Page 1
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
36
MAKALAH PENDAMPING BIDANG PENDIDIKAN-1
=====================================================
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN
KARAKTER DENGAN PERMAINAN PADA MATA PELAJARAN
BAHASA INDONESIA SISWA KELAS X DI SMK HARAPAN
KARTASURA SURAKARTA (SEMESTER GENAP 2013/2014)
Agoes Hendriyanto 1)
Nimas Permata Putri 2)
1) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pacitan.
Email: [email protected] 2) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pacitan.
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian dengan judul Pengembangan Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter
Dengan Permainan Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas X dI SMK Harapan
Kartasura Surakarta (Semester Genap 2013/2014). Penelitian deskriptif kualitatif
dilaksanakan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Harapan Kartasura Surakarta. Penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Analisis kualitatif
deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian.
Tujuan penelitian sebagai berikut: 1) Menemukan pengembangan pembelajaran
berbasis pendidikan karakter dengan permainan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, dan 2)
menemukan pengembangan pembelajaran berbasis pendidikan karakter dengan permainan
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat meningkatkan prestasi siswa.
Pembelajaran dengan permainan memiliki sifat yang dominan antara lain: terdapat
aktivitas interaksi antarsiswa; dapat memberikan umpan balik langsung, memungkinkan
penerapan konsep atau peran ke dalam situasi nyata di masyarakat; memiliki sifat luwes
karena dapat digunakan untuk berbagai tujuan pembelajaran dengan hanya metode dan tema;
mampu meningkatkan kemampuan komunikatif siswa; mampu mengatasi keterbatasan siswa
yang sulit belajar; dan penyajiannya mudah dibuat serta diperbanyak. Pembelajaran berbasis
pendidikan karakter dengan permainan, siswa diajak mengenal materi pembelajaran melalui
permainan-permainan yang menarik dan menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan minat
belajar siswa. Pembelajaran yang berbasis permainan aspek karakter sangatlah terlihat
terutama sikap kedisiplinan, kejujuran, ketangkasan, tanggung jawab, kreatifitas, toleransi,
percaya pada diri sendiri, dan tidak pantang menyerah.
Beberapa pengembangan pembelajaran berbasis pendidikan karakter dengan
menggunakan metode permainan di SMK Hrapan Kartasura Surakarta antara lain: 1)
Permainan Whisper Race, 2) Bermain Peran, 3) Permainan kuis, 4) Permainan kalimat
beruntun, 5) Permainan teka-teki silang, 6) Permaianan puzzle dan 7) Permainan puzzle
bergambar.
Kata Kunci: Pembelajaran, Permainan, Karakter
PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun karakter
bangsa. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) pada pasal 3, menyebutkan pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Depdiknas, 2003).
Page 2
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
37
Berdasarkan peristiwa tanggal 26 September 2012, Deni Januar (17) siswa kelas
XII SMA Yayasan Karya 66 Jakarta Timur, wafat karena terkena sabetan clurit oleh siswa
SMK Kartika. Satu bulan berselang kasus RN alias Tompel anak SMK Swasta di Jakarta
ditahan Polres Metro Jakarta Timur setelah menyiram air keras di dalam bus kota PPD 213
jurusan Kampung Melayu-Grogol Detikcom, Senin (7/10/2013). Faktor utama anak SMK
melakukan perilaku kekerasan diantaranya; 1) umumnya dari keluarga yang ekonominya
minim, rendahnya pendidikan orang tua, 2) kurang harmonisnya keluarga, dan 3)
lingkungan rumah yang kurang kondusif. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap
karakter, emosi, dan sikap berbahasa mereka. Bahasa yang kurang santun telah akrab sejak
mereka masih kecil perlahan tapi pasti membentuk karakter negatif mereka. Siswa SMK
yang identik dari keluarga yang status ekonominya belum mapan, sehingga pembelajaran
di SMK harus benar-benar memberikan sebuah pengalaman yang berharga bagi peserta
didik. Pengalaman yang membekas di hati peserta didik akan timbul jika out put yang
didengar dan dilihat peserta didik dalam keadaan anak didik senang dan bahagia.
Berdasarkan kondisi yang demikian diharapkan metode pembelajaran Permainan
dalam Mata Pelajaran Bahasa di SMK menarik, menyenangkan, kreatif, dan inovatif.
Dengan demikian akan memberikan suatu situasi yang menyenangkan bagi peserta didik
walaupun di rumah banyak persoalan hidup ke sekolah akan hilang persoalan tersebut
dikarenakan pembelajaran di sekolah memberikan pengalaman yang menyenangkan di
hati peserta didik. Pada saat pembelajaran permaianan yang terlihat suasananya kelas
yang menyenangkan maka guru akan memberikan muatan sikap secara maksimal tetapi
tidak boleh dipaksakan, dan keterampilan yang didasarkan pada teori yang berdasarkan
KD yang telah disusun sebelum pembelajaran.
Apalagi untuk pelaksanaan kurikulum 2013 guru Bahasa Indonesia harus berada di
garis terdepan dalam mengimplementasikan dalam pembelajaran. Secara garis besar
pembelajaran bahasa Indonesia di SMK sangat berkaiatan dengan ejaan, kata, dan kalimat
yang diolah menjadi ebuah teks yang dikerjakan oleh siswa.
Keberhasilan pembelajaran dapat dicapai bila elemen guru, pemerintah, dan wali
murid saling bersinergi dalam mengupayakan keberhasilan pembelajaran dengan
meningkatkan minat belajar siswa dengan menggunakan pembelajaran yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Minat belajar atau dorongan untuk belajar didapat dari suasana
pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan. Desain pembelajaran yang kondusif dan
menyenangkan akan memberikan kebebasan mengekspresikan ide dan motivasi belajar
mandiri.
METODE PENELITIAN
Penelitian deskriptif kualitatif dilaksanakan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Harapan Kartasura Surakarta. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif deskriptif. Analisis kualitatif deskriptif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
(Moleong, 2006: 6). Sumber data utama penelitian deskriptif kualitatif berupa dokumen
pribadi, dokumen lembaga pendidikan, catatan lapangan, wawancara, dan responden
(Sugiyono, 2011). Data dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran mata pelajaran
Bahasa Indonesia, sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah semua hal yang
terlibat dalam pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Page 3
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
38
PEMBAHASAN
Pengembangan Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter
Menurut Tarmansyah, dkk. (2012:15) pendidikan karakter yang diintegrasikan di
dalam semua mata pelajaran hrus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) kebijakan
sekolah dan dukungan administrasi sekolah terhadap pendidikan karakter yang meliputi:
visi dan misi pendidikan karakter, sosialisasi, dokumen pendidikan karakter; b) kondisi
lingkungan sekolah meliputi: sarana dan prasarana yang mendukung, lingkungan yang
bersih, kantin kejujuran, ruang keagamaan; c) pengetahuan dan sikap guru yang meliputi:
konsep pendidikan karakter, cara membuat perencanaan pembelajaran, perangkat
pembelajaran, kurikulum, silabus, RPP, bahan ajar, penilaian, pelaksanaan pendidikan
karakter; dan d) peningkatan kompetensi guru, dan e) dukungan masyarakat. berdasarkan
hal tersebut dalam pelaksanaannya harus direncanakan oleh guru, lembaga sekolah dan
wali murid. hal ini sangatlah diperlukan dalam mewujudkan dari tujuan yang telah
disepakati bersama. Faktor tersebut di atas harus dipenuhi jika menginginkan karakter
anak didik luar biasa. Jika salah satu faktor dari ke lima faktor yang telah disebutkan di
atas tidak terpenuhi maka out put karakter yang diharapkan tidak akan pernah dicapai
secara maksimal.
Sikap atau afektif memiliki pengaruh yang besar dalam keberhasilan kegiatan
pembelajaran bahasa Indonesia. Sikap yang positif akan menunjang ketercapaian tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia yang diharapkan oleh guru. Sebaliknya, sikap negatif akan
memengaruhi kualitas dan tujuan pembelajaran yang diharapkan dalam kegiatan
pembelajaran, khususnya pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
sedikit berbeda dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Di SMK siswa dihadapkan
dengan dunia kerja atau praktik kerja industri (PRAKERIN) pembelajarannya praktik
industrinya lebih banyak dari pada akademiknya. Dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia lebih banyak ke nonsastra, karena siswa diajak untuk praktik dalam surat
menyurat, laporan keuangan dan bernegosiasi dalam dunia kerja (Rumiati, Martha, G.
Artawan, 2013).
Merujuk pemaparan di atas model pembelajaran di SMK khususnya untuk pelajaran
Bahasa Indonesia diarahkan untuk praktik menulis yang berguna di dunia kerja. Sehingga
teori secara detail ataupun sastra tidak diajarkan di SMK. Namun pembelajarannya lebih
diarahkan pada kemampuan efektif dan psikomotorik siswa. Walaupun demikian teori
harus tetap diajarkan, khususnya untuk tercapainya keterampilan menulis dan berbicara
yaitu mengenai teori dasar. teori tersebut akan membantu dalam peningkatan aspek efektif
dan kognitif. Lulusan SMK diharapkan mempunyai keterampilan dan sikap yang baik
sehingga akan mempunyai motivasi berprestasi jika nantinya terjun di masyarakat.
Oleh karena itu pembelajarannya harus memberikan pengalaman belajar yaitu
kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan siswa di dalam proses belajar mengajar dalam
rangka mencapai kompetensi atau indikator-indikator. Dalam proses pembelajaran dikenal
beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa
bingung untuk membedakannya, yaitu pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik
pembelajaran. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang terhadap proses pembelajaran, yang mengacu pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi,
menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu
(Akhmad Sudrajat, 2008 :1).
Selanjutnya Sadiman (1996) menjelaskan bahwa “Permainan adalah setiap kontes
antara para pemain yang berinteraksi satu sama lain dengan mengikuti aturan-aturan
Page 4
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
39
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu pula”. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa permainan merupakan kegiatan atau perbuatan yang dilakukan untuk memperoleh
kesenangan (bermain) dan untuk melatih keterampilan berbahasa dengan mengikuti
aturan- aturan tertentu
Pelajaran Bahasa Indonesia dikenal siswa sebagai pelajaran yang membosankan
karena sifatnya hanya mengulang. Mengapa mereka beranggapan seperti itu? Hal ini
dikarenakan mereka telah mendapatkan materi Bahasa Indonesia mulai dari jenjang SD,
SMP, SMA bahkan perguruan tinggi. Oleh Karena itu banyak guru Bahasa Indonesia
mengeluh ketika mengajar di kelas karena banyak siswa yang ramai sendiri ketika
pembelajaran di kelas. Siswa keluar masuk kelas dengan alasan izin ke kamar mandi.
Bahkan ada siswa yang tidur di kelas atau berani membolos tidak mengikuti pelajaran
Bahasa Indonesia.
Kondisi tersebut memprihatinkan sehingga menjadikan terlaksananya penelitian
ini. Mencari metode yang sekiranya bisa menyegarkan siswa dan membuat mereka lebih
tertarik , senang mengikuti pembelajaran Bahasa Indonesia. Menyadarkan siswa bahwa
pembelajaran Bahasa Indonesia itu perlu diikuti karena akan membawa manfaat untuk
hidup di masyarakat dan dunia kerja yang mereka geluti nantinya. Dengan demikian siswa
tidak akan meninggalkan kelas di saat pembelajaran berlangsung.
Banyak metode belajar-mengajar yang telah dikenal guru. Akan tetapi, bagaimana
menggunakan suatu metode dengan pendekatan keterampilan agar dapat menunjang siswa
belajar aktif masih menjadi problem. Hal ini akan menggambarkan titik tolak dalam
peninjauan diagram yang menggambarkan hubungan antara beberapa metode yang
dianggap cukup penting dalam pengaturan cara belajar.
Permainan Whisper Race
Menurut Isnaeni, Suhartono, Kartika Chrysti Suryandari (2013) dalam melakukan
permainan whisper race ini siswa yang telah terbagi dalam satu tim harus berdiri berbaris.
Menurut Djuanda (2006:96), "Permainan ini dilakukan dengan cara, setiap siswa harus
membisikkan suatu kata (untuk kelas rendah) atau kalimat atau cerita (untuk kelas tinggi)
kepada pemain berikutnya". Permainan ini melatih keterampilan
menyimak/mendengarkan. Metode permainan ini dilaksanakan dalam KD menyimak pada
pembelajaran Bahasa Indonesia di SMK Harapan Kartasura. Siswa yang berdiri di baris
paling belakang diberi daftar kosakata. Siswa yang berdiri di urutan paling belakang
kemudian diberi waktu untuk membaca kata-kata yang ada didaftarnya, untuk kemudian
berbisik kepada teman di depannya sesuai kosakata dalam daftar. Kegiatan berbisik ini
berlangsung secara berurutan hingga sampai pada siswa terakhir dalam tim, yaitu siswa
yang berdiri di urutan paling depan. Selanjutnya siswa yang terakhir dibisiki tersebut harus
melingkari kata/kalimat dalam daftar yang diberikan oleh guru tadi sesuai dengan apa
yang didengarnya.
Daftar kata/kalimat yang telah dilingkari siswa kemudian dibandingkan antara
kelompok satu dengan kelompok yang lain. Bagi kelompok yang paling tepat melingkari
daftar kata tersebut akan diberikan reward sehingga siswa jadi lebih termotivasi.
Kemampuan ini digunakan untuk menyimak baik media gambar, media visual yang akan
disampaian kepada orang lain tanpa mengurangi dan menambahkan tulisan atau
percakapan yang tidak ada dalam sumber yang dilihat dan didengar. dengan
meningkatkan kemampuan menyimak ini siswa dituntut sifat kejujurannya dan
kemampuan alat dengarnya sehingga berita yang didapatkan dari sumber yang ke
berapapun akan sama isinya.
Page 5
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
40
Bermain Peran Atau Role Playing
Metode bermain peran atau role playing merupakan metode permainan merupakan
salah satu bentuk pembelajaran inovatif yang dapat digunakan untuk peningkatan nilai
karakter siswa. Menurut Hamzah B Uno (2009: 26), prosedur bermain peran terdiri dari
sembilan langkah yaitu: a).pemanasan (warming up), b) memilih partisipan, c)
menyiapkan pengamat (observer), d) menata panggung, e) memainkan peran, f) diskusi
dan evaluasi, g) memainkan peran ulang, h) diskusi dan evaluasi kedua, i) berbagi
pengalaman dan kesimpulan.
Bermain peran merupakan salah satu dari metode permainan yang dapat digunakan
dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMK untuk penngkatan nilai karakter. Adapun
indikator karakter yang dapat dinilai dengan menggunakan metode bermain peran (role
player) menurut Kiromim Baroroh (2011), indikator disiplin, kerja keras, kreatif, dan
kemampuan komunikasi mahasiswa terjadi suatu peningkatan. Menurut pendapat
Dwiyanto Joko Pranowo (2013) menunjukkan bahwa bermain peran adalah salah satu
bentuk permainan pendidikan yang digunakan untuk menjelaskan perasaan, sikap,
tingkah-laku dan nilai, dengan tujuan untuk menghayati perasaan, sudut pandangan dan
cara berfikir orang lain. Berdasarkan paparan di atas bermain peran akan mengajak
kepada peserta didik untuk berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi masalah
sosial atau psikologis. Diharapkan pembelajaran menggunakan metode permainan dengan
bermain peran akan membawa peserta didik untuk belajar memecahkan masalah pribadi,
dengan bantuan kelompok sosial yang anggotanya adalah teman-temannya sendiri.
Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksploitasi masalah-masalah
hubungan antarmanusia dengan cara memperagakannya. Hasilnya didiskusikan di dalam
kelas. Melalui proses belajar seperti ini diharapkan peserta didik mampu menghayati
tokoh yang diperankannya sehingga peserta didik akan belajar: (1) mengeksplorasi
perasaannya; (2) memperoleh wawasan tentang sikap, nilai, dan persepsinya; (3)
mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; dan
(4) mengeksplorasi inti permasalahan yang diperankan melalui berbagai cara.
Keberhasilan dalam penghayatan peran menentukan berkembangnya pemahaman,
penghargaan dan identifikasi diri terhadap nilai (Komara, 2012).
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi kemampuan
kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian. Shaftel dalam
(Mulyasa, 2004: 141) mengemukakan tahapanan bermain peran meliputi: (1)
menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun
tahap-tahap peran; (4) menyiapkan pengamat; (5) tahap pemeranan; (6) diskusi dan
evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I; (7) pemeranan ulang; (8) diskusi dan evaluasi
tahap II; dan (9) membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.
Berdasarkan latar belakang di atas peningkatan nilai karakter khususnya pelajar
SMK sangat diperlukan dalam rangka menciptakan tenaga kerja yang berkarakter.
Seharusnya dalam bertindak mereka harus berpikir secara medalam sehingga tindakan
yang dilakukan tidak merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. sebelum
kita membahas terlalu jauh maka terlebih dahulu mengetahui arti secara etimologis
Karakter. Kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu
charassein yang berarti “to engrave” (Ryan and Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa
diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily,
1987: 214).
Berdasarkan arti kata disebutkan di atas karakter adalah mengukir, melukis,
memahatkan, bahkan menggoreskan sesuatu yang bersifat abstrak kepada diri seseorang.
Sifat baik yang sifatnya abstrak yang diukirkan, dilukiskan, dipahatkan, serta digoreskan
Page 6
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
41
kepada seseorang harus dilakukan oleh seorang yang benar-benar profesional. Kalau
bukan seorang guru profesional dikawatirkan hasil dari karyanya malah akan merusak
sesuatu yang sudah baik malah menjadi tidak baik. Dengan demikian peran guru dan
dosen sangat dominan sekali dalam rangka membentuk karakter anak, walaupun anak
sudah ada sifat atau karakter yang merupakan sifat pembawaan sejak dilahirkan oleh
seorang ibu. Selain guru peran orang tua sangat luar biasa sekali dalam memberikan
penguatan nilai-nilai karakter yang telah diterima anak dari guru di sekolah. Untuk itu
diperlukan suatu sinergi dan koordinasi yang sifatnya saling melengkapi dan mengevaluasi
diri sehingga akan menghasilkan sikap dan karakter yang mulia.
Selain pendapat di atas dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan
dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul
khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas,
2008: 682). Berdasarkan teori di atas sangatlah jelas bahwa adanya tawuran siswa,
banyaknya demo karyawan sebagai akibat dari rendahnya karakter lulusan SMK. Lulusan
SMK diharapkan akan menjadi tenaga kerja yang kreatif, inovatif, religius, karakternya
kuat yang mampu menjawab tantangan dengan lebih mengedepankan kewajibannya baru
menuntut haknya. Oleh karena itu dalam kurikulum 2013 peran Bahasa Indonesia
sangatlah penting hal ini disebabkan setiap mata pelajaran, bidang ilmu selalu berkaitan
dengan kompetensi bahasa yang dimiliki oleh peserta didik. dalam semua aspek kegiatan
pasti memerlukan kemampuan menulis, dan untuk bernegosiasi, berkomunikasi
memerlukan bahasa lisan yang santun. Dengan demikian sangatlah memerlukan bahasa
Indonesia dalam setiap aktivitas peserta didik.
Permainan Kuis
Salah satu upaya untuk membangkitkan siswa belajar aktif pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia yaitu dengan penggunaan metode pembelajaran permainan kuis.
Menurut Silberman (1996), metode kuis merupakan suatu metode yang bermaksud
melempar jawaban dari kelompok satu ke kelompok lain. Akan tetapi, dalam penelitian ini
dilakukan modifikasi dalam penerapan metode pembelajaran permainan kuis, karena
permainan yang dikembangkan hendaknya permainan yang terkait langsung dengan
konteks keseharian siswa.
Metode pembelajaran permainan kuis ini diterapkan dalam KD Menulis dengan
Memanfaatkan Kategori Kata/ Kelas Kata. Cara permainannya hampir sama dengan kuis
Family 100 yang dipandu oleh Tukul Arwana di Indosiar. Diawali dengan siswa dibagi
kedalam kelompok besar. Semua anggota kelompok bersama-sama mempelajari materi
pertemuan sebelumnya yaitu kategori kata melalui catatan. Mereka mendiskusikan materi
tersebut. Setelah mereka selesai berdiskusi, maka diadakan suatu pertandingan akademis,
terdapat 3 ronde. Ronde pertama, siswadari masing-masing regu secara bergantian
menyebutkan kategori kata yang diminta oleh guru. Ronde kedua, siswa dari masing-
masing regu berebutan untuk menyebutkan kategori kata dari contoh kata yang disebutkan
guru. Ronde ketiga, setiap kelompok diberikan kategori kata dan contohnya oleh guru
untuk di padankan dalam kategori-kategori kata. Dengan adanya pertandingan akademis
ini maka terciptalah penanaman pendidikan karakter melalui kompetisi antarkelompok,
masing-masing siswa aktif senantiasa berusaha belajar dengan motivasi yang tinggi agar
dapat memperoleh nilai yang tinggi secara sehat dalam pertandingan. Hal tersebut dapat
meningkatkan kemampuan tanggung jawab peserta didik terhadap apa yang mereka
dipelajari melalui cara yang menyenangkan dan tidak menakutkan. Disamping itu, jika
dipahami secara filosofis, pendidikan pada hakikatnya adalah “kehidupan”. Oleh karena
Page 7
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
42
itu, kegiatan pembelajaran harus dapat membekali siswa dengan kecakapan dan kesiapan
hidup yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan siswa.
Permainan Teka-Teki Silang
Metode permainan berbasis permainan berikutnya dalam KD Menulis adalah teka-
teki silang. Menebak padanan kata sesuai dengan jumlah kotak yang disediakan.
Permainan ini berguna untuk olah pikir siswa dalam memahami sebuah istilah, dengan
melacak kata demi kata yang sesuai dengan ungkapan dalam perintah teka-teki silang.
Permainan Kata Beruntun
Selain metode pembelajaran permainan kuis, dalam penelitian ini juga
mengembangkan metode pembelajaran permainan kata beruntun menjadi permainan
kalimat beruntun dalam KD (Kompetensi Dasar) Menggunakan Kalimat yang Tepat, Baik
dan Sopan. Sebelum melakukan permainan perlu dijelaskan dulu kepada siswa seputar
permainan yang akan dipraktikkan. Cara permainan kalimat beruntun ini hampir sama
dengan program Kata Beruntun yang ditayangkan ANTV, hanya saja dimodifikasi
menjadi kalimat beruntun. Siswa diminta untuk mencari dan menuliskan pada selembar
kertas satu kata yang bisa dibentuk menjadi frasa. Siswa diberi waktu sekitar lima menit
untuk menemukan kata yang dimaksud. Setelah siswa menemukan kata yang dapat
dibentuk frasa, mereka lalu diminta menggeser lembar kerja kepada teman di sebelahnya.
Begitu seterusnya sampai kata yang ditulis menjadi sebuah klausa kemudian kalimat oleh
siswa yang berbeda-beda.
Metode pembelajaran permainan kalimat beruntun ini menjadikan siswa berupaya
mendapatkan kata yang bisa dijadikan mulai dari frasa, klausa hingga kalimat dan
menyempurnakan pekerjaan teman yang lain. Dengan adanya permainan kalimat beruntun
ini maka terciptalah penanaman pendidikan karakter melalui pembentukan kata hingga
menjadi kalimat secara bertahap dan “bergotong-royong”. Lulusan SMK setelah lulus
akan mendapatkan suasana dalam dunia kerja nantinya yang berorientasi pada persaingan,
serta kecepatan dalam pengambilan keputusan menjadi sebuah tuntutan yang tidak bisa
dielakkan, siswa harus dilatih guru untuk aktif dikelas, berpikir kritis dan kreatif serta
memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah baik mandiri maupun bekerja secara
tim.
Permainan Puzzle
Metode pembelajaran permainan puzzle merupakan metode merangkai bagian-
bagian yang terpisah menjadi satu kesatuan. Metode ini diterapkan pada KD Membuat
Berbagai Teks Tertulis dalam Konteks Bermasyarakat pada kelas X semester genap
2013/2014 pada SMK Harapan Kartasura, Surakarta. Menulis adalah salah satu aspek
dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang paling kompleks untuk dipelajari. Pada
tingkat SMK kelas X, materi untuk aspek menulis adalah menulis dengan
mendeskripsikan fenomena disekitar siswa. Kegiatan tersebut menuntut siswa untuk aktif
dalam pembelajaran agar siswa mampu mengembangkan kreatifitas dan ide dalam
menulis. Untuk mencapai hal itu, guru harus lebih inovatif dalam menyampaikan
pembelajaran agar tercapai tujuan dari pembelajaran tersebut. Salah satu cara adalah
dengan menggunakan permainan puzzle sebagai media pembelajaran. Tahap pembelajaran
dengan metode puzzle ini adalah guru membagi menjadi kelompok besar beranggotakan
10 siswa. Kemudian masing-masing kelompok diberikan tema besar. Setelah mendapatkan
tema, masing-masing kelompok diminta untuk membuat 10 karya yang berbeda antara
anggota kelompok dengan tema tersebut untuk sebuah edisi dalam Majalah Dinding
Page 8
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
43
sekolah. Pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan media puzzle dapat
menciptakan pembelajaran yang santai, menarik dan nyaman yang dapat meningkatkan
keaktifan dan kekreatifitasan siswa.
Permainan Puzzle Bergambar
Metode permainan puzzle dalam KD yang sama akan tetapi dengan cara yang sedikit
berbeda juga dilakukan. Metode yang diberi nama puzzle bergambar, adalah menyusun
cerita bergambar yang didalamnya terdapat beberapa gambar sesuai dengan jumlah
anggota kelompok yang harus dideskripsikan menjadi beberapa karya atau tulisan yang
berbeda-beda agar sesuai dengan cerita yang akan disampaikan. Permaianan ini berguna
untuk membantu dalam mengeinterpreasikan sebuah gambar sesuai dengan jalan cerita
yang disampaikan.
SIMPULAN
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi apa pun sebenarnya seorang
anak akan merasa nyaman apabila dipenuhi kebutuhannya. Kebutuhan akan rasa nyaman
berada dalam suatu komunitas pembelajaran di kelas. Perasaan nyaman dalam
pembelajaran khususnya yang berbasis pendidikan karakter sehingga anak akan
meluapkan segala permasalahan yang dihadapi di rumah kepada bapak ibu guru. Faktor
guru merupakan hal utama dalam pembelajaran ini. Sehingga dibutuhkan seorang guru
yang luar biasa yang memberikan contoh keteladanan kepada peserta didik.
Kelebihan permainan bahasa ialah: 1) Permainan bahasa sebagai metode
pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar, 2)
Aktifitas yang dilakukan siswa bukan hanya fisik tetapi juga mental, 3) .Dapat
membangkitkan motivasi siswa dalam belajar, 4) Dapat memupuk rasa solidaritas dan
kerjasama, 5) Dengan permainan materi lebih mengesankan sehingga sukar dilupakan.
Kekurangan permainan bahasa ialah: 1) Bila jumlah siswa terlalu banyak akan
sulit melibat seluruh siswa dalam permainan, 2) Tidak semua materi dapat dilaksanakan
melalui permainan, 3) Permainan banyak mengandung unsur spekulasi sehingga sulit
untuk dijadikan ukuran yang terpercaya.
Melalui metode tersebut diharapkan kualitas proses dan hasil belajar siswa menjadi
lebih berkualitas dan optimal serta tertanamnya karakter yang kuat. Beberapa
pengembangan pembelajaran berbasis pendidikan karakter dengan menggunakan metode
permainan di SMK Hrapan Kartasura Surakarta antara lain: 1) Permainan Whisper Race,
2) Bermain Peran, 3) Permainan kuis, 4) Permainan kalimat beruntun, 5) Permainan teka-
teki silang, 6) Permaianan puzzle dan 7) Permainan puzzle bergambar.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sudrajat. 2008. “Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik,Taktik, dan
Model Pembelajaran” (dalam http ://akhmadsudrajat. wordpress. Com /2008 /09
/12/pengertianpendekatan- strategi-metode-teknik-taktik-dan-model-
pembelajaran/), diunduh pada 18 Septembert 2013 pukul 21.55 WIB.
Djuanda, Dadan.2006. Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Komunikatif dan
Menyenangkan. Jakarta : Depdiknas Depdiknas. 2003. UU No 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
--------------. 2006. Kurikulum SMK Tahun 2006. Jakarta
--------------. 2013. Kurikulum 2013. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
Dhany Irawan. 2013. Dinas Pendidikan Dki Jakarta: Kasus Tompel Bukan Kenakalan
Remaja. Detiknews. 07/10/2013 13:44 WIB.
Page 9
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
44
Dwiyanto Joko Pranowo. 2013. Implementasi Pendidikan Karakter Kepedulian dan Kerja
Sama pada Mata Kuliah Keterampilan Berbicara. Jurnal Pendidikan Karakter,
Tahun III, Nomor 2, Juni 2013. FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1987). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia. Cet. XV.
Isnaeni, Suhartono, Kartika Chrysti Suryandari. 2013. Metode Permainan Whisper Race
Dalam Peningkatan Keterampilan Menyimak Bahasa Inggris.
Jurnal.Fkip.Uns.Ac.Id /Index.Php/Pgsdkebumen rticle Viewfile .
Diunduh tanggal 10 -12-2013.
Kevin Ryan & Karen E. Bohlin. (1999). Building Character in Schools: Practical Ways to
Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass.
Kiromim Baroroh. 2011. Upaya Meningkatkan Nilai-Nilai Karakter Peserta Didik Melalui
Penerapan Metode Role Playing. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 8 Nomor
2, November 2011. Yogyakarta: Pendidikan Ekonomi UNY.
Komara, Endang. 2012. Model Bermain Peran dalam Pembelajaran Partisipatif.
Diunduh dari http://khoirulanwari.-wordpress.com/ about/model-bermain-
peran-dalam-pembelajaranpartisipatif/ pada tgl. 19 Oktober 2013.
N.M. Rumiati, N. Martha, G. Artawan. 2013. Upaya Meningkatkan Sikap Siswa Dalam
Pembelajaran Sastra Indonesia Di Kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Negeri 1 Denpasar Di Kota Denpasar. e-Journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(Volume 2 Tahun 2013).
Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, Endang. 2004. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran
KBK. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa. Cet. I.
Sadiman. (1996). Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya.
Jakarta: Karya Grafindo Persada.
Silberman, M.. 1996. Active Learning : 101 Strategies To Teach Any Subject. Toronto :
Allyn Bacon.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Page 10
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
45
KARAKTER SISWA DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM 2013
DI LEMBAGA PENDIDIKAN DASAR
Agoes Hendriyanto Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI Pacitan
Email: rafid.musyffa@gmail
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter siswa dalam pelaksanaan
Kurikulum 2013 di Lembaga Pendidikan dasar. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Pelaksana
kurikulum 2013 untuk tingkat Dasar di Pacitan. Metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif berbentuk studi kasus. Sumber data penelitian ini, yakni informan,
peristiwa pembelajaran, dan dokumen terkait Teknik cuplikan yang digunakan adalah
purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan
analisis dokumen. Teknik yang digunakan untuk memeriksa kesahihan data, yakni triangulasi
data dan triangulasi metodologis. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik interaktif
dengan langkah-langkah, meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan
simpulan/verifikasi
Dengan kurikulum 2013 sekolah yang melaksanakan terjadi peningkatan karakter
anak.baik untuk jenjang SD.
Kata kunci: Karakter, Kurikulum 2013
PENDAHULUAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan
agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan Nasional
yang mengarah kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Amanat konstitusi di atas dengan tegas memberikan perhatian yang besar akan
pentingnya pendidikan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa yang akan membentuk
peserta didik menjadi manusia berbudaya yang berhati nurani luhur karena keteladanan,
bimbingan, arahan, dan dorongan dari pendidik yang benar-benar menjalankan profesinya
dengan menggunakan hati. Selain yang tersebut di atas pendidikan diharapkan membantu
membumikan nilai-nilai agama dan mewujudkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-
hari. Selain itu juga pendidikan harus senantiasa berdasarkan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat. mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diajarkan kepada seluruh peserta didik di lembaga
pendidikan formal dan informal
Dilihat dari kacamata pendidikan, peningkatan tersebut haruslah diterjemahkan
secara operasional dan diimplementasikan melalui proses pembelajaran yang memadai.
Pembelajaran yang memadai bukan hanya mengembangkan salah satu kecerdasan, akan
tetapi seluruh kecerdasan manusia. Dengan demikian pembelajaran harus direncanakan
dan diwujudkan dalam rangka meningkatkan ketiga kecerdasan yaitu; pengetahuan, sikap,
dan hasil karya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu strategi dan teknik pembelajaran yang
dapat digunakan untuk mengembangkan ketiga kecerdasan. Peran dari lembaga sekolah,
guru, murid dan wali siswa sangat diperlukan dalam rangka pembelajaran yang dapat
digunakan untuk meningkatkan ketiga kecerdasan
Secara empiris, pelaksanaan pembelajaran masih diarahkan kepada pencerdasan
yang bersifat kognitif, hal ini bisa kita lihat di sekolah-sekolah umum. Pada tataran ini
pun, kecerdasan intelektual yang bersifat kognitif masih terbatas kepada pengembangan
kemampuan menghafal atau transfer pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan soal-
Page 11
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
46
soal ujian. Pengembangan kognitif yang lainnya masih diabaikan, misalnya,
pengembangan kognitif untuk meningkatkan daya kritis.
Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan pembelajaran tematik integratif yang
bersifat memadukan antar Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, dan Indikator dari
beberapa matapelajaran dengan berdasarkan pada satu tema yang sama. menurut Trianto
(2011, 147) pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang dirancang menggunakan
tema-tema tertentu. sehingga tema tadi merupakan gabungan dari berbagai mata pelajaran
sehingga dalam satu minggu pelajaran olehraga bisa terjadi 2 sampai 3 kali karena
pembelajarannya berdasarkan tema yang tercakup dalam semua mata pelajaran.
Menurut Lickona (2004) pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (Knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan
melakukan kebaikan (doing the good). berdasarkan pendapat di atas sangatlah jelas bahwa
di dalam pembelajaran khususnya di lembaga pendidikan harus mencakup aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sehingga sangatlah tepat jika dalam kurikulum 2013
menggunakan pendekatan tematik integratif. Pendidikan karakter bisa berarti sebagai
upaya sadar dan terencana dalam mengetahui kebenaran, kebaikan, mencintainya dan
melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. ditegaskan oleh Lickona bahwa pendidikan
karakter merupakan usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan
dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter siswa dalam pelaksanaan
Kurikulum 2013 di Lembaga Pendidikan dasar. Penelitian ini dilakukan di Sekolah
Pelaksana kurikulum 2013 untuk tingkat Dasar di Pacitan. Metode penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif berbentuk studi kasus. Sumber data penelitian ini,
yakni informan, peristiwa pembelajaran, dan dokumen terkait Teknik cuplikan yang
digunakan adalah purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan teknik
wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen. Teknik yang digunakan untuk memeriksa
kesahihan data, yakni triangulasi data dan triangulasi metodologis. Data yang terkumpul
dianalisis dengan teknik interaktif dengan langkah-langkah, meliputi reduksi data,
penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beban belajar dinyatakan dalam jam belajar setiap minggu untuk masa belajar
selama satu semester. Beban belajar di SD Tahun I, II, dan III masing-masing 30, 32, 34
sedangkan untuk Tahun IV, V, dan VI masing-masing 36 jam setiap minggu. Jam belajar
SD adalah 40 .
Kelompok A adalah mata pelajaran yang memberikan orientasi kompetensi lebih
kepada aspek intelektual dan afektif sedangkan kelompok B adalah mata pelajaran yang
lebih menekankan pada aspek afektif dan psikomotor. Integrasi konten IPA dan IPS adalah
berdasarkan makna mata pelajaran sebagai organisasi konten dan bukan sebagai sumber
dari konten. Konten IPA dan IPS diintegrasikan ke dalam mata pelajaran PPKn, Bahasa
Indonesia dan Matematika yang harus ada berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Pembelajaran tematik merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan
berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran. Pengintegrasian tersebut dilakukan
dalam 2 (dua) hal, yaitu integrasi sikap, kemampuan/keterampilan dan pengetahuan dalam
proses pembelajaran serta pengintegrasian berbagai konsep dasar yang berkaitan. Tema
memberikan makna kepada konsep dasar tersebut sehingga peserta didik tidak
Page 12
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
47
mempelajari konsep dasar tanpa terkait dengan kehidupan nyata. Dengan demikian,
pembelajaran memberikan makna nyata kepada peserta didik.
Tabel 1. Hasil Implementasi Kurikulum 2013 tingkat SD
No Keterangan Implementasi 2 kelas
Kelas 1 dan 2
Implementasi 2 kelas
Kelas 1 ( 2 kelas) dan 2 (2 kelas)
1 Pelatihan 1) Tahun Pelajaran 2013/2014
Ikut pelatihan 1 kepala sekolah
Evaluasi dan Penilaian autentik
masih perlu pelatihan lagi
2) Tahun Pelajaran 2014/2015
Untuk guru kelas 2 dan 5 akan
ada pelatihan tanggal 22-26 juni
2014
1) Tahun Pelajaran 2013/2014
4 guru kelas
Kepala Sekolah
Evaluasi dan Penilaian autentik
masih perlu pelatihan lagi
2) Tahun Pelajaran 2014/2015
Untuk guru kelas 2 dan 5 akan
ada pelatihan tanggal 22-26
juni 2014
2 Guru 1) Guru Kelas 1 dan IV
Sudah bersertifikasi
2) Guru agama sudah dilatih oleh
Departemen Agama
3) Usia 50 tahun
4) Guru dituntut untuk berlari agak
cepat sehingga memerlukan
guru yang memiliki
kemampuan fisik dan
profesional yang tinggi
5) Dituntut Kreatif dan Inovatif
karena keberhasilan
pembelajara tergantung pada
guru
1) Guru Kelas 1 dan IV
Sudah bersertifikasi
2) Guru agama sudah dilatih oleh
Departemen Agama
3) Usia 50 tahun
4) Guru dipaksa untuk berlari
agak cepat sehingga
memerlukan kemampuan fisik
dan profesional yang tinggi
5) Dituntut Kreatif dan Inovatif
karena keberhasilan
pembelajara tergantung pada
guru
3 Buku 1) Untuk kelas 1 temanya 8
2) Untuk kelas 4 temanya 9
3) Buku dari 1 penerbit pusat
4) Isi buku dan bahasa masih
kurang baik
5) Sedangkan gambar cukup baik,
serta kegiatan mudah
dilaksanakan
6) Datangnya buku lebih awal
untuk semester genap pada
bulan nopember 2013 sudah
sampai di sekolah
1) Untuk kelas 1 temanya 8
2) Untuk kelas 4 temanya 9 Buku
dari 1 penerbit pusat
3) Isi buku dan bahasa masih
kurang baik
4) Sedangkan gambar cukup baik,
serta kegiatan mudah
dilaksanakan
5) Datangnya buku lebih awal
untuk semester genap pada
bulan nopember 2013 sudah
sampai di sekolah
4 Waktu 1) Pelaksanaanya 5 jam tiap
harinya, satu minggu 30 jam
tetapi masih menyesuaikan
dengan masuk dan pulangnya
murid kelas lain yang masih
menggunakan kurikulum KTSP
2) Tidak ada program les
tambahan
1) Pelaksanaanya 5 jam tiap
harinya, satu minggu 30 jam
tetapi masih menyesuaikan
dengan masuk dan pulangnya
murid kelas lain yang masih
menggunakan kurikulum
KTSP
2) Ada les tambahan untuk
meningkatkan kemampuan
kognitif
Page 13
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
48
No Keterangan Implementasi 2 kelas
Kelas 1 dan 2
Implementasi 2 kelas
Kelas 1 ( 2 kelas) dan 2 (2 kelas)
5 Pembelajara
nnya
1) Menyenangkan, untuk
matapelajaran olahraga bisa
dalam satu minggu 3 kali
temanya olahraga.
2) Untuk guru olahraganya adalah
guru kelas tapi untuk guru
olahraganya satu kali dalam
setiap minggu
3) Anak kelihatan lebih santai tapi
serius karena harus
mengumpulkan tugas pada
akhir pembelajaran
1) Menyenangkan, untuk
matapelajaran olahraga bisa
dalam satu minggu 3 kali
temanya olahraga
2) Anak kelihatan lebih santai tapi
serius karena harus
mengumpulkan tugas pada akhir
pembelajaran
6 Pendana
an
1) Kesulitan untuk memenuhi
sarana pembelajaran disebabkan
dana BOS Yang sangat Kecil
2) Jika ada prakarya dikerjakan di
rumah (sifat kejujuran perlu
ditanamkan)
1) Tidak mengalami kesulitan
dalam mencukupu sarana dan
prasarana pembelajaran karena
muridnya yang besar dan dana
BOSnya lebih besar.
2) Iuran dari murid jikaa da
pekerjaan prakarya
7 Karakter Peningkatan 65 % jika
dibandingkan dengan KTSP
a. Kemandirian
b. Tanggung jawab
c. Kedisiplinan
d. Religius
e. Mudah bergaul
f. Kreatif
g. Inovatif
h. Cinta tanah air
i. Menghormati guru
j. Berani
k. kejujuran
Peningkatan 75 % jika
dibandingkan dengan KTSP
a. Kemandirian
b. Tanggung jawab
c. Kedisiplinan
d. Religius
e. Mudah bergaul
f. Kreatif
g. Inovatif
h. Cinta tanah air
i. Menghormati guru
j. Berani
k. kejujuran
8 Evaluasi Mengalami kesulitan karena:
a. pelatihan masih belum bisa
memberikan gambaran
evaluasi secara jelas
b. kesulitan dalam pemberian
skor karena sistem penilaian
menggunakan skor 1 sampai 4
c. buku rapor hanya
dipergunakan selama 1 tahun
untuk tahun berikutnya masih
menggunakan format yang
sama atau lainnnya
d. Nomor induk sisiwa masih
menggunakan nomor induk
siswa kelas 3
e. Guru belum paham terhapap
penilaian autentik dan
portofolio
Mengalami kesulitan karena:
a. pelatihan masih belum bisa
memberikan gambaran evaluasi
secara jelas
b. kesulitan dalam pemberian skor
karena sistem penilaian
menggunakan skor 1 sampai 4
c. buku rapor hanya dipergunakan
selama 1 tahun untuk tahun
berikutnya masih menggunakan
format yang sama atau lainnnya
d. Nomor induk sisiwa masih
menggunakan nomor induk
siswa kelas 3
e. Guru belum paham terhapap
penilaian autentik dan
portofolio
Page 14
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
49
Pelaksanaan Kurikulum di lembaga Pendidikan Dasar pada saat masih
menggunakan kurikulum KTSP terdapat 10 mata pelajaran yang diajarkan. Adapun mata
pelajaran yang diajarkan meliputi: Pendidikan Agama, Pendidikan kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya, Keterampilan dan Pendidikan
Jasmani Olahraga dan Kesehatan, serta muatan lokal dan pengembangan diri. Tetapi pada
mulai tahun 2013/2014 untuk kelas IV menggunakan kurikulum 2013 jumlah mata
pelajarannya menjadi tujuh yang meliputi: pendidikan agama, pendidikan Pancasila dan
kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, seni budaya dan prakarya, pendidikan
jasmani, olahraga dan kesehatan, serta Pramuka. Lembaga pendidikan dasar yang ditunjuk
untuk pelaksanaan Kurikulum 2013 terdapat dua kelompok siswa kelompok pertama kelas
2, 3, 5, dan 6 masih menggunakan KTSP, sedangkan kelas 1 dan 4 menggunakan
kurikulum 2013. Hal ini sangat menghambat pelaksanaan di lapangan dalam hal mengatur
jam pulang sekolah.
Selain jumlah pelajaran yang semakin berkurang terjadi beberapa perubahan drastis
ada dalam kurikulum 2013, di antaranya waktu belajar ditambah, tetapi jumlah mata
pelajaran dikurangi. Di tingkat SD, dari 10 mata pelajaran (mapel) menjadi 6 mapel yaitu:
Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Agama, Matematika, Sosial Budaya, dan
Olahraga. IP dan IPS ditiadakan, diintegrasikan ke mapel lain. ”Obyek kurikulum baru
ini adalah fenomena alam, fenomena sosial dan budaya”. Untuk Kelas 1-2 SD jumlah jam
pelajaran sebelumnya adalah SD 26 jam/minggu menjadi 32 jam/minggu tetapi dalam
pelaksanaan di lapangan kelas 1 pulang jam 11.
Materi Pelajaran IPA diintegrasikan dalam Mapel Bahasa Indonesia. Mungkin
maksud dari pemerintah dengan poin ini adalah; (1) Menggabungkan Sains dengan bahasa
Indonesia sangat membingungkan fokus materi yang akan diajarkan pada anak. Materi
Pelajaran (Mapel) IPA punya indikator sendiri sedangkan Bahasa Indonesia juga punya
indikatornya sendiri. Sangat sulit untuk diintegrasikan walaupun sebenarnya dengan
pembelajaran Saintific dan tematif yang terintegratif dapat dengan pelajaran IPA atau IPS
dapat dimasukkan. Tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain guru dan
modul pembelajarannya harus terintegratif. j
Jumlah jam pelajaran Bahasa Indonesia untuk (kelas 1 ) 8 jam/minggu, sedangkan
(kelas 4) 10 jam/minggu. Permasalahannya jika IPA atau IPS diajarkan ke dalam Bahasa
Indonesia, perlu dipertanyakan pengukurannya. Perlu diperjelas apakah pelajaran tersebut
berdasar pada kaidah bahasa atau sains. Dengan menghapus pelajaran IPA dan IPS pada
jenjang Sekolah Dasar apakah akan berdampak pada anak-didik kelak. Hal ini sangat
bertolak belakang dalam perkembangan dunia global saat ini yang sangat memerlukan
adanya IPA dan IPS. Seharusnya kita mempersiapkan anak-didik pada bidang sains sejak
dini.
Sebagai bahan catatan penulis adalah; (1) Justru pelajaran Bahasa, bisa masuk ke
Sains atau IPS. Tetapi kalau dibalik Bahasa Indonesia memakai konsep sains atau ilmu
pengetahuan sosial akan membingungkan. Misalnya teks yang perlu dianalisis dalam
sebuah bahasa berisi “artikel tentang tatanan kehidupan sosial” (IPS) atau “artikel
penemuan ilmiah” (IPA). (2) Bahasa dapat diterapkan pada semua mata pelajaran. Sebab
kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis dapat dikembangkan pada
semua mata pelajaran dengan tematik integratif.
Salah satu ciri kurikulum 2013, khususnya untuk SD, adalah bersifat tematik
integratif (terpadu). Pembelajaran tematik Terpadu merupakan suatu pendekatan dalam
pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalamintra mata
pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu, peserta didik
akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan secara utuh sehingga pembelajaran
Page 15
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
50
menjadi bermakna bagi peserta didik. Adapun tema untuk semester genap tahun pelajaran
2013/2014 untuk kelas 1 meliputi: 1) Pengalamanku; 2) Lingkungan bersih, sehat, dan
asri; 3) Benda, Hewan, dan Taman di Sekitarku; dan 4) Peristiwa alam. Untuk kelas 4
temanya sebagai berikut: 1) pahlawanku; 2) Indah Negeriku; 3) Cita-citaku; 4) Tempat
tinggalku; dan 5) makananku Sehat dan Bergizi. Pembelajaran di kelas 1 anak-anak sangat
antusias dalam kelas, hal ini disebabkan banyaknya tugas ketrampilan yang harus
dikerjakan. Guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Untuk kelas 1 yang menjadi kendala
adalah bagaimana untuk mengajar kemampuan matematika anak yang masih memerlukan
penjelasan yang lebih banyak. Kalau tidak dijelaskan anak akan kesulitan dalam
menjumlahkan, mengurangkan.
Dengan demikian sangat diperlukan suatu inovasi yang ketiga aspek pembelajaran
bisa berjalan dengan seimbang tanpa ada yang dikorbankan. Ada sebuah kebijakan dari
sekolah yaitu dengan memeberikan les yang sifatnya pengetahuan khususnya kemampuan
matematika setelah anak pulang dari sekolah, biasanya jam 3 sore hari. Sekolah yang
melakukan kebijakan ini akan mencoba untuk mengurangi salah satu kelemahan
kurikulum 2013 dalam kemampuan kognitifnya.
Pembelajaran di sekolah dasar yang menggunakan Tematik Terpadu atau integratif
yang melibatkan beberapa mata pelajaran di sekolah dasar untuk memberikan pengalaman
yang bermakna kepada peserta didik. Bermakna mengandung pengertian peserta didik
akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan
menghubungkan dengan konsep lain yang telah guru rancang sebelumya. Pembelajaran
yang mengabungkan beberapa tema dalam beberapa mata pelajaran yang dapat
memberikan pengalaman berharga bagi peserta didik. Dengan demikian memerlukan guru
yang profesional, sarana dan prasarana pembelajaran yang mendukung pembelajaran
tematik. Walaupun agak mahal tetapi hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan
pendekatan ceramah, bagi sekolah yang jumlah siswanya dalam satu sekolahan sekitar
300 sisiwa dana bosnya cukup besar dan dapat digunakan untuk mememnuhi sarana dan
prasarana pembelajaran khususunya dalam menyediakan media pembelajaran yang
inovativ. Hal ini akan bertolak belakang jika dibandingkan dengan sekolah dasar yang
jumlah muridnya sekitar 60-80 siswa yang berpengaruh terhadap penerimaan dana BOS.
Salah satu yang dapat digunakan untuk menanggulangi kekurangan dana yaitu membuat
suatu permohonan kepada Dinas Pendidikan untuk memberikan guru yang profesional di
bidang pendidikan dasar. Sehingga gurutersebut mampu untuk memenfaatkan sarana yang
ada dengan lebih maksimal.
Dengan pembelajaran tematik ini memudahkan memusatkan perhatian peserta
didik pada suatu tema yang jelas dan menarik. Selain hal tersebut dapat digunakan
mengembangkan kompetensi dasar beberapa mata pelajaran dengan tema yang sama
dengan maksud agar tidak tumpang tindih dan pembelajarannya lebih bermakna.
Perencanaaan guru akan lebih efektif karena dalam tema yang sama dapat digunakan
untuk beberapa mata pelajaran sehingga guru akan lebih bersemangat dan bergairah dalam
mengembangkan pembelajarannya lebih berkesan dan bermakna.
Metode Tematik Integratif. Kurikulum 2013 SD/MI menggunakan pendekatan
pembelajaran tematik integratif dari kelas I sampai kelas VI. Pada kurikulum KTSP
pembelajaran tematik hanya diterapkan pada kelas I sampai dengan kelas III, sedangkan
kelas IV sampai dengan kelas VI masih menggunakan pendekatan mata pelajaran. Inti dari
Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif.
Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa
depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa
depan. Titik beratnya, bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih
Page 16
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
51
baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan
(mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima
materi pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan
penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan
budaya. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap,
ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan
lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai
persoalan dan tantangan di zamannya, memasuki masa depan yang lebih baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Puguh Pramono, S.Pd Kepala Sekolah
Ploso 1, Kepala sekolah SD Sirnoboyo 1 Ibu Lina Dahliawati, S.Pd, 8 ibu guru wali kelas
1 dan 4 terdapat peningkatan nilai karakter sisiwa sebesar 65 % jika dibandingkan dengan
KTSP. Adapun peningkatan tersebut sebagai akibat dari Pendekatan Tematik integratif
yang membuat suasana pembelajaran menyenangkan dimana anak akan merasa nyaman
untuk belajar di sekolah tanpa adanya pembebanan teori atau kognitif yang terdapat dalam
pelajaran. Terjadi peningkatan sifat: 1) Kemandirian; 2) Tanggung jawab; 3)
Kedisiplinan; 4) Religius; 5) Mudah bergaul; 6) Kreatif; 7) Inovatif; 8) Cinta tanah air; 9)
Menghormati guru; 10) Berani; 11) kebersihan; 12) kerja keras; 13) mandiri; 14) patuh
pada aturan; 15) menghargai karya orang lain; 16) Santun; 17) Peduli sosial; 18)
Nasionalisme; dan 19) Nilai kejujuran.
Aspek sikap dan karakter terdapat dalam (KI) 2 yang harus terintegrasi dalam
setiap pembelajaran dengan (KI) 1 yaitu religiusitas; (K3) 3 Pengetahuan; dan (K4) 4 aspek
keterampilan. Dengan demikian pembelajaran di Sekolah Dasar harus mencakup ke
empat aspek tersebut di atas. Untuk mewujudkan KD dan KI di atas seorang guru harus:
mengikuti pelatihan; melaksanakan perencanaan, melaksanakan diskusi dengan teman
sejawat; mengikuti seminar baik nasional maupun international; membuat buku acuan
pengajaran; membuat pedoman penilaian; dan selalu merefleksi pembelajaran yang lalu
untuk mendapatkan hasil out put yang diharapkan yaitu generasi emas yang berilmu,
berkarakter, berwawasan masa depan, kreatif, inovatif dan mempunyai nilai religius.
Nilai karakter yang dapat ditingkatkan dalam pelaksanaan kurikulum 2013 salah
satunya dalam hubungannya dengan Tuhan yaitu Religiusitas yang mengandung
pengertian bahwa Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu
berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan atau ajaran agamanya. Nilai karakter dalam
hubungannya dengan diri sendiri: 1) Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain; 2) Bertanggung jawab,
merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa; 3) Bergaya hidup sehat,
merupakan segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan
hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan;
4) Disiplin, merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan; 5). Kerja keras, merupakan perilaku yang menunjukkan
upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas
(belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya; 6) Percaya diri, merupakan sikap yakin akan
kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan
harapannya; 7) Berpikir kritis, kreatif, dan inovatif mengandung pengertian berpikir dan
melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki; 8) Mandiri, merupakan sikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; 9) Rasa
Page 17
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
52
ingin tahu, merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama: 1) Patuh pada aturan-aturan
sosial merupakan perwujudan dari sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan
berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum; 2) Menghargai karya dan prestasi
orang lain merupakan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan
orang lain; 3) Santun merupakan sifat yang halus dan baik dari sudut pandang, tata bahasa
maupun tata perilaku ke semua orang.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 2013. Dokumen Sosialisasi Kurikulum
2013. Jakarta: Kemendikbud.
Lickona, T. 2004. Character Matter. New York: A Touchstone Book.
Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nur.Syam. 2013. Guru Dan Implementasi Kurikulum 2013. m.antaranews.com. Diunduh
tanggal 1-Januari 2014
Trianto. 2011. Desain Pegembangan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Kencana
Premada
Page 18
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
53
VALIDITAS SOAL-SOAL DALAM BUKU PAKET
BAHASA INGGRIS SMK KELAS X “ENGLISH FOR SMK 1”
TAHUN AKADEMIK 2013-2014
Agung Budi Kurniawan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan
Jl. Cut Nyak Dien 4A Ploso, Pacitan
e-mail: [email protected]
Abstrak
Suatu buku dapat dinyatakan layak atau tidak dapat diukur dari beberapa macam tolak ukur.
Salah satunya adalah tingkat validitas soal-soal yang ada dalam buku tersebut khususnya
untuk buku pelajaran. Hal tersebut yang diaplikasikan dalam penelitian ini. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkritisi semua soal-soal yang dikategorikan dalam aktivitas-aktivitas
dalam buku paket bahasa Inggris SMK kelas X tahun akdemik 2013-2014 dalam hal validitas.
Peneliti merasa bahwa buku paket atau buku lain yang diterbitkan pemerintah selama ini
masih terlihat sebagai sesuatu yang wajib tanpa perlu dipertanyakan kualitasnya. Semua soal-
soal bahasa Inggris dalam buku tersebut dianalisa oleh peneliti secara descriptive quantitative
dengan menggunakan teori Brwon (2004) dan teori-teori lain sebagai pendukungnya. Dalam
analisa, peneliti melakukan penilaian secara subjective, sehingga tidak melibatkan responden
atau pihak luar. Peneliti adalah pelaku tunggal. Hasil penelitian dari 263 aktivitas di buku
dikategorikan dengan teori Brown (2004) menunjukkan bahwa; 1). Content-Related
Evident/Validitas Isi mencakup 230 aktivitas atau 87,45%, 2). Criterion-Related
Evidence/Validitas Kriteria mencakup 216 aktivitas atau 82,13%, 3). Construct-Related
Evident/Validitas Konstruksi mencakup 175 aktivitas atau 66,54%, 4). Consequential
Validity/Validitas Konsekwensi mencakup 152 aktivitas atau 57,80%, 5). Face
Validity/Validitas Penampilan mencakup 177 aktivitas atau 67,30%.
Kata Kunci: Buku Paket, Bahasa Inggris
PENDAHULUAN
Soal-soal dalam satu buku bahasa Inggris merupakan salah satu komponen yang
sangat penting dalam menentukan kualitas implementasi buku tersebut. Soal-soal tersebut
merupakan satu tolak ukur terhadap pembelajar atau siswa dalam menguasai materi-materi
dalam buku tersebut. Soal-soal tersebut idealnya harus dipastikan kualitasnya sebelum
ditentukan untuk digunakan.
Ada berbagai macam aspek yang dapat dipakai untuk mengukur kelayakan soal-soal
dalam buku bahasa Inggris. Salah satu aspek tersebut adalah tingkat validitas. Tingkat
validitas soal-soal dalam buku tentunya berbanding lurus dengan kualitas yang terkandung
di dalamnya. Semakin valid soal-soal tersebut pastinya semakin menjanjikan suatu hasil
yang maksimal yang dapat dicapai. Yang perlu ditekankan adalah kosep valid itu sendiri.
Dalam penelitian ini, peneliti menekankan bahwa tingkat validitas soal-soal bukan berarti
soal-soal tersebut haruslah sangat sulit sehingga siswa sampai benar-benar kesulitan atau
bahkan tidak dapat mengerjakannya. Hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut terutama
dalam pemaparan teori pada bagian selanjutnya.
Ada berbagai macam cara atau metode yang bisa dipakai dalam menganalisa tingkat
validitas soal-soal bahasa Inggris dalam satu buku. Secara garis besar peneliti
membaginya dalam dua kategori utama. Pertama adalah analisa dengan
mengaplikasikannya langsung di lapangan. Cara pertama secara garis besar dengan
melibatkan sejumlah responden untuk mengerjakan soal-soal tersebut bahkan dapat
dilakukan secara bertahap-tahap yang kemudian dianalisa proses dan hasilnya. Cara kedua
adalah dengan menganalisa secara subjektif oleh peneliti itu sendiri dengan menggunakan
Page 19
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
54
satu atau beberapa teori dari ahli, dan hal ini tidak menggunakan responden. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan cara kedua dengan menggunakan teori Brown (2004).
Dengan menggunakan teori Brown (2004), peneliti menganalisa tingkat validitas dan
memberikan kritikan terhadap buku paket bahasa Inggris SMK kelas X yang berjudul
“English For SMK 1” tahun akademik 13-2014. Peneliti merasa bahwa keberadaan
buku paket perlu untuk dikritisi. Selama ini para guru kebanyakan menerima dan
menggunakannya saja. Memang di jaman sekarang, para guru sangat mudah dan
diperbolehkan untuk menggunakan buku-buku dari sumber lain jika merasa ada yang
kurang dengan buku paket dari pemerintah. Namun di sisi lain, ada sebagian sekolah juga
yang sepenuhnya hanya menggunakan buku paket terutama sekolah-sekolah swasta
dengan kemampuan ekonomi yang lemah. Selama ini kritik pada buku paket lebih banyak
terdengar dari segi administrasi semisal penganggaran dan penggunaan uang pemerintah
untuk pengadaannya. Masih jarang yang mengalisa dan mengkritisi buku paket dari segi
akademik dan keilmuan. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisa dan mengkritisi dari
segi keilmuan yaitu tingkat validitas dengan menggunakan teori Brown (2004) yang
tentunya juga disertai teori-teori dari ahli lainnya sebagai pendukung.
Peneliti mengidentifikasi kualitas soal-soal buku paket bahasa Inggris dari pemerintah
sebagai satu permasalahan. Para guru bahasa Inggris biasanya hanya dapat menerima saja
karena memang bukan pada posisi sebagai penyusun materi. Sekalipun para guru bahasa
Inggris bisa menggunakan sumber lain sebagai pendukung pembelajaran, buku paket dari
pemerintah pada kondisi ideal seharusnya tetaplah menjadi sumber utama dan barometer
materi pembelajaran. Berangkat dari fenomena itulah, peneliti merasa hal yang logis untuk
mempertanyakan dan mengkritisi kualitas soal-soal dalam buku paket bahasa Inggris SMK
kelas X yang berjudul “English For SMK 1” tahun akademik 13-2014.
Peneliti merumuskan satu rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu”Sejauh mana
tingkat validitas buku paket bahasa Inggris SMK kelas X yang berjudul “English For SMK
1” tahun akademik 13- 1 ”.
Dalam melakukan analisa dan diskusi pada penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa teori yang terbagi menjadi dua kategori. Pertama adalah teori Bworn (2004:22)
yang menyatakan bahwa”bagaimana validitas sebuah tes dibentuk? Tidak ada kepastian
tentang tolak ukurnya, tetapi beberapa bukti dapat dinyatakan dalam beberapa kategori”.
Kategori-kategori tersebut meliputi;
Pertama, Content-Related Evidence/Validitas Isi. Mousavi (2002), dan Hughes
( 3) dalam Brown ( : 3) menyatakan”cara lain mengetahui validitas isi adalah
dengan mempertimbangkan antara tes langsung dan tidak langsung. Tes langsung
melibatkan siswa dalam praktek yang sebenarnya. Tes tidak langsung adalah tidak
melibatkan siswa dalam praktiknya”. Validitas isi artinya materi tes harus terkait dengan
materi pengajaran. Materi tes harus sama dengan dan tidak boleh berbeda dengan materi
yang telah diajarkan oleh guru.
Kedua, Criterion-Related Evidence/Validitas Kriteria. Brown (2004:24) menjelaskan
bahwa validitas criteria masuk dalam 2 kategori yaitu concurrent validity dan predictive
validity, yang mana concurrent validity berarti hasil tes harus didukung data lainnya,
sedang predictive validity artinya hasil tes harus bisa dipakai memperkirakan penempatan
orang selanjutnya. Validitas kriteria artinya bahwa bentuk satu tes harus punya satu
kriteria yang khusus dan konsisten. Semisal tes tentang grammar, berarti semua item harus
tentang grammar, tidak boleh tersisipi dengan orientasi jenis tes lain.
Ketiga, Construct-Related Evidence/Validitas konstruksi. Brown (2004:25)
menjelaskan bahwa sebuah test harus dibuat dengan teori, hypothesis, atau model yang
Page 20
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
55
menjelaskan semua fenomena yang terkait dengan tes tersebut. Hal ini berarti bahwa suatu
tes dibuat harus berdasarkan satu teori yang jelas tanpa satu kerancuan.
Keempat, Consequential-Related Evidence/Validitas Konsekwensi. Brown (2004:26)
menjelaskan validitas konsekwensi meliputi akibat terhadap persiapan tes selanjutnya,
akibat dari segi social dan lainnya. Sebuah tes harus memperhatikan akibat yang
dihasilkan, jangan sampai siswa menjadi jera ikut tes selanjutnya karena tes yang
diberikan sangat sulit dan menekan.
Kelima, Face Validity/Validitas Penampilan. Mousavi (2002:244) meyatakan bahwa
sebuah tes harus terlihat semenarik mungkin. Hal ini berarti bahwa sebuah tes harus dapat
memilik penampilan fisik yang menarik misal tidak menggunakan kertas buram, susunan
kalimat tidak membingungkan, atau ada instrument atau game di dalamnya, dan hal-hal
lain yang membuat siswa tertarik pada pandangan pertama melihat soal.
Tori-teori lain dari sejumlah ahli yang mendukung teori Brown di atas antara lain; 1)
Clark (1975) dalam Shohamy dan Stansfiled (1990:81) menyatakan bahwa direct tes
speaking akan menjadi lebih valid jika diikuti oleh tes secara praktiknya. 2) Klater dan
Vossen (1990:93-94) yang menyatakan bahwa validitas kriteria berarti orientasi tes.
Seorang pembuat tes harus menentukan kriteria tes sebelum membuatnya. 3) Groot
(1990:12) menjelaskan bahwa dalam validitas konstruksi, sebuah tes tidak boleh bertolak
belakang dengan teori materi pada tes tersebut. 4) Messick (1994,1996) dalam Alderson
dan Bannerjee (2001:216) memberikan gambaran bahwa cakupan validitas konsekwensi
meliputi interprestasi nilai dan penggunaanya.
METODE PENELITIAN
Berikut ini adalah penjelasan tentang metode penelitian yang diaplikasikan dalam
penelitian ini.
Jenis Penelitian
Desain penelitian ini adalah descriptive quantitative. Sugiyono (2008:35)
menyatakan”rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang berkenaan
dengan pernyataan terhadap keberadaan variabel mandiri, baik hanya pada satu variabel
atau lebih (variable yang berdiri sendiri)”. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
desain descriptive quantitative sederhana dengan menghitung data berdasarkan
kategorinya. Dalam hasil akhirnya deskripsi secara kualitatif juga dilakukan untuk
merepresentasikan hasil yang telah diperoleh dalam bentuk angka sebelumnya, tapi hanya
berlaku sebagai alat bantu terakhir saja.
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu dan tempat penelitian pada penelitian ini bersifat fleksibel karena penelitian
memiliki kegiatan utama menganalisa buku yang berarti bukan penelitian lapangan. Waktu
penelitian dilakukan selama 2 minggu yaitu pada minggu ketiga dan keempat pada bulan
April 2014 yang dimulai dari pengambilan data dari sumbernya hingga analisis data dan
penarikan kesimpulan. Tempat penelitian adalah di kota Pacitan.
Subjet Penelitian
Subject penelitian ini adalah buku paket bahasa Inggris SMK kelas X yang
berjudul”English For SMK 1” tahun akademik 13-2014. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan semua soal-soal bahasa Inggris dalam buku tersebut sebagai populasi. Tidak
ada pengambilan sample dalam penelitian in karena semua data dianalisa oleh peneliti.
Page 21
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
56
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini adalah semua soal-soal bahasa Inggris dalam buku paket
bahasa Inggris SMK kelas X yang berjudul”English For SMK 1” tahun akademik 13-
2014. Instrumen yang dipakai oleh peneliti adalah alat-alat tulis sederhana meliputi
bolpoin, pensil, buku-buku, penggaris, penghapus, tipeks, dan lain-lain. Dalam
pengumpulan data, peneliti berkoordinasi dengan seorang guru bahasa Inggris di SMK
Pringkuku Pacitan. SMK Pringkuku Pacitan merupakan salah satu SMK Negeri di
kabupaten Pacitan. Setelah peneliti mendapat informasi tentang buku paket bahasa Inggris
yang dipakai di SMK yang merupakan buku paket pemerintah yang dikeluarkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, peneliti mencari buku yang sama untuk dimiliki
sebagai data penelitian.
Teknik Analisa Data
Ada beberapa tahapan yang dilakukan oleh peneliti dalam menganalisa data
penelitian, meliputi; 1) Langkah pertama, peneliti mengumpulkan semua soal-soal bahasa
Inggris yang ada dalam buku paket bahasa Inggris tersebut sebagai data populasi
penelitian. 2) Langkah kedua, peneliti menganalisa semua data dengan memberikan
kategori pada setiap data dengan 5 kategori kriteria validitas berdasarkan teori Brwon
(2004) yang meliputi, Content-Related Evidence/Validitas Isi, Criterion-Related
Evidence/Validitas Kriteria, Construct-Related Evidence/Validitas konstruksi,
Consequential-Related Evidence/Validitas Konsekwensi, Face Validity/Validitas
Penampilan. Jadi dalam hal ini, tiap data dianalisa berdasarkan 5 kriteria validitas tersebut.
3) Langkah ketiga, peneliti, mengisi chek list untuk memberikan kategori pada data yang
dianalisa dalam bentuk tabel. Untuk efektivitas, peneliti menyingkat tiap kategori validitas
sebagai berikut; a) V1: Content-Related Evident/Validitas Isi, b) V2: Criterion-Related
Evidence/Validitas Kriteria, c) V3: Construct-Related Evident/Validitas Konstruksi, d)
V4: Consequential Validity/Validitas Konsekwensi, e) V5: Face Validity/Validitas
Penampilan. 4) Langkah keempat, peneliti memberikan deskripsi secara qualitative dari
data quantitative yang telah diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk akhir presentase.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil analisa penelitian menunjukkan ada 8 unit dalam buku. Setiap unit terdiri dari
beberapa aktivitas. Semua aktivitas dalam satu unit dibagi dalam beberapa sesi sejalan
dengan materinya. Ada beberapa aktivitas yang tidak dapat dianalisa karena tidak memuat
soal bahasa Inggris. Hasil penelitian dimuat dalam bentuk tabel. Berikut ini salah satu
contoh tabel temuan dan anlisa hasil penelitian;
UNIT 6
Learning Outcomes: 1) Traffic signs, 2) Itinerary, 3) Menu Language testing items: Section One: Traffic Signs
No Activities Instruction Validity
V1 V2 V3 V4 V5
1 Activity 1 Your teacher will dictate the meanings of some
signs and symbols. Write them down below each
picture
√ √ √ √ √
2 Activity 2 Study the signs on activity 1 and make a short
dialogue based on the model of an example
below. Then, practice it with your partner
√ √ √ √ √
3 Activity 3 Make another short dialogue about the previous
signs and symbols with the following model
√ √ × √ √
Page 22
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
57
4 Activity 4 Match the symbols with the meanings. Write
them down on the provided spaces below
√ √ × Q ×
5 Activity 5 Read this passage. Rewrite the bold printed
phrases next to the pictures of traffic signs
√ × × Q √
6 Activity 6 Understand this passage from its context. Draw
the right traffic sign in the blank boxes. Then
write the meaning of the traffic signs below
× × × × √
7 Activity 7 Write the meaning of the traffic signs you draw
above
√ √ × × ×
Section Two: Itinerary
No Activities Instruction Validity
V1 V2 V3 V4 V5
1 Activity 8 Answer these questions √ √ √ √ √
2 Activity 9 Study this train schedule and answer the questions
below
√ √ √ √ √
3 Activity 10 Answer this questions below based on the
following train schedule.
Note: Activity 10 cannot be analyzed because it
does not contain language testing.
- - - - -
4 Activity 11 Practice in pairs. Play roles as a ticket seller and
somebody who wants to go by train
√ √ √ Q √
5 Activity 12 Study the following schedule carefully to answer
the questions.
√ √ √ √ √
Section Three: Menu
No Activities Instruction Validity
V1 V2 V3 V4 V5
1 Activity 13 Answer these questions √ √ √ √ √
2 Activity 14 Study this menu and answer the questions √ √ √ √ √
3 Activity 15 Use the menu above to have conversations with
your partner
√ √ √ √ √
4 Activity 16 Answer the questions based on the following
menu
√ √ √ √ √
5 Activity 17 Search a restaurant menu on the internet. After
getting it, make at least five questions you have
learned in the previous activities about the menu
together with their answers. Exchange your to
your partner and try to correct it if there’s a
mistake. Ask your teacher if you find
difficulties
× × × × ×
6 Activity 18 Study the follwoing explanation.
Note: Activity 18 cannot be analyzed because it
does not contain language testing. It presents the
concept of degree of comparison
- - - - -
7 Activity 19 Study this chart to make sentences of
comparison
√ √ √ √ √
8 Activity 20 Write the comparative and superlative forms of
these words
√ √ × Q √
9 Activity 21 Complete the sentences with the correct forms
of the words from activity 20
√ √ √ √ √
10 Activity 22 Look at the example and make similar sentences √ √ √ √ √
11 Activity 23 Complete these sentences with superlative
forms
√ √ × × ×
12 Activity 24 Choose the right positive, comparative, or
superlative forms to complete these paragraphs.
Number one has been done for you
√ √ √ √ √
Page 23
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
58
Secara keseluruhan, jumlah semua aktivitas yang ditemukan dan dianalisa dalam buku
adalah 263 aktivitas. Seusai dengan paparan contoh tabel dan teori-teori serta pada teknik
analisa, peneliti menghitung setiap kategori validitas secara terpisah, dengan pembahasan
data sebagai berikut: Pertama, V1: Content-Related Evident/Validitas Isi. Jumlah total
aktivitas yang memenuhi Validitas Isi adalah 230 atau 87,45%. Hal tersebut dapat
dikategorikan bahwa buku tersebut memiliki kualitas excellent atau terbaik dalam hal
validitas isi.
Kedua, V2: Criterion-Related Evidence/Validitas Kriteria. Jumlah total aktivitas yang
memenuhi Validitas Kriteria adalah 216 atau 82,13%. Hal tersebut dapat dikategorikan
bahwa buku tesebut memiliki kualitas bagus dalam hal validitas kriteria.
Ketiga, V3: Construct-Related Evident/Validitas Konstruksi. Jumlah total aktivitas
yang memenuhi Validitas Konstruksi adalah 175 atau 66,54%. Hal tersebut dapat
dikategorikan bahwa buku tersebut memiliki kualitas cukup dalam Validitas Konstruksi.
Keempat, V4: Consequential Validity/Validitas Konsekwensi. Jumlah total aktivitas
yang memnuhi Validitas Konsekwensi adalah 152 atau 57,80%. Hal tersebut dapat
dikategorikan bahwa buku tersebut memiliki kualitas kurang dalam Validitas
Konsekwensi.
Kelima, V5: Face Validity/Validitas Penampilan. Jumlah total aktivitas yang
memenuhi Valditas Penampilan adalah 177 atau 67,30%. Hal tersebut dapat dikategorikan
bahwa buku tersebut memiliki kualitas cukup dalam validitas Penampilan.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Peneliti menyimpulkan beberapa aspek dari penelitian ini: 1) Materi-materi dalam
buku sudah tepat sesuai dengan level siswa SMK kelas X, 2) Satu kekurangan dengan
buku tersebut adalah aplikasi metodologi pengajaran. Aktivitas-aktivitas dalam buku
terlihat konstan dan monoton. Buku tersebut terasa hanya memberikan perintah-perintah
dan latihan-latihan saja. Buku tersebut seharusnya juga mengaplikasikan beragam
metodologi pengajaran. 3) Satu kekurangan lain dalam buku tersebut adalah dalam hal
Validitas Konsekwensi. Hal tersebut terkait dengan kesimpulan sebelumnya, yaitu
kurangnya aplikasi metodologi pengajaran. Kemungkinan paling nyata adalah berakibat
siswa yang lama-lama akan bosan dalam mempelajari buku tersebut. 4) Secara
keseluruhan, materi-materi dalam buku tersebut masih relevan untuk dipakai sebagai
bahan ajar bagi guru bahasa Inggris. 5) Aspek terbaik dalam buku tersebut adalah materi.
6) Para guru bahasa Inggris harus menggunakan beragam metodologi pembelajaran untuk
menggunakan buku tersebut untuk mengatasi kelemahan buku tersebut.
Saran Peneliti memberikan beberapa saran dari hasil dan diskusi penelitian: 1) Para guru
bahasa Inggris sebaiknya menggunakan buku-buku atau sumber materi tambahan yang
digunakan dalam pengajaran untuk mendukung buku wajib dari pemerintah. Buku-buku
atau materi-materi tambahan tersebut digunakan untuk menutupi kekurangan yang ada
dalam buku paket dari pemerintah, sehingga bisa saling melengkapi. 2) Pemerintah
sebaiknya meningkatkan kualitas buku-buku pelajaran yang diterbitkan. 3) Para guru
bahasa Inggris sebaiknya juga dapat mengembangkan keterampilan dalam
mengaplikasikan berbagai macam metodologi pengajaran dan pembelajaran sehingga
dapat memaksimalkan penggunaan buku-buku atau materi-materi pembelajaran. 4)
Pembaca sebaiknya dapat mengkritisi buku apa saja yang diterima khususnya dalam hal
karya ilmiah tanpa merendahkannya, tapi untuk mendapatkan kemajuan intelektual
Page 24
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
59
DAFTAR PUSTAKA
Alderson, J., Charles, and Banerjee. Jayanti. 2001. Language Testing and Assessment
(part 1). Cambridge: Cambridge University Press.
Brown, H., Douglas. 2004. Language Assessment Principles and Classroom Practices.
New York: Pearson Education.
Clark, J.L.D. (1975). Theoretical and technical considerations in oral proficiency testing.
In R.L. Jones and B. Spolsky (eds). Testing Language Proficiency. Arlington, VA:
Center of Applied Linguistics. 10-28.
Groot, Peter, J. M. 1990. Language Testing in Research and Education: The Need for
Standards. Standardization in Language Testing. 7: 9-23.
Hughes, Arthur. 2003. Testing for Language Teachers. Second Edition. Cambridge:
Cambridge University Press.
Messick, S . 1994. The interplay of evidence and consequences in the validation of
performance assessments. Educational Researcher. 23(2):13-23.
Messick, S . 1996 . Validity and washback in language testing. Language Testing.
13(3):41-5.
Mousavi, Seyyed Abbas. 2002. An Encyclopedic of Language Testing. Third Edition.
Taiwan: Tung Hua Book Company.
Shohamy, Elana, and Stansfield. W. Charles. 1990. The Hebrew Speaking Test: An
Example of International in Cooperation in Test Development and Validation.
Standardization in Language Testing. 7: 79-90.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Page 25
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
60
PENINGKATAN PEMAHAMAN DAN PERILAKU BERKARAKTER
MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA MELALUI
MATA KULIAH KEPRIBADIAN
Joko Sutrisno Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pacitan
Jl. Cut Nyak Dien 4A Ploso Pacitan, e-mail: [email protected]
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Mata Kuliah Kepribadian mampu
meningkatkan pemahaman dan perilaku berkarakter Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika STKIP PGRI Pacitan.
Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Subyek dari penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika yang
menempuh Mata Kuliah Kepribadian pada semester genap tahun akademik 2012/2013.
Penelitian tindakan kelas ini mengambil desain yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc
Taggart yang merupakan pengembangan dari konsep Kurt Lewin. Teknik pengumpulan
datanya adalah tes, observasi, dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan merupakan
analisis data secara kualitatif yang didukung oleh analisis data secara kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mata Kuliah Kepribadian sangat efektif dalam
meningkatkan pemahaman dan perilaku berkarakter Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika STKIP PGRI Pacitan. Pemahaman mahasiswa akan nilai karakter, metode
menanamkan dan mengukurnya telah mencapai di atas 50%. Demikian halnya dengan
perilaku berkarakter mahasiswa, tiap nilai karakter telah membudaya pada lebih dari 50%
mahasiswa.
Keywords: Karakter, Kepribadian, Perilaku
PENDAHULUAN
Permasalahan budaya dan karakter di Indonesia kini menjadi sorotan tajam dari
berbagai kalangan di masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan,
tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di
media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para
pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan
karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan
seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn
politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media
massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan
seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum
yang lebih kuat.
Pendidikan dipandang oleh banyak kalangan sebagai salah satu alternatif terbaik
untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa. Pendidikan
dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif, karena melalui pendidikan diharapkan
dapat membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat
preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa
dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai
masalah budaya dan karakter bangsa. Sekalipun tidak dipungkiri bahwa hasil dari
pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya
tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
Page 26
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
61
Pemerintah menyikapi berbagai persoalan tersebut dengan memberikan perhatian
yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Hal ini untuk menjawab
dan mengimplementasikan pendapat yang dikemukakan para pemuka masyarakat, ahli
pendidikan, para pemerhati pendidikan dan anggota masyarakat lainnya di berbagai media
massa, seminar, dan sarasehan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada
awal tahun 2010, yang menyatakan bahwa adanya kebutuhan masyarakat yang kuat akan
pendidikan budaya dan karakter bangsa. Apalagi jika dikaji, bahwa kebutuhan itu, secara
imperatif, adalah sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan
Pendidikan Nasional.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sementara
itu Kemendiknas (2010: 3) mendefinisikan karakter sebagai watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Lebih lanjut Kemendiknas (2010: 9-10) menyebutkan bahwa nilai pendidikan
karakter dan budaya bangsa tersebut meliputi: 1) Religius; 2) Jujur; 3) Toleransi; 4)
Disiplin; 5) Kerja keras; 6) Kreatif; 7) Mandiri; 8) Demokratis; 9) Rasa ingin tahu; 10)
Semangat kebangsaan; 11) Cinta tanah air; 12) Menghargai prestasi; 13)
Bersahabat/Komunikasi; 14) Cinta damai; 15) Gemar membaca; 16) Peduli lingkungan;
17) Peduli sosial; dan 18) Tanggung-jawab.
Menanamkan karakter pada anak-anak merupakan tanggungjawab bersama antara
keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya memegang peranan penting untuk
pengembangan totalitas kepribadian atau karakter individu. Guru sebagai seorang pendidik
memiliki tugas untuk menanamkan karakter di sekolah. Bahkan tidak berlebihan juga
apabila Guru menjadi ujung tombak dalam penanaman karakter pada peserta didik.
Mengingat sejak tahun 2010, pemerintah melalui Kemendikbud menginstruksikan pada
para Guru untuk memasukkan nilai-nilai karakter pada setiap pembelajaran. Orientasinya
adalah penyemaian karakter secara integratif pada seluruh mata pelajaran, sehingga lebih
terpadu.
Sebelum memberikan pembelajaran karakter, seorang guru atau calon guru,
termasuk halnya dengan guru atau calon guru matematika, wajib memahami serta
menunjukkan perilaku yang berkarakter. Sehingga kelak apabila sudah menjadi guru,
benar-benar mampu memberikan teladan bagi para anak didiknya.
Mata Kuliah Kepribadian merupakan salah satu mata kuliah pembentuk kepribadian
dan budi pekerti mahasiswa. Sehingga menjadi suatu kewajiban apabila mata kuliah ini
diorientasikan untuk meningkatkan pemahaman dan menumbuhkan perilaku yang
berkarakter para mahasiswa. Oleh karena itu, penelitian tindakan ini menjadi sangat
penting untuk dilakukan.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) apakah Mata Kuliah Kepribadian dapat meningkatkan pemahaman karakter
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pacitan?
2) apakah Mata Kuliah Kepribadian dapat meningkatkan perilaku yang berkarakter
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pacitan?
Page 27
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
62
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Berdasarkan sifat masalah dan tujuannya, penelitian akan dirancang dengan
menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK yang akan dilaksanakan merupakan
upaya ilmiah sistematis untuk mengembangkan praktik pembelajaran pada Mata Kuliah
Kepribadian, dengan melakukan berbagai tindakan praktis dan terprogram.
Penelitian tindakan kelas ini mengambil desain yang dikembangkan oleh Kemmis
dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan dari konsep Kurt Lewin. Model Kurt
Lewin yang terdiri atas empat komponen yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan
refleksi, kemudian dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart di mana pelaksanaan
tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Tindakan dan pengamatan tidak
dapat dipisahkan pelaksanaannya satu sama lain karena proses pengamatan dilakukan pada
saat tindakan diberikan. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih desain PTK dari
Kemmis dan Mc Taggart sebagai desain penelitian.
Kegiatan penelitian ini direncanakan menggunakan lebih dari satu siklus PTK,
sampai penelitian mendapatkan hasil refleksi yang optimal khususnya pada peningkatan
aktivitas dan prestasi belajar Mata Kuliah Kepribadian Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pacitan.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP
PGRI Pacitan, selama empat bulan, yakni mulai bulan Maret hingga Juni 2013.
Target/Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika,
Kelas B Semester 6 tahun akademik 2012-2013, yang berjumlah 46 orang mahasiswa.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Data utama yang dibutuhkan pada penelitian data tentang pemahaman karakter dan
perilaku berkarakter mahasiswa selama mengikuti proses pembelajaran pada Mata Kuliah
Kepribadian. Data tentang pemahaman karakter mahasiswa diambil dengan menggunakan
pre test dan post test pemahaman karakter mahasiswa. Sementara data mengenai perilaku
berkarakter mahasiswa, diambil melalui pengamatan langsung dengan bantuan instrumen
yang berupa check list perilaku berkarakter para mahasiswa.
Prosedur Penelitian
Secara umum langkah kegiatan pelaksanaan PTK pada kegiatan penelitian Siklus I
adalah sebagai berikut.
a. Perencanaan
Pada tahap ini, rencana yang akan dibuat adalah sebagai berikut.
1) Merumuskan masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika;
2) Menyusun silabus dan rancangan pembelajaran (RPP) Mata Kuliah Kepribadian;
3) Mengembangkan bahan ajar Mata Kuliah Kepribadian;
4) Menyusun lembar pre test untuk mengukur pemahaman karakter mahasiswa;
5) Menyusun check list untuk mendapatkan data mengenai perilaku berkarakter
mahasiswa selama mengikuti Mata Kuliah Kepribadian.
Page 28
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
63
b. Tindakan
Melaksanakan pembelajaran pada Mata Kuliah Kepribadian untuk
meningkatkan pemahaman dan perilaku berkarakter mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika, sesuai dengan rencana yang telah disusun.
c. Observasi
Pengamatan dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui bagaimana perilaku
berkarakter mahasiswa dan berbagai kendala dalam menumbuhkan perilaku
berkarakter, baik yang dihadapi mahasiswa maupun dosen selama tindakan
pembelajaran.
d. Refleksi
Refleksi dilakukan untuk menganalisis hasil tindakan agar dapat memperbaiki
tindakan berikutnya. Kegiatan refleksi ini dilakukan oleh peneliti. Siklus dalam setiap
tindakan ini diakhiri atau dihentikan dengan indikator sebagai berikut.
1) Hasil tes telah menunjukkan bahwa minimal 50% mahasiswa memiliki
pemahaman yang baik tentang karakter bangsa;
2) Hasil observasi telah menunjukkan bahwa minimal 50% mahasiswa telah
menunjukkan bahwa masing-masing nilai karakter telah membudaya.
Apabila kedua indikator tersebut belum terpenuhi, maka dilakukan siklus berikutnya
dengan berdasar pada hasil refleksi pada siklus sebelumnya sampai terpenuhinya kedua
indikator tersebut.
Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan teknik interaktif berdasar
hasil tes dan hasil observasi proses pembelajaran, dengan langkah berikut:
1) Melakukan reduksi, yaitu mengecek dan mencatat kembali data-data yang telah
terkumpul;
2) Melakukan interpretasi, yaitu menafsirkan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan;
3) Melakukan inferensi, yaitu menyimpulkan apakah dalam pembelajaran ini terjadi
peningkatan pemahaman karakter mahasiswa atau tidak (berdasar hasil tes);
4) Tahap tindak lanjut, yaitu merumuskan langkah-langkah perbaikan untuk siklus
berikutnya atau dalam pelaksanaan di lapangan setelah siklus berakhir berdasar
inferensi yang telah ditetapkan;
5) Pengambilan kesimpulan, diambil berdasarkan analisis hasil-hasil observasi yang
disesuaikan dengan tujuan penelitian ini. Kemudian dituangkan dalam bentuk
interpretasi dalam bentuk pernyataan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, di mana pada masing-masing siklus
dilaksanakan dalam empat pertemuan. Berikut adalah jadwal pelaksanaan penelitian pada
tiap pertemuan masing-masing siklus.
Tabel 1. Jadwal Pengajaran pada Tiap Siklus
Siklus Pertemuan
ke- Hari/tanggal
Jumlah
Mahasiswa
I I Selasa, 5 Maret 2013 46
II Selasa, 12 Maret 2013 45
III Selasa, 19 Maret 2013 46
IV Selasa, 26 Maret 2013 44
Page 29
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
64
Siklus Pertemuan
ke- Hari/tanggal
Jumlah
Mahasiswa
II I Selasa, 2 April 2013 46
II Selasa, 9 April 2013 46
III Selasa, 16 April 2013 45
IV Selasa, 23 April 2013 46
Hasil test menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa tentang nilai-nilai karakter
dan budaya bangsa mengalami peningkatan yang signifikan. Pada siklus I, pemahaman
mahasiswa pada masing-masing indikator belum ada yang mencapai 50%. Berbagai
kendala dan permasalahan yang muncul pada siklus I dijadikan pijakan dalam menyusun
perencanaan pembelajaran pada siklus II. Akibatnya, pada siklus II terjadi peningkatan
pemahaman yang signifikan. Pemahaman mahasiswa pada seluruh indikator di atas 50%.
Berikut adalah deskripsi pemahaman mahasiswa tentang nilai-nilai karakter dan budaya
bangsa pada akhir siklus I dan siklus II.
Tabel 2. Pemahaman mahasiswa pada masing-masing siklus
No Uraian
Pemahaman Konsep
Siklus I Persentase
Siklus I Siklus II
Persentase
Siklus II
1 Pemahaman akan nilai-nilai
karakter dan budaya bangsa 15 43% 29 83%
2 Pemahaman prinsip dan
pendekatan pengembangan
nilai-nilai karakter dan
budaya bangsa
11 31% 26 74%
3 Pemahaman akan metode
penilaian karakter dan
budaya bangsa
9 26% 24 69%
Setelah dilaksanakan serangkaian pembelajaran pada masing-masing siklus, di akhir
pertemuan dilakukan observasi untuk melihat perilaku karakter pada mahasiswa. Posisi
nilai yang dimiliki peserta didik adalah posisi seorang peserta didik di akhir siklus, bukan
hasil tambah atau akumulasi berbagai kesempatan/tindakan penilaian selama satu siklus
tersebut. Berikut adalah hasil tabulasi perilaku karakter dari mahasiswa pada tiap siklus.
Tabel 3. Tindakan berkarakter mahasiswa pada akhir tiap siklus
No Nilai karakter Siklus I Siklus II
BT MT MB BD BT MT MB BD
1. Religius 51% 26% 20% 3% 3% 6% 11% 80%
2. Jujur 43% 31% 20% 6% 0% 9% 14% 77%
3. Toleransi 31% 37% 26% 6% 6% 14% 26% 54%
4. Disiplin 54% 26% 17% 3% 9% 11% 23% 57%
5. Kerja keras 40% 31% 26% 3% 3% 11% 20% 66%
6. Kreatif 54% 23% 23% 0% 11% 17% 20% 51%
7. Mandiri 51% 26% 17% 6% 9% 9% 20% 63%
8. Demokratis 43% 31% 20% 6% 6% 17% 26% 51%
9. Rasa ingin tahu 31% 37% 29% 3% 6% 11% 23% 60%
Page 30
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
65
No Nilai karakter Siklus I Siklus II
BT MT MB BD BT MT MB BD
10. Semangat
kebangsaan 51% 26% 20% 3% 3% 17% 23% 57%
11. Cinta tanah air 43% 31% 20% 6% 6% 11% 20% 63%
12. Menghargai
prestasi 66% 23% 11% 0% 11% 14% 17% 57%
13. Bersahabat/
komunikatif 51% 26% 20% 3% 6% 9% 11% 74%
14. Cinta damai 43% 31% 17% 9% 0% 20% 17% 63%
15. Gemam membaca 71% 20% 9% 0% 11% 17% 20% 51%
16. Peduli lingkungan 51% 26% 20% 3% 6% 11% 23% 60%
17. Peduli sosial 43% 31% 23% 3% 3% 9% 29% 60%
18. Tanggung jawab 40% 37% 20% 3% 6% 17% 26% 51%
Keterangan:
BT: belum terlihat; MT: mulai terlihat; MB: mulai berkembang; BD: membudaya
Berdasarkan tabel 3 di atas, jelas bahwa dari 18 nilai karakter mahasiswa mengalami
peingkatan yang signifikan. Pada siklus I, sebagian besar belum menampakkan nilai
karakter. Namun pada siklus II, membudayanya nilai karakter pada diri mahasiswa, terjadi
lebih dari 50% mahasiswa. Sehingga penelitian tindakan ini berhenti hanya pada siklus II.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mata Kuliah Kepribadian sangat efektif dalam meningkatkan pemahaman karakter
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pacitan;
2) Mata Kuliah Kepribadian sangat efektif dalam meningkatkan perilaku yang
berkarakter Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pacitan.
Berpijak dari kesimpulan di atas, dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:
1) Mahasiswa calon guru harus belajar tentang karakter dan bagaimana menerapkan
karakter dalam pembelajaran serta mampu memberikan teladan perilaku yang
mencerminkan karakter bangsa Indonesia;
2) Dosen atau guru perlu melakukan variasi dalam membumikan dan menumbuhkan
karakter pada anak didiknya, agar lebih efektif;
3) Perlunya dukungan kebijakan yang lebih operasional dan teknis, khususnya dalam
melakukan evaluasi penanaman karakter bagi para peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., Suhardjono dan Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara.
Aunurrahman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Hamalik, O. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Jihad dan Haris. 2009. Evaluasi pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.
Kemendikbud. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologu Pembelajaran Berdasarkan
Nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta:
Kemendikbud.
Page 31
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
66
Kunandar. 2010. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan
Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
Lickona, Thomas. 2012. Mendidik Untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, kuantitatif dan R
& D). Bandung: Alfabeta.
Tilaar, HAR. 2002. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2008. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Page 32
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
67
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW UNTUK
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR
ISBD MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
STKIP PGRI PACITAN
Joko Sutrisno
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan
Jl. Cut Nyak Dien 4A Ploso Pacitan, e-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan model pembelajaran
jigsaw mampu meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya
Dasar, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan.
Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Subyek dari penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi pendidikan Bahasa Inggris yang
menempuh Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar pada semester gasal tahun akademik
2012/2013. Obyek dari penelitian ini adalah pembelajaran menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw. Penelitian tindakan kelas ini mengambil desain yang dikembangkan
oleh Kemmis dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan dari konsep Kurt Lewin.
Teknik pengumpulan datanya adalah tes, observasi, dan dokumentasi. Analisis data yang
digunakan merupakan analisis data secara kualitatif yang didukung oleh analisis data secara
kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar Mata Kuliah Ilmu
Sosial Budaya Dasar, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI
Pacitan. Aktivitas belajar mahasiswa tersebut meliputi partisipasi dalam berdiskusi,
mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, dan mempertahankan argumen. Bahkan,
prestasi belajar siswa pada akhir siklus ketiga menunjukkan bahwa 83% mahasiswa mampu
memperoleh nilai di atas 75.
Keywords: Jigsaw, Aktivitas belajar, Prestasi Belajar, Ilmu Sosial Budaya Dasar
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini menuntut adanya
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Usaha untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dilakukan melalui proses pembelajaran dalam lembaga pendidikan. Saat ini
masih banyak masalah yang terjadi dalam pendidikan Indonesia, salah satunya masih
rendahnya mutu pendidikan dan kurangnya kesadaran mahasiswa dalam belajar. Hal ini
dapat terlihat dari nilai Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar pada Program Studi Pendidikan
Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan tahun akademik 2011-2012. Berdasarkan
pengalaman peneliti, sebagian besar mahasiswa memiliki prestasi rendah. Jumlah
mahasiswa yang memperoleh nilai A 8%, nilai B 28%, nilai C 45%, nilai D 15%, dan nilai
E 4%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa prestasi belajar mahasiswa Pendidikan Bahasa
Inggris pada Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar masih rendah.
Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai
akhir yang disajikan secara khas oleh dosen. Setiap model pembelajaran mempunyai
karakteristik tertentu dengan keunggulan dan keterbatasan masing-masing. Namun saat
ini, umumnya dosen menggunakan pembelajaran yang bersifat langsung atau disebut
sebagai model pembelajaran langsung. Model pembelajaran ini memiliki ciri antara lain:
(a) pembelajaran terpusat pada dosen dan (b) urutan pembelajarannya: penjelasan atau
eksplanasi, contoh-contoh, latihan, dan balikan.
Page 33
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
68
Pada pembelajaran langsung, dosen akan membagi informasi dan perhatian kepada
seluruh mahasiswa dalam kelas tersebut. Keadaan demikian tidak memungkinkan dosen
untuk memperhatikan karakteristik masing-masing mahasiswa secara baik. Dengan
demikian, pembelajaran langsung menganggap bahwa karakteristik mahasiswa adalah
homogen.
Pembelajaran yang terpusat pada dosen mengakibatkan mahasiswa kurang aktif,
oleh karena itu perlu diubah sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terpusat pada
mahasiswa. Demikian pula adanya anggapan bahwa seluruh mahasiswa di kelas
mempunyai karakteristik sama atau homogen membawa konsekuensi pada pemberian
perlakuan belajar yang serba sama kepada mahasiswa. Hal tersebut mengurangi
kesempatan mahasiswa untuk berkembang sesuai perbedaan atau karakteristik yang
dimilikinya.
Untuk meningkatkan keaktifan mahasiswa perlu diupayakan pembelajaran yang
sesuai. Salah satu model pembelajaran yang bisa diterapkan adalah model pembelajaran
kooperatif , yaitu model pembelajaran kelompok yang menghendaki adanya kerjasama
antara anggota kelompok dalam mempelajari materi yang diberikan dosen. Pada model
pembelajaran kooperatif, mahasiswa tidak hanya bertanggung jawab kepada dirinya
sendiri tetapi mereka juga harus bertanggung jawab kepada kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang pada hakekatnya
melibatkan tugas yang memungkinkan mahasiswa saling membantu dan mendukung
dalam menyelesaikan tugas. Mahasiswa mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah
informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Salah satu tipe pembelajaran
kooperatif tersebut adalah model pembelajaran Jigsaw.
Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, mahasiswa dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil yang heterogen dalam hal kemampuan akademis, jenis kelamin,
sosial-ekonomi. Materi dibagi dalam sub-sub pokok bahasan. Masing-masing anggota
kelompok dalam Jigsaw mempelajari materi yang berbeda dan bertanggung jawab untuk
mempelajari bagiannya masing-masing. Anggota-anggota kelompok dari kelompok
berbeda dengan materi yang sama bisa bertemu untuk belajar bersama, saling bertukar
pikiran, dan saling membantu untuk mempelajari materi yang sama. Kemudian mahasiswa
kembali ke kelompoknya untuk menjelaskan materi yang telah mereka pelajari kepada
anggota kelompok mereka. Dengan demikian mahasiswa hanya belajar pada bagiannya
sendiri dan mendengarkan secara teliti apa yang diterangkan oleh teman kelompoknya,
sehingga mereka termotivasi untuk belajar. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar Mata Kuliah Ilmu Sosial
Budaya Dasar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
3) apakah penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan aktivitas belajar
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan?
4) apakah penerapan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar
Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
Inggris STKIP PGRI Pacitan?
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Berdasarkan sifat masalah dan tujuannya, penelitian akan dirancang dengan
menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK yang akan dilaksanakan merupakan
upaya ilmiah sistematis untuk mengembangkan praktik pembelajaran pada Mata Kuliah
Ilmu Sosial Budaya Dasar, dengan melakukan berbagai tindakan praktis dan terprogram.
Page 34
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
69
Penelitian tindakan kelas ini mengambil desain yang dikembangkan oleh Kemmis
dan Mc Taggart yang merupakan pengembangan dari konsep Kurt Lewin. Model Kurt
Lewin yang terdiri atas empat komponen yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan
refleksi, kemudian dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart di mana pelaksanaan
tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Tindakan dan pengamatan tidak
dapat dipisahkan pelaksanaannya satu sama lain karena proses pengamatan dilakukan pada
saat tindakan diberikan. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih desain PTK dari
Kemmis dan Mc Taggart sebagai desain penelitian.
Kegiatan penelitian ini direncanakan menggunakan lebih dari satu siklus PTK,
sampai penelitian mendapatkan hasil refleksi yang optimal khususnya pada peningkatan
aktivitas dan prestasi belajar Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar Mahasiswa Program
Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan.
Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada Program Studi Pendidikan Bahasa
Inggris STKIP PGRI Pacitan dalam waktu empat bulan, yaitu Oktober 2012 hingga bulan
Januari 2013.
Target/Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris,
Kelas A Semester 3 tahun akademik 2012-2013, yang berjumlah 35 orang.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Data utama yang dibutuhkan pada penelitian data tentang aktivitas mahasiswa
selama mengikuti proses pembelajaran dan data tentang prestasi belajar mahasiswa pada
Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar. Data tentang aktivitas mahasiswa selama
mengikuti proses pembelajaran diambil dengan teknik pengumpulan data dokumentasi.
Sementara data mengenai prestasi belajar mahasiswa pada Mata Kuliah Ilmu Sosial
Budaya Dasar diambil dan diukur melalui metode tes, dengan menggunakan instrumen
berupa tes pemahaman konsep ilmu sosial budaya dasar.
Prosedur Penelitian
Secara umum langkah kegiatan pelaksanaan PTK pada kegiatan penelitian Siklus I
adalah sebagai berikut.
a. Perencanaan
Pada tahap ini, rencana yang akan dibuat adalah sebagai berikut.
1) Merumuskan masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris;
2) Menyusun silabus dan rancangan pembelajaran (RPP) Mata Kuliah Ilmu Sosial
Budaya Dasar;
3) Mengembangkan bahan ajar Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar;
4) Menyusun lembar tes prestasi belajar Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
b. Tindakan
Melaksanakan pembelajaran pada Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar untuk
meningkatkan prestasi belajar mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris,
sesuai dengan rencana yang telah disusun.
c. Observasi
Page 35
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
70
Pengamatan dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui bagaimana aktivitas
belajar mahasiswa dan berbagai kendala penerapan model pembelajaran jigsaw, baik
yang dihadapi mahasiswa maupun dosen selama tindakan pembelajaran.
d. Refleksi
Refleksi dilakukan untuk menganalisis hasil tindakan agar dapat memperbaiki
tindakan berikutnya. Kegiatan refleksi ini dilakukan oleh peneliti. Siklus dalam setiap
tindakan ini diakhiri atau dihentikan dengan indikator sebagai berikut.
1) Hasil observasi telah menunjukkan bahwa minimal 50% mahasiswa telah aktif
melaksanakan setiap aspek aktivitas belajar sesuai dengan rencana yang telah
disusun;
2) Hasil tes telah menunjukkan bahwa minimal 75% mahasiswa memiliki prestasi
baik, yakni mendapatkan nilai di atas 75.
Apabila kedua indikator tersebut belum terpenuhi, maka dilakukan siklus berikutnya
dengan berdasar pada hasil refleksi pada siklus sebelumnya sampai terpenuhinya kedua
indikator tersebut.
Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan teknik interaktif berdasar
hasil tes dan hasil observasi proses pembelajaran, dengan langkah berikut:
1) Melakukan reduksi, yaitu mengecek dan mencatat kembali data-data yang telah
terkumpul;
2) Melakukan interpretasi, yaitu menafsirkan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan;
3) Melakukan inferensi, yaitu menyimpulkan apakah dalam pembelajaran ini terjadi
peningkatan prestasi belajar atau tidak (berdasar hasil tes);
4) Tahap tindak lanjut, yaitu merumuskan langkah-langkah perbaikan untuk siklus
berikutnya atau dalam pelaksanaan di lapangan setelah siklus berakhir berdasar
inferensi yang telah ditetapkan;
5) Pengambilan kesimpulan, diambil berdasarkan analisis hasil-hasil observasi yang
disesuaikan dengan tujuan penelitian ini. Kemudian dituangkan dalam bentuk
interpretasi dalam bentuk pernyataan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus, di mana pada masing-masing siklus
dilaksanakan dalam tiga pertemuan. Berikut adalah jadwal pelaksanaan penelitian pada
tiap pertemuan masing-masing siklus.
Tabel 4. Jadwal Pengajaran pada Tiap Siklus
Siklus Pertemuan
ke- Hari/tanggal
Jumlah
Mahasiswa
I I Selasa, 9 Oktober 2012 35
II Selasa, 16 Oktober 2012 35
III Selasa, 23 Oktober 2012 34
II I Selasa, 30 Oktober 2012 33
II Selasa, 6 November 2012 35
III Selasa, 13 November 2012 35
III I Selasa, 20 November 2012 35
II Selasa, 27 November 2012 34
III Selasa, 4 Desember 2012 35
Page 36
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
71
Hasil observasi tiap pertemuan pada masing-masing siklus, diketahui bahwa terjadi
peningkatan aktivitas belajar mahasiswa. Peningkatan terjadi pada setiap indikator yang di
tetapkan, yakni partisipasi mahasiswa dalam berdiskusi, mengajukan pertanyaan,
menjawab pertanyaan, dan mempertahankan argumen. Berikut adalah deskripsi aktivitas
mahasiswa berdasarkan hasil observasi.
Gambar 1. Grafik partisipasi mahasiswa
dalam berdiskusi
Gambar 2. Grafik partisipasi mahasiswa
dalam mengajukan pertanyaan
Gambar 3. Grafik partisipasi mahasiswa
dalam menjawab pertanyaan
Gambar 4. Grafik partisipasi mahasiswa
dalam mempertahankan argumen
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada keempat indikator yang ada, terjadi
peningkatan aktivitas siswa. Hasil refleksi dan perbaikan terus menerus yang dilakukan
terhadap pelaksanaan model pembelajaran jigsaw pada tiap siklus, mampu memberikan
peningkatan yang signifikan terhadap aktivitas belajar mahasiswa. Bahkan aktivitasnya
melampaui dari target yang telah ditetapkan sebelumnya. Berikut adalah persentase rata-
rata aktivitas mahasiswa pada tiap siklus.
Tabel 5. Rata-rata aktivitas mahasiswa pada Tiap Siklus
Aspek yang diamati Rata-rata Aktivitas
Siklus I % Siklus II % Siklus III %
Aktivitas mahasiswa dalam
berdiskusi 9,33 27% 16,67 48% 28,67 82%
Aktivitas mahasiswa dalam
mengajukan pertanyaan 8,33 24% 16,67 48% 28,33 81%
Page 37
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
72
Aspek yang diamati Rata-rata Aktivitas
Siklus I % Siklus II % Siklus III %
Aktivitas mahasiswa dalam
menjawab pertanyaan 9,00 26% 18,00 51% 29,33 84%
Aktivitas mahasiswa dalam
mempertahankan argumen 3,33 10% 9,33 27% 17,33 50%
Hasil penelitian yang diperoleh dari tes, diketahui bahwa pada tiap siklus terjadi
peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap materi bahasan pada Mata Kuliah Ilmu
Sosial Budaya Dasar. Bahkan peningkatannya pun melampaui target yang telah ditetapkan
semula. Berikut adalah perbandingan sebaran nilai dari ketiga siklus yang ada.
Tabel 6. Perbandingan Hasil Belajar Tiap Siklus
Siklus I Siklus II Siklus III
Mean 65,43 71,77 81,26
Median 65,00 73,00 84,00
Modus 74,00 77,00 85,00
Variansi 88,72 45,71 35,73
Standar Deviasi 9,42 6,76 5,98
Ketuntasan 0 43% 83%
Tabel di atas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar mahasiswa
yang signifikan. Setelah dilakukan refleksi dan perbaikan pada tiap siklus, dihasilkan
prestasi belajar mahasiswa yang sangat memuaskan, yakni 83% mahasiswa yang
memperoleh nilai di atas 75. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan model
pembelajaran mampu meningkatkan prestasi belajar mahasiswa Pendidikan Bahasa
Inggris pada Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Simpulan dan Saran
Berpijak pada hasil dari penelitian di atas, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1) penggunaan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan aktivitas belajar
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Pacitan;
2) penggunaan model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar Mata
Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
Inggris STKIP PGRI Pacitan.
Berpijak dari kesimpulan di atas, dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:
1) untuk mencapai hasil belajar yang memuaskan, mahasiswa hendak lebih aktif dan
sungguh-sungguh dalam belajar;
2) dosen atau guru perlu memberikan inovasi dengan menerapkan berbagai model
pembelajaran baru untuk meingkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa;
3) dosen atau guru yang ingin menerapkan model pembelajaran jigsaw hendaknya
mempersiapkan dengan baik perangkat pembelajaran yang diperlukan, relevansi
dengan bahan ajar, serta memperhatikan alokasi waktu yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., Suhardjono dan Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara.
Page 38
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
73
Aunurrahman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Hamalik, O. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibrahim, M., F. Rachamadiarti, M. Nur dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif.
Surabaya: University Press.
Jihad dan Haris. 2009. Evaluasi pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.
Kunandar. 2010. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan
Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, R. E. 2010. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan Lita.
Bandung: Nusa Media.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, kuantitatif dan R
& D). Bandung: Alfabeta.
Suyatno. 2009. Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.
Usman, U. dan L. Setiawati. 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2008. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Page 39
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
74
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM MENGHADAPI
PERGESERAN NORMA SEKS DI KALANGAN PELAJAR
M. Fashihullisan STKIP PGRI Pacitan
Abstrak
Pembelajaran di sekolah merupakan pembelajaran yang dilakukan agar siswa dapat
menghadapi kehidupan nyata pada masa sekarang maupun di waktu yang akan datang.
Kehidupan nyata di masa sekarang maupun yang akan datang adalah kondisi pergeseran
norma berkaitan dengan seks pra nikah di kalangan pelajar. Pergeseran itu banyak terungkap
dari berbagai macam hasil penelitian dari waktu-ke waktu di beberapa tempat dan kota.
Pembelajaran kontekstual ini tertumpu pada pengemanbangan kurikulum yaitu
didasarkan pada unsur-unsur kurikulum meliputi: materi, metode, media, alokasi waktu dan
evaluasi. Pengembangan materi diarahkan pada semua mata pelajaran harus mengangkat tema
sehingga terkait dengan fenomena pergeseran norma seks bebas di kalangan pelajar. Metode
yang digunakan juga harus berkaitan dengan metode pemanfaatan teknologi informasi dengan
melibatkan juga orang tua. Media yang dipergunakan adalah media berbasis teknologi
informasi sehingga tidak membosankan. Alokasi waktu pembelajaran harus dikembangkan di
luar kelas juga sehingga dapat menekan pemakaian waktu untuk hal-hal negatif. Evaluasi juga
dikembangkan tidak berbasis evaluasi akhir tetapi lebih mengarah pada evaluasi berbasis
proses.
Beberapa uraian mengenai pembelajaran kontekstual dalam menghadapi pergeseran
norma seks pra nikah di kalangan remaja dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Pembelajaran
kontekstual akan meletakkan guru, orang tua dan siswa dalam satu tahap yang sama bahwa
sekarang telah terjadi pergeseran norma seks pra nikah di kalangan remaja, 2) Pembelajaran
kontekstual akan menempatkan kurikulum yang terdiri dari materi, metode, media, alokasi
waktu dan evaluasi sebagai suatu perencanaan dan pengembangan untuk mempersiapkan diri
menghadapi kenyataan terjadinya pergeseran norma seks pra nikah di sekitar mereka sehingga
dapat menghindari hal tersebut 3) Pembelajaran kontekstual akan memindahkan fenomena
pergeseran norma seks pra nikah dari ruang yang sulit dikenali ke ruang edukasi sehingga apa
yang terjadi pada siswa dalam kecenderungan aktivitas seks pra nikah dapat dengan cepat
dikenali dan dicegah oleh guru dan kemudian orang tua.
Keywords: siswa, seks, kontekstual
LATAR BELAKANG
Pembelajaran di sekolah merupakan suatu usaha untuk mempersiapkan diri
generasi penerus dalam menghadapi kenyataan dan tantangan hidup yang sedang dihadapi
dan akan dihadapi. Pendekatan keilmuan, nalar dan analitik diharapkan membantu setiap
pelajar dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi maupun akan
dihadapi. Oleh karena itulah menjadi penting pembelajaran di sekolah menghadirkan
realitas kehidupan sehingga sekolah memberikan kontribusi yang berharga bagi setiap
pelajar dalam menghadi kehidupannya.
Tantangan hidup yang sedang dihadapi dan akan dihadapi oleh para pelajar adalah
terjadinya pergeseran nilai di lingkungan mereka. Pergeseran nilai ini yang oleh banyak
kalangan dikatakan sebagai weseternisasi, dimana norma-norma lokal telah tergerus oleh
norma-norma dari Barat atau mungkin juga digantikan oleh norma-norma Barat tersebut
karena dianggap lebih maju (Sztompka, 2004). Salah satu bentuk pergeseran norma
tersebut adalah norma mengenai seks yang didalamnya adalah hubungan seks pra nikah
yang dalam norma Barat dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan dapat diterima.
Dugaan telah terjadi pergeseran norma mengenai seks tersebut nampak dengan
jelas dalam banyak hasil penelitian di berbagai kota di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan
Page 40
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
75
Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, BPS 2004) menunjukkan bahwa remaja setuju
melakukan hubungan seks jika akan menikah (16,2%), saling mencintai (12,0%) dan suka
sama suka (12,3%).Harian Pikiran Rakyat edisi Kamis, 29 Juli 2004 menuliskan,
sedikitnya 38.288 remaja di Kabupaten Bandung pernah berhubungan intim di luar nikah
atau melakukan hubungan seks bebas. Survei yang dilakukan BKKBN didapatkan hasil 40%
remaja berusia 15-24 tahun telah mempraktikkan seks pranikah (tahun 2002 terhadap 2.880
remaja). Serupa dengan beberapa hasil penelitian tersebut, hasil penelitian yang baru saja
dilakukan di Kota Pacitan mengenai persepsi keperawanan di kalangan mahasiswa.
Persepsi mengenai keperawanan menunjukkan hasil yang cukup rendah yang juga berarti
memperlihatkan persepsi yang tidak terlalu menghargai keperawanan. Hal yang cukup
mengejutkan adalah jawaban dari hampir 40% dari responden yang sependapat bahwa
tidak masalah seorang perempuan tidak lagi perawan asalkan saat menikah jujur
disampaikan pada suaminya. Jawanan ini sungguh benar-benar mengejutkan karena
memperlihatkan bahwa pandangan acuh akan keperawanan di kalangan mahasiswa.
Wawancara lanjutan dilakukan pada beberapa responden semakin mengejutkan
dalam penelitian tersebut. Seorang responden perempuan ketika ditanyai apakah pernah
melakukan aktivitas berciuman ketika berpacaran justru bertanya balik dengan bertanya
pada peneliti “apakah salah bila seorang yang berpacaran itu berciuman? ”. Kemudian
ketika peneliti menanyakan mengenai apakah banyak remaja perempuan yang telah
menonton film porno, maka responden tersebut dengan enteng menyebut bahwa apabila
saat sekarang ada remaja perempuan yang mengaku belum pernah menonton film porno
maka dia merupakan anak yang munafik. Responden tersebut juga menyatakan bahwa
mulai mengenal aktivitas seksual seperti ciuman dan menonton film porno telah
dilakukannya dengan teman-temannya sejak berada di tahun-tahun awal di bangku sekolah
menengah atas.
Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan dengan kuat bahwa saat sekarang
kegiatan seks pra nikah banyak dipandang bukan sebagai penyimpangan sosial lagi. Hal
ini tentu saja berbeda dengan di masa lalu ketika seks pra nikah dianggap sebagai suatu
penyimpangan sosial, sehingga pelakunya harus malu atau bahkan mendapatkan sangsi
sosial karena melanggar norma. Saat sekarang hampir semua remaja telah melakukan
aktivitas yang mengarah pada seks pran nikah atau bahkan kegiatan seks pra nikah
sehingga perilaku tersebut tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan sosial tetapi
merupakan norma baru yang akan mapan.
Pertanyaan besar yang harus dijawab oleh sekolah maupun oleh para guru adalah
apakah akan membiarkan hal tersebut terjadi sehingga seks pra nikah akan benar-benar
menjadi norma baru? Tentu saja semua sekolah dan juga semua guru tidak akan rela
membiarkan hal tersebut terjadi. Apabila hal itu terjadi maka akan sangat sulit untuk
menanggulangi lagi perilaku seks bebas di kalangan remaja karena telah menjadi norma
yang mapan dan para remaja tidak akan merasakan beban untuk melakukannya bahkan
suatu saat akan merasa bangga melakukannya. Dimanakan kemampuan sekolah untuk
melakukan rekayasa sosial tersebut ? Efektifkah ikhtiar yang mungkin dilakukan oleh
sekolah dibandingkan serangan faktor-faktor globalisasi yang lebih masif di kalangan
pelajar dari sekedar apa yang ada di sekolah?
PEMBAHASAN
Kurikulum Sekolah
Sekolah dalam melakukan kegiatan belajar dipandu oleh kurikulum yang dirancang
dan diterapkan oleh guru dengan fasilitasi sekolah. Kurikulum dimasa lalu merupakan
Page 41
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
76
suatu paket yang diberikan oleh pemerintah untuk diterapkan dalam kegiatan belajar
sekolah. Guru tidak diberikan ruang untuk merancang dan mengembangkan kurikulum
karena guru tidak lebih hanya sebagai penyampai pesan kurikulum dalam kegiatan belajar
di sekolah.
Pola tersebut menjadikan kurikulum tidak lebih hanya sebagai paket pengetahuan
yang harus ditransfer guru kepada para siswa secara seragam bahkan dalam lingkung
nasional. Oleh karena itulah sering ditemukan kurikulum bukan merupakan jawaban atas
kebutuhan para siswa dalam waktu tertentu atau daerah tertentu. Kurikulum menjadi
tumpul untuk menghadirkan problematika nyata di sekitar kehidupan siswa karena
problematika yang diangkat kurikulum terkadang bukan merupakan bagian dari kehidupan
para siswa tersebut. Kurikulum yang ditinjau dalam periode masa tertentu juga seringkali
tergerus oleh pergeseran yang terjadi dengan sangat cepat sehingga kurikulum menjadi
tertinggal di belakang perubahan.
Sebagai contoh pada masa lalu pernah dirasakan ketika dalam buku ajar yang
merupakan bagian paket kurikulum yang mengajarkan pada anak kelas satu SD bahwa:
“Bapak Budi pergi ke sawah, Ibu Budi memasak di dapur”. Guru akan sangat sulit untuk
menjelaskan pada siswanya yang hidup di perkotaan dimana Bapak para muridnya di
sekolah tidak pernah ke sawah karena bekerja di kantor, dan juga yang memasak di dapur
adalah pembantu rumah tangga. Oleh karena itulah justru kurikulum semacam ini
bukannya menyelesaikan masalah justru semakin menambah masalah bagi guru maupun
bagi siswa.
Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan
cakrawala yang berbeda dalam perencanaan, pengembangan dan penerapan kurikulum.
Kurikulum dengan unsur; materi, media, metode, alokasi waktu dan evaluasi tersebut
diserahkan pada guru dalam kerangka pengendalian standar kompetensi dan kompetensi
dasar yang diberikan oleh pemerintah. Kelima unsur dalam kurikulum tersebut bebas
untuk dikembangkan dan ditentukan oleh guru, karena guru merupakan wujud kehidupan
nyata seseorang yang paling memahami unsur-unsur dalam kurikulum yang meliputi:
a. Materi apa yang harus disampaikan pada para siswa sebagai jawaban atas sesuatu yang
dibutuhkan para siswa.
b. Media yang efektif membantu penyampaian materi pada para siswa.
c. Metode apa yang paling mudah diterapkan oleh guru dan menyenangkan bagi para
siswa.
d. Kebutuhan waktu yang diperlukan oleh para siswa untuk menuntaskan pembelajaran
pada materi tertentu.
e. Metode evaluasi apa yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa kegiatan belajar
telah tuntas dan berjalan sebagaimana yang direncanakan.
Penerapan KTSP tersebut kemudian disempurnakan dengan penerapan kurikulum
2013 yang berbasis tematik sehingga seringkali disebut kurikulum tematik. Kurikulum ini
lebih menekankan pada tema-tema nyata sehingga siswa merasakan bahwa kegiatan
belajar merupakan sesuatu yang ada dalam kehidupan nyata untuk dikaji dan dianalisis
dalam kegiatan belajar. Kurikulum tematik juga diharapkan memberikan ruang yang luas
pada para siswa sebagai subyek kegiatan belajar di sekolah.
Penerapan KTSP yang kemudian disusul kurikulum 2013 memberikan ruang bagi
guru untuk mengembangkan materi, media, metode, alokasi waktu dan evaluasi dalam
menghadapi perubahan norma seks pra nikah di kalangan remaja. Guru dapat
mengembangkan dan memilih materi-materi yang relevan untuk menangkal pergeseran
norma berkaitan seks pra nikah di kalangan remaja. Metode dan media yang dipakai juga
dapat disesuaikan dengan karakter para siswa yang merupakan masa remaja. Alokasi
Page 42
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
77
waktu juga dapat disesuaikan sehingga para siswa dapat benar-benar efektif belajar
mengenai pergeseran norma seks pra nikah. Evaluasi merunpakan hal yang tidak kalah
penting dalam menanggulangi fenomena ini karena guru dapat mengembangkan evaluasi
yang lebih luas misalnya dengan berorientasi proses bahkan berorientasi yang lebih luas.
Kebutuhan Pembelajaran Kontekstual
Ruang yang sangat luas bagi para guru tersebut pada kenyataan kurang berjalan
secara efektif terutama ketika berhadapan dengan fenomena pergeseran norma seks pra
nikah di kalangan remaja. Guru banyak yang sudah mengetahui tetapi kurang mampu
melakukan gerakan prefentif. Guru juga hanya terkesan asal lalu dan bahkan banyak
ditemukan juga guru pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada siswanya.
Akar dasar permasalahan ini adalah banyak guru yang hidup dan menjalankan
hidup terpisah dari kehidupan siswa bahkan masyarakat. Guru disibukkan dengan rutinitas
kehidupan di sekolah dengan segala perangkat administrasi kurikulum sehingga kurang
memiliki kesempatan untuk memahami apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Masyarakat termasuk orang tua siswa yang ada didalamnya seringkali secara bulat telah
mempercayakan apa yang terjadi pada para siswa di usia remaja ini pada sekolah dan guru
sehingga tidak pernah merasa perlu lagi berinteraksi dan berkomunikasi dengan guru
maupun sekolah.
Guru dan sekolah pada satu sisi, serta orang tua dan masyarakat pada sisi lain,
ternyata siswa dalam usia remaja tersebut berjalan pada sisi yang lain lagi. Mereka yang
semestinya berjalan dalam satu jalur dengan peran berbeda-beda ternyata berada di
persimpangan yang satu dengan yang lain sama-sama tidak mengenal. Siswa yang pada
masa remaja tersebut telah jauh meninggalkan guru dan orang tua akibat akses pada
perkembangan teknologi informasi. Para siswa yang juga berada pada masa remaja
tersebut telah memasuki dunia yang guru dan orang tua juga belum pernah mengalami
bahkan untuk sekedar menerka pun belum pernah. Apa yang dialami oleh guru dan orang
tua ketika mereka remaja sangat berbeda dengan siswa atau anak mereka ketika pada masa
remaja sekarang.
Sebagai contoh, saat sekarang teknologi bahkan mampu menghadirkan film-film
dewasa dalam ruang yang sangat pribadi dan tertutup para sisiwa yang masih remaja ini.
Film porno dapat di downlod dari internet dan kemudian dilihat secara pribadi oleh
seorang siswa tanpa melibatkan pihak lain dan jasa orang lain. Mereka juga dapat dengan
mudah menghapus file film porno tersebut setelah selesai meliahatnya. Dapat dibayangkan
betapa mengerikannya kondisi semacam ini.
Kondisi semacam inilah yang kemudian secara berlahan dan pasti secara bersama-
sama merubah persepsi para pelajar dan pada tahap selanjutnya merubah pula perilaku
mereka untuk bersinggungan bahkan melakukan kegiatan seks pra nikah. Sebagaimana
fakta yang baru saja muncul ke permukaan yaitu ketika pelajar di salah satu SMP negeri di
Jakarat yang ternyata melakukan kegiatan seksual secara bersama-sama dan kemudian
merekamnya. Berita ini sungguh mengagetkan jajaran guru di sekolah itu dan juga para
orang tua. Kekagetan pada para guru dan orang tua itu memperlihatkan bahwa kesadaran
mereka telah tertinggal beberapa langkah dengan apa yang terjadi pada para remaja.
Berpijak dari kondisi seperti itulah maka pembelajaran kontekstual diharapkan
akan menempatkan guru, orang tua dan siswa yang dalam usia remaja berada dalam satu
pemahaman yang sama. Guru dan orang tua harus meletakkan diri pada sebuah kesadaran
bahwa apapun kondisi anak-anak mereka dan siswa mereka pada kenyataannya mereka
telah masuk dalam sebuah pergeseran besar norma yang melingkupi kehidupan seks pra
nikah. Tidak seoarangpun guru dan orang tua yang masih menyampaikan bahwa siswa dan
Page 43
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
78
anak mereka tidak dalam kondisi yang memungkinkan dengan aktivitas yang mengarah
seks pra nikah karena hal tersebut pada saat sekarang sudah merupakan keniscayaan
adanya.
Pemahaman akan kondisi nyata yang melingkupi remaja tersebut maka kemudian
dijadikan pijakan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulumnya. Semua guru
secara bahu-membahu dengan pijakan mata pelajaran yang diampu harus memasukkan
kondisi nyata yang ada di kalangan remaja tersebut pada sebuah bangunan utuh
kurikulum. Oleh karena itulah sudah tidak zamannya lagi seorang guru yang mengatakan
bahwa seks pra nikah di kalangan siswa dalam usia remaja merupaka kenakalan remaja
dan penyimpangan sosial sehingga harus ditangani secara intensif oleh guru bimbingan
konseling dan guru agama.
Semua guru apapun mata pelajarnya dengan kurikulum tematik dapat menerapkan
kondisi nyata tersebut dalam wujud pembelajaran kontekstual dari sisi materi, media,
metode, alokasi waktu dan evaluasinya. Berikut adalah salah satu contoh pengembangan
kurikulum untuk pembelajaran kontekstual yang telah mempertimbangkan pergeseran
norma seks pra nikah di kalangan remaja:
a. Materi
Materi pergeseran norma dibahas dalam semua tema yang memungkinkan berkaitan
dengan hal ini misalnya pada mata pelajaran agama berkaitan dengan keimanan pada
Tuhan, pada mata pelajaran Biologi berkaitan dengan resiko-resiko fisik dan
kesehatan, pada mata pelajaran ekonomi berkaitan dengan beban ekonomi yang harus
ditanggung ketika terjadi resiko seks pra nikah pada remaja.
b. Metode
Guru sudah mulai mengembangkan metode belajar yang melibatkan orang tua
misalnya tentang pemanfaatan media internet yang sehat, metode berbasis
pengembangan kreativitas remaja dengan arah positif dalam pemanfaatan teknologi
informasi melalui proyek pembuatan film dan beberapa metode lainnya.
c. Media
Guru tidak lagi terpancang dengan media-media tekstual semacam buku, tetapi sudah
mulai mengarahkan para siswa untuk memanfaatkan media nyata di sekitar kehidupan
mereka misalnya pengamatan perilaku seks remaja yang ada dilingkungannya dan
resiko-resiko yang dihadapi.
d. Alokasi Waktu
Alokasi waktu dalam pembelajaran kontekstual tidak hanya terpancang pada alokasi
waktu di kelas tetapi bagaimana mengalokasikan waktu dalam sebuah kegiatan belajar
yang menarik meskipun di luar sekolah misalnya dengan menyibukkan mereka dalam
proyek-proyek yang mengembangkan kreativitas dengan alokasi waktu di luar kelas.
e. Evaluasi
Pembelajaran kontekstual lebih mengarahkan pada evaluasi yang berorientasi proses
sehingga guru juga secara aktif memahami dan mendalami proses-proses yang terjadi
pada siswanya.
Dampak Pembelajaran Kontekstual tentang Seks Pra Nikah
Pembelajaran konteskstual mengenai seks pra nikah pada kalangan siswa
diharapkan berdampak positif pada pemahaman mereka untuk tidak melakuan aktivitas
seks pra nikah. Pergeseran mengenai norma seks pra nikah yang ada di sekitar mereka
tidak akan bekerja dengan efektif pada siswa yang telah melakukan pembelajaran
kontekstual tersebut karena mereka telah dibekali oleh semua pengetahuan, sikap dan
keterampilan dalam pembelajaran di sekolah. Para siswa tersebut ibarat tentara yang sudah
Page 44
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
79
dibekali semua persenjataan termasuk juga sikap dan keterampilan dalam menghadapi
peperangan.
Dapak lain yang tidak kalah penting adalah perilaku seks pra nikah pada kalangan
remaja bukan merupakan sesuatu yang tidak di permukaan. Pembelajaran kontekstual akan
menempatkan pergeseran norma tersebut dalam ruang edukatif sehingga guru dan orang
tua akan dengan mudah mengenali sikap dan perilaku para siswa tersebut mengenai
pergeseran norma seks pra nikah. Oleh karena itulah akan mudah dikenali apabila terdapat
indikasi-indikasi yang mengarah pada sikap dan perilaku siswa pada aktivitas seks pra
nikah sehingga guru dan orang tua segera dapat melakuan langkah-langkah preventif
pencegahan.
Kesimpuan
Uraian mengenai pembelajaran kontekstual dalam menghadapi pergeseran norma
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pembelajaran kontekstual akan meletakkan guru, orang tua dan siswa dalam satu tahap
yang sama bahwa sekarang telah terjadi pergeseran norma seks pra nikah di kalangan
remaja.
2. Pembelajaran kontekstual akan menempatkan kurikulum yang terdiri dari materi,
metode, media, alokasi waktu dan evaluasi sebagai suatu perencanaan dan
pengembangan untuk mempersiapkan diri menghadapi kenyataan terjadinya
pergeseran norma seks pra nikah di sekitar mereka sehingga dapat menghindari hal
tersebut.
3. Pembelajaran kontekstual akan memindahkan fenomena pergeseran norma seks pra
nikah dari ruang yang sulit dikenali ke ruang edukasi sehingga apa yang terjadi pada
siswa dalam kecenderungan aktivitas seks pra nikah dapat dengan cepat dikenali dan
dicegah oleh guru dan kemudian orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Masland, RP. 1997. Apa yang Ingin Diketahui Remaja tentang Seks. Alih Bahasa: Windy,
MT. Jakarta: Bumi Aksara.
Mitra Citra Remaja-PKBI Jabar. 1999. Perkembangan Seksualitas Remaja.
Schram, Wilbur. 1984. Media Besar Media Kecil Alat dan Teknologi untuk Pendidikan.
IKIP Semarang Press.
Suwarsono dan So, Alvin Y. Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia. LP3ES.
Jakarta.
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media. Indonesia.
Page 45
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
80
KESALAHAN BELAJAR MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN
SOAL PROGRAM LINEAR
Sofyan Mahfudy Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Pacitan
Jl. Cut Nyak Dien No.4A Ploso Pacitan email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesalahan yang dilakukan mahasiswa
dalam menyelesaikan soal program linear dan untuk mengetahui penyebab kesalahannya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah metode tes tertulis dan metode wawancara. Analisis data dilakukan
dengan reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), penarikan
kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/ verification). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: Pada langkah pemodelan soal cerita, kesalahan mahasiswa dalam
menyelesaikan soal program linear terjadi pada: (a) penggunaan tanda pertidaksamaan
pada model matematis dan (b) kesalahan dalam memanipulasi informasi dalam soal
menjadi bentuk matematis. Penyebab kesalahan tersebut adalah lemahnya pemahaman
mahasiswa terhadap bahasa soal terutama bahasa matematis. Pada langkah penyelesaian
dengan metode garis selidik, kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan soal program
linear terjadi pada: (a) proses menggambar garis dari persamaan kendala, (b) penentuan
daerah layak, dan (c) penggunaan garis selidik untuk menentukan titik optimum.
Penyebab kesalahan tersebut adalah: (a) lemahnya penguasaan materi prasyarat tentang
garis, (b) kurang terampilnya penggunaan metode pencarian titik layak yang mewakili
daerah penyelesaian, dan (c) lemahnya pemahaman terhadap konsep dan tujuan garis
selidik. Pada langkah penyelesaian dengan metode simplek, kesalahan mahasiswa dalam
menyelesaikan soal program linear terjadi pada: (a) penentuan bentuk kanonik siap
simplek dan (b) penentuan tablo baru. Penyebab kesalahan tersebut adalah: (a)
pemahaman yang lemah terhadap konsep variabel pengetat dan variabel semu, (b)
ketrampilan yang kurang dalam penentuan operasi baris elementer yang digunakan untuk
mengisi tablo baru, dan (c) ketrampilan yang kurang dalam komputasi bilangan.
Keywords: kesalahan belajar, soal program linear
PENDAHULUAN
Penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi salah satunya adalah untuk menghasilkan
mahasiswa yang mempunyai kemampuan dalam bidang tertentu dan mampu menggunakannya
dalam memecahkan masalah sehari-hari (Undang-Undang Nomor 20 tentang Sisdiknas, 2003).
Sejalan dengan itu, mata kuliah program linear sebagai mata kuliah wajib bagi mahasiswa program
studi pendidikan matematika juga memberikan kemampuan kepada mahasiswa dalam
menyelesaikan masalah sehari-hari terutama yang berkaitan dengan masalah optimisasi.
Optimisasi ini bertujuan untuk mendapatakan solusi penyelesaian yang paling menguntungkan
(optimal) dan tetap memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan atau yang lebih dikenal dengan kendala
(Susanta, 1990).
Pada umumnya mata kuliah program linear yang diberikan kepada mahasiswa program
studi pendidikan matematika difokuskan pada materi metode garis selidik dan metode simplek
yang sederhana. Dengan materi tersebut diharapkan mahasiswa memiliki dasar berpikir yang benar
dalam memecahkan masalah-masalah optimisasi sederhana dalam kehidupan sehari-hari dan juga
pemahaman yang benar untuk bekal sebagai calon pendidik nantinya. Oleh karenanya, penguasaan
materi program linear menjadi sangat penting bagi mahasiswa program studi pendidikan
matematika.
Dalam kegiatan perkuliahan mata kuliah program linear, tidak bisa dipungkiri masih
terdapat mahasiswa yang mengalami kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal program linear.
Pada penyelesaian soal program linear bentuk soal cerita misalnya, mahasiswa mengalami
Page 46
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
81
kesalahan pada aspek bahasa atau menterjemahkan maksud soal dan kesalahan pada aspek strategi
atau penyelesaian masalah (Nur Kholid, 2011). Identifikasi awal yang dilakukan peneliti di kelas
juga menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang masih lemah dalam memodelkan soal cerita ke
dalam bentuk matematis. Padahal penguasaan pembuatan model matematika dalam pemecahan
masalah sangat penting karena sebenarnya “models, or idealized representations, are an integral
part of everyday life” (Hillier dan Lieberman dalam Budiyono, 2008). Ini menunjukkan bahwa
pemodelan matematika dari suatu masalah nyata merupakan bagian yang senantiasa lekat dalam
kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Hiller dan Lieberman dalam Budiyono (2008) menyebutkan “a
mathematical model forms a bridge to the use of high powered mathematical techniques and
computers to analyze the problem”. Ini lebih penting karena ternyata bentuk dari model
matematika adalah sebagai jembatan atau perantara dalam menggunakan matematika dan
komputer untuk menganalisa suatu masalah. Kesalahan yang mungkin juga terjadi adalah pada
proses penyelesaian soal program linear yang sudah berupa model matematika dengan metode
garis selidik dan metode simpleks.
Kesalahan tersebut di atas jika dibiarkan berlanjut akan berpengaruh terhadap kualitas
kompetensi lulusan. Pada akhirnya akan menjadi masalah serius apabila pola kesalahan ini
berlanjut sampai lulusan tersebut menjadi seorang pendidik atau guru yang menyampaikan materi
yang sama pada anak didiknya nanti. Oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk mengetahui
kesalahan belajar mahasiswa dalam mata kuliah program linear melalui suatu tindakan penelitian.
Berangkat dari deskripsi singkat di atas, maka penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk
mendeskripsikan kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal program linear
dan untuk mengetahui penyebab kesalahan mahasiswa tersebut. Hasil penelitian ini nantinya
diharapkan menjadi wahana alternatif dalam memahami kesalahan yang dilakukan mahasiswa
dalam menyelesaikan soal program linear untuk kemudian dilakukan langkah lanjutan sehingga
kesalahan tersebut dapat diminimalisir. Diagram 1 berikut diharapkan dapat mewakili ide dari
penelitian ini yang mana penelitian ini hanya terfokus kepada (a) langkah pemodelan pada soal
cerita, (b) langkah penyelesaian pada metode garis selidik, dan (c) langkah penyelesaian dengan
metode simplek.
Diagram 1. Alur Ide Penelitian
Tidak
Ya
Tidak
Ya Tidak
Ya
Masalah Optimisasi
Bentuk Masalah Nyata (Soal Cerita) Bentuk Matematis
Memodelkan Sala
Letak Kesalahan?
Metode
Garis Selidik Simplek
SalaLetak Kesalahan? Solus Sala
Letak Kesalahan?
Page 47
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
82
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang berupaya untuk
mendeskripsikan kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menyelesaikan soal
program linear. Disebut sebagai penelitian deskriptif karena peneliti melakukan analisis
hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematik (Syaifuddin Azwar, 2007: 6). Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lingkup program studi pendidikan matematika STKIP PGRI
Pacitan dengan kurun waktu pelaksanaan selama 5 bulan yaitu mulai tanggal 1 Januari 2014
sampai dengan tanggal 30 Mei 2014.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa semester VIII jurusan pendidikan matematika
STKIP PGRI Pacitan yang telah menempuh mata kuliah program linear. Dari 3 rombongan belajar
sebanyak 117 mahasiswa, dipilih 5 mahasiswa sebagai subjek penelitian. Kelima mahasiswa
tersebut dipilih berdasarkan identifikasi awal peneliti yang menunjukkan bahwa kelima mahasiswa
tersebut mengalami indikasi kesalahan paling banyak dan bervariasi jenis kesalahannya dalam
menyelesaikan soal materi program linear. Jadi kelima subjek tersebut dimungkinkan dapat
memberikan informasi kesalahan dalam menyelesaikan soal program linear. Subjek dalam
penelitian ini tidak mewakili rombongan belajar yang ada, tetapi hanya mewakili subjek itu
sendiri.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan oleh peneliti melalui teknik tes tertulis dan
teknik wawancara. Instrumen utama pengumpul data kesalahan belajar mahasiswa adalah
peneliti sendiri dan didukung dengan instrumen bantu yang berupa instrumen tes tertulis
dan pedoman wawancara tak terstrukutur. Wawancara digunakan untuk menggali
informasi lebih dalam tentang penyebab kesalahan belajar mahasiswa dan selanjutnya data
yang diperoleh akan dibandingkan dengan data hasil tes tertulis. Jika data dari kedua
metode tersebut memiliki kesamaan, maka disimpulkan data tersebut valid dan akan
dilakukan analisis untuk menghasilkan suatu kesimpulan.
Instrumen tes tertulis terdiri dari 4 butir soal yang rinciannya adalah 2 buah soal
berbentuk soal cerita dan 2 buah yang lainnya adalah soal yang sudah berbentuk model
matematis. Butir instrumen tersebut telah dinyatakan valid oleh validator dan sudah
dilakukan uji coba terhadap butir tersebut untuk mengetahui sejauh mana butir soal
mengukur apa yang seharusnya diukur sehinga dapat menghasilkan data yang diperlukan
dalam penelitian ini. Instrumen tes tertulis secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1
(rincian instrumen tes uraian). Sedangkan instrumen pedoman wawancara tidak
dipaparkan dalam makalah ini.
Tabel 1. Rincian Instrumen Tes Uraian
No Bunyi Soal
1 Seorang peternak ayam pedaging mempunyai 2 jenis vitamin yang dapat diberikan
kepada ayam-ayamnya, yaitu V1 dan V2. Masing-masing vitamin V1 dan V2 ini
mengandung 3 unsur yaitu unsur A, unsur B, dan unsur C. Tiap satu sachet vitamin V1
mengandung 3 mg unsur A, 7 mg unsur B, dan 3 mg unsur C. Sedangkan untuk tiap satu
sachet vitamin V2 mengandung 3 mg unsur A, 2 mg unsur B, dan 8 mg unsur C. Agar
siap dipanen dalam waktu yang tepat, seekor ayam harus memakan unsur A minimal 21
mg, unsur B minimal 24 mg, dan unsur C sebanyak 36 mg. Bila harga satu sachet
vitamin V1 adalah Rp. 1.500,00 dan vitamin V2 adalah Rp. 2.000,00, maka tentukan
banyak sachet vitamin V1 dan V2 yang harus dibeli agar biaya pembelian seminimal
mungkin (diasumsikan faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ayam diabaikan).
Modelkan masalah di atas dan selesaikan dengan garis selidik (metode garis selidik).
Page 48
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
83
No Bunyi Soal
2 Sebuah perusahaan sepatu akan memproduksi dua jenis sepatu yaitu sepatu jenis
olahraga dan sepatu jenis kantor. Setiap pasang sepatu olahraga memerlukan
bahan sebanyak 3600 cm2 kulit sintesis dan menghabiskan waktu penyelesaian
selama 3 jam. Setiap pasang sepatu kantor memerlukan bahan sebanyak 2500
cm2
kulit sintesis dan menghabiskan waktu penyelesaian selama 4 jam. Bahan
kulit sintesis yang tersedia pada perusahaan sebanyak 375m2
dan waktu yang
tersedia untuk membuat kedua jenis sepatu tersebut adalah 3000 jam. Sementara
gudang penyimpanan sepatu jadi (sepatu sudah dalam box/dus) jika ditempati
sepatu jenis olahraga mampu memuat tepat 600 pasang dan jika ditempati sepatu
jenis kantor mampu memuat tepat 500 pasang. Perusahaan telah mempunyai
kesepakatan dengan salah satu retail peralatan olahraga yang berupa
kesanggupan untuk memenuhi pesanan retail tersebut yaitu 170 pasang sepatu
jenis olahraga. Keuntungan untuk satu pasang sepatu olah raga adalah Rp.
40.000,00 dan keuntungan untuk satu pasang sepatu kantor Rp. 50.000,00. Buat
model matematika dari permasalahan tersebut sehingga keuntungan perusahaan
maksimum.
3 Dengan metode simplek, tentukanlah tak negatif dan nilai programnya yang
meminimumkan fungsi sasaran f = dengan kendala sebagai berikut: dan
4 Dengan metode simplek, tentukanlah tak negatif dan nilai programnya yang
memaksimumkan fungsi sasaran f = dengan kendala sebagai berikut:
; ; dan
Teknik Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai sejak sebelum peneliti
memasuki lapangan (Surya Dharma, 2008: 11). Aktivitas dalam analisis data meliputi
reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan kesimpulan,
dan verifikasi (conclusion drawing/ verification). Reduksi data adalah proses analisis
untuk memilih, memusatkan perhatian, menyederhanakan, mengabstraksikan serta
mentransformasikan data yang muncul dari catatan-catatan lapangan (Patilima dalam
Surya Dharma, 2008: 13). Setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah
penyajian (display) data. Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi
terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami.
Langkah berikutnya dalam proses analisis data kualitatif adalah menarik kesimpulan
berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi data. Kesimpulan awal yang dikemukan
masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti kuat yang
mendukung tahap pengumpulan data berikutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang dipaparkan dan dibahas berikut berasal dari data yang valid dan telah
melalui tahapan analisis data. Berikut ini adalah paparan hasil dan pembahasan dari
kesalahan pada masing-masing fokus penelitian.
Langkah Pemodelan pada Soal Cerita
Pada soal nomor 1 dan nomor 2, mahasiswa mengalami kesalahan dalam
memodelkan soal cerita menjadi bentuk matematis. Dengan kata lain mahasiswa salah
dalam mengubah bahasa informal (bahasa sehari-hari) ke formal matematis (formula
matematikanya). Ini dikarenakan mahasiswa kurang memahami bahasa soal, terutama
Page 49
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
84
bahasa yang bersifat matematis seperti kata-kata “minimal” dan “maksimal”. kibatnya,
dalam merumuskan bentuk matematis mahasiswa terbalik dalam penggunaan tanda
pertidaksamaan yaitu ≤ dan ≥. Dari hasil wawancara juga mendukung hal tersebut. Selain
itu mahasiswa kesulitan dalam memahami soal yang memerlukan manipulasi dalam
pemodelannya seperti soal nomor 2.
Pada soal nomor 1, mahasiswa merumuskan bentuk matematisnya dalam bentuk
fungsi kendala sebagai berikut: x ≥ , y ≥ , 3x + 3y ≤ 1, 7x + 2y ≤ , dan 3x + 8y ≤ 36,
dengan pemisalan x adalah banyak sachet vitamin V1 dan y adalah banyak sachet vitamin
V2. Ini menunjukkan mahasiswa belum paham terhadap makna kata “minimal”. Tentunya
kesalahan ini akan berpengaruh terhadap hasil selanjutnya. Sementara pada soal nomor 2,
mahasiswa merumuskan bentuk matematisnya dalam bentuk fungsi kendala sebagai
berikut: x ≥ 17 , y ≥ , 36x + 25y ≤ 375 , 3x + 4y ≤ 3 , dan 6x + 5y ≤ 3 , dengan
pemisalan x adalah banyak pasang sepatu jenis olahraga dan y adalah banyak banyak
pasang sepatu jenis kantor. Bentuk 6x + 5y ≤ 3 diperoleh mahasiswa dari informasi
dalam soal yang terkait dengan volume gudang dan volume box pembungkus masing-
masing sepatu. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih kesulitan dalam memanipulasi
informasi dalam soal yang membutuhkan manipulasi untuk mendapatkan model
matematisnya. Pada proses wawancara, mahasiswa juga mengungkapkan kesulitan yang
sama pada pemodelan yang berkaitan dengan volume tersebut. Selanjutnya mahasiswa
mengungkapkan memperoleh model 6x + 5y ≤ 3 hanya dari perkiraan-perkiraan saja
(bersifat intuitif), tidak melalui proses manipulasi dan penghitungan yang benar.
Langkah Penyelesaian dengan Metode Garis Selidik
Pada soal program linear yang memuat 2 variabel, atau 3 variabel dengan terdapat
bentuk persamaan di dalamnya, maka soal tersebut dapat diselesaikan dengan metode
garis selidik. Pada instrumen dalam penelitian ini terwakili oleh butir soal nomor 1.
Mahasiswa yang berhasil memodelkan soal cerita ke dalam bentuk matematis selanjutnya
mereka melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan dengan metode garis selidik.
Kesalahan yang ditemukan pada proses ini adalah mahasiswa salah dalam menggambar
garis dari persamaan fungsi kendala. Kesalahan ini adalah kesalahan yang sangat
mendasar dan merupakan akibat dari kurangnya pemahaman terhadap materi prasyarat.
Kesalahan selanjutnya setelah mahasiswa dapat menentukan model matematis
adalah mahasiswa salah dalam menentukan daerah penyelesaian. Ini dikarenakan mereka
kesulitan di dalam melakukan upaya untuk menentukan daerah manakah yang memenuhi
kendala tersebut. Kesalahan mahasiswa yang lain adalah mahasiswa salah dalam strategi
penyelesaian. Pada metode garis selidik, penyelesaian mahasiswa masih terpola pada
langkah mensubstitusikan titik-titik perpotongan garis dari persamaan fungsi kendala ke
dalam fungsi sasaran. Solusi atau penyelesaian yang diperoleh memang benar, tetapi
langkah tersebut salah secara konsep penyelesaian dengan metode garis selidik. Dari
dokumentasi penyelesaian terlihat bahwa mahasiswa sebenarnya telah menggambar garis
selidik. Akan tetapi kesalahan yang terjadi adalah mahasiswa hanya menggambar satu
garis selidik saja dan sebagian menggambar dua garis selidik, tetapi tidak melakukan
penyimpulan terhadapnya. Akibatnya langkah dalam mencari titik optimum adalah dengan
mensubstitusikan titik-titik perpotongan garis dari persamaan fungsi kendala ke dalam
fungsi sasaran seperti dijelaskan di awal. Kesalahan ini disebabkan oleh pemahaman yang
kurang terhadap konsep dan tujuan dari garis selidik. Hal ini didukung dari hasil
wawancara yang menunjukkan mahasiswa masih belum paham terhadap konsep dan
tujuan dan garis selidik.
Page 50
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
85
Langkah Penyelesaian dengan Metode Simplek
Soal program linear yang memuat kendala dengan lebih dari dua variabel tentu
tidak bisa diselesaikan dengan metode grafik. Langkah penyelesaian yang digunakan
adalah dengan metode simplek. Pada instrumen dalam penelitian ini terwakili oleh butir
soal nomor 3 dan nomor 4.
Pada metode simplek, kesalahan yang dilakukan mahasiswa adalah dalam
menentukan bentuk kanonik yang siap simplek. Data dari dari hasil tes tertulis dan
wawancara menunjukkan kesamaan. Pada soal nomor 3, mahasiswa merumuskan bentuk
kanonik siap simplek dalam bentuk: (a) 3x + 4y + a ≥ 1 dan x – 2y – b + c ≥ – 13; (b) x +
4y – a = 12 dan x – 2y – b + c = – 1. Dari hasil dokumentasi tes tertulis dan hasil
wawancara diperoleh bahwa mahasiswa kesulitan dalam memahami variabel pengetat dan
variabel semu. Kesalahan yang lain adalah masih adanya suku tetap pada bentuk kanonik
yang bernilai negatif. Padahal syarat bentuk kanonik siap simplek adalah tidak ada suku
tetap yang bernilai negatif. Berdasar data wawancara, mahasiswa mengaku lupa terhadap
persyaratan tersebut.
Kesalahan pada langkah metode simplek yang lain adalah mahasiswa salah dalam
mengisi tablo baru yang lebih optimum. Kesalahan ini disebabkan antara lain adalah
kesulitan dalam menentukan operasi baris elementer dan kesulitan dalam melakukan
komputasi terhadap elemen-elemen baris pada tablo dengan operasi baris elementer yang
ditentukan. Data wawancara juga sejalan dengan data yang ada pada dokumentasi
penyelesaian tes tertulis. Mahasiswa juga mengaku lebih sulit menentukan tablo baru yang
lebih optimum apabila elemen-elemen pada tablo simplek bernilai bukan suatu bilangan
bulat (pecahan).
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka
kesimpulan penelitian dikategorikan menjadi tiga, yaitu: Pertama, Pada langkah
pemodelan soal cerita, kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan soal program linear
dalam bentuk soal cerita terjadi pada: (a) penggunaan tanda pertidaksamaan pada model
matematis (kendala utama) dan (b) manipulasi informasi dalam soal menjadi bentuk
matematis. Penyebab kesalahan tersebut adalah lemahnya pemahaman mahasiswa
terhadap bahasa soal terutama bahasa matematis.
Kedua, Pada langkah penyelesaian dengan metode garis selidik, kesalahan
mahasiswa dalam menyelesaikan soal program linear terjadi pada: (a) proses mengambar
garis dari persamaan fungsi kendala, (b) penentuan daerah penyelesaian (daerah layak
yang memenuhi semua kendala), dan (c) penggunaan garis selidik untuk menentukan titik
optimum. Penyebab kesalahan tersebut adalah: (a) lemahnya penguasaan materi prasyarat
tentang persamaan garis, (b) kurang terampilnya penggunaan metode pencarian titik layak
yang mewakili daerah penyelesaian, dan (c) lemahnya pemahaman terhadap konsep dan
tujuan garis selidik. Temuan lain pada langkah penyelesaian dengan metode garis selidik
adalah mahasiswa masih terpola pada cara mensubstitusikan titik-titik potong garis dari
persamaan kendala-kendala yang ada kemudian mensubstitusikannya pada fungsi sasaran.
Langkah ini pada soal tertentu bisa benar, tetapi tidak bisa untuk mendeteksi jika soal
memiliki solusi atau penyelesaian yang tak berhingga banyaknya.
Ketiga, Pada langkah penyelesaian dengan metode simplek, kesalahan mahasiswa
dalam menyelesaikan soal program linear terjadi pada: (a) penentuan bentuk kanonik siap
simplek dan (b) penentuan tablo baru sebagai tablo yang lebih optimum dari tablo yang
sebelumnya. Penyebab kesalahan tersebut adalah: (a) pemahaman yang lemah terhadap
Page 51
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
86
konsep variabel pengetat dan variabel semu, (b) ketrampilan yang kurang dalam
penentuan operasi baris elementer yang digunakan untuk mengisi tablo baru, dan (c)
ketrampilan yang kurang dalam komputasi bilangan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut di atas dan dengan mengingat
pentingnya pembelajaran program linear di program pendidikan matematika untuk
membekali mahasiswa calon guru, maka saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Dalam pembelajaran dosen menyampaikan soal yang terkait dengan kehidupan sehari-
hari (contextual) agar mahasiswa terbiasa dengan masalah nyata senantiasa memotivasi
mahasiswa untuk menyelesaikan setiap tugas yang dihadapi. 2) Setiap selesai satu topik
bahasan, hendaknya dosen melakukan pemetaan kesalahan belajar mahasiswa dan
melakukan tindak lanjut seperti drilling soal, pemberian tugas terstruktur, dan kegiatan
asistensi (pendampingan). 3) Perlu ada penelitian lebih lanjut yang memetakan kesalahan
berdasar tipe gaya belajar atau gaya berpikir.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono. 2008. Kesalahan Mengerjakan Soal Cerita dalam Pembelajaran Matematika.
Jurnal Paedagogia.11(1), 1 – 8
Muhammad Nur Kholid. 2011. Analisa Kesalahan Mahasiswa dalam Menyelesaikan Soal
Cerita pada Mata Kuliah Program Linear. Prosiding Seminar Nasional Matematika
Program yang diselenggarakan oleh FKIP Jurusan Pendidikan Matematika,
Universitas Muhammadiyah Surakarta tanggal 24 juli 2011. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Surya Dharma. 2008. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian. Jakarta: Ditjen PMPTK,
Depdiknas.
Susanta. 1990. Program Linear. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Syaifuddin Azwar. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Page 52
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
87
KETERKAITAN KECERDASAN SOSIAL EMOSIONAL
DENGAN KENAKALAN REMAJA
Dema Yulianto 1)
Hanggara Budi Utomo 2)
1) Dosen FKIP UNP Kediri
Jl. KH. Ahmad Dahlan 76 Kediri, email: dema [email protected]
2) Dosen FKIP UNP Kediri
Jl. KH. Ahmad Dahlan 76 Kediri, email: [email protected]
Abstrak Kenakalan remaja dilatar belakangi oleh faktor internal dan faktor eksternal, diantaranya
adalah konsep diri. Konsep diri merupakan hal penting dalam membentuk tingkah laku,
termasuk tingkah siswa. Pendidik semakin menyadari dampak konsep diri terhadap tingkah
laku anak dalam kelas dan terhadap prestasinya. Selain faktor konsep diri, faktor internal
penyebab kenakalan remaja diduga terkait kondisi sosial dan ketegangan emosi dalam diri
remaja akibat perubahan-perubahan fisik dan psikologis masa perkembangan remaja.
Ketegangan emosi yang tinggi, dorongan emosi yang sangat kuat dan emosi yang tidak
terkendali membuat remaja lebih mudah meledakkan emosi dan bertindak tidak rasional,
sehingga tidak jarang keadaan emosi yang demikian membuat remaja berperilaku yang
termasuk dalam kenakalan remaja. Menghadapi kehidupan sosial emosional yang penuh
gejolak dan ketegangan emosi yang meninggi, remaja membutuhkan kecerdasan sosial
emosional agar tidak terjerumus pada tindakan yang tidak rasional. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan menganalisis : hubungan antara kecerdasan sosial emosional
dengan kenakalan remaja pada siswa MTsN Puncu Kabupaten Kediri. Dalam penelitian ini
sampel yang digunakan adalah siswa kelas VII, VIII, dan IX sejumlah empat kelas. Pemilihan
sample menggunakan cluster random sampling. Pemilihan kelas IX didapatkan dengan cara
mengundi dengan menggunakan gulungan kertas yang telah ditulis mewakili setiap kelas yang
ada pada MTsN tersebut. Pelaksanaan uji coba dalam penelitian ini menggunakan dua kelas,
sedangkan untuk penelitian menggunakan empat kelas lainnya. Variabel yang terdapat dalam
penelitian ini terdiri variabel tergantung : kenakalan remaja, dan sedangkan variabel bebas
kecerdasan sosial emosional. Hasil penelitian menunujukkan bahwa : kecerdasan social
emosional berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kenakalan remaja.
Kata kunci: kecerdasan sosial emosional, kenakalan remaja
PENDAHULUAN
Permasalahan kenakalan remaja dewasa ini semakin marak dilakukan remaja,
walaupun permasalahan tersebut sudah ada sejak dahulu tetapi sampai sekarang kenakalan
tetap masih ada, bahkan semakin merebak. Kenakalan remaja tidak hanya terjadi di
perkotaan, tetapi saat ini kenakalan remaja juga terjadi di daerah pedesaan, dan tidak
mengenal kelas sosial. Kenakalan remaja dilakukan oleh remaja tahap awal sampai remaja
tahap akhir, tidak hanya siswa SMA bahkan siswa SMP atau MTs telah berperilaku yang
termasuk ke dalam kenakalan remaja. Melihat kenyataan tersebut maka perlu pencegahan
dan penanganan secara dini, sehingga remaja yang terlibat dalam kenakalan remaja dapat
segera ditangani dan mencegah remaja yang lain terlibat dalam kenakalan remaja.
Selama tahun 2007 Komisi Nasional Perlindungan Anak melakukan survei terhadap
4.500 remaja di 12 kota besar, survei menghasilkan data yang cukup memprihatinkan,
dimana 97 persen remaja pernah menonton film porno, 93,7 persen remaja pernah ciuman,
petting, oral seks dan 62,7 persen remaja SMP sudah tidak perawan. Sebuah penelitian yang
dipublikasi oleh Suara Merdeka tahun 2009 menyatakan para remaja saat ini telah
mengakses materi pornografi melalui layanan internet, hasil penelitian memperlihatkan lebih
Page 53
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
88
dari 80 persen anak berusia 9-12 tahun di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi
telah mengakses materi pornografi, dan lebih parahnya lagi 97 persen dari remaja berusia
19-24 tahun juga telah mengakses materi pornografi. Hasil penelitian menunjukan, hampir
semua remaja dalam survei pernah mengakses materi pornografi. Fenomena yang telah
dipaparkan di atas menjelaskan kenakalan yang dilakukan oleh remaja, dimana sebagian dari
mereka adalah remaja yang sedang menempuh pendidikan SMP, artinya banyak anak SMP
saat ini telah melakukan kenakalan remaja. Selain yang telah dipaparkan di atas berbagai
bentuk kenakalan yang dilakukan oleh pelajar SMP, berbagai bentuk kenakalan yang
dilakukan oleh siswa sekolah diantaranya tidak memakai seragam sekolah sesuai dengan
yang telah ditetapkan, membolos saat pelajaran sekolah, pacaran di lingkungan sekolah
dengan perilaku yang melanggar peraturan sekolah, dengan sengaja terlambat datang ke
sekolah, menyontek saat ujian dan perkelahian antar siswa.
Kenakalan remaja dilatar belakangi oleh beberapa faktor, menurut Kartono (1992)
kenakalan remaja disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal, diantaranya adalah
konsep diri. Konsep diri merupakan hal penting dalam membentuk tingkah laku, termasuk
tingkah siswa. Pendidik semakin menyadari dampak konsep diri terhadap tingkah laku anak
dalam kelas dan terhadap prestasinya.Menurut Susana (2006) individu yang memiliki
konsep diri yang positif, akan membentuk penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri.
Penghargaan terhadap diri yang merupakan evaluasi terhadap diri sendiri akan menentukan
sejauhmana seseorang yakin akan kemampuan dan keberhasilan dirinya, sehingga segala
perilakunya akan selalu tertuju pada keberhasilan. Seorang siswa yang memiliki konsep diri
yang positif akan berusaha dan berjuang untuk selalu mewujudkan konsep dirinya.
Sebaliknya, siswa yang memiliki konsep diri negatif akan memiliki evaluasi yang negatif
terhadap dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri turut berperan penting dalam
pembentukan tingkah laku siswa.
Selain faktor konsep diri, faktor internal penyebab kenakalan remaja diduga terkait
kondisi ketegangan emosi dalam diri remaja akibat perubahan-perubahan fisik dan
psikologis masa perkembangan remaja. Ketegangan emosi yang tinggi, dorongan emosi
yang sangat kuat dan emosi yang tidak terkendali membuat remaja lebih mudah meledakkan
emosi dan bertindak tidak rasional, sehingga tidak jarang keadaan emosi yang demikian
membuat remaja berperilaku yang termasuk dalam kenakalan remaja. Menghadapi
kehidupan emosi yang penuh gejolak dan ketegangan emosi yang meninggi, remaja
membutuhkan kecerdasan sosial emosional agar tidak terjerumus pada tindakan yang tidak
rasional. Arbadiati (2007) mengatakan bahwa individu yang memiliki kecerdasan sosial
emosional memiliki kemampuan dalam merasakan emosi, mengelola dan memanfaatkan
emosi secara tepat sehingga memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan sebagai
makhluk sosial. Masalah yang dihadapi seseorang, termasuk yang dihadapi seorang remaja,
biasanya disertai oleh emosi-emosi negatif. Remaja yang secara emosional cerdas akan
cepat mendapatkan insight mengenai emosi yang dialaminya dan dengan segera dapat
mengelola emosi yang muncul. Keberhasilan mengelola emosi ini akan membuat remaja
yang bersangkutan menjadi lebih fokus dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Dengan uraian latar belakang di atas maka penulis mengambil judul dalam penelitian
ini yaitu Keterkaitan Kecerdasan Sosial Emosional dengan Kenakalan Remaja. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan sosial
emosional dengan kenakalan remaja. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan,
psikologi sosial dan psikologi klinis terutama yang berhubungan dengan kenakalan remaja
dan kecerdasan sosial emosional.
Page 54
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
89
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan jenis
penelitian deskriptif dan korelasional.
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian di perkirakan selama 6 bulan dan tempat penelitian di MTsN Puncu
Kabupaten Kediri .
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa MTsN Puncu Kabupaten Kediri yang berjumlah
823 siswa. Pemilihan populasi pada siswa MTsN karena diyakini siswa tersebut berada pada
rentang perkembangan remaja antara 13-16 tahun sehingga memenuhi syarat sebagai subjek
penelitian. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah siswa kelas VII, VIII, dan IX
sejumlah empat kelas. Pemilihan sample menggunakan cluster random sampling. Pemilihan
kelas IX didapatkan dengan cara mengundi dengan menggunakan gulungan kertas yang
telah ditulis mewakili setiap kelas yang ada pada MTsN tersebut. Pelaksanaan uji coba
dalam penelitian ini menggunakan dua kelas, sedangkan untuk penelitian menggunakan
empat kelas lainnya. Variabel yang terdapat dalam penelitian ini terdiri variabel tergantung :
kenakalan remaja, dan sedangkan variabel bebas : kecerdasan sosial emosional.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Skala dalam penelitian ini akan diuji dengan validitas isi yang meliputi validitas. Uji
validitas selanjutnya adalah prosedur seleksi item berdasarkan data empiris dengan
melakukan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter item. Teknik untuk mengetahui
reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan koefisien Reliabilitas Alpha. Untuk
mempermudah perhitungan penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS 16.00 for
windows. Reliabilitas suatu skala dapat dikatakan baik jika koefisien reliabilitas lebih dari
0,80 (Sekaran dalam Priyatno, 2008). Untuk mempermudah perhitungan, maka digunakan
program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0. Daya beda aitem
dianggap memuaskan apabila nilai r≥ , 5. Untuk mempermudah perhitungan penelitian ini
menggunakan bantuan program SPSS 16.00 for windows.
Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena
dengan melalui proses analisis, data penelitian dapat diberi makna yang berguna dalam
memecahkan masalah penelitian. Teknik analisa data pada penelitian ini adalah Analisis
deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan Kecerdasan sosial emosional dengan
kenakalan remaja. Selain itu juga menggunakan teknik analisis korelasi product moment.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hubungan Kecerdasan Sosial Emosional dengan Kenakalan Remaja
Hasil perhitungan koefisien korelasi antara kecerdasan sosial emosional dengan
kenakalan remaja sebesar -0,074 dan nilai t test -0,886 memiliki probabilitas sebesar
0,377, ini berarti terdapat hubungan antara kecerdasan sosial emosional dan kenakalan
remaja dengan arah hubungan yang negatif, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan
kecerdasan sosial emosional akan diikuti dengan penurunan kenakalan remaja. Dengan
demikian semakin tinggi kecerdasan sosial emosional siswa maka akan semakin rendah
Page 55
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
90
tingkat kenakalan remaja dan sebaliknya semakin rendah kecerdasan sosial emosional
siswa maka akan semakin tinggi kenakalan remaja.
Apabila dilihat dari sumbangan efektif atau peranan kecerdasan sosial emosional
dalam mempengaruhi kenakalan remaja yang ditunjukkan dalam penelitian ini sebesar
0,55% (0,074² x 100). Kecerdasan sosial emosional merupakan kemampuan lebih yang
dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan
kecerdasan sosial emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Hal yang terpenting dalam
kecerdasan sosial emosional adalah koordinasi suasana hati dan merupakan inti dari
hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana
hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat
emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial
serta lingkungannya. Kecerdasan sosial emosional lebih untuk memotivasi diri, ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta
mengatur keadaan jiwa. Dengan demikian, kenakalan remaja yang merupakan
implementasi dari suasana emosi dalam dirinya dalam dikendalikan manakala setiap siswa
mempunyai kecerdasan sosial emosional yang tinggi dalam melakukan sebuah tindakan.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan temuan penelitian yang telah diuraikan terdahulu, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Kecerdasan social emosional secara parsial terbukti mempunyai
pengaruh yang tidak signifikan terhadap kenakalan remaja. Hasil perhitungan koefisien
korelasi antara kecerdasan sosial emosional dengan kenakalan remaja sebesar -0,074 dan
nilai t test -0,886 memiliki probabilitas sebesar 0,377, ini berarti terdapat hubungan antara
kecerdasan sosial emosional dan kenakalan remaja dengan arah hubungan yang negatif,
sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan kecerdasan sosial emosional akan diikuti
dengan penurunan kenakalan remaja. Dengan demikian semakin tinggi kecerdasan sosial
emosional siswa maka akan semakin rendah tingkat kenakalan remaja dan sebaliknya
semakin rendah kecerdasan sosial emosional siswa maka akan semakin tinggi kenakalan
remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Astiningrum, N & Johana, E.P. 2008. Hubungan antara Minat terhadap Komik Jepang
(Manga) dengan Kemampuan Rekognisi Emosi Melalui Ekspresi Wajah. Jurnal
Psikologi. Vol. 34, No. 2. hal. 42-67.
Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______. 2008. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Catur budi Siswantik, Hubungan Antara Konsep Diri dan Anomie Dengan Pergaulan
Bebas Pada Mahasiswa Kos, Skripsi, tidak diterbitkan, Solo: Fakultas Psikologi,
UMS,2000.
Daud, K.Z.M & Asniar, K. 2005. Pengaruh Kebiasaan Menonton Televisi terhadap
Pengendalian Emosi Anak. Jurnal Intelektual, September volume 3 No2. hal. 23-48.
Eisenberg, N, Richard, A.F, Ivanna, K.G & Mark, R. 2000. Dispositionality Emotionality
and Regulation: Their Role in Predicting Quality of Social Functioning. Journal of
Personality and Social Psychology. Vol. 78, No I, hal. 26-51.
Elizabeth B Hurlock, 1999, Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan), Penerbit Erlangga Jakarta .
Gunarsa, S.D. 1980. Psikologi Anak Bermasalah. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Page 56
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
91
Hurlock, E.B. 1980 a . Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
__________. 1978 b . Perkembangan Anak. Terjemaha oleh Meitasari Tjandra &
Muchlishah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Jalaluddin Rahmad, 2003, Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rodaskarya Bandung.
Kaplan, H.I dkk. Sinopsis Psikiatri. 1997. Jakarta: Binarupa Aksara
Kartono, K. 1991. Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah. Jakarta: Rajawali
Press.
Monks, F.J,K & Haditono, S..R. 1999. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Mulyono, B.Y. 2001. Pendekatan Anlisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya.
Yogyakarta: Kanisius.
Nugroho, Bhuono Agung. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan
SPSS. Yogyakarta: Andi.
Putnam, K.M & Kenneth R.S. 2005. Emotion Dysregulation and The Development of
Borderline Personality Disorder. Cambridge University Press United States of
America. 19 Maret 2009.
http://www.addiction.umd.edu/classlinks/Psyc434/Putnam%202005.pdf
Santrock, J.W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Alih Bahasa Shinto B. Adelar.
Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S.W. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental I. Yogyakarta: Kanisius.
Strongman, K.T. 2003. The Psychology of Emotion. West Sussex, England: John Willey &
Sons Ltd.
Sudarsono.1995. Kenakalan Remaja Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius.
W.J.S. Purwodarminto, 1983, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Yusuf, S. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Page 57
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
92
PERJUANGAN SOSOK LESBIAN DALAM
NOVEL GARIS TEPI SEORANG LESBIAN
KARYA HERLINATIENS
Kasnadi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
STKIP PGRI Ponorogo,
Jalan Ukel 39 Ponorogo
Abstrak
Sebagai sosok lesbian, Paria dipandang sebelah mata oleh kaum heteroseks. Ia seakan menjadi
manusia asing yang lahir di masyarakatnya. Bagi masyarakat umum identitas lesbian menjadi
persoalan tersendiri. Oleh karena itu, ia berjuang untuk menunjukkan eksistensinya. Paria
memperjuangkan aspek kemanusiaan, yakni aspek yang berkaitan dengan orientasi
seksualitasnya. Pola perjuangan Paria dalam menunjukkan eksistensinya sebagai seorang
lesbian dengan cara sembunyi-sembunyi di samping dengan cara terbuka. Dalam
memperjuangkan eksistensinya sebagai sosok lesbian, Paria, mengalami konflik baik dengan
keluarga, kaum agamis, kaum akademis, maupun dengan masyarakat luas. Untuk
menanggulangi konflik tersebut Paria mengadakan pencerahan dengan cermah, diskusi, dan
menulis buku. Dengan upaya itu, Paria berharap masyarakat semakin mengerti tentang
keberadaan lesbian. Tujuan perjuangan Paria adalah menuntut keadilan dan menegakkan
kebenaran.
Kata Kunci: lesbian, perjuangan
PENDAHULUAN
Lesbian adalah perempuan yang keinginan seksualitasnya diarahkan kepada
perempuan (Tyson, 1999:324). Keberadaan itu mengakibatkan kaum lesbian dianggap
tidak normal dan menyimpang dari konsep masyarakat umum. Lesbian menjadi kaum
yang terpinggirkan. Akibat keterpinggirkannya itu, mereka membentuk sebuah komunitas
tersendiri.
Komunitas lesbian yang terbentuk dalam “kontinun lesbian” melahirkan pemikiran
bersama untuk melakukan tindakan (action). Tindakan kaum lesbian berupa perjuangan
dalam mempertahankan eksistensi kelesbianannya. Perjuangan itu dilakukan karena
adanya budaya patriarki yang secara terus-menerus mengopresi kaum lesbian. Untuk
membebaskan tekanan itu, kaum lesbian melakukan perjuangan dalam bentuk pergerakan.
Dalam dunia sastra realitas semacam itu memicu lahirnya ”studi queer”. Menurut
Rivkin & Ryan (1998:675), lahirnya teori queer bermula dengan adanya kesadaran bahwa
kaum gay dan lesbian merasa terpinggirkan dan dijadikan objek kekerasan masyarakat
umum. Oleh karena itu, komunitas gay dan lesbian ingin memberontak dominasi patriarki
yang semakin kuat. Pemberontakan itu diwujudkan dalam berbagai sikap dan perjuangan.
Perjuangan tokoh Paria (tokoh lesbian dalam novel Garis Tepi Seorang Lesbian
karya Herlinatiens) dalam uraian ini meliputi (1) aspek yang diperjuangkan, (2) pola
perjuangan, (3) konflik dan solusi perjuangan, dan (4) tujuan perjuangan.
PEMBAHASAN
Aspek yang Diperjuangkan Tokoh Paria
Aspek yang diperjuangkan tokoh Paria adalah aspek kemanusian. Ia
memperjuangkan eksistensinya, sebagai seorang lesbian, dari penindasan sistem patriarki.
Paria menuntut masyarakat adanya kewajaran dan kesetaraan dalam menyikapi persoalan
identitasnya.
Page 58
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
93
Persoalan identitas adalah persoalan sudut pandang. Kaum heteroseks melihat
kaum homoseks sebagai kaum yang aneh, sementara kaum homoseks melihat kaum
heteroseks sebagai kaum yang aneh juga. Tokoh Paria dalam GTSL merasa risih
berhadapan dengan kaum heteroseks, sedangkan masyarakat juga risih melihat Paria.
Perbedaan sudut pandang ini terlihat pada kutipan data ini. “Heteroseks seringkali
menimbulkan rasa jijik di benakku. Mungkin itu juga yang terjadi dengan kamu dan
masyarakat kita, homoseks membuat kalian muntah darah” (GTSL, hlm.21).
Kegelisahan itu, seperti yang diungkapkan Linda Christanty, salah satu perempuan
pengarang Indonesia awal tahun 2000-an, “dalam masyarakat yang masih
mendiskriminasikan orang berdasarkan identitas, hidup sebagai homoseksual memang
lebih sulit (Laksmini, 2004:206). Sebab, banyak orang memandang kaum homoseks
adalah kaum yang membawa petaka. Oleh karenanya, orang menjadi fobia jika
berhadapan dengan lesbian, seperti pengakuan seorang lesbian bernama Lisa di bawah ini.
Diskriminasi atau sikap homofobia juga dirasakan Risa ketika bergabung dalam
sebuah organisasi di Jakarta. Teman-teman perempuannya menolak untuk tidur
sekamar dengan dirinya. Walaupun tidak diucapkan, sikap tubuh mereka pun
menunjukkan bahwa mereka tidak nyaman atau menolak keberadaan Risa sebagai
lesbian (Sulistiyowati, 2007:99).
Menurut Irshad Manji, seorang feminis lesbian abad 21 ini, dalam kehidupan
bermasyarakat identitas bisa menjebak, tapi integritas akan membebaskan (2012:49).
Dalam menciptakan suasana yang aman dan damai ia menganjurkan membuang identitas
dan mengakomodasi integritas. Keberagaman identitas justru menjadi pijakan untuk
meraih kebersamaan dalam kerukunan, bukan keterpecahan.
Sikap dan tindakan Paria senada dengan pernyataan Kennedy. Kennedy mengakui
dalam menembus penghalang berbasis rasial, “sedikit orang yang bersedia menghadapi
tantangan dari kawan-kawannya, kecaman dari rekan-rekannya dan kemarahan dari
masyarakat. Keberanian moral adalah komoditas yang lebih langka daripada keberanian di
medan perang ataupun kejeniusan. Selain itu, ia pun merupakan kualitas yang esensial dan
penting bagi mereka yang hendak mengubah dunia yang paling sulit diubah” (Manji,
2012:26).
Apa yang dilakukan dan dipilih para tokoh Paria sesuai pandangan Ferguson.
Menurut Ferguson, “konsep feminis radikal hubungan seksual yang ideal adalah antara
patner setara, yang sama-sama memberikan persetujuan, yang terlibat secara emosi dan
tidak ikut ambil bagian dalam peran yang terpolarisasikan” (Tong, 1998:94).
Perjuangan Paria atas penindasan kaum heteroseksual terhadap kaum homoseksual
terlihat pada kutipan data di bawah ini. Paria menginginkan masyarakat untuk mau
berpikir dengan nalar yang bening. Paria ingin masyarakat mau melihat bahwa lesbian itu
memang ada. Ia ingin diterima keberadaannya, karena adanya bukan permintaan tetapi
ciptaan Yang Mahakuasa.
Aku perempuan di garis tepi yang ingin menebalkan atmosfer berpikir yang lebih
madani. Meski sulit, aku masih terus mencoba menepi untuk mencoba memberikan
kesempatan bagi orang lain berpikir, bahwa kami ada. Dan kami ada karena kami
memang diciptakan untuk ada. Bahwa kami ada bukan untuk ditindas dengan segala
keburukan dan ketidakadilan (GTSL, hlm.88).
Berdasarkan data di atas, Paria merasakan harga dirinya sudah diinjak-injak. Ia
memperjuangakan rasa kemanusiaannya. Seperti unggkapan Herlinatiens dalam
wawancara dengan penulis, ia mengungkapkan ingin diterima masyarakat bukan karena
jenis kelaminnya –perempuan-, tetapi karena sebagai manusia seutuhnya. Menurut
Herlinatiens perempuan, termasuk lesbian, adalah manusia yang harus dihormati dan
Page 59
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
94
dihargai. Rasa kemanusiaan akan lebih penting daripada jenis kelamin, gender, orientasi
seks, warna kulit, kedudukan, status sosial dalam msyarakat.
Kemanusiaan tidak mementingkan identitas tetapi humanitas. Kemanusiaan yang
diperjuangkan Paria seperti pemikiran kemanusiaan yang dipaparkan oleh Pramoedya
dalam tetralogi Bumi Manusia. Persoalan kemanusiaan itu bersumber dari anggapan
bahwa manusia menghayati kehidupannya sebagai manusia yang hakiki dengan
melepaskan diri dari segala belenggu, misalnya, penolakan atas warisan budaya yang
kolot, perlawanan atas ketidakadilan kekuasaan kolonial, atau semangat membangun
kebebasan dan kesejahteraan manusia dalam lingkup kesatuan bangsa (Hun, 2011:233).
Penerimaan yang tidak sepadan dengan harapan Paria, membuat Paria semakin
tegar memperjuangkan kelesbianannya. Ia tidak gampang dipandang sebelah mata. Ia
tidak mau begitu saja diremehkan. Ia memproklamasikan dirinya sebagai sosok yang tidak
mau dikalahkan. Dia sudah bertekat bulat demi menghirup udara kebebasan. Kelompok
lesbian radikal mencanangkan sebuah konsep bahwa lesbian tidak membutuhkan laki-laki.
Perjuangan membutuhkan ketegasan. Perjuangan membutuhkan prinsip. Paria adalah
pejuang yang gigih dalam mewujudkan prinsipnya, seperti yang terlukis pada data ini.
“Aku menjadi manusia yang tegak dalam keangkuhan. Yang tak terpatahkan. Yang tak
terkalahkan. Yang tak mengenal kekalahan” (GTSL, hlm.73).
Paria juga berjuang untuk bisa diterima di dalam keluarga. Keluarga baginya
merupakan penghalang yang harus mampu dihindari. Pemikiran untuk keluarga harus
dicarikan jalan terbaik agar tidak terjadi percekcokan yang menakutkan. Paria memutar
otak demi keharmonisan di dalam keluarga. Kerahasiaan pilihan hidup Paria harus terjaga
dengan rapi. Ia akan mencari alasan yang dapat diterima keluarga. Permintaan keluarga
tentang pernikahan dengan seorang laki-laki harus ditolak dengan cara yang halus.
Aku menjadi semakin kemrungsung. Aku menjadi terus berpikir bagaimana
menghadapi keluargaku nantinya. Apakah akan kuberi lagi janji-janji palsu tentang
sebuah pernikahan yang akan aku persembahkan kepada mereka? Sementara
sedikitpun tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menikah dengan seorang laki-
laki. Aku seorang perempuan yang di mata orang tidak memiliki nama belakang,
tapi sebenarnya telah menjadi nyonya Ashmora Paria Ashvagosha. Jadi mau apa?
(GTSL, hlm.130).
Paria tetap menolak prinsip orang tuanya. Ia berpikir dan berupaya keras agar masyarakat
memahami konsep masyarakat multikulturalisme. Berdasarkan prinsip multikulturalisme,
kaum feminis lesbian terus bergerak dan melangkah untuk menunjukkan jati diri mereka.
Perjuangan mereka semakin dinamis dan berani. Adanya reaksi dari keluarga dan
masyarakat justru memberi makna positif dari perjuangan mereka. Paling tidak masyarakat
akan menganggap kaum feminis lesbian memang ada dan hidup bersama mereka.
Prinsip multikulturalisme menghendaki segala bentuk diskriminasi tidak boleh
terjadi di masyarakat. Kaum feminis lesbian yang mempunyai sudut pandang berbeda
dalam menyikapi kehidupan, utamanya persoalan seksualitas tidak perlu dicemaskan. Jika
berangkat dari konsep multikulturalisme pengucilan dan penyingkiran kaum feminis
lesbian tidak perlu terjadi. Mereka adalah sosok-sosok yang juga perlu dihargai dan
dihormati. Hak-hak individu dan komunitas untuk berbeda harus dihormati. Konsep
kebudayaan multikulturalisme akan menentang bentuk-bentuk homoginitas.
Multikulturalisme beranggapan bahwa masyarakat merupakan wujud dari perkumpulan
perbedaan (Suparlan dalam Ahdiati, 2007:73).
Dalam GTSL, perjuangan Paria semakin jelas dan tegas dengan sikap yang
dipilihnya. Paria semakin berani memperjuangkan cinta yang kontra di mata masyarakat.
Ketegasan dan keberanian itu dapat disimak pada kutipan data di bawah ini.
Page 60
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
95
Sikapku berubah menjadi lebih kasar padanya. Semakin hari aku semakin muak dan
kebingungan. Takut tak bisa menghentikan segala yang telah hampir terlaksana ini.
Aku terlalu takut tidak bisa mencapai sebuah pemaknaan kesetiaanku pada sebuah
cinta yang kontroversial ini. Cinta seorang lesbian! (GTSL, hlm.272).
Ketegasan sikap Paria semakin jelas menunjukkan perlawanan terhadap sistem
patriarki yang terus menindas. Herlinatiens ingin mengangkat tokoh Paria sebagai sosok
pencari identitas yang tangguh. Herlinatiens sangat bernafsu untuk mengungkap persoalan
lesbian sebagai wacana umum. Kaum lesbian yang selama ini dipandang sebagai kaum
inferior oleh budaya patriarki akan diangkat sebagai wacana yang perlu didiskusikan.
Keinginan Herlinatiens ini sesuai dengan salah satu yang harus dilakukan kritikus lesbian
yakni mengedepankan aspek-aspek homoseksualitas dalam sastra arus utama yang
sebelumnya sengaja tidak dihiraukan (Barry, 2010:175).
Dalam menjalani hidup ia mempunyai prinsip kuat. Keyakinan yang dipilihnya
diperjuangkan dengan kekuatan penuh. Ia adalah sosok yang pantang menyerah dalam
memperjuangkan keyakinannya.
Aku adalah perempuan, yang tidak akan menjadi gamang karena ombak
menghempas laju langkahku. Aku adalah perempuan yang lahir dari kebisaan, yang
tumbuh dalam cambuk alam, yang hinggap di bias-bias ketiak perjalanan sebuah
waktu yang panjang. Aku adalah perempuan yang tidak menjadi silau oleh keadaan,
ya. Itu saja (GTSL, hlm.123).
Pengakuan dirinya adalah sosok lesbian sudah tidak ditutupi lagi. Ia
menyuarakan isi hatinya secara terbuka. Ia tidak segan-segan mengakui kelesbianannya.
Menurutnya, lesbian bukan manusia yang lemah, yang harus selalu ditolong dan
didampingi laki-laki. ” ku adalah lesbian memang. Tapi tetap manusia bukan? Perilaku
yang orang lain bilang milik binatang. ku menjadi semakin pusing” (GTSL, hlm.129).
Perjuangan Paria, sebagai sosok lesbian, tak ubahnya gerakan agresi penegasan diri
dan agresi instrumental (Fromm, 2001:289). Penegasan diri menurut Fromm merupakan
perjuangan untuk menunjukkan identitas diri seseorang atau kelompok, sedangkan agresi
instrumental adalah perjuangan seseorang atau kelompok dalam menginginkan tujuan
yang hendak dicapainya.
Pola Perjuangan Tokoh Lesbian
Pola perjuangan yang dilakukan tokoh Paria ada dua cara. Cara pertama dilakukan
Paria dengan sembunyi-sembunyi, sedangkan cara kedua dilakukan Paria dengan cara
terbuka. Cara sembunyi itu dilakukan atas pemikiran Paria bahwa masyarakat belum siap
menerima kehadirannya, sehingga ia tidak berani membuka diri baik di lingkungan
keluarga maupun di masyarakat luas.
Apa yang dilakukan Paria sesuai dengan pernyataan Sedgwick. Dalam bukunya
Epistemologi of the Closet, Sedgwick menyatakan dengan istilah “keluar dari lemari baju”
(Barry, 2010:170). Artinya, para lesbian belum berani secara terbuka (coming out) untuk
menyatakan kelesbianannya.
Apa yang dilakukan tokoh Paria adalah wujud perjuangan dalam upaya
mempertahankan kelesbianannya. Perjuangan Paria seperti temuan Ahdiati dalam buku
Gerakan Feminis Lesbian (2007), yakni, pada awal 50-an, di Amerika, gerakan feminis
lesbian cenderung dilakukan individu dengan cara tersembunyi (Ahdiati, 2007:42).
Sebagai seorang lesbian, Paria, secara terus menerus mengalami penetrasi dari
pihak keluarga. Maka dari itu, keterbukaan Paria akhirnya juga disampaikan kepada
keluarganya. Keterusterangan itu menjadikan hubungan dengan keluarga tidak harmonis,
seperti pengakuan Paria dalam kutipan ini. ”Ibuku semakin jauh dariku. ku bahkan
Page 61
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
96
dengan tidak segan mengatakan padanya bahwa aku seorang yang mencintai perempuan
(GTSL, hlm.80).
Paria terus-menerus melancarkan keinginan dan harapannya. Dia mempunyai
obsesi untuk menunjukkan kelesbiannannya di mata masyarakat secara terbuka.
Gita, kau tahu tentang aku Obsesi-obsesiku? Kegilaan-kegilaanku, bagaimana aku
ingin membuat masyarakat kita sedikit saja nrimo keadaan ini. Realita kehidupan
ini. Bahwa kami ada, meski berbeda dari mereka memahami kebermaknaan hidup
kaum kami, tapi nyatanya masih sulit. Aku bingung saja sekarang ini, tapi pantang
buatku untuk mundur (GTSL, hlm.29).
Perjuangan tokoh Paria, selaras dengan perjuangan kaum feminis lesbian di
Amerika. Di Amerika, perkembangan feminis lesbian sebagai kaum tertindas secara terus
menerus mencari identitas dan jati diri mereka. Mereka membuat gerakan-gerakan untuk
mengangkat eksistensinya di mata masyarakat. Pada tahun 1955 sekelompok lesbian di
San Francisco mendirikan sebuah kelompok sosial yang diberi nama ”The Daughters of
Bilitis” yang dipimpin Del Martin ( hdiati, 7: ). Pendirian ”DOB” itu mengilhami
berdirinya ”Women’s Liberation Movement” sebagai gerakan perempuan gelombang
kedua. Dengan ”Women’s Liberation Movement” kaum lesbian semakin berani
menampakan diri sebagai entitas yang pantas untuk diakui masyarakat. Mereka semakin
berani menunjukkan kaumnya sebagai kaum yang pantas untuk dihargai.
Konflik yang Dihadapi Tokoh Paria dan Pemecahannya
Paria adalah sosok yang terlibat dengan problem feminitas yang terfokus pada
upaya menunjukkan eksistensi kelesbianannya dengan segala problem yang
melingkupinya. Keberadaan lesbian, menjadi sebuah dilema hidup di masyarakat. Dalam
patron masyarakat kita, manusia terlahir hanya sebagai seorang laki-laki atau seorang
perempuan. Oleh karena itu, menjadi persoalan tersendiri jika ada sosok lain yang
menyimpang dari patron tersebut.
Perjuangan Paria dalam mempertahankan eksistensi kelesbianannya menghapi
berbagai konflik. Konflik itu terlihat ketika tokoh Paria secara terbuka menunjukkan
kelesbianannya kepada keluarga, secara spontan kelurganya menentang. Penentangan itu
tampak pada kutipan data berikut:
”Ibuku spontan marah-marah. Dan Pakdhe “Wah ketiwasan, bagaimana sampeyan
ini Dik.” Simbah dengan sangat marah segera masuk ke dalam kamarnya, dan
mengunci pintunya dari dalam, membuat orang lain bingung dan resah” (GTSL,
hlm.83).
Di samping mendapatkan hambatan dari kalangan keluarga, perjuangan Paria juga
mendapatkan tantangan dari masyarakat. Sekelompok masyarakat yang menamakan
dirinya kelompok aliran keras membuat opresi terhadap Paria dengan cara membakar
buku-buku Paria. Proses pembakaran itu tampak pada data ini. ”Sebuah toko buku dibakar
oleh kelompok aliran keras. Alasanya membuatku sedih. Ya, toko buku tersebut menjual
buku-buku yang pernah aku tulis” (GTSL, hlm.112). Buku-buku Paria yang dibakar itu
adalah buku-buku yang berisi tentang lesbian. Apalagi, mereka tahu bahwa Paria adalah
seorang lesbian. Agama yang dianut kelompok itu menganggap bahwa sosok lesbian
adalah haram. Mereka pantas dienyahkan dari bumi ini.
Perempuan pengarang, seperti Herlinatiens, mengangkat tokoh Paria sebagai
seorang lesbian ingin menunjukkan persolan lesbian itu kepada masyarakat. Ia
menunjukkan kepada masyarakat bahwa kaum lesbian juga manusia yang dilahirkan
Tuhan sebagai makhluk ciptaannya. Mereka menginginkan masyarakat memahami mereka
Page 62
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
97
bukan sebaliknya mereka hanya disuruh memahami masyarakat. Perempuan pengarang
terinspirasi oleh salah satu konsep teori lesbian, yakni pentingnya identitas. Sementera ini,
kaum lesbian tidak atau kurang berani menunjukkan identitas dirinya di mata masyarakat
luas. Mereka menunjukkan identitas yang sesungguhnya secara terselubung dengan teman
dan komunitas mereka. Dengan hadirnya GTSL, pengarang ingin melakukan perombakan
tata nilai dan budaya yang memandang sebelah mata terhadap kaum lesbian. Perjuangan
tokoh Paria yang dijadikan suara Herlinatiens semakin terbuka meski masih bersifat
individual atau kelompok kecil. Perjuangan itu berawal dari kegelisahan seorang individu
atas keanehan yang terdapat dalam dirinya.Untuk mengangkat jati diri secara pribadi
menjadi panggilan jiwa sebagai tugas untuk mengentaskan kaumnya dari penderitaan
budaya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Paria menghadapai berbagai macam
konflik tatkala menyampaikan kelesbianannya. Konflik-konflik itu dapat diatasi dengan
pencerahan melalui ceramah, diskusi, seminar, penerbitan buku-buku. Upaya keras
melalui pencerahan itu dilakukan tokoh Paria secara gigih dan berkelanjutan. Berbagai
upaya itu tidak dapat menanggulangi kuatnya desakan dan tekanan masyarakat ia memilih
hijrah ke negara Barat. Ia memilih meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya untuk
hidup yang lebih aman dan damai. Kenyamanan itu karena di negara Barat mereka
mendapatkan legalitas dukungan dari negara. Sesuai dengan pernyataan Presiden Amerika
Serikat yang mendukung kelompok LGBT, sebagai kelompok minoritas yang harus
dilindungi hukum. Presiden Barack Obama menyatakan bahwa pernikahan sesama sejenis
merupakan perwujudan nilai-nilai dasar Amerika, sehingga pada tahun 2011 ia mencabut
aturan don’t ask, don’t tell di dalam kemiliteran (Kompas, 24/6/2012).
Tujuan Perjuangan Tokoh Paria
Dalam memperjuangkan eksistensinya sebagai kaum lesbian Paria mempunyai
tujuan. Tujuan yang ingin dicapai adalah menuntut keadilan dan menegakkan kebenaran.
Ia menuntut keadilan atas hak asasi sebagai manusia yang pantas untuk dihargai dan
dihormati. Ia menegakkan kebenaran yang hakiki, kebenaran atas hukum yang berasal dari
Tuhan Yang Mahaesa. Ia meuntut keadilan dan menegakkan kebenaran atas nilai-nilai
kemanusiaan yang dibenarkan dari sudut pandang heteroseksual.
Ucapan-ucapan Paria dalam dialog dengan Rafael pada data di bawah ini
menunjukkan tuntutan atas perlakuan masyarakat kepadanya terkait dengan pelanggaran
hak asasi.
Hak asasiku terlanggar. Rafael, ini ideologi fundamentalis yang mengoyak hakku
sebagai manusia. Ideologi yang radikal, anti menerima perbedaan. Sekali lagi
bajingan! Dancuk benar! Aku memang perempuan yang mencintai perempuan. Tapi
sungguh tidak adil bagiku untuk diasingkan (GTSL, hlm.45).
Ungkapan Paria yang sarkais menandakan akan kejengkelan terhadap masyarakat
dalam melihat dirinya. Ia tersinggung atas tekanan dari kelompok fundamentalis. Mereka
menganggap diri Paria lebih rendah daripada mereka. Berkaitan dengan persoalan hak
asasi, Paria mempunyai pandangan hidup sendiri. Filosofi hidupnya seperti ungkapan
filosofis dari seorang feminis lesbian, Irshad Manji, yang mengagungkan integritas. Ia
mendambakan adanya keutuhan meskipun berasal dari ranah yang berbeda. Ia
menyatakan “wujud integritas adalah mencintai keunikanmu, mencintai yang telah
menciptakannya, Sang Penciptamu. Mencintai penciptamu adalah mencintai ciptaan-Nya
yang beragam, yang keutuhannya belum sepenuhnya terwujud. Mencintai ciptaan-Nya
adalah mencintai mereka yang teraniaya dengan membela mereka tanpa menganiaya yang
lain sebagai balasan (Manji, 2012:64).
Page 63
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
98
Menurut (Hun, 2011:133) perjuangan dapat melalui pemberontakan yang
terealisasi dalam perlawanan terhadap tata nilai yang sudah ada, reaksi terhadap
tantangan, atau kesadaran untuk menentang ketidakadilan. Perlawanan ini berupa
pemikiran dan gerakan kaum lesbian, seperti yang dilakukan tokoh Paria, dalam
menentang tata nilai patriarki dan heteroseksual. Di samping itu, kaum lesbian juga
menggalang kesadaran kaumnya untuk melawan ketidakadilan yang menimpa kaumnya.
Tokoh Paria menuntut adanya hak hidup sesuai ketentuan dari sang Pencipta. Paria
meyakini bahwa hidup di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Dalam memperjuangkan hak
asasinya, ia selalu bersandar pada Tuhan, seperti kutipan berikut: ”Rafael pola pikirku
masih sama, segala yang mengada di dunia ini tidak akan pernah ada manakala Tuhan
tidak menciptakan. Titik” (GTSL, 3:6 ). “Ternyata hanya Tuhan yang mampu
memberikan dukungan kepercayaan dan keamanan juga kenyamanan secara penuh
kepadaku. (GTSL, 3:6 ). “Menjadi lesbian bisa jadi bukan murni kemauanku. Tapi
pilihan. Ketika aku tak pernah bisa mencintai seorang laki-laki. Dan aku pikir, Tuhan
memang menciptakan aku untuk menjadi seorang yang hebat. Sebagai seorang perempuan
yang mencintai perempuan. Lesbian” (GTSL, 2003:87).
KESIMPULAN
Paria, sebagai sosok lesbian, memandang bahwa lesbian adalah wujud pembebasan
perempuan (women’s liberations). Pembebasan itu sebagai wujud pemberontakan terhadap
konstruksi sistem patriarki. Dalam lesbian terkandung nilai-nilai yang membebaskan
perempuan, karena tidak adanya dominasi laki-laki. Perempuan benar-benar bebas
berekspresi dan tidak harus menuruti kemauan laki-laki. Dalam mewujudkan kebebasan
itu Paria membutuhkan perjuangan.
Aspek yang diperjuangkan Paria adalah eksistensi kemanusiaan. Ia
memperjuangkan eksistensi kelesbianannya secara sembunyi dan terbuka. Dalam
perjuangannya itu, ia mendapatkan hambatan dari keluarga dan masyarakat umum. Ia
memecahkan hambatannya dengan ceramah, diskusi, dan menulis. Ia berjuang ingin
menuntut keadilan dan menegakkan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ahdiati, Triana. 2007. Gerakan Feminis Lesbian: Studi Kasus Politik Amerika 1990-an.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.
Fromm, Erich. 2001. Akar Kekerasan: Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Herlinatiens. 2003. Garis Tepi Seorang Lesbian. Yogyakarta: Galang Press.
Hun, Koh Young. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kompas. 1 . “Obama, Hak sasi Manusia, dan Politik LGBT di S”. Kompas, 24 Juni
2012.
Laksmini, Gita Widya. . ”Seks, Sastra, dan Perempuan” Jurnal PROSA. Jakarta: PT
Metafor Intermedia Indonesia.
Manji, Irshad. 2012. Allah, Liberty, and Love. Jakarta: Renebook.
Sulistiyowati, Endah. 2007. Hegemoni Hetero-Normativitas: Membongkar Seksualitas
Perempuan yang Terbungkam. Jakarta: Kartini Network.
Tong, Putnam Rosemarie. 1998. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.
Page 64
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
99
Rivkin, Julie and Michael Ryan.1998. “Introduction: Contingencies of Gender” dalam
Rivkin, Julie and Michael Ryan (Ed). 1998. Literary Theory: An Anthology.
Massachussets: Blackwell.
Tyson, Lois. 1999. Critical Theory Today: A User-Friendly Guide. New York & London:
Garland Publishing, Inc.
Page 65
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
100
JEJAK KOLONIALISME DALAM CERPEN
“SULASTRI DAN EMPAT LELAKI”
KARYA M. SHOIM ANWAR
Nining Dwiastutik Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI Ponorogo
Jalan Ukel 39 Ponorogo
Abstrak
Sastra merupakan dokumen sosial budaya suatu bangsa. Cerpen ”Sulastri dan Empat Lelaki”
karya M. Shoim Anwar salah satu contoh dokumen tersebut. Dalam cerpen tersebut Shoim
Anwar, sebagai pengarang, mencoba merekam carut-marut kehidupan Sulastri akibat dampak
kolonialisme. Jejak kolonialisme dalam cerpen tersebut terlihat pada penderitaan keluarga
sulastri akibat kemiskinan. Kemiskinan yang diderita keluarga Sulastri karena kemalasan
suaminya, yakni Markam dan juga kebodohannya. Markam tidak mau bekerja, ia justru suka
bertapa dan memuja benda-benda pusaka. Kebodohan yang dialami Sualstri dan Markam,
menyebabkan keluarganya terjepai pada ruang kemiskinan, sehingga Sulastri terjebak pada
persoalan perbudakan. Kemiskinan, pemalas, suka jalan pintas, percaya pada mistis, apatis,
dan kebodohan adalah jejak kolonialisme yang terpotret dalam cerpen ”Sulastri dan Empat
Lelaki” karya M. Shoim anwar. Jejak kolonialisme tersebut masih terasa dalam kehidupan
kita sampai saat ini.
Kata Kunci: jejak kolonialisme
PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan cermin masyarakat, sehingga karya sastra tadik lahir dari
kekosongan sosial (social vacum). Dalam teori mimesisnya Plato menyatakan bahwa
karya sastra merupakan tiruan alam. Oleh karenanya, apa yang terpotret di dalam karya
sastra merupakan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat
tentu terdapat budaya masyarakat itu sendiri.
Dalam memahami karya sastra suatu bangsa pada periode tertentu merupakan
usaha memahami budaya bangsa yang bersangkutan. Indonesia, sebagai bangsa yang
pernah dijajah ratusan tahun oleh Belanda meninggalkan jejak kolonialisme yang
mengakar menjadi budaya tersendiri. Budaya tersebut berdampak pada seluruh aspek
kehidupan bangsa Indonesia. Dampak itu masih terlihat dalam kehidupan masyarakat
Indonesia sampai saat ini.
Tiga ratus lima puluh tahun lamanya Indonesia dikuasai Belanda. Kejadian-
kejadian traumatik karena sikap dan ulah penjajah terekam di dalam karya sastra
Indonesia. Produk-produk peninggalan kolonial dapat ditemukan di dalam teks sastra
Indonesia. Menurut Sariban (2012), karya-karya tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia,
Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) Pramoedya Ananta Toer memotret
peninggalan kolonialisme. Representasi kolonial dalam karya sastra Indonesia dapat
dijadikan pelajaran berarti untuk memeroleh gambaran ideologi kolonial yang diterapkan
di Indonesia (Gandhi:1988). Setelah penjajahan berakhir, bukan berarti bahwa elemen-
elemen pembentuk budaya kolonial sepenuhnya berakkhir. Menurut Swastika (2005)
studi poskolonial berusaha untuk memberikan gambaran realitas yang ada dewasa ini di
dalam negara yang dahulunya pernah dijajah, dengan jalan melacak jejak-jejak
kolonialime. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini dipaparkan jejak-jejak kolonialisme
dalam cerpen M. Shoim nwar yang berjudul ”Sulastri dan Empat lelaki”.
Page 66
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
101
Jejak Kolonialisme
Mencermati Cerpen M. Shoim nwar yang berjudul ”Sulastri dan Empat Lelaki”
seakan membuka memori sewaktu bangsa Indonesia dijajah Belanda. Apa yang
disuguhkan pengarang dalam cerpennya --”Sulastri dan Empat Lelaki”-- mengingtkan luka
yang mematri di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman kolonialisme. Luka
tersebut masih amat terasa bagai ”luka memanjang” sampai zaman modern ini. Sikap dan
prilaku kolonial tersebut terpotret baik secara tersurat maupun secara tersirat di dalam
cerpen itu, sehingga dampaknya masih terasa sampai saat ini. Sebagai misal, persoalan
kemiskinan menjadi persoalan pelik dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Kemiskinan yang dialami tokoh utama dalam cerpen ”Sulastri dan Empat Lelaki”, yakni
Sulastri, adalah bukti nyata peninggalan ideologi kolonialisme. Kemiskinan itu, mendera
keluarga Sulastri menjadi sosok terpuruk dalam kehidupannya. Kemiskinan itu mendepak
Sulastri sampai ke luar negeri, seperti tampak pada kutipan di bawah ini.
Di bibir Laut Merah, Sulastri teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo.
Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik.
Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang
lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri
dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama
Markam, suami Sulastri.
Mengapa Sulastri pergi ke luar negeri? Kepergian Sulastri mengais rezeki ke tanah
Arab tidak lain dan tidak bukan adalah karena kemiskinan yang menggerogotinya.
Kemiskinan yang mencabik-cabik keluarga Sulastri disebabkan oleh sosok suami yang
malas. Sifat pemalas itu adalah salah satu dampak kolonialisme yang sampai sekarang
masih dirasakan oleh bangsa Indonesia.
Kemalasan Markam, suami Sulastri, menyebabkan kehancuran dan keterpurukan
keluarga Sulastri secara ekonomi. Perilaku Markam sebagai warisan kolonialisme yang
sudah membudaya dalam kehidupannya terlihat pada deskripsi di bawah ini.
Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat,
mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini,
seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka
yang tak kunjung tiba.
Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia
menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.
Penderitaan yang secara terus-menerus mencambuk-cambuk jatidiri Sulastri
menjadikannya ia mengalami halusinasi yang hebat. Kesadarannya tergusur, hilang, sirna,
dan akhirnya secara tidak sadarkan diri Sulastri terseret masuk dalam ruang
ketidaksadaran. Pikiran Sulastri melayang, jiwa Sulastri menggelayut memuntahkan
kengerian yang akan menerkam dirinya.
Sulastri terjingkat. Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat
sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri
menjerit menyebut namanya. “Firauuun...!
Di hadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok.
Perempuan itu menoleh ke sana ke mari dengan tergesa, mencari-cari orang
yang dikenal sebagai penolong.
Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.
Sulastri terhenyak.
Ketidaksadaran Sulastri teraduk-aduk, sehingga tidak saja melahirkan kengerian-
kengerian yang ada dihadapnya, namun juga harapan-harapan yang ditunggunya. Sulastri
menjadi objek ketidaksadarannya sendiri. Sulastri menjadi korban kestabilan jiwanya
Page 67
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
102
sendiri. Dalam situasi limbung seperti itu, kengerian dan keteduhan menjadi bercampur
yang sulit untuk dipisahkan. Oleh karena itu, sewaktu bayangan Firun mengejarnya
datanglah harapan yang oleh pengarang disimbolkan sosok Musa, seprti kutipan di bawah
ini.
Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh
tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup
perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak
teduh. Tangan kananya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri
bergetar menyebut nama lelaki di hadapannya, “Ya, Musa...”
Firaun sebagi simbol penderitaan halusinasi Sulastri, sedangkan Musa merupakan
simbol harapannya. Kedua sosok itu hadir dalam diri Sulastri sebagai sosok yang saling
bertumpang tindih berebut untuk menunjukkan eksistensinya. Firaun sebagai simbol
kejahatan sedangkan Musa sebagai simbol kebaikan, yang selalu menancapkan
permusuhan. Oleh karenanya, saat ketidaksadaran Sulastri didominasi oleh sosok Firaun
datanglah Musa sebagai penolong. Bukankah sosok Firaun dan Musa adalah musuhnya?
Kegetiran dan kengerian Sulastri mengenang ketragisan nasibnya sewaktu masih
bersama Markam, suaminya, dan anak-anaknya di Indonesia. Sulastri menjadi sosok yang
menderita akibat ulah suaminya yang tidak mau berupaya demi kehidupan keluarganya.
Suaminya hanya mengandalkan nasib lewat aktivitas mistis yang setiap hari hanya
mengasingkan diri untuk mengadu nasib dengan jalan pintas bertapa di kuburan untuk
menerima wangsit. Ia menunggu dan selalu menunggu kehadiran benda-benda mistis yang
diyakininya dapat mendatangkan rezeki demi anak dan istrnya.
Keyakinan terhadap hal-hal mistis itulah yang menyebabkan bangsa indonesia
menjadi sosok pemalas. Oleh karenanya, pantaslah jika Markam juga menjadi pelaku
pencari dan pemuja benda-benda mistis macam-macam benda pusaka seperti keris,
tumbak, delima merah, kul buntet, kitab istambul, dan sebagainya. Ia sangat meyakini
benda-benda ajaib itu mampu mengubah nasibnya.
Perjumpaan bangsa Indonesia dengan bangsa Barat, utamanya bangsa Belanda,
terjadi sejak abad XVII. Jangka waktu yang cukup lama itu, ideiologi Belanda merasuk
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Secara pelan dan pasti, ideologi kolonial menjadi
budaya bangsa Indonesia. Budaya yang sudah menjadi keyakinan yang beratus-ratus
tahun mematri di dalam diri Sulastri, akhirnya ia menyimpulkan negerinya merupakan
negeri yang miskin. Sulastri, sebagai sosok yang terjajah secara spontan sudah
menempatkan posisinya sebagai bangsa yang rendah. Ia tidak mempunyai daya tawar
apalagi menantang bangsa penjajah. pa yang dirasakan Sulastri dalam cerpen ”Sulastri
dan Empat Lelaki” masih dapat kita rasakan sampai saat ini. Secara otomatis, ketika kita
berhadapan dengan bangsa Eropa, dalam diri kita sudah mengakui bahwa posisi kita dalam
posisi yang lebih rendah dan minder, sehingga merasa lebih bodoh, lebih miskin, lebih tak
berharga, dan sebagainya. Pendek kata, ketika kita berhadapan dengan orang Barat, kita
memposisikan pada posisi yang penuh dengan sifat negatif. Pengakuan tentang
kemiskinan negerinya itu terlihat pada kutipan dialog antara Sulastri dengan Musa di
bawah ini.
“Negeri kami miskin, Ya Musa.”
“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
“Kami tidak punya pekerjaan Ya Musa.”
“ pa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
Dialog kontradiktif antara pandangan Sulastri dengan Musa yang mempersoalkan
kemiskinan tidak lain dan tidak bukan adalah karena sudut pandang yang berbeda. Sebagai
dampak kolonialisme Sulastri menganggap kemiskinan karena alam yang telah ditakdirka-
Page 68
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
103
Nya, akan tetapi Musa berpandangan lain. Kemiskinan yang menimpa Sulastri menurut
Musa karena kemalasannya. Manakah yang benar? Mengapa Sulastri berbpandangan
seperti itu? Pemikiran dan keyakinan Sulastri tidak bisa begitu saja disalahkan, karena
memang ia dikonstruk oleh kolonial menjadi sosok yang bodoh. Kolonialisme itulah yang
membangun sosok Sulastri menjadi sosok yang tidak dapat berpikir secara logis. Memang,
keyakinan terhadap mistik, pemalas, dan suka jalan pintas adalah dampak kolonialisme
yang sudah mematri dalam jiwa bangsa Indonesia. Hal ini telah direkam Mochtar Lubis
dalam buku berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Ia menyatakan
bahwa ciri bangsa Indonesia diantaranya berpola pikir mistis, pemalas, dan akhirnya suka
mengambil jalan pintas (1988).
Jejak kolonialisme yang lain yang dapat dilihat dalam cerpen ”Sulastri dan Empat
Lelaki” adalah kebodohan. Para penjajah berupaya keras agar bangsa terjajah tidak
memunyai peluang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Kolonial mnginginkan
agar koloni terjajah stagnan dalam ketidaktahuannya. Dengan kebodohan kolonial lebih
mudah mempermainkannya sebagi objek yang gampang diperintah, diatur, diperlakukan
semena-mena. Ilustrasi di bawah ini menunjukkan adanya kebodohan Sulastri sebagai
objek yang dapat diperalat untuk menyukseskan kepentingan penguasa.
Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh real per orang,
sisanya untuk untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan
ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban
menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi
penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal
dari negeri Sulastri sendiri.
Dampak kolonialisme yang mengerikan tidak saja terdeskripsi pada watak dan
perilaku bangsa lain terhadap bangsa Indonesia, tetapi juga terlukis pada sesama bangsa
Indonessia. Watak dan perilaku bangsa kita pun sudah mencerminkan ideologi
kolonialisme itu. Para pepimpin yang berkuasa pada saat ini sudah tidak segan-segan
menjadikan yang lemah dan bodoh menjadi sasaran yang empuk. Mereka yang miskin
semakin dimiskinkan. Mereka yang tertindas semakin ditindas. Mereka yang kalah
semakin dikalahkan. Kaum marjinal, sebagai kaum yang bodoh dan lemah sering
dijadikan alat demi kepentingan penguasa. Penggusuran terhadap kaum marjinal selalu
dijadikan kedok oleh penguasa demi pembangunan Nasional. Jurang perbedaan antara dua
kutub tersebut semakin menganga.
Secara tragis, Sulastri begitu saja dilempar bagaikan rongsokan yang tak berharga
setelah para penguasa itu memeroleh harapan yang diinginkannya. Sulastri bak pepatah
“habis manis sepah dibuang”, habis terisap “madunya” ditinggal begitu saja, seperti
kutipan ini. “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat
pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
“Kami menderita, Ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu serakah.
“Kami tak kebagian, Ya Musa.”
“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan,
serta para cukongnya.”
Data di atas mengingatkan potret negeri kita semasa orba, yang menggambarkan
kebobrokan negeri kita. Kolusi, korupsi, dan nepotisme menjadi tujuannya. Para
pemimpin dan penguasa sudah terjangkiti sifat kolonialisme yang feodal. Mereka
memimpin negeri tidak demi rakyatnya, akan tetapi demi menumpuk kekayannya.
Keserakahan para penguasa sudah bukan barang yang rahasia, tetapi sudah menjadi
tontonan biasa. Pembodohan, penindasan, penjarahan semakin meraja lela.
Page 69
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
104
Mental korup yang menjangkiti para penguasa adalah dampak kolonialisme yang
bisa dirasakan sampai saat ini. Korupsi di negeri ini sudah menjadi budaya. Berkaitan
dengan persoalan korupsi ini, seorang budayawan Radhar Pancadahana samapi
mengungkapkan rumaor bahwa yang pantas untuk diekspor dari neri kita adalah kelihaian
koruptornya. Meski, sudah banyak kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, sudah banyak
koruptor yang masuk penjara, namun persoalan korupsi belum enyah dari bumi tercinta.
Mengapa demikian? Kata Sang Penyair, Taufiq Ismail, dalam larik puisinya, /Di Cina
koruptor dipotong lehernya//di Arab koruptor dipotong tangannya//di Indonesia koruptor
dipotong tahannya/. Inilah realitas ironis yang terjadi negeri tercinta yakni, Indonesia.
Ketidakberhargaan sosok Sulastri karena kebodohannya. Kebodohan Sulastri
menyebabkan menjadi sosok inferior. Menurut Spivak (2008) mental bangsa terjajah
selalu menjadi inferior dan selalu merasa menjadi subordinat. Secara tidak langsung
keinferioran itu menyebabkan Sulastri menjadi seorang budak. Di dalam diri kolonial
sudah mematri dan beranggapan bahwa dirinya adalah Sang Penguasa. Mereka boleh
berbuat sewenang-wenang, mereka boleh berbuat apa saja atas yang dikuasainya. Penjajah
merasa bahwa dirinya berhak atas segalanya terhadap terjajah. Ideologi bangsa penjajah
adalah bangsa yang terbaik, bangsa yang berpengetahuan, bangsa yang beradab, dan
bangsa yang berpendidikan.
Dengan tidak disadari oleh Sulastri, sesungguhnya ia sudah dianggap sebagi budak
yang pantas untuk dipermainkan. Meski Sulastri tak menyadari kebudakannya, para
majikan sudah menjadikan diri Sulastri sebagai seorang budak yang harus patuh dan
tunduk kepadanya.
“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.
“ ku bukan budak...!”
“Ooo....siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah
milikku. Semua adalah aku!”
“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah
budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”
Data di atas menunjukkan dampak kolonialisme yang merasuk pada diri Firaun
menjadi seorang majikan. Sosok Firaun merupakan simbol bangsa penjajah. Ia berada di
atas segalanya. Ia berhak memerintah apa saja kepada Sulastri (sebagai simbol bangsa
terjajah). Sikap dan perilaku Firaun itu, selaras dengan kajian kolonialisme yang
diungkapkan oleh Edwar Said (2010) bahwa bangsa terjajah (bangsa Timur) mengontruksi
pikiran penjajah (bangsa Barat) bangsa yang kejam dan menguasai seluruh kehidupan
bangsa terjajah. Dan sebaliknya, bangsa penjajah mengonstrusi pikiran bangsa terjajah
sebagi bangsa yang lemah dan pantas untuk dikuasai.
KESIMPULAN
Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim nwar memotret jejak
kolonialisme. Jejak kolonialisme tersebut terlihat pada kehidupan para tokohnya,
khususnya tokoh Sulastri dan Markam. Jejak kolonialisme terlihat pada penderitaan
kemiskinan keluarga Sulastri. Di samping itu, jejak kolonialisme tecermin pada perilaku
tokoh Markam yang menunjukkan kepercayaan dan keyakinan pada hal-hal yang bersifat
irasional atau mistik, menjadi sosok-sosok pemalas, dan juga suka mengambil jalan pintas.
Jejak kolonialisme juga terlihat pada kebodohan Sulastri, dan akhirnya menjadi
sosok inferior yang dikuasai oleh para penguasa. Penguasa yang dholim disimbolkan
adanya sosok Firaun yang keras dan kejam. Mereka menajdi sosok superior sementara
Sulastri menajadi sosok inferior. Superior berhak berbuat semena-mena atas inferior,
sedangkan inferior menerima kesemena-menaannya.
Page 70
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
105
DAFTAR PUSTAKA
Gandhi, Leela. 1988. Teori Postkolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
(Terjemahan Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah) Jakarta: Yayasan Obor.
Lubis, Mochtar. 1988. Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta: Yayasa
Obor.
Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subalter, dan Krtitik Penalaran
Postkolonial (Terjemahan Wiwin Indiarti). Yogyakarta: Pararaton.
Said, Edwar W. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sariban. 1 . “Representasi Kolonialisme dalam Tetralogi Pramoedya nanta Toer”.
Disertasi.
Swastika, lia. 5. “ dakah Jejak Postkolonial dalam Novel Populer”. Media
Perempuan Multikultural Srintil. Edisi 8
Page 71
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
106
PENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA MELALUI
PENDEKATAN CTL DENGAN TUTOR SEBAYA PADA
KOMPETENSI DASAR PELUANG
Mujiono SMK Negeri Pringkuku
Desa Ngadirejan Kecamatan Pringkuku Kabupaten Pacitan
Abstrak
Dalam pembelajaran matematika Secara rasional dalam Contextual teaching and learning
(CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa
mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta.
Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan
bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus
dikonstruksi oleh siswa. Berdasarkan kegiatan pada siklus 1 dan siklus 2 maka pembelajaran
matematika dengan menggunakan pendekatan CTL dengan pemanfaatan dengan tutor sebaya
tardapat peningkatan yang cukup signifikan hal ini ditandai dengan peningkatan pada masing-
masing siklus. Untuk siklus 1 bahwa siswa yang tuntas adalah 12 siswa 46,15 % sedangkan
siswa yang belum tuntas 14 atau 53,85 %. Jadi pada kegiatan siklus ini masih belum berhasil.
Sedangkan pada siklus 2 bahwa siswa yang tuntas adalah 21 siswa 80,77 % sedangkan siswa
yang belum tuntas 5 siswa atau 19,25 %.
Kata Kunci : Peningkatan, Prestasi,CTL
PENDAHULUAN
Dalam pembelajaran matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya
kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Secara umum hal ini terlihat
dari banyaknya kesalahan yang dilakukan siswa dalam memahami konsep matematika
sehingga berakibat pada kesalahan dalam mengerjakan soal dan akhirnya berpengaruh
pada rendahnya prestasi belajar siswa (skor) baik dalam nilai ulangan harian, maupun
terhadap pemahaman materi yang disampaikan terutama pada materi Peluang.
Karena pada dasarnya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan
siswa dalam belajar, baik dari dalam diri siswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor
dari luar. Ruseffendi (1991: 9) mengemukakan bahwa sepuluh faktor yang mempengaruhi
keberhasilan seseorang dalam belajar antara lain sebagai berikut: (1) kecerdasan, (2)
kesiapan belajar, (3) bakat, (4) kemauan belajar, (5) minat, (6) cara penyajian materi
pembelajaran, (7) pribadi dan sikap pengajar, (8) suasana pengajaran, (9) kompetensi
pengajar, dan (10) kondisi masyarakat luas.
Belajar pada prinsipnya adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara siswa dengan sumber-sumber atau obyek belajar baik secara sengaja
dirancang atau tanpa sengaja dirancang. Kegiatan belajar tersebut dapat dihayati (dialami)
oleh orang yang sedang belajar. Selain itu kegiatan belajar juga dapat di amati oleh orang
lain. Belajar yang di hayati oleh seorang pebelajar (siswa) ada hubungannya dengan usaha
pembelajaran, yang dilakukan oleh pembelajar (guru).
Pembelajaran matematika pada siswa masih banyak kendala kesepuluh poin tersebut
menjelaskan bahwa cara penyajian materi merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus menjadi penentu keberhasilan belajar siswa.
Apakah materi yang disajikan membuat siswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul
perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi
tersebut. Atau cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap
matematika? Ataukan justru siswa lebih senang/ lebih paham jika yang menjelaskan adalah
Page 72
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
107
teman mereka sendiri dalam satu kelas yang kemudian dalam tipe pembelajaran dikenal
dengan “Tutor Sebaya”? Sejalan dengan pemikiran Syah (1995) bahwa kekurangan atau
ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan
proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran matematika akan
mengaktifkan siswa serta menyadarkan siswa bahwa matematika tidak selalu
membosankan. Guru hanya sebagai fasilitator untuk membentuk dan mengembangkan
pengetahuan itu sendiri, bukan untuk memindahkan pengetahuan. Melalui pembelajaran
CTL siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan motivasi dalam
belajar matematika. Yang pada akhirnya akan mencapai hasil maksimal dalam proses
belajar dan meningkatnya prestasi belajar siswa di bidang matematika.
Pendekatan pembelajaran dapat berarti anutan pembelajaran yang berusaha
meningkatkan kemampuan-kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa dalam
pengolahan pesan sehingga tercapai sasaran belajar. Dalam belajar tentang pendekatan
belajar tersebut, orang dapat melihat pengorganisasian siswa, posisi guru-siswa dalam
pengolahan pesan, dan pemerolehan kemampuan dalam pembelajaran. Pendekatan
pembelajaran dengan pengorganisasian siswa dapat dilakukan dengan pembelajaran secara
individual, pembelajaran secara kelompok, dan pembelajaran secara klasikal.
Faktor internal yang dialamai oleh siswa meliputi hal-hal seperti; sikap terhadap
belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, kemampuan mengolah bahan belajar,
kemampuan menyimpan perolehan hasil belajar, kemampuan menggali hasil belajar yang
tersimpan, kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar, rasa percaya diri siswa,
intelegensi dan keberhasilan belajar, kebiasaan belajar dan cita-cita siswa. Faktor-faktor
internal ini akan menjadi masalah sejauh siswa tidak dapat menghasilkan tindak belajar
yang menghasilkan hasil belajar yang baik. (Dimyati & Mudjiono, 2002).
Penerapan CTL dalam pembelajaran, kembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin
kegiatan inkuiri untuk semua topik. Kembangkan sifat keingintahuan siswa dengan cara
bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan
model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir pertemuan.
Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa (Sumber
materi Bintek KTSP-2008).Menurut Johnson (2004) dalam Drs. Sugiyanto (2009:15)
menyatakan bahwa ada 3 pilar dalam system CTL, yaitu: 1) CTL mencerminkan prinsip
kesaling-bergantungan 2). CTL mencerminkan prinsip diferensiasi 3).CTL mencerminkan
prinsip pengorganisasian diri.
Tutor sebaya adalah seorang siswa pandai yang membantu belajar siswa lainnya
dalam tingkat kelas yang sama. Sisi lain yang menjadikan matematika dianggap siswa
pelajaran yang sulit adalah bahasa yang digunakan oleh guru. Dalam hal tertentu siswa
lebih paham dengan bahasa teman sebayanya daripada bahasa guru. CTL adalah
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota masyarakat (Depdiknas: 2002).
Belajar pada prinsipnya adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara siswa dengan sumber-sumber atau obyek belajar baik secara sengaja
dirancang atau tanpa sengaja dirancang (Suliana, 2005). Kegiatan belajar tersebut dapat
dihayati (dialami) oleh orang yang sedang belajar. Selain itu kegiatan belajar juga dapat di
amati oleh orang lain. Belajar yang di hayati oleh seorang pebelajar (siswa) ada
Page 73
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
108
hubungannya dengan usaha pembelajaran, yang dilakukan oleh pembelajar (guru). Pada
satu sisi, belajar yang di alami oleh pebelajar terkait dengan pertumbuhan jasmani yang
siap berkembang. Pada sisi lain, kegiatan belajar yang juga berupa perkembangan mental
tersebut juga didorong oleh tindakan pendidikan atau pembelajaran.
Dengan kata lain, belajar ada kaitannya dengan usaha atau rekayasa pembelajar.
Dari segi siswa, belajar yang dialaminya sesuai dengan pertumbuhan jasmani dan
perkembangan mental, akan menghasilkan hasil belajar sebagai dampak pengiring,
selanjutnya, dampak pengiring tersebut akan menghasilkan program belajar sendiri
sebagai perwujudan emansipasi siswa menuju kemandirian. Dari segi guru, kegiatan
belajar siswa merupakan akibat dari tindakan pendidikan atau pembelajaran. Proses belajar
siswa tersebut menghasilkan perilaku yang dikehendaki, suatu hasil belajar sebagai
dampak pengajaran. (Dimyati & Mudjiono, 2002). Rumusan dalam penelitian ini adalah:
1) Apakah terdapat peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal pada
materi Peluang di kelas XI Furnitur SMK Negeri Pringkuku yang diajarkan dengan
menggunakan metode CTL. 2) Apakah terdapat peningkatan prestasi belajar siswa pada
materi Peluang di kelas XI Furnitur SMK Negeri Pringkuku yang diajarkan dengan
menggunakan metode CTL.
METODE PENELITIAN
Setting penelitian ini adalah SMK Negeri Pringkuku dan karakteristik
Pembelajaran atematika dalam penelitian ini pada siswa kelas XI Furnitur tahun pelajaran
2012/2013 dengan jumlah siswa 26 siswa. Penelitian ini dilaksanakan pada semester II
bulan April sampai dengan Mei 2013 dan waktunya disesuaikan dengan jadwal mengajar
pada kelas dalam waktu pembelajaran. Pada kegiatan penelitian ini berlangsung dalam 2
siklus dengan 2 kali pertemuan tiap minggu dengan 4 jam tatap muka. Setiap siklus terdiri
dari 2 tindakan dan setiap tindakan dialokasikan 4 jam pelajaran. Jadi lama tindakan 2
minggu atau 4 kali pertemuan. Faktor Yang Diteliti, antara lain a) Faktor Siswa : melihat
hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran Statistika dengan system tutor sebaya.
Selain itu juga diamati respon siswa seperti ketekunan, keseriusan, kerjasama dalam
kelompok (antara tutor dan yang diberi tutorial), kerjasama antar kelompok, kemampuan
bertanya dan menjawab pertanyaan dan penghargaan kepada kelompok lain. b). Faktor
Guru : melihat cara guru merancang pembelajaran statistika dengan system tutor sebaya
termasuk perangkat pembelajaran, perangkat evaluasi dan pelaksanaan tindakan.
Prosedur penelitian terdiri dari 2 siklus. Setiap siklus dalam penelitian ini dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, Perencanaan. Terdiri dari; 1) Menyusun
perangkat pembelajaran berupa skenario pembelajaran dan rencana pembelajaran serta
menentukan materi pokok yang diajarkan; 2) Memilih siswa yang dijadikan tutor sebaya
dengan cara memilih 5 orang siswa yang berprestasi akademik, mempunyai kemampuan
pengetahuan, pemahaman dan analisa yang baik serta kemampuan merespon
permasalahan, memberikan bimbingan dan adaptasi dalam satu kelompok. Dalam setiap
kelompok terdapat satu siswa sebagai seorang tutor; 3) Menyiapkan alat evaluasi sesuai
dengan kompetensi dasar yang termuat dalam scenario pembelajaran. Pada minggu ke-
empat bulan April 2013
Kedua, Pelaksanaan. Pelaksanaan tindakan yaitu: siklus I, pada mingggu kedua
bulan Mei 2013 dan Siklus II, pada minggu ketiga bulan Mei 2013 Sesuai dengan jadwal
mengajar di SMK Negeri Pringkuku. 1) Observasi; Dilaksanakan bersamaan dengan
pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat. 2)
Refleksi; Data yang diperoleh dari tahap observasi dan evaluasi dianalisis dan
Page 74
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
109
menyimpulkan kelemahan dan kelebihan system tutor sebaya pada siklus I untuk
melakukan perbaikan pada siklus II.
Data tentang hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan system tutor
sebaya diperoleh dengan mengamati respon siswa. Data tentang cara guru merancang
pembelajaran dengan system tutor sebaya termasuk perangkat pembelajaran, perangkat
evaluasi dan pelaksanaan tindakan. Dalam penelitian tindakan kelas, peningkatan prestasi
belajar siswa sebagai hasil tindakan merupakan aspek paling diharapkan berkaitan erat
dengan analisis tentang prestasi belajar siswa seperti : analisis daya serap, ketuntasan
belajar dan nilai rata-rata. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut:
- Daya serap individu
% daya serap individu =
- Ketuntasan belajar secara individu
Peserta dikatakan tuntas belajar secara individu bila memperoleh persentase daya serap
individu ≥ 73%.
- Daya serap secara klasikal
% daya serap secara klasikal =
- Ketuntasan belajar secara klasikal
% ketuntasan belanja =
Peserta dikatakan tuntas belajar secara klasikal bila memperoleh persentase daya serap
secara klasikal ≥ 85% (Depdikbud, 1996: 5)
- Rata-rata hasil belajar
Nilai rata-rata =
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daya serap
individual, ketuntasan klasikal dan nilai rata-rata. Penerapan system tutor sebaya dinilai
berhasil dalam pembelajaran Peluang bila setiap tindakan menghasilkan daya serap
individual (ketuntasan individual) minimal
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Siklus I
Pertama, Perencanaan. Pada siklus pertama ini peneliti merencanakan bahwa
dalam pembahasan pada kompetensi dasar Peluang peneliti menggunakan pembelajaran
seperti biasa dalam arti secara umum sudah menganggap bahwa pada siswa kelas XI
Furnitur SMK Negeri Pringkuku tersebut sudah pernah mengadakan pembelajaran
mengenai Peluang. Kegiatan pembelajaran pada siklus ini peneliti laksanakan pada
minggu kedua bulan Mei 2013 yang pelaksanaannya sebagai berikut : Peneliti
mempelajari masalah yang ada dan merancang pembelajaran untuk dilaksanakan dalam
penggunaan metode CTL dengan tutor sebaya.
Kedua, Pelaksanaan. Pada pelaksanaan pembelajaran kurang lebih 10 menit,
peneliti melakukan apersepsi. Setelah melakukan apersepesi kemudian dilakukan
pengecekan terhadap bahan materi yang akan disampaikan, penerapan pembelajaran
dengan CTL, kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
Pembelajaran tutor sebaya ini adalah memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional, mengembangkan
sikap sosial dan semangat gotong royong dalam kehidupan, mendinamiskan kegiatan
Page 75
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
110
kelompok dalam belajar sehingga tiap anggota merasa diri sebagai bagian kelompok yang
bertanggung jawab, mengembangkan kemampuan kepemimpinan keterampilan pada tiap
anggota kelompok.
Ketiga, Observasi. Dari pembelajaran yang dengan baik ditunjukkan dengan angka
persentase 70%. Sedangkan yang tidak dapat dikerjakan dapat ditunjukkan dengan angka
persentase 30%. Ada diantara siswa yang mengerjakan di sekolah dengan cara mencontek
jawaban yang tidak aktif, dan berdasarkan hasil pemantauan peneliti dan guru pendamping
yang berfungsi sebagai kolaborator, alasan yang dikemukakan dari siswa yang tidak aktif
Sedangkan dari 5 buah soal yang disajikan umumnya dapat dijawab dengan benar.
Selanjutnya pada kegiatan pembelajaran peneliti menyampaian materi pembelajaran yang
didampingi oleh kolabolator.
Berdasarkan hasil pengamatan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kegiatan
pembelajaran yang dilakukan belum berhasil sebab siswa yang memperoleh skor 70 ke
atas masih kurang dari 75%. Atau jika ditentukan bahwa siswa yang tuntas adalah 12
siswa 46,15 % sedangkan siswa yang belum tuntas 14 atau 53,85 %. Jadi pada kegiatan
siklus ini masih belum berhasil.
Keempat, Refleksi. Dari hasil pembelajaran yang telah dilakukan siklus I belum
mencapai hasil secara maksimal, sebab siswa belum terbiasa dengan metode yang
digunakan peneliti. Siswa masih merasa kesulitan akan tugas yang ia kerjakan sehingga
siswa belum aktif dalam merespon metode baru yang diberikan. Perlu adanya tindakan
lebih lanjut sehingga mencapai tujuan. Dari hasil pemantauan proses pelaksanaan
tindakan, mencatat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk digunakan pada
pelaksanaan tindakan siklus berikutnya. Tindakan yang perlu dilakukan antara lain: 1)
Peneliti melihat atau merevisi kembali persiapan yang dilaksanakan, 2) Peneliti menyusun
kembali siswa yang dijadikan tutor sebaya dengan dasar permasalahan yang ada, 3)
peneliti memberi petunjuk cara menyelesaikan soal bagi siswa yang mengalami kesulitan.
Siklus II
Pertama, Perencanaan. Pada siklus kegiatan siklus kedua ini peneliti merencanakan
bahwa dalam pembahasan pada kompetensi dasar Peluang peneliti menggunakan
pembelajaran seperti biasa dalam arti secara umum sudah menganggap bahwa pada siswa
kelas XI Furnitur SMK Negeri Pringkuku tersebut sudah pernah mengadakan
pembelajaran mengenai Peluang. Kegiatan pembelajaran pada siklus II, pada prinsipya
hampir pada kegiatan pada siklus sebelumnya. Adapun kegiatan pada siklus di laksanakan
pada minggu ketiga bulan Mei 2013 yang pelaksanaannya sebagai berikut : Peneliti
mempelajari masalah yang ada dan merancang pembelajaran untuk di laksanakan dalam
penggunaan metode CTL dengan tutor sebaya.
Kedua, Pelaksanaan. Pada kegiatan siklus II pembelajaran dengan materi Peluang
dengan memperbaiki pelaksanaan pembelajaran pada siklus sebelumnya. Sebagai awal
pelaksanaan kurang lebih 10 menit, peneliti melakukan apersepsi. Setelah melakukan
apersepesi kemudian dilakukan pengecekan terhadap bahan materi yang akan
disampaikan, penerapan pembelajaran dengan CTL, kembangkan pemikiran bahwa anak
akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin
kegiatan inkuiri untuk semua topik tentang materi Peluang.
Pembelajaran tutor sebaya ini adalah memberikan kesempatan kepada setiap siswa
untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional dalam
memahami sifat-sifat Peluang dan persamaan Peluang, mengembangkan sikap sosial dan
semangat gotong royong dalam kehidupan, mendinamiskan kegiatan kelompok dalam
Page 76
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
111
belajar sehingga tiap anggota merasa diri sebagai bagian kelompok yang bertanggung
jawab, mengembangkan kemampuan kepemimpinan keterampilan pada tiap anggota
kelompok yang dinatu oleh seorang tutor sebaya.
Ketiga, Observasi. Dari pembelajaran yang dengan baik ditunjukkan dengan angka
persentase 70%. Sedangkan yang tidak dapat dikerjakan dapat ditunjukkan dengan angka
persentase 30%. Ada diantara siswa yang mengerjakan di sekolah dengan cara mencontek
jawaban yang tidak aktif, dan berdasarkan hasil pemantauan peneliti dan guru pendamping
yang berfungsi sebagai kolaborator, alasan yang dikemukakan dari siswa yang tidak aktif
Sedangkan dari 5 buah soal yang disajikan umumnya dapat dijawab dengan benar.
Selanjutnya pada kegiatan pembelajaran peneliti menyampaian materi pembelajaran yang
didampingi oleh kolabolator. Berdasarkan hasil pengamatan data yang diperoleh
menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan belum berhasil sebab siswa
yang memperoleh skor 70 ke atas sudah lebih 70%. Atau jika ditentukan bahwa siswa
yang tuntas adalah 21 siswa 80,77 % sedangkan siswa yang belum tuntas 5 siswa atau
19,25 %. Jadi pada kegiatan siklus ini dikatakan berhasil. Dengan demikian pembelajaran
yang menggunakan pendekatan CTL dengan tutor sebaya dapat dikemukakan ada
peningkatan yang cukup signifikan dengan ditandai adanya peningkatan pada masing-
masing siklus.
Keempat, Refleksi. Dari hasil pembelajaran yang telah dilakukan siklus II sudah
mencapai hasil secara maksimal, sebab siswa sudah terbiasa dengan metode yang
digunakan peneliti terutama dengan penerapan CTL dengan tutor sebaya dengan
memberikan gambaran selama kegiatan pada siklus II ini memberikan kontribusi yang
positif dalam pembelajaran sehingga siswa cenderung lebih aktif dan memiliki kampuan
dalam pembelajaran matematika yang diajarkan, dan sekaligus dengan tutor sebaya
pembelajaran lebih efektif.
Pembahasan
Berdasarkan kegiatan pada siklus 1 dan siklus 2 maka pembelajaran matematika
dengan menggunakan pendekatan CTL dengan pemanfaatan dengan tutor sebaya tardapat
peningkatan yang cukup signifikan hal ini ditandai dengan peningkatan pada masing-
masing siklus. Untuk siklus 1 bahwa siswa yang tuntas adalah 12 siswa 46,15 % sedangkan
siswa yang belum tuntas 14 atau 53,85 %. Jadi pada kegiatan siklus ini masih belum
berhasil. Sedangkan pada siklus 2 bahwa siswa yang tuntas adalah 21 siswa 80,77 %
sedangkan siswa yang belum tuntas 5 siswa atau 19,25 %. Dari uraian diatas maka dapat
digambarkan dengan menggunakan grafik sebagai berikut.
SIMPULAN DAN SARANesimpulan
0
20
40
60
80
100
Siklus 1 Siklus 2
Dal
am %
Masing-masing siklus
Kegiatan pembelajaran pada tiap siklus
Rata-rata
Tuntas
Tidak tuntas
Page 77
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
112
Berdasarkan uraian pada analisis data dan pembahasan maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa: 1) Terdapat peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan
soal-soal pada materi Peluang di kelas XI Furnitur SMK Negeri Pringkuku yang diajarkan
dengan menggunakan metode CTL. 2) Terdapat peningkatan prestasi belajar siswa pada
materi Peluang di kelas XI Furnitur SMK Negeri Pringkuku yang diajarkan dengan
menggunakan metode CTL.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka sebagai tindak lanjut dan
penyempurnaannya dikemukakan saran sebagai berikut: Pertama, Bagi Guru; Dalam
menyajikan mata pelajaran matematika tentang materi Peluang dapat menggunakan
metode pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memahami benar dalam berbagai segi,
yaitu aspek kognitif dan afektif. Hal ini didasarkan bahwa untuk pelajaran matematika
siswa dituntut berfikir secara kritis dan analisis dalam memahami materi. Jika dengan
menerapkan metode ceramah saja maka akan terjadi kebosanan siswa terhadap materi
yang diajarkan dan lagi pemahaman siswa terhadap materi sangatlah rendah.
Kedua, Bagi siswa. Agar pembelajaran yang dilakukan disekolah cenderung lebih
berorientasi/mengedepankan pola berfikir yang aktif dan kreatif agar pelaksanaan
pembelajaran dikelas akan cepat memberikan kontribusi yang baik.
Ketiga, Penelitian selanjutnya. Guna mendapatkan jawaban yang lebih detail
disarankan diadakan penelitian lanjutan dengan rancangan pembelajaran yang lebih
komprehensif, terutama dalam pengambilan data dengan menggunakan teori yang lebih
kompleks. Dengan demikian penelitian tersebut dapat lebih mantap tentang strategi
pembelajaran dengan menggunakan metode CTL dengan mengembangkan tutor sebaya.
DAFTAR PUSTAKA
Carin, Arthur. 1993. Teaching Modern Science. USA: MacMilan Publishing Company.
Hakim, Lukman. 1995. Metodologi Penelitian. Malang: IKIP Malang.
Harsiati, Titik. 1999. Penelitian Tindakan Kelas dalam Pengajaran Akuntansi Biaya.
Malang IKIP Malang.
Mariana, IM. 1999. Suatu Tinjauan tentang Hakekat pendekatan “Science Technology and
Society” dalam Pembelajaran Sains. Buletin Pelangi Pendidikan, vol 2 No. 1.
Bandung.
Moleong, Lexy. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Poedjiadi, Anna. 1994. Konsep STS dan Pengembangannya Berdasarkan Kurikulum
Sekolah. Makalah disampaikan pada Semlok STS tanggal 11 – 12 Juli 1994.
Bandung: PPPG IPA.
Soedarsono, 1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bagian Ketiga;
Pemantauan dan Evaluasi. Yogyakarta: UP3SD – UKMPSD Depdikbud.
Page 78
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
113
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR LOMPAT JAUH GAYA
JONGKOK MELALUI METODE LATIHAN AWALAN 9 LANGKAH
PADA SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 2 KEBONAGUNG
SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 2010/2011
Bambang Santoso SMP 2 Kebonagung Pacitan
Email: [email protected]
Abstrak
Upaya pencapaian jarak lompatan sejauh-jauhnya pada seorang siswa harus memiliki
beberapa persyaratan tertentu seperti misalnya kondisi fisik dan penguasaan teknik dalam
lompat jauh yang baik. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah:
bagaimanakah metode latihan awalan 9 langkah dapat menigkatkan hasil belajar lompat jauh
gaya jongkok? Tujuan dari penelitian ini adalah (A) Untuk mengetahui bagamana metode
latihan awalan 9 langkah dapat meningkatkan kemampuan dan hasil belajar lompat jauh gaya
jongkok
Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan (action research) sebanyak dua siklus. Setiap
siklus terdiri dari empat tahap yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.
Subyek penelitian ini adalah Siswa Kelas VII A SMP N 2 Kebonagung Semester Genap Tahun
Pelajaran 2010/2011. Dari hasil analisa didapat bahwa prestasi belajar siswa mengalami
peningkatakan dari siklus I sampai II yaitu, siklus I (75%), siklus II (100%). Simpulan dari
penelitian ini adalah metode Latihan Awalan 9 langkah dapat meningkatkan hasil belajar
lompat jauh gaya jongkok Kelas VII A SMP N 2 Kebonagung dan metode ini dapat digunakan
sebagai salah satu alternative pada pembelajaran lompat jauh.
Kata kunci: Penjas orkes, Lompat Jauh Gaya Jongkok, Metode Latihan Awalan 9 Langkah
PENDAHULUAN
Lompat jauh yang diajarkan di sekolah menengah pertama merupakan latihan bagi
siswa untuk melakukan gerakan melompat dan mencapai jarak lompatan sejauh-jauhnya
yang dimulai dengan gerakan lari sebagai awalan dalam melompat kemudian menolak
pada papan tumpuan kemudian gerakan melayang di udara dan akhirya mendarat pada
titik terjauh ke dalam bak pasir sebagai media pendaratannya. Pencapaian jarak lompatan
sejauh-jauhnya dapat diraih dengan persyaratan tertentu seperti misalnya kondisi fisik dan
penguasaan teknik dalam lompat jauh yang baik.
Banyaknya alternatif pilihan teknik awalan lompat jauh sering menjadikan
kenyataan mudahnya mengambil salah satu teknik awalan dengan tidak
mempertimbangkan karakteristik peserta didik yang dihadapi. Akibatnya prestasi lompat
jauh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi riil ini terjadi ketika berlangsung
proses pembelajaran lompat jauh di kelas VII A SMP Negeri 2 Kebonagung. Teknik
awalan yang diberikan saat pembelajaran berlangsung mengambil jarak maksimal sesuai
dengan standart perlombaan (30-40 meter).
Hasil dari kegiatan pembelajaran menunjukkan bahwa dari tes awal yang
dilaksanakan hanya 52% siswa yang nilainya di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang ditentukan yakni 75. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa menguasai
materi Lompat Jauh tergolong rendah.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis sekaligus guru penjas pada kelas
VII A terdorong untuk memperbaiki hasil belajar lompat jauh gaya jongkok dengan
megadakan pembenahan proses pembelajaran melalui penelitian tindakan. Adapun
penelitian tindakan untuk kelas VII adalah “ Meningkatkan Hasil belajar Lompat jauh
Page 79
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
114
Gaya Jongkok Melalui Metode Latihan Awalan 9 langkah Pada Siswa Kelas VII A SMP
Negeri Kebonagung Semester II Tahun Pelajaran 1 11”.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah metode Latihan Awalan 9 langkah dapat meningkatkan hasil belajar
Lompat Jauh Gaya Jongkok Siswa Kelas VII A SMP N 2 Kebonagung?
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester Genap tahun pelajaran
2010/2011
2. Tempat Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Kebonagung kabupaten
Pacitan.
Subjek Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas VII
A SMP Negeri 2 Kebonagung tahun pelajaran 2010/2011, yang terdiri dari 32 siswa
dengan komposisi laki-laki 18 orang dan perempuan 14 orang.
Personalia Peneletian
1. Pengamat Penelitian
Nama:Hanung Prabowo, S.Pd
Kualifikasi: Guru Penjas Orkes
2. Peneliti
Nama: Bambang Santoso, M.Pd
Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan berdasarkan hasil refleksi awal pembelajaran
lompat jauh gaya jongkok. Menurut hasil wawancara dengan siswa, angket yang disebar,
dan analisis hasil ulangan harian diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa kelas VII
A materi lompat jauh gaya jongkok masih rendah. Aktivitas siswa dalam pembelajaran
lompat jauh gaya jongkok belum optimal dan metode latihan yang digunakan dalam
belajar lompat jauh belum sesuai dengan karakteristik siswa. Berdasarkan permasalahan
tersebut maka perlu adanya penelitian tindakan dalam upaya meningkatkan layanan
pembelajaran sekaligus meningkatkan hasil belajar.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini adalah pedoman observasi, catatan
lapangan, dokumentasi, dan foto. Secara garis besar, instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini dipaparkan sebagai brikut:
1. Lembar observasi digunakan untuk menjaring data berkaitan dengan proses
pembelajaran baik aktivitas guru, maupun siswa.
2. Catatan Lapangan digunakan untuk memperoleh rekaman kegiatan guru dan siswa
selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
3. Lembar Penilaian digunakan untuk mengukur keberhasilan siswa/ penguasaan
kompetensi siswa.
Page 80
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
115
4. Angket siswa digunakan untuk menjaring data terkait dengan tanggapan siswa
terhadap proses pembelajaran.
Prosedur Pengunpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut.
1. Observasi yang dilakukan bersamaan dengan implementasi tindakan. Fokus observasi
adalah hal-hal yang terkait dengan aktivitas siswa selama proses pembelajaran.
2. Tes berupa unjuk kerja kemampuan siswa melakukan lompat jauh gaya jongkok. Tes
ini dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar siswa.
Jenis Data dan Analisisnya
Data yang diperoleh dari instrumen tersebut meliputi data proses dan hasil belajar.
Selanjutnya, data itu dianalisis. Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisa
deskriptif kuantatif, yaitu suatu metode penelitian yang menggambarkan kenyataan atau
fakta sesuai dengan data yang diperoleh.
Analisa ini dihitung dengan menggunakan statistik sederhana yaitu:
1. Untuk menilai tes praktik
Peneliti melakukan penjumlahan nilai yang diperoleh siswa yang selanjutnya
dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut sehingga diperoleh rata-rata tes
praktik. Dirumuskan:
N
XX
Keterangan:
X = Nilai rata-rata
X = Jumlah semua nilai siswa
N = Jumlah siswa
2. Untuk ketuntasan belajar
Ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan secara
klasikal. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan belajar mengajar kurikulum KTSP
(Depdikbud, 1994) yaitu siswa telah tuntas belajar bila di kelas tersebut mendapat
90% yang telah mencapai daya serap dari materi yang disajikan.
Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai
berikut:
%100
siswa
belajartuntasyangSiswaP
3. Untuk lembar observasi
a. Lembar observasi pengolahan metode penampilan dan eksperimen
Untuk menghitung lembar observasi pengolahan metode penampilan
dan eksperimen digunakan rumus sebagai berikut:
2
21 PPX
Dimana:
P1 = pengamatan 1
P2 = pengamatan 2
b. Lembar observasi aktifitas guru dan siswa
Page 81
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
116
Untuk menghitung lembar observasi aktivitas guru dan siswa digunakan
rumus sebagai berikut:
1 2Jumlah hasil pengamatan% 100% dengan
Jumlah pengamat 2
P PXX
X
Dimana:
% = persentase angket
X = rata-rata
X = jumlah rata-rata
1P = pengamat 1
2P = pengamat 2
4. Untuk menghitung persentase angket digunakan rumus sebagai berikut:
n
ZP
Dimana:
P = Persentase
Z = Alternatif jawaban (A, B, C, D)
n = Jumlah responden
5. Aspek yang diamati
Mengadakan analisis terhadap data hasil pengamatan yang
menggunakan rating scale, hal ini dimaksudkan apakah penelitian bisa dihentikan
atau dilanjutkan pada siklus berikutnya.
a. Ranah Psikomotor
Skala penilaian yang digunakan sesuai dengan instrument yang telah
direncanakan, yaitu antara 1-3 (1= kurang tepat, 2 = cukup dan 3 = tepat) untuk aspek
penilaian. Hal ini berarti bahwa:
- Skor minimal yang diperoleh siswa adalah: 1 x 4 =4
- Skor maksimalyan diperoleh siswa adalah: 3 x4 = 12
- Medium skor adalah 82
)124(
b. Ranah Afektif
Skala penilaian yang digunakan sesuai dengan instrumen yang telah
direncakanakan yaitu antara 1-4 (1 kurang baik, 2 cukup baik, 3 = baik, 4 = sangat
baik) untuk 3 aspek penilaian. Hal ini berarti bahwa:
- Skor minimal yang diperoleh siswa adalah: 1 x 3 = 3
- Skor maksimal yang diperoleh siswa adalah: 4 x 3 = 12
- Medium skor adalah 5,72
)123(
- Dibuat rentang skor dan dikonversi menjadi nilai rapor sebagai pedoman penilaian.
Tabel 3.2 Pedoman Penilaian Ranah Psikomotor
No Rentang skor Nilai Rapor Predikal
1 11-12 A Baik sekali
2 9-10 B Baik
3 7-8 C Cukup
4 5-6 K Kurang
5 3-4 KC Kurang sekali
Page 82
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
117
Mutu pernbelajaran dikatakan baik apabila siswa yang mendapat nilai diatas C
mencapai 90 % atau lebih dari keseluruhan siswa
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil
Siklus Pertama
Perencanaan
1) Menentukan metode pembelajaran.
2) Menyusun format observasi dan instrument penilaian.
3) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Pelaksanaan Tindakan.
1) Guru melakukan apersepsi.
2) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
3) Guru menjelaskan langkah-langkah kegiatan belajar lompat jauh gaya jongkok dengan
awalan 9 langkah .
4) Guru mendemonstrasikan langkah-langkah kegiatan belajar lompat jauh gaya jongkok
dengan awalan 9 langkah (teknik awalan, tumpuan, saat di udara dan mendarat).
5) Jumlah siswa dibagi menjadi 6 kelompok (3 kelompok pa dan 3 kelompok pi).
6) Siswa dalam kelompok masing-masing berdiskusi tentang teknik lompat jauh dengan
awalan 9 langkah, dilanjutkan unjuk kerja lompat jauh gaya jongkok tiap-tiap siswa di
kelompok masing-masing.
7) Perwakilan masing-masing kelompok mendemonstrasikan lompat jauh gaya jongkok
hasil kerja kelompok (teknik awalan, tumpuan, saat di udara dan mendarat).
8) Dari hasil kerja kelompok, guru memberikan penguatan informasi.
9) Siswa unjuk kerja secara individu.
10) Setelah selesai guru menyimpulkan hasil lompat jauh siswa dengan memberikan
evaluasi.
Observasi
Hasil pengamatan kolaborator dengan menggunakan instrument observasi dan
catatan lapangan. Berdasarkan tabel dan grafik di atas, tertihat bahwa siswa mulai terdapat
peningkatan dengan memperoleh rata-rata 72 dengan nilai tertinggi 83 dan nilai terendah
adalah 50. Siswa yang tuntas belajar 27 orang atau sekitar 84% dari nilai KKM yang
ditetapkan yaitu 75. Hal ini memberi gambaran bahwa hasil belajar siswa pada materi
teknik lompat jauh gaya jongkok terdapat peningkatan jika dibanding dengan hasil pra
siklus.
Refleksi
Hasil diskusi dengan kolaborator diperoleh masukan sebagai berikut:
1) Guru agar memberi penekanan khusus terhadap motivasi siswa untuk mampu secara
optimal melakukan tugas gerak yang diberikan.
2) Guru agar menggunakan bahasa penekanan secara jelas dalam menyampaikan
informasi tentang hal-hal yang belum diketahui oleh siswa.
Page 83
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
118
Siklus Kedua
Perencanaan
1) Menentukan metode pembelajaran.
2) Menyiapkan format observasi dan instrument penilaian.
3) Menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Pelaksanaan Tindakan
1) Guru melakukan apersepsi.
2) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
3) Guru menjelaskan langkah-langkah kegiatan belajar lompat jauh gaya jongkok dengan
awalan 9 langkah .
4) Guru mendemonstrasikan langkah-langkah kegiatan belajar lompat jauh gaya jongkok
dengan awalan 9 langkah (teknik awalan, tumpuan, saat di udara dan mendarat).
5) Jumlah siswa dibagi menjadi 6 kelompok (3 kelompok pa dan 3 kelompok pi).
6) Siswa dalam kelompok masing-masing berdiskusi tentang teknik lompat jauh dengan
awalan 9 langkah, selanjut unjuk kerja lompat jauh gaya jongkok tiap-tiap siswa di
kelompok masing-masing.
7) Perwakilan masing-masing kelompok mendemonstrasikan lompat jauh gaya jongkok
hasil kerja kelompok (teknik awalan, tumpuan, saat di udara dan mendarat).
8) Dari hasil kerja kelompok, guru memberikan penguatan informasi.
9) Siswa unjuk kerja secara individu.
10) Setelah selesai guru menyimpulkan hasil lompat jauh siswa dengan memberikan
evaluasi.
Observasi
Hasil pengamatan kolaborator dengan menggunakan instrument observasi dan catatan
lapangan. Berdasarkan tabel dan grafik di atas, terlihat bahwa siswa mulai terdapat
peningkatan yang cukup signifikan dengan memperoleh rata-rata 85 dengan nilai tertinggi
92 dan nilai terendah adalah 75. Siswa yang hasil belajamya sama atau diatas KKM 32
orang atau sekitar 100% dari nilai KKM yang ditetapkan yaitu 75. Hal ini memberi
gambaran bahwa hasil belajar siswa materi lompat jauh gaya jongkok dengan metode
pembelajaran 9 langkah terdapat peningkatan jika dibanding dengan hasil siklus I.
Refleksi
Setelah dilakukan perubahan pada siklus kedua, factor-faktor penghambat pencapaian
prestasi hasil belajar siswa yang terdapat pada siklus pertama dapat teratasi. Hal tersebut
ditunjukkan dengan peningkatan prosentase ketuntasan belajar siswa yang mengalami
peningkatan seperti terlihat pada table data hasil belajar siswa.
Pembahasan
Pembelajaran lompat jauh gaya jongkok dengan menerapkan metode awalan 9
langkah menunjukkan adanya aktivitas belajar yang lebih menyenangkan dan
memudahkan sehingga kegiatan belajar terasa lebih dinamis. Aktivitas gerak siswa tinggi
dan peluang untuk mendapatkan kesempatan gerak semakin banyak. Dengan metode ini
terlihat minat/ perhatian siswa untuk mengikuti akivitas gerak semakin meningkat
sebagaimana terlihat pada tabel aktivitas belajar siswa siklus pertama dan siklus kedua.
Pada siklus pertama saat pembelajaran berlangsung siswa yang memiliki perhatian
dengan kategori baik terdapat 6 siswa (19%), siswa yang memiliki perhatian dengan
Page 84
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
119
kategori sedang 17 siswa (53%), yang memiliki perhatian dengan kategori kurang 12
siswa (38%).
Pada siklus Kedua saat pembelajaran berlangsung siswa yang memiliki perhatian
dengan kategori baik terdapat 14 siswa (44%), siswa yang memiliki perhatian dengan
kategori sedang 14 siswa (44%), yang memiliki perhatian dengan kategori kurang 7 siswa
(22%).
Pada siklus pertama Prosentase siswa yang tuntas belajar 100 % (27 siswa)
sedangkan Prosentase siswa yang belum tuntas belajar 16 % (5 siswa). Pada siklus kedua
Prosentase siswa yang tuntas belajar 100 % (32 siswa) sedangkan Prosentase siswa yang
belum tuntas belajar 0 %.
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode awalan 9
langkah dapat meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa kelas VII
A SMP N 2 Kebonagung. Dengan demikian metode ini bisa menjadi rujukan untuk
kegiatan pembelajaran lompat jauh gaya jongkok setingkat SMP.
Peningkatan hasil belajar antara siklus pertama dengan siklus kedua disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut:
1. Terjadinya pengulangan kegiatan pembelajaran, sehingga memudahkan siswa untuk
melakukan perbaikan-perbaikan pada kekurangan pembelajaran sebelumnya.
2. Kegiatan pembelajaran pada siklus kedua dilaksanakan lebih sempurna dibandingkan
siklus pertama karena siswa telah memiliki bekal pada pembelajaran sebelumya.
3. Pembelajaran dengan metode awalan 9 langkah untuk lompat jauh gaya jongkok lebih
efektif dan efisien digunakan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan maka
disimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode awalan 9 langkah terbukti dapat
meningkatkan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok pada siswa Kelas VII A SMP
Negeri 2 Kebonagung.
Saran
Berdasarkan temuan hasil penelitian tindakan kelas tentang pembelajaran dengan
metode awalan 9 langkah pada lompat jauh gaya jongkok disarankan sebagai berikut:
1. Metode awalan 9 langkah dapat diterapkan lebih lanjut pada pembelajaran lompat
jauh.
2. Agar hasil belajar lebih baik maka perlu kesiapan dari guru dan siswa terkait dengan
kegiatan pembelajaran lompat jauh.
3. Tidak optimalnya hasil pembelajaran perlu diupayakan penyelesainnya dengan
langkah penelitian tindakan kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Aip Syarifiidin. 2002. Atletik. Jakarta: Depdikbud
Bambang Widjanarko dan Ismaryati. 2004. Pendidikan Atktik. Jakarta: Depdikbud
Bernhard, Gunther. 2003. Atletik. Semarang: Dahara Prize
Carr, Gerry. 2000. Atletik untuk Sekolah. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hadhmyah Noor. 2005. Kepelatinan Dasar. Jakarta: Depdikbud
Soegito, dkk. 2004. Materi Pokok Pendidikan Atletik. Jakarta: Depdikbud
Suharsimi Arikunto. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Page 85
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
120
UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJARSENAM IRAMA
MELALUI PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR PADA SISWA KELAS
VIIIC SMP NEGERI 2 KEBONAGUNG SEMESTER I TAHUN
PELAJARAN 2010/2011
Bambang Santoso SMP 2 Kebonagung Pacitan
Email: [email protected]
Abstrak
Metode pembelajaran yang sering digunakan guru di kelas selama ini adalah metode
konvensional. Dalam pembelajaran penjasorkes, guru minim penggunaan media sehingga
siswa cepat bosan dan kurang bisa memahami dengan cepat materi penjelasan yang
disampaikan guru. Degan kata lain, tanpa penggunaan media pembelajaran dengan strategi
pengajaran yang sesuai. Proses belajar mengajar menjadi kurang efektif dan hasilnya kurang
optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan Media Gambar dapat
meningkatkan hasil belajar senam irama kelas VIII C SMP Negeri 2 Kebonagung Semester
Ganjil Tahun Pelajaran 2010/2011.
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII C SMP Negeri 2 Kebonagung, semester
ganjil tahun pelajaran 2010/2011. Dalam penelitian ini siswa diamati ketika sedang mengikuti
kegiatan belajar mengajar pelajaran senam irama baik yang diberi tindakan kelas dengan
menggunakan media gambar maupun tanpa penggunaan media gambar. Pada setiap akhir
kedua tindakan tersebut, siswa diberi tes tentang materi yang baru saja diberikan. Efektifitas
penggunaan media gambar diukur berdasarkan perbedaan nilai yang didapat siswa antara
sebelum dan sesudah diberi tindakan. Dari hasil pengujian hipotesis, didapatkan bahwa
hipotesis yang diajukan terbukti, yakni: penggunaan media gambar dapat meningkatkan
efektifitas pembelajaran senam irama kelas VIII C di SMP Negeri 2 Kebonagung.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, terutama kepada pihak Sekolah dan Guru agar hasil penelitian ini
dijadikan dasar pertimbangan untuk menumbuhkan dan mengembangkan efektifitas
pembelajaran dengan metode penggunaan media gambar. Selain itu, diharapkan hasil
penelitian ini bisa dijadikan sebagai dasar penetian lebih lanjut guna memperoleh hasil yang
lebih reliable dan akurat untuk fokus penelitian yang sama.
Kata Kunci: Media Gambar, Pembelajaran, Senam Irama
PENDAHULUAN
Sekolah Menegah Pertama (SMP) merupakan lembaga pendidikan tingkat menegah
yang berkewajiban menyiapkan peserta didik untuk dapat melanjutkan ke tingkat
pendidikan yang lebih tinggi. Di lembaga pendidikan tingkat menegah, siswa dibekali
berbagai disiplin ilmu sesuai dengan perkembangan tingkat kemampuannya, untuk
menyiapkan mereka menjadi orang yang menguasai sains dan teknologi untuk terjun di
kehidupan masyarakat. Hal ini selaras dengan tujuan nasional yang tertuang dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diantaranya adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diselenggarakan secara terpadu dan diarahkan pada
peningkatan kualitas serta pemerataan pendidikan.
Berdasarkan berbagai keterangan dan pengamatan, maka penulis dengan guru
bidang studi olahraga SMP Negeri 2 Kebonagung diperoleh keterangan bahwa
khususnya siswa kelas VIII C cukup tertarik dengan mata pelajaran olahraga terutama
pada pokok bahasan senam irama. Hanya saja, penyampaian guru untuk pelajaran ini
cukup minim penggunaan media dirasa masih kurang, sehingga siswa cepat bosan dan
kurang bisa memahami dengan cepat materi pembelajaran tentang senam irama yang
Page 86
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
121
disampaikan guru. Dalam keadaan demikian, siswa menjadi kurang memperhatikan dan
kurang termotivasi untuk terlibat aktif dalam menjawab dan melakukan gerakan dari
senam irama yang diberikan guru. Pada pihak guru, ia terkesan kesulitan ketika
menjelaskan cara melakukan gerak senam irama. Dengan demikian maka perlu adanya
alat bantu atau media pembelajaran, seperti halnya media gambar, maupun audio visual
lainnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang bisa dirumuskan dalam
penelitian ini adalah: “ pakah penggunaan Media Gambar dapat meningkatkan hasil
belajar Senam Irama pada siswa kelas VIII C SMP Negeri 2 Kebonagung Tahun Pelajaran
1 11?”
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian
tindakan (action research), yang merupakan proses daur ulang, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan, refleksi dan mungkin diikuti dengan
perencanaan ulang.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan media gambar dalam proses
pembelajaran sebagai tindakan penelitian yang kemudian direfleksikan untuk menyusun
rencana pengajaran dan melakukan perbaikan terhadap rencana pembelajaran (revised
plan) berdasarkan prosedur dan langkah-langkah penelitian tindakan guna mencari
pemecahan masalah dan menjawab tujuan penelitian ini.
Tahap penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart
(1988) berupa siklus yang meliputi kegiatan (1) Perencanaan, (2) pelaksanaan dan (3)
Observasi dan (4) Refleksi, yang membentuk alur sampai selesainya seluruh kegiatan
penelitian, sehingga diperoleh data yang dapat disimpulkan sebagai jawaban dari
permasalahan penelitian ini.
Indikator pertama yang menunjukkan keberhasilan proses pembelajaran bisa dilihat
dari hasil pengamatan langsung tentang suksesnya seorang guru dalam melakukan proses
belajar mengajar. Sementara indikator kedua adalah suksesnya siswa dalam mengikuti
pembelajaran dilihat dari hasil belajarnya melalui respon yang diberikan dalam tes dengan
skor rata-rata 70%.
Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara
tersruktur terhadap tentang respon siswa terhadap penerapan model pengajaran dengan
alat bantu media gambar dalam pembelajaran Olahraga untuk Pokok k bahasan senam
iramae .
Data tentang prestasi siswa juga dikumpulkan melalui tes sebelum siswa
mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan media gambar dan sesudah siswa
mendapatkan pembelajaran dengan penggunaan media gambar untuk pelajaran yang sama,
yakni Pokok bahasan senam iramae
Teknik Analisa Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif yang
dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
a. Menelaah data
Data yang telah terkumpul dianalisis, disintesa, dimaknai, diterangkan, dan
disimpulkan, yang pada pripsipnya dilakukan sejak awal data diperoleh. Data yang
Page 87
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
122
terkumpul dikategorisasikan berdasarkan tema, topik atau pola-pola yang ditemukan
berdasarkan data tersebut. Hal ini dilakukan untuk memudahkan interpretasidan
justifikasi yang teralokasi pada data secara spesifik.
b. Reduksi Data
Data yang terkumpul dan dikategorikan, dituangkan dalam dalam draft laporan rinci,
dirangkum, direduksi, dipilih hal-hal pokok, sehingga terfokuskan pada hal-hal yang
terpenting. Hasil yang diperoleh adalah berupa kecenderungan-kecenderungan dan
pola-pola yang muncul dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan alat
bantu medis gambar.
c. Validasi
Hasil klasifikasi data yang telah direduksi, disimpulkan dan dimungkinkan untuk
“dicek ulang” dengan membandingkan atau mempertentangkan dengan data lain yang
terkumpul dari berbagai teknik pengumpulan data yang digunakan dan dari sumber data
yang berbeda sebagai triangulasi data. Tujuan triangulasi data ini utnuk mendapatkan
keabsahan data melalui cross-sectional, sehingga dimungkinkan muncul kategori baru
atau data yang masih mengambang untuk segera dilacak kembali kepada sumber
datanya.
Instrumen Penelitian
Untuk menjaring data di lapangan instrumen penelitian yang dipakai adalah sebagai
berikut:
1. Panduan wawancara, merupakan bentuk percakapan dialogis untuk memperoleh data
penelitian sehubungan dengan proses belajar mengajar.
2. Lembar observasi, yang berbentuk check list dan berisi skala penilaian sebagai
pedoman dalam mengobservasi kegiatan proses belajar mengajar melalui observasi
partisipan;
3. Tes, berupa soal-soal tes kepada siswa yang diberikan sebelum dan sesudah
mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan media gambar.
Tempat dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang penulis pilih adalah di Sekolah Menegah Pertama (SMP ) 2
Kebonagung Kecamatan Kebonagung Kabupaten Pacitan. Ada beberapa alasan
penulis menunjuk lokasi tersebut bahwa di SMP Negeri 2 Kebonagung Kabupaten
Pacitan belum pernah diadakan penelitian yang sejenis.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang penulis tentukan adalah Bulan Agustus sampai dengan
bulan September 2010 tahun pelajaran 2010/2011.
3. Subyek Penelitian
Subyek yang merupakan populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII
C SMP 2 Kebonagung Kabupaten Pacitan pada tahun ajaran 2010/2011. dalam hal ini
jumlah siswa sebanyak 30 orang siswa, teknik pengambilan sampel yang dipakai
dalam penelitian ini adalah total sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang
diambil sama dengan jumlah populasi.
Page 88
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
123
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Siklus I
1) Hasil Belajar Siswa sebelum Tindakan (Pra Siklus)
Data prestasi belajar sebelum tindakan diperoleh dari hasil tes tentang materi
pengukuran senam irama yang dilakukan guru sebelum tindakan.
Tabel 1. Data Kriteria Hasil Belajar Siswa Sebelum Tindakan
Skor interval Klasifikasi Frekuensi Persentase (%)
85-100 Sangat Tinggi - 0
70-84 Tinggi 5 15
55-69 Cukup Tinggi 12 38
40-54 Rendah 15 47
0-39 Sangat Rendah - 0
32 100,00
.
Berdasarkan Tabel dan grafik di atas, secara umum prestasi belajar siswa dapat
dikatakan rendah dan cukup, meski ada beberapa siswa yang tergolong memiliki hasil
belajar tinggi. Sebanyak 5 siswa (15%) memiliki nilai dalam kategori tinggi dan 0
orang siswa (0%) tergolong siswa yang memiliki skor sangat tinggi, 12 anak (38%)
memiliki nilai cukup, nilai rendah 15 orang siswa (47%). Dengan demikian, secara
umum kemampuan siswa kelas VIII C SMPN 2 Kebonagung Kecamatan Kebonagung
Kabupaten Pacitan bisa dikatakan kurang karena hanya 5 anak (15%) dari jumlah total
siswa yang memiliki skor tes 70. Untuk itu tindakan yang dilakukan peneliti adalah
melakukan tindakan perbaikan pada siklus I.
2) Hasil Belajar Siswa pada Siklus I
Data prestasi belajar setelah dilakukan tindakan pada Siklus I dan diperoleh
hasil tes tentang materi senam irama dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 2. Data Kriteria Hasil Belajar Siswa pada Siklus I
Skor interval Klasifikasi Frekuensi Persentase (%)
85-100 Sangat Tinggi - 0
70-84 Tinggi 7 20
55-69 Cukup Tinggi 14 45
40-54 Rendah 11 35
0-39 Sangat Rendah - 0
32 100,00
.
Berdasarkan Tabel dan grafik di atas, secara umum prestasi belajar siswa dapat
dikatakan rendah dan cukup, meski ada beberapa siswa yang tergolong memiliki hasil
belajar tinggi. Sebanyak 14 siswa (45%) memiliki nilai dalam kategori cukup dan 0
orang siswa (0%) tergolong siswa yang memiliki skor sangat tinggi, 7 anak (20%)
memiliki nilai tinggi, nilai rendah 11 orang siswa (35%). Dengan demikian, secara
umum kemampuan siswa kelas VIII C SMPN 2 Kebonagung Kecamatan Kebonagung
Kabupaten Pacitan bisa dikatakan kurang karena hanya 7 anak (20%) dari jumlah total
siswa yang memiliki skor tes 70, tetapi sudah terjadi peningkatan. Untuk itu tindakan
yang dilakukan peneliti adalah melakukan tindakan perbaikan pada siklus II.
Page 89
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
124
3) Hasil Belajar Siswa pada Siklus II
Untuk mengetahui prestasi belajar siswa sesudah tindakan dilakukan, maka
dilaksanakan tes pada akhir pertemuan yaitu pada akhir tindakan siklus II. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif tindakan kelas yang diberikan (dalam hal
ini pembelajaran dengan menggunakan media gambar) untuk menghasilkan hasil
belajar yang tinggi. Untuk mengetahui bisa dilihat dari dua hasil post-test tentang
pokok bahasan yang sama dengan tindakan pertama (sebelum diberikan pembelajaran
dengan menggunakan media gambar). Adapun hasil prestasi belajar siswa pada siklus II
serta kriteria penilaiannya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 3. Data Hasil Belajar Siswa pada Siklus II
Skor Interval Klasifikasi Frekuensi Persentase (%)
85-100 Sangat Tinggi 8 25
70-84 Tinggi 18 60
55-69 Cukup Tinggi 2 5
40-54 Rendah 3 10
0-39 Sangat Rendah - -
32 100,00
Berdasarkan Tabel di atas, secara umum prestasi belajar siswa dapat dikatakan
rendah dan cukup, meski ada beberapa siswa yang tergolong memiliki hasil belajar
tinggi. Sebanyak 8 siswa (25%) memiliki nilai dalam kategori Sangat Tinggi dan 18
orang siswa (60%) tergolong siswa yang memiliki skor Tinggi Cukup tinggi 2 orang
siswa (5%) nilai Rendah sebanyak 10 orang anak (10%). Dengan demikian, secara
umum kemampuan siswa kelas VIII C SMPN 2 Kebonagung Kecamatan Kebonagung
Kabupaten Pacitan bisa dikatakan berhasil karena memiliki skor tes 70.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian selama dua siklus yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan dan hasil belajar siswa pada materi senam irama, terlihat pada
pelaksanaan siklus pertama dan kedua telah menunjukkan hal-hal berikut yaitu proses
pembelajaran Penjas orkes dengan menggunakan media gambar dari berbagai segi
interaksi siswa dan guru pada awal pembelajaran, guru membuka pelajaran Penjas orkes
dengan menggunakan media gambar sebagai titik tolak pembelajaran. Kemudian guru
mengarahkan dan menjelaskan bagaimana siswa belajar dengan baik. Lalu pada saat
proses pembelajaran berlangsung, guru melaksanakan KBM secara interaktif,
membimbing siswa, dan memotivasi siswa untuk aktif berperan dalam kegiatan
pembelajaran. Pada akhir pembelajaran guru bersama siswa menyimpulkan pelajaran yang
telah dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran Penjas orkes. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan rata-rata nilai hasil belajar siswa dari prasiklus, siklus I, dan siklus II yang
tersaji dalam grafik berikut ini.
Grafik 1. Peningkatan Rata-rata Nilai Siswa Tiap Siklus
Page 90
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
125
Peningkatan rata-rata nilai siswa juga ditunjang oleh peningkatan nilai terendah dan
nilai tertinggi siswa tiap siklus seperti yang tersaji dalam grafik berikut ini.
Grafik 2. Peningkatan Nilai Tertinggi dan Terendah Siswa Tiap Siklus
Dari grafik di atas diperoleh gambaran bahwa nilai terendah pada prasiklus adalah 49
kemudian 52 dan terus meningkat sampai pada siklus II menjadi 78. Selanjutnya nilai
tertinggi dari angka 72 menjadi tetap 79 dan pada siklus II menjadi 90. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran senam irama memakai media gambar cocok digunakan
untuk siswa kelas VII C SMP N 2 Kebonagung.
Selain peningkatan rata-rata, penerapan media gambar pada pembelajaran penjas
orkes materi senam irama, dapat meningkatkan ketuntasan belajar. Hal tersebut seperti
tergambar pada grafik berikut ini.
Grafik 3. Peningkatan Nilai Ketuntasan Siswa Tiap Siklus
Dari grafik di atas diperoleh gambaran bahwa pada prasiklus hanya 53% atau 17
siswa, sedang pada siklus I terjadi peningkatan menjadi 66% atau 22 siswa dan pada
siklus II menjadi 100% atau 32 siswa yang nilainya sama atau lebih dari KKM yang telah
ditetapkan yakni 75.
Data aktivitas guru menunjukkan bahwa pada siklus I secara umum sudah baik,
namun ada beberapa komponen penilaian dari observer yang masih kurang yaitu
kemampuan memtotivasi siswa yang kurang optimal sehingga semangat siswa pada siklus
I secara umum kurang. Kekurangan-kekurangan ini kemudian diperbaiki di siklus II dan
aktivitas pada siklus II secara umum baik. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa perbaikan
pembelajaran dikatakan tuntas.
Page 91
PROSIDING ISBN: 978 – 602 – 9969 – 84 – 9
126
KESIMPULAN
1. Proses belajar mengajar olahraga melalui metode penggunaan media gambar dapat
memperoleh hasil penguasaan konsep yang sangat baik. Hal ini dapat ditunjukkan oleh
perubahan ke arah perbaikan kemampuan kognitif siswa sesudah tindakan kelas yang
dilakukan guru dengan peningkatan skor post-test dan ketrampilan proses mengukur
senam iramae.
2. Retensi konsep yang telah dipelajari siswa mempunyai kestabilan bahkan mampu
meningkatkan penguasaan yang lebih baik. Hal ini disebabkan siswa telah
mengaplikasikan apa yang telah dipahami melalui penjelasan oleh guru, sehingga
diperoleh gambaran pengajaran yang efektif.
3. Penerapan media gambar dapat meningkatkan kemampuan hasil belajar senam irama
pada siswa Kelas VIII C SMP Negeri II Kebonagung Semester I Tahun Pelajaran
2010/2011. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai rata-rata kelas dari prasiklus 62, dan
64 pada siklus I serta meningkat menjadi 81pada siklus II.
4. Proses peningkatan kemampuan dan hasil belajar belajar pada materi senam irama
sebelum dan sesudah diterapkan media gambar mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Hal ini tergambar dari kenaikan nilai terendah pada prasiklus 49 kemudian
tetap rnenjadi 52 pada siklus I, serta 78 pada siklus II.
5. Besar persentase peningkatan hasil belajar belajar pada materi senam lantai dengan
penerapan media gamabr cukup memuaskan hal ini dapat terlibat dari peningkatan
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dari 53% pada prasiklus menjadi 66% pada siklus
I serta menjadi 100% pada siklus II.
DAFTAR PUSTAKA
Adrew and Tahn. 1992. Reflektif Teaching in the Primary school: A handbook for The
Classroom. Casel, London.
Brown, W, James, et al. 1983. AV Instruktion Technology, Media, and Methods.
(Terjemahan ). Hal 264-289.
Dwiyogo, Wasis D. 2003. Penelitian Kualitatif Penelitian Tindakan.
Ibrahim, 1981. Media Instruksional. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. IKIP Malang.
Jumrodi, A dan Mbulu, J. 1990. Mengejar Olahraga di sekolah Dasar. Buku Penunjang
Perkuliahan. Proyek Operasi dan Perawatan fasilitas. Ikip MALANG.
Lataheru, John D., 1988 Media Pembelajaran dalam Proses belajar Mengajar Masa kini.
Jakarta. Depdikbud (Dirjen Dikti P2LPTK).
Miarso, Yusufhadi dan Nasution, Zulkarnain, 1989. Media dalam Pembelajaran,
Penelitian Selama 80 Tahun. Jakarta. Pustekom. Dikbud dan CV Rajawali.
Terjemahan dari Wilkinson, gane C., 1980. Media in Instruction 60 Years of
Research. Washington DC.
Moesono, Djoko dan Amin, Siti M. 1997. Olahraga 5: Mari Berhitung. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta PT. Citra Media Persada.
Rohani, Ahmad (1997). Media Instrukional Edulatif, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.