This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Hiperparatiroidisme primer adalah suatu keadaan di mana ditemukan kelebihan
produksi hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) yang tidak teregulasi akibat
hiperfungsi pada kelenjar paratiroid di mana akan menyebabkan gangguan homeostasis
kalsium.2
5
I. Anamnesis
Hiperparatiroidisme dan keadaan yang berhubungan dengan hiperkalsemia sering kali
asimtomatik, tetapi hiperkalsemia dapat terjadi dengan gejala-gejala kelemahan, anoreksia,
nyeri abdomen, konstipasi, batu ginjal, penyakit tulang metabolik, poliuria, dan rasa haus.
Masalah-masalah psikiatrik dan gangguan tingkat kesadaran ditemukan pada hiperkalsemia
berat. Beberapa keluhan utama yang harus ditanyakan saat anamnesis, antara lain adakah
rasa sakit kepala, kelemahan, lethargi dan kelelahan otot, rasa nyeri tulang dan sendi, adakah
gangguan pencernaan seperti mual, muntah, anoreksia, obstipasi, dan nyeri lambung yang
akan disertai penurunan berat badan, mengalami depresi, riwayat trauma/fraktur tulang,
riwayat radiasi daerah leher dan kepala.3
II. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik
Anamnesis tetap menempati kedudukan yang penting dalam pemeriksaan kelainan
kelenjar paratiroid. Kelenjar paratiroid normal tidak dapat diraba, bahkan pada pembedahan
sering kali sulit diidentifikasi. Pemeriksaan fisik mencakup keadaan umum lemah, tampak
lemas, refleks-refleks hiporefleksi, atrofi atau hipotrofi otot ekstremitas, amati perubahan
warna kulit, apakah tampak pucat, perubahan kesadaran yaitu bila kadar kalsium tetap tinggi,
maka akan tampak tanda psikosis organ seperti bingung bahkan koma dan bila tidak
ditangani kematian akan mengancam serta observasi dan aplpasi adanya deformitas tulang. 4
Pemeriksaan Laboratorium
Hiperkalsemia (serum kalsium > 10,5 mg/dL atau kalsium yang terionisasi) terjadi pada semua penderita hiperparatiroidisme primer, walau demikian
kadar kalsium kadang berubah-ubah kebatas atas kisaran nilai normal, oleh karena itu pada
penderita dengan hiperkalsemia yang dicurigai hiperparatiroidisme harus diperiksa lebih dari
satu kali sebelum diagnosis ditegakkan. Serum fosfat seringkali rendah (< 2,5 mg / dL). Pemeriksaan kadar PTH merupakan inti dari diagnosis. Meningkatnya kadar PTH
disertai dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah merupakan diagnostik untuk
hiperparatiroidisme primer. Pemeriksaan kadar kalsium dalam urin 24 jam perlu dilakukan
untuk menyingkirkan Familial Hypocalciuric Hypercalcemia (FHH).5
6
Pada hiperparatiroidisme primer dapat ditemukan kadar kalsium yang normal
(hiperparatiroidisme primer normocalcemia), maka dalam menegakkan diagnosis
hiperparatiroidisme primer, penyebab-penyebab hiperparatiroidisme sekunder seperti
rendahnya asupan kalsium, gangguan fungsi ginjal dan defisiensi vitamin D juga harus
disingkirkan. Pemeriksaan laboratorium yang biasa ditemukan pada penderita
hiperparatiroidisme primer adalah asidosis hiperkloremik ringan, terdapat pengeluaran fosfat yang cukup berarti pada urin pada hipofosfatemia dan eksresi kalsium dalam urin bisa tinggi atau normal (rata – rata 250 mg/ g creatinin). Peningkatan alkali fosfatase dapat ditemukan apabila sudah didapatkan kelainan
pada tulang. Klorida dalam serum dan keasaman urin bisa meningkat. Defisiensi vitamin D biasa terjadi pada pasien dengan hiperparatiroidsme, sebaiknya screening defisiensi vitamin D dengan serum 25-OH vitamin D. Serum 25 OH vitamin D rendah (<20 mcg/L; <50 nmol/L) dapat lebih mengarahkan pada hiperparatiroidisme dan manisfestasi tulangnya; penggantian vitamin D dapat membantu menyembuhkan pasien dengan hiperparatiroidisme.5
Pemeriksaan Radiologi
1. Sestamibi Scanning
Pemeriksaan yang sering dilakukan diantaranya ialah pencitraan dengan
menggunakan penanda Sestamibi, di mana zat radionuklir tersebut terkonsentrasi pada
kelenjar tiroid dan paratiroid, dan biasanya akan hilang dalam waktu kurang dari satu
jam, tetapi akan bertahan pada kelenjar paratiroid yang mengalami kelainan.
Scanning sestamibi–iodine dilakukan untuk mengetahui lokasi adenoma paratiroid pada pasien dengan hiperparatiroidisme, dalam menunjang hasil dan batasan invasive dalam melakukan operasi pada leher. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 60-90%. Kelemahan dari
pemeriksaan ini ialah tidak dapat mendeteksi kelainan kelenjar yang multipel.5
2. Ultrasonografi leher (USG)
USG leher mempunyai kemampuan yang sama dengan Sestamibi scanning,
akan tetapi tergantung pada operatornya sehingga memberikan tingkat akurasi yang
berbeda-beda. USG leher dilakukan untuk mengetahui lokasi adenoma paratiroid pada pasien dengan hiperparatiroidisme, dalam
7
menunjang hasil dan batasan invasive dalam melakukan operasi pada leher. Keuntungan dari USG leher ialah dapat dilakukan segera pada saat
awal evaluasi, akan tetapi juga tidak dapat mendeteksi pada kelainan kelenjar yang
multipel.5
3. CT Scan dan MRICT Scan dan MRI tidak biasa dipakai atau berguna untuk
menentukan lokasi paratiroid preoperative, karena teknik ini kurang sensitive untuk mengidentifikasi anemone paratiroid yang kecil. Bagaimanapun juga, untuk operasi leher berulang dan dicurigai adanya paratiroid asing, MRI lebih dipilih karena dapat melihat jaringan lunak lebih baik disbanding CT Scan.5
4. Foto Rontgen
Gambaran radiologi tulang seringkali normal dan tidak dibutuhkan untuk membuat diagnosis dari hiperparatiroidisme. Mungkin didapat adanya demineralisasi, resorpsi tulang subperiosteal (terutama pada radial atau jari), atau kehilangan lamina dura pada gigi. Mungkin didapat kista pada tulang, bintik – bintik pada tengkorak (salt and pepper appearance), atau fraktur patologis. Kalsifikasi artikulasi kartilago (chondrocalsinosis) terkadang ditemukan.5
Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi
Cystic-cystic dalam tulang
Trabekula di tulang6
III. Working Diagnosis
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, gejala-gejala klinis yang ada, anamnesis
dan pemeriksaan fisik, serta data-data lain yang disebutkan dalam scenario maka wanita
tersebut dapat didiagnosa menderita hiperparatiroid primer atau biasa disebut juga sebagai
hiperparatiroidisme primer.7
Secara normal, hormone paratiroid (PTH) berfungsi untuk meningkatkan kadar kalsium
dalam darah, menurunkan ekskresi kalsium, meningkatkan ekskresi fosfat dalam urin,
mengurangi sekresi H+ ginjal, meningkatkan ekskresi HCO3- ginjal, mendorong hidroksilasi
vitamin D3 di ginjal dan meningkatkan absorpsi kalsium dari usus dan dalam ginjal. 7
8
Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu penyebab tersering hiperkalsemia;
penyebab yang lain adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada usia tetapi yang
tersering adalah pada dekade ke wanita lebih sering 3 kali dibandingkan laki-laki.
Insidensnya mencapai 1:500-1000. Bila timbul pada anak-anai dipikirkan kemungkinan
endokrinopati genetik neoplasia endokrin multipel tipe I dan II.7
Hiperparatiroidisme primer, terjadi akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH)
yang tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat jinak dan
soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar dan biasanya hanya 1 kelenjar yang terserang.
Penyebab lain yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar paratiroid dan yang
sangat jarang adalah karsinoma kelenjar paratiroid.7
Manifestasi Klinik
Kebanyakan pasien dengan hiperparatiroidisme adalah asimtomatik. Manifestasi utama
dari hiperparatiroidisme terutama pada tulang dan ginjal. Manifestasi ke tulang dari
hiperparatiroidisme adalah osteitis fibrosa cystica. Osteitis fibrosa cystica sangat jarang
terjadi pada hiperparatiroidisme primer. Peningkatan produksi PTH menimbulkan keadaan di
tulang yang disebut osteitis fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subpereriosteal pada
falang distal, a salt and pepper appearance tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada
tulang-tulang panjang (Gambar 3.1). Kelainan-kelainan pada tulang ini dilihat dengan
membuat foto radiografi konvensional. Secara histologis, gambran patognomonik adalah
peningkatan giant multinukleal osteoklas pada lakuna Howship dan penggantian sel normal
dan sumsum tulang dengan jaringan fibrotik.6
Gambar 3.1. Gambaran radiologi osteitis fibrosa cystic
9
Kelainan pada ginjal terutama akibat deposit kalsium pada parenkim ginjal atau
nefrolitiasis yang rekuren nefrokalsinosis, hiperkalsiuria dan penurunan klirens kreatinin.
Dengan deteksi dini, komplikasi ke ginjal dapat berkurang pada ± 20 % pasien. Batu ginjal
biasanya terdiri dari kalsium oksalat atau kalsium fosfat. Pada kebanyakan pasien episode
berulang dari nefrolitiasis atau pembesaran kalikuli ginjal dapat mengawali obstruksi traktus
urinarius, infeksi, gagal fungsi ginjal. Nefrolitiasis juga menyebabkan penurunan fungsi
ginjal dan retensi fosfat. Pada pasien disertai dengan gejala disfungsi sistem saraf pusat,
nervis dan otot perifer, traktus gastrointestinal, dan sendi. Manifestasi dari neuromuscular
termasuk tenaga otot berkurang (paroxysmal muscular weakness), mudah lelah, dan atrofi
otot yang mungkin menyolok adalah tanda kelainan neuromuscular primer. Manifestasi pada
traktus gastrointestinal kadang-kadang ringan dan termasuk kelainan abdominal yang agak
susah didiagnosis, kelainan lambung dan pancreas. Pada MEN 1 pasien dengan
hiperparatiroidisme ulkus duodenum mungkin akibat dari tumor pancreas yang meningkatkan
jumlah gastrin. Kondrocalcinosis dan pseudogout frekuensinya kurang pada
hiperparatiroidisme yang di skrining dari beberapa pasien. Efek dari hiperkalsemia adalah
sebagai berikut: 6
a. Berkurangnya kalsium dalam tulang (bone loss)
Tulang-tulang menjadi tipis, sering dengan sista-sista yang multiple sehingga
bisa timbul fraktur-fraktur spontan-antara 10-25%. Sering ada perasaan nyeri di
tulang-tulang. Corpora vertebrae bisa menjadi bikonkaf, osteoclast-osteoclast
bertambah dengan timbulnya giant cell tumor dari tulang dan epulis di sekitar
gigi. TuIang-tulang yang lazim terkena adalah tulang-tulang panjang, corpora
vertebrae, tulang pelvis, tengkorak dan mandibula. Pada tengkorak dapat pula
timbul punched out lesions yang dikenal sebagai salt and pepper appearance.6
b. Sistem saraf pusat
Perubahan mental, penurunan daya ingat, emosional tidak stabil, depresi,
gangguan tidur, koma.6
c. Neuromuscular
Tenaga otot berkurang (paroxysmal muscular weakness), hipotoni otot-otot, rasa
sakit pada sendi dan otot akibat penimbunan kalsium, pruritus, dan pergerakan
tangan yang abnormal pada saat tidur.6
d. Gastrointestinal
10
Ulkus peptikum, pankreatitis, nausea, vomiting, konstipasi, reflux, dan
kehilangan nafsu makan.6
e. Traktus urinarius
Defek pada tubuli ginjal biasanya reversibel. Miksi bertambah, sering terdapat
pula batu ginjal pada penderita, demikian pula kadang-kadang terjadi
nefrokalsinosis (deposit kalsium dalam parenkim ginjal). Semua ini dianggap
sebagai akibat dari kalsium serum yang meninggi. Frekuensi kelainan ginjal bisa
mencapai 60-70%.6
f. Kardiovaskular: Hipertensi.
g. Mata: Konjunctivitis, keratopathy.
h. Kulit: Pruritus. 6
IV. Differential Diagnosis
1. OsteoporosisOsteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas
massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan
mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru
osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength
sehingga tulang mudah patah.7
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif dan
metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan
perhatian khusus, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survey
kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih
mencapai 9,2%, meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian, kasus
osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan meningkat.7
Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak massa tulang dicapai
pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause adalah
1,4%/tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi RSCM mendapatkan faktor
risiko osteoporosis yang meliputi umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah,
sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan
lebih/obesitas dan latihan yang teratur.7
Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh Indonesia dalam
penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya alat pemeriksaan densitas
11
massa tulang (DEXA), mahalnya pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan
standard untuk osteoporosis di Indonesia. 7
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi penderita osteoporosis.
Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis, misalnya fraktur
kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di
sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau
tubuh pendek, nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal,
kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik. 7
Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma minimal,
imobolisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari,
asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight bearing. 7
Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti
kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid yang mengandung alumunium,
sodium-fluorida dan bifosfonat etidronat. 7
Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis. Penyakit-penyakit
lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis adalah penyakit
ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke
dan menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan. Riwayat
keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit tulang
metabolik yang bersifat herediter. 7
Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis.
Demikian juga gaya berjalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght inequality, nyeri spinal
dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid). 7
Sklera yang biru biasanya terdapat pada penderita osteogenesis imperfekta. Penderita
ini biasanya juga akan mengalami ketulian, hiperlaksitas ligamen dan hipermobilitas sendi
dan kelainan gigi. Cafe-au-lait spots biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albright.
Pada anak-anak dengan vitamin D-dependent rickets tipe II, sering didapatkan alopesia, baik
total atau hanya berambut jarang. 7
Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat mengarahkan ke diagnosis, seperti
(rashitic rosary), bowing deformity tulang-tulang panjang dan kelainan gigi. 7
12
Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa tetani. Biasanya akan
didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi-sendi IP. Pada
keadaan yang laten, akan didapatkan tanda Chovstek dan Trosseau. 7
Pada penderita hipoparatiroidisme idiopatik, pemeriksa harus mencari tanda-tanda
sindrom kegagalan periglandular, seperti kandidiasis mukokutaneus kronik, penyakit Adison,
alopesia, kegagalan ovarium prematur, diabetes melitus, tiroiditis otoimun dan anemia
pernisiosa. Pada penderita hiperparatiroidisme primer, dapat ditemukan band keratoplasty
akibat deposisi kalsium fosfat pada tepi limbik kornea. 7
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus
(Dowager's hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia
abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda McConkey). 7
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya kalsium serum, fosfor serum, fosfatase
alkali normal dan kalsium dalam urin normal atau bertambah. 6
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan osteoprosis biasa dilakukan dengan tes Dual energy x-ray absorptiometry (DXA) dapat menentukan densitas mineral tulang pada pelvis dan vertebra. Peripheral DXA (pDXA) dapat mentukan densitas tulang pada lengan, jari dan tumit. Single energy absorptiometry (SXA) menentukan densitas tulang di pergelangan atau tumit. Tes ini menghantarkan radiasi dan hasilnya cukup akurat. Biasanya, DXA digunakan menentukan densitas tulang vertebra lumbal dan pelvis. Densitometry tulang tidak dapat mengesampingkan osteoporosis atau osteomalasia; faktanya keduanya dapat muncul bersamaan. Densitometry juga tidak menentukan kualitas tulang secara langsung. Pada pasien dengan artritis seringkali terjadi kesalahan penentuan densitas tulang pada vertebra. DXA juga memperlihatkan densitas mineral tulang yang meningkat pada orang tinggi dan menurun pada orang yang pendek. WHO menentukan kriteria penentuan osteoporosis pada postmenopause, berdasarkan T Score. 5
Tabel 4.1.1 Kriteria Osteoporosis menurut WHO5
13
Keterangan T score
Normal T ≥ -1,0
Penurunan massa tulang (osteopenia) -2,5 < T < -1
Osteoporosis T < -2,5 (tanpa riwayat fraktur osteoporosis)
Osteoporosis berat T < -2,5 (dengan fraktur osteoporosis)
Keterangan : Densitometry disarankan pada wanita postmenopause dengan DXA setiap 5 tahun sekali pada T score -1.0 sampai -1.5, setiap 3 tahun sampai 5 tahun pada T score -1.5 sampai -2.0 dan setiap 1 sampai 2 tahun pada T score di bawah -2.0. 5
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang sistematis,
terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain, diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi
tulang. 7
Faktor risiko klinis
Sampai saat ini, telah diketahui berbagai faktor risiko fraktur osteoporotik selain umur
dan densitas massa tulang. Beberapa faktor risiko bervariasi tergantung pada umur. Misalnya
risiko terjatuh pada gangguan penglihatan, imobilisasi dan penggunaan sedatif akan menjadi
risiko iraktur yang tinggi pada orang tua dibandingkan pada orang muda. Asupan kalsium
yang rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya fraktur panggul, walaupun
demikian, banyak dokter dan pasien tidak menyadarinya. Penelitian meta-analisis yang
berbasis populasi secara kohort mendapatkan berbagai faktor risiko fraktur osteoporotik yang
tidak tergantung pada BMD, yaitu indeks massa tubuh yang rendah, riwayat fraktur, riwayat
fraktur panggul dalam keluarga, perokok, peminum alkohol yang berat dan artritis reumatoid.
Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik
yang terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus dan
peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,
hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid juga
akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya
osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan
14
menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun. Dengan adanya peningkatan
resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan
terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa risiko
fraktur panggul pada pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu terapi
osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai bila T-score mencapai -1 dan BMD serial
harus dilakukan tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti pada osteoporosis primer. 7
Riwayat fraktur merupakan faktor risiko timbulnya fraktur osteoporotik dikemudian
hari dengan risiko 2 kali. Risiko ini terutama tampak pada rraktur vertebra. Penderita dengan
dua fraktur vertebra atau lebih akan memiliki risiko untuk rraktur vertebra berikutnya sampai
12 kali lipat pada tingkat BMD manapun. 7
Indeks massa tubuh yang rendah juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya
osteoporotik fraktur. Risiko ini tampak nyata pada orang dengan indeks massa tubuh < 20
kg/m2. Risiko fraktur pada orang kurus tidak bergantung pada BMD. 7
Fraktur osteoporotik merupakan risiko yang penting terhadap kejadian fraktur pada
masa yang akan datang, yaitu 2 kali dibandingkan orang yang tidak pernah mengalami
fraktur. Risiko ini tampak nyata pada fraktur vertebra dan tidak tergan tung pada nilai BMD.
Demikian juga riwayat fraktur osteoporotik dalam keluarga, merupakan faktor risiko fraktur
yang juga independen terhadap nilai BMD, terutama riwayat fraktur panggul dalam keluarga.
Peminum alkohol lebih dari 2 unit/hari juga merupakan faktor risiko terjadinya fraktur
osteoporotik dan bersifat dose-dependent. Demikian juga merokokyangmerupakan faktor
risiko fraktur osteoporotik yang independen terhadap nilai BMD. 7
Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan densitas tulang yang rendah, apalagi
bila harus diterapi dengan glukokortikoid jangka panjang. Pada artritis reumatoid, risiko
fraktur osteoporotik tidak tergantung pada penggunaan glukokortikoid maupun nilai BMD. 7
2. Osteomalasia
Pertumbuhan tulang normal dan proses mineralisasi membutuhkan vitamin D, kalsium
dan fosfor yang adekuat. Defisiensi yang lama dari berbagai hal di atas mengakibatkan
akumulasi matriks tulang yang tidak dimineralisasikan. Penurunan mineralisasi pada pasien
muda menyebabkan riketsia karena kerusakan dari pertumbuhan lempang epifise. Kekuatan
tulang menurun, yang menyebabkan deformitas struktural pada tulang penyangga berat
badan. Pada orang tua dimana epifise telah menutup dan hanya tulang yang terkena,
15
gangguan mineralisasi ini disebut osteomalasia. Osteoid secara normal termineralisasi dalam
5-10 hari, namun pada pasien dengan osteomalasia interval bisa terjadi selama 3 bulan. 7
Penyebab riketsia/ osteomalasia meliputi kurangnya suplemen vitamin O atau fosfor,
penggunaan susu formula yang mengandung kurang dari20 mg kalsium/dL, nutrisi total
parenteral dengan larutan tanpa kalsium dan vitamnin D yang adekuat, dan diet tinggi phytate
yang mengikat kalsium dalam usus. Hipervitaminosis D disebabkan oleh defisiensi diet
kronik; penurunan sintesis disebabkan oleh apparan sinar matahari yang kurang; menurunnya
absorpsi vitamin D karena penyakit bilier, pankreatitis, penyakit mukosa kecil proksimal,
gastrektomi atau resin pengikat asam empedu; meningkatnya eksresi vitamin D pada pasien
dengan sindrom nefrotik dan meningkatnya katabolisme vitamin D akibat penggunaan obat
seperti fenitoin, barbiturat dan rifampicin. 7
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Pasien dengan riketsia mengalami hipotonia, kelemahan Wot dan pada ksus berat bisa
terjadi tetani. Sambungan kostokondral menonjol, suatu deformitas yang disebut dengan
rachitic rosary. Tulang-tulang panjang menjadi bengkok terutama di kaki serta kifosis di
punggung dapat menyebabkan gaya berjalan yang bergoyang-goyang/waddling gait, bahkan
bisa terjadi fraktur. Tengkorak menunjukkan kepala frontal dan mendatarnya tulang parietal.
Radiografi pasien dengan riketsia menunjukkan demineralisasi umum dengan penipisan
permukaan kortikal dari tulang-tulang panjang; pelebaran, penegangan dan melengkungnya
ujung distal tulang dan hilangnya zona kalsifikasi kartilago sementara. 7
Manisfestasi klinis dari osteomalasia menyerupai gangguan reumatik meliputi nyeri
tulang, mudah lelah, kelemahan proksimal dan pelunakan periartikuler. Simptom ini
membaik dengan terapi untuk mengkoreksi gangguan mineralisasi. Beberapa pasien dengan
osteomalasia menunjukkan garis radiolusen kortikal tipis (stress fracture) yang tegak lurus
dengan tulang dan seringkali simetris. Pasien lain memiliki fraktur lama pada kosta yang
multipel dengan pembentukan kalus yang buruk. 7
Gambaran laboratorium dari osteomalasia akibat defisiensi vitamin D adalah kadar
kalsium serum rendah atau normal, hipofosfatemia, meningkatnya kadar alkalin fosfatase,
kadar osteokalsin serum normal, meningkatnya kadar hormon paratiroid serum (jika
hipokalsemia ada) dan rendahnya kadar 1,25 dihidroksi vitamin D (1,25-(OH) 2 D) di dalam
serum. Pada osteomalasia akibat defisiensi kalsium, ekskresi kalsium urin menurun, kadar
hormon paratiroid meningkat, kadar 1,25-(OH) 2 D normal dan kadar fosfat serum bisa rendah
atau normal. Osteomalasia akibat hipofosfatemia biasanya terjadi akibat hipofosfaturia,
16
dimana didapatkan kadar osteokalsin, hormon paratiroid dan 25 hidroksi vitamin D (25-OH
vitamin D adalah normal; kadar alkalin fosfatase biasanya meningkat, kadar fosfat serum dan
1,25-(OH) 2 vitamin D adalah rendah dan ekskresi fosfor urin sangat tinggi. Pasien dengan
asidosis tubular renal tipe II memiliki ganguan reabsorpsi bikarbonat dan bermanifestasi
asidosis hipokalemia hiperkloremia dengan hipofosfatemia yang disebabkan oleh
bertambahnya fosfaturia. 7
Rendahnya kadar 1,25 (OH)2 vitamin D pada beberapa pasien menjadi konsekuensi dari
abnormalitas metabolisme tubular proksimal. Pasien dengan asidosis tubular renal dan
sindrom Fanconi juga mengekskresikan banyak kalsium, magnesium, kalium, asam urat,
glukosa, asam amino dan sitrat. Osteomalasia akibat penggunaan aluminium pada pasien
dengan gagal ginjal kronik saat ini sudah jarang terjadi karena pembatasan penggunaan
pengikat fosfat yang mengandung aluminium untuk mengendalikan hiperfosfatemia dan
perbaikan metode untuk mempersiapkan larutan dialisat. 7
3. Paget's disease
Penyakit Paget merupakan gangguan di mana terdapat peningkatan yang berlebihan dari
turnover tulang pada bagian yang terlokalisir dari skeleton. Kondisi ini menyebabkan struktur
tulang menjadi abnormal yang semakin lama semakin meluas sehingga mengakibatkan
deformitas, peningkatan risiko fraktur dan nyeri. Perubahan pada bentuk tulang
mengakibatkan perubahan mekanik dan juga menyebabkan peningkatan tekanan yang bisa
menimbulkan nyeri pada sendi dan sindrom kompresi saraf. Kompresi saraf yang terpenting
adalah keterlibatan basis kranii yang menyebabkan ketulian. Tulang dengan penyakit Paget
menunjukkan peningkatan aktivitas metabolik dan aliran darah yang berperan terhadap
terjadinya rasa nyeri dan dapat juga meningkatkan kemungkinan komplikasi neurologis
sebagai bagian dari vascular steal syndrome. 7
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit Paget dapat ditemukan kalsium serum dan
fosfor serum normal, fosfatase alkali meninggi dan kalsium dalam urin normal. 6
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Rontgen menunjukkan kelainan-kelainan tulang yang sirkumskrip,
trabeculae dan ekspansi tulang dengan batas-batas yang jelas. 6
17
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Meskipun secara umum dapat diterima bahwa keb pasien dengan penyakit Paget
adalah asimtomatis, tidak ada bukti nyata dari prevalensi simptom pada dengan penyakit
Paget yang dideteksi secara radiologi. Secara umum dapat diterima bahwa sekitar 5% pasien
mengalami simptom, namun estimasinya bervaria untuk menilai gejala klinis dari penyakit
Paget populasi umum. 7
Penyakit Paget bisa muncul dengan tanda dan simptom yang jelas atau merupakan
temuan insidental pemeriksaan kondisi lain. Gambaran klinis tipikal dalam Tabel 4.3.1. 7
Tabel 4.3.1. Gambaran Klinis Penyakit Paget
Nyeri: nyeri tulang, nyeri sendi
Deformitas: Tulang panjang membengkok, tengkorak/ kranium
Fraktur: komplit, fraktur fisura
Neurologis: Ketulian, palsy serabut saraf lainnya, kompresi korda spinalis