Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persepsi dan kognisi merupakan suatu proses psikologis yang sangat
dipengaruhi oleh berbagai macam hal. Kognisi pada dasarnya ialah sebuh
proses berpikir yang di dalamnya terdapat berbagai macam aspek, yaitu
pencarian, penerimaan, pemaknaan, penyimpanan, dan bagaimana
menggunakan informasi-informasi tersebut. Proses psikologis lain yang
berperan dalam proses ini ialah persepsi, yaitu kemampuan seorang individu
memberi makna pada informasi-informasi yang telah diperolehnya.
Hubungan dan pengaruh budaya ini tentu sangat menentukan perbedaan
dan persamaan persepsi atas proses berpikir seorang individu. Individu
dibesarkan sesuai dengan nilai-nilai tertentu yang berlaku dalam masyarakatnya
dan diturunkan secara turun-temurun. Nilai-nilai yang dianut inilah yang sangat
menentukan bagaimana seseorang dapat mempersepsi objek-objek yang
ditangkap melalui proses kognisinya. Misalkan ketika ia menerima informasi
tentang maraknya ibu-ibu yang bekerja sebagai wanita karier yang sukses dan
secara tidak langsung keluarganya sedikit terbengkalai, maka seorang individu
akan mempersepsikannya secara berbeda. Mungkin bagi sebagian orang yang
masih menganut sistem budaya konvesional (seorang dengan budaya jawa
namun masih memegang teguh ajaran budayanya) akan menganggap bahwa hal
itu tidak dibenarkan menurut persepsinya. Seperti yang dijelaskan oleh Umar
Kayam (2008) dalam www.kompas.com bahwa wanita merupakan teman
belakang atau dalam bahasa jawa disebut sebagai kanca wingking yang
merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung yaitu seorang yang
bertugas menjaga nilai-nilai luhur di dalam rumah. Hal itu mungkin akan
dipersepsi lain oleh orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
1
Page 2
Berdasarkan latar belakang inilah, maka kami akan mengupas lebih jauh
mengenai kognisi, persepsi, serta hubungan budaya dengan kedu proses
tersebut.
B. Masalah
Masalah yang timbul dari penyusunan makalah ini:
Apakah definisi kognisi?
Apakah definisi persepsi?
Apakah terdapat hubungan antara kognisi dan intelegensi?
C. Maksud dan Tujuan
Maksud serta tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:
a) Memberikan pemahaman mengenai definisi kognisi
b) Memberikan pemahaman mengenai definisi persepsi
c) Memberikan pemahaman mengenai hubungan kognisi dan intelegensi
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode
literatur yang diambil dari beberapa buku yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas serta situs-situs internet yang berkaitan. Selain itu penulis juga
menggunakan metode deskriptif praktis, artinya dengan menggambarkan
keadaan masalah yang ditulis berdasarkan beberapa buku yang terkait.
E. Sistematika Penulisan
1) Bab I. Pendahuluan
2) Bab II. Isi
A. Kognisi
2
Page 3
B. Persepsi
C. Hubungan antara Kognisi dan Intelegensi
3) Bab III. Kesimpulan
Daftar Pustaka
3
Page 4
BAB II
KOGNISI DAN PERSEPSI
A. KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental
yang mengubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan
(Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar
kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar
persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian
kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek
tersebut.
Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran
rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi
(pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem
solving).
Budaya dan Memori
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam kognitif yang
meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-
informasi tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan
pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut, memori dibedakan
menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu
menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori jangka
panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi
relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya
kembali (Dayakisni, 2008).
4
Page 5
Ross dan Millson (Matsumoto dalam Dayakisni, 2008) melakukan
sebuah penelitian dengan membandingkan daya ingat pelajar Amerika dan
pelajar Ghania. Mereka menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih
baik dalam kemampuan daya ingatnya. Penelitian mereka ini ialah dengan
membacakan cerita dengan suara yang keras dan membandingkan bahwa
pelajar Ghania secara umum dapat mengingat isi cerita lebih baik daripada
pelajar Amerika. Masih dalam Matsumoto (1996), Cole (1971)
menemukan hal lain bahwa sekalipun masyarakat non-literate dapat
mengingat isi cerita lebih baik namun kemampuan mereka dalam
mengingat daftar kata cenderung lebih lama.
Serial Position Effect merupakan salah satu aspek memori yang paling
dikenal karena pada hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang
individu akan mampu mengingat lebih baik bagian pertama yang dibaca
(primary effect) atau bacaan terakhir dari daftar kata yang harus diingat
(recency effect). Meskipun demikian Wagner (dalam Matsumoto, 1996
dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa primary effect ini juga
berhubungan dengan pendidikan. Ia membandingkan kelompok anak
Moroccan antara yang sekolah dan yang tidak pernah mendapat
pendidikan. Hasilnya ialah primary effect cenderung lebih kuat pada anak
yang pernah mengenyam pendidikan.
Budaya dan Problem Solving
Proses menyelesaikan masalah atau problem solving ini merupakan
sebuah usaha yang digunakan untuk menemukan urutan yang benar dari
alternatif-alternatif penyelesaian suatu masalah dengan mengarah pada
satu tujuan pemecahan yang ideal. Penyelesaian masalah ini biasanya juga
sangat tergantung dari pendidikan dan pengalaman-pengalaman yang kita
temukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali teori-teori psikologi
yang telah mencoba menjelaskan mengenai problem solving ini, namun
5
Page 6
banyak juga yang akhirnya meneliti mengenai pengaruh budaya dengan
problem solving terhadap masalah-masalah yang tidak biasa ditemui
dalam kehidupan sehari-hari.
Cole (dalam Dayakisni, 2008) memberi kesimpulan akhir pada
penelitiannya bahwa orang Liberia menyelesaikan masalah mereka dengan
berpikir logis akan menyesuaikan dengan konteks permasalahannya.
Ketika masalah yang diberikan merupakan sebuah konsep dan
mengunakan material yang sudah mereka kenal, maka orang Liberia akan
mampu berpikir logis sama baiknya dengan orang Amerika. Ketika
masalah yang akan dihadapinya tidak pernah ia temui sebelumnya, maka
mereka cenderung mengalami kesulitan mengenai langkah-langkah awal
dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam perbandingan ini, namun tidak
dapat dikatakan bahwa orang Liberia mempunyai problem solving yang
lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika, karena mungkin saja
orang Amerika juga akan memiliki problem solving tidak sebaik orang
Liberia ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang belum pernah
ditemui sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Cole ini mendapat berbagai macam
respon karena dinilai adanya bias-bias budaya dalam percobaannya
sehingga ia perlu melakukan tiga kali percobaan untuk sampai pada
kesimpulan yang telah disampaikan sebelumnya. Percobaan-percobaan
yang dilakukan Cole antara lain :
Pada percobaan 1 ini ia menggunakan sebuah piranti yang memiliki
banyak tombol, panel, dan lubang sehingga untuk dapat membuka
piranti tersebut (dan mendapat hadiah yang ditaruh di dalamnya), ia
harus mampu mengkombinasikan berbagai tombol dan merancang
penyelesaian-penyelesaian lain untuk membuka piranti tersebut.
Prosedur yang terdapat dalam penelitian ini iallah : (1) kemampuan
menekan tombol yang tepat untuk dapat melepas kelerang; (2)
6
Page 7
memasukkan kelerang ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat
terbika dan selanjutnya piranti pun akan terbuka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang Amerika yang berusia di bawah 10 tahun
tidak mampu menyelesaikannya dengan mudah, namun pada orang
dewasa Amerika, mereka dapat mengkombinasikan berbagai
penyelesaian sehingga dapat menyelesaikannya dengan mudah. Hal ini
tidak ditemukan pada subjek-subjek orang Liberia , baik pada usia
muda maupun usia dewasa. Hal yang dirasa menjadi bias dalam
penelitian ini ialah orang Amerika yang dianggap lebih familiar
dengan penggunaan alat-alat yang menggunakan banyak tombol
dibandingkan dengan orang Liberia. Oleh karena itu, Cole melakukan
penelitian yang kedua.
Pada percobaan kedua ini, Cole menggunakan alat percobaan kotak
terkunci beserta kunci-kuncinya. Hal ini dirasa kurang bias karena
pertimbangan bahwa orang Liberia juga telah familiar terhadap hal-hal
semacam ini. Prosedur dalam menyelesaikan masalah pun masih sama
dengan percobaan pertama. Hasilnya menunjukkan bahwa orang
Liberia mampu menyelesaikannya dengan baik dan menggunakan
waktu yang hampir sama dengan orang Amerika.
Percobaan ketiga yang dilakukan ialah prosedur gabungan dari
percobaan pertama dan percobaan kedua. Subjek diminta membuka
kotak dengan kunci-kunci yang harus diambil dari piranti yang
tertutup. Langkah yang harus dilakukan untuk membuka piranti
tersebut ialah menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan
memasukkan kelereng pada lubang yang tepat pula. Hasil pada
percobaan ketiga ini sama dengan hasil pada percobaan pertama.
B. PERSEPSI
7
Page 8
Kalau berbicara tentang persepsi, kita biasanya menganggap bahwa
kita bisa melihat hal-hal yang benar-benar faktual atau nyata di dunia sekitar
kita. Menurut Matsumoto (2008), dalam psikologi tradisional, sensasi dan
persepsi adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulasi dari
lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Persepsi
biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ
yang tersetimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi,
ditata, dan ditafsirkan. Persepsi mengacu pada proses di mana informasi
inderawi diterjemahkan menjadi sesuatu yang bermakna.
BEBERAPA KOMENTAR UMUM TENTANG PENGARUH BUDAYA
PADA PERSEPSI
Persepsi dan Realitas
Salah satu hal yang harus disadari tentang persepsi adalah bahwa
persepsi kita atas dunia belum tentu mewakili secara persis realitas fisik
dunia atau indera kita. Poinnya di sini adalah bahwa persepsi kita tentang
dunia yang “penuh” tidak selalu cocok dengan realitas fisik dan sensasi
yang kita terima lewat sistem penglihatan kita. Contohnya adalah saat kita
menutup satu mata kita, dan kita tetap bisa mengalami atau melihat dunia
seolah-olah utuh. Meski ada satu area yang darinya mata kita tidak
menerima cahaya, kita tidak bisa “melihat” bagian visual itu sebagai
sesuatu yang hilang. Otak kitalah yang mengisinya sehingga seolah-olah
seluruh wilayah visual kita bisa terlihat.
Selain itu, pengalaman sehari-hari kita dengan temperatur dan
sentuhan juga menunjukkkan fenomena ini. Hal itu bisa terbukti pada
eksperimen seperti berikut: Isilah tiga mangkuk dengan air ─ satu
mangkuk dengan air panas, satu dengan air es, dan satu lagi dengan air
hangat. Masukkan tangan kita ke dalam mangkuk berisi air panas untuk
beberapa detik, dan kemudian pindahkan ke air hangat. Air itu akan terasa
8
Page 9
dingin. Tunggu beberapa menit; setelah itu masukkan tangan kita ke
dalam air es, dan kemudian ke air hangat lagi. Air itu akan terasa hangat.
Temperatur air yang hangat itu tidak berubah. Yang berubah adalah
persepsi kita tentangnya.
Seperti yang terdapat pada Dayakisni (2008), kunci jawaban masalah
di atas adalah pengalaman. Seperti yang diungkapkan para pengagum
teori-teori empiris, manusia akan secara terus-menerus melakukan
interpretasi terhadap tanda-tanda (dunia) dan dengan mudah tersesat oleh
pengalaman terdahulu untuk melakukan phenomenal absolutism (bahwa
manusia secara naif mengambil kesimpulan dari apa yang dirasakan dan
bukan dari realitas sebenarnya). Dari proses-proses tersebut selanjutnya
orang akan belajar bahwa dunia ini adalah dalam bentuk tiga dimensi.
Segall (dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa persepsi bukanlah
stimulus penentu tetapi lebih merupakan produk dari interaksi antara
stimulus dengan pengalaman.
Persepsi dan Pengalaman
Salah satu hal yang kita ketahui tentang persepsi kita adalah bahwa
persepsi itu berubah. Persepsi kita juga berubah bila kita mengetahui lebih
banyak tentang sesuatu. Contohnya, bagi kebanyakan orang, apa yang ada
di bawah kap mobil merupakan pemandangan campur aduk yang tak rapi.
Tapi bagi mereka yang mempelajari mesin, pemandangan itu akrab dan
terdeferensiasi menjadi benda-benda yang lebih spesifik ─ karburator,
blok mesin, alternator, dan lain-lain.
Selama beberapa tahun Chase dan Simon (Matsumoto, 2008)
mempelajari orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu. Mereka secara
konsisten menemukan bahwa ketika orang belajar lebih banyak tentang
sesuatu, mereka akan “melihatnya” secara berbeda dari saat pertama kali
9
Page 10
melihatnya. Jadi, jelas sekali bahwa bagaimana kita akan “melihat”
sesuatu itu berubah seiring pengalaman kita dengan hal itu.
Bagaimana seseorang dari latar belakang budaya yang sangat berbeda
“melihat” sesuatu yang amat familier bagi kita? Dan bagaimana kita akan
“melihat” sesuatu yang familier bagi mereka dan asing bagi kita? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, seorang guru di Australia
mempunyai pengalaman menarik yang menunjukkan perbedaan kultural
dalam persepsi ini. Di sebuah sekolah untuk anak-anak suku Aborigin,
guru ini sedang mencoba mengajarkan sebuah permainan “who touched
me?”. Dalam permainan ini semua berdiri melingkar dan anak yang “jadi”
akan ditutup matanya. Kemudian ada satu anak dari lingkaran yang akan
berjalan diam-diam dan menyentuh anak yang tertutup matanya lalu
kembali ke tempatnya. Tutup mata itu dibuka dan anak yang “jadi” harus
menebak siapa yang menyentuhnya.
Guru itu melihat bahwa anak-anak Aborigin tidak benar-benar ingin
bermain. Meski begitu, mereka tetap melakukan permainan itu untuk
menghormati sang guru. Setelah permainan itu, sang guru menemukan
bahwa murid-muridnya menjadi tidak kooperatif dan enggan mencoba
apapun yang ia usulkan. Mereka menolak belajar alphabet. Guru itu pun
mengira bahwa mereka sedang berpura-pura bodoh atau nakal.
Sama halnya ketika guru menganggap anak-anak Aborigin berpura-
pura bodoh atau nakal, anak-anak suku Aborigin justru menganggap
gurunyalah yang bodoh. Anak-anak Aborigin itu bisa dengan mudah
melihat tapak kaki siapa yang ada di tanah dengan melihat sepintas. Jadi
bagi mereka guru itu telah meminta mereka untuk memainkan sesuatu
yang bagi anak-anak Aborigin sangat bodoh sampai mereka tak mengerti
kenapa itu bisa menjadi sebuah permainan.
10
Page 11
Persepsi Pengecapan
Kebanyakan orang pernah mengalami perubahan kesukaan makanan.
Sebagian alasannya barangkali terkait dengan perubahan proporsi dari
jenis-jenis saraf pengecapan di mulut (Matsumoto, 2008). Kita semua tahu
bahwa anak-anak suka makanan yang manis dan bahwa mereka biasanya
sangat pilih-pilih dengan makanan secara umum. Sifat ini mungkin
sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa makanan yang sama punya
rasa yang berbeda bagi anak-anak dan orang dewasa. Contohnya, sebatang
coklat mungkin akan terasa terlalu manis bagi orang tua yang punya lebih
saraf manis ketimbang saraf pahit dan asam. Bagi anak berusia 3 tahun,
yang punya lebih banyak saraf pahit disbanding rata-rata orang dewasa,
batang coklat yang sama mungkin akan terasa sedikit pahit.
Beberapa penelitian juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan
kemampuan mengecap yang diseabbkan oleh perbedaan budaya. Doty
(Berry dalam Dayakisni, 2008) melaporkan kekurangmampuan orang-
orang Kaukasia untuk mengecap subtansi yang mengandung PTC
(phenilthiocarbamide). Ia juga menambahkan sekitar 30% orang Kaukasia
dikatakan buta kecap atau lidah karena kebiasaan mengecap subtansi-
subtansi yang lebih kasar ketimbang subtansi yang biasa dikecap orang-
orang non-Kaukasia.
PENGARUH-PENGARUH BUDAYA PADA PERSEPSI VISUAL
Pengetahuan Tradisional tentang Ilusi Visual
Ada banyak kajian psikologi di bidang persepsi yang meneliti ilusi
optik, yaitu persepsi yang mengandung diskrepansi atau perbedaan antara
kenampakan sebuah benda dengan benda itu sesungguhnya. Seringkali,
ilusi-ilusi optik terjadi karena asumsi-asumsi yang keliru tentang
karakteristik stimulus dari benda yang dipersepsi.
11
Page 12
Salah satu ilusi optik yang paling popular adalah ilusi Mueller-Lyer.
Dalam ilusi ini ada dua garis yang masing-masing memiliki tanda panah di
ujungnya. Tanda panah pada salah satu garis itu mengarah ke luar,
menjauhi garisnya, sedangkan pada garis yang lain mengarah ke dalam.
Penelitian menunjukkan bahwa subjek-subjek yang melihat dua gambar
tersebut biasanya menilai bahwa garis dengan panah yang mengarah ke
dalam adalah yang lebih panjang. Tapi hal ini hanya ilusi, karena kedua
garis itu sebenarnya sama panjang.
─ Ilusi Mueller-Lyer ─
Ilusi lain yang popular adalah ilusi horizontal/vertikal. Dalam ilusi ini
dua garis dengan panjang yang sama ditempatkan secara saling tegak
lurus. Ketika para subjek diminta menilai garis mana yang lebih panjang,
biasanya mereka memilih garis yang vertikal.
─ Ilusi Horizontal/Vertikal ─
12
Page 13
Ilusi ketiga yang juga terkenal adalah ilusi Ponzo. Dalam ilusi ini dua
garis horizontal ditempatkan sejajar, satu di atas yang lain. Setelah itu
ditarik dua garis diagonal yang lebih rapat di ujung atas daripada di
bawah. Ketika para subjek melihat gambar ini, mereka biasanya
mengatakan bahwa garis horizontal yang ada di atas lebih panjang
daripada garis horizontal di bawahnya. Tentu saja, kedua garis tersebut
sebenarnya sama panjang.
─ Ilusi Ponzo ─
Teori-teori Dominan tentang Ilusi Optik
Ada tiga teori utama yang dikembangkan untuk menjelaskan efek ilusi
optik, yaitu:
1. Carpentered World Theory atau Teori Lingkungan Buatan
Teori ini menyatakan bahwa orang, seperti hanlnya sebagian besar
orang Amerika, terbiasa melihat benda-benda yang berbentuk kotak.
Tinggal di lingkungan yang didominasi bentuk kotak, secara tak sadar
kita cenderung menduga akan bertemu dengan benda-benda dengan
sudut atau pojok berbentuk kotak. Kita sudah melakukan ini begitu
lama sehingga kita tak lagi sadar bahwa kita menafsirkan berbagai
benda seolah-olah berbentuk persegi padahal stimulus aktualnya tidak
tegak lurus dengan mata kita. Kita hanya melihatnya seolah-olah
bentuknya “persegi”.
13
Page 14
2. Front-Horizontal Foreshortening Theory atau Teori Pemendekan
Horizontal-Depan
Teori ini menyatakan bahwa kita menafsirkan garis vertikal di mata
kita sebagai garis horizontal yang terentang sampai kejauhan. Dengan
demikian, kita akan menafsirkan garis vertikal pada ilusi
vertikal/horizontal sebagai sebuah garis yang terentang menjauhi kita.
Sekali lagi, kita akan menduga bahwa sebuah garis akan punya ukuran
lebih panjang bila berada jauh dari kita. Karena itu, kita melihat garis
vertikal tersebut lebih panjang daripada yang horizontal, yang tidak
terlihat terentang menjauh.
3. Symbolizing-Three-Dimensions-in-Two-Dimensions atau Teori
Menyimbolkan-Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi
PENELITIAN LINTAS-BUDAYA TENTANG ILUSI VISUAL
Beberapa penelitian lintas-budaya tentang persepsi visual menantang
pemahaman-pemahaman tradisional tentang ilusi optik. Bahkan sudah
semenjak 1905, W.H.R. Rivers membandingkan efek ilusi Muller-Lyer dan
horizontal/vertikal pada kelompok dari Inggris, pedesaan India, dan Papua
Nugini. Ia menemukan bahwa orang Inggris melihat dua garis pada ilusi
Muller-Lyer lebih berbeda panjangnya daripada orang-orang dari kelompok-
kelompok lainnya. Ia juga menemukan bahwa orang India dan Papua Nugini
lebih tertipu oleh ilusi horizontal/vertikal daripada orang Inggris.
Hasil-hasil ini cukup mengejutkan. Sebelumnya, mereka yakin bahwa
orang India dan Papua Nugini lebih primitif dan akan lebih tertipu oleh ilusi-
ilusi tersebut daripada orang Inggris yang lebih berpendidikan dan lebih
“beradab”. Tapi hasilnya menunjukkan bahwa ada efek ilusi tersebut berbeda
antarbudaya, dan bahwa ada sesuatu selain pendidikan yang turut
memengaruhi bagaimana orang tertipu oelh ilusi-ilusi itu. Para peneliti itu
14
Page 15
kemudian menyimpulkan bahwa pasti ada pengaruh budaya pada bagaimana
kita “melihat” dunia.
Hasil-hasil yang didapatkan Rivers tadi dapat dijelaskan dengan Teori
Lingkungan Buatan maupun Teori Pemendekan Horizontal-Depan. Pada
Teori Lingkungan Buatan, akan dinyatakan bahwa sebagian besar orang
Amerika dan Inggris, dalam penelitian Rivers, sudah terbiasa melihat benda-
benda yang berbentuk persegi. Sebaliknya, orang-orang di India dan Papua
Nugini lebih terbiasa dengan lingkungan yang lebih bundar dan ileguler.
Terhadap ilusi Muller-Lyer, orang Inggris akan cenderung melihatnya sebagai
sudut-sudut persegi yang memproyeksikan kedalaman ke arah menjauhi atau
mendekati kita. Namun orang India dan Papua Nugini tinggal di budaya di
mana lingkungannya tidak terlalu banyak memuat benda-benda buatan
manusia. Kecenderungan mereka untuk membuat “kesalahan” perseptual
dalam hal ini lebih kecil daripada orang Inggris. Karena itulah orang Inggris
lebih sering salah dalam menafsirkan ilusi Muller-Lyer daripada orang India
dan Papua Nugini. Pada Teori Pemendekan Horizontal-Depan dapat
membedakan perbedaan cultural dalam penelitian Rivers. Di India dan Papua
Nugini terdapat lebih sedikit gedung yang menghalangi jarak pandang orang.
Karena itu, orang India dan Papua Nugini lebih mengandalkan petunjuk
kedalaman daripada orang Inggris dan membuat lebih banyak kesalahan
dalam menilai gambar horizontal/vertikal. Sedangkan Teori Menyimbolkan-
Tiga-Dimensi-dalam-Dua-Dimensi menyatakan bahwa di budaya-budaya
Barat, orang lebih banyak memperhatikan hal-hal yang tertera di atas kertas
daripada orang dari budaya lain. Secara lebih khusus, orang Barat
menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar menafsirkan gambar
daripada orang dari budaya non-Barat. Karena itu orang-orang di Papua
Nugini dan India lebih sulit tertipu ilusi Muller-Lyer karena gambar tersebut
lebih “asing” bagi mereka. Tapi mereka akan lebih tertipu oleh ilusi
horizontal/vertikal karena hal itu lebih mewakili cara hidup mereka.
15
Page 16
Untuk melihat apakah temuan-temuan Rivers juga berlaku pada lebih
banyak budaya secara umum, Segall dkk (Matsumoto, 2008) membandingkan
orang dari tiga kelompok masyarakat industri dengan empat-belas kelompok
masyarakat non-industri pada ilusi Muller-Lyer dan horizontal/vertikal.
Hasilnya menunjukkan bahwa efek ilusi Muller-Lyer lebih kuat pada
kelompok-kelompok industri. Sebaliknya, efek ilusi horizontal/vertikal lebih
kuat pada kelompok non-industri. Mereka menemukan bahwa efek ilusi-ilusi
tersebut menurun dan hamper menghilang seiring pertambahan usia. Wagner
(1977) mengkaji persoalan ini dengan menggunakan beberapa versi ilusi
Ponzo dan membandingkan jawaban orang-orang dari lingkungan desa dan
kota, yang sebagian melanjutkan pendidikan dan sebagian tidak. Wagner
menemukan bahwa ada pengaruh lingkungan perkotaan dan pengalaman
sekolah pada ilusi Muller-Lyer. Pollack dan Silvar (1967) menunjukkan
bahwa efek ilusi Muller-Lyer terkait dengan kemampuan untuk mendeteksi
kontur, dan kemampuan ini akan menurun seiring pertambahan umur. Untuk
melihat teori mana ─teori rasial ataukah teori pembelajaran lingkungan─ yang
lebih benar, Stewart (1973) menguji efek ilusi Muller-Lyer pada anak-anak
kulit hitam dan putih yang tinggal di satu kota yang sama. Ia tak menemukan
perbedaan antara kedua kelompok ini. Kemudian ia membandingkan beberapa
kelompok anak usia sekolah dasar di Zambia yang berasal dari lingkungan
kota yang penuh dengan benda arsitektur serta yang berasal dari lingkungan
pedesaan yang minim benda arsitektur. Ia menemukan bahwa efek ilusi ini
tergantung pada sejauh mana seorang anak tinggal di lingkungan
berarsitektur. Ia juga menemukan bahwa seiring pertambahan usia, efek ilusi
ini berkurang, yang menunjukkan bahwa baik hasil belajar maupun sifat
bawaan punya peran dalam perbedaan cultural yang tampak ini.
Hudson (1960) mencoba mengembangkan sebuah tes proyektif mirip
Thematic Apperception Test untuk digunakan pada suku Bantu di Afrika
Selatan.
16
Page 17
Ia meminta seorang seniman untuk membuat gambar-gambar yang
menurut dugaan para ahli psikologi akan membuat anggota suku itu
memikirkan emosi-emosi mereka yang mendalam. Para ahli psikologi ini
terkejut karena menjumpai bahwa anggota suku Bantu seringkali melihat
gambar-gambar tersebut dengan cara berbeda dari yang dimaksudkan.
Anggota-anggota suku itu seringkali tidak menggunakan ukuran relatif
sebagai petunjuk kedalaman. Dalam ilustrasi yang ada, misalnya, kita akan
cenderung melihat bahwa si pemburu bersiap melempar tombaknya pada
kijang yang ada di latar depan, sementara ada seekor gajah yang berdiri di atas
sebuah bukit sebagai latar belakang. Banyak anggota suku Bantu justru
melihat bahwa si pemburu di gambar yang sama sedang bersiap menusuk
gajak yang masih bayi.
Hudson menemukan bahwa perbedaan-perbedaan dalam persepsi
kedalaman ini terkait dengan pendidikan dan pengalaman dengan budaya
Eropa. Dengan kata lain, orang-orang suku Bantu yang terdidik di sekolah-
sekolah Eropa, atau punya pengalaman lebih banyak dengan budaya Eropa,
akan melihat benda-benda seperti halnya orang Eropa. Orang-orang suku
Bantu yang tak berpendidikan dan minim pengalaman dengan budaya Barat
akan melihat gambar-gambar itu secara berbeda.
17
Page 18
C. PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN INTELEGENSI
Intelegensi dalam pandangan orang Amerika ialah sejumlah
kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya
merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Ruang lingkup dalam
proses intelegensi ini ialah memori, kekayaan kosa kata, kemampuan
komperehensif, kemampuan matematis, dan berpikir logis. Cara budaya
mainstream Amerika mendefinisikan inteligensi mempengaruhi pandangan
banyak orang mengenai proses perkembangan kognitif bahwa orang yang
berasal dari budaya tertentu lebih cerdas dibanding yang lain. Padahal
perbedaan budaya juga sangat berperan dalam menentukan definisi dari
intelegensi/kecerdasan ini. Sebagai contoh, seorang yang berada dalam
budaya tertentu yang ada di pedalaman, kecerdasan yang harus dimiliki
mungkin bukanlah sebuah kecerdasan matematis dalam berhitung, namun
kecerdasan dan ketepatan dalam menangkap hewan buruan ataupun
menyalakan api dengan kayu bakar. Satu jenis alat tes yang digunakan
mungkin menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap budaya dikarenakan
adanya kemungkinan alat tes yang bias budaya. Oleh karena itu, adanya
perbedaan dalam skor intelegensi diantara kelompok-kelompok budaya
barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang
apa yang disebut dengan intelegensi; (2) ketidaktepatan pengukuran
intelegensi terkait budaya.
Para ahli psikologi telah banyak mempelajari bagaimana anak-anak
belajar berpikir dan bagaimana mendefinisikan dan mengukur kecerdasan.
Skor IQ dapat menjadi faktor penentu yang penting bagi hidup seseorang,
hasil tes tersebut harus ditafsirkan dengan amat hati-hati, terutama bila ingin
mengkur inteligensi lintas-budaya. Beberapa ahli berpendapat mengenai
perlunya memahami inteligensi secara lebih luas untuk mengintegrasikan
penelitian lintas-budaya ke dalam teori yang dapat menjelaskan mengapa
18
Page 19
orang dari berbagai belahan bumi berpikir dan mengembangkan keterampilan
mental secara berbeda.
Misalnya persepsi bahwa orang Cina itu lebih pintar dibandingkan
orang Indonesia (Pribumi). Sebenarnya hal itu hanyalah persepsi kita saja
karena sudah terbentuk di lingkungan sekitar kita dan didukung dengan bukti
empiris bahwa negeri Cina lebih maju.
Teori Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah bidang khusus dalam psikologi yang
mempelajari bagaimana perkembangan keterampilan berpikir.
Berdasarkan pengamatan Piaget di Swiss, ia menemukan bahwa
ternyata anak-anak dari usia yang berbeda-beda cenderung
memecahkan masalah secara berbeda. Anak-anak berkembang maju
melalui 4 tahap seiring pertumbuhan mereka menurut Piaget, yaitu:
1. Tahap sensorimotor
Dimulai sejak lahir sampai 2 tahun. Proses permanensi objek-
kemampuan untuk mengetahui bahwa suatu benda itu tetap ada
meski tidak terlihat oleh pandangan mata. Misalnya di Indonesia
berkembang mitos bahwa anak kecil memiliki penglihatan yang
sensitif sehingga dapat melihat makhluk-makhluk gaib atau yang
dikatakan “penampakan”. Hal itu akan membentuk konsep diri
terhadap anak yang didukung oleh lingkungan yang kuat untuk
memberikan si anak pemahaman antara konsep magis dan
rasionalitas.
2. Tahap pra operasional
Usia 2-7 tahun. Di bagi berdasarkan 5 sifat yaitu,
Konservasi: kesadaran bahwa adanya kuantitas fisik yang tidak
berubah meski bentuk atau penampakannya berubah.
19
Page 20
Keterpakuan: kecenderungan untuk terfokus pada satu aspek
dari suatu persoalan/masalah.
Ketidakberhasilan: ketidakmampuan untuk membayangkan
“penguraian-balik”.
Egosentrisme: keidakmampuan untuk menggunakan kacamata
orang lain dan memahami sudut pandangnya.
Animisme: keyakinan bahwa benda-benda mati punya nyawa.
3. Tahap operasional konkret
Usia 6-11 tahun. Anak memperoleh keterampilan berpikir baru
dalam menghadapi benda dan kejadian nyata. Mereka bisa
membalikkan dalam pikiran-bayangan proses suatu tindakan dan
memperhatikan lebih dari satu aspek dari suatu persoalan, mengerti
ada sudut pandang berbeda dari pandangan mereka. Dalam
memecahkan masalah masih trial-error.
4. Tahap operasional formal
Pada usia 11 tahun sampai dewasa. Mengembangkan kemampuan
berpikir logis mengenai konsep abstrak, sistematis dalam problem
solving.
Teori Tahapan Piaget dari Perspektif Lintas Budaya
Teori Piaget ini berlangsung seperti empat tahapan tersebut di
setiap budaya. Dari beberapa penelitian pada anak-anak Inggris,
Amerika, Yunani, dan Pakistan menunjukkan dapat mengerjakan tugas
perkembangan Piaget pada tahap yang sama yaitu, tahap operasional
konkret (Shayer, Dementriou & Perez, 1988).
Penelitian lain menunjukkan adanya variasi kultural pada usia anak
di masyarakat yang berbeda-beda dalam pencapaian tahap
perkembangan Piaget yang ketiga dan keempat (tahap operasional
konkret dan tahap operasional formal) sehingga menyebabkan tahap
20
Page 21
perkembangan yang berbeda dengan tahapan-tahapan yang
dikemukakan oleh Piaget. (Dasen, Lavallee, Ngini, dan Retschitzki,
1979; Dasen, 1982).
Dalam sebuah penelitian, terdapat variasi yang cukup besar antara
tahapan-tahapan perkembangan Piaget dan ketrampilan fisik yang
terkait. Jadi anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
budaya dan usia tertentu secara tidak langsung dituntut untuk
mempelajari keterampilan-ketrampilan khusus yang sesuai dengan
aturan budayanya tanpa dipengaruhi oleh tahapan perkembangan
Piaget.
Misalnya pada anak-anak zaman dulu yang masih tinggal nomaden
atau anak yang tinggal di perkampungan memiliki keterampilan
tertentu misalnya berburu. Dalam hal berburu juga diperlukan
perhitungan dan strategi yang pas untuk menangkap hewan berburu.
Belum tentu pola pikir seperti itu dimiliki oleh anak-anak dan orang
dewasa yang tinggal menetap di perkotaan.
Teori Piaget berasumsi bahwa penalaran ilmiah yang diasosiaikan
dengan tahap operasional formal merupakan puncak perkembangan
kognitif, dengan kata lain pemikiran ini menjadi acuan bagi setiap
budaya dalam menentukan langkah-langkah penalaran ilmiah.
Penelitian lintas budaya mematahkan teori tersebut dengan
menyatakan bahwa masyarakat yang berbeda budaya menghargai dan
mendorong keterampilan dan perilaku yang berbeda-beda. Misalnya,
cerdik-cendikiawan yang paling dihormati oleh masyarakat islam
tradisional adalah pemuka agama dan penyair. Meskipun pendidikan
islam tradisional sudah cukup mencakup pelajaran budaya barat (yang
bersifat ilmiah seperti Matematika, Fisika, Kimia), tujuan utamanya
ialah mengajarkan pengetahuan umum, iman, dan penghargaan yang
mendalam atas puisi dan sastra. Beberapa budaya di dunia tidak
21
Page 22
sepakat bahwa proses berpikir abstrak merupakan titik perkembangan
kognitif yang paling tinggi. Banyak pula budaya yang menganggap
bahwa perkembangan kognitif mencakup hubungan antara ketrampilan
dan proses berpikir untuk berhasil dalam konteks interpersonal (well
adjusted dalam lingkungannya).
Apakah ini berarti bahwa suatu budaya dapat digolongkan
terhambat di tahap perkembangan kognitif yang rendah? Jadi tugas-
tugas Piagetian memang merupakan cara yang tepat untuk mengukur
tahap tertinggi dalam perkembangan kognitif. Sayangnya tes-tes
tersebut tidak selalu bisa dipahami dan diberikan pada budaya-budaya
tertentu. Tes operasional formal, tidak bisa menunjukkan apakah orang
dari budaya yang berbeda memiliki keterampilan kognitif di bidang
lain selain yang dipilih oleh Piaget. Dari pernyataan tersebut timbul
pertanyaan tentang sejauh mana tugas-tugas Piagetian lebih tergantung
pada pengetahuan sebelumnya dan nilai-nilai budaya ketimbang
keterampilan kognitif. Misalnya pada salah satu tes inteligensi hasil
adaptasi dari luar Indonesia terdapat kosa kata-kosa kata tertentu yang
belum tentu dimengerti oleh orang Indonesia pada tahap
perkembangan tertentu.
Pada akhirnya perbedaan dalam satu atau beberapa budaya
menyulitkan pengambilan kesimpulan yang valid tentang perbedaan
perkembangan kognitif antar budaya terbatas pada aktivitas-aktivitas
khusus. Misalnya individu yang bisa menerapkan logika ilmiah pada
suatu masalah pekerjaan mungkin akan menggunakan penalaran yang
berbeda untuk situasi yang lain.
Pengaruh Kultural pada Pengukuran Intelegensi
22
Page 23
Tes inteligensi menjadi cara untuk membedakan anak-anak yang
membutuhkan pendidikan luar biasa dengan anak-anak yang terhambat
karena alasan lain. Tidak semua pihak diuntungkan oleh tes inteligensi
ini karena tes-tes ini bergantung pada kemampuan verbal dan
pengetahuan kultural. Beberapa orang merespon bahwa tes inteligensi
itu bias dan tidak mengukur dengan akurat kemampuan orang dari
budaya lain.
Dalam sebuah kontroversi dikenal perdebatan “nature vs culture”.
Kubu nature berpendapat bahwa dalam skor IQ pada masyarakat dan
kelompok-kelompok etnis yang berbeda disebabkan oleh faktor alam
atau keturunan. Perbedaan skor inteligensi antar kelompok juga
mungkin diakibatkan oleh:
1) Perbedaan definisi inteligensi
2) Ukuran inteligensi yang secara kultural kurang tepat.
Seperti yang kita ketahui bahwa tes-tes inteligensi merupakan
prediktor yang baik dalam hal keterampilan verbal yang diperlukan
untuk bisa berhasil dalam budaya yang terkait dengan sistem-sistem
pendidikan formal di masyarakat modern, model yang sekarang
semakin banyak diadopsi di seluruh dunia. Pandangan lain yang
dipegang oleh ahli psikologi lintas-budaya bahwa tes-tes inteligensi
memang mengukur perbedaan yang nyata antara masyarakat yang
berbeda, tapi perbedaan tersebut seharusnya tidak dipandang sebagai
kekurangan/kelemahan suatu budaya.
BAB III
23
Page 24
PENUTUP
Kesimpulan
Kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada apa yang kita lihat karena
penglihatan berbeda dari dunia faktual dalam pengertian absolutnya. Apa
yang kita lihat mungkin berbeda dari apa yang dilihat dan diyakini orang lain.
Hal inilah yang dinamakan dengan persepsi. Persepsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor ─termasuk usia, pematangan, lingkungan dan situasi─ latar
belakang kebudayaan tetap merupakan penentu yang berpengaruh dalam
persepsi kita terhadap dunia (persepsi dapat dibentuk, diubah, dan dipengaruhi
oleh kebudayaan di mana kita dibesarkan).
Kategorisasi yang merupakan bagian dari proses kognisi ternyata tak
berbeda anta budaya bila terkait dengan pengalaman seperti warna, ekspresi
wajah, dan bentuk-bentuk geomeetris. Hal ini berarti, proses-proses dasar ini
akan sama pada semua orang namun kategori dapat pula menjadi berbeda
ketika individu memiliki latar belakang pengalaman kultural yang berbeda.
Ketika ada perbedaan kultural yang muncul bukanlah dalam kemampuan
kognitif melainkan perbedaan dalam preferensi (pilihan) untuk menggunakan
gaya-gaya kognitif tertentu.
Hubungan inteligensi sebagai bagian dari proses kognisi memiliki
banyak definisi yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Bagaimana
sutau budaya mendefinisikan apa yang disebut cerdas barangkali tidak sama
dengan bagaimana budaya lain mendefinisikan inteligensi. Oleh karena itu,
pengukuran inteligensi seharusnya disesuaikan dengan kemungkinan
terjadinya bias budaya.
Daftar Pustaka
24
Page 25
Anonim. Artikel ini diakses di www.kompas.com pada tanggal 22 Agustus 2008.
Dayakisni, Tri dan ….. 2008. Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : UMM Press
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
25