-
MAKALAH
KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL
(Dosen Pengampuh: Ali Irfan, S.E., M.Si., Ak., BKP.)
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Pada Mata Kuliah
Manajemen Perpajakan
Oleh:
YUDIANTO (2014240922)
AMELIA PUTRI NANNA (2014240915)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
JUNI 2015
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat
ketentuan
tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh
pemerintah ini utamanya
adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka
menyediakan barang
dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Di samping itu, pajak
juga berfungsi untuk mengatur perilaku Warga Negara untuk
melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti
dalam
menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan
internasional. Hubungan
internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan
pertahanan, kerjasama di
bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini
terbatas pada
kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan
Internasional) yang terkait
dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang dilakukan oleh
setiap negara
tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna
mencapai komitmen
bersama yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak
terkecuali
perjanjian dalam bidang perpajakan.
Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara
berpotensi menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus
diatur oleh kedua
negara atau dunia internasional secara umum guna meningkatkan
perekonomian dan
perdagangan negara-negara yang melakukan kerjasama tersebut. Ini
menjadi penting
agar tidak menghambat aliran dana investasi akibat pengenaan
pajak yang
memberatkan Wajib Pajak yang bekedudukan di kedua negara yang
melakukan
transaksi tersebut. Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan
internasional dalam
hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara,
dengan asumsi
bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan
pajak dalam
wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak
bebas mengatur
pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak
internasional
merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap
negara harus
-
2
tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan
istilah Konvensi
Wina.
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin
dicapai, begitu
juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai
tujuan yang ingin
dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju
investasi di
masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan
pajak yang
menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk
meminimalkan
beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak
berganda
internasional.
-
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Perpajakan International
1. Definisi Pajak International
Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan
sampai detik ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi
Kepala Seksi
Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral
Pajak,
memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak
Internasional
berdasarkan uraian sebelumnya.
Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku
di antara
negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dan
pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi
Wina (Pacta
Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara
Indonesia
terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana
terdapat
perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan
Penghindaran Pajak
Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi
2 (dua)
dimensi luas yaitu:
a. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas
penghasilan dari
luar negeri, dan
b. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas
penghasilan dari
dalam negeri (domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar
negeri
atau transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound
transaction) karena
umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan
dimensi
kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau
transaksi (ke)
dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya
melibatkan
importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan
penghasilan
-
4
luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country),
sedangkan
pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber
(source country).
2. Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin
dicapai, begitu
juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai
tujuan yang
ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara,
mendorong laju
investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk
meminimalkan
pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah
upaya untuk
meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan
penghindaraan pajak
berganda internasional.
3. Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan
Internasional
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi
dalam
kebijakan pemajakan internasional:
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik):
Kemanapun kita
berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga
tidak ada
bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka
jangan sampai
bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar
karena menanggung
pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang
mengatur
kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional):
Darimanapun
investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik
investor dari
dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang
sama bila
berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan
yang sama
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment
(PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang
perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan
yang berlaku.
3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak
atas penghasilan
yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa
dikreditkan
boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
4. Pemajakan Lintas Negara
-
5
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim
pemajakan. Hal ini
karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam
negeri (global
principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam
negeri dikenakan
pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain
itu, terdapat
pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar
negeri (WPLN) oleh
negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari
negara
tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat
suatu penghasilan
dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh
negara sumber
Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di
jepang dikenakan
pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu
digabung dengan
penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik
Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual resident,
dimana terdapat
dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib
pajak dalam
negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali.
Misalnya:
Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap
sabtu dan minggu ia
pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh
Indonesia dan
juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak
untuk
penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang
melakukan
perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah
negara sumber
(source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang
merupakan
objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident
country) yaitu negara
tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau
berdomisili
berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak
untuk
mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya.
Pengenaan pajak
oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan
inilah yang
biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu
diatur dalam
suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
B. Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation
1. Juridical Versus Economic Double Taxation
-
6
Dalam Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara
pajak
berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda
ekonomis
(economic double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi
apabila atas
penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama
dikenakan pajak oleh
lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis
terjadi apabila dua
orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu
penghasilan yang
sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan
sebagai
definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain
dari PBI yuridis) dan
konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,
pemajakan badan
usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan pemajakan
atas pemegang
saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah suatu
pajak berganda
karena mereka merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Namun
demikian,
secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan pemegang
sahamnya
karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda
ekonomis
dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada
persekutuan dan kepada
sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik
manfaat manat
(beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan
anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD
menjelaskan tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI
yuridis terjadi
apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak
di tangan
orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI
ekonomis timbul
apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak
atas suatu
penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari
satu negara).
Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu
negara tersebut
dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof
subject). Di pihak
lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama
terhadap legal
subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau
setidaknya merupakan
para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of
subject).
2. Sumber Hukum Perpajakan Internasional
Ottmar Buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti
sempit dan
hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti
-
7
sempit adalah (Agus Setiawan, 2006): Kaedah-kaedah norma hukum
perselisihan
yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional),
Sedangkan
hukum pajak dalam arti luas ialah: Kaedah-kaedah hukum antar
bangsa ini
ditambah peraturan nasional yang mempunyai obyek hukum
perselisihan,
khususnya tentang perpajakan.
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak
internasional
dalam arti luas termasuk sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional
b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak
ganda dan lain-
lain perjanjian internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
1) Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam
hukum
internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
2) Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat
soal-soal
perpajakan;
3) Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada
masyarakat
internasional (tertentu) seperti supranationales
steuerrecht.
Menurut Rosendorff, Hukum Pajak Internasional sebagai
keseluruhan
Hukum Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.
Menurut PJA
Adriani, Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan
yang mengatur
tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli
itu di masing-
masing negara.
Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu
pengertian yang
lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak
Nasional itu
termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak
Internasional
merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan
yang diatur
dalam Undang-undang nasional mengenai :
a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak
ganda;
c. Traktat-traktat.
-
8
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional
dibagi
sebagai berikut :
a. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri
(National
External Tax Law);
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak
nasional yang
memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang
mempunyai
daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat
unsur-unsur asing,
baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri) maupun
mengenai
subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
b. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan
peraturan-
peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
c. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law);
Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas.
Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah
pajak yang
berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim
diterima baik oleh
Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal
perpajakan antara
negara yang saling mempunyai kepentingan.
3. Kaidah Hukum Pajak Nasional/Inilateral Yang Mengandung Unsur
Asing
Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilateral yang mengandung unsur
asing,
antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A
UU PPh)
tentang Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan
pajak.;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang :
Subjek Pajak Luar
Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk
Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh)
tentang: Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subyek Pajak
-
9
Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang:
Tidak
Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang:
Hubungan
Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam
Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang:
Kredit Pajak Luar
Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang:
Pemotongan Pajak
atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Sedangkan kaedah-kaedah yang berasal dari traktat adalah:
a. Perjanjian bilateral;
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian
Penghindaran Pajak
Berganda (P3B).
c. Perjanjian multirateral. Perjanjian ini seperti Konvensi
Wina.
4. Keputusan Hakim Nasional Atau Komisi Internasional Tentang
Pajak-Pajak
Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak
yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan
Pengadilan
internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32A UU PPh, pemerintah berwenang untuk
melakukan
perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran Pajak
Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya,
perjanjian ini
dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan
perdagangan
dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku
khusus (lex-
spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari
masing-masing negara
guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan
pajak
berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya
mengacu pada
Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan
perpajakan nasional
masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia
mengakui
Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty
berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional
mencakup
juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah
Traktat antar
negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat
ditunjukan
-
10
adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun
mengenai
obyeknya.
Kekuasaan Negara tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD
1945,
namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara
mempertahankan
kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau
oleh siapa
yang dapat membatasi wewenang ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum
internasional,
maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh
negara yang
mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan
dikucilkan
dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian
negara
Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia
harus turut serta
menjalankan konvensi tersebut.
5. Prinsip Non Diskriminasi
Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan
di bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty
partner yang
melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya.
perlindungan yang
dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya
dibandingkan
warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama
(the same
circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha
tetap dari
perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner
lainnya atau
perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian
atau
seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak
langsung oleh
penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan
ini tidak
mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan
(allowances),
potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan
pajak kepada
warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama
di atas.
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu
perusahaan
domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan
beban pajak
dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari
suatu negara.
Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan
menjadi:
a. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax
avoidance).
-
11
b. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax
avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling
berbeda
pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai
acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan
demikian,
bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu
negara dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di
negara lain
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah
lain yang
sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang
tidak
diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk
penghindaran
pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya
diartikan
sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan
beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan
perpajakan
suatu negara. Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan
skema tersebut
sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan
perpajakan. Lebih lanjut,
The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh
Indrayagus Slamet
menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang
masih
dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan bonafide dan
adequate
consideration, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat
undang-undang
(the intention of parliament).
Tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak
yang
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam
peraturan
perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan
dispute antara
Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil
pajak
yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan
(illegal) seperti
dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar
biaya dengan
cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita
ajukan adalah
apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk
penghindaran
pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan
kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks
perpajakan
-
12
internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA
untuk
melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (1)
transfer pricing,
(2) thin capitalization, (3) treaty shopping, dan (4) controlled
foreign corporation
(CFC).
Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib
Pajak
dapat menjalankan dalam bentuk:
a. Substantive tax planning, yang terdiri atas:
1) Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke
negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan
perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis
penghasilan.
2) Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke
negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan
perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis
penghasilan.
3) Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax
subject and of
tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven atau
negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak)
atas
suatu jenis penghasilan.
b. Formal tax planning.
Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan
substansi
ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk
formal jenis
transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
C. Konsep Anti Tax Avoidance
Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau
aggressive
tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara
menerbitkan ketentuan
pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan
perpajakan sebagai berikut ini:
a. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti
penghindaran pajak
atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin
capitalization, (iii) treaty
shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
-
13
b. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti
penghindaran pajak
untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib
Pajak yang
semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang
tidak
mempunyai substansi bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat
suatu ketentuan
untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau
aggressive tax planning
yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax
planning yang
dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning
lagi tetapi sudah
semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu yang
pada dasarnya
tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di
negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia,
skema-skema yang dapat
dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian
Taxation Office
(ATO) adalah sebagai berikut:
a. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari
pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun
ada tujuan
bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
b. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya
fasilitas pajak
tersebut tidak ditujukan kepadanya.
c. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi
tersebut akan
kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
d. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya
penyusutan yang besar di
masa yang akan datang.
e. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang
diterima oleh entitas
usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
f. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax
haven countries.
Tax Avoidance di Indonesia
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku
saat ini,
belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive
tax planning,
acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan
demikian, dalam
praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara
Wajib Pajak dan
-
14
aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan
penafsiran
sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan
ketidakpastian
hukum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa
sepanjang
skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang
dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal
ini dimaksudkan
untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di
sisi lain,
pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai suatu
ketentuan
perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata
tujuan
penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh
karena itu, untuk
kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah,
ketentuan tentang
tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa
Specific Anti
Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR)
harus diatur
secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan,
baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi,
maupun dalam ketentuan
materialnya.
D. Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
1. Definisi P3B
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah
perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna
menghindari
pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara
dengan
prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan
oleh
penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian
tersebut.
2. Tujuan P3B
Tujuan P3B adalah sebagai berikut:
a. Tidak terjadi pemajakan berganda yang memberatkan ikim dunia
usaha;
b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam
negeri;
c. Peningkatan sumber daya manusia;
-
15
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua
negara.
3. Azas P3B
Azaz utama yang dijadikan landasan untuk mengenakan pajak
adalah:
a. Azas domisili atau azas kependudukan;
b. Azas Sumber;
c. Azas Nasionalitas atau azas kewarganegaraan.
4. Metode P3B
Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari
pemajakan
berganda, antara lain:
a. Metode Pemajakan Unilateral
Metode ini mengatur bahwa negara Republik Indonesia mempunyai
kekuatan
hukum didalamnya yang mengatur masyarakat atau badan
internasional dan
ditetapkan sepihak oleh negara Indonesia sendiri, dengan kata
lain tidak ada
yang bisa mengatur negara kita lain karena hail itu merupakan
kewibawaan dan
kedaulatan negara kita.
b. Metode Pemajakan Bilateral
Metode ini dalam penghitungan pengenaan pajaknya harus
mempertimbangkan
perjanjian kedua negara (Tax Treaty). Indonesia tidak dapat
sesuka hati
menerapkan jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan
internasional
dua negara yang telah mengadakan perjanjian. Justru peraturan
perpajakan
Indonesia tidak berlaku bilamana terdapat Tax Treaty.
c. Metode Pemajakan Multilateral
-
16
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan
atau
ketetapan atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan
banyak negara
yang ditandatangani oleh berbagai negara, misalnya Konvensi
Wina.
Metode Penghindaran Pajak Berganda adalah:
a. Pembebasan / Pengecualian;
b. Kredit Pajak;
c. Metode Lainnya.
5. Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda:
a. Model OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development);
b. Model UN (United Nation);
c. Model Indonesia (Gabungan antara model OECD dan UN).
6. Dasar Hukum P3B
P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai
status
legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai
perjanjian pembuat
undang-undang (lawmaking treaties) berdasar hukum publik
internasional karena
disepakati (pemerintah) negaranegara (contracting states) dalam
kapasitasnya
sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle; 1979).
Negara (Pemerintah)
Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat
Pasal 11 (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden
dengan
persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain.
Selanjutnya Pasal 4 (1)
Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
antara lain
menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional
dengan satu
negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain
berdasarkan kesepakatan;
dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian
tersebut dengan
itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh
menyatakan
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan
pengelakan pajak.
-
17
E. Transfer Pricing
1. Proses Terjadinya Transfer Pricing
Transfer pricing adalah transaksi antara pihak-pihak yang
memiliki
hubungan istimewa.Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional
yang
berkembang pesat turut memacu perkembangan korporasi
multinasional
(multinational company). Kegiatan korporasi multinasional
sebagai group-group
perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara berkembang,
sehingga menjadi
unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan konsep dan
strategi yang lebih
luas.
Transfer pricing (harga transfer) merupakan sebutan atau istilah
yang umum
digunakan untuk penentuan harga atas berbagai transaksi antar
anggota group
korporasi multinasional. Transfer pricing dapat ditentukan
berbeda dengan harga
wajar atau harga yang berlaku di pasaran bebas, namun dapat juga
ditentukan
lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer pricing ini
merupakan isu klasik
dalam bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi
internasional yang
dilakukan oleh korporasi multinasional.
Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh
Silvain
Plasschaert yang dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999),
disebutkan bahwa
motivasi transfer pricing di Indonesia terkait dengan beberapa
hal antara lain:
a. Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan;
b. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;
c. Penurunan pengaruh depresiasi Rupiah;
d. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap
saingan impor;
e. Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat
keuntungan
usaha;
f. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau
kesejahteraan
karyawan dan kepedulian lingkungan;
-
18
g. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar
negeri.
Untuk menghindari praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh
korporasi
multinasional, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan
junto Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
Atas
Undang- Undang No. 7 Tahun 1983 memberikan kewenangan kepada
otoritas
pajak untuk menentukan kembali harga wajar transaksi antar
pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa (associated enterprises/related
parties) dan
mewajibkan Wajib Pajak yang mempunyai transaksi dengan
pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa untuk membuat perjanjian dengan
Direktur Jenderal
Pajak dalam bentuk Advance Pricing Agreement (APA) atau
kesepakatan harga
transfer mengenai harga wajar produk dalam transaksi yang
dilakukan antar
mereka.
Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah
adanya
transaksi karena adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa
merupakan
hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan
lain. Hubungan
ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak
lain yang tidak
terdapat pada hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat
mengakibatkan
kekurangwajaran pelaporan, sebagai akibat pengalihan penghasilan
atau dasar
pengenaan biaya pada suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak
lainnya.
Transfer pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar
melalui rekayasa
harga yang ditransfer antardivisi. Perusahaan multinasional
cenderung merelokasi
penghasilan globalnya pada low tax country dan menggeser
biaya-biaya dalam
jumlah yang lebih besar pada high tax country. Artinya, ada
pergeseran kewajiban
perpajakan dari Negara-negara yang memiliki tarif pajak yang
tinggi ke Negara
yang menerapkan pajak rendah. Disinilah terlihat praktik
transfer pricing tersebut
yang mengakibatkan potensi penerimaan suatu Negara khususnya
yang berasal
dari penerimaan pajak akan berkurang. Sementara dari sisi
bisnis, perusahaan
akan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya termasuk
efisiensi dalam hal
pembayaran pajak perusahaan. Bagi perusahaan multinasional,
transfer pricing
merupakan strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan
dengan sumber
-
19
daya yang terbatas. Jika transfer pricing dilakukan antar
perusahaan lokal (dalam
negeri) maka hal ini tidak menjadi persoalan, karena pemerintah
tetap akan
memperoleh pajak dari salah satu perusahaan yang diuntungkan.
Yang menjadi
masalah adalah jika transfer pricing dilakukan oleh perusahaan
asing dengan
perusahaan lokal. Jika hal ini terjadi maka akan sangat
berbahaya. Perusahaan
lokal yang menjadi subsidiari dari perusahaan asing akan
dikorbankan. Artinya,
perusahaan lokal itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya
perusahaan lokal
tersebut sedang tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari
pembayaran
pajak oleh kedua perusahaan tersebut. Kasus ini sering terjadi
pada industri batu
bara. Jenis tambang itu merupakan incaran perusahaan tambang
multinasional.
perusahaan asing yang mendekati perusahaan tambang batu bara
lokal. Dari
sinilah akan timbul negosiasi harga. Setelah itu yang terjadi
justru praktik transfer
pricing. Jika batu bara banyak dibeli oleh perusahaan asing,
maka tidak mungkin
perusahaan lokal itu akan merugi. Jika ada dua perusahaan yang
berkonspirasi
untuk merugikan suatu perusahaan, hal ini sudah pasti transfer
pricing.
Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4)
Undang-
Undang No. 36 Tahun 2008. Dalam Pasal 18 ayat (3) diatur
mengenai
kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi
yang
dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Dalam Pasal 18 ayat (3) (a)
diatur bahwa
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan
Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk
menentukan harga
transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode
tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah
periode tertentu
tersebut berakhir. Penjelasan pasal ini juga menyatakan bahwa
kesepakatan
harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah
kesepakatan antara
Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual
wajar produk
yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa
(related parties) dengan Wajib Pajak tersebut.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya
praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional.
Persetujuan
-
20
antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak tersebut
dapat mencakup
beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan,
jumlah royalty, dan
lain-lain yang tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA
selain
memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
fiskus tidak
perlu melakukan koreksi terhadap harga jual dan keuntungan
produk yang dijual
oleh wajib pajak kepada perusahaan dalam suatu group yang sama.
APA dapat
bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara
Direktorat Jenderal Pajak
dengan wajib pajak. APA dapat juga bersifat bilateral, yaitu
merupakan
kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan Negara
lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah
yurisdiksinya.
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh memberikan pengertian
mengenai
apa yang dimaksud dengan hubungan istimewa dan penanganan
transfer pricing
harus memenuhi kedua unsur, yaitu adanya kewenangan Direktorat
Jenderal Pajak
serta memenuhi definisi hubungan istimewa.
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur hubungan
istimewa
dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak
langsung
paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih
Wajib Pajak
berada di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun
tidak
langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
2. Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh
perusahaan
konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi adalah sebagai
berikut:
a. Harga transfer dasar biaya (cost based transfer pricing)
-
21
Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga
transfer
atas biaya variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga)
pemilihan bentuk, yaitu
biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost
plus markup),
dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus
fixed fee).
b. Harga transfer atas dasar harga pasar (market basis transfer
pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan
ukuran yang
paling memadai, karena sifatnya yang independen. Namun
keterbatasan
informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam menggunakan
metode
transfer pricing ini.
c. Harga transfer negosiasi (negotiated transfer prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan
divisi-divisi
dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing
untuk
menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer
negosiasi
mencerminkan perspektif kontrol abilitas yang inheren dalam
pusat-pusat
pertanggungjawaban, karena setiap divisi yang berkepentingan
tersebut pada
akhirnya akan bertanggungjawab atas harga transfer yang
dinegosiasikan.
3. Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional
Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh
perusahaan
multinasional, yaitu:
a. Performance evaluation
Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk
menilai
kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return
on
investment. Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan
divisi lainnya
dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain.
Misalnya,
divisi penjual menginginkan harga transfer yang tinggi yang
akan
meningkatkan income, yang secara otomatis juga akan meningkatkan
ROI-nya.
Namun di sisi lain, divisi pembeli menuntut harga transfer yang
rendah yang
nantinya berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga
peningkatan
-
22
dalam ROI. Oleh karena itu dalam hal ini induk perusahaan akan
sangat
berkepentingan dalam penentuan harga transfer.
b. Optimal determination of taxes
Tarif pajak antar satu Negara dengan Negara yang lain berbeda.
Perbedaan ini
disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya
yang berlaku
dalam Negara tersebut. Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat
investasi
rendah, tarif pajak yang berlaku di Negara itu juga rendah. Akan
tetapi jika kita
bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang
diberlakukan di
Negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas karena di
Negara maju
seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan
dengan tingkat
pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar
inilah tarif
pajak yang ditetapkan di Negara tersebut tinggi.
4. Transfer Pricing Atas Royalti
Perkembangan ekonomi global dan adanya persaingan
internasional
membuat suatu perusahaan harus melakukan berbagai upaya untuk
menguasai
pasar dan mendekatkan diri dengan konsumen yang berada di
berbagai Negara.
Perkembangan tersebut mengakibatkan banyak perusahaan di
berbagai Negara
mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan multinasional.
Dalam konsep
perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki oleh
perusahaan induk
terhadap anak perusahaan di berbagai Negara seringkali
menyebabkan terjadinya
transaksi internasional, yaitu transfer pricing. Transaksi
transfer pricing dapat
berupa transfer harga atas barang, jasa dan harta tidak
berwujud. Transaksi antar
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa seringkali
menimbulkan
ketidakwajaran harga transfer. Hal ini dilakukan sebagai upaya
memonopoli pasar
global sebagai strategi bisnis ataupun untuk mengurangi total
beban pajak global
yang harus ditanggung perusahaan akibat transaksi lintas
Negara.
-
23
Contoh Kasus Transfer Pricing
Jika PT A mengekspor produk dengan harga pokok dan biaya lainnya
US$100
ke XY di Negara PQ dengan harga US$200, atas laba US$100 dibayar
PPh di
Indonesia sebesar US$30. Namun jika dijual ke perusahaan
afiliasi SQ di Singapura
dengan harga transfer pricing sebesar US$120 dan kemudian SQ
menjual kepada
XY dengan harga US$200. Maka, atas laba PT A sebesar US$20 dan
QS sebesar
US$80 akan dibayar pajak sejumlah US$22 (di Indonesia US$6, dan
di Singapura
US$16).
Dengan chanelling ke Singapura, dari laba global US$100 sudah
didapat
penghematan pajak sebesar US$8. Kalau SQ menjual ke perusahaan
afiliasinya HK
di HongKong (yang mengenakan pajak korporasi sebesar US$16)
dengan harga
US$150, maka atas laba di Indonesia US$20, di Singapura US$30
dan di HongKong
US$50 akan dibayar PPh sebesar US$20 (PT A membayar US$6, SQ
membayar
US$6, dan HK membayar US$8). Dengan tiga tahap penjualan ini,
terdapat
penghematan pajak sebesar US$10. Jadi, semakin rendah tarif
pajak Negara tempat
kedudukan perusahaan trading afiliasi yang dimanfaatkan dalam
mata rantai
perdagangan, semakin besar pula penghematan pajak dari praktik
transfer pricing
ini.
-
24
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan
pajak
penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q
sebesar 100.000.000
yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan
domestic adalah
200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000
Penghasilan global 300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000
Eksemsi pajak
100.000.000 75.000.000 (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh
kerugian sebesar 50,
maka penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut :
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
25% x 150.000,000 37.500.000
Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat
kerugian sebagai
konsekuansi dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut
sepertinya dapat
mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara
berkesinambungan
pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali
(recaptured) pada periode
berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh
tersebut, pada
-
25
tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba
150.000,000, di samping laba
domestik 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya
adalah:
Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)
Penghasilan global 400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi 100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000