1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Reaksi substitusi nukleofilik pada alkil halida adalah reaksi yang melibatkan pergantian atom halogen pada alkil halida (RX) dengan nukleofil (Nu - ) yang berbeda, dimana halogen yang digantikan lepas sebagai ion halida. Reaksi substitusi nukleofilik dibedakan menjadi substitusi nukleofilik unimolekuler (S N 1) dan substitusi nukleofilik bimolekuler (S N 2). Reaksi S N 1 melibatkan nukleofil lemah seperti H 2 O, dan berlangsung pada alkil halida tersier karena karbokation tersier distabilkan oleh tiga gugus alkil. Jika nukleofil yang terlibat merupakan nukleofil kuat, dan substrat berupa alkil halida primer dan sekunder maka reaksi S N 1 tidak dapat terjadi, melainkan menempuh mekanisme S N 2. Pada makalah ini penulis akan memaparkan tentang reaksi S N 2 meliputi mekanisme reaksi, laju reaksi, stereokimia, pengaruh gugus pergi, dan pengaruh pelarut. Reaksi S N 2 umumnya berlangsung secara cepat tanpa melalui pembentukan zat antara, terjadi penyerangan nukleofil terhadap alkil halida dari posisi yang berlawanan dengan posisi gugus pergi (suatu halogen), terjadi inversi Walden atau inversi konfigurasi. Berikut merupakan reaksi S N 2 secara umum:
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Reaksi substitusi nukleofilik pada alkil halida adalah reaksi yang
melibatkan pergantian atom halogen pada alkil halida (RX) dengan nukleofil (Nu-)
yang berbeda, dimana halogen yang digantikan lepas sebagai ion halida. Reaksi
substitusi nukleofilik dibedakan menjadi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1)
dan substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2).
Reaksi SN1 melibatkan nukleofil lemah seperti H2O, dan berlangsung pada
alkil halida tersier karena karbokation tersier distabilkan oleh tiga gugus alkil. Jika
nukleofil yang terlibat merupakan nukleofil kuat, dan substrat berupa alkil halida
primer dan sekunder maka reaksi SN1 tidak dapat terjadi, melainkan menempuh
mekanisme SN2.
Pada makalah ini penulis akan memaparkan tentang reaksi SN2 meliputi
mekanisme reaksi, laju reaksi, stereokimia, pengaruh gugus pergi, dan pengaruh
pelarut. Reaksi SN2 umumnya berlangsung secara cepat tanpa melalui
pembentukan zat antara, terjadi penyerangan nukleofil terhadap alkil halida dari
posisi yang berlawanan dengan posisi gugus pergi (suatu halogen), terjadi inversi
Walden atau inversi konfigurasi. Berikut merupakan reaksi SN2 secara umum:
keadaan transisi
Gambar 1. Reaksi SN2 secara umum
Keterangan:
R-X : substrat
X : gugus pergi
Z : nukleofil
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah
dari makalah ini antara lain:
2
I.2.1. Bagaimanakah mekanisme reaksi dan laju reaksi SN2?
I.2.2. Bagaimanakah stereokimia reaksi SN2?
I.2.3. Bagaimanakah pengaruh gugus pergi terhadap reaksi SN2?
I.2.4. Bagaimanakah pengaruh pelarut terhadap reaksi SN2?
I.3. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan
masalah, maka tujuan dari makalah ini antara lain:
I.3.1. Mengetahui mekanisme reaksi dan laju reaksi SN2
I.3.2. Mengetahui stereokimia reaksi SN2
I.3.3. Mengetahui pengaruh gugus pergi terhadap reaksi SN2
I.3.4. Mengetahui pengaruh pelarut terhadap reaksi SN2
II. ISI
II.1. Mekanisme dan Laju Reaksi SN2
Definisi
Reaksi Substitusi Nukleofilik pada Alkil Halida
Reaksi yang melibatkan pergantian atom halogen pada alkil halida (RX)
dengan nukleofil (Nu-) yang berbeda, dimana halogen yang digantikan lepas
sebagai ion halida.
Gambar 2. Reaksi Substitusi Nukleofilik Alkil Halida
Reaksi Substitusi Nukleofilik Bimolekular (SN2)
Reaksi SN2 merupakan reaksi substitusi nukleofilik (ditunjukkan oleh
lambang SN) bimolekular (ditunjukkan oleh angka 2). Reaksi disebut bimolekular
karena pada keadaan transisi terlibat dua partikel (RX dan Nu-), kedua partikel ini
juga menentukan laju reaksinya.
3
Mekanisme Reaksi SN2
Secara umum, ciri mekanisme reaksi SN2 meliputi:
1. Reaksi berlangsung dalam 1 tahap tanpa ada zat antara namun terdapat
keadaan transisi.
2. Penyerangan Nu- terhadap RX dari posisi yang berlawanan dengan posisi
gugus pergi (suatu halogen).
3. Terjadi inversi Walden/ inversi konfigurasi .
Perhatikan reaksi berlangsung untuk metil iodida dengan ion hidroksida berikut:
Keadaan Transisi
Gambar 3. Mekanisme Reaksi SN2 pada Metil Iodida
Reaksi yang terjadi antara metil iodida dengan ion hidroksida merupakan
salah satu contoh reaksi SN2. Ion hidroksida (OH-) berperan sebagai nukleofil
yang menggunakan salah satu pasangan elektron bebasnya (PEB) untuk
membentuk ikatan baru dengan atom karbon ujung (Cα) pada metil iodida. Pada
saat yang bersamaan, ikatan antara C-I terputus. Sepasang elektron yang
membentuk ikatan pada C-I tersebut mengarah ke atom I untuk membentuk empat
pasangan elektron bebas dan muatan negatif.
Pada keadaan transisi, terbentuk ikatan baru antara C-OH secara parsial
dan bersamaan dengan itu ikatan C-I terputus pula secara parsial. Dalam
prosesnya, OH- mendekati atom karbon ujung (Cα) dari sisi belakang (sisi
berlawanan dengan posisi gugus pergi, I). Hal ini terjadi karena OH- dan I- sama-
sama memiliki muatan negatif maka untuk meminimalkan tolakan keduanya
diambil posisi sejauh mungkin. Selain itu, jika ditinjau dari sudut pandang
orbitalnya, orbital dari nukleofil (OH-) akan overlap dengan orbital antibonding
dari ikatan C-I. Sejalan dengan meningkatnya interaksi overlap (pembentukan
ikatan) antara orbital OH- dengan antibonding ikatan C-I, interaksi ikatan C-I
4
semakin melemah sampai keadaan transisi terlampaui. Secara geometri orbital,
posisi nukleofil (OH-) harus berada pada posisi yang berlawanan.
Gambar 4. Mekanisme Reaksi SN2 Menggunakan Orbital Molekul
Pada akhir reaksi terjadi inversi Walden, yaitu pembalikan pusat karbon (carbon
center) dari posisi awal. Dapat dianalogikan seperti payung yang terbalik.
Gambar 5. Inversi Konfigurasi Secara Umum
Laju Reaksi SN2
Setiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati
keadaan transisi, baik stukturnya maupun energinya. Agar suatu reaksi dapat
mulai terjadi, beberapa molekul atau ion yang bertabrakan dalam wadah harus
memiliki energy yang cukup untuk mencapai keadaan transisi pada waktu
bertabrakan, energy ini disebut energy aktifasi (Eakt). Hanya molekul yang
memiliki energy sama atau lebih besar dari Eakt yang dapat membentuk produk.
ReaktanCH3I + -OH
Produk CH3OH + I-
Eakt
∆H
H
C OHI
HH
-
Energi
Progres reaksi
5
Gambar 6. Grafik Energi Reaksi SN2
Pengaruh Eakt terhadap laju reaksi adalah semakin rendah Eakt, maka laju
reaksi semaki cepat karena semakin sedikit energy yang diperlukan untuk terjadi
reaksi dan semakin banyak molekul yang memiliki cukup energy untuk bereaksi.
Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi Eakt maka keadaan transisi akan lambat
dicapai dan laju reaksi berlangsung lambat.
Laju reaksi merupakan penurunan konsentrasi reaktan per satuan waktu
atau bertambahnya konsentrasi produk per satuan waktu. Laju reaksi bergantung
pada banyak variabel, seperti konsentrasi reaktan, suhu, penambahan katalis,
ukuran partikel dan tekanan. Beberapa variabel tersebut dapat dibuat konstan
untuk suatu eksperimen tertentu. Dalam bab ini, variabel utama yang diperhatikan
adalah konsentrasi pereaksi dan struktur pereaksi.
a. Pengaruh konsentrasi pereaksi terhadap laju reaksi
Pada reksi SN2 laju reaksi bergantung pada konsentrasi kedua partikel,
yaitu konsentrasi nukleofil dan konsentrasi alkil halida. Laju reaksi yang
dipengaruhi oleh konsentrasi kedua reaktan disebut reaksi orde kedua. Menambah
konsentrasi yang mengalami reaksi SN2 akan menambah laju terbentuknya produk
6
karena meningkatkan intensitas tumbukan antara molekul molekul (nukleofil
dengan alkil halida).
Laju SN2 = k [alkil halida] [Nu-]
Dalam persamaan ini [alkil halida] dan [Nu-] menyatakan konsentrasi masing-
masing partikel dalam mol/L, k merupakan tetapan laju (rate constant) yang
harganya sama untuk kondisi eksperimen dan reaksi yang sama.
b. Pengaruh struktur pereaksi terhadap laju reaksi
Alkil halida memiliki 4 tipe, yaitu metil halida, alkil halida primer, alkil
halida sekunder dan alkil halida tersier. Keempat tipe ini memiliki laju reaksi SN2
yang berbeda jika diukur pada kondisi reaksi yang sama (suhu, konsentrasi dan
pelarut). Tabel berikut menunjukkan laju relative rata-rata (dibandingkan dengan
etil halida) dari reaksi sejumlah alkil halida.
Tabel 1. Laju relatif alkil halida
Alkil Halida Laju Relatif
CH3X 30
CH3CH2X 1
CH3CH2CH2X 0,4
CH3CH2CH2CH2X 0,4
(CH3)2CHX 0,025
(CH3)3CX ~0
(Fessenden & Fessenden, Kimia Organik Jilid 1:179)
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa laju reaksi tertinggi
ditunjukkan oleh metil halida, kemudian alkil halida primer, alkil halida sekunder.
Alkil halida tersier tidak bereaksi SN2.
Perbedaan laju reaksi ini diakibatkan oleh kemudahan nukleofil dalam
menyerang atom C ujung (Cα). Bertambahya jumlah gugus alkil yang terikat pada
atom karbon ujung maka pada keadaan transisinya semakin berjejal dengan atom
sehinggan nukleofil sulit untuk menyerang. Jejalan ruang dalam pada suatu
struktur disebut rintangan sterik. Jika gugus-gugus besar berjejalan pada suatu
ruang sempit maka semakin besar tolakan antar gugus-gugus besar tersebut
7
sehingga energy system semakin besar. Semakin besar rintangan sterik dari alkil
halida maka semakin lambat reaksi SN2 berlangsung.
c. Pengaruh nukleofilitas terhadap laju reaksi SN2
Pada reaksi SN2 semakin kuat nukleofilitas maka laju reaksi semakin cepat karena
keadaan transisi semakin cepat terbentuk. Tabel berikut menunjukkan korelasi
antara nukleofilitas dengan laju reaksi SN2.
Tabel 2. Korelasi Nukleofilitas dengan Laju Reaksi SN2
Nukleofil pKa dari asam
konjugasi
k (konstanta reaksi
orde 2)
Log k
CH3O- 15,1 2,5 x 10-4 -3,6
PhO- 9,95 7,9 x 10-5 -4,1-CN 9,4 6,3 x 10-4 -3,2
AcO- 4,76 2,7 x 10-6 -5,6
N3- 4,72 7,8 x 10-5 -4,1
F- 3,2 5,0 x 10-8 -7,3
SO42- 2,0 4,0 x 10-7 -6,4
NO3- -1,2 5,0 x 10-9 -8,3
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai pKa maka
semakin kuat sifat kebasaan nukleofil maka laju reaksi SN2 semakin cepat karena
keadaan transisi cepat terlampaui. Hal ini berlaku jika pusat nukleofilitasnya
berada pada periode yang sama.
Jika pusat nukleofil pada periode yang berbeda (dalam satu golongan) maka
nukleofilitas lebih dipengaruhi oleh polarizabilitas. Semakin besar jari-jari atom
maka jarak antara elektron valensi terhadap inti atom semakin besar menyebabkan
tarikan inti melemah sehingga polarisabilitasnya besar dan nukleofilitasnya besar.
Hal tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut:
8
Gambar 7. Polarizabilitas Pada Nukleofil Ion Halida
II.2. Stereokimia Reaksi SN2
Pada mekanisme reaksi SN2, jika nukleofil menyerang karbon tetrahedral
dari arah depan (front-side attack) atau arah yang sama terhadap kedudukan gugus
pergi, maka akan terbentuk produk yang memiliki retensi konfigurasi. Jika
nukleofil menyerang karbon tetrahedral dari arah belakang (back-side attack) atau
arah yang berlawanan terhadap kedudukan gugus pergi, maka akan terbentuk
produk yang memiliki inversi konfigurasi.
Front-side attack:
Gambar 8. Frontside Attack pada Reaksi SN2 Secara Umum
9
Back-side attack:
Gambar 9. Backside Attack pada Reaksi SN2 Secara Umum
Menurut seorang ahli kimia Jerman, Paul Walden, umumnya hasil
eksperimen dari reaksi SN2 menghasilkan produk yang memiliki inversi
konfigurasi (inversi Walden). Hal ini juga dibuktikan dengan eksperimen-
eksperimen yang dilakukan oleh E. D. Hughes dan C. K. Ingold bahwa reaksi SN2
menghasilkan produk yang memiliki inversi konfigurasi, sehingga reaksi SN2
berlangsung dengan penyerangan nukleofil terhadap karbon tetrahedral dari arah
belakang (back-side attack). Alasan penyerangan nukleofil terhadap karbon
tetrahedral dari arah belakang umunya terjadi karena kedudukan gugus pergi
menghalangi penyerangan nukleofil jika serangan terjadi dari arah depan.
Gambar 10. Penjelasan Frontside dan Backside Attack
Jika ditinjau dari sudut pandang orbitalnya, ketika nukleofil menyerang
dari arah depan, orbital dari nukleofil akan membentuk overlap bonding dan
antibonding dengan ikatan C-X (alkil halida), sehingga overlap antibonding pada
ikatan C-X akan menggagalkan overlap bonding dari nukleofil dengan karbon
tetrahedral, sehingga ikatan antara nukleofil dan karbon tetrahedral tidak dapat
terjadi. Sedangkan ketika nukleofil menyerang dari arah belakang, orbital dari
nukleofil akan membentuk overlap bonding dengan ikatan C-X (alkil halida).
Dengan meningkatnya interaksi overlap, maka akan terbentuk ikatan antara
nukleofil dengan karbon tetrahedral.
10
Front-side attack
Gambar 11. Frontside Attact of Orbital of The C-L bond
Back-side attack
Gambar 12. Backside Attact of Orbital of The C-L bond
Ketika nukleofil menyerang karbon tetrahedral dari arah belakang, maka
keadaan transisi yang terbentuk melibatkan proses rehibridisasi sementara atom
karbon, dari hibridisasi sp3 ke sp2 dan akhirnya kembali ke hibridisasi sp3. Dalam
keadaan transisi, atom karbon mempunyai hibridisasi sp2 dan 3 substituennya
berada pada bidang datar. Dengan 3 substituennya berada pada bidang datar, maka
semua substituen yang terikat pada atom karbon berada pada jarak yang
maksimal, sehingga efek tolakan elektron berkurang. Sejalan dengan
meningkatnya interaksi overlap (pembentukan ikatan) antara orbital nukleofil
dengan antibonding ikatan C-X, interaksi ikatan C-X semakin melemah sehingga
X- (gugus pergi) lepas.
Kereaktifan Gugus Pergi
11
Gambar 13. Mekanisme Inversi Konfigurasi
Pada akhir reaksi terjadi inversi Walden atau inversi konfigurasi, yaitu
pembalikan pusat karbon (carbon center) dari posisi awal. Dapat dianalogikan
seperti payung yang terbalik.
II.3. Pengaruh Gugus Pergi Terhadap Reaksi SN2
Reaksi SN2 tidak hanya dipengaruhi oleh struktur alkil halida dan pelarut
yang digunakan, namun juga dipengaruhi oleh gugus pergi pada alkil halida. Pada
subbab ini akan dibahas bagaimana pengaruh gugus pergi terhadap reaksi SN2.
Kereaktifan reaksi SN2 bergantung pada energi ikatan karbon-halogen dan
kebasaan ion halida. Gugus pergi pada reaksi SN2 ini adalah golongan halogen.
Murry (2008:369) menyatakan bahwa “the best leaving group are those that the
best stabilize the negative charge in transition state”. Berdasarkan penjelasan
Muury, gugus pergi yang baik adalah gugus yang mampu menstabilkan muatan
negatif saat keadaan transisi. Semakin besar kemampuan gugus pergi untuk
menstabilkan muatan negatif pada saat keadaan transisi maka dapat menghasilkan
energi yang rendah pada keadaan transisi sehingga reaksi SN2 dapat berlangsung
lebih cepat. Gugus yang memiliki kemampuan menstabilkan muatan negatif
adalah basa-basa yang paling lemah. Berikut ini merupakan urutan kereaktifan
gugus pergi pada reaksi SN2:
OH- NH2- OR- F- Cl- Br- I- TosO-
Gugus pergi OH- NH2- OR- adalah gugus pergi yang paling lemah
karena gugus-gugus tyersebut merupakan basa kuat, sehingga kemungkinan kecil
untuk terjadinya reaksi SN2. Gugus pergi berupa ion halida seperti F- Cl- Br- I-
12
memiliki kereaktifan yang meningkat, sehingga dapat diketahui bahwa alkil
iodida yang merupakan gugus pergi yang paling baik diantara alkil halida lainnya.
Kereaktifan gugus pergi dapat dilihat dari kebasaan dan energi ikat alkil
halidanya. Berikut ini merupakan data kebasaan yang dilihat dari nilai pKa anion
halida:
Tabel 3. Kereaktifan Gugus Pergi dilihat dari nilai pKaNo. Gugus Pergi pKa dari Asam