jagung, dan kedelai) di Indonesia dihasilkan oleh petani gurem. Data BPS menunjukkan, jumlah petani gurem di Indonesia terus meningkat, dari 10,80 juta orang pada tahun 1993 menjadi 13,66 juta orang pada tahun 2003 dan 15,60 juta orang pada tahun 2008. Bahkan Indonesia merupakan negara agraris dengan penguasaan lahan tersempit di dunia. Jumlah petani gurem yang makin banyak mencerminkan makin banyaknya petani yang terperangkap dalam kemiskinan. Untuk dapat keluar dari ketergantungan pada pangan impor dan mengentaskan petani dari kemiskinan, sudah saatnya Indonesia membangun kemandirian dan kedaulatan pangan, dengan memanfaatkan keberagaman sumber daya hayati, mengembalikan keberagaman pangan lokal, dan membangun industri berbasis pertanian di perdesaan. Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan instrumen strategis dalam upaya mengentaskan petani dari kemiskinan. Dengan membangun kemandirian dan kedaulatan pangan, serta mengurangi impor maka nasib para petani di Indonesia dapat membaik.Untuk melihat seberapa besar serapan atau jumlah masyarakat yang bermapta pencaharian di sektor pertanian, berikut tabel jumlah pekerja di berbagai sektor pada tahun 2014.

Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerjamenurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004 - 2014*)

No.Lapangan Pekerjaan Utama2014

FebruariAgustus

1Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan40 833 05238 973 033

2Pertambangan dan Penggalian1 623 1091 436 370

3Industri15 390 18815 254 674

4Listrik, Gas dan Air 308 588 289 193

5Konstruksi7 211 9677 280 086

6Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi25 809 26924 829 734

7Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi5 324 1055 113 188

8Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan3 193 3573 031 038

9Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan18 476 28718 420 710

10Lainnya--

Total118 169 922114 628 026

*) Data 2004-2013 backcast

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014

Dapat dilihat dari tabel di atas jumlah masyarakat yang bekerja di bidang pertanian tetap mendominasi walaupun sedang mengalami penurunan sebanyak 250 ribu orang (0,64 persen). Yang perlu diperhatikan bahwa komoditi pekerjaan di sektor pertanian tidak memiliki nilai tambah yang tinggi, sehingga tidak dapat bersaing dengan sektor pekerjaan yang lain, hal ini menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian akan mengalami ketertinggalan dari penduduk yang bekerja di bidang industri. Jika hal ini tidak ditindak lanjuti maka akan terjadi ketergantungan. Maka dari itu langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah diantaranya:1. Memberi pendidikan yang merata bagi masyarakat pedesaan khususnya di sektor pertanian.2. Mengembangkan kegiatan agribisnis.3. Menunjang kegiatan transmigrasi.

A. Petani dan PertanianSumber daya manusia di perdesaan itu sebisa mungkin harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengelola, memanfaatkan dan memelihara sumberdaya-sumberdaya lainnya yang terdapat di pedesaan, seperti kekayaan alam. Bahasan mengenai pedesaan, sangat berkaitan dengan dunia pertanian. Dengan kata lain, berbicara tentang orang desa pasti membicarakan masalah pertanian. Pekerjaan di perdesaan kebanyakan tergantung atau dipengaruhi oleh pada keadaan alam, khususnya pekerjaan di bidang pertanian (usaha tani, peternakan, perikanan).Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan proses pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat sedangkan pertanian dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Semua itu merupakan hal penting. Secara garis besar, pengertian pertanian dapat diringkas menjadi 1) proses produksi; 2) petani dan pengusaha; 3) tanah tempat usaha; 4) usaha pertanian (farm business).Potensi pertanian dapat dikembangkan karena alam cukup mampu ditingkatkan kesuburannya, dengan meningkatkan prasarana produksi, perhubungan dan pemasaran sehingga akan meningkatkan output desa ke tingkat yang tinggi. Swadaya gotong-royong dapat dikembangkan pada tingkat manifest, antara lain peningkatan peranan masyarakat desa di dalam partisipasi pembangunan desa. Pertanian tanpa tanah jelas tidak mungkin. Kehidupan petani sangat tegantung pada tanah. Tanah yang dimiliki oleh seorang petani jelas akan mempengaruhi hasil yang diperolehnya, karena tanah merupakan tempat untuk berproduksi.Faktor-faktor ekonomi dapat dipergunakan sebagai indikator perkembangan desa (output desa, pendapatan per kapita masyarakat desan dan standart of living), sedangkan faktor dasar alam dan penduduk serta letak desa terhadap pusat fasilitas (kota-kota) adalah merupakan faktor-faktor pembatas dari pembangunan desa untuk dapat memaksimalkan pertumbuhannya, keadaan sosial budaya manusia dapat berperan sebagai pendorong dalam perkembangan desa tersebut.Dalam kondisi masyarakat Indonesia saat ini, selain jumlah penduduk yang besar di pedesaan atau lingkungan pertanian, juga tercipta suatu kondisi dimana masyarakat desa terpaksa menjadi petani, karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki dan variasi lapangan kerja di pedesaan. Karena dalam bidang pertanian, umunnya petani di Indonesia dan mungkin di negara-negara berkembang lainnya menjadi petani kebanyakan secara otodidak dan merupakan juga merupakan warisan dari orang-orang tua mereka. Petani adalah seorang yang mempunyai profesi bercocok tanam (menanam tumbuhtumbuhan) dengan maksud tumbuh-tumbuhan dapat berkembang biak menjadi lebih banyak serta untuk dipungut hasilnya, tujuan menanam tumbuh-tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu dapat dimakan manusia dan hewan peliharaanya. Disebutkan pula bahwa petani adalah orang yang mengerjakan sebidang tanah, baik tananhnya sendiri, sebagai penyewa maupun mengerjakan tanah orang lain dengan imbalan bagi hasil. Sedangkan Masyarakat petani disini identik dengan masyarakat yang bermukim di daerah pedesaan yang mengolah usaha pertanian dan merupakan mata pencahariannya sebagai petani, mereka memanfaatkan sumber daya alam untuk keperluan hidup dengan sistem masih tergolong sederahana. Adapun pekerjaan lain yang dilakukan adalah pekerjaan sampingan, seperti tukang kayu, pedagang, pengrajin, dan lain-lainnya.Petani bukan hanya sumber tenaga kerja dan barang melainkan juga sebagi pelaku ekonomi dan kepala rumah tangga. Tanahnya adalah satu unit ekonomi dan rumah tangga. Dengan demikian maka unit petani pedesaan bukan sekedar sebuah organisasi produsi terdiri dari sekian banyak tangan yang siap untuk bekerja di ladang, ia juga merupakan sebuah unit konsumsi yang terdiri dari sekian banyak mulut sesuai banyaknya pekerja.

Jenis-jenis PetaniPetani di masyarakat perdesaan dibagi menjadi beberapa tingkat, yaitu:1. Tuan tanah, yaitu petani yang memiliki lahan pertanian lebih dari 5,0 ha. Sebagian dari mereka mampu menggarap lahan dengan tenaga kerja keluarga atau dengan mempekerjakan beberapa buruh tani. Sebagian pula menyewakan (menyewakan dengan system bagi hasil) seluruh atau sebagian lahan itu kepada petani penggarap.2. Petani kaya, yaitu petani yang memliki lahan antar 2,0 sampai 5 ha. Petani semacam ini ada kalanya juga menyewakan kepada orang lain karena tidak mampu menggarap semua lahan yang dimilikinya.3. Petani sedang, yaitu petani yang memiliki lahan pertanian antara 0,5 ha sampai 2,0 ha.4. Petani kecil, yaitu mereka yang memiliki lahan pertanian antara 0,25 ha sampai 0,5 ha.5. Petani gurem, yaitu petani yang hanya memiliki lahan pertanian antara 0,10 sampai 0,25 ha.6. Buruh tani, yaitu petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,10 ha. Bahkan petani ini juga dapat digolongkan pada mereka yang tidak mempunyai lahan sama sekali.

Ciri-ciri Kehidupan PetaniCiri-ciri kehidupan petani, yaitu sebagai berikut :1. Masih ada hubungan saling mengenal dan bergaul antar warga2. Secara umum hidup dari hasil pertanian.3. Berusaha mempertahankan tradisi yang sudah ada, sehingga orangtua pada umumnya memegang pedoman yang sangat penting.4. Tidak dijumpai adanya pembagian kerja berdasarkan keahlian, akan tetapi berdasarkan usia dan jenis kelamin.5. Kehidupan penduduk pedesaan sangat terikat oleh tanah, maka kepentingan pokoknya juga sama sehingga akan terjalin hubungan kerja sama (gotong-royong).

Mentalis petani di Indonesia, tidak hanya di Jawa, menilai tinggi konsep sama rata sama rasa. Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong-royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam. Petani yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah petani hutan yang menggarap lahan pertanian bukan milik sendiri, tetapi lahan pemerintah yang dikelola oleh Perum Perhutani dan bisa dikatakan bahwa petani hutan adalah petani yang menjadi sasaran Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

B. Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan PetaniKemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan. Perbedaan ini sangat ditekankan karena kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpanan pendapatan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Pada tingkat ketimpangan yang maksimum, seluruh kekayaan hanya dimiliki oleh satu orang saja dan tingkat kemiskinan sangat tinggi.Kemiskinan merupakan masalah sosial yang hadir ditengah masyarakat khususnya di negara yang sedang berkembang. Kemiskinan adalah situasi dimana seseorang itu serba kekurangan, namun kekurangan tersebut bukanlah hal yang mereka kehendaki. Banyak orang yang menyabutkan kemiskinan adalah keadaan dimana kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang paling pokok, seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Kemiskinan bukan hanya terbatas kepada kurangnya keuangan, melainkan melebar kepada kurangnya kreatifitas, inovasi kurangnya kesempatan untuk bersosialisasi dengan berbagai potensi dan sumber daya yang ada, atau secara khusus persoalan itu telah melingkar diantara lemahnya penyeimbangan potensi diri dan tertutupnya potensi diri untuk berkembang di masyarakat, semua itu akan berlangsung apabila proses marjinalisasi dan pihak yang berkuasa berlangsung pula.Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada dibawah garis kemiskinan jika pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti, pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.Masyarakat yang miskin adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkaran ketidakberdayaan, rendahnya pendapatan yang mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktifitas, masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mampunyai potensi lebih tinggi. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata miskin diartikan sebagai harta benda, serta kekurangan (berpenghasilan rendah).Saat ini banyak terdapat cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbeda-beda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kondisi di mana tingkat pendapatan seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan daerah.Pengertian petani miskin adalah tenaga kerja upahan jika ditinjau dari aspek ekonomi dicirikan salah satunya yakni, Pendapatan rumah tangga petani rendah termasuk usaha di luar usaha tani, Petani tersebut disebut miskin bila tingkat pendapatan per kapita pertahun kurang dari 320 kilogram setara beras untuk daerah pedesaan. Ciri khas petani miskin diatas tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan erat satu sama lain serta saling pengaruh-mempengaruhi, penilaian terhadap seorang petani apakah dia termasuk petani miskin atau tidak. di negeri ini para petani merupakan golongan yang terendah pendapatannya, penyebab utama di karenakan oleh produksi mereka yang rendah. Produksi yang rendah itu disebabkan oleh lahan usaha tani sangat sempit dan di kelola dengan teknologi sederhana serta peralatan yang terbatas. Keadaan itu lebih buruk lagi jika lahan garapan milik orang orang lain yang harus di bayar uang sewa atau bagi hasil dengan beban penggarap menanggung semua pupuk, bibit, dan pengolahan hingga massa panen. Saat ini banyak terdapat cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbeda-beda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kondisi di mana tingkat pendapatan seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan daerahSedangkan distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Alat yang lazim digunakan adalah Gini Ratio dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia.Ada beberapa sebab mengapa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia kian parah. Pertama, ketimpangan dalam distribusi asset. Ketimpangan tersebut terlihat sangat parah terutama di sektor pertanian. Berdasarkan data dari sensus pertanian, 57,8 persen petani hanya memiliki lahan rata-rata 0,018 Ha, 38 persen tidak memiliki lahan, dan hanya 4,2 persen yang memiliki lahan 0,5 Ha atau lebih. Lahan yang sempit tentu tidak mencukupi bagi petani untuk memperoleh tingkat pendapatan yang layak.

Upah Harian Buruh TaniSecara nasional, rata-rata upah nominal harian buruh tani pada periode November 2014 naik sebesar 0,23 persen dibanding upah buruh tani bulan sebelumnya, yaitu dari Rp44.924 menjadi Rp45.026. Secara riil turun sebesar 1,26 persen, yaitu dari Rp38.955 menjadi Rp38.466. Dan besarnya upah tersebut masih jauh dibawah upah buruh bangunan.

Rata-Rata Upah Harian Buruh Tani (rupiah)November 2012November 2014

BulanUpah Buruh Tani (harian)

Nominal Riil

Januari 201443 80839 383

Februari43 99239 372

Maret44 12539 416

April44 21239 514

Mei44 31439 516

Juni44 43039 330

Juli44 56939 134

Agustus44 71739 119

September44 83339 045

Oktober44 92438 955

November45 02638 466

Catatan: 1) Upah riil = upah nominal/indeks konsumsi rumah tangga perdesaan, mulai Desember 2013 menggunakan tahun dasar (2012=100)2) Upah riil = upah nominal/IHK umum perkotaan menggunakan tahun dasar (2012=100)

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), berkurang 0,32 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2013 yang sebanyak 28,60 juta orang (11,46 persen). Perkembangan penduduk miskin menurut daerah tempat tinggal. Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang lebih banyak dibanding berkurangnya penduduk miskin di daerah perdesaan. Selama periode September 2013Maret 2014, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 170 ribu orang, sementara di daerah perdesaan berkurang sekitar 150 ribu orang.Persentase penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan pada periode September 2013Maret 2014 sedikit mengalami pergeseran. Pada September 2013, penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan sebesar 62,65 persen dari seluruh penduduk miskin, sementara pada Maret 2014 sebesar 62,85 persen. Beberapa faktor terkait bertambahnya jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode September 2013Maret 2014 adalah:a. Secara umum inflasi periode September 2013Maret 2014 cenderung rendah, yaitu sebesar 2,31 persen.b. Secara nominal, rata-rata upah buruh tani pada Maret 2014 naik sebesar 4,52 persen dibanding upah buruh tani September 2013, yaitu dari Rp42.217,00 menjadi Rp44.125,00. Selain itu rata-rata upah buruh bangunan pada Maret 2014 naik sebesar 2,08 persen dibanding upah buruh tani September 2013, yaitu dari Rp74.414,00 menjadi Rp75.961,00.c. Selama periode September 2013Maret 2014, harga eceran beberapa komoditas bahan pokok mengalami penurunan seperti daging ayam ras, gula pasir, cabai merah serta telur ayam ras, yaitu masing-masing turun sebesar 15,05 persen, 5,09 persen, 3,31 persen dan 8,63 persen.d. Perbaikan penghasilan petani yang ditunjukkan oleh kenaikan NTP (Nilai Tukar Petani) sebesar 0,61 persen dari 101,24 pada September 2013 menjadi 101,86 pada Maret 2014.

C. Ketahanan dan Kemadirian PanganPetani sangant berperan penting dalam menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan, karena paham dan strategi yang selama ini dianut dalam sektor pertanian adalah membangun ketahanan pangan (food security). Ketahanan pangan didefinisikan sebagai akses fisik dan ekonomi semua orang terhadap pangan secara cukup, aman, dan bergizi pada setiap waktu untuk hidup aktif, sehat, dan produktif. Dalam pelaksanaan program ketahanan pangan, pemenuhan kebutuhan pangan masih bergantung pada perdagangan internasional. Dengan berbagai kendala diplomasi internasional dan posis tawar (bargaining position) yang belum memadai, Indonesia belum mampu secara optimal melindungi petani dari serbuan pangan impor dari negara lain. Bahkan kecenderungan yang terjadi adalah makin tingginya ketergantungan Indonesia pada pangan impor, terutama kedelai.Khusus untuk beras, ketergantungan pada impor akan membahayakan kinerja pemenuhan pangan nasional karena ketersediaan beras di pasar dunia cukup tipis (thin market) dan tidak stabil. Sebagian besar produksi beras dunia dikonsumsi oleh negara-negara produsen. Hanya sekitar 4% yang dipasarkan ke pasar internasional.Ketidakberhasilan dalam penerapan strategi ketahanan pangan menjadi inspirasi munculnya strategi alternatif, yaitu kemandirian dan kedaulatan pangan. Kemandirian pangan (food independence) didefinisikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, bermutu baik, aman, dan halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis sumber daya lokal. Lima komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu ketersediaan yang cukup, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, mutu/keamanan pangan yang baik, dan tidak ada ketergantungan pada pihak luar. Dengan lima komponen tersebut, kemandirian pangan menciptakan daya tahan yang tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia.Membangun kemandirian pangan merupakan strategi terbaik untuk keluar dari krisis pangan. Sebagai negara agraris dengan keberagaman sumber daya hayati (biodiversity), Indonesia berpotensi besar untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup. Selain itu, Indonesia mempunyai aneka pangan lokal untuk mendukung diversifikasi pangan nasional. Oleh karena itu, tidak ada alasan mengapa Indonesia belum mampu membangun kemandirian pangan.Saat ini banyak negara mengurangi ekspor pangannya untuk berbagai kepentingan, antara lain untuk bahan bakar nabati (biofuel). Konversi pangan menjadi bio-fuel akan menyebabkan pasokan pangan di pasar dunia menurun sehingga harganya naik dan berpotensi menyebabkan krisis pangan. Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan strategi untuk mencegah krisis pangan dan mengentaskan masyarakat tani dari kemiskinan. Indonesia dapat memetik pelajaran berharga dari keberhasilan Kuba membangun kedaulatan pangan. Putri J. Nehru yang menjadi Perdana Menteri kedua India, Indira Gandhi, juga memandang kecukupan pangan sebagai kebanggaan nasional suatu bangsa. Ia mengungkapkan bahwa suatu bangsa tidak akan memiliki kebanggan apapun apabila tidak mempunyai kemampuan memberi makan penduduknya. Indonesia memiliki keberagaman sumber daya hayati dan pangan lokal, serta teknologi pertanian yang cukup maju di Asia. Indonesia juga memiliki keunggulan absolut (komparatif dan kompetitif) dalam membangun kemandirian dan kedaulatan pangan. Potensi ini dicirikan oleh: (1) negara tropis dengan intensitas cahaya matahari yang sangat kondusif bagi produksi pertanian; (2) lahan dan air bukan faktor pembatas yang mengkhawatirkan; (3) sumber daya hayati disertai keanekaragaman pangan lokal; (4) teknologi produksi pangan termasuk yang berkembang di Asia; dan (5) adanya pencanangan lahan pertanian abadi 15 juta ha dari pemerintah yang sampai sekarang belum terlaksana. Badan Litbang Pertanian telah mengidentifikasi 30,67 juta ha lahan potensial yang sesuai dan tersedia untuk perluasan areal pertanian di Indonesia. Mengingat kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan jati diri dan martabat bangsa, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menunda upaya pencapaian kemandirian dan kedaulatan pangan.

D. Kebijakan di Bidang Pertanian1. Kebijakan Perberasan Indonesia Terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam pembangunan ekonomi setiap negara di dunia, apakah itu negara produsen dan net eksportir maupun pengimpor pangan. Bagi negara industri yang miskin sumber daya pertanian seperti Singapura, sasaran tersebut dapat dipenuhi dengan meningkatkan daya beli rakyat dan kemampuan ekonomi negaranya. Bagi sebagian besar negara berkembang, pemenuhan kebutuhan pangan itu terutama mengandalkan kemampuan produksi domestik (Amrullah, S. 2005). Bagi Indonesia, rumusan di atas merupakan definisi ketahanan pangan yang diformulasikan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Untuk implementasinya, GBHN 1999-2004 mengarahkan agar ketahanan pangan ini dicapai dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal; serta memperhati kan kesejahteraan para produsennya, yang pada umumnya adalah para petani, peternak dan nelayan kecil. Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan ekonomi pedesaan, pemerintah telah menetapkan kebijakan perberasan melalui Inpres Nomor 9 tahun 2002. Inpres tersebut sebenarnya merupakan penyempurnaan dari Inpres Nomor 9 tahun 2001, yang mengatur tentang kebijakan perberasan secara komprehensif. Perubahan pada Inpres Nomor 9 Tahun 2002 dan terakhir adalah Inpres No.13/2005 yang berlaku 1 Januari 2006.Salah satu ketentuan yang diatur di sana adalah penetapan impor dan ekspor beras dalam kerangka menjaga kepentingan petani dan konsumen; serta impor manakala ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi. Ketentuan ini bermakna bahwa, perlindungan terhadap petani diutamakan. Rasionalnya adalah karena harga beras murah di pasar dunia tidak merefleksikan.Tingkat efisiensi, namun telah terdistorsi oleh berbagai bantuan dan subsidi. Hasil penelitian Husein Sawit dan Rusastra (2005) memperlihatkan bahwa hampir 80% pendapatan petani padi di negara kaya kelompok OECD misalnya, berasal dari bantuan pemerintah. Oleh karena itu, adalah tidak adil buat petani padi/beras, yang sebagian besar petani dengan lahan yang sempit untuk bersaing dalam dunia perdagangan yang amat tidak adil itu.Perlindungan dari serbuan impor, tidak terkecuali beras dapat ditempuh dengan dua cara yaitu hambatan tarif (tariff Barrier; TB) dan hambatan bukan tarif (non tariff Barrier; NTB). Instrumen yang paling primitif dalam NTB adalah pelarangan impor atau pelarangan ekspor. Namun, ada juga yang menempuh kebijakan monopoli dan penetapan kuota impor untuk mengelola impor/ekspor suatu produk.Hambatan tarif dianggap paling transparan, sehingga semua hambatan non tarif wajib dihapus dan dikonversikan ke dalam hambatan tarif sesuai dengan ketentuan perdagangan multilateral World Trade Organizati on (WTO). Indonesia telah menotifikasikan tarif beras di WTO sebesar 180% dan diturunkan menjadi 160% untuk 2004, membuka pasar minimum (minimum market access) sebesar 70 ribu ton/tahun dengan tingkat tarif dalam kuota (in-quota tariff ) 90%. Mulai Januari 2000, pemerintah menetapkan tarif spesifik sebesar Rp 430/kg atau setara dengan 30% ad valorem. Impor dikontrol ketat, misalnya harus melalui jalur merah guna mencegah penyelundupan, dan terakhir adalah tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007 sebesar Rp 450 per kg.

Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras Menurut Nopirin (1990), kebijakan tarif maupun non-tarif mempunyai dampak pada perubahan surplus konsumen dan surplus produsen. Pemberlakuan tarif impor akan menguntungkan produsen domestik karena dengan adanya tarif impor maka harga impor komoditi sejenis cenderung lebih mahal dengan harga domestik. Pemberlakuan tarif impor akan menyebabkan kenaikan harga produk di negara importir, penurunan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor dan adanya penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif impor tersebut.Husain Sawit (2007) mengatakan pada saat Indonesia menerapkan tingkat tarif moderat terhadap beras, ternyata kurang efektif, dan penyelundupan bertambah. Pada periode 2000-2003 misalnya, ditaksir tidak kurang dari 50 persen beras yang masuk ke Indonesia melalui berbagai pelabuhan, terbanyak melalui Selat Malaka adalah illegal (Tabor, 2002). Akibatnya adalah pola pergerakan harga gabah yang musiman menjadi porak poranda. Karena kekurangan beras di kantong-kantong konsumen sebagian besar diisi oleh beras impor. Harga gabah tingkat produsen di musim panen raya dalam beberapa tahun malah lebih tinggi dari musim paceklik atau musim panen padi gadu. Akibatnya perdagangan antar pulau dan antar wilayah tidak bergairah, beras dari sentra produsen terhambat mengalir ke wilayah konsumen, terutama ke perkotaan.Kebijakan tarif impor, apabila hanya dilihat dari sisi produsen, menunjukkan bahwa semakin tinggi tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah akan menyebabkan tingginya harga beras di dalam negeri, yang berdampak terhadap naiknya harga gabah di tingkat petani, sehingga memacu produsen/petani untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri, sehingga kesejahteraan produsen/ petani meningkat. Kebijakan tarif impor beras, jika hanya dilihat dari sisi konsumen saja, maka semakin tinggi tarif impor yang dikenakan terhadap komoditas beras, akan menyebabkan tingginya harga beras di dalam negeri, sehingga memaksa konsumen untuk mengurangi konsumsinya, yang tentunya mengakibatkan permintaan beras dalam negeri berkurang, dan kesejahteraan konsumen akan menurun. Kebijakan pemerintah menaikkan tarif impor beras, tidak menjamin penerimaan pemerintah dari tarif impor akan meningkat, dan sebaliknya penurunan tarif impor juga tidak menjamin turunnya penerimaan pemerintah atas tarif impor beras. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah tidak hanya ditentukan oleh perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seperti elastisitas transmisi harga, serta elastisitas permintaan dan penawaran. Liberalisasi perdagangan beras (pembebasan tarif) memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berarti ekonomi nasional makin efi sien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang makin jauh lebih kecil daripada konsumen, yang berarti aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah tidak terwujud. Oleh karena petani padi pada umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan alasan ini dan penyediaan lapangan kerja serta pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protektif masih tetap diperlukan, baik dengan pengenaan tarif impor beras, maupun pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor beras.

Rekomendasi Penerapan kebijakan tarif impor beras untuk melindungi produsen/petani di dalam negeri dan sekaligus meningkatkan produksi beras dalam negeri perlu dipertahankan, namun perlu diikuti dengan kebijakan lain yang dapat meringankan beban konsumen, terutama konsumen dari kalangan rumah tangga miskin. Untuk tetap mempertahankan kesejahteraan rakyat (konsumen) yang telah dirugikan akibat diterapkannya kebijakan impor maka sebaiknya pemerintah memberikan kompensasi kerugian kepada konsumen seperti operasi pasar dan beras miskin (raskin). Memperhatikan tingkat tarif impor beras, yang dipikul konsumen beras, kiranya bijaksana bila pemerintah pada tahun-tahun yang akan datang tidak menaikkan tarif impor beras lebih dari 15 persen atas harga border untuk memproteksi petani karena kenaikan tarif dihawatirkan akan menimbulkan disparitas harga beras dalam negeri dan harga beras internasional yang dapat memacu maraknya penyelundupan beras.

2. Keberpihakan Pemkab Bantul terhadap PetaniMayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, namun sektor ini dianggap tidak menarik lagi. Hal ini nampak dari banyaknya komoditas pertanian Indonesia yang harus disediakan dengan cara impor, angka konversi lahan pertanian yang tinggi, dan ketidaksediaan anak petani untuk meneruskan pekerjaan ayah mereka.Situasi di atas juga terjadi di Bantul. Bantul merupakan salah satu kabupaten di D.I Yogyakarta yang mempunyai potensi unggul dalam bidang pertanian. Wilayah ini mempunyai kontur tanah yang relatif datar, subur, curah hujan teratur, dan juga mempunyai kesediaan air yang cukup. Lahan pertanian di Bantul juga masih cukup luas, yaitu mencapai 15.910 hektar. Dengan mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani, maka sektor pertanian merupakan sektor yang tidak dapat diabaikan begitu saja.Hasil pertanian di Bantul cukup bervariasi mulai dari beras, cabai merah, kacang, kedelai, jagung, tembakau, dan juga bawang merah. Produksi padi di Bantul mampu mengalami surplus. Dalam hal produksi bawang merah dan lombok (cabai merah) di Kecamatan Sanden yang merupakan salah satu daerah sentra produk tersebut. Ketika harga cabai dan bawang merah tinggi petani memperoleh keuntungan besar, hal ini terlihat dengan meningkatnya pembelian motor baru oleh petani cabai. Akan tetapi jika harga anjlok, bawang di sawah dibiarkan membusuk tanpa dipanen karena biaya panen lebih tinggi dari harga jual. Dengan demikian masalah mendasar yang selalu dihadapi para petani adalah penurunan harga ketika panen raya tiba. Situasi ini membuat petani merugi dan berdampak pada keberlanjutan usahanya. Rendahnya harga hasil pertanian di tingkat petani tidak selalu disebabkan oleh banyaknya penawaran (stok), namun seringkali terjadi karena permainan pedagang besar. Jika hal ini dibiarkan, dampak besar yang ditimbulkan dapat menambah angka kemiskinan di Kabupaten Bantul dan hilangnya gairah bertani masyarakat. Hal ini secara umum nampak dari tingginya angka konversi sawah ke non sawah yang mencapai angka 187.720 ha per tahun (secara nasional)2 dan 712,496 ha pertahun untuk Bantul.Melihat kondisi yang demikian, tahun 2002 Pemerintah Bantul mengeluarkan kebijakan pembelian produk pertanian agar petani tidak terus menerus menderita kerugian. Pemkab Bantul bersedia membeli hasil pertanian melebihi harga pasar dengan tujuan untuk melindungi petani dari kerugian yang lebih besar. Program pembelian panen petani tersebut dirasakan besar manfaatnya bagi para petani. Mayoritas petani di Bantul, yaitu 98,86 % puas dengan kebijakan pembelian hasil pertanian. Para petani di Bantul mulai merasakan rasa tenteram terbebas dari rasa takut akibat harga jual yang tidak stabil dan merugi ketika panen raya tiba. Meskipun demikian ada juga masyarakat yang memberikan beberapa kritik terhadap kebijakan tersebut, yaitu tersentralnya program pembelian hasil panen menyebabkan petani harus menanggung biaya untuk mengangkut produksi hasil pertanian dan mereka juga harus antri cukup panjang.Berkaitan dengan keenggganan para anak tani untuk meneruskan pekerjaan orang tuanya bertani, perilaku tersebut muncul karena mereka menyadari bahwa menjadi petani tidak akan pernah membuat mereka sejahtera karena pemerintah selalu membuat kebijakan yang selalu menstabilkan harga. Ketika harga beras naik dan petani baru akan menikmatinya, pemerintah buru-buru impor beras. Dengan demikian pemerintah tidak akan rela jika harga beras menjadi tinggi, menjadi petani hanya akan menjadi tumbal pembangunan.Ketika petani mendapatkan ketidakadilan, mereka tidak akan melakukan perlawanan secara terbuka, mereka hanya melawan dengan cara mempertahankan diri. Perlawanan dengan metode ini kadang tidak dianggap sebagai bentuk perlawanan karena tindakannya tidak mengancam pemilik kuasa. Bentuk perlawanan yang tidak frontal-langsung tersebut terjadi karena moralitas petani yang lebih mementingkan keselarasan (keselamatan) dibanding konflik. Tindakan petani terjadi tidak semata-mata hanya karena moralitas tinggi petani, namun dilakukan karena pertimbangan rasional dalam memperkirakan kemampuan dan untung rugi dari bentuk perlawanan yang harus ia pilih. Tindakan petani tidak semata-mata hanya didorong nilai-nilai moral, namun juga memperhitungan untung rugi. Ketika petani menghadapi situasi krisis karena mereka selalu dimarginalkan lewat kebijakan impor maka ia akan mengambil ancang-ancang untuk beralih ke pekerjaan lain karena cara itu lebih menguntungkan daripada protes kepada penguasa dengan jumlah masa yang banyak. Agar petani tidak beralih pekerjaan maka ia harus merasakan manfaat dari pilihan pekerjaannya, untuk itu negara harus hadir membantu para petani. Merujuk UU Kesejahteraaan Sosial Nomor 11 tahun 2009, terdapat 4 cara intervensi sosial agar masyarakat merasakan kehidupan yang adil dan sejahtera. Intervensi tersebut adalah rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, dan jaminan sosial. Dari empat macam intervensi tersebut, negara dapat memilih perlindungan sosial6 dengan memberikan subsidi demi terjaganya kedaulatan pangan. Namun perlu dicatat, pemberian subsidi yang tidak tepat terkadang melahirkan efek negatif berupa ketergantungan masyarakat terhadap negara.Kebijakan-kebijakan pro petani yang diambil oleh Pemkab Bantul tersebut antara lain meliputi: Kegiatan pembelian gabah mulai dilakukan pada tahun 2002 dan ditanggapi dengan baik oleh para petani, kebijakan pemberian kredit untuk pembelian bibit, dan kebijakan pembelian produk pertanian ketika harganya turun, kebijakan pembelian harga beras merupakan salah satu kebijakan subsidi harga dalam konsep social welfare. Namun dari beberapa kebijakan tersebut ada yang tidak berjalan dengan baik atau tidak sesuai dengan yang direncanakan. Mulai dari pemberian kredit, banyak para petani yang tidak mengembalikan kewajibannya.Kebijakan pembelian komoditas pertanian ketika harga turun memberikan dampak positif bagi para petani, mereka tidak akan merasa takut menghadapi kerugian saat panen raya karena pemerintah siap membeli produk mereka di atas harga pasar ketika harga jatuh. Kebijakan tersebut sangat baik karena membantu dalam mencegah terjadinya kerugian petani. Dengan demikian kebijakan pembelian komoditas pertanian pasca panen ini sudah sangat bagus karena membantu mengurangi kerugian masyarakat saat terjadinya panen raya.Dilihat dari pemerintah, karena proses pembelian dilakukan hanya ketika harga barang jatuh di bawah biaya produksi atau tidak sampai menutupi modal awal maka pemerintah selalu merugi. Namun inilah konsekuensi yang harus dilakukan pemerintah sebagai tugasnya melindungi masyarakat. Meskipun akan lebih baik lagi jika pemerintah tidak merugi dalam proses intervensi ini.Namun demikian meruginya pemerintah bukan satu kejadian yang harus disesali. Jika petani dibiarkan menanggung sendiri kerugiannya akan menimbulkan dampak psikologi berupa sikap emoh bertani, akibatnya akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi negara.Menurut teori punish dan reward dan juga konsep petani rasional, jika seorang mendapat satu ketidakenakan dari satu kejadian maka dia tidak akan mengulangi perilakunya tersebut. Oleh karena itu kekhawatiran yang lebih besar dari dampak sengsaranya petani adalah terjadinya konversi lahan dan pekerjaan ke non-pertanian yang saat ini telah terasa. Hampir semua anak petani tidak ingin bekerja di sektor pertanian dan hampir semua petani tidak mencita-citakan anaknya menjadi petani. Dengan demikian dalam jangka panjang perlindungan kepada petani ini tidak merugikan negara terutama terkait dengan ketahanan pangan dan ketahanan nasional. Apalagi kerugian ekonomi negara juga tidak terlalu besar untuk mendukung kebijakan ini.Dalam kurun waktu mulai tahun 2002 sampai 2012 atau 10 tahun Pemkab Bantul mengeluarkan 1,9 milyar. Hal ini berarti dalam setahun rata-rata mengeluarkan sekitar 190 juta atau dalam sebulan mengeluarkan 15,8 juta. Jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah anggaran studi banding anggota DPR pada bulan september tahun 2012 yang menghabiskan anggaran Rp 1,3 miliar.10 Meskipun demikian perlu ada terobosan agar kebijakan ini tidak merugikan pemerintah, namun malah menguntungkan.Saat pemerintah membeli hasil panen petani dengan harga di atas harga pasar di Bantul, agar tidak merugi pemerintah dapat menjual kembali ke daerah yang harga cabainya lebih tinggi. Seperti contoh pembelian cabai, pemerintah menjual-nya dalam kondisi masih basah atau kadang sudah dikeringkan yang selanjutnya dititipkan lewat pedagang besar ke pasar induk Jakarta. Jika hasil pertaniannya berupa gabah, lebih mudah lagi, tim pasca panen dapat menyimpannya terlebih dahulu dan menjual kembali pada saat harga gabah naik. Jadi antara pemerintah dan petani saling diuntungkan sehingga sirkulasi dana yang dimiliki pemerintah berjalan normal. Oleh karena itu perlu adanya kerja sama antar daerah ketika di satu daerah harga komoditas tinggi, namun di daerah lain rendah bisa dijalin kerja sama pemindahan komoditas.

E. Kemiskinan dan Kesenjangan Petani di Indonesia serta Pengaruh adanya Kebijakan di Bidang PertanianSektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling penting dan sektor ini sebagian besar dibangun oleh petani. Adanya sektor pertanian akan menunjang adanya ketahanan pangan di suatu wilayah. Bidang pertanian itu meliputi: usaha tani, peternakan, perikanan, dan ketiganya itu sangat penting dalam menunjang kebutuhan pangan nasional. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa para petani itu sangat berpengaruh dalam menunjang kebutuhan pangan nasional. Indonesia dijuluki sebagai negara agraris dan negara maritim, maka dari itu mayoritas penduduknya bermatapencaharian di kedua bidang tersebut. Dengan kayanya bidang agraris dan maritim di Indonesia tentulah kebutuhan para penduduknya dapat terpenuhi dari kedua sektor tersebut. Dengan kayanya bahan pangan dari kedua sektor tersebut harusnya negara ini tidak membutuhkan lagi subsidi atau tambahan bahan pangan dari negara lain.Indonesia merupakan negara kepulauan, hampir sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut. Dengan luasnya lautnya tersebut tentulah akan banyak menghasilkan baik garam maupun ikannya. Banyak penduduk di pesisir pantai yang berprofesi sebagai petani garam maupun ikan. Dengan melimpahnya sumber daya alam, seharusnya semakin sejahtera kehidupan mereka yang ada di sekitarnya. Namun kenyataanya banyak para petani garam maupun ikan yang kehidupannya jauh dari kata sejahtera. Telah kita ketahui bahwa negara kita yang dikelilingi oleh laut ini masih menggantungkan hidupnya ke negara lain untuk memenuhi kebutuhan garamnya. Banyaknya air laut namun kita masih mengimpor garam? itu yang mennjadi pertanyaan banyak orang. Selain itu hasil laut terutama ikan yang melimpah yang tidak dirasakan oleh penduduknya sendiri, melainkan di konsumsi atau di ekspor kenegara lain. Ikan merupakan makanan yang kaya akan sumber protein dan omega 3 yang sangan diperlukan oleh masyarakat terutama anak-anak dalam masa pertumbuhan, karena dengan mangkonsumsi ikan daya pikir anak akan menjadi lebih pintar. Namun tidak ikan tersebut lebih banyak diterbangkan dari pada dikonsumsi oleh peduduk sendiri. Para petani di wilayah pesisir hidupnya sederhana. Hasil pendapatan mereka tidak sebanding dengan kerja keras, penantian dan resiko mereka. Garam hasil panenan di Indonesia kurang diminati oleh masyarakatnya sendiri, banyak penduduk yang memilih mengkonsumsi garam hasil impor. Namun yang lebih disesali lagi mata pencaharian sebagai petani garam ini sifatnya hanyalahsementara atau berdasarkan musim saja. Jadi setelah itu apa pekerjaan para petani tersebut? Kebanyakan dari mereka bekerja serabutan. Tidak jauh dari bidang maritim, di bidang agraris pun juga seperti itu permasalahannya. Untuk sektor ini tahukah anda ada lagu yang berbunyi tanah kita adalah tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, seperti itulah koesplus mendeslripsikan keadaan pertanian di Indonesia pada zaman itu. Karena terlalu suburnya tanah ini, tongkat kayu ditancapkan saja ketanah akan tumbuh. Tanah di Indonesia ini merupakan tanah yang subur karena salah satunya dipengaruhi oleh gunung berapi yang mengelilingi negara kita ini (ring of fire). Karena keaktifan gunung yang ada di negara kita ini maka tanah di negara kita menjadi tanah nan subur. Tanaman padi, jagung, kedelai, ketela dan yang lain dapat ditanam di negara kita ini. karena mayoritas peduduk kita mengkonsumsi bahan pangan utama adalah beras maka banyak tanah yang ditanami oleh padi. Namun dengan banyaknya tanaman tersebut tidak tetap saja Indonesia mengimpor beras dari negara lain.Banyaknya tenaga kerja dibidang pertanian, akibat dari sulitnya mencari dan mengakses lapangan pekerjaan di bidang lain. Minimnya tingkat pendidikan juga dapat dijadikan alasan untuk memilih bekerja dibidang pertanian. Tidaklah salah berkerja menjadi petani, karena pekerjaan sebagai petani itu merupakan pekerjaan yang sangat penting dan mulia.karena pekerjaan sebagai petani itu ikut serta dalam mewujudkan ketahanan pangan.Kemiskinan para petani dilihat dari ekonominya atau pendapatan yang diterimanya itu jauh dari apa yang seharusnya. Mahalnya biaya pembelian bibit, pupuk, produksi tidak sebanding dengan penawaran harga jual produknya. Para pengepul biasanya membeli murah produk pertanian tersebut, jadi petani hanya mendapatkan untung yang sedikit, bahkan rugi. Nantinya pengepul akan menjualnya kembali kepada para pedagang dengan harga yang jauh dari harga pembelian. Selain sudah diributkan dengan harga bibit dan pupuk para petani juga masih berurusan dengan penawaran pembelian yang murah. Masalah tersebut belum berakhir muncul permasalahan baru lagi. Demi mewujudkan ketahanan pangan pemerintah menerapkan kebijakan impor untuk menambah jumlah pasokan bahan pangan. Dalam jangka pendek kebijakan seperti itu memang menyelamatkan Indonesia dari kekurangan stok pangan. Tapi dalam jangka panjang, kebijakan tersebut tidak hanya akan membuat Indonesia menjadi Negara yang tergantung pada Negara lain, tetapi akan semakin memiskinkan petani lokal. Ini bisa juga menjadi ancaman bagi para petani karena tambahnya persaingan dalam pasar. Banyak cara untuk mengurangi ketergantungan impor bahan pangan. Secara bertahap, ketergantungan pada pangan impor harus mulai dikurangi dengan cara meningkatkan produksi pangan dalam negeri negeri melalui program insentif di bidang pertanian. Dalam hal ini saya menguraikan sedikit mengenai upaya untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri:1. Membuat kebijakan mengenai daerah-daerah di Indonesia yang akan menjadi sentra produksi pangan. Pemerintah menentukan wilayah-wilayah mana saja yang akan digunakan sebagai sentra produksi pangan. Seperti dulu Subang dan Karawang dijadikan sebagai pusat dari produksi kedelai dan beras terbesar di Indonesia dan Gorontalo yang mampu mengekspor pisang berkualitas. Untuk hal ini perlu adanya koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengetahui topografi wilayah didaerah tersebut dan pangan apa yang cocok untuk dikembangkan disana.2. Membangun sarana suprastruktur di wilayah-wilayah sentra produksi pangan, seperti: pembangunan waduk, pembangunan saluran irigasi, pembangunan pabrik pupuk dan gudang penyimpanan hasil pangan. Kekeringan dan kelangkaan pupuk kerap menjadi permasalahan pertanian di Indonesia.3. Membuat akses jalan yang baik untuk distribusi hasil pangan. Persoalan pelik dari distribusi hasil pangan yang terjadi sekarang adalah karena akses jalan yang buruk yang mengakibatkan distribusi menjadi lambat dan merusak hasil pangan yang akan dikirim.4. Memberikan kredit untuk alat-alat pertanian dan memberikan subsidi untuk pupuk dan pestisida pada petani.5. Membuat lembaga yang ditugaskan melakukan riset dan penelitian untuk menciptakan bibit-bibit unggul dan berkualitas baik dengan mempekerjakan lulusan-lulusan terbaik dibidang pertanian melalui proses rekrutmen yang baik.6. Membangun koperasi yang ditujukan memasarkan hasil panen pertanian dengan dibarengi adanya kebijakan harga dari pemerintah untuk setiap produk pertanian.7. Mengembangkan pangan subtitusi sebagai pengganti selain beras. Masyarakat Indonesia sudah menjadikan beras sebagai makanan pokok. Pangan subtitusi ini adalah upaya untuk mengurangi ketergantungan dan mengubah pola pikir masyarakat Indonesia jika karbohidrat tidak harus selalu berasal dari beras, misalnya pada singkong, kentang, jagung dan lain sebagainya.Kebijakan lain dalam bidang pertanian yang tidak tepat sasaran misalnya subsidi pupuk. Petani di Indoneia akhir-akhir ini banyak yang memiliki lahan kecil dan tidak memiliki lahan namun hanya buruh saja. Subsidi pertanian hanya menguntungkan pemilik modal. Maksudnya 65 persen petani termiskin hanya menerima subsidi pupuk sebesar 3 persen dari total subsidi pupuk yang diberikan pemerintah. Sedangkan 5 persen petani terkaya menerima 90 persen subsidi pupuk. Hal tersebut ditengarai disebabkan oleh akses petani kaya kepada oknum pemerintah dan distributor pupuk yang lebih besar dibanding petani miskin dan juga modal yang besar dari petani kaya memungkinkan mereka menumpuk pupuk dalam jumlah besar di gudangnya. Ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi pupuk mempertimpang distribusi pendapatan lewat dua jalur. Jalur pertama, memperkuat daya ekonomi (daya usaha dan pendapatan) golongan kaya karena pengeluaran mereka bisa ditekan lewat subsidi yang mereka nikmati. Dan jalur kedua, lewat pengeluaran dalam APBN yang sebenarnya bisa untuk program pengentasan kemiskinan atau program lain yang pro rakyat miskin tetapi salah alokasi untuk subsidi bagi golongan yang seharusnya tidak menerima.Rekomendasi utama untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan petani: Melakukan redistribusi lahan yang merupakan asset utama di sektor pertanian sebenarnya sudah ada undang-undangnya yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tinggal bagaimana pemerintah mulai berani menerapkannya. Membentuk pertanian kolektif seperti di RRC dimana lahan-lahan pertanian yang sempit dijadikan satu (dikonsolidasikan) lalu dikerjakan secara bersama dan hasilnya dibagi bersama. Meminimalkan bertambahnya pekerja di sektor informal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mendorong pertumbuhan sektor produksi (pertanian dan industri) sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Untuk sektor pertanian misalnya dengan mendorong petani beralih ke tanaman yang nilai ekonomisnya lebih tinggi misalnya ke tanaman hortikultura. Penghapusan subsidi dan diganti dengan program lain yang lebih tepat sasaran bagi rakyat miskin perlu dilakukan.Dengan penggunaan kebijakan yang sesuai dalam bidang pertanian, kebijakan yang pro petani maka sedikit demi sedikin kesejahteraan petani akan membaik, kemiskinan dan kesenjangan akan berkurang. Dengan menerapkan kebijakan untuk penambahan jumlah produksi lokal maka itu dapat membantu. Pengelompokan wilayah dengan potensi produk pangan yang sesuai dapat membantu konsentrasi produksi pangan. Untuk mengurangi impor beras pemerintah secara perlahan dan serius dapat mencarikan barang subtitusi pengganti beras untuk di konsumsi, namun secara berhati-hari dalam menerapkannya.

BAB IIIPenutup

1. KesimpulanPertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan proses pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat sedangkan pertanian dalam arti luas meliputi pertanian dalam arti sempit, kehutanan, peternakan, dan perikanan.Petani adalah seorang yang mempunyai profesi bercocok tanam (menanam tumbuhtumbuhan) dengan maksud tumbuh-tumbuhan dapat berkembang biak menjadi lebih banyak serta untuk dipungut hasilnya, tujuan menanam tumbuh-tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu dapat dimakan manusia dan hewan peliharaanya. Kemiskinan adalah keadaan dimana kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Pengertian petani miskin adalah tenaga kerja upahan jika ditinjau dari aspek ekonomi dicirikan salah satunya yakni, Pendapatan rumah tangga petani rendah termasuk usaha di luar usaha tani, Petani tersebut disebut miskin bila tingkat pendapatan per kapita pertahun kurang dari 320 kilogram setara beras untuk daerah pedesaan.Kebijakan impor pertanian dalam jangka pendek kebijakan seperti itu memang menyelamatkan Indonesia dari kekurangan stok pangan. Tapi dalam jangka panjang, kebijakan tersebut tidak hanya akan membuat Indonesia menjadi Negara yang tergantung pada Negara lain, tetapi akan semakin memiskinkan petani lokal. Secara bertahap, ketergantungan pada pangan impor harus mulai dikurangi dengan cara meningkatkan produksi pangan dalam negeri negeri melalui program insentif di bidang pertanian. Dalam hal ini saya menguraikan sedikit mengenai upaya untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeriKebijakan lain dalam bidang pertanian yang tidak tepat sasaran misalnya subsidi pupuk. Petani di Indoneia akhir-akhir ini banyak yang memiliki lahan kecil dan tidak memiliki lahan namun hanya buruh saja. Subsidi pertanian hanya menguntungkan pemilik modal. Maksudnya 65 persen petani termiskin hanya menerima subsidi pupuk sebesar 3 persen dari total subsidi pupuk yang diberikan pemerintah. Sedangkan 5 persen petani terkaya menerima 90 persen subsidi pupuk. Hal tersebut ditengarai disebabkan oleh akses petani kaya kepada oknum pemerintah dan distributor pupuk yang lebih besar dibanding petani miskin dan juga modal yang besar dari petani kaya memungkinkan mereka menumpuk pupuk dalam jumlah besar di gudangnya. Ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi pupuk mempertimpang distribusi pendapatan lewat dua jalur. Jalur pertama, memperkuat daya ekonomi (daya usaha dan pendapatan) golongan kaya karena pengeluaran mereka bisa ditekan lewat subsidi yang mereka nikmati. Dan jalur kedua, lewat pengeluaran dalam APBN yang sebenarnya bisa untuk program pengentasan kemiskinan atau program lain yang pro rakyat miskin tetapi salah alokasi untuk subsidi bagi golongan yang seharusnya tidak menerima.Rekomendasi utama untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan petani: Melakukan redistribusi lahan Membentuk pertanian kolektif Meminimalkan bertambahnya pekerja di sektor informal. Penghapusan subsidi dan diganti dengan program lain yang lebih tepat sasaran bagi rakyat miskin perlu dilakukan.

1. Kritik dan SaranDiperlukannya kebijakan yang tepat dalam mengatasi kemiskina dan kesenjangan distribusi pendapatan bagi masyarakat kecil khususnya petani. Kebijakan yang tepat maksunya pas dan sesuai dengan sasaran. Masyarakat juga harus bertanggung jawab setelah pemerintah memberikan keringanan berupa kebijakan yang pro dengan petani.Pemerintah harus menyejahterakan petani dengan begitu ketahanan pangan sedikit demi sedikit bisa terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O., K. Kariyasa, dan T. Suprapto. 2003. Pengkajian dan sintesis kebijakan pengembangan peningkatan produktivitas padi dan ternak (P3T) ke depan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.Akhmad. 2014. Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras Terhadap Surplus Produsen dan Konsumen. Laporan Hasil Penelitian. Sulawesi: STIE-YPUP Makassar dan Alumni S3 Ilmu Eknomi Pertanian PPs-IPB.Astuti dan Musiyam. 2009. Kemiskinan dan Perkembangan Wilayah di Kabupaten Boyolali. Forum Geografi, Vol.23, No.1. Universitas Muhammadiyah Surakarta.Baculu, Mabrur. 2012. Kemiskinan pada Masyarakat Agraris (studi Kasus Petani di Desa Kasiwiang Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu). Skripsi. Makasar.BPS Indonesia. 2009. www.bps.go.idChristianto, E., 2013. Faktor Yang Memengaruhi Volume Impor Beras Di Indonesia. Jurnal JIBEKA Volume 7 No 2 Agustus 2013: 38 43.Damayanti, Lien. 2008. Analisis Tingkat Kemiskinan Produsen Kopra di Desa Tolongano Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala. J. Agroland 15 (1) : 32 35, Maret 2008.Indra Jaya, Pajar Hatma dan Sulistyary Ardiyantika. 2013. Berani Rugi: Sebuah Cerita Pemihakan Pemkab Bantul Terhadap Nasib Petani. Jurnal PMI Vol. X. No. 2, Desember 2012. Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam , Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.Mudakir, Bagio. 2011. Produktivitas Lahan Dan Distribusi Pendapatan Berdasarkan Status Penguasaan Lahan Pada Usahatani Padi (Kasus Di Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, Juli 2011, Volume 1, Nomor 1. Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.Prayitno, Hadi dan Lincolin Arsyad. 1987. Petani desa dan kemiskinan (Edisi Pertama). Yogyakarta : BPFE.Sajogyo, Pudjiwati Sajogyo. 2002. Sosiologi Perdesaan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.Satriawan, Bondan dan Henny Oktavianti. 2012. Upaya Pengentasan Kemiskinan pada Petani Menggunakan Model Tindakan Kolektif Kelembagaan Pertanian. Volume 13, Nomor 1, Juni 2012, hlm.96-112. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Madura : Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo Madura.Soetriono, dkk. 2006. Pengantar Ilmu Pertanian. Malang : CV. Bayumedia Publishing.Surung, M. Yacob dan Dahlan. 2012. PETANI PADI SAWAH DAN KEMISKINAN (Studi Kasus di Desa Pallantikang, Kecamatan Pattalassang, Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem, Vol. 8 No. 1, Juni 2012. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Gowa.Suseno, Djoko dan Hempri Suyatna. 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro Petani. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume L0, Nomor 3, Maret 2007. Yogyakarta: Fakultas llmu Sosial dan IImu Politik, Universitas Gadjah Mada.Swastika, Dewa Ketut Sadra. 2011. Membangun Kemandirian dan Kedaulatan Pangan Untuk Mengentaskan Petani dari Kemiskinan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.