Top Banner
2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dengan penduduk yang tersebar luas dan wilayah yang terdiri dari banyak pulau membutuhkan jaringan transportasi yang baik dan tepat untuk menghubungkan pulau-pulau yang ada di dalam wilayahnya agar setiap penduduk mudah dalam menjalankan aktifitasnya. Selain itu, ketersediaan infrastruktur sebagai faktor pendukung dalam trasportasi adalah keharusan. Saat ini di dunia, infrastruktur transportasi yang berfungsi sebagai penghubung antar tempat adalah jembatan konvensional yang berada di atas permukaan air atau inmerge dan tunnel underground. Keduanya baik dari segi pengerjaan maupun biaya membutuhkan waktu pengerjaan yang cukup lama dan biaya yang tidak murah. Oleh karena itu, muncul sebuah ide baru dalam dunia Teknik Sipil untuk membuat suatu jembatan penyeberangan yang berbeda dengan jembatan yang telah ada di dunia. Ide baru tesebut adalah jembatan dengan sistem SFT (Submerge Floating Tunnel) atau terowongan layang bawah air. Struktur jembatan dengan sistem SFT merupakan struktur yang belum pernah dibuat di dunia. Beberapa negara masih melakukan penelitian tentang struktur ini, salah satunya adalah Indonesia. Beberapa negara lain yang juga sedang melakukan penelitian tentang struktur ini diantaranya adalah Norwegia, Italia, Jepang dan Cina. Struktur jembatan dengan sistem SFT merupakan pengembangan dari infrastruktur yang telah lama ada. Secara umum sistem ini mendapatkan bantuan kekuatan dari pengaruh uplift (gaya apung) akibat berada di dalam air sehingga sistem ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan jembatan inmerge dan tunnel underground karena gaya uplift tersebut akan dijadikan alat bantu untuk menghilangkan lendutan ke bawah tunnel SFT akibat berat sendirinya. Dari segi volume pengerjaan, SFT tidak memiliki volume terlalu banyak karena tidak perlu membuat tiang pancang seperti pada jembatan inmerge. Pada sistem ini akan digunakan kabel dengan sistem mooring untuk memperkaku posisi tunnel SFT di dalam laut. Bentuk dan susunan kabel yang akan digunakan sangat mempengaruhi perilaku struktur SFT. Pada dasarnya bentuk dan susunan kabel tersebut harus kuat menahan gaya uplift yang terjadi pada struktur akibat berada dalam air laut dan kuat menahan struktur agar tidak terlalu bergoyang ketika menerima beban gelombang dan arus air laut yang terjadi secara terus menerus. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi atau penelitian tentang konfigurasi kabel tersebut untuk mendapatkan bentuk dan susunan yang paling efektif bagi struktur SFT. Ada 6 (enam) bentuk dan susunan kabel yang sedang diteliti oleh negara-negara yang ikut meneliti tentang SFT ini, dimana keenam bentuk tersebut dibuat oleh seorang peneliti dari Jepang yang bernama Profesor Maeda (Maeda, 1994). Keenam bentuk kabel tersebut telah menjadi acuan bagi seluruh negara peneliti struktur SFT untuk mencari bentuk dan susunan kabel yang paling efektif. Selain dari keenam konfigurasi tersebut, terdapat gagasan lain untuk membuat konfigurasi kabel yang sama dengan jembatan kabel konvensional, tapi Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meneliti sistem ini hanya ingin meneliti konfigurasi kabel yang telah dibuat oleh Profesor Maeda (Maeda, 1994). Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut dalam penelitian SFT berencana membangun SFT tersebut sebagai penghubung antara Pulau Panggang dan Pulau Karya di Kepulauan Seribu dengan bentang 150 meter. 1.2. Rumusan Masalah Agar tujuan dari penelitian yang dilakukan yaitu tentang konfigurasi kabel pada Submerged Floating Tunnel dapat terlaksana dengan baik maka dibuat rincian permasalahan yang diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi perairan/lingkungan dari 2 (dua) pulau yang akan dihubungkan dengan SFT. 2. Beban-beban apa saja yang akan terjadi dan bagaimana menghitung beban-beban tersebut pada struktur SFT. 3. Bagaimana memodelkan SFT dengan bantuan finite element software. 4. Bagaimana kelakuan dinamis kabel dan gaya- gaya dalam pada struktur SFT saat menerima beban hidrodinamik dan berat sendiri. 5. Bagaimana konfigurasi kabel yang paling efektif pada struktur SFT 1.3. Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah mencari bentuk dan susunan kabel yang paling cocok, aman dan ekonomis bagi Submerged Floating Tunnel (SFT) yang merupakan alternatif sarana transportasi antar pulau, dengan rincian tujuannya adalah sebagai berikut:
45

Makalah SFT

Dec 03, 2015

Download

Documents

Fandy Sipata

Study of SFT
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah SFT

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dengan penduduk yang tersebar

luas dan wilayah yang terdiri dari banyak pulau

membutuhkan jaringan transportasi yang baik dan

tepat untuk menghubungkan pulau-pulau yang ada

di dalam wilayahnya agar setiap penduduk mudah

dalam menjalankan aktifitasnya. Selain itu,

ketersediaan infrastruktur sebagai faktor

pendukung dalam trasportasi adalah keharusan.

Saat ini di dunia, infrastruktur transportasi yang

berfungsi sebagai penghubung antar tempat adalah

jembatan konvensional yang berada di atas

permukaan air atau inmerge dan tunnel

underground. Keduanya baik dari segi pengerjaan

maupun biaya membutuhkan waktu pengerjaan

yang cukup lama dan biaya yang tidak murah.

Oleh karena itu, muncul sebuah ide baru dalam

dunia Teknik Sipil untuk membuat suatu jembatan

penyeberangan yang berbeda dengan jembatan

yang telah ada di dunia. Ide baru tesebut adalah

jembatan dengan sistem SFT (Submerge Floating

Tunnel) atau terowongan layang bawah air.

Struktur jembatan dengan sistem SFT

merupakan struktur yang belum pernah dibuat di

dunia. Beberapa negara masih melakukan

penelitian tentang struktur ini, salah satunya adalah

Indonesia. Beberapa negara lain yang juga sedang

melakukan penelitian tentang struktur ini

diantaranya adalah Norwegia, Italia, Jepang dan

Cina. Struktur jembatan dengan sistem SFT

merupakan pengembangan dari infrastruktur yang

telah lama ada.

Secara umum sistem ini mendapatkan

bantuan kekuatan dari pengaruh uplift (gaya

apung) akibat berada di dalam air sehingga sistem

ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan

jembatan inmerge dan tunnel underground karena

gaya uplift tersebut akan dijadikan alat bantu untuk

menghilangkan lendutan ke bawah tunnel SFT

akibat berat sendirinya. Dari segi volume

pengerjaan, SFT tidak memiliki volume terlalu

banyak karena tidak perlu membuat tiang pancang

seperti pada jembatan inmerge.

Pada sistem ini akan digunakan kabel

dengan sistem mooring untuk memperkaku posisi

tunnel SFT di dalam laut. Bentuk dan susunan

kabel yang akan digunakan sangat mempengaruhi

perilaku struktur SFT. Pada dasarnya bentuk dan

susunan kabel tersebut harus kuat menahan gaya

uplift yang terjadi pada struktur akibat berada

dalam air laut dan kuat menahan struktur agar tidak

terlalu bergoyang ketika menerima beban

gelombang dan arus air laut yang terjadi secara

terus menerus. Oleh karena itu, perlu dilakukan

studi atau penelitian tentang konfigurasi kabel

tersebut untuk mendapatkan bentuk dan susunan

yang paling efektif bagi struktur SFT. Ada 6

(enam) bentuk dan susunan kabel yang sedang

diteliti oleh negara-negara yang ikut meneliti

tentang SFT ini, dimana keenam bentuk tersebut

dibuat oleh seorang peneliti dari Jepang yang

bernama Profesor Maeda (Maeda, 1994). Keenam

bentuk kabel tersebut telah menjadi acuan bagi

seluruh negara peneliti struktur SFT untuk mencari

bentuk dan susunan kabel yang paling efektif.

Selain dari keenam konfigurasi tersebut, terdapat

gagasan lain untuk membuat konfigurasi kabel

yang sama dengan jembatan kabel konvensional,

tapi Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut

meneliti sistem ini hanya ingin meneliti

konfigurasi kabel yang telah dibuat oleh Profesor

Maeda (Maeda, 1994).

Indonesia sebagai salah satu negara yang

ikut dalam penelitian SFT berencana membangun

SFT tersebut sebagai penghubung antara Pulau

Panggang dan Pulau Karya di Kepulauan Seribu

dengan bentang 150 meter.

1.2. Rumusan Masalah

Agar tujuan dari penelitian yang dilakukan

yaitu tentang konfigurasi kabel pada Submerged

Floating Tunnel dapat terlaksana dengan baik

maka dibuat rincian permasalahan yang diuraikan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi perairan/lingkungan dari 2

(dua) pulau yang akan dihubungkan dengan

SFT.

2. Beban-beban apa saja yang akan terjadi dan

bagaimana menghitung beban-beban tersebut

pada struktur SFT.

3. Bagaimana memodelkan SFT dengan bantuan

finite element software.

4. Bagaimana kelakuan dinamis kabel dan gaya-

gaya dalam pada struktur SFT saat menerima

beban hidrodinamik dan berat sendiri.

5. Bagaimana konfigurasi kabel yang paling

efektif pada struktur SFT

1.3. Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah

mencari bentuk dan susunan kabel yang paling

cocok, aman dan ekonomis bagi Submerged

Floating Tunnel (SFT) yang merupakan alternatif

sarana transportasi antar pulau, dengan rincian

tujuannya adalah sebagai berikut:

Page 2: Makalah SFT

3

1. Mengetahui kondisi perairan/lingkungan dari

2 (dua) pulau yang akan dihubungkan dengan

SFT

2. Mengetahui beban-beban yang terjadi pada

struktur SFT.

3. Membuat pemodelan struktur SFT dengan

bantuan finite element software.

4. Menganalisa kelakuan dinamis dan gaya-gaya

dalam pada struktur SFT akibat menerima

beban hidrodinamik dan berat sendiri.

5. Mengetahui konfigurasi kabel yang paling

efektif pada struktur SFT.

1.4. Batasan Masalah

Penelitian SFT (Submerged Floating

Tunnel) ini sangatlah luas, maka dari itu agar

diperoleh hasil yang lebih akurat, perlu diberikan

batasan-batasan dalam menganalisa masalah.

Batasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Studi ini menggunakan peraturan SNI

(Standar Nasional Indonesia)/BMS (Bridge

Management System), Peraturan Beton

Indonesia 1971 (PBI 1971) dan API

(American Petroleum Institute).

2. Studi ini merupakan studi kasus dengan

menempatkan SFT di Kepulauan Seribu,

sehingga kondisi lingkungan yang dipakai

adalah kondisi lingkungan di Kepulauan

Seribu yaitu perairan antara Pulau Panggang

dan Pulau Karya.

3. Riset mengenai SFT (Submerged Floating

Tunnel) dilakukan secara kelompok sehingga

dalam studi tentang konfigurasi kabel ini

beban gempa tidak dimasukkan dalam

penelitian ini.

4. Hanya dilakukan studi konfigurasi kabel hasil

modifikasi dari 6 (enam) konfigurasi kabel

yang telah dibuat oleh Profesor Maeda

(Maeda, 1994) sehingga studi konfigurasi

kabel yang sama dengan konfigurasi kabel

pada jembatan kabel konvensional tidak

dimasukkan dalam penelitian ini.

5. Tidak dilakukan desain dan analisis perletakan

pada bentang tunnel SFT serta tidak dilakukan

juga analisa dinamis pada dinding tunnel SFT

pada studi ini.

1.5. Manfaat

Penelitian dengan judul “Studi Konfigurasi

Kabel pada Submerged Floating Tunnel (SFT)” ini

merupakan penelitian yang diharapkan dapat

meningkatkan daya saing dan mutu mahasiswa di

Indonesia khususnya mahasiswa ITS (Institut

Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya agar

sejajar di tingkat internasional. Penelitian

mengenai SFT ini masih jarang dilakukan sehingga

pemikiran-pemikiran yang inovatif perlu dilakukan

agar penelitian ini berhasil dengan baik. Hasil

penelitian ini dikhususkan juga untuk menambah

referensi bagi mahasiswa di bidang Teknik Sipil

bahwa jembatan tidak hanya yang konvensional

saja, tetapi juga ada inovasi baru dengan membuat

terowongan melayang sebagai jembatan antar

pulau. Selain itu penelitian ini juga dapat

meningkatkan pengetahuan penulis dalam

menganalisa struktur yang berada pada daerah

perairan laut atau struktur yang mendapat pengaruh

hydrodinamik.

Penelitian ini diharapkan mempunyai efek

diseminasi yaitu:

a. Bagi masyarakat

Masyarakat dapat menikmati adanya

kemudahan untuk menyeberang antar pulau

sehingga komunikasi akan lebih lancar karena

dengan kemudahan akses tansportasi maka

diharapkan adanya peningkatan tingkat

kesejahteraan masyarakat.

b. Bagi ekonomi

Transportasi masyarakat di daerah

tempat dibangunnya SFT tersebut menjadi

terbuka dengan daerah sekitarnya, yang

berarti ada perputaran roda ekonomi yang

lebih baik dan mempercepat pertumbungan

pembangunan nasional

c. Bagi industri.

Diharapkan dengan melakukan

penelitian ini, akan didapatkan model SFT

yang lebih murah dibandingkan dengan

jembatan konvensional sehingga pihak

perencana maupun kontaktor bisa membuat

alternatif ini untuk menghubungkan pulau-

pulau yang banyak dimiliki negara Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Submerged Floating Tunnel (SFT) adalah

jembatan berbentuk terowongan melayang dalam

laut penghubung antara dua pulau. Pada model,

struktur SFT ditahan oleh kabel, dimana kabel

yang berbentuk segitiga, sehingga bisa menahan

gaya horisontal dari semua sisi, sedangkan gambar

yang kedua SFT diberi sabuk dan ditahan oleh

kabel-kabel dalam posisi horizontal.

Page 3: Makalah SFT

4

Secara umum, gaya yang terjadi pada

struktur SFT sama dengan prinsip hukum

Archimedes (Wikipedia, 2010), dimana benda yang

berada dalam air akan mendapat gaya tekanan ke

atas dari air tersebut. Ilustrasi hukum Archimedes

yang juga terjadi pada struktur SFT dapat dilihat

pada gambar di bawah ini :

. Oleh karena itu, pada struktur SFT akan

dipasang kabel baja untuk menahan badan

penampang SFT agar tetap kokoh dan walaupun

mengalami pergoyangan akibat beban lingkungan,

struktur SFT tidak akan mengalami pergoyangan

yang berlebihan.

2.2 Metode Perencanaan

Struktur SFT merupakan struktur lepas

pantai sehingga dalam perencanaannya hampir

sama dengan bangunan-bangunan lepas pantai

lainnya seperti struktur offshore atau rig. Dalam

sistem perencanaan sruktur SFT di Indonesia, akan

digunakan peraturan SNI 03-2847-2002, SNI 03-

1729-2002, BMS (Bridge Management System)

dan juga API (American Petroleum Institute) RP

2A ataupun API RP 2T 1997 yang lazim

digunakan dalam perencanaan struktur offshore.

Perencanaan struktur SFT memiliki beberapa

perbedaan dengan struktur offshore lainnya seperti

pemanfaatan gaya apung (buoyancy) untuk

mengurangi beban struktur yang terjadi pada SFT

bahkan gaya apung tersebut diasumsikan lebih

besar daripada beban struktur SFT itu sendiri agar

lendutan ke bawah akibat berat sendiri tunnel SFT

yang terlalu besar dapat dihilangkan. Dalam

kondisi seperti itu, struktur SFT akan ditahan oleh

kabel-kabel baja untuk menyeimbangkan posisi

strukturnya dan menjaga agar struktur dari tunnel

SFT tetap dalam keadaan melayang. Kabel baja ini

juga berfungsi untuk menahan atau

menyeimbangkan struktur SFT jika terkena

pengaruh beban luar atau pengaruh akibat

lingkungan seperti tekanan gelombang dan arus air

laut.

Bentuk dan susunan kabel sangat

berpengaruh pada struktur SFT agar kuat menahan

struktur SFT supaya tetap kaku dan tidak

menghasilkan biaya yang besar dalam

pemasangannya nanti, oleh karena itu penelitian ini

akan mencari bentuk kabel yang paling efektif bagi

struktur SFT yang akan dibangun di Indonesia.

Sebelum menentukan bentuk kabel yang paling

efektif pada struktur SFT yang akan dibangun di

Indonesia, perlu diketahui hal-hal yang harus

diperhatikan dalam perencanaannya agar bentuk

kabel yang diteliti nantinya benar-benar efektif

bagi struktur SFT yang akan dibangun.

2.2.1 Ratio Gaya Apung dan Berat Sendiri

Sebuah patokan kriteria desain dari

Mazzolani (Mazzolani, 2007) bahwa perbandingan

antara gaya uplift dengan beban permanen dan

beban lalu lintas dari SFT adalah sekitar 120%

sampai 130%. Namun demikian, pada kondisi

tertentu beban SFT tidaklah begitu berat

dibandingkan gaya apungnya, maka dalam kondisi

ini ratio 120% bisa digunakan. Perbandingan gaya

apung dan berat sendiri adalah:

W

UrU (1)

Dimana :

W = berat sendiri SFT (kg/m)

U = gaya apung pada penampang SFT (kg/m),

akan dihitung pada Persamaan 3

Rasio dari persamaan di atas harus memenuhi

kriteria gaya apung SFT yaitu antara 1,2 – 1,3 kali

berat SFT.

Apabila berat fasilitas di dalam rongga SFT

seperti balok, lantai dan sebagainya diasumsikan

sebesar 30% dari berat SFT, maka untuk

menghitung berat dari tunnel adalah sebagai

berikut :

CCAW 3.1 [kN/m] (2)

Dimana :

AC = luas penampang beton bertulang (m2)

C = berat jenis beton bertulang (25 kN/m3)

Sedangkan untuk menghitung besarnya gaya uplift

yang terjadi pada struktur SFT digunakan

persamaan sebagai berikut :

wTAU [kN/m] (3)

Dimana

AT = luas seluruh penampang (m2)

w = berat jenis air laut (10,3 kN/m3)

Luas dari penampang struktur SFT nantinya

juga akan memperhatikan efek dari marine growth

yang mengakibatkan pertambahan luas secara

melintang atau pertambahan luas pada penampang

SFT itu sendiri karena struktur SFT adalah struktur

yang terbenam di dalam air yang akan

mendapatkan efek dari marine growth namun efek

tersebut tergantung pada letakpenempatan SFT

dari dasar laut jika semakin dalam maka pengaruh

dari marine growth akan semakin kecil.

Page 4: Makalah SFT

5

2.2.2 Konsep Sistem SFT

Konsep dasar yang digunakan untuk

mendesain kekuatan struktur SFT adalah struktur

badan SFT disatukan dengan approach tunnel.

Bagian sambungan yang mengakomodasi

pergerakan (akibat pemuaian, gempa, tsunami,

dsb.) adalah antara approach dengan struktur darat

di atas permukaan air (misal: abutment). Hal ini

dimaksudkan agar bagian sambungan yang flexible

tidak harus didesain kedap air. Dengan konsep ini,

modul SFT dan approach merupakan kesatuan

yang ditahan oleh sistem mooring.

Selain sistem mooring, ada sistem lain yang

bisa dilakukan untuk mendapatkan jembatan

melayang yaitu dengan sistem pontoon. Biasanya

sistem ini juga digabung dengan sistem mooring.

Dalam penelitian untuk mendapatkan

konfigurasi kabel yang paling efektif ini, SFT

dianggap sebagai sistem mooring karena pada

sistem mooring pengaruh kabel lebih besar

dibandingkan pada sistem pontoon selain itu sistem

mooring inilah yang rencananya akan dibangun di

Indonesia.

Pada umumnya, konsep sistem SFT hampir

mirip dengan konsep struktur bangunan offshore

dengan sistem TLP (Tension Leg Platform).

Konsep struktur offshore dengan sistem TLP ini

juga menggunakan kabel tendon atau tali jangkar

yang lebih dikenal dengan istilah tether untuk

menjaga stabilitas strukturnya terhadap beban

lingkungan dimana struktur ini biasanya digunakan

untuk melakukan eksplorasi minyak di laut yang

kedalamannya lebih dari 500 m, tapi struktur TLP

direncanakan lebih flexible terhadap beban

lingkungan dibandingkan dengan struktur SFT

yang direncanakan lebih kaku. Struktur offshore

dengan sistem TLP dapat dilihat pada gambar di

bawah ini :

Sistem TLP dengan kabel tendon

menggunakan sistem mooring pada pemasangan

kabelnya tapi tetap menggunakan sistem pontoon

pada strukturnya untuk memperbesar buoyancy

agar struktur TLP bisa lebih flexible dalam

menerima atau menahan beban gelombang, arus

dan angin.

2.2.3 Bentuk Penampang SFT

Desain penampang SFT dari literatur yang

ada bisa berbentuk lingkaran, segiempat, maupun

elips. Sedangkan bahan yang digunakan bisa

berupa beton bertulang, beton-baja komposit

maupun beton pratekan seperti yang dilakukan

oleh Long (Long, 2009) yang menganalisa SFT

bentuk lingkaran yang menggunakan bahan

komposit beton-baja dan dilapisi oleh aluminium

pada sisi luar SFT dan bentuk lingkaran beton yang

dianalisa oleh Tveit (Tveit, 2000).

Diameter SFT yang digunakan tergantung

dari perencanaan lebar jalan atau plat kendaraan

yang dibuat nanti. Bagaimanapun bentuk yang

akan dianalisis, yang terpenting adalah berat

sendiri dari tunnel tersebut lebih kecil daripada

gaya uplift air laut tempat dibangunnya SFT ini,

sama seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa

gaya uplift harus lebih besar daripada 1,2-1,3 kali

berat sendiri tunnel.

Penelitian ini akan mencoba alternatif

bentuk penampang lingkaran dengan material

beton. Bentuk penampang lingkaran ataupun elips

memiliki keuntungan dibandingkan dengan

penampang persegi karena dapat meminimalkan

besarnya gaya akibat arus gelombang yang hampir

setiap saat terjadi pada struktur SFT. Contoh

bentuk penampang tunnel yang akan digunakan

pada studi konfigurasi kabel SFT ini adalah

sebagai berikut :

Pada bentuk lingkaran penampang tunnel

komposit (baja-beton-aluminium) dan non

komposit (beton). Tebal lapisan untuk material

penampang tergantung dari besar tekanan ke atas

air di tempat pelaksanaannya, semakin tebal

lapisan material maka semakin besar pula berat

sendiri dari struktur SFT. Oleh karena itu, tebal

lapisan harus tetap dikontrol agar tidak

menghasilkan berat sendiri struktur SFT yang lebih

besar daripada gaya uplift air di lingkungan tempat

SFT dibangun.

2.2.4 Karakteristik Material

Material yang digunakan untuk penampang

SFT bisa berupa beton, baja ataupun komposit

antara baja, beton dan aluminium. Pada

penampang tunnel dengan material baja akan

digunakan baja dengan mutu yang biasanya

digunakan pada bangunan offshore sesuai

persyaratan API RP 2A-LRFD 1997 tabel I.1 untuk

karakteristik material baja yang digunakan pada

plat baja. Pada tabel material struktur baja API RP

2A-LRFD 1997, telah ditentukan kelas dan grup

untuk pengaruh baja terhadap lingkungan dan

kemampuannya saat beban bekerja.

Sedangkan untuk karakteristik material

kabel baja akan digunakan, minimum harus sesuai

dengan peraturan API RP 2A untuk bentuk baja

struktural.

Material beton yang digunakan harus tahan

terhadap pengaruh air laut dan kuat diberi gaya

prategang karena bagian-bagian dari tunnel SFT

akan dihubungkan dengan kabel prategang. Oleh

Page 5: Makalah SFT

6

sebab itu, pada studi ini akan digunakan beton

yang biasa digunakan pada sistem prategang dan

juga bisa digunakan di daerah perairan laut.

Beberapa persyaratan khusus untuk beton

yang terkena pengaruh lingkungan sesuai SNI 03-

2847-2002 pada pasal 6.2

SNI mensyaratkan kuat tekan (f’c) beton

minimum yang harus digunakan pada beton yang

terkena pengaruh air laut adalah 35 MPa sama

dengan kuat tekan (f’c) minimum beton prategang

yang biasanya digunakan. Kriterial lain pada

material yang akan digunakan terdapat dibawah ini

:

Esteel =210.000 MPa ; ρ=7850 Kg/m3; ν = 0.30

Ealu =70.000 MPa ; ρ=2800 Kg/m3; ν = 0.33

Dimana : E = Modulus Elastisitas ; ν = Rasio

Poisson ; ρ = Berat Volume Material

2.2.5 Bentuk dan Susunan Kabel SFT

Studi konfigurasi kabel SFT ini

menggunakan konfigurasi kabel hasil modifikasi

dari konfigurasi yang telah diciptakan oleh salah

seorang peneliti dari Jepang yaitu Profesor Maeda

(Maeda, 1994). Menurut Profesor Maeda,

konfigurasi tersebut adalah konfigurasi yang tepat

digunakan pada struktur SFT. Studi ini akan

memilih konfigurasi kabel paling efektif pada SFT

di Kepulauan Seribu dimana konfigurasi tersebut

kuat menahan badan tunnel akibat beban

lingkungan dan tidak membutuhkan biaya yang

besar dalam penggunaannya.

Pada studi ini akan dianalisis konfigurasi

kabel longitudinal serta kombinasinya dengan

konfigurasi kabel transversal pada saat menahan

badan tunnel ketika beban luar bekerja pada badan

tunnel tersebut.

2.2.6 Metode Pembebanan

Dalam studi konfigurasi kabel ini hanya

akan membahas beban permanen yang terjadi pada

struktur SFT dan beban akibat lingkungan tempat

SFT dibangun karena beban-beban lainnya yang

terdapat pada tunnel telah diasumsikan sebesar

30% dari berat sendiri tunnel. Berikut akan

dijelaskan beban-beban yang akan diperhitungkan

pada studi konfigurasi kabel ini :

1. Beban Permanen Yang Terjadi Pada Struktur

SFT

Beban yang akan terus terjadi pada struktur

SFT. Beban-beban tersebut adalah sebagai berikut

:

a. Beban Mati Struktur

Beban mati struktur SFT adalah beban yang

diakibatkan oleh berat sendiri dari tunnel SFT ini

beserta fasilitas-fasilitasnya. Berat sendiri tunnel

akan dihitung sesuai Persamaan 2, dimana berat

tunnel tersebut tergantung dari luas penampang

dan berat jenis material penampang tunnel.

Fasilitas-fasilitas yang terdapat di dalam tunnel

adalah plat lantai kendaraan yang menggunakan

material beton dan balok baja profil WF yang

berada pada posisi memanjang dan melintang

dimana balok baja tersebut berfungsi sebagai

pemikul plat lantai kendaraan.

b. Beban Akibat Tekanan Hidrostatis Air Laut

Beban ini terjadi pada bagian struktur SFT

yang terendam oleh air laut. Beban ini akan

tergantung dari tekanan hidrostatis pada perairan

tempat SFT akan dibangun. Pada peraturan API RP

2A-WSD 2000 pasal 3.2.5.a diberikan cara untuk

menghitung tekanan hidrostatis sebagai berikut :

( 4 )

Dimana :

p = Tekanan hidrostatis air ( N/m2 )

γ = Kerapatan air laut, ( 10050 N/m3 )

Hz = Design head ( m )

Untuk menghitung Design head ( Hz ) diberikan

juga persamaan pada pasal 3.2.5.a API RP 2A-

WSD 2000 sebagai berikut :

( 5 )

Dimana :

Hw = Tinggi gelombang, ( m )

z = Tinggi di bawah SWL termasuk pada saat air

pasang ( m ), z diukur ke bawah dari SWL

k =

( m-1 ), dengan L adalah panjang

gelombang

d = Kedalaman air laut, ( m )

L = panjang gelombang (m)

Dalam menentukan tinggi (Hw) dan periode

gelombang ( T ) pada Persamaan 5, digunakan

tinggi gelombang maksimum dan periode

gelombang pada periode ulang tahun yang ditinjau.

Misalnya, tinggi dan periode gelombang

maksimum pada periode ulang 1 tahun atau tinggi

dan periode gelombang pada periode ulang 100

tahun. Tinggi gelombang maksimum yang

dianjurkan untuk perencanaan bangunan lepas

pantai adalah sebagai berikut :

Page 6: Makalah SFT

7

( 6 )

Dimana :

Hmax = tinggi gelombang maksimum (m)

Hs = tinggi gelombang signifikan hasil pencatatan

di lapangan (m)

c. Tekanan Ke Atas ( buoyancy ) oleh air laut

Gaya ini terjadi akibat gaya Archimedes di

dalam air laut pada penampang dan kabel SFT.

Nilai dari gaya Archimedes atau gaya apung yang

terjadi pada penampang SFT akan dihitung sesuai

dengan Persamaan 3 sedangkan pada kabel SFT

gaya apung yang terjadi sangat kecil. Walaupun

demikian, pada kabel SFT yang terletak di bawah

laut juga pasti akan mendapat gaya apung dari air

laut sehingga dikhawatirkan gaya tersebut akan

mempengaruhi kemampuan kabel dalam menahan

penampang tunnel. Dr. S. Nallayarasu (offshore

stucture analysis and design, 2009) memberikan

persamaan dengan metode rasional untuk

menghitung gaya apung dari suatu struktur sebagai

berikut :

( 7 )

Dimana :

B = gaya apung/buoyancy ( kg/m )

D = diameter kabel ( m )

ρw = massa jenis air laut ( 1030 kg/m3 )

2. Beban Akibat Fungsi Dari SFT

Beban ini adalah beban akibat dari fungsi

dari SFT sendiri yang meliputi beban akibat lalu-

lintas, beban akibat perubahan pada kondisi

seimbang, dan variabel-variabel beban pada saat

konstruksi. Dalam studi konfigurasi kabel ini,

semua beban tersebut akan diasumsikan jika berat

tersebut sudah masuk dalam 30% dari berat sendiri

tunnel. Beban lalu-lintas pada SFT akan mengikuti

peraturan BMS 1992 sebagai berikut :

Beban yang akan dihitung pada SFT hanya

beban akibat UDL dan KEL karena beban tersebut

diakibatkan oleh kendaraan ringan yang memang

direncanakan pada SFT. Jadi beban truk tidak akan

diperhitungkan. Beban lalu-lintas akan membebani

plat kendaraan kemudian beban dari plat kedaraan

dan beban lalu-lintas akan dipikul oleh balok baja

pada posisi memanjang lalu disalurkan ke balok

baja pada posisi melintang. Hal ini menyebabkan

plat kendaraan, balok memanjang dan balok

melintang perlu dicek kekuatannya terlebih dahulu

ketika dibebani oleh beban hidup lalu-lintas dan

beban mati. Besarnya beban terbagi rata UDL akan

mengikuti peraturan BMS 1992 pasal 2.3.3.1a dan

2.3.3.1b sebagai berikut :

( L < 30 m ) ( 8 )

( L > 30 m ) ( 9 )

Sedangkan beban KEL digunakan 44 kN/m. Jika

balok memanjang dan balok melintang yang telah

ditentukan profilnya sudah dianggap aman jika

telah dibebani oleh beban mati dan beban hidup,

maka balok-balok tersebut sudah dianggap layak

untuk dipakai sebagai fasilitas struktural di dalam

tunnel SFT. Intensitas penyebaran beban lalu-lintas

dalam tunnel SFT nantinya akan mengikuti lebar

jalan yang direncanakan pada tunnel SFT sehingga

intensitas penyebaran arah beban tersebut akan

digunakan untuk menentukan total seluruh berat

sendiri tunnel beserta beban hidupnya.

3. Beban Akibat Lingkungan

Beban ini disebabkan oleh gelombang

dan arus air laut yang akan membebani struktur

SFT baik pada bagian tunnel maupun pada

kabel, meskipun beban akibat lingkungan yang

bekerja pada kabel akan sangat kecil.

Perhitungan pembebanan ini akan didasarkan

pada peraturan API RP 2A-WSD 2000. API RP

2A–WSD 2000 telah menjelaskan prosedur

untuk menentukan pembebanan gelombang

yang disertai dengan arus air laut. Prosedur

tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Pada perencanaan bangunan lepas pantai,

beban gelombang dan arus harus diasumsikan

terjadi secara bersamaan dan dengan arah yang

sama agar kondisi kritis dapat diperhitungkan

(TU Delft Open Course, 2005). Asumsi yang

menjadikan arah gelombang dan arus terjadi

pada arah yang sama dilakukan dengan

penambahan kecepatan arus dan gelombang

dalam persamaan Morrison untuk perhitungan

beban gelombang. Penambahan kecepatan

tersebut dilakukan sebagai berikut :

( 10 )

Dimana :

Vw = kecepatan gelombang (m/s)

Vc = kecepatan arus (m/s)

Tinggi gelombang yang akan digunakan dalam

menghitung gaya gelombang dan arus juga

harus menggunakan tinggi gelombang

maksimum. Pergerakan gelombang dan arus di

laut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Page 7: Makalah SFT

8

a. Beban Gelombang

Gelombang terjadi akibat gangguan pada

fluida. Gangguan tersebut dapat berupa

gangguan pada permukaan air seperti hembusan

angin atau dapat juga berupa gangguan pada

dasar laut seperti pergerakan tanah atau gempa

bumi. Pada umumnya bentuk gelombang di

alam sangat kompleks dan sulit digambarkan

secara sistematis karena ketidak-linieran, tiga

(tiga) dimensi dan mempunyai bentuk yang

random (suatu deret gelombang mempunyai

periode dan tinggi tertentu). Beberapa teori

yang ada hanya menggambarkan bentuk

gelombang yang sederhana dan merupakan

bentuk pendekatan gelombang alam. Ada

beberapa teori dengan berbagai derajat

kekomplekan dan ketelitian untuk

menggambarkan gelombang di alam

diantaranya adalah teori Airy, Stokes, Gertsner,

Mich, Knoidal, dan tunggal. Masing – masing

teori tersebut mempunyai batasan keberlakuan

yang berbeda–beda. Teori yang paling

sederhana adalah teori gelombang linier yang

pertama kali ditemukan oleh Airy pada tahun

1845.

Teori gelombang yang terdapat pada API

RP 2A merupakan teori gelombang yang

memiliki amplitudo berhingga. Teori

gelombang yang terdapat pada API RP 2A

adalah sebagai berikut :

Teori gelombang Airy/Linear

Di dalam teori gelombang amplitudo

kecil (Airy) dianggap bahwa tinggi gelombang

sangat kecil terhadap panjangnya atau

kedalamannya. Persamaan gelombang

diturunkan dengan mengabaikan (melinearkan)

suku (u2 +v2) dari persamaan Bernoulli sebagai

berikut :

( 11 )

Dimana :

φ = potensial kecepatan

t = waktu

u = komponen horizontal kecepatan partikel air

v = komponen vertikal kecepatan partikel air

g = percepatan gravitasi

p = tekanan

ρ = rapat massa za cair

Apabila tinggi gelombang relatif besar

suku tidak linear tersebut tidak boleh diabaikan.

Dalam keadaan ini digunakan teori gelombang

amplitudo berhingga yang memperhitungkan

besaran dengan orde yang lebih tinggi.

Untuk gelombang dengan amplitudo

berhingga harus diperhitungkan besaran-

besaran yang lebih tinggi yang mempunyai

bentuk umum sebagai berikut :

Pada persamaan fluktuasi muka air di

atas, B2,B3,.....Bn adalah fungsi dari panjang

gelombang dan kealaman air. Teori gelombang

Airy/Linear hanya memperhitungkan suku

pertama dari ruas kanan. Apabila

diperhitungkan dua (dua) suku pertama disebut

teori orde kedua, bila tiga (tiga) suku pertama

diperhitungkan disebut orde ketiga dan

seterusnya.

Teori gelombang Stokes

Stokes (1847) mengembangkan teori

gelombang Airy dengan melanjutkan analisis

sampai orde ke-tiga untuk mendapatkan

ketelitian yang lebih baik dalam kecuraman

muka gelombang (wave stepness) H/L.

Pengembangan lebih jauh dilakukan oleh

Skjelbra dan Hendrickson (1961) sampai ode

ke-5 yang sampai saat ini banyak digunakan

dalam perhitungan teknik kelautan untuk

gelombang dan amplitudo kecil. Karena

masalah konvergensi yang lebih sulit untuk

kondisi laut dangkal, teori gelombang stokes

orde-5 dianggap valid untuk kondisi perairan

dimana rasio kedalaman h/L lebih besar dari

1/10. Kondisi ini umumnya sesuai dengan

gelombang badai (storm wave) yang biasanya

diperhitungkan dalam perancangan bangunan

lepas pantai.

Teori gelombang Cnoidal

Untuk gelombang panjang dengan

amplitudo berhingga yang terjadi pada laut

dangkal lebih sesuai apabila menggunakan teori

Cnoidal. Gelombang ini merupakan gelombang

periodik yang biasanya mempunyai puncak

tajam yang dipisahkan oleh lembah yang cukup

panjang. Teori ini berlaku apabila d/L < 1/8 dan

parameter Ursell (UR) > 26. Parameter Ursell

didefinisikan sebagai berikut :

( 13 )

Dimana :

H = tinggi gelombang

L = panjang gelombang

( 12 )

Page 8: Makalah SFT

9

D = kedalaman laut

Dalam peraturan API RP 2A-WSD 2000,

telah ditentukan cara untuk penentuan teori

gelombang yang akan digunakan. Cara

penentuan tersebut menggunakan grafik

validitas gelombang pada gambar 2.3.1-3 API

RP 2A-WSD 2000. Grafik itu dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

Parameter-parameter yang digunakan dalam

pembacaan diagram untuk menentukan teori

gelombang di atas adalah sebagai berikut :

d = kedalaman air ( m )

g = percepatan gravitasi ( 9,81 m/s2 )

H = tinggi gelombang hasil pengamatan (m)

Tapp= periode gelombang hasil perhitungan (s)

Dr. S. Nallayarasu (Dr. S. Nallayarasu,

2009) memberikan persamaan untuk

menentukan nilai Tapp sebagai berikut :

( 14 )

Dimana :

L = panjang gelombang pada periode ulang

tertentu ( m )

k =

( m-1 ), dengan L adalah panjang

gelombang pada periode ulang tertentu

h = kedalaman laut (m)

g = percepatan gravitasi ( m/s2 )

Perbedaan antara Tapp dan T pada API RP 2A

adalah Tapp merupakan periode gelombang yang

sudah terpengaruh oleh kecepatan arus

sedangkan T adalah periode gelombang yang

didapat langsung dari pengukuran di lapangan

untuk menentukan komponen arus yang terjadi

pada gelombang, tapi pada penentuan awal teori

gelombang dapat menggunakan nilai T.

Gaya gelombang terdiri dari gaya drag dan

gaya inersia. Sesuai dengan peraturan API RP

2A–WSD 2000 pasal 2.3.1.b.10, gaya

gelombang per kedalaman yang terjadi pada

suatu struktur dihitung sesuai persamaan

Morrison, sebagai berikut :

( 15 )

( 16 )

Dimana :

F = Gaya gelombang ( kN/m )

w = Berat jenis air laut (10,3 kN/m3 )

A = Luas penampang ( m2 )

Cd = Koefisien drag

Cm = Koefisien inersia

D = Diameter tunnel SFT ( m3 )

g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/s2 )

v = kecepatan aliran gelombang pada

kedalaman yang ditinjau ( m/s )

|v| = Nilai absolut dari nilai v ( m/s )

= percepatan gelombang per kedalaman yang

ditinjau ( m/s2 )

FD = Gaya drag ( kN/m )

FI = Gaya inersia ( kN/m )

Perhitungan gaya gelombang

menggunakan koefisien drag dan koefisien

inersia. Ir. Suntoyo (Ir. Suntoyo dkk, 2009)

memberikan persamaan untuk menentukan nilai

dari koefisien-koefisien tersebut. Untuk

menentukan koefisien inersia tergantung dari

angka Reynold yang telah dihitung

menggunakan persamaan berikut :

( 17 )

Dimana :

Umax = kecepatan gelombang maksimum pada

arah horisontal ( m/s )

D = Diameter/lebar struktur ( m )

v = viskositas kinematik air laut ( m2/s )

Penentuan koefisien inersia menggunakan

persyaratan di bawah ini :

Cm = 2,0 apabila Re < 2,5 x 105

Cm = 2,5 -

apabila 2,5 x 105 < Re < 5 x

105

Cm = 1,5 apabila Re > 5 x 105

Sedangkan untuk menentukan nilai dari

koefisien drag adalah dengan menggunakan

grafik hubungan antara nilai Re dengan nilai

Keulegen and Carpenter.

API RP 2A WSD-2000 pasal 2.3.1.b.7

memberikan nilai koefisien drag dan inersia

sesuai dengan situasi permukaan struktur saat

desain. Nilai koefisien drag dan inersia pada

API RP 2A WSD-2000 terdapat pada tabel

berikut :

Tabel Koefisien drag dan inersia menurut

API RP 2A WSD-2000

Pada API RP 2A WSD-2000, penggunaan

faktor kinematika dalam perencanaan beban

gelombang diijinkan dengan besaran 0.85-0.95

untuk kondisi badai pada daerah tropis yang

diterapkan pada kecepatan horizontal partikel

air dan akselerasi vertikal dari dua dimensi

Page 9: Makalah SFT

10

gelombang. Untuk gelombang saat badai

dengan periode ulang 100 tahun digunakan

faktor rata-rata sebesar 0.90. Dr.S.Nallayarasu

(Dr.S.Nallayarasu, 2009) memberikan

persamaan untuk menentukan nilai dari faktor

kinematik gelombang sebagai berikut :

( 18 )

Dimana :

H = tinggi gelombang ( m )

= frekuensi gelombang (s-1 ) ,

k =

, dengan L adalah panjang gelombang (

m-1 )

x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )

t = waktu ( s )

= faktor kinematik gelombang

API RP 2A-WSD 2000 pasal 2.3.2.e

menjelaskan bahwa pengaruh angin pada profil

gelombang harus ditambahkan koefisien bentuk

profil (Cs) dimana koefisien ini tergantung pada

bentuk struktural dari struktur yang terkena

beban gelombang. Koefisien tersebut dapat

dilihat dibawah ini :

Tabel Koefisien profil bentuk sesuai

persyaratan API RP 2A-WSD 2000

Beams 1,5

Sides of buildings 1,5

Cylindrical section 0,5 Overall projected area of

platform 1,0

Sumber : API RP 2A-WSD 2000

Menurut Bambang Triatmojo (Bambang

Triatmojo, 1999) dalam menghitung gaya

gelombang, perlu diketahui kecepatan dan

percepatan gelombang pada arah vertikal dan

horisontal dengan berbagai kedalaman dan

waktu.

Untuk menghitung kecepatan gelombang

pada arah vertikal dapat menggunakan

persamaan berikut :

( 19 )

Dimana :

vwy = kecepatan gelombang vertikal ( m/s )

H = tinggi gelombang ( m )

T = periode gelombang (s )

d = kedalaman air laut ( m )

y = kedalaman yang ditinjau ( m )

k =

, dengan L adalah panjang gelombang (

m-1 )

L = panjang gelombang (m)

x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )

t = waktu ( s )

= frekuensi gelombang,

Sedangkan untuk menghitung besarnya

kecepatan gelombang pada arah horisontal

dengan berbagai kedalaman dan waktu dapat

dihitung sesuai persamaan berikut :

( 20 )

Dimana :

vwx = kecepatan gelombang horizontal ( m/s )

H = tinggi gelombang ( m )

T = periode gelombang (s )

d = kedalaman air laut ( m )

y = kedalaman yang ditinjau ( m )

k =

, dengan L adalah panjang gelombang (

m-1 )

L = panjang gelombang (m)

x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )

t = waktu ( s )

= frekuensi gelombang ( s-1 ),

Untuk menghitung percepatan gelombang

pada arah horisontal, digunakan persamaan

sebagai berikut :

( 21 )

Dimana :

= percepatan gelombang horizontal (m/s2)

H = tinggi gelombang ( m )

T = periode gelombang (s )

d = kedalaman air laut ( m )

y = kedalaman yang ditinjau ( m )

k =

, dengan L adalah panjang gelombang (

m-1 )

L= panjang gelombang (m)

x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )

t = waktu ( s )

= frekuensi gelombang,

Sedangkan untuk menghitung percepatan

gelombang pada arah vertikal, digunakan

persamaan sebagai berikut :

(22)

Page 10: Makalah SFT

11

Dimana :

= percepatan gelombang vertikal ( m/s2 )

H = tinggi gelombang ( m )

T = periode gelombang (s )

d = kedalaman air laut ( m )

y = kedalaman yang ditinjau ( m )

k=

, L adalah panjang gelombang (m-1)

L = panjang gelombang (m)

x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )

t = waktu ( s )

= frekuensi gelombang,

Dalam perhitungan beban gelombang pada

struktur offshore perlu untuk memperhatikan

efek dari marine growth. Struktur yang berada

di lingkungan air laut akan mengalami

pertambahan luas secara melintang akibat efek

dari marine growth. Pertambahan luas secara

melintang tersebut mengakibatkan gaya

gelombang yang terjadi pada struktur akan

semakin besar.

Marine growth merupakan efek dari

organisme laut yang menempel pada

permukaan struktur. Konsentrasi efek marine

growth terjadi pada daerah dekat permukaan

laut dan dasar laut.

Menurut Donna Ahrens (Donna Ahrens,

1997), jika SFT tidak diletakkan di lokasi

permukaan laut yang kritis, efek dari marine

growth akan sangat kecil. Semakin dekat

dengan permukaan laut atau semakin dekat

dengan dasar laut lokasi SFT dibangun,

semakin besar pula pengaruh dari marine

growth. Walaupun demikian, marine growth

perlu diperhitungkan karena efek tersebut juga

akan mengakibatkan pertambahan berat sendiri

pada struktur SFT, sehingga rasio dari tekanan

ke atas oleh air laut yang terjadi pada struktur

SFT dengan berat sendiri struktur SFT perlu

diperhatikan. Donna Ahrens (Donna Ahrens,

1997) memberikan grafik hubungan antara

kedalaman dan pertambahan tebal lapisan SFT

yang diakibatkan oleh efek dari marine growth.

Efek dari marine growth juga tergantung

dari lingkungan sekitar karena setiap lokasi

perairan memiliki kondisi yang berbeda-beda.

API RP 2A-WSD 2000 hanya memberikan

detail efek dari marine growth terhadap

pertambahan ketebalan pada lokasi-lokasi laut

di Amerika.

Efek dari marine growth juga akan

berpengaruh pada kekasaran penampang akibat

pertumbuhan organisme laut disepanjang

permukaannya. Oleh karena itu, efek dari

marine growth ini akan mempengaruhi

koefisien yang akan digunakan untuk

memperhitungkan beban hidrodinamik. The

UK’s Departement of Energy memberikan nilai

koefisien drag dan inersia yang tidak biasa

dalam memperhitungan beban hidrodinamik

yang dipengaruhi oleh efek marine growth

(Ibrahin Jusoh, 1996), sebagai berikut :

Tabel Koefisien drag dan inersia akibat

pengaruh marine growth oleh The UK’s

Departement of Energy CD 0.6 no marine growth

CD 0.7 with marine growth

CM 1.7 extreme condition

CM 2.0 fatigue condition

b. Beban Arus

Beban arus merupakan salah satu beban

lingkungan yang memberikan gaya terhadap

offshore structure seperti SFT ini. Pembebanan

akibat arus yang disebabkan oleh air laut

tergantung kepada kondisi lapangan yang akan

ditinjau nanti. Hal ini disebabkan karena arus

tersebut terjadi akibat adanya pasang surut dan

gesekan angin pada permukaan air laut

sehingga besarnya arus yang terjadi

berdasarkan dari hasil pengukuran di lapangan.

API RP 2A–WSD 2000 mengharuskan

untuk menggunakan faktor hambatan (blockage

factor) yang akan mengurangi kecepatan arus

karena dengan adanya struktur bisa

mengakibatkan arus menyebar sehingga

sebagian arus mengelilingi struktur dan tidak

melaluinya. API RP 2A–WSD 2000

menentukan nilai dari blockage factor sebesar

0.7-1.0. API 2A–WSD 2000 pasal 2.3.3.c

menjelaskan bahwa jika diasumsikan hanya

terjadi arus air laut dan tidak terjadi gelombang,

maka Persamaan 16 bisa digunakan dengan

nilai du/dt = 0. Pasal 2.3.1.b juga menjelaskan

bahwa untuk menentukan beban akibat arus air

laut, bisa menggunakan grafik hubungan antara

Tapp/T dan VI/gT untuk mendapatkan nilai VI

yang merupakan komponen arus air laut dimana

terdapat garis d/gT2, tetapi cara tersebut hanya

untuk arus yang ekstrim karena tidak mendapat

reduksi dari blockage factor.

Dr. S. Nallayarasu (Dr. S. Nallayarasu,

2009) menjelaskan bahwa ada 2 (dua) cara

untuk menentukan profil kecepatan arus yang

terjadi pada bangunan lepas pantai, yaitu

kecepatan arus yang disebabkan oleh pasang-

surut air laut dan kecepatan arus yang

Page 11: Makalah SFT

12

disebabkan oleh gesekan angin terhadap air

laut. Untuk menentukan profil kecepatan arus

akibat pasang surut air laut diberikan persamaan

sebagai berikut ini :

(23)

Dimana :

VCT = kecepatan arus akibat pasang surut

dengan berbagai ukuran dari dasar laut (m/s)

VCoT = kecepatan arus akibat pasang surut yang

terjadi di permukaan air laut (m/s)

y = berbagai ukuran ketinggian dari dasar laut

(m)

h = ketinggian normal air laut ( m )

sedangkan untuk menentukan profil arus akibat

gesekan angin terhadap air laut diberikan oleh

persamaan berikut ini :

( 24 )

Dimana :

VCw = kecepatan arus akibat angin dengan

berbagai ukuran dari dasar laut ( m/s )

VCow = kecepatan arus akibat angin yang terjadi

di permukaan air laut ( m/s )

y = berbagai ukuran ketinggian dari dasar laut (

m )

h = ketinggian normal air laut ( m )

Dawson (Dawson, 1983) memberikan

formulasi matematis untuk menghitung

besarnya gaya arus yang bekerja pada suatu

struktur lepas pantai. Formulasi matematis

tersebut adalah sebagai berikut:

( 25 )

Dimana :

Fc = gaya arus pada kedalaman yang ditinjau

dari dasar laut ( kg/m )

w = berat jenis air laut ( 1003 kg/m3 )

g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/s2 )

CD = koefisien drag

= kecepatan arus pada kedalaman yang

ditinjau ( m/s )

|Uc| = kecepatan arus absolut ( m/s )

D = diameter sruktur ( m2 )

Gaya arus hanya terdiri dari gaya drag yang

tidak memiliki percepatan. Oleh karena itu,

pada persamaan di atas tidak terdapat

persamaan gaya inersia yang memiliki

percepatan.

2.3 Metode Analisis Konfigurasi Kabel SFT

Hasil analisis dari pembebanan yang telah

dilakukan pada struktur SFT (Submerge Floating

Tunnel) akan digunakan dalam menganalisa bentuk

kabel yang paling efektif pada struktur dimana

diharapkan bentuk kabel yang digunakan akan

mudah terjangkau dari segi biaya dan kuat dalam

menahan struktur tunnel pada saat beban luar

terjadi. Dalam menganalisa bentuk kabel

dibutuhkan gaya-gaya dalam yang terjadi pada

kabel setelah pembebanan dan analisis dilakukan.

Hal yang terpenting dalam studi konfigurasi kabel

ini adalah menentukan tegangan ijin dan lendutan

ijin yang bisa diterima oleh kabel saat semua beban

bekerja pada struktur SFT. Selain itu, tunnel juga

perlu ditentukan lendutan dan tegangan ijinnya

karena akan diteliti apakah tegangan dan lendutan

yang terjadi pada tunnel juga dipengaruhi oleh

bentuk dan susunan kabel.

Kabel pada SFT akan mengalami

displacement akibat beban luar seperti buoyancy,

gelombang dan arus serta dikhawatirkan akan

mempengaruhi besarnya gaya tarik yang terjadi

pada kabel. Pada studi ini, akan dianalisis juga

displacement yang terjadi pada kabel. Skema

diagram displacement yang terjadi pada kabel SFT

dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Pada gambar di atas displacement pada arah

Z disebabkan oleh gaya apung (buoyancy)

sedangkan pada arah X disebabkan oleh gaya

gelombang dan arus air laut yang terjadi pada

struktur. Besarnya gaya tarik yang ditimbulkan

oleh displacement (Xu Long dkk, 2008) tersebut

dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :

( 26 )

Dimana :

= Perubahan gaya tarik akibat

displacement (kg)

A = Luas penampang kabel ( m2 )

E = modulus elastisitas kabel ( kg/m2 )

= displacement ( m )

L’ = panjang kabel ( m )

2.3.1 Tegangan Ijin Pada Tendon SFT

Sesuai peraturan API RP 2T 1997, tendon

SFT yang didesain akan dikategorikan dalam

tendon kategori A. Tegangan aksial tarik ijin yang

terjadi pada komponen tendon SFT akan dihitung

sesuai peraturan API RP 2T 1997 pasal 9.6.2.2

safety criterion B (safety crietria for extreme

condition) sebagai berikut:

( 27 )

Page 12: Makalah SFT

13

atau

( 28 )

Dimana :

σp = Net section stress (MPa)

Fy = Tegangan leleh tendon (MPa)

Fu = Tegangan putus tendon (MPa)

Dan

( 29 )

atau

( 30 )

Dimana :

σs = Local bending stress (MPa)

Fy = Tegangan leleh tendon (MPa)

Fu = Tegangan putus tendon (MPa)

Dari persamaan di atas, tegangan aksial tarik

yang terjadi pada tendon SFT (ft) harus lebih kecil

daripada tegangan aksial tarik ijin kabel tendon

baja (σp atau σs). Nilai dari tegangan ijin tersebut

harus diambil yang terkecil dari salah satu

persamaan di atas. Pada kabel tendon SFT,

tegangan yang terjadi juga harus lebih kecil

daripada tegangan ijin yang disyaratkan oleh

produsen kabel tendon baja yang akan digunakan

pada studi ini.

2.3.2 Tegangan dan Lendutan ijin Pada Badan

Tunnel SFT

Tunnel pada SFT akan diasumsikan sebagai

struktur lentur balok beton prategang karena pada

tunnel nantinya akan dipasang kabel prategang

sebagai penghubung antara elemen-elemen tunnel.

Tegangan ijin beton untuk komponen struktur

lentur menurut SNI 03-2847-2002 pasal 20.4.1

adalah sebagai berikut :

Tegangan tekan serat terluar akibat pengaruh

prategang, beban mati, dan beban hidup tetap

(kondisi layan)

( 31 )

dimana f’c ( MPa ) adalah mutu beton

prategang yang digunakan

Setelah pengecekan terhadap pengaruh

prategang ketika badan tunnel belum diletakkan di

dalam air, maka pengecekan terhadap tegangan

dinding akan ditinjau dari besarnya tegangan yang

terjadi akibat beban yang bekerja. Tegangan yang

terjadi akan dicek dan harus tidak melebihi

besarnya tegangan retak beton sebagai berikut :

( 32 )

Perhitungan tegangan ijin di atas

mengasumsikan bahwa beton prategang telah

mengalami kehilangan prategang akibat dudukan

angkur pada saat penyaluran gaya, perpendekan

elastis beton, rangkak beton, susut beton, relaksasi

tegangan tendon dan akibat friksi.

Untuk menghitung lendutan ijin pada tunnel

akan digunakan persamaan pada peraturan SNI 03-

2847-2002 pasal 11.5.4 sebagai berikut :

( 33)

Dimana :

= lendutan ijin ( m )

L’ = panjang kabel ( m )

BAB III

METODOLOGI

3.1 Umum

Metodologi ini akan menguraikan dan

menjelaskan urutan pelaksanaan penyelesaian

tugas akhir. Mulai dari pengumpulan dan studi

literatur, penetapan jenis material yang akan

digunakan pada struktur SFT, pengumpulan data,

pemodelan struktur dan konfigurasi kabel pada

tunnel SFT, pembebanan struktur, analisa dan

perbandingan hasil konfigurasi kabel SFT, kontrol

desain struktur SFT sampai dengan deskripsi atau

kesimpulan akhir hasil studi ini yaitu untuk

mendapatkan konfigurasi kabel yang efektif bagi

perencanaan SFT di Indonesia.

3.2 Uraian Penyelesaian Tugas Akhir

Langkah-langkah pengerjaan tugas akhir ini

adalah sebagai berikut :

a. Studi Literatur

Melakukan studi referensi berupa peraturan,

literatur, buku pustaka dan penelitian terdahulu

yang berkaitan dengan studi struktur SFT

b. Peraturan Perencanaan dan Desain

Struktur SFT, antara lain :

1) SNI 03-1729-2002, Tata Cara

Perencanaan Struktur Baja Untuk

Bangunan Gedung

2) SNI 03-2847-2002, Tata Cara

Perencanaan Struktur Beton Untuk

Bangunan Gedung

3) Bridge Management System (BMS) 1992,

Bridge Desain Manual

4) API RP 2A-WSD 2000, Recommended

Practice for Planning, Designing and

Constructing Fixed Offshore Platforms –

Working Stress Design

5) API RP 2A-LRFD 1997, Recommended

Practice for Planning, Designing and

Constructing Fixed Offshore Platforms –

Load Resistance Factor Design

Page 13: Makalah SFT

14

6) API RP 2T 1997, Recommended Practice

for Planning, Designing and Constructing

Tension Leg Platform

c. Literatur yang berkaitan

1) M. Di Pelato, F. Perotti, P. Fogazzi.

2007. 3D Dynamic Response of

Submerged Floating Tunnels Under

Seismic and Hydrodynamic Excitation.

Milan : Department of Structural

Engineering, Politecnico di Milano

2) F.M. Mazzolani. 2007. Structural

Behaviour Under Extreme Loading.

Naples : University of Naples “Federico

II”.

3) F.M. Mazzolani, B. Faggiano, M.

Esposto, G. Martire. 2007. A New

Challenge for Strait Crossings : The

Immersed Inversed Cable Supported

Bridge. Naples : Department of

Structural Engineering, University of

Naples “Federico II”.

4) Xu Long, Fei Ge, Lei Wang, Youshi

Hong. 2008. Effects of fundamental

structure parameters on dynamic

responses of submerged floating tunnel

under hydrodynamic loads. Beijing :

Institute of Mechanics, Chinese Academy

of Sciences

5) CHEN Zhi-jie, WANG Yong-xue,

WANG Guo-yu. 2008. Time-Domain

Responses of Immersing Tunnel Element

Under Wave Actions. China : State Key

Laboratory of Coastal and Offshore

Engineering, Dalian University of

Technology.

6) P. Tveit. 2000. Ideas on Downward

Arched and Other Underwater Concrete

Tunnels. Norwegia : Agder College

7) F.M. Mazzolani, B. Faggiano, G.

Martire. 2010. Design aspects of the AB

prototype in the Qiandao Lake. Italy :

Department of Structural Engineering,

University of Naples “Federico II”.

8) Bernt Jakobsen. 2010. Design of the

Submerged Floating Tunnel operating

under various conditions. Norwegia.

Cowi AS, Grenseveien 88

9) Hiroshi Kunisu. 2010. Evaluation of

wave force acting on Submerged

Floating Tunnels. Jepang. the Society of

submerged Floating Tunnel Technology

Research in Hokkaido University.

10) Youshi Hong, Fei Ge. 2010. Dynamic

response and structural integrity of

submerged floating tunnel due to

hydrodynamic load and accidental load.

Beijing : LNM, Institute of Mechanics,

Chinese Academy of Sciences.

11) Wei Lu, Fei Ge, Lei Wang, Youshi

Hong. 2010. Slack phenomena in tethers

of submerged floating tunnels under

hydrodynamic loads. Beijing : Institute of

Mechanics, Chinese Academy of

Sciences.

12) Donna Ahrens. 1997. Submerged

Floating Tunnels - A Concept Whose

Time Has Arrived. USA : Tunnelling and

Underground Space Technology.

13) F.M. Mazzolani, B. Faggiano, G.

Martire, M. Esposto. 2009. A new

challenge for strait crossings: the

immersed inversed cable. Italia :

Department of Structural Engineering,

University of Naples “Federico II”.

14) Iberahin Jusoh. 1996. Effects of Marine

Growth and Hydrosynamic Loading on

Offshore Structures. Malaysia :

Department of Thermo Fluid, Faculty of

Mechanical Engineering, Universiti

Teknologi Malaysia.

15) Iberahin Jusoh. 1996. Stress Utilisation

of Jacket Structure Under Environmental

Loading. Malaysia : Department of

Thermo Fluid, Faculty of Mechanical

Engineering, Universiti Teknologi

Malaysia.

d. Penetapan Jenis Material Property

Struktural SFT

Hal ini dilakukan untuk menetapkan material

struktur yang akan digunakan dalam analisa

struktur SFT. Khusus material pada tunnel SFT,

akan digunakan material beton sesuai dengan

rencana BPPT (BPPT.go.id, 2010) yang

merupakan pencetus penelitian SFT di Indonesia

dan karakteristik mutu beton (f’c) tersebut adalah

45 MPa. Sedangkan pada type karakteristik kabel

tendon baja yang akan digunakan pada struktur

SFT ini adalah karakteristik tipe kabel tendon

VSL. Balok memanjang dan balok melintang

yang akan berfungsi sebagai pemikul plat

kendaraan di dalam tunnel SFT akan digunakan

balok baja profil WF dengan mutu baja BJ 41.

Karakteristik mutu beton yang akan digunakan

pada plat kendaraan sama dengan yang

digunakan pada badan tunnel SFT sedangkan

untuk sabuk baja akan digunakan kakakteristik

material yang sama dengan balok baja yang ada

di dalam tunnel.

Page 14: Makalah SFT

15

e. Pengumpulan Data

Mengumpulkan data – data yang diperlukan

berupa :

1) Data kedalaman perairan lokasi

pembangunan SFT di Kepulauan Seribu

2) Data gelombang lokasi Kepulauan Seribu

3) Data arus lokasi Kepulauan Seribu

4) Data type kabel tendon yang akan

digunakan sebagai kabel pada struktur

f. Preliminary Desain Struktur SFT

Dalam menentukan bentuk struktur SFT yang

akan digunakan dalam studi konfigurasi kabel ini,

bentuk struktur tersebut harus disesuaikan dengan

beberapa aspek seperti lebar plat kendaraan,

tinggi bebas tunnel, ketinggian permukaan air

laut, alinemen vertikal yang wajar pada suatu

jalan raya yaitu maksimum 6,28% dan berat

sendiri dari tunnel yang berada di dalam laut

harus memenuhi nilai rasio perbandingan gaya

apung dan berat sendiri badan tunnel yang

sebesar 1,2-1,3. Oleh karena itu, pada bagian ini

akan dilakukan cara trial and error untuk

mendapatkan dimensi-dimensi bagian struktural

yang paling cocok.

Penentuan tebal dinding tunnel akan

dilakukan dengan cara coba-coba apakah tebal

dinding yang digunakan akan kuat dan tidak

mengalami overstress ketika menerima beban

hidrostatis. Pada studi ini desain plat lantai

kendaraan tidak sampai menghitung jumlah

tulangan yang dibutuhkan tapi hanya menentukan

tebal dari plat lantai kedaraan tersebut. Penentuan

tebal plat lantai kendaraan pada tunnel akan

disesuaikan dengan persyaratan tebal plat lantai

kendaraan pada jembatan konvensional yaitu

berdasarkan BMS (Bridge Management System)

1992 pasal 6.7.1.2 sebagai berikut :

( 34 )

( 35 )

Dimana :

b1 = jarak balok baja pemikul plat lantai

kendaraan (m)

d’ = tebal plat lantai kendaraan (mm)

Balok baja yang akan digunakan pada struktur

SFT akan dikontrol kekuatan lentur, geser dan

lendutannya. Lendutan akibat beban terbagi rata

dan beban terpusat pada balok baja akan dihitung

menggunakan persamaan berikut :

( 36 )

Dimana :

q = Beban terbagi rata (kg/cm)

P = Beban terpusat (kg)

λ = Panjang balok (cm)

E = Modulus elastisitas baja (2.000.000 kg/cm2)

Ix = Momen inersia penampang balok pada

sumbu kuat (cm4)

∆ = Lendutan yang terjadi (cm)

Sedangkan lendutan ijin yang terjadi pada balok

baja adalah sebagai berikut :

( 37 )

Dimana :

λ = Panjang balok (cm)

∆ijin = Lendutan ijin (cm)

Jika ∆ijin > ∆, maka balok baja tersebut sudah

aman digunakan

Balok baja yang akan digunakan diusahakan

agar memiliki penampang yang kompak agar

dalam menentukan momen nominalnya (Mn) bisa

lebih praktis. Kuat lentur dari balok baja akan

dihitung menggunakan persamaan berikut :

( 38 )

( 39 )

Penampang balok baja bisa disebut penampang

kompak jika memenuhi persamaan berikut :

( 40 )

( 41 )

Dimana :

Mn = Momen nominal (kN.m)

Mp = Momen plastis (kN.m)

Zx = Modulus plastis (m3)

fy = kuat leleh baja (kN/m2)

h = tinggi penampang balok (m)

tw = tebal badan balok (m)

b = lebar flens balok (m)

Kuat lentur balok baja bisa dikatakan aman

jika momen nominal berfaktor (ǿMn) dari balok

baja yang telah ditentukan profilnya lebih besar

daripada momen ultimate yang terjadi (Mu) yaitu

momen berfaktor yang diakibatkan oleh beban-

beban yang bekerja pada balok (ǿMn > Mu (Ok)).

Sedangkan kuat geser dari balok akan dihitung

sesuai SNI 03-1729-2002 pasal 8.8.3a yaitu

sebagai berikut :

( 42 )

Kuat geser balok baja bisa dikatakan aman

jika kuat geser nominal berfaktor (ǿVn) dari balok

baja yang telah ditentukan profilnya lebih besar

daripada gaya geser ultimate yang terjadi yaitu

Page 15: Makalah SFT

16

beban aksial berfaktor yang diakibatkan oleh

beban-beban yang bekerja pada balok (ǿVn > Vu

(Ok)).

g. Kontrol Desain dan Rasio Struktur SFT

Kontrol rasio dilakukan untuk mengecek

apakah rasio gaya apung dan struktur SFT masih

sesuai dengan rasio yang telah ditentukan yaitu

sekitar 1,2-1,3 sesuai Persamaan 1. Gaya apung

akan dihitung sesuai Persamaan 3 Bab II

sedangkan berat total SFT akan dihitung sesuai

Persamaan 2 Bab II. Struktur SFT akan

diusahakan untuk mencapai rasio ini agar konsep

SFT yang memanfaatkan gaya apung untuk

membantu mengimbangi beban gravitasi (Gravity

Load) dapat terpenuhi tapi akan diusahakan juga

agar rasio tidak terlalu besar karena hal ini dapat

mengakibatkan kabel tendon baja yang menahan

badan tunnel bisa cepat lelah atau dimensinya

akan terlalu besar sehingga akan semakin boros

juga dalam pelaksanaannya. Jika rasio telah

terpenuhi akan dilanjutkan dengan pemodelan

struktur SFT pada finite element software tapi

jika rasio belum memenuhi, maka akan dilakukan

preliminary desain lagi sampai menghasilkan

rasio yang memenuhi.

h. Pemodelan Struktur SFT Pada Finite

Element Software

Dalam penelitian konfigurasi kabel ini akan

digunakan software Autocad 2009 untuk

memodelkan struktur SFT dalam bentuk 3 (tiga)

dimensi kemudian melakukan export ke software

SAP 2000 14.2.2 atau software FEM (Finite

Element Method) lainnya. Contoh desain bentuk

struktur SFT yang digunakan dalam studi

konfigurasi kabel SFT terdapat pada gambar di

bawah ini :

Gambar di atas menunjukkan tampak

memanjang SFT dengan hanya menampakkan

tampak samping kabel transversalnya. Pada

bagian miring tunnel tersebut nantinya akan

disesuaikan kemiringannya maksimamum 6,28%

dan panjangnya tergantung dari data bathymetri

dan elevasi tanah daerah sekitar pemasangan

protoype SFT ini. Pada studi ini juga akan

menganalisis konfigurasi kabel longitudinal.

Konfigurasi kabel longitudinal yang akan

digunakan pada studi ini ada 3 type. Gambar

ketiga type konfigurasi kabel longitudinal SFT

tersebut dapat dilihat di bawah ini:

Gambar ketiga type konfigurasi kabel

longitudinal di atas akan dikombinasikan dengan

konfigurasi kabel transversal jika pengaruh

deformasi struktur SFT pada arah longitudinal

sangat besar. Konfigurasi kabel transversal yang

akan digunakan adalah konfigurasi kabel

transversal yang paling efektif dalam hal ini

adalah yang kuat dalam menahan badan tunnel

akibat beban luar dan murah dalam

pemakaiannya. Sambungan antara kabel

baja/tendon dan badan tunnel beton akan

menggunakan sabuk baja yang akan dililitkan

pada badan tunnel.

Konfigurasi kabel transversal yang akan

dianalisis dalam studi ini adalah konfigurasi

kabel hasil modifikasi dari konfigurasi kabel

yang telah diciptakan oleh Profesor Maeda

(Maeda, 1994) dimana dari konfigurasi tersebut

akan dipilih bentuk yang paling efektif dalam hal

ini kuat dalam menahan badan tunnel akibat

beban luar dan murah bagi pembangunan SFT

(Submerge Floating Tunnel) di Indonesia

tepatnya di Kepulauan Seribu sebagai

penghubung antara Pulau Panggang dan Pulau

Karya. Detail konfigurasi-konfigurasi tersebut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Penampang yang akan digunakan dalam

desain SFT pada studi ini adalah penampang

lingkaran dengan material beton. Gambar contoh

bentuk penampang badan tunnel yang akan

digunakan pada studi ini dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

i. Pembebanan Struktur

Perencanaan pembebanan pada struktur ini

berdasarkan API RP 2A dan SNI 03-2847/BMS

1992. Pembebanan yang dilakukan akan

menggunakan metode-metode pembebanan yang

terdapat pada Bab II.

j. Analisa Struktur SFT

Dalam melakukan analisa dan perbandingan

hasil konfigurasi kabel akan digunakan

peraturan-peraturan API RP 2T dan SNI/BMS.

Analisis struktur meliputi :

1. Analisis tegangan dan lendutan tunnel SFT

2. Analisis tegangan kabel SFT

3. Analisis displacement kabel akibat beban

luar

Metode analisis yang akan digunakan pada

studi ini dibahas pada Bab II. Analisa struktur

tunnel harus memenuhi syarat tegangan dan

lendutan ijin sesuai peraturan SNI 03-2847-2002

dimana syarat tersebut terdapat pada Persamaan

31, Persamaan 32 dan Persamaan 33 Bab II,

sedangkan kabel SFT harus memenuhi syarat

tegangan ijin sesuai peraturan API RP 2T yang

terdapat pada Persamaan 27-30.

Page 16: Makalah SFT

17

k. Perbandingan Hasil Konfigurasi Kabel

SFT

Setelah melakukan analisa struktur pada SFT,

hasil dari analisa akan dibandingkan untuk

mendapatkan konfigurasi kabel SFT yang paling

efektif dimana konfigurasi yang efektif tersebut

kuat dalam menahan badan tunnel saat beban luar

terjadi dan tidak boros dalam penggunaannya

pada struktur SFT.

l. Deskripsi Hasil Studi

Deskripsi hasil studi akan digunakan untuk

memberikan hasil dan kesimpulan dari

keseluruhan studi konfigurasi kabel ini.

BAB IV

ANALISA DATA

4.1 Umum

Analisa struktur prototype SFT direncanakan

menggunakan peraturan API RP 2A-WSD 2000,

tetapi dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa

semua isi peraturan pembebanan yang ada di

dalamnya hanya bisa digunakan jika type

gelombang yang terjadi pada lingkungan perairan

tersebut merupakan type gelombang unbreaking

wave dan jika lingkungan perairan yang akan

dianalisa memiliki type gelombang yang bukan

unbreaking wave atau gelombang tersebut

memiliki type breaking wave, maka tidak boleh

menggunakan peraturan API RP 2A-WSD 2000.

Lingkungan perairan yang ditinjau memiliki type

gelombang unbreaking wave jika kedalaman laut

lebih besar daripada 1,5 kali tinggi gelombang

yang terjadi. Data tinggi dan periode gelombang

hasil pengukuran di lapangan pada lingkungan

perairan tempat prototype SFT ini akan dibangun

adalah sebagai berikut :

Tabel Data tinggi dan periode gelombang

stationary perairan tempat prototype struktur

SFT dibangun

Tinggi gelombang maksimum (Hsta) 1,2 m

Periode gelombang maksimum (Tsta) 3,58 s

Sumber : Lab. Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP

ITS

Data bathymetri yang didapat untuk

melakukan studi ini hanya berupa profil melintang

laut dengan ukuran ketinggian lautnya. Data

tersebut sudah bisa dijadikan acuan untuk

menentukan letak tunnel SFT dari kedalaman laut

di lingkungan tersebut. Profil melintang laut

tempat SFT akan dibangun adalah sebagai berikut :

Sumber : Lab. Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP

ITS

Gambar Profil melintang laut tempat prototype

struktur SFT dibangun dengan ukuran

kedalamannya

Dari gambar di atas diketahui bahwa kedalaman

laut tempat struktur prototype SFT dibangun

adalah 20 m, sehingga penentuan tipe gelombang

dapat ditentukan sebagai berikut :

( unbreaking wave )

Dari hasil perhitungan di atas dapat diketahui juga

bahwa tipe gelombang yang terjadi di lingkungan

perairan tempat SFT dibangun adalah tipe

gelombang unbreaking wave sehingga peraturan

pembebanan dan teori gelombang pada API RP

2A-WSD 2000 dapat digunakan dalam studi SFT

ini.

Page 17: Makalah SFT

18

4.2 Penentuan Teori Gelombang

Penentuan teori gelombang yang akan

digunakan pada analisa sruktur prototype SFT

tergantung dari data lingkungan perairan tempat

prototype SFT tersebut dibangun, dimana untuk

menentukan teori gelombang tersebut harus sesuai

dengan persyaratan pada tabel 2.3.1-3 API RP 2A-

WSD 2000. Tabel tersebut dapat dilihat pada Bab

II Gambar 2.20. Gambar untuk menentukan teori

gelombang yang akan digunakan tersebut adalah

berupa grafik hubungan antara H/gT2 dan d/gT2.

Perhitungan untuk menentukan teori gelombang

yang akan digunakan dalam analisa struktur SFT

nantinya adalah sebagai berikut :

Hasi perhitungan dari parameter untuk

penentuan teori gelombang yang digunakan di atas

akan diplot garfik penentuan gelomabang API

WSD 2000 dan diketahui bahwa teori gelombang

yang digunakan adalah Stokes Orde 5 atau Stokes

Wave Theory. Teori gelombang tersebut banyak

digunakan dalam perhitungan gelombang dengan

amplitudo kecil tetapi berhingga. Teori tersebut

juga bisa valid untuk digunakan jika rasio

kedalaman h/L lebih besar dari 1/10.

4.3 Tekanan Hidrostatis dan Profil Arus

Tekanan hidrostatis yang terjadi pada

struktur lepas pantai akan dipengaruhi oleh tinggi

gelombang dan pasang surut air laut karena

tekanan hidrostatis tersebut juga bisa bertambah

jika kedalamannya juga bertambah. Pada studi ini

tidak ada data pasang surut sehingga diasumsikan

jika pasang surut yang terjadi pada lingkunga

perairan tempat struktur prototype SFT adalah 1

(satu) meter. Besarnya tekanan hidrostatis yang

akan terjadi pada struktur di lingkungan tempat

prototype SFT dibangun akan dihitung sesuai

peraturan API RP 2A-WSD 2000 pasal 3.2.5.

Rumus perhitungan tekanan hidrostatis tersebut

dapat dilihat pada Persamaan 4 dan Persamaan 5

Bab II.

Perhitungan tekanan hidrostatis pada

struktur SFT akan dimulai dengan menghitung

panjang gelombang yang terjadi dengan

menggunakan bantuan finite element software SAP

2000 v.14.2.2 sebagai berikut :

Penentuan karakteristik gelombang pada

software SAP 2000 v.14.2.2

Karakteristik gelombang yang akan

dimasukkan ke dalam perhitungan software SAP

2000 tergantung dari teori gelombang yang akan

digunakan, dimana seperti pada hasil perhitungan

sebelumnya teori gelombang yang digunakan

adalah Stokes Wave Theory. Data lain yang

dimasukkan adalah tinggi gelombang, periode

gelombang, kedalaman air laut, faktor kinematik

gelombang dimana digunakan angka rata-rata 0,9

jika diasumsikan struktur terpengaruh oleh badai di

daerah tropis karena nilai faktor kinematik

gelombang untuk daerah tersebut adalah 0,85-0,95,

dan tinggi pasang dari seabed yaitu 21 m atau 1 m

dari datum

Data gelombang yang dimasukkan ke dalam

perhitungan software SAP 2000 perlu ditambahkan

dengan data profil arus yang terjadi di lingkungan

perairan tempat struktur prototype SFT akan

dibangun karena gaya gelombang diasumsikan

terjadi bersamaan dengan gaya arus. Data

kecepatan arus yang didapatkan adalah 1,2 m/s

pada kedalaman 15 m dari seabed dan tidak

diketahui kecepatan arus tersebut disebabkan oleh

angin atau pasang surut karena pengukurannya

langsung dilakukan di lapangan. Jadi, dari data

kecepatan arus tersebut akan dihitung berapa

kecepatan arus jika disebabkan oleh angin dan

berapa kecepatan arus jika disebabkan oleh pasang

surut. Hasil dari kedua kecepatan arus tersebut

nantinya akan dibandingkan yang mana yang

paling besar. Hasil kecepatan maksimum yang

didapatkan nantinya akan dimasukkan ke dalam

software SAP 2000 sebagai profil arus. Perbedaan

kecepatan arus akibat angin dan kecepatan arus

akibat pasang surut dapat dilihat pada gambar di

bawah ini :

Sumber : Offshore Structure Analysis and Design,

1999

Gambar Perbedaan kecepatan angin akibat

angin dan akibat pasang surut

Page 18: Makalah SFT

19

Perhitungan kecepatan arus akibat angin

akan menggunakan Persamaan 24 pada Bab II.

Hasil perhitungan kecepatan arus akibat angin

adalah sebagai berikut :

Tabel Hasil analisa kecepatan arus akibat angin

h(m) y (m) Vcow (m/s) Vcw (m/s)

21 0 1.2 0.00

21 2 1.2 0.11

21 4 1.2 0.23

21 6 1.2 0.34

21 8 1.2 0.46

21 10 1.2 0.57

21 12 1.2 0.69

21 14 1.2 0.80

21 15 1.2 0.86

21 16 1.2 0.91

21 18 1.2 1.03

21 20 1.2 1.14

21 21 1.2 1.20

Keterangan tabel :

h = Kedalaman laut dihitung pada saat pasang

y = Tinggi air laut dari seabed

VC0W = Kecepatan arus di permukaan laut

VCW = Kecepatan arus menurut kedalamannya dari

seabed

Setelah didapatkan kecepatan arus akibat angin

menurut kedalamannya, akan dihitung juga

kecepatan arus akibat pasang surut air laut sesuai

Persamaan 23. Perhitungan tersebut adalah

sebagai berikut :

Tabel Hasil analisa kecepatan arus akibat

pasang surut

h(m) y (m) VcoT (m/s) VcT (m/s)

21 0 1.2 0.00

21 2 1.2 0.86

21 4 1.2 0.95

21 6 1.2 1.00

21 8 1.2 1.05

21 10 1.2 1.08

21 12 1.2 1.11

21 14 1.2 1.13

21 15 1.2 1.14

21 16 1.2 1.15

21 18 1.2 1.17

21 20 1.2 1.19

21 21 1.2 1.20

Keterangan tabel :

h = Kedalaman laut dihitung pada saat pasang

y = Tinggi air laut dari seabed

Vc0T = Kecepatan arus di permukaan laut

VcT = Kecepatan arus menurut kedalamannya dari

seabed

Profil arus yang dimasukkan ke dalam tabel

current profile pada software SAP 2000 hanya

dibolehkan satu tabel. Oleh karena itu, data-data

hasil perhitungan kecepatan arus akibat angin dan

pasang surut akan dijumlahkan. Hal ini disebabkan

karena pada studi ini akan memperhitungkan

keadaan lingkungan berada pada kondisi yang

kritis dimana arus akibat pasang surut dan angin

terjadi secara bersamaan.

Hasil perhitungan kecepatan arus

maksimum yang terjadi tiap kedalaman dari seabed

adalah sebagai berikut :

Tabel Hasil analisa kecepatan arus maksimum

tiap kedalaman dari seabed

y (m) Vcurrent (m/s)

0 0.000

2 0.972

4 1.175

6 1.346

8 1.503

10 1.651

12 1.794

14 1.932

15 2.001

16 2.069

18 2.202

20 2.335

21 2.400

Hasil analisa pada tabel di atas digunakan

untuk menentukan profil arus yang terjadi pada

lingkungan perairan tempat struktur prototype SFT

dibangun. Hasil analisa tersebut dimasukkan ke

dalam tabel data current profile pada software SAP

2000. Pada API RP 2A-WSD 2000 terdapat

penggunaan blockage factor atau faktor hambatan

yang mengurangi kecepatan arus, dengan kata lain

kehadiran struktur mengakibatkan arus menyebar

dan sebagian tidak melalui struktur atau hanya

mengelilingi struktur. Pada studi ini akan

digunakan blockage factor sebesar 1. Profil arus

yang dimasukkan ke dalam input data software

SAP 2000 adalah sebagai berikut :

Page 19: Makalah SFT

20

Gambar Input data profil arus pada software

SAP 2000

Tabel dari software SAP 2000 di atas

menunjukkan bahwa vertikal from datum adalah

jarak dari permukaan laut ke seabed atau dasar

laut. Pengisian tabel pada software SAP 2000

dilakukan dengan cara demikian agar konsep teori

gaya gelombang yang terjadi pada suatu bangunan

lepas pantai terpenuhi yaitu semakin mendekati

permukaan laut akan semakin besar dibandingkan

dengan gaya gelombang yang terjadi pada daerah

seabed atau dasar laut.

Gambar Konsep teori gaya gelombang dan arus

pada struktur SFT

Setelah data gelombang dan profil arus

dimasukkan ke dalam input software SAP 2000,

akan dilihat hasil perhitungan panjang gelombang

yang terjadi sesuai dengan stokes wave theory.

Hasil perhitungan panjang gelombang tersebut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar Hasil analisa kondisi lingkungan

perairan tempat SFT akan dibangun pada

software SAP 2000

Dari hasil analisa SAP 2000 diketahui

bahwa panjang gelombang (L) adalah 34,9373 m.

Angka gelombang (k) dapat dihitung dengan

memasukkan panjang gelombang (L) ke dalam

persamaan sebagai berikut :

Teori gelombang yang telah digunakan juga akan

dikontrol apakah sudah benar atau belum agar

analisa gelombang yang akan dihitung bisa sesuai

dengan peraturan API RP 2A-WSD 2000 dengan

menggunakan Tapp karena sebelumnya hanya

menggunakan periode gelombang hasil pencatatan

di lapangan (T). Kontrol penggunaan teori tersebut

adalah sebagai berikut :

Setelah itu akan dicek juga apakah teori

stokes sudah valid untuk digunakan. Pengecekan

tersebut adalah sebagai berikut :

Jadi, penentuan teori gelombang dalam analisa

sebelumnya sudah benar karena hasil perhitungan

di atas menunjukkan bahwa grafik penentuan teori

gelombang juga menunjukkan stokes wave theory

atau stokes orde 5.

Hasil perhitungan angka gelombang (k) yang

juga telah dihitung sebelumnya akan digunakan

untuk menentukan besarnya tekanan hidrostatis

sesuai dengan kedalaman (z), dimana tinggi

permukaan laut (d) dari seabed yang digunakan

yaitu 20 m. Tinggi gelombang yang digunakan

pada perhitungan tekanan hidrostatis ini juga akan

menggunakan tinggi gelombang maksimum yang

akan dihitung sebagai berikut :

Hasil perhitungan tekanan hidrostatis pada

lingkungan perairan struktur prototype SFT adalah

sebagai berikut :

Page 20: Makalah SFT

21

Tabel Hasil perhitungan tekanan hidrostatis

menurut kedalamannya

Dari tabel perhitungan di atas dapat

diketahui bahwa besarnya tekanan hidrostatis yang

bekerja pada struktur SFT tergantung dari

kedalaman laut, dimana jika struktur SFT

diletakkan semakin dalam maka struktur akan

mendapatkan tekanan hidrostatis yang lebih besar

daripada jika struktur diletakkan di daerah yang

lebih dangkal. Prototype struktur SFT pada studi

ini akan diletakkan sedalam 5 m dari permukaan

laut. Pada tabel di atas, angka yang berwarna

merah adalah tekanan hidrostatis yang akan

bekerja pada prototype struktur SFT tersebut.

Tekanan hidrostatis tersebut akan bekerja pada

seluruh permukaan badan tunnel dan kabel SFT

walaupun tekanan hidrostatis yang bekerja pada

kabel tidak akan terlalu berpengaruh pada kabel

SFT tersebut.

Gambar Tekanan hidrostatis pada struktur

SFT

4.4 Profil Gelombang

Gaya gelombang yang terjadi pada salah

satu bagian struktur juga tergantung dari luas

penampang dari salah satu bagian struktur tersebut.

Besarnya kecepatan dan percepatan gelombang

pada berbagai arah akan dihitung sesuai

Persamaan 19, Persamaan 20, Persamaan 21

dan Persamaan 22. Setelah memasukkan data

gelombang dan profil arus pada software SAP

2000 yang juga telah dilakukan sebelumnya,

software tersebut secara otomatis akan menghitung

besarnya kecepatan dan percepatan gelombang

dalam arah vertikal dan horizontal. Gaya

gelombang dan arus yang akan bekerja pada

struktur akan diasumsikan terjadi pada arah 0O atau

pada arah sumbu X karena pada arah tersebut

kondisi kritis akan terjadi pada struktur SFT jika

beban lateral bekerja. Tampilan hasil analisa data

gelombang pada software SAP 2000 dapat dilihat

pada gambar di bawah ini :

Gambar Analisa data gelombang pada software

SAP 2000

Gaya gelombang dan arus yang telah

dihitung oleh software SAP 2000 hanya akan

bekerja pada frame properties model struktur SFT

atau hanya bekerja pada kabel/tendon SFT

sehingga gaya gelombang dan arus tersebut tidak

akan bekerja pada badan tunnel yang merupakan

shell properties. Gaya gelombang tidak ada pada

tabel profil gelombang software SAP 2000 di atas

karena besarnya gaya gelombang tersebut

tergantung dari diameter kabel tendon SFT.

Software SAP 2000 secara otomatis akan

menghitung besarnya gaya gelombang yang akan

terjadi nanti pada kabel tendon SFT setelah semua

define property dan assign load telah dilakukan.

Sedangkan besarnya gaya gelombang dan arus

yang terjadi pada badan tunnel akan dihitung

dengan cara manual. Bentuk penampang tunnel

yang akan digunakan pada studi ini adalah sebagai

berikut :

Gambar Penampang badan tunnel SFT yang

akan digunakan pada studi konfigurasi kabel

Persamaan untuk menghitung gaya

gelombang dan arus bisa menggunakan persamaan

Morrison jika perbandingan antara diameter

struktur dengan panjang gelombang lebih kecil

atau sama dengan 0,1 0,2 (TU Delft Open Course,

2005 sedangkan jika perbandingan tersebut lebih

besar dari nilai 0,1 0,2, maka teori difraksi harus

digunakan dalam analisa perhitungan beban

lingkungan untuk gelombang dan arus. BPPT dan

z k(d-z) cosh [k(d-z)] cosh kd Hw (m) Hz (m) γ (N/m3) ρ(N/m2)

0 3.595 18.222 34.642 2.232 0.587 10050 5899.543

2 3.236 12.729 34.642 2.232 2.410 10050 24221.291

4 2.876 8.900 34.642 2.232 4.287 10050 43081.440

5 2.696 7.446 34.642 2.232 5.240 10050 52660.679

6 2.517 6.233 34.642 2.232 6.201 10050 62318.018

8 2.157 4.380 34.642 2.232 8.141 10050 81818.227

10 1.798 3.100 34.642 2.232 10.100 10050 101503.712

11 1.618 2.620 34.642 2.232 11.084 10050 111398.276

12 1.438 2.225 34.642 2.232 12.072 10050 121320.322

14 1.079 1.640 34.642 2.232 14.053 10050 141231.033

16 0.719 1.270 34.642 2.232 16.041 10050 161211.118

18 0.360 1.065 34.642 2.232 18.034 10050 181244.911

20 0.000 1.000 34.642 2.232 20.032 10050 201323.763

Page 21: Makalah SFT

22

ITS telah menentukan ukuran diameter dalam

tunnel yang digunakan adalah 5 m sedangkan

diameter luar tunnel yang akan digunakan adalah

5,9 m setelah dilakukan cara trial and error untuk

mendapatkan dinding tunnel yang aman, sehingga :

Jadi, persamaan Morrison untuk menghitung gaya

gelombang dan arus yang bekerja pada badan

tunnel dapat digunakan dengan mengabaikan teori

difraksi. Perhitungan gaya gelombang dan arus

akan diasumsikan terjadi bersamaan dan dengan

arah yang sama untuk mendapatkan beban

lingkungan akibat gelombang dan arus yang paling

maksimum. Tinggi gelombang yang akan

digunakan dalam perhitungan adalah tinggi

gelombang maksimum yang juga telah digunakan

dalam perhitungan tekanan hidrostatis.

Tinggi gelombang maksimum yang telah

dihitung sebelumnya yaitu sebesar 2,232 m

merupakan hasil pembesaran tinggi gelombang

signifikan hasil pencatatan di lapangan

menggunakan nilai faktor 1,86. Gaya gelombang

dan gaya arus yang bekerja pada badan tunnel SFT

akan dihitung selama periode gelombang terjadi

yaitu 3,58 s sepanjang 34,9373 m jarak horizontal

yang juga merupakan panjang gelombang. Hasil

perhitungan gaya gelombang dan arus yang terjadi

pada badan tunnel SFT akan ditampilkan pada

tabel-tabel sebagai berikut :

BAB V

PRELIMINARY DESAIN STRUKTUR

SFT

5.1 Umum Studi tentang SFT (Submerge Floating

Tunnel) yang dilakukan di Indonesia khususnya di

ITS ( Institut Teknologi Sepuluh Nopember )

dilakukan secara berkelompok. Khusus pada Studi

Konfigurasi Kabel SFT ini akan digunakan

penampang badan tunnel berbentuk lingkaran

dengan material beton sebagai sample desain

dalam menentukan konfigurasi kabel yang

nantinya akan menahan badan tunnel pada saat

beban luar dan gaya apung bekerja pada badan

tunnel tersebut. Desain Struktural tunnel SFT yang

akan dibuat harus sesuai dengan persyaratan rasio

antara berat total tunnel SFT yang ada di dalam air

dengan gaya apung yang bekerja pada badan

tunnel.

Pada studi mengenai SFT ini, tunnel yang

akan didesain hanya merupakan prototype yang

perencanaannya hanya diperuntukkan bagi

kendaraan ringan biasa atau kendaraan penumpang

karena SFT di Kepulauan Seribu dibangun untuk

meninjau kelayakan pembangunan SFT di

Indonesia.

5.2 Desain Diameter dan Profil Memanjang

Tunnel SFT

Desain tebal diameter tunnel pada struktur

SFT akan disesuaikan dengan lebar kendaraan

ringan/kendaraan penumpang biasa yang

direncanakan sebagai beban lalu-lintas pada SFT

ini yaitu 2,1 m dan tinggi bebas yang cukup untuk

kendaraan ringan yaitu minimum 1,3 m. Gambar

dan ukuran kendaraan ringan yang dijadikan acuan

untuk menentukan dimensi lebar penampang

tunnel terdapat pada gambar di bawah ini:

Sumber : RUU Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan. Status Final 2005 (pasal 12)

Gambar Dimensi Kendaraan Penumpang

Dari dimensi kendaraan di atas,

direncanakan diameter dalam (d) penampang

tunnel yang cukup untuk dilewati oleh kendaraan

tersebut yaitu 5 m, dimana ukuran ini juga sama

dengan yang diinginkan BPPT. Diameter dalam

tersebut sudah cukup untuk dilewati oleh

kendaraan ringan karena diasumsikan tunnel hanya

untuk 2 (dua) lajur. Gambar penampang tunnel

protoype SFT yang akan digunakan sebagai sample

dalam menganalisa konfigurasi kabel adalah

sebagai berikut :

Gambar Dimensi bagian luar tunnel prototype

SFT

Bentuk memanjang dari prototype tunnel

SFT akan dibuat sedemikian rupa agar memiliki

kemiringan atau kelandaian yang layak untuk

kondisi jalan umum yaitu sekitar 5%-11%.

Kelandaian jalan yang akan dibuat pada SFT ini

adalah kelandaian maksimum agar dalam

Page 22: Makalah SFT

23

pelaksanaannya struktur SFT tidak memerlukan

penggalian tanah yang berlebihan untuk mencapai

kemiringan yang lebih rendah karena dapat

mempengaruhi bangunan disekitarnya. Kemiringan

atau kelandaian yang direncanakan harus dapat

memungkinkan SFT bisa menghubungkan pulau

yang berjarak 150 m. Secara detail, batasan

kelandaian maksimum menurut Bina Marga’90

dan AASHTO’90 ditunjukkan pada tabel di bawah

ini :

Tabel Batasan kelandaian maksimum menurut

AASHTO’90 dan Bina Marga’90

Kecepatan

Rencana

(km/j)

Jalan Arteri Luar Kota (AASHTO’90)

Jalan Luar Kota

(Bina Marga)

Datar

Perbukitan

Pegununga

n

Kelandaian Maks

Standar (%)

Kelandaian Maks Mutlak

(%)

40 7 11

50 6 10

64 5 6 8

60 5 9

80 4 5 7 4 8

96 3 4 6

113 3 4 5

Sumbe Sumber : Modul Kuliah Geometrik Jalan Raya

dan Rel Jurusan Teknik Sipil ITS

Dari tabel di atas digunakan kelandaian

maksimum mutlak untuk kecepatan rencana 40

km/jam. Gambar bentuk memanjang dari prototype

badan tunnel SFT yang akan dibuat terdapat pada

gambar di bawah ini :

Gambar Bentuk memanjang tunnel prototype

SFT

5.3 Desain Struktural Tunnel SFT

Bagian-bagian struktural tunnel akan

berpengaruh pada berat tunnel itu sendiri sehingga

dalam menentukan bagian-bagian struktural tunnel

harus mempertimbangkan rasio antara gaya apung

dengan berat total tunnel yaitu sekitar 1,2-1,3.

Untuk menentukan tebal badan tunnel agar berat

sendiri badan tunnel tersebut nantinya akan sesuai

dengan rasio yang telah ditentukan akan digunakan

Persamaan 1, Persamaan 2 dan Persamaan 3

pada Bab II.

Dalam menentukan bagian struktural tunnel,

nilai rasio yang akan digunakan adalah sekitar 1,3

jika kondisi tunnel belum dibebani oleh beban

kendaraan atau beban hidup lalu-lintas sedangkan

nilai rasio sekitar 1,2 digunakan jika kondisi tunnel

telah dibebani oleh beban hidup lalu-lintas.

Berat sendiri badan tunnel (W) yang akan

dihitung nantinya akan ditambahkan dengan

beban-beban fasilitas lainnya yang berada di dalam

tunnel seperti beban plat kendaraan, balok baja

pemikul plat kendaraan dan lain-lain. Seperti

dengan yang dijelaskan pada bab II, beban-beban

tersebut akan dibatasi sampai sebesar 30% dari

berat sendiri badan tunnel sehingga akan dilakukan

cara trial and error untuk mendapatkan berat

seluruh bagian struktural dari tunnel SFT yang

akan dibuat.

Panjang keseluruhan badan tunnel SFT yang

telah direncanakan adalah 177,14 m sedangkan

panjang badan tunnel yang berada di dalam laut

adalah 130,75 m. Jadi, total gaya apung (U) yang

terjadi pada badan tunnel SFT akan dihitung

sebagai berikut :

Gaya apung yang telah dihitung di atas tidak

boleh lebih kecil daripada berat total tunnel SFT

agar gaya apung tersebut dapat membantu struktur

SFT dalam menahan beban mati dan beban hidup

yang bekerja di dalam tunnel. Cara trial and error

akan digunakan untuk mendapatkan dimensi

bagian-bagian struktural yang cocok, kuat, dan

aman tapi tetap memiliki berat yang sesuai dengan

rasio berat tunnel yang diinginkan.

Setelah melakukan cara trial and error,

didapatkan bagian-bagian struktural dari tunnel

SFT sebagai berikut :

5.3.1 Plat Kendaraan

Plat lantai kendaraan yang akan digunakan

pada tunnel SFT adalah plat lantai beton bertulang

yang sering digunakan pada jembatan

konvensional. Plat lantai kendaraan ini memiliki

lebar 4,5 m dan akan ditahan oleh balok profil baja

pada posisi memanjang dengan jarak antara balok

baja sebesar 1,25 m serta balok profil baja pada

posisi melintang dengan jarak antar balok

melintang 3 m, jadi dalam menentukan tebal plat

lantai kendaraan yang ada di dalam tunnel sama

dengan menentukan tebal plat lantai kendaraan

pada jembatan konvensional. Penentuan tebal plat

lantai kendaraan pada tunnel adalah sebagai

berikut :

Page 23: Makalah SFT

24

Dimana :

b1 = jarak balok profil baja pemikul plat lantai

kendaraan (m)

d’ = tebal plat lantai kendaraan (mm)

Dengan memasukkan nilai b1 yang merupakan

jarak antara balok profil baja memanjang yaitu

sebesar 1,25 m, maka tebal plat lantai kendaraan

(d’) adalah sebagai berikut :

Jadi, didapatkan nilai d’ sebesar 200 mm.

Digunakan tebal plat lantai kendaraan sebesar 200

mm karena tebal tersebut juga sudah sesuai dengan

persyaratan yang mengharuskan tebal plat lantai

kendaraan lebih besar atau sama dengan 200 mm.

5.3.2 Balok Memanjang

Pada studi ini akan direncanakan balok baja

pada posisi memanjang dengan profil WF (Wide

Flange) 250 x 175 x 7 x 11 (BJ 41) dengan data

profil sebagai berikut :

Tabel

Data profil baja WF untuk balok posisi

memanjang Direncanakan balok baja profil WF

250x175x7x11

A 56.24 cm2 Sx 502.0 cm3

w 44.10 kg/m Sy 113.0 cm3

Zx 535.00 cm3 ix 10.4 cm

Zy 171.00 cm3 iy 4.18 cm

Ix 6,120.00 cm4 r 16 mm

Iy 984.00 cm4 h 190 mm

fy 250 MPa fu 410 MPa

tw 7 mm tf 11 mm

d 244 mm bf 175 mm

Pembebanan akibat beban mati serta perhitungan

momen dan gaya geser maksimum yang bekerja

pada balok memanjang dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel

Perhitungan beban mati, momen maksimum,

dan gaya geser maksimum pada balok

memanjang

Aspal 1.7875 kN/m

Plat Beton 7.8 kN/m

Berat Sendiri Balok 0.4851 kN/m

Berat Bekisting 0.875 kN/m

Berat Total (qdead) 10.948 kN/m

Mmax(momen akibat beban mati) 12.31605 kN.m

Vmax(gaya geser akibat beban mati) 16.4214 kN

Hasil perhitungan pembebanan, perhitungan

momen dan gaya geser maksimum akibat beban

hidup pada balok memanjang dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel Perhitungan beban, momen dan gaya

geser maksimum pada balok memanjang akibat

beban hidup

Beban Hidup Beban Hidup Merata (UDL)

8.00 kN/m2 L<30 m (BMS 2.3.3.1)

qUDL 20.00 kN/m

Beban Hidup (KEL) 44 kN/m

(BMS 2.3.3.1)

P(KEL) 71.5 kN

Mmax(momen akibat beban hidup UDL+KEL) 76.125 kN.m

Vmax(gaya geser akibat beban hidup UDL+KEL) 101.500 kN

Kontrol lendutan akibat beban hidup dan

beban mati pada profil balok memanjang yang

telah dipilih adalah sebagai berikut:

Tabel Kontrol Lendutan pada balok

memanjang

Kontrol Lendutan

∆ beban mati 0.07 cm

∆ beban hidup 0.24 cm

∆ total 0.31 cm

∆ ijin 0.60 cm

kontrol lendutan ok !!!

Profil balok memanjang yang telah dipilih

akan dikontrol kekuatan lenturnya. Kontrol kuat

lentur balok memanjang adalah sebagai berikut :

Page 24: Makalah SFT

25

Tabel Kontrol lentur pada balok memanjang

Kontrol Lentur

M livemax 76.125 kNm

M deadmax 12.31605 kNm

Mu 88.441 kNm

Mn 133.75 kNm

ǿMn 120.375 kNm

kontrol ok !!!

Setelah mengontrol kuat lentur profil balok

memanjang, akan dikontrol lagi kekuatan

gesernya. Kontrol kuat geser balok memanjang

adalah sebagai berikut :

Tabel Kontrol geser pada balok memanjang

Kontrol Geser

V livemax 101.500 kN

V deadmax 16.421 kN

Vu 117.921 kN

Vn 19950 kg

199.5 kN

ǿVn 179.55 kN

kontrol ok !!!

Jadi, profil balok memanjang WF 250 x 175

x 7 x 11 sudah aman digunakan pada struktur SFT.

5.3.3 Balok Melintang

Pada studi ini akan direncanakan balok baja

pada posisi melintang dengan profil WF (Wide

Flange) 450 x 300 x 10 x 15 (BJ 41) dengan data

profil sebagai berikut :

Tabel Data profil baja WF untuk balok posisi

melintang Direncanakan balok baja profil WF 450x300x10x15

A 135.00 cm2 Sx 2,160.00 cm3

w 106.00 kg/m Sy 488.00 cm3

Zx 2,287.00 cm3 ix 18.60 cm

Zy 681.00 cm3 iy 7.04 cm

Ix 46,800.00 cm4 r 24.00 mm

Iy 6,690.00 cm4 h 356.00 mm

fy 250 MPa fu 410.00 MPa

tw 10 mm tf 15 mm

d 434 mm bf 299 mm

Pembebanan akibat beban mati sebelum

komposit serta perhitungan momen dan gaya geser

maksimum yang bekerja pada balok melintang

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel Perhitungan beban mati sebelum

komposit, momen dan gaya geser maksimum

pada balok melintang Beban Mati Sebelum Komposit

Balok memanjang 1.164 kN/m

Plat Beton 18.720 kN/m

Balok melintang 1.166 kN/m

Berat Bekisting 2.100 kN/m

Berat Total (qdead) 23.150 kN/m

Mmax(momen akibat beban mati) 54.258 kN.m

Vmax(gaya geser akibat beban mati) 50.121 kN

Sedangkan pembebanan akibat beban mati

setelah komposit serta perhitungan momen dan

gaya geser maksimum yang bekerja pada balok

melintang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel Perhitungan beban mati setelah

komposit, momen dan gaya geser maksimum

pada balok melintang Beban Mati Sesudah Komposit

Aspal 4.29 kN/m

Berat Total (qdead) 4.290 kN/m

Mmax(momen akibat beban mati) 10.055 kN.m

Vmax(gaya geser akibat beban mati) 9.288 kN

Pembebanan akibat beban hidup serta

perhitungan momen dan gaya geser maksimum

yang bekerja pada balok melintang dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel Perhitungan beban hidup, momen dan

gaya geser maksimum pada balok melintang

Beban Hidup Merata (UDL) 9.355 kN/m2

L>30 m (BMS 2.3.3.1)

qUDL 56.129 kN/m

Beban Hidup (KEL) 44 kN/m

(BMS 2.3.3.1)

qKEL 114.4 kN/m

Mmax(momen akibat beban hidup UDL+KEL) 399.673 kN.m

Vmax(gaya geser akibat beban hidup UDL+KEL) 369.204 kN

Kontrol lendutan akibat beban hidup dan beban

mati pada profil balok melintang yang telah dipilih

adalah sebagai berikut :

Page 25: Makalah SFT

26

Tabel Kontrol Lendutan pada balok melintang Kontrol Lendutan

∆ beban mati 0.10 cm

∆ beban hidup 0.40 cm

∆ total 0.50 cm

∆ ijin 0.87 cm

kontrol lendutan ok !!!

Profil balok melintang yang telah dipilih akan

dikontrol kekuatan lenturnya. Kontrol kuat lentur

balok melintang adalah sebagai berikut :

Tabel Kontrol lentur pada balok melintang Kontrol Lentur

M livemax 399.67 kNm

M deadmax 64.31 kNm

Mu 463.98 kNm

Mn 571.75 kNm

ǿMn 514.575 kNm

kontrol ok !!!

Setelah mengontrol kuat lentur profil balok

melintang, akan dikontrol lagi kekuatan gesernya.

Kontrol kuat geser balok melintang adalah sebagai

berikut :

Tabel Kontrol geser pada balok melintang Kontrol Geser

V livemax 369.204 kN

V deadmax 59.409 kN

Vu 428.614 kN

Vn 53400 kg

534 kN

ǿVn 480.6 kN

kontrol ok !!!

Jadi, profil balok melintang WF 450 x 300 x

10 x 15 sudah aman digunakan pada struktur SFT.

5.3.4 Tebal Badan Tunnel

Badan tunnel yang akan digunakan nanti

harus kuat menahan beban dinamis gelombang dan

arus serta beban statis dari tekanan air laut.

Software SAP 2000 hanya bisa menganalisa secara

dinamis beban gelombang jika beban tersebut

bekerja pada struktur frame sehingga software

tersebut tidak bisa menganalisa beban dinamis

gelombang jika beban tersebut bekerja pada

struktur shell seperti tunnel SFT sehingga beban

hydrodinamik yang bekerja pada dinding tunnel

akan dimasukkan secara manual pada software

tersebut.

Cara trial and error juga digunakan dalam

menentukan tebal dinding tunnel agar tebalnya

mencapai rasio yang telah ditentukan. Hasil dari

penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tebal

dinding tunnel SFT yang prototypenya akan

dibangun di Kepulauan Seribu ini minimum harus

diambil sebesar 0,40 m tapi dengan tebal sebesar

itu kondisi dinding tunnel masih tergolong

berbahaya karena tegangan retak yang terjadi pada

tengah bentang masih terlalu besar, sehingga

dalam studi ini yang menggunakan software SAP

2000 dalam analisa strukturnya akan digunakan

tebal dinding tunnel sebesar 0,45 m atau 45 cm.

Beberapa detail potongan gambar struktural tunnel

SFT dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar Potongan gambar struktural tunnel

SFT

5.4 Kontrol Rasio Total Berat Tunnel Dengan

Gaya Apung

Kontrol total berat tunnel dengan gaya

apung harus dilakukan agar persyaratan rasio

perbandingan gaya apung yang bekerja pada tunnel

dan berat sendiri tunnel dapat terpenuhi ketika

tuunel sudah dibebani oleh beban hidup lalu-lintas

yaitu sekitar 1,2 dan pada saat tunnel belum

dibebani beban hidup lalu-lintas. Sebelum

dilakukan kontrol terhadap rasio, akan dihitung

terlebih dahulu seluruh beban yang akan bekerja

pada tunnel sebagai berikut :

Tabel hasil perhitungan berat sendiri tunnel

dan fasilitas-fasilitasnya

Rasio berat total SFT dengan gaya apung yang

bekerja akan dihitung pada kondisi struktur SFT

sebelum dan setelah dibebani oleh beban hidup

lalu-lintas. Beban hidup lalu-lintas tersebut hanya

F a s ilita s S F T J um la h

B a lo k m e m a nja ng 0.44 kN/m m 4 230.643

B a lo k m e linta ng 1.06 kN/m m 44 200.043

P la t ke nda ra a n 3471.41 kN m 1 3471.413

B e ra t t unne l 24165.27 kN m 1 24165.27

B e ba n UD L 22.13 kN/m m 1 2893.5

B e ba n KEL 57.2 kN/m m 1 321.986

kN

4.3 kN

To tal 31282.852

130.75 kN

130.75 kN

130.75 kN

B e ra t S e ndiri P a nja ng B e ra t To ta l

130.75 kN

4.3 kN

Page 26: Makalah SFT

27

akibat beban hidup UDL (Uniformly Distributed

Load) dan KEL (Knife Edge Load) karena

prototype SFT yang direncanakan hanya untuk

aktivitas lalu-lintas ringan. Jadi, beban hidup

akibat truk tidak dimasukkan. Rasio tersebut

adalah sebagai berikut :

Tabel hasil perhitungan berat sendiri tunnel

dan fasilitas-fasilitasnya

Total Buoyancy 36800.405 kN

ratio ( no traffic loads ) 1.3

ratio ( with traffic loads ) 1.2

Jadi berat sendiri tunnel SFT dan semua beban-

beban yang berada di dalamnya telah memenuhi

rasio yang telah ditentukan.

5.5 Desain Kabel Tunnel SFT

Kabel yang akan didesain harus memiliki

letak yang tepat agar lendutan yang terjadi akibat

beban yang bekerja pada tunnel SFT memenuhi

lendutan ijin. Hal ini menyebabkan bentang

perletakan kabel harus di desain dengan tepat agar

lendutan yang terjadi akibat gaya gelombang, arus

dan gaya apung tidak melebihi lendutan ijin.

Bentang perletakan kabel juga tidak boleh terlalu

pendek karena dapat menyebabkan biaya yang

dikeluarkan untuk pemasangan dan pemakaian

kabel terlalu besar. Selain itu, kabel yang akan

digunakan harus memiliki kuat tarik dan kuat putus

yang sesuai dengan beban-beban yang bekerja

pada bagian badan tunnel yang berada di dalam

laut karena kabel hanya akan dipasang pada bagian

badan tunnel tersebut.

5.5.a. Desain Letak Kabel dan Posisi SFT

Dalam menentukan desain kabel SFT harus

ditinjau terlebih dahulu letak dari kabel-kabel yang

akan menahan badan tunnel saat gaya apung, gaya

gelombang dan gaya arus bekerja pada badan

tunnel tersebut. Letak kabel nantinya akan

berpengaruh pada besarnya lendutan yang terjadi

akibat gaya atau beban yang bekerja pada tunnel

SFT. Letak kabel tersebut nantinya dapat dilihat

pada bentuk memanjang dari tunnel SFT yang

telah dibuat.

Peninjauan letak kabel tersebut bertujuan

agar badan tunnel yang berada pada air tidak

mengalami lendutan yang terlalu besar akibat dari

gaya-gaya yang terjadi. Pada studi tentang tunnel

SFT ini direncanakan letak kabel itu berada setiap

30 m pada bagian tunnel yang lurus yang berada di

dalam air. Untuk lebih jelasnya letak kabel tersebut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar Skema bentuk memanjang tunnel SFT

dan letak kabel transversalnya pada contour

Pada gambar di atas, bagian permukaan

tunnel SFT yang terdekat dengan permukaan laut

terletak pada jarak 5 m sedangkan bagian yang

terdekat dengan seabed terletak pada jarak 9,1 m.

Pulau yang dihubungkan oleh SFT berjarak 150 m

sedangkan bagian yang masuk ke dalam

permukaan laut panjangnya 130,75 m. Jarak

permukan tunnel yang sebesar 5 m masih dapat

dilalui oleh beberapa kapal. Beberapa spesifikasi

kapal yang dapat melalui bangunan SFT ini adalah

sebagai berikut :

Tabel Beberapa Spesifikasi Kapal

Sumber : OCDI Chapter II

Penentuan lendutan ijin akibat gaya-gaya

yang terjadi pada tunnel akan dilakukan dengan

mengasumsikan bahwa gaya apung serta gaya

gelombang dan arus yang terjadi pada tunnel

adalah beban terbagi rata persegi. Gaya gelombang

dan arus yang akan digunakan dalam menentukan

tegangan ijin adalah gaya gelombang dan arus

maksimum yang telah dihitung sebelumnya pada

Bab IV. Pertama-tama akan dihitung lendutan ijin

Page 27: Makalah SFT

28

(∆i) akibat gaya apung yang terjadi pada tunnel

SFT sesuai Persamaan 28 pada Bab II. Skema

gaya apung yang terjadi pada tunnel dapat dilihat

pada gambar di bawah ini :

Gambar Skema gaya apung yang terjadi pada

potongan badan tunnel lurus setiap perletakan

kabel 30 m

Lendutan ijin (∆i) pada tunnel dihitung sebagai

berikut:

Jadi besarnya lendutan ijin (∆i) pada tunnel

SFT pada tiap perletakan kabel dengan bentang 30

m adalah sebesar 0,0833 m atau 83,3 mm. Setelah

mengetahui besarnya lendutan ijin yang terjadi

pada tunnel akibat gaya apung, akan dihitung lagi

besarnya lendutan ke atas yang terjadi pada tunnel

akibat gaya apung tersebut. Sebelum mengitung

lendutan yang terjadi akan dihitung terlebih dahulu

beberapa parameter-parameter yang mempengaruhi

lendutan yang terjadi.

Nilai dari modulus elastisitas material beton

(Ec) yang akan digunakan sebagai tunnel SFT

adalah sebagai berikut :

dimana karakteristik mutu beton

yang digunakan adalah sebesar 45 MPa (f’c = 45

MPa) dengan rasio air semen maksimum sebesar

0,40 dan mutu tersebut sudah memenuhi

persyaratan mutu beton yang telah dijelaskan pada

Bab II. Untuk plat lantai kendaraan digunakan

mutu beton yang juga sama dengan dinding beton

pada tunnel SFT

Nilai dari momen inersia (I) badan tunnel yang

telah direncanakan adalah sebagai berikut :

Gaya apung yang bekerja pada tunnel adalah

sebagai berikut :

Karena gaya apung pada tunnel diasumsikan

sebagai beban terbagi rata, jadi besarnya lendutan

yang terjadi akibat gaya apung (∆b) pada badan

tunnel yang lurus adalah sebagai berikut :

Dari hasil perhitungan lendutan yang terjadi

pada tunnel akibat gaya apung (∆b) di atas

diketahui bahwa besarnya lendutan ke atas yang

terjadi pada tunnel setiap bentang 30 m atau setiap

perletakan kabel 30 m adalah sebesar 1,635 mm

jauh lebih kecil daripada lendutan ijin yang telah

dihitung yaitu sebesar 80,3 mm sehingga jarak

bentang 30 m untuk perletakan kabel dapat

dikatakan aman pada saat gaya apung bekerja pada

tunnel. Skema lendutan ke atas yang terjadi pada

tunnel akibat gaya apung dapat dilihat pada gambar

di bawah ini :

Gambar Skema lendutan yang terjadi pada

potongan badan tunnel akibat gaya apung

setiap perletakan kabel 30 m

Bagian tunnel miring yang panjangnya

35,375 m dan masih berada di dalam laut juga akan

terpengaruh gaya apung. Skema lendutan badan

tunnel miring yang berada di dalam laut akibat

gaya apung dapat dilihat pada gambar di bawah

ini:

Gambar Skema lendutan yang terjadi pada

potongan badan tunnel miring akibat gaya

apung

Besarnya lendutan ijin pada badan tunnel

miring akibat gaya apung dihitung sebagai berikut

:

Page 28: Makalah SFT

29

Besarnya gaya apung yang terjadi pada badan

tunnel yang miring adalah sebagai berikut :

Jadi, lendutan yang terjadi pada badan tunnel yang

miring adalah sebagai berikut :

Dari perhitungan di atas diketahui besarnya

lendutan yang terjadi pada badan tunnel miring

akibat gaya apung adalah 3,143 mm sehingga

dapat disimpulkan bahwa lendutan yang terjadi

masih aman karena masih jauh lebih kecil daripada

lendutan ijin yang telah dihitung yaitu sebesar

98,26 mm.

Lendutan ke bawah akibat beban di dalam

tunnel dan berat sendiri tunnel juga bisa dikatakan

aman karena gaya apung yang terjadi pada tunnel

lebih besar 20 30% daripada beban-beban yang

bekerja di dalam tunnel dan berat sendiri dari

tunnel sehingga lendutan ke bawah akibat berat

sendiri tunnel dan beban-beban yang bekerja di

dalamnya tidak perlu diperhitungkan jika lendutan

akibat gaya apung saja sudah aman. Selain

lendutan ke bawah, tunnel juga akan mengalami

lendutan ke samping akibat gaya gelombang dan

arus. Skema lendutan yang terjadi pada potongan

badan tunnel akibat gaya gelombang dan arus

setiap perletakan 30 m dapat dilihat pada gambar

di bawah ini :

Gambar Skema lendutan yang terjadi pada

potongan badan tunnel akibat gaya gelombang

dan arus setiap perletakan kabel 30 m

Beban gelombang dan arus maksimum yang

akan bekerja pada tunnel dalam penentuan

lendutan ijin ini akan dikalikan safety factor 2

(dua) karena kabel tendon yang direncanakan

didesain sesuai kategori A API RP 2T 1997. Besar

dari beban terbagi rata akibat gaya gelombang dan

arus maksimum yang terjadi pada badan tunnel

(qw/c) adalah sebagai berikut :

Setelah diketahui besarnya beban terbagi

rata akibat gaya gelombang dan arus yang terjadi

pada badan tunnel (qw/c), akan dihitung besarnya

lendutan yang terjadi pada badan tunnel yang lurus

akibat gaya gelombang dan arus tersebut. Besarnya

lendutan yang terjadi akibat gaya gelombang dan

arus pada badan tunnel (∆w/c) yang lurus dihitung

sebagai berikut :

Besarnya lendutan yang terjadi pada badan

tunnel yang lurus akibat gaya gelombang dan arus

(∆w/c) adalah 1,020 mm masih jauh lebih kecil

daripada lendutan ijin yaitu 83,3 mm sehingga

dapat disimpulkan bahwa lendutan yang terjadi

akibat gaya gelombang dan arus yang bekerja pada

setiap badan tunnel lurus dengan bentang 30 m

yang merupakan bentang perletakan kabel masih

aman. Sedangkan besarnya lendutan akibat gaya

gelombang dan arus pada badan tunnel yang

miring adalah sebagai berikut :

Jadi, lendutan yang terjadi pada badan tunnel yang

miring akibat gaya gelombang dan arus adalah

2,812 mm masih jauh lebih kecil dibandingkan

dengan lendutan ijin pada badan tunnel miring

yaitu 98,26 mm sehingga lendutan yang terjadi

pada badan tunnel miring akibat gaya gelombang

dan arus masih aman.

Dari hasil analisa di atas dapat disimpulkan

bahwa perletakan kabel setiap 30 m jarak

horizontal tunnel SFT masih memenuhi syarat

keamanan sehingga dapat digunakan dalam analisa

selanjutnya.

Page 29: Makalah SFT

30

5.5.b. Desain Kabel Strand/Tendon

Desain kabel strand/tendon dan diameter

selongsong yang akan menahan badan tunnel

akibat beban-beban luar yang bekerja pada badan

tunnel harus memperhatikan kualifikasi tipe kabel

strand/tendon dan tipe selongsong yang akan

digunakan. Dalam konstruksi prototype SFT yang

direncanakan di Kepulauan Seribu kabel

strand/tendon yang akan digunakan adalah berupa

kabel strand/tendon baja yang biasa digunakan

pada konstruksi beton prategang sehingga pada

studi konfigurasi kabel SFT ini direncanakan

menggunakan kabel strand/tendon prategang juga.

Type kabel/tendon yang akan digunakan

adalah type kabel strand “uncoated seven wire

stress relieved strand” 270 ASTM-A 416. Type

kabel strand tersebut dapat dilihat pada tabel di

bawah ini :

Tabel Tipe kabel strand yang akan digunakan

untuk menahan badan tunnel pada studi

struktur SFT

Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics

Applications

Jenis dan karakteristik lain dari kabel strand

tersebut adalah sebagai berikut : Sistem kawat untaian (strand) ganda VSL

Diameter nominal 0,6 inch ≈ 15,24 mm

Luas penampang nominal = 140 mm2

Modulus elastisitas = 1,9 x 106 kg/cm2

Tegangan putus (fpu) = 18600 kg/cm2 = 1860 MPa

Kuat leleh (fpy) sebesar 1676 MPa

Mutu baja dari kabel strand di atas telah

memenuhi persyaratan material baja struktural

yang digunakan pada bangunan lepas pantai seperti

yang dijelaskan pada Bab II dimana strand

menggunakan baja dengan kuat putus minimum

sebesar 58 ksi. Setelah ditentukan jenis dan

karakteristik kabel strand yang akan digunakan,

akan ditentukan juga berapa jumlah strand dan

diameter selongsong yang akan digunakan dalam

menahan badan tunnel SFT.

Gaya yang akan digunakan dalam

menentukan jumlah kabel strand dan diameter

selongsong adalah gaya terbesar yang bekerja pada

badan tunnel yang dapat menyebabkan kabel

strand/tendon prategang mengalami tegangan tarik

yang maksimum. Dari perhitungan sebelumnya

gaya terbesar yang bekerja pada badan tunnel

adalah gaya arus dan gaya gelombang yang telah

dikalikan safety factor sehingga gaya tersebut yang

akan digunakan untuk menentukan diameter

selongsong dan jumlah kabel strand yang

dibutuhkan.

Beban gelombang dan arus yang telah

dihitung sebelumnya masih dalam bentuk beban

terbagi rata. Beban tersebut akan diubah menjadi

beban terpusat pada masing-masing perletakan

kabel (30 m) atau akan diasumsikan jika gaya

tersebut adalah gaya prategang untuk menentukan

luas tulangan prategang yang dibutuhkan.

Besarnya beban akibat gaya gelombang dan arus

terpusat (Fw/c) dihitung sebagai berikut :

Menurut data tendon VSL, besarnya tegangan tarik

maksimum (fpe) yang diizinkan terjadi pada 1 (satu)

kabel strand adalah sebesar 70 % dari kuat

putusnya yaitu 1302 MPa, sedangkan menurut API

RP 2T 1997 tegangan tarik ijin maksimum pada

komponen tendon baja struktural bangunan lepas

pantai adalah sebagai berikut :

Tegangan ijin yang akan digunakan adalah

tegangan ijin yang paling kecil sehingga luas

tulangan prategang (Aps) dalam daerah tarik

dihitung sebagai berikut :

Sehingga jumlah kabel strand (n) yang digunakan

adalah sebagai berikut :

strand prategang

Jadi, tendon yang digunakan terdiri dari 58

kabel strand dalam 4 tendon dengan masing-

masing tendon terdapat 15 kabel strand. Dari data

tabel tendon VSL diketahui bahwa tendon yang

digunakan adalah tendon unit 0,6” 6-15. SFT yang

didesain ini menggunakan 4 (empat) tendon karena

Page 30: Makalah SFT

31

konfigurasi kabel yang telah dibuat menggunakan

4 (empat) tendon. Luas tendon prategang yang

digunakan adalah 3,26 inch2 dengan diameter

2,037 inch atau 5,2 cm.

Tipe selongsong yang akan digunakan pada

SFT ini adalah selongsong tipe Duct PT-PlusTM

System/ Polypropylene Plastic Duct yang memiliki

bahan anti korosi. Detail tipe selongsong tersebut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Sumber : VSL US Technical Data and Dimension

Strand and Tendon Properties

Gambar Detail selongsong yang akan

digunakan untuk melapisi tendon pada studi

struktur SFT (Duct PT-PlusTM

System/

Polypropylene Plastic Duct)

Detail properties selongsong yang memuat

15 kabel strand atau melapisi tendon unit 0,6” 6-15

dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel Data dimensi selongsong yang akan

digunakan pada studi struktur SFT

Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics

Applications

Tabel di atas menjelaskan secara lebih

sederhana tipe selongsong yang akan digunakan

sesuai dengan jumlah kabel strand atau tipe tendon

yang direncanakan yaitu tendon unit 0,6” (6-15).

Jadi selongsong yang digunakan adalah selongsong

yang berdiameter dalam 90 mm serta dengan

diameter luar 97 mm.

Kabel yang akan digunakan nantinya akan

dipasang dengan sistem mooring menggunakan

kabel strand tendon prategang, oleh karena itu

pada sistem tersebut kabel menggunakan angkur.

Tipe angkur yang akan digunakan harus sesuai

atau cocok dengan tipe tendon yang telah

direncanakan. Angkur yang akan digunakan juga

direncanakan menggunakan angkur VSL type E

Stressing Anchorage. Tipe angkur tersebut dapat

dilihat pada gambar di bawah ini :

Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics Applications

Gambar Type angkur yang akan digunakan

pada studi struktur SFT ini

Data tipe angkur pada gambar di atas dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :

Tabel Data type angkur (type E Stressing

Anchorage) yang akan digunakan pada studi

struktur SFT

Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics

Applications

Angkur yang akan digunakan adalah angkur

yang menggunakan tendon yang sama dengan yang

direncanakan yaitu angkur yang menggunakan

tendon unit 0,6” 6-15. Menurut data dari VSL jika

selongsong yang digunakan Duct PT-PlusTM

System menggunakan trumpets yang pendek, maka

sambungannya harus menggunakan PT-PLUS®

Page 31: Makalah SFT

32

coupling. Penyambung tendon dan angkur tersebut

dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics

Applications

Gambar Type coupler yang akan digunakan

pada sebagai penyambung angkur dan tendon

BAB VI

ANALISA STRUKTUR SFT

6.1 Umum

Analisa struktur SFT akan dilakukan dengan

menggunakan bantuan finite element software

yaitu SAP 2000 V.14.2.2 yang sebelumnya telah

diverifikasi terlebih dahulu. Analisa struktur ini

akan diawali dengan memodelkan bentuk 3D (tiga

dimensi) struktur SFT pada drafting software yaitu

Autocad untuk kemudahan dalam pemodelannya.

Software Autocad yang akan digunakan adalah

Autocad 2009. Setelah pemodelan struktur SFT

pada software Autocad selesai, gambar 3D struktur

SFT tersebut akan dimasukkan ke dalam software

SAP 2000 dengan cara import gambar untuk

dianalisa. Terdapat bagian dari badan tunnel SFT

yang berada di dalam tanah, tapi pada studi ini

bagian tersebut tidak akan dibahas. Bagian yang

dianalisa hanya bagian yang mendapat pengaruh

lingkungan perairan.

6.2 Pemodelan Struktur SFT

Pemodelan struktur SFT pada Autocad akan

dilakukan dengan menyesuaikan modeling struktur

SFT yang akan dibuat dan property struktur setelah

import gambar Autocad dilakukan pada SAP 2000.

Oleh karena itu, perlu ketelitian dalam

memodelkan struktur pada Autocad sebelum

gambar ditransfer ke SAP 2000.

Struktur pada Autocad dilakukan dengan

cara memodelkan struktur kabel tendon dan balok

baja sebagai line pada gambar Autocad sedangkan

struktur plat kendaraan, sabuk baja dan dinding

tunnel beton dimodelkan sebagai 3D face. Hal ini

dilakukan karena SAP 2000 akan mendefinisikan

secara otomatis gambar line dan 3D face pada

Autocad sebagai struktur frame dan shell sesuai

dengan bentuk struktur SFT yang diinginkan.

Bentuk tunnel dan konfigurasi kabel SFT

yang akan dibuat pada Autocad akan disesuaikan

dengan desain struktur. Hasil gambar Autocad 3D

struktur SFT dengan konfigurasi-konfigurasi kabel

tersebut adalah sebagai berikut :

Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D

Untuk Konfigurasi Kabel Type 1

Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D

Untuk Konfigurasi Kabel Type 2

Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D

Untuk Konfigurasi Kabel Type 3

Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D

Untuk Konfigurasi Kabel Type 4

Hasil dari pemodelan Autocad 3D struktur

SFT di atas akan digunakan untuk memodelkan

struktur SFT pada SAP 2000 agar struktur SFT

tersebut bisa dianalisis seperti yang telah diuraikan

sebelumnya. Perletakan ujung bentang dan kabel

tendon pada struktur SFT dalam studi ini akan

diasumsikan sebagai sendi-sendi. Hasil pemodelan

struktur SFT pada SAP 2000 adalah sebagai

berikut :

Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000

Untuk Konfigurasi Kabel Type 1

Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000

Untuk Konfigurasi Kabel Type 2

Page 32: Makalah SFT

33

Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000

Untuk Konfigurasi Kabel Type 3

Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000

Untuk Konfigurasi Kabel Type 4

Define section properties dari pemodelan struktur

SFT pada SAP 2000 di atas dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel Define Section Properties SFT

Kabel Tendon Frame (Release)

Dinding tunnel Shell

Sabuk baja Shell

Plat kendaraan Shell

Balok baja Frame

Kabel tendon pada struktur SFT akan dimodelkan

sebagai frame tetapi pemodelan tersebut akan

disesuaikan dengan kelakuan kabel tendon pada

suatu struktur yang hanya akan menerima gaya

tarik dan tekan saja. Oleh karena itu, khusus pada

frame kabel tendon akan dilakukan pemodelan

assign releases. Pemodelan seperti ini juga sangat

umum dilakukan pada struktur bracing bangunan

baja, dengan kata lain fungsi kabel tendon pada

struktur SFT hampir sama dengan bracing pada

struktur baja dimana perbedaannya adalah kabel

tendon pada SFT ikut membantu struktur untuk

menahan gaya vertikal sedangkan bracing hanya

membantu struktur ketika menerima gaya lateral

saja. Selain itu, material pada kabel tendon akan

disesuaikan dengan material kabel tendon yang

akan digunakan seperti pada Bab V. Definisi

properties material pada SAP 2000 adalah sebagai

berikut :

Tabel Define Material Properties SFT Kabel Tendon Tendon

Dinding tunnel Concrete

Sabuk baja Steel

Plat kendaraan Concrete

Balok baja Steel

6.3 Pembebanan Struktur SFT pada Finite

Element Software

Setelah pemodelan struktur SFT pada SAP

2000 selesai dilakukan, akan dilanjutkan dengan

pembebanan. Beban mati dan beban

gelombang/arus yang terjadi pada struktur secara

otomatis akan langsung dihitung oleh software

SAP 2000 akan tetapi,software tersebut tidak dapat

menghitung beban gelombang secara otomatis

yang terjadi pada shell. Dengan demikian, input

beban gelombang dan arus secara manual akan

dilakukan pada SAP 2000.

Beban gelombang dan arus yang telah dihitung

sebelumnya pada Bab IV akan dipilih yang paling

maksimum untuk pembebanan gelombang manual

ini. Sebelum melakukan input, struktur SFT akan

dibagi menjadi beberapa grup berdasarkan

jaraknya dari sumbu global Z atau berdasarkan

posisinya di dalam laut. Beban gelombang manual

yang akan dimasukkan pada struktur SFT adalah

sebagai berikut :

Sedangkan hasil pembagian grup pada badan

tunnel SFT sesuai dengan posisinya di kedalaman

laut atau sesuai koordinat sumbu global Z adalah

sebagai berikut :

Gambar Hasil Pembagian Grup Sesuai

Koordinat Sumbu Global Z Pada Badan Tunnel

SFT Yang Akan Dianalisa

Hasil input beban gelombang dan arus secara

manual pada SAP 2000 dapat dilihat pada gambar

berikut ini :

Gambar Hasil Input Beban Gelombang dan

Arus

Group Posisi koordinat z (m) Jarak (m)

Group 1 ((-2.27)-(-4.45)) -2,18 40,096 kN/m2 20,048

Group 2 ((-4.45)-(-6)) -1,55 39,908 kN/m2 19,954

Group 3 ((-6)-(-7.04)) -1,04 46,305 kN/m2 23,152

Group 4 ((-7.04)-(-8.03)) -0,99 41,384 kN/m2 20,692

Group 5 ((-8.03)-(-9)) -0,97 36,265 kN/m2 18,132

Group 6 ((-9)-(-10)) -1 30,346 kN/m2 15,173

Group 7 ((-10)-(-10.9)) -0,9 28,725 kN/m2 14,362

kN/m2

kN/m2

kN/m2

kN/m2

Tabel 6.3 Input Wave+Current Area Loads Manual SAP 2000

F w/c 50% F w/c

kN/m2

kN/m2

kN/m2

Page 33: Makalah SFT

34

Beban gelombang dan arus yang dimasukkan

secara manual pada bagian dinding

tunneldiasumsikan bekerja searah dengan beban

gelombang otomatis yaitu 0O atau pada arah sumbu

global X. Beban-beban lain yang akan dimasukkan

secara manual pada SAP 2000 adalah beban

tekanan hidrostatis, buoyancy, beban hidup lalu-

lintas dan beban mati tambahan.

Beban akibat tekanan hidrostatis akan dimasukkan

ke dalam SAP 2000 dengan cara yang sama ketika

memasukkan beban gelombang dan arus yaitu

sesuai dengan posisi segmen badan tunnel terhadap

koordinat sumbu Z. Beban hidrostatis yang akan

dimasukkan adalah sebagai berikut :

Tabel Input Tekanan Hidrostatis Sebagai Area

Loads-Surface Pressure Secara Manual Pada

SAP 2000 Group Pressure

Group 1 52660.679 N/m2

Group 2 62318.018 N/m2

Group 3 72040.735 N/m2

Group 4 81818.227 N/m2

Group 5 91641.666 N/m2

Group 6 101503.71 N/m2

Group 7 111398.28 N/m2

Hasil input tekanan hidrostatis pada SAP 2000

adalah sebagai berikut :

Gambar Hasil Input Tekanan Hidrostatis

Secara Manual Pada SAP 2000 Pada Potongan

Badan Tunnel

Setelah beban gelombang dan tekanan hidrostatis

dimasukkan ke dalam SAP 2000 selesai, beban

lainnya yang bekerja pada badan tunnel juga akan

dimasukkan. Besarnya beban buoyancy yang

dimasukkan ke dalam SAP 2000 adalah 47,704

kN/m2. Beban ini dimasukkan sebagai area

uniform loads pada arah sumbu global Z. Nilai ini

didapatkan dari membagi total gaya buoyancy yang

telah dihitung sebelumnya dengan panjang badan

tunnel dalam air dan diameter luar badan tunnel.

Hasil input gaya buoyancy pada SAP 2000 adalah

sebagai berikut :

Gambar Hasil Input Beban Buoyancy Secara

Manual Pada SAP 2000 Pada Potongan Badan

Tunnel

Beban yang bekerja pada plat kendaraan adalah

beban hidup lalu-lintas dan beban aspal. Besarnya

beban lalu-lintas yang bekerja pada plat kendaraan

adalah sebagai berikut :

Tabel Beban Hidup Lalu-Lintas Yang Bekerja

Pada Plat Kendaraan

Beban Hidup Lalu-lintas

KEL 57,2 kN/m

UDL 4,677 kN/m2

Beban hidup lalu-lintas UDL dan beban mati

tambahan nantinya akan dimasukkan sebagai area

uniform loads to frame sedangkan beban KEL

akan dimasukkan sebagai frame line loads dimana

posisi beban ini akan diletakkan pada tengah

bentang SFT. Besarnya beban mati tambahan yang

akan dimasukkan sebagai area uniform loads to

framepada plat kendaraan adalah sebagai berikut :

Tabel Beban Mati Tambahan Yang Bekerja

Pada Plat Kendaraan

Beban Mati Tambahan

Aspal 1.1 kN/m2

Hasil input beban hidup lalu-lintas pada SAP

2000 adalah sebagai berikut :

Gambar Hasil Input Beban Hidup Lalu-Lintas

UDL dan KEL secara manual pada SAP 2000

Pada Potongan Badan Tunnel

Sedangkan hasil input beban mati tambahan pada

SAP 2000 adalah sebagai berikut :

Gambar Hasil Input Beban Mati Tambahan

(aspal) Secara Manual Pada SAP 2000 Pada

Potongan Badan Tunnel

Page 34: Makalah SFT

35

Setelah selesai memasukkan semua beban yang

bekerja pada struktur, dapat dilihat posisi struktur

SFT saat berada di dalam lingkungan perairan

yaitu sebagai berikut :

Gambar Kondisi Lingkungan Struktur SFT

Hasil Pemodelan SAP 2000 Pada Posisi Sumbu

Global X-Z

Gambar Kondisi Lingkungan Struktur SFT

Hasil Pemodelan SAP 2000 Pada Posisi Sumbu

Globa Y-Z

6.4 Analisa Struktur SFT Untuk 3 Posisi Kabel

Hasil analisa struktur pada studi ini adalah

lendutan maksimum yang terjadi pada struktur

SFT, tegangan/gaya maksimum yang terjadi pada

dinding beton tunnel SFT dan tegangan maksimum

yang terjadi pada kabel tendon SFT. Kombinasi

beban yang digunakan dalam analisa struktur SFT

sebagai berikut :

Tabel Kombinasi Beban Analisa SAP 2000

Combo 1 Combo 2

1D+1L+1H+1B+1W 1D+1H+1B+1W

Keterangan :

D = Dead Load

L = Live Load

H = Hydrostatic Pressure

B = Buoyancy Load

W = Wave Load

Kombinasi pembebanan yang digunakan tidak

menggunakan faktor pembebanan karena yang

akan dikontrol menggunakan pembebanan di atas

adalah stabilitas dari strukur SFT.

Load case yang digunakan pada analisa

struktur SFT adalah sebagai berikut :

Tabel Load case Analisa Struktur Pada SAP 2000

Load Case Name Load Case Type

Modal Modal

Dead Load Linear static

Live Load Linear static

Hydrostatic Pressure Linear static

Buoyancy Load Linear static

Wave API RP 2A Linear Multi-step static

Wave Manual Linear static

Sedangkan hasil dari analisa struktur SFT akan

diuraikan sebagai berikut :

6.4.1 Analisa Lendutan (Displacement)

Lendutan/displacement yang terjadi pada struktur

SFT akan dibahas untuk setiap konfigurasi kabel

sebagai berikut :

a. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 1

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 1 dengan 3 posisi

kabel tendon adalah sebagai berikut :

b. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 2

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 2 dengan 3 posisi

kabel tendon adalah sebagai berikut :

c. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 3

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 3 dengan 3 posisi

kabel tendon adalah sebagai berikut :

Load Combination U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)

1D+1L+1H+1B+1W 173.304 13.759 103.289

1D+1H+1B+1W 173.304 14.362 115.126

U 1 max

U 2 max

U 3 max

Keterangan :

Lendutan maksimum arah sumbu X

Lendutan maksimum arah sumbu Y

Lendutan maksimum arah sumbu Z

Tabel 6.9 Displacement Konfigurasi Type 1 (3 Posisi Kabel)

Load Combination U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)

1D+1L+1H+1B+1W 303.374 19.588 66.951

1D+1H+1B+1W 303.374 19.793 74.429

U 1 max

U 2 max

U 3 max

Keterangan :

Lendutan maksimum arah sumbu X

Lendutan maksimum arah sumbu Y

Lendutan maksimum arah sumbu Z

Tabel 6.10 Displacement Konfigurasi Type 2 (3 Posisi Kabel)

Page 35: Makalah SFT

36

d. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 4

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 4 dengan 3 posisi

kabel tendon adalah sebagai berikut :

6.4.2 Analisa Tegangan Dinding Beton Tunnel

SFT

Tegangan/stress maksimum yang terjadi

pada tunnel dinding beton struktur SFT akan

dibahas untuk setiap konfigurasi kabel.

Output maksimum shell stress pada setiap

konfigurasi adalah sebagai berikut :

Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan

Tunnel Akibat Kombinasi Beban I (3 Posisi

Kabel)

Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan

Tunnel Akibat Kombinasi Beban II (3 Posisi

Kabel)

6.4.3 Analisa Gaya dan Tegangan Kabel

Tendon SFT

Hasil analisa gaya dan tegangan kabel

tendon SFT adalah sebagai berikut :

Tabel Hasil Analisa Gaya Axial Kabel Tendon

SFT (3 Posisi Kabel)

Dari hasil analisa tegangan tarik maksimum

pada dinding tunnel SFT, dapat diketahui bahwa

tegangan maksimum yang terjadi berada pada

daerah perletakan bentang. Hal ini menyebabkan

kerusakan atau kegagalan struktur yang paling

cepat dan paling parah akan terjadi pada daerah

tersebut jika beban bekerja pada tunnel SFT. Selain

itu, dari tabel hasil analisa tegangan pada dinding

tunnel dapat diketahui juga bahwa tegangan tunnel

akan cenderung lebih besar jika struktur SFT

dalam keadaan kosong atau tidak sedang dilalui

oleh kendaraan.

Pada kabel tendon SFT diketahui bahwa gaya

maksimum terjadi pada kondisi SFT tanpa dilalui

oleh beban hidup/beban kendaraan. Perilaku kabel

juga hampir sama dengan dinding dimana kondisi

kritis akan terjadi bila struktur SFT tidak sedang

dilalui oleh beban hidup.

6.5 Analisa Struktur SFT Untuk 4 Posisi Kabel

Pada studi ini, struktur SFT akan dicoba

alternatif jika ditopang oleh 4 posisi kabel. Hal ini

dilakukan karena dengan 3 posisi kabel struktur

SFT masih memiliki tegangan yang besar pada

dinding betonnya dan juga pada kabel tendonnya

gaya axial yang terjadi masih jauh melebihi

minimum breaking load spesifikasi kabel yang

digunakan yaitu 879 kips. Pada analisa alternatif

ini, kombinasi beban yang digunakan tetap sama

dengan 3 posisi kabel.

Gambar Struktur SFT Dengan 4 Posisi Kabel

Gambar Pemodelan Salah Satu Struktur SFT

Dengan 4 Posisi Kabel Pada SAP 2000

(Konfigurasi I)

U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)

169.323 12.958 89.789

169.324 13.493 100.226

U 2 max Lendutan maksimum arah sumbu Y

U 3 max Lendutan maksimum arah sumbu Z

Tabel 6.11 Displacement Konfigurasi Type 3 (3 Posisi Kabel)

Load Combination

1D+1L+1H+1B+1W

1D+1H+1B+1W

Keterangan :

U 1 max Lendutan maksimum arah sumbu X

Load Combination U1 max (mm) U2 max (mm)

1D+1L+1H+1B+1W 341.549 21.344

1D+1H+1B+1W 341.549 21.541

U 1 max

U 2 max

U 3 max Lendutan maksimum arah sumbu Z

Tabel 6.12 Displacement Konfigurasi Type 4 (3 Posisi Kabel)

U3 max (mm)

70.833

78.108

Keterangan :

Lendutan maksimum arah sumbu X

Lendutan maksimum arah sumbu Y

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

4.9272.455 13.356 12.749 4.607 16.866 8.384

3.959

Type 3 Type 4

Max Stresses Max Stresses

7.462 12.458 4.292 9.597 15.255

2.685 12.421 6.323 2.565 15.238 8.038

1D+1L+1H+1B+1W

7.584 9.716 2.62 9.907 10.238

Max. Shell Tension Stress at SFT Structure With Different Type of Cable Configuration

Under Load Combination I (3 Position of Cable Configuration)

Load Combination

Type 1 Type 2

Max Stresses Max Stresses

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

4.8342.516 13.306 11.55 4.44 17.026 20.842

3.866

Type 3 Type 4

Max Stresses Max Stresses

7.443 9.92 4.535 9.691 15.513

2.891 12.368 11.405 3.756 15.4 17.235

1D+1H+1B+1W

7.556 8.461 2.472 10.06 6.899

Max. Shell Tension Stress SFT Structure With Different Type of Cable Configuration

Under Load Combination II (3 Position of Cable Configuration)

Load Combination

Type 1 Type 2

Max Stresses Max Stresses

Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips)

Comb 1 1101 -361.1 1293.1 -639.3 1151.6 -376 1354.6 -723.7

Comb 2 1145.1 -317.1 1332.6 -599.9 1197.9 -329.7 1392.7 -685.7

Axial Load at Cable Tendon of SFT (3 Position of Cable Configuration)

Load CombinationType 1 Type 2 Type 3 Type 4

Page 36: Makalah SFT

37

6.5.1 Analisa Lendutan (Displacement)

Lendutan/displacement yang terjadi pada

struktur SFT akan dibahas untuk setiap

konfigurasi kabel sebagai berikut :

a. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 1

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 1 dengan 4 posisi kabel

tendon adalah sebagai berikut :

Tabel Displacement Konfigurasi Type 1 (4 Posisi

Kabel)

b. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 2

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 2 dengan 4 posisi kabel

tendon adalah sebagai berikut :

Tabel Displacement Konfigurasi Type 2 (4 Posisi

Kabel)

c. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 3

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 3 dengan 4 posisi kabel

tendon adalah sebagai berikut :

Tabel Displacement Konfigurasi Type 3 (4 Posisi

Kabel)

d. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel

Type 4

Analisa displacement struktur SFT untuk

konfigurasi kabel Type 4 dengan 4 posisi kabel

tendon adalah sebagai berikut :

Tabel Displacement Konfigurasi Type 4 (4 Posisi

Kabel)

6.5.2 Analisa Tegangan Dinding Beton Tunnel

SFT

Tegangan/stress maksimum yang terjadi

pada tunnel dinding beton struktur SFT jika

ditopang oleh 4 kabel tendon adalah sebagai

berikut :

Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan

Tunnel Akibat Kombinasi Beban I (4 Posisi

Kabel)

Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan

Tunnel Akibat Kombinasi Beban II (4 Posisi

Kabel)

6.5.3 Analisa Gaya dan Tegangan Kabel Tendon

SFT

Hasil analisa gaya dan tegangan kabel

tendon SFT adalah sebagai berikut :

Tabel Hasil Analisa Gaya Axial Kabel Tendon

SFT (4 Posisi Kabel)

Dari hasil analisa untuk struktur SFT jika

ditopang oleh 4 posisi kabel tendon, gaya dan

tegangan yang bekerja lebih kecil tapi masih

memiliki perilaku yang sama dengan struktur SFT

yang ditopang oleh 3 posisi kabel tendon. Gaya

Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)

1D+1L+1H+1B+1W 129.846 9.836 76.257

1D+1H+1B+1W 129.846 10.195 85.14

U 1 max

U 2 max

U 3 max

Keterangan :

Lendutan maksimum arah sumbu X

Lendutan maksimum arah sumbu Y

Lendutan maksimum arah sumbu Z

Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)

1D+1L+1H+1B+1W 245.53 15.577 48.025

1D+1H+1B+1W 245.53 15.719 53.508

U 1 max

U 2 max

U 3 max

Lendutan maksimum arah sumbu Y

Lendutan maksimum arah sumbu Z

Keterangan :

Lendutan maksimum arah sumbu X

Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)

1D+1L+1H+1B+1W 125.891 9.317 65.249

1D+1H+1B+1W 125.891 9.62 73.035

U 1 max

U 2 max

U 3 max

Keterangan :

Lendutan maksimum arah sumbu X

Lendutan maksimum arah sumbu Y

Lendutan maksimum arah sumbu Z

Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)

1D+1L+1H+1B+1W 285.904 17.428 53.214

1D+1H+1B+1W 285.904 17.568 58.519

U 1 max

U 2 max

U 3 max

Keterangan :

Lendutan maksimum arah sumbu X

Lendutan maksimum arah sumbu Y

Lendutan maksimum arah sumbu Z

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

11.54 11.47 4.395 14.39 14.86 4.756.182 10.18 3.526 7.914 9.975 2.123

12.245 3.679

Type 3 Type 4

Max Stresses Max Stresses

8.743 2.303 10.519 11.402 3.639 12.771

Load Combination

Type 1 Type 2

Max Stresses Max Stresses

1D+1L+1H+1B+1W

6.303 9.667 2.384 8.175

Max. Shell Tension Stress SFT Structure With Different Type of Cable Configuration

Under Load Combination I (4 Position of Cable Configuration)

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa

11.455 10.288 4.229 14.542 15.385 4.6586.185 7.717 3.725 7.988 10.669 2.149

12.643 3.587

Type 3 Type 4

Max Stresses Max Stresses

5.81 2.476 10.493 10.216 3.474 12.841

Load Combination

Type 1 Type 2

Max Stresses Max Stresses

1D+1H+1B+1W

6.299 7.832 2.232 8.31

Max. Shell Tension Stress SFT Structure With Different Type of Cable Configuration

Under Load Combination II (4 Position of Cable Configuration)

Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips)

1D+1L+1H+1B+1W 772.8 -254.1 956.1 -513.6 807.1 -268.8 1017.3 -591.2

1D+1H+1B+1W 803.6 -223.7 982.8 -487.3 839.1 -237.2 1043.1 -565.9

Axial Load at Cable Tendon of SFT (4 Position of Cable Configuration)

Load Combination

Type 1 Type 2 Type 3 Type 4

Page 37: Makalah SFT

38

dan tegangan maksimum yang diijinkan pada

struktur SFT ini adalah sebagai berikut :

Tabel Gaya dan Tegangan Ijin Pada Struktur

SFT (Tendon Menggunakan 15 Kabel Strand)

Dari hasil analisa diketahui bahwa jumlah posisi

kabel yang paling efektif pada struktur SFT ini

adalah dengan menggunakan 4 posisi kabel tendon.

Konfigurasiyang paling efektif adalah konfigurasi

kabel type 1 dan 3, oleh karena itu studi akan

dilanjutkan dengan mengontrol kedua type

konfigurasi tersebut untuk menentukan konfigurasi

kabel yang paling efektif.

Tabel Hasil Analisa Gaya dan Tegangan

Maksimum 4 konfigurasi Kabel Type 1

Tabel Hasil Analisa Gaya dan Tegangan

Maksimum 4 konfigurasi Kabel Type 3

Tabel di atas menunjukkan bahwa gaya axial kabel

tendon masih memenuhi minimum breaking load

dari spesifikasi kabel yang digunakan tapi masih

melebihi batas tegangan kabel sesuai peraturan

API RP 2T .Tegangan dinding masih melebihi

tegangan maksimum retak dari beton yaitu 4,696

MPa. Tegangan retak dari struktur SFT ini masih

dapat ditoleransi karena berada pada tepi struktur

SFT yang dekat dengan darat sehingga dalam

melakukan perkuatan atau perbaikan bisa lebih

mudah daripada jika berada di tengah bentang.

Sedangkan lendutan yang terjadi pada struktur SFT

masih memenuhi lendutan ijin yaitu 363 mm.

6.6 Analisa Dinamis Struktur SFT

Analisa dinamis struktur dilakukan untuk

mengetahui bagaimana perilaku/respon dari

struktur SFT ketika menerima beban dinamis

gelombang atau gaya vortex. Gaya vortex adalah

gaya akibat gelombang air yang menyebabkan efek

dinamis terjadi pada struktur. Apabila suatu benda

(bola) terkena aliran yang uniform dan gaya luar

diabaikan maka aliran streamlinenya akan simetris

terhadap diameter bolanya yang searah alirannya.

Pada titik stagnasi (stagnation point) A maka

kecepatannya adalah nol. Apabila kecepatan aliran

meningkat maka lapisan batas (boundary layer)

menjadi semakin tipis pada A dan dibelakang

benda akan semakin tebal. Pada lapisan batas

dibelakang benda akan bergerak kearah

berlawanan dan membentuk ulekan (eddies) yang

akhirnya disebut dengan vortex.

Gambar Vortex Shedding

Frekuensi natural dan periode dari struktur SFT

akan dikontrol dengan besarnya frekuensi akibat

vortex. Besarnya frekuensi akibat vortex adalah

sebagai berikut :

Dimana :

St = Strouhal Number

V = Kecepatan arus/gelombang (m/s)

St = Diameter struktur (m)

Perhitungan frekuensi natural dan periode dari

struktur SFT akan dilakukan menggunakan SAP

2000 untuk semua pemodelan. Hasil analisa

frekuensi natural struktur SFT pada SAP 2000

adalah sebagai berikut :

Tegangan Maksimum Ijin Dinding

Beton SFT 4.696 Mpa

1. Minimum Breaking Load

Spesifikasi Kabel Tendon untuk 15

kabel strand 879 kips

2. Allowable Maximum Net Section

Stress Kabel Tendon (API RP 2T) 1116 Mpa

3. Allowable Maximum Local

Bending Stress Kabel Tendon (API

RP 2T) 1674 Mpa

Lendutan Struktur SFT 363 mm

Gaya Axial Maksimum Kabel Tendon SFT :

Tegangan Maksimum Yang

Terjadi Pada Dinding SFT 9.667 Mpa

1. Maximum Axial Load

Spesifikasi Kabel Tendon 803.6 kips

2. Maximum Net Section Stress 1684 Mpa

3. Maximum Local Bending

Stress 264.301 Mpa

Lendutan Struktur SFT 129.85 mm

Gaya Maksimum Kabel Tendon SFT :

Tegangan Maksimum Dinding

SFT 10.669 Mpa

1. Maximum Axial Load

Spesifikasi Kabel Tendon 839.1 kips

2. Maximum Net Section Stress 1758 Mpa

3. Maximum Local Bending

Stress 225.15 Mpa

Lendutan Struktur SFT 125.9 mm

Gaya Maksimum Kabel Tendon SFT :

Page 38: Makalah SFT

39

Tabel Hasil Analisa Frekuensi Natural dan

Periode struktur SFT (4 Posisi Kabel)

Dari hasil analisa frekuensi akibat vortex diketahui

bahwa besarnya frekuensi vortex tersebut masih

lebih kecil dibandingkan dengan frekuensi natural

dari struktur SFT untuk semua pemodelan. Hal ini

menyebabkan struktur SFT yang telah dimodelkan

tidak mengalami resonansi akibat gaya gelombang

dan arus.

6.7 Studi Desain Perencanaan Kabel dan

Penampang Beton SFT

Desain perencanaan SFT studi ini akan

menggunakan sling (steel wire rope) sebagai kabel

walaupun analisa sebelumnya adalah

menggunakan tendon sebagai kabel. Penggunaan

tendon memang biasanya sering digunakan pada

floating structure seperti TLP, tapi pada model

struktur seperti SFT sulit menggunakan model

tendon karena sistem sambungan yang berbeda

antara tendon dan sling. Tendon pada TLP

disambungkan dengan menggunakan column hull

pada platformnya sedangan SFT tidak

menggunakan column hull tapi menggunakan plat

baja (sabuk baja). Sistem sambungan yang sulit

menyebabkan desain kabel lebih baik jika

menggunakan sling yang biasanya digunakan

untuk pengangkutan alat berat pada pelaksanaan

konstruksi. Desain perencanaan SFT ini akan tetap

menggunakan material beton pada penampangnya

seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

6.7.1 Desain Perencanaan SFT Dengan Sling

Sebagai Kabel

Hasil analisa yang telah didapatkan

sebelumnya bahwa type konfigurasi kabel terbaik

adalah type 1, oleh karena itu desain perencanaan

ini hanya akan menggunakan type konfigurasi

kabel tersebut. Spesifikasi sling yang akan

digunakan adalah sebagai berikut :

Tabel Data Spesifi kasi Steel Wire Ropes (Sling)

Blue Strand 6 x 36 WS IWRC Class

Sumber : Brosur Spesifikasi Produk PT Wahana

Gemilang Abadi

Sling yang digunakan memiliki modulus elastisitas

minimum 14.000.000 psi atau 96.526,61 Mpa (1

MPa = 145,04 psi) dengan tegangan putus

minimum 909,245 MPa sedangkan spesifikasi

sling shacle yang akan digunakan adalah sebagai

berikut :

Tabel Data Spesifikasi Sling Shacle

Sumber : Brosur Spesifikasi Produk PT Wahana

Gemilang Abadi

Dari data spesifikasi sling digunakan sling dengan

diameter 52 mm sedangkan sling shacle yang akan

digunakan tergantung dari hasil analisa. Jumlah

kabel pada desain ini akan ditambah menggunakan

6 (enam) sling untuk setiap posisi perletakan sabuk

baja di setiap sisi kiri dan kanan dengan panjang

sabuk baja adalah 1 (meter). Jarak antar posisi titik

perletakan sling pada sabuk baja dibuat 25 cm.

Pemodelan software analisa struktur SAP 2000

untuk desain perencanaan SFT dengan

menggunakan sling sebagai kabel adalah sebagai

berikut :

Period (sec)

Frequency

(Hz) Period (sec)

Frequency

(Hz)

Period

(sec)

Frequency

(Hz)

Period

(sec)

Frequency

(Hz)

1 0.527 1.896 0.725 1.378 0.523 1.912 0.776 1.288

2 0.473 2.116 0.389 2.572 0.443 2.258 0.395 2.533

3 0.354 2.825 0.372 2.688 0.348 2.873 0.366 2.732

4 0.349 2.868 0.309 3.236 0.342 2.923 0.306 3.269

5 0.224 4.466 0.219 4.558 0.221 4.516 0.22 4.54

6 0.213 4.704 0.214 4.681 0.213 4.705 0.213 4.7

7 0.169 5.913 0.169 5.925 0.174 5.755 0.168 5.953

8 0.15 6.663 0.148 6.753 0.15 6.684 0.148 6.76

9 0.139 7.189 0.14 7.125 0.139 7.19 0.14 7.118

10 0.127 7.85 0.127 7.866 0.127 7.853 0.127 7.868

11 0.12 8.332 0.12 8.346 0.12 8.335 0.12 8.347

12 0.115 8.709 0.115 8.708 0.115 8.706 0.115 8.708

Natural Frequency and Period of SFT (4 Position of Cable Configuration)

Mode

Type 1 Type 2 Type 3 Type 4

Page 39: Makalah SFT

40

Gambar Pemodelan 3D Desain Struktur SFT

Pada SAP 2000 Untuk Perencanaan

Analisa terhadap gaya kabel sling akan

dibuat dalam 2 (dua) kondisi yang berbeda dimana

kondisi 1 (satu) adalah kondisi dimana kabel

sling bekerja secara bersama-sama pada kedua

sisi, namun pada sisi sebelah dimodelkan sebagai

kabel agar pada sisi tersebut kabel sling tidak

mengalami gaya tekan ataupun ikut menahan

badan SFT pada arah berlawanan dan kondisi 2

(dua) adalah kondisi dimana kabel sling hanya

bekerja pada satu sisi saja.

Gambar Pemodelan Analisa Struktur SFT Pada

SAP 2000 Untuk Perencanaan Dalam Kondisi 1

Gambar Pemodelan Analisa Struktur SFT Pada

SAP 2000 Untuk Perencanaan Dalam Kondisi 2

Rekapitulasi hasil analisa SAP 2000

terhadap gaya-gaya maksimum yang bekerja pada

kabel sling SFT adalah sebagai berikut :

Tabel Gaya Axial Maksimum Yang Bekerja

Pada Sling Kondisi 1

Load Combination Pmax

(ton)

Min.Breaking

Load (ton) Ket SF

1D+1L+1H+1B+1W 183.99 193 OK 1.05

1D+1H+1B+1W 184.08 193 OK 1.05

Tabel Gaya Axial Maksimum Yang Bekerja

Pada Sling Kondisi 2

Load Combination Pmax

(ton)

Min.Breaking

Load (ton) Ket SF

1D+1L+1H+1B+1W 146.21 193 OK 1.32

1D+1H+1B+1W 147.57 193 OK 1.31

Dari hasil analisa gaya maksimum yang terjadi

pada kabel sling didapatkan bahwa diameter sling

yang digunakan telah memenuhi syarat kuat putus

minimum spesifikasi sling sedangkan spesifikasi

sling shacle yang akan digunakan pada struktur

SFT adalah sling shacle A085895 dengan kuat

putus minimum 150 ton (SF 5 : 1). Hasil analisa

juga membuktikan bahwa pemodelan akhir

konfigurasi kabel sling yang telah dibuat tidak

mengakibatkan kabel sling struktur SFT tersebut

mengalami kegagalan meskipun pada kondisi yang

paling kritis.

SAP 2000 memodelkan kabel dengan

regangan yang sangat besar serta memberikan gaya

pretension kepada kabel dalam pemodelannya,

oleh karena itu gaya kabel yang dihasilkan pada

analisa kondisi 1 lebih besar daripada kondisi 2.

Walaupun demikian, hasil analisa pada kondisi 2

dimana kondisi tersebut merupakan kondisi yang

paling kritis bisa menjadi acuan untuk memastikan

konfigurasi kabel yang telah dibuat sudah aman

untuk digunakan.

Gambar Posisi Sling Desain Struktur SFT Yang

Mengalami Gaya Axial Maksimum

Sesuai dengan pemodelan untuk analisa

struktur pada SAP 2000, desain struktur SFT untuk

perencanaan akan dibuat seperti pada gambar

berikut :

Gambar Potongan Melintang Desain Kabel SFT

Page 40: Makalah SFT

41

Gambar Potongan Memanjang Desain Kabel

SFT

6.7.2 Analisa Tegangan Pada Penampang Beton

SFT

Dimensi dan spesifikasi material penampang

SFT yang digunakan pada studi perencanaan ini

sama dengan yang digunakan untuk studi untuk

menentukan konfigurasi kabel. Tegangan dan

lendutan yang terjadi pada penampang beton SFT

akan dikontrol terhadap tegangan retaknya sesuai

SNI 2847-2002. Hasil analisa terhadap tegangan

maksimum yang terjadi pada dinding SFT adalah

sebagai berikut :

Tabel Tegangan Tarik Maksimum Dinding

Beton SFT Yang Direncanakan

Tabel Tegangan Tekan Maksimum Dinding

Beton SFT Yang Direncanakan

Hasil analisa terhadap tegangan dinding tunnel

menunjukkan bahwa dinding SFT masih melebihi

tegangan retak. Tegangan yang terjadi pada

pemodelan perencanaan ini masih lebih baik jika

dibandingkan dengan tegangan yang terjadi pada

pemodelan untuk studi perbandingan yang telah

dilakukan sebelumnya. Tegangan yang terjadi

masih belum bisa dijadikan acuan dalam

perencanaan karena tegangan tersebut terjadi

ketika dinding beton belum dipasang tulangan.

Gambar Letak Tegangan Maksimum Dinding

Beton Desain Kabel SFT

6.7.3 Analisa Penampang Beton SFT Terhadap

Gaya Prestress

Analisa penampang beton tunnel SFT tidak

hanya dilakukan terhadap beban lingkungan, tapi

juga dilakukan terhadap gaya prestress. Gaya

prestress dengan sistem postension diberikan pada

badan atau penampang SFT untuk

menyambungkan segmen-segmen penampang

beton sebagai kesatuan struktur SFT karena jika

menggunakan penampang beton pelaksanaan

pembuatan prototype SFT akan menggunakan

beton precast. Analisa penampang beton ini

dilakukan dengan menghitung gaya-gaya momen

maksimum yang terjadi pada dinding plat beton

SFT. Rekapitulasi gaya-gaya momen maksimum

pada penampang SFT hasil analisa SAP 2000

adalah sebagai berikut :

Tabel Gaya Momen Hasil Analisa SAP 2000

Untuk Desain Badan Tunnel SFT

Loading Condition Mmax

Nmm

Transfer (Dead Load Only) 320.501,75

Service 1.125.702,58

Spesifikasi material tendon prestress yang

akan digunakan dalam desain penampang beton ini

adalah sebagai berikut :

Tabel Data Properties Tendon Untuk Badan

Tunnel SFT

Sumber : VSL Design Properties

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot MPa

MPa MPa MPa MPa MPa MPa

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa

4.434 5.723 2.142

1D+1H+1B+1W

3.49 9.395 1.815 4.362 8.823 2.08

Load Combination Max Stresses Allowable stress

1D+1L+1H+1B+1W

4.7

3.487 6.36 1.69

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot MPa

MPa MPa MPa MPa MPa MPa

s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot

MPa MPa MPa MPa MPa MPa

-3.46

1D+1H+1B+1W

-9.45 -12.63 -5.76 -11.35 -11.07 -3.38

Load Combination Max Stresses Allowable stress

1D+1L+1H+1B+1W

45

-9.42 -14.11 -5.57 -11.3 -12.01

Page 41: Makalah SFT

42

Pada penampang SFT direncanakan jumlah

tendon yang digunakan adalah 32 tendon dengan

perincian 16 angker mati dan 16 angker hidup,

sehingga dengan menggunakan data spesifikasi

kabel tendon, maka kekuatan 32 tendon dengan

asumsi penarikan 80% adalah sebagai berikut :

Fo = 0.8 x Aps x fpu

= 0,8 x 32 x 19 x 100,1 mm2 x 1860 MPa

= 90.560.870,5 N

Luas penampang beton adalah sebagai berikut :

Ac = 0,25 x π x ((D2)2 (D1)

2)

= 0,25 x π x ((5900 mm 2 (5000 mm)2)

= 7.700.850 mm2

Dari hasil perhitungan di atas tegangan yang

terjadi pada badan tunnel SFT saat transfer gaya

prategang adalah sebagai berikut :

; dimana f’ci = 0,8

f’c

Sedangkan hasil perhitungan tegangan yang terjadi

pada badan tunnel SFT saat beban bekerja (service

load) adalah sebagai berikut :

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa gaya

prestress dengan menggunakan 32 kabel tendon

yang diberikan pada penampang beton SFT tidak

mengakibatkan tegangan yang terjadi melebihi

tegangan ijin serta dengan adanya efek gaya

prestress tersebut pada dinding beton

mengakibatkan tegangan tarik pada penampang

bisa dihilangkan.

Pada penampang SFT yang didesain akan

dipasang tulangan non-prategang minimum dengan

spesifikasi sebagai berikut :

- Mutu baja (fy) = 400 MPa

- Tulangan lentur (ulir) = Diameter 22 mm

Luas tulangan non-prategang minimum

dihitung sesuai SNI 2847-2002 pasal 20.9.2

sebagai berikut :

Dari hasil perhitungan di atas akan dipasang

tulangan 82 D22 dan tulangan dipasang secara

rangkap pada dinding beton SFT.

Gambar Desain Perencanaan Penampang Beton

SFT

6.7.4 Pemodelan Sistem Sambungan Struktur

SFT

Sistem sambungan pada SFT yang dimodelkan

pada studi ini adalah sistem sambungan kabel pada

badan tunnel dan sistem sambungan kabel pada

seabed. Bentuk struktur SFT yang beda dengan

floating structure seperti biasanya membuat sistem

sambungan pada SFT perlu dimodelkan secara

khusus. Elemen kabel dan dinding SFT akan

disambungkan oleh sabuk baja yang akan dipasang

sesuai dengan jarak perletakan kabel, sedangkan

sambungan antara elemen kabel dengan seabed

akan disambungankan menggunakan pilecap beton

(foundation template). Pemilihan tipe plat baja

tergantung dari hasil analisa tegangan yang

bekerja. Hasil analisa tegangan yang bekerja pada

plat baja adalah sebagai berikut :

Tabel Tegangan Yang Bekerja Pada Sabuk

Baja

Gambar Letak Tegangan Maksimum Pada

Sabuk Baja Struktur SFT Yang Direncanakan

S11Top S22Top S12Top S11Bot S22Bot S12Bot

N/mm2 N/mm2 N/mm2 N/mm2 N/mm2 N/mm2

138.863 108.528 54.177 168.522 226.242 45.742

Page 42: Makalah SFT

43

Data properties material plat baja yang akan

digunakan pada sabuk baja SFT adalah sebagai

berikut :

Tabel Data Properties Material Plat Baja

Sumber : Steel Plate Properties PT Gunung

Raja Paksi

Dari tabel di atas direncanakan sabuk baja

menggunakan plat baja high tensile plate

specification EN 10025 Grade S 355 J2G3 dengan

tegangan leleh minimum 335 MPa dan tegangan

putus minimum 490 MPa.

Gambar Potongan Arah Melintang Desain

Perletakan Kabel SFT Pada Dinding Beton

Gambar Potongan Arah Memanjang Desain

Perletakan Kabel SFT Pada Dinding Beton

Pilecap beton sebagai perletakan kabel pada

seabed didesain agar mampu menahan gaya tarik

pada kabel dengan mengandalkan berat sendirinya.

Data tanah pada perencanaan SFT ini belum ada,

sehingga model perletakan kabel hanya akan

didesain bentuknya saja. Material beton yang akan

digunakakan sebagai Pilecap sama dengan yang

digunakan pada dinding beton penampang SFT.

Pemodelan sistem perletakan kabel pada seabed

adalah sebagai berikut :

Gambar Potongan Melintang Desain

Perletakan Kabel SFT Pada Seabed

Gambar Potongan Memenjang Desain

Perletakan Kabel SFT Pada Seabed

6.7.5 Analisa Gaya Vortex Terhadap Desain

Struktur SFT

Desain rencana struktur SFT akan

dikontrol terhadap gaya vortex yang bekerja akibat

adanya gaya gelombang dan arus. Gaya vortex ini

merupakan efek dinamis akibat gaya gelombang

dan arus laut yang dapat menyebabkan struktur

mengalami getaran atau dapat menyebabkan

terjadinya resonansi pada suatu struktur. Frekuensi

akibat gaya vortex yang bekerja telah dihitung

sebelumnya dimana hasilnya adalah sebesar 0,132

Hz. Frekuensi akibat gaya vortex harus lebih kecil

dibandingkan dengan frekuensi natural dari

struktur SFT yang direncanakan agar struktur SFT

yang direncanakan tersebut tidak mengalami

resonansi atau getaran ketika gaya gelombang dan

arus bekerja. Hasil analisa terhadap frekuensi

natural struktur SFT yang direncanakan adalah

sebagai berikut :

Page 43: Makalah SFT

44

Tabel Analisa Frekuensi Natural Desain

SFT

Hasil analisa frekuensi yang terjadi akibat gaya

vortex menunjukkan bahwa struktur SFT tidak

mengalami resonansi ketika gelombang dan arus

bekerja karena frekuensi natural dari struktur SFT

yang direncanakan masih lebih besar dibandingkan

dengan frekuensi akibat gaya vortex yaitu sebesar

0,132 Hz.

6.7.6 Analisa Displacement Desain Struktur SFT

Displacement yang terjadi pada struktur SFT yang

direncanakan adalah sebagai berikut :

Tabel Analisa Displacement Desain

Struktur SFT

U1 U2 U3

mm mm mm

51.93 4.53 34.02

Hasil analisa displacement menunjukkan bahwa

displacement yang terjadi pada desain struktur SFT

untuk perencanaan jauh lebih kecil dibandingkan

dengan displacement yang terjadi pada struktur

SFT yang dimodelkan pada studi pemilihan

konfigurasi kabel. Hal ini membuktikan bahwa

struktur SFT hasil pemodelan yang dilakukan

untuk studi perencanaan struktur memiliki perilaku

yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Bentuk

displacement dari struktur SFT yang direncanakan

dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar Displacement Maksimum Arah

Sumbu Z Desain Struktur SFT

Gambar Displacement Maksimum Arah Sumbu

X Desain Struktur SFT

Gambar Displacement Maksimum Arah Sumbu

Y Desain Struktur SFT

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil pada studi untuk

mendapatkan konfigurasi kabel yang paling efektif

pada struktur SFT dan juga setelah dilakukan

analisa perencanaan lebih lanjut adalah sebagai

berikut :

Kondisi perairan di lingkungan tempat prototype

SFT akan dibangun memiliki karakteristik

gelombang laut yang memiliki amplitudo kecil

tetapi berhingga dimana dengan kondisi ini teori

perhitungan gelombang bisa menggunakan Teori

Stokes Orde 5.

SFT adalah struktur yang dibuat untuk

menggantikan jembatan konvensional, oleh karena

itu pembebanan lalu-lintas yang dilakukan pada

struktur ini sama dengan jembatan konvensional

tapi pada struktur SFT yang dianalisa pada studi ini

tidak memperhitungkan kondisi struktur akibat

beban truck atau kendaraan berat.

Beban gelombang otomatis pada SAP 2000 tidak

bisa membebani element shell secara otomatis,

oleh karena itu beban gelombang yang bekerja

pada element shell untuk pemodelan SFT pada

SAP 2000 dihitung dan dimasukkan secara

manual.

Perhitungan gelombang Teori Stokes Orde 5

memiliki metode perhitungan yang sangat rumit,

oleh karena itu pada perhitungan gelombang yang

bekerja pada element shell dihitung menggunakan

Teori Airy yang agak lebih sederhana. Walaupun

demikian, hasil analisa yang dilakukan

menggunakan contoh desain struktur yang

menyerupai jacket 4 kaki (struktur fix offshore

platform) menunjukkan bahwa Teori Stokes Orde

OutputCase StepType StepNum Period Frequency

Text Text Unitless Sec Hz

MODAL Mode 1 0.33 3.02

MODAL Mode 2 0.29 3.4

MODAL Mode 3 0.27 3.68

MODAL Mode 4 0.26 3.79

MODAL Mode 5 0.2 5.01

MODAL Mode 6 0.19 5.17

MODAL Mode 7 0.14 6.91

MODAL Mode 8 0.14 6.93

MODAL Mode 9 0.13 7.43

MODAL Mode 10 0.13 7.91

MODAL Mode 11 0.12 8.4

MODAL Mode 12 0.11 8.73

Page 44: Makalah SFT

45

5 memiliki gaya yang lebih kecil dibandingkan

dengan Teori Airy sehingga studi analisa dan

desain struktur SFT yang telah dilakukan sudah

memenuhi dalam segi keamanan struktur dari

beban gelombang dan arus. Pemodelan struktur

jacket 4 kaki yang dilakukan untuk analisa

perbandingan ini adalah sebagai berikut :

Gambar Pemodelan Struktur Jacket 4 Kaki

Pada SAP 2000

Gambar Pemodelan 3D Struktur Jacket 4 Kaki

Pada SAP 2000

Analisa besarnya gaya yang bekerja didapat dari

joint reaction (reaksi perletakan) pada struktur

jacket platform akibat gaya gelombang saja dimana

perletakan pada struktur tersebut dimodelkan

sebagai jepit tanpa memperhitungkan kondisi tanah

atau tanpa memperhitungkan letak titik jepit.

Asumsi. Pemodelan struktur jacket 4 kaki pada

SAP 2000 tersebut diasumsikan menggunakan

profil sebagai berikut :

Dimensi kaki struktur ; OD = 47 in ; t = 1 in

Dimensi bracing horizontal ; OD = 15.67 in ; t = 1 in

Dimensi bracing diagonal ; OD = 23.5 in ; t = 1 in

Pemodelan gelombang dilakukan dengan cara yang

sama dengan pemodelan gelombang untuk analisa

SFT sehingga struktur jacket platform dianggap

berada pada lingkungan yang sama dengan struktur

SFT yang direncanakan.

Hasil analisa terhadap konfigurasi kabel

menunjukkan bahwa type konfigurasi kabel yang

paling efektif dalam menahan badan tunnel ketika

beban-beban lingkungan bekerja pada SFT adalah

konfigurasi kabel type 1 dimana model dari

konfigurasi tersebut adalah sebagai berikut :

Gambar Konfigurasi Paling Efektif Pada

Struktur SFT Hasil Studi

Hasil studi juga membuktikan bahwa gaya

prestress yang bekerja pada struktur SFT yang

menggunakan penampang beton dapat membantu

struktur untuk menahan beban yang bekerja. Hal

ini bertentangan dengan asumsi awal yang

menjelaskan bahwa gaya prestress yang diberikan

hanya berfungsi sebagai penyambung segmen-

segmen badan tunnel.

Penggunaan kabel pada struktur SFT lebih baik

jika menggunakan sling daripada tendon karena

pemasangan sling lebih mudah daripada tendon.

Pemasangan tendon umumnya dilakukan pada

floating structure dengan menggunaka column hull

tapi pada sistem seperti SFT tidak terdapat column

hull sehingga sulit dalam pemasangan.

Struktur SFT yang menggunakan penampang

dengan material beton masih rawan untuk

digunakan karena sifat beton yang getas

menjadikan struktur sangat sensitif terhadap beban

tumbukan dan gesekan yang bisa diakibatkan oleh

kendaraan.

Hasil studi analisa desain perencanaan struktur

SFT menghasilkan dimensi dan spesifikasi akhir

dari elemen struktur SFT sebagai berikut :

7.2 Saran

Saran yang dapat diambil pada studi untuk

menemukan konfigurasi kabel yang paling efektif

pada struktur SFT dan juga setelah melakukan

No Elemen Struktur Dimensi Spesifikasi Material Ket

1 Penampang SFT OD = 5.9 cm ; t = 45 cm Beton f'c = 45 MPa Badan Tunnel SFT

2 Foundation Template Lebar = 3 m ; Panjang = 6 m Beton f'c = 45 MPa Ketebalan belum ditentukan

Steel Wire Ropes Blue Strand 6 x 36 Class

Minimum Breaking Force 193 ton

4 Sling Shacle Diameter 23. 8 cm Minimum Breaking Force 150 ton (SF 5 : 1) -

5 Balok Memanjang WF 250x175x7x11 ; L = 1.25 m BJ 41 ; fy = 250 ; fu = 410 -

6 Balok Melintang WF 450x300x10x15 ; L = 3 m BJ 41 ; fy = 250 ; fu = 410 -

7 Sabuk Baja L = 1 m ; t = 60 mm High Tensile Plat S 355 J2G3 ; fy = 335 ; fu = 490 MPa -

Jumlah Strand = 20 VSL Uncoated 7 Wire Super Strand Tendon Prategang diletakkan

Diameter nominal 0.0127 m fpy = 1580000 kPa ; fpu = 1860000 kPa pada badan tunnel

Spiral Wire

JIS G 3532 SWM-B

Diameter 22 mm digunakan untuk

sambungan sling dan badan tunnel /

foundation template sedangkan

diameter 16 mm digunakan untuk

sambungan badan tunnel dengan

balok baja

Connection Plate Dipasang pada keliling diameter

JIS G 3101 dinding dan dilas untuk menambah

kekauan sambungan antar badan SFT

Digunakan sebagai tulangan geser9

fy = 235 MPa; fu = 400 MPat = 20 mm11

fy = 23.5 kN/cm2 ; fu = 38 kN/cm

2 Diameter 22 mm dan 16 mmAnchor Bolt10

Tendon Prategang8

Diameter 3 mm fy = 400 MPa ; fu = 260 MP

3 Kabel Diameter 5.2 cm Penahan Badan Tunnel SFT

Page 45: Makalah SFT

46

analisa perencanaan lebih lanjut adalah sebagai

berikut :

Perlu analisa lebih detail terhadap

sambungan pada struktrur SFT yang telah

dimodelkan pada studi ini.

Perlunya data tanah pada desain struktrur

SFT untuk merencanakan detail foundation

template yang telah dimodelkan pada studi

ini.

Analisa struktur pada studi ini hanya

menggunakan finite element software yaitu

SAP 2000. Software tersebut hanya bisa

memodelkan beban gelombang dan arus

secara siklik statis (linear multiple statis)

dan juga hanya bisa memodelkan beban

gelombang dan arus bekerja pada elemen

frame sehingga diharapkan pada penelitian

selanjutnya jika menggunakan software

untuk perhitungan/analisa struktur SFT

ataupun struktur bangunan lepas pantai

lainnya yang memiliki elemen shell yang

dominan sebaiknya menggunakan software

CFD (computational fluid dynamic)

dimana software tersebut sudah dapat

memodelkan beban gelombang dan arus

secara dinamis baik pada elemen frame

maupun elemen shell.

Perlu dilakukan studi lebih lanjut

mengenai metode konstruksi yang tepat

untuk pelaksanaan pembangunan prototipe

struktur SFT ini.

Perlu analisa lebih lanjut terhadap material

beton yang akan digunakan jika struktur

SFT akan menggunakan material beton

sebagai penampangnya untuk

pembangunan prototype karena struktur

SFT yang berada dalam air laut harus

dipastikan kedap air dan mampu bertahan

dalam kondisi lingkungan yang

mengandung klorida dari garam.