ONTOLOGI Dosen pengampu: A. K. Prodjosantoso Oleh: Dyna Natalia (13708251 Eti Wahyuningsih (13708251089) Listika Yusi R. (13708251 Mar’atus Solihah (13708251 Muhammad Syarif S.A.S. (13708251102) Nurul Hidayati (13708251 Zuher ( PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
ontologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul suatu materi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ONTOLOGI
Dosen pengampu: A. K. Prodjosantoso
Oleh:
Dyna Natalia (13708251
Eti Wahyuningsih (13708251089)
Listika Yusi R. (13708251
Mar’atus Solihah (13708251
Muhammad Syarif S.A.S. (13708251102)
Nurul Hidayati (13708251
Zuher (
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINSUNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2013
ONTOLOGI
PENGERTIAN ONTOLOGI
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan
Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi
adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik
yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.
Menurut Soetriono & Hanafie (2007), Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan
batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek
formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi
atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang
dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
Sedangkan menurut Suriasumantri (1993), telah ontologis akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan:
1. Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah
2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut
3. Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Menurut Pandangan The Liang Gie, Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang
mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan:
Apakah artinya ada, hal ada?
Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?
Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang
berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat
dikatakan ada ?
Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles, ontologi
yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas.
Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli
(real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut.
(Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM). Pengertian paling umum pada
ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu.
Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang
keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan
berjalannya waktu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit
dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi
juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang
dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi
merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi
objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan
filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Sementara itu Bakker (1992) menyatakan bahwa ontologis bergerak dari dua kutub, yaitu
pengalaman akan kenyataan kongkret dan pra-pengertian “mengada” yang paling umum. Dalam
refleksi ontologis kedua kutub itu saling menjelaskan. Atas dasar pengalaman tentang kenyataan
akan semakin didasari dan dieksploitasikan arti dan hakikat mengada. Tetapi sebaliknya
prapemahaman tentang cakrawala mengada akan semakin menyoroti pengalaman kongkret itu,
dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh. Jadi refleksi ontologis berbentuk suatun lingkaran
hermenuetis antara pengalaman dan mengada, tanpa mampu dikatakan mana yang lebih dahulu.
Dikatakan oleh Bekker bahwa dalam ontologi tidak ada rumus yang tepat, yang ada hanya
mungkin sebagai kesimpulan-kesimpulan uraian
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya.
Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan
kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui
kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir
didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari suatu pengetahuan dengan jalan melakukan
pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat
penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya tersebut. Dengan demikian, ilmu
merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana
suatu ilmu pengetahuan berasal. Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak
dapat menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajiannya.
Hakikat yang dikaji dalam ontologi yaitu:
1. Apakah sesungguhnya hakekat realita yang sebenarnya?
2. Apakah realita yang nampak ini suatu realita materi?
3. Atau ada sesuatu dibalik realita itu?
4. Apakah ada rahasia alam?
5. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap?
6. Apakah hakekat semesta ini bersifat tetap?
7. Apakah realita ini berbentuk satu unsur atau banyak?
KEBERADAAN ONTOLOGI
Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan
akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan itu).
Jadi dalam ontologi yang dipermasalahkan adalah akar-akarnya hingga sampai menjadi ilmu
(Suriasumantri, 1993).
Pada saat ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa
terdapat hokum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-
gejala empiris. Dalam tahap ontologis ini manusia mulai mengambil jarak dari obyek sekitar,
tidak seperti yang terjadi dalam dunia mistis, di mana semua obyek berada dalam kesemestaan
yang bersifat difus dan tidak jelas batas-batasnya. Manusia mulai memberikan batas-batas yang
jelas kepada obyek kehidupan tertentu yang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai subyek
yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, dalam
tahap ontologis manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang
memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari
pemecahan jawabannya.
Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu tidak berpaling kepada perasaan
melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu mencoba mencari penjelasan
mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti hakikat permasalahan yang
dihadapi itu. Dengan demikian maka dia dapat memecahkannya. Dalam hal ini pertama-tama
ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat kongkret yang
terdapat dalam dunia nyata. Secara ontologism, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya
pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia (Suriasumantri, 1993).
Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu dengan agama. Agama
berbeda dengan ilmu, mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman
manusia, baik sebelum manusia ini berada di muka bumi sebagaimana manusia diciptakan
maupun sesudah kematian manusia, seperti yang terjadi setelah adanya kebangkitan kembali.
Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi juga menyebabkan perbedaan metode. Ini
harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang
sesungguhnya. Tanpa mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan.
Padahal dengan menguasai hakikat ilmu dan agama secara baik, akan memungkinkan
pengetahuan berkembang lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justru saling
melengkapi. Pada satu pihak agama akan memberikan landasan moral bagi aksiologi keilmuan,
sedangkan di pihak lain ilmu akan memperdalam keyakinan beragama.
Menanggapi kenyataan yang terdalam
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan
yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat yang tertua di antara segenap filsuf Barat yang kita
kelan ialah orang Yunani yang bijak dan arif yang bernama Thales. Atas perenungannya
terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia sempai pada kesimpulan bahwa air merupakan
subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita
sesungguhnya bukanlah ajaran-ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal mula segala
sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu subtansi
belaka.
Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah
pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali
dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaan yang wajar.
Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, danging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang
sebagai subtansi-subtansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang
tidaklah ada pemeliharaan antara kenampakan (appearance) dangan kenyataan (reality).
Jarang terjadi sekali, si polon (orang kebanyakan) umpamanya, menjadi sadar apa yang
secara selayang pandang tampak sabagai makanan yang sedap, namun setelah dicicipinya
ternyata sebatang lilin dan sama sekali bukan makanan. Jika kita menginginkan suatu istilah
yang dapat diterapkan kepada orang kebanyakan semacam itu, kiranya mereka dapat dinamakan
para penganut paham pluralisme yang bersahaja di bidang ontologi. Dikatakan bersahaja kerena
segala sesuatu di pandang dalam keadaan yang wajar. Dikatakan penganut paham pluralisme
kerena perpendirian ada banyak subtansi yang terdalam.
Istilah-istilah dasar dalam bidang ontologi
Sebagaimana telah dikatakan filsafat dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang
bertugas sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka usaha
pertama untuk memahami ontologi ialah menyusun daftar dan memberikan keterangan mengenai
sejumlah istilah dasar yang digunakan di dalamnya.
Di antara istilah-istilah terpenting yang terdapat dalam bidang antologi ialah: yang-ada
(being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal (one), jamak
(many). Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna yang terkandung oleh istilah-istilah
tersebut, termasuk di dalamnya, sejumlah pernyatan yang menggunakan istilah-istilah tadi.
Aspek Ontologi (Hakekat Jenis Ilmu Pengetahuan)
Ontologi, dalam bahasa Inggris ‘ontology’, berakar dari bahasa yunani ‘on’ berarti ada,
dan ‘ontos’ berarti keberadaan. Sedangkan ‘logos’ berarti pemikiran. Jadi, antologi adalah
pemikiran mengenai yang ada dan keberadaan. Selanjutnya menurut A.R. Lacey, antologi
diartikan sebagai “a central part of metaphisics” (bagian sentral dari metafisika). Sedangkan
metafisika diartikan sebagai “that which comes after ‘physics’,………the study of nature in
generla”. (hal yang hadir setelah fisika,………..study umum mengenai alam). Dalam metafisika,
pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam
semesta ini berhakikat monistik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah
alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency).
Beberapa karekteristik ontologi seperti diungkapkan oleh Bagus, antara lain dapat
disederhanakan sebagai berikut:
1. Ontologi adalah study tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang
ada dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya yang paling abstrak.
2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas
mungkin, dengan menggunakan katagori-katagori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau
potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan
waktu, perubahan, dan sebagainya
3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu
yang satu, yang absolute, bentuk abadi, sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang
mutlak bergantung kepada-nya.
4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu, apakah
pikiran itu nyata, dan sebagainya.
Seperti telah diungkap diatas, hakikat abstrak atau jenis menentukan kesatuan (kesamaan)
dari berbagai macam jenis, bentuk dan sifat hal-hal atau barang-barang yang berbeda-beda dan
terpisah-pisah. Perbedaan dan keterpisahan dari orang-orang bernama Socrates, Plato, Aristoteles
dan sebagainya, terikat dalam satu kesamaan sebagai manusia. Manusia, binatang, tumbuhan,
dan benda-benda lain yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, tyersatukan dengan kesamaan jenis
sebagai makhluk. Jadi, hakikat jenis dapat dipahami sebagai titik sifat abstrak tertinggi daripada
sesuatu hal (an ultimate nature of a thing). Pada titik abstrak tertinggi inilah segala macam
perbedaan dan keterpisahan menyatu dalam subtansi dalam filsafat, study mengenai hakikat jenis
atau hakikat abstrak ini masuk kedalam bidang metafisika umum (general metaphisics) atau
ontology. Oleh sebab itu, pembahasan tentang hakikat jenis ilmu pengetahuan berarti membahas
ilmu pengetahuan secara ontologis. Persoalannya adalah sejauh mana fakta perbedaan dan
keterpisahan ilmu pengetahuan ini merupakan kesungguhan (actus) atau kemungkinan (potency),
dalam arti seharusnya ilmu pengetahuan itu tentang pluralistic atau monolistik?
Secara ontologis, artinya secara metafisika umum, objek materi yang dipelajari didalam
pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling abstrak. Seluruh objek
materi pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan zat
kebendaan berada pada tingkat abstrak tertinggi yaitu dalam kesatuan dan kesamaan sebagai
makhluk. Kenyataan itu mendasari dan menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain, pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu, yaitu dalam kesatuan objek
materinya.
Disamping objek materi, keradaan ilmu pengetahuan juga lebih ditentukan oleh objek
forma. Objek forma ini sering dipahami sebagai sudut atau titik pandang (point of view),
selanjutnya menentukan ruang lingkup study (scope of the study). Berdasarkan ruang lingkup
studi inilah selanjutnya ilmu pengetahuan berkembang menjadi plural, berbeda-beda dan
cenderung saling terpisah antara satu dengan yang lain. Berdasarkan pada objek forma,
selanjutnya ilmu pengetahuan cenderung dikembangkan menjadi plural sesuai dengan jumlah
dan jenis bagian yang ada didalam objek meteri. Dari objek materi yang sama dapat
menimbulkan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang plural dan berbeda-beda. Dari objek materi
manusia, misalnya: melahirkan ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu
pendidikan dengan ranting-rantingnya. Dari objek materi alam, melahirkan ilmu fisika, ilmu
kimia, ilmu biologi, dan matematika dengan ranting-rantingnya.
Jadi secara ontologis, hakikat pluralitas ilmu pengetahuan menurut perbedaan objek
forma itu tetap dalam kesatuan system, baik “interdisipliner” maupun “multidisipliner”.
Interdisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan dalam objek materi yang
sama, dan multidisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan dalam objek
materi yang berbeda. Berdasarkan kedua system tersebut, perbedaan antar ilmu pengetahuan
justru mendapatkan validitasnya, tetapi secara ontologis pemisahan atas perbedaan ilmu
pengetahuan yang berbeda-beda berkonsekuensi negatif berupa perilaku disorder (pengrusakan)
terhadap realitas kehidupan .disamping, pendekatan kuantitatif menurut objek materi dan objek
forma terhadap pemecahan masalah hakikat ilmu pengetahuan, secara ontologis masih ada
pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif, persoalan yang sama, yaitu aspek ontologi
ilmu pengetahuan dengan persoalan hakikat keberadaan pluralitas ilmu pengetahuan, dapat
digolongkan kedalam tingkat-tingkat abstrak universal, teoretis potensial dan kongkret
fungsional.
Pada tingkat abstrak universal, pluralitas ilmu pengetahuan tidak tampak. Pada tingka ini
yang menampak adalah ilmu pengetahuan itu satu dalam jenis, sifat dan bentuknya didalam ilmu
pengetahuan ‘filsafat’. Karena filsafat memandang suatu objek materi menurut seluruh segi atau
sudut yang ada didalamnya.dari keseluruhan segi itulah filsafat mempersoalakan nilai kebenaran
hakiki objek materinay, yaitu kebenaran universal yang berlaku bagi semua ilmu pengetahuan
yang berbeda dalam jenis, sifat dan dalam bentuk yang bagaimanapun. Lebih dari itu, bagi
filsafat, perbedaan objek materi itu hanyalah bersifat aksidental, bukan substansial.
Bagaimanapun perbedaan objek materi, tetap dalam satu system yang tak terpisahkan, yaitu tak
terpisahkan dalam substansi mutlak (causa prima). Didalam causa prima inilah kebenaran
universal tertinggi yang bersifat demikian, maka meliputi pluralitas kebenaran, dan berfungsi
sebagai sumber dari segala sumber kebenaran.
Selanjutnya, pada tingkat teoreti potencial, pluralitas ilmu pengetahuan mulai tampak.
Pada tingkat teoretis, boleh jadi pluralitas ilmu pengetahuan masih berada dalam satu kesatuan
system. Suatu teori berlaku bagi banyak jenis ilmu pengetahuan serumpun, tetapi tidak berlaku
bagi banyak jenis ilmu pengetahuan yang berlainan rumpun. Teori ilmu pengetahuan social,
cenderung tidak dapat digunakan dalam rumpun ilmu pengetahuan alam, karena perbedaan
watak objek materi. Manusia dan masyarakat, sebagai objek materi ilmu pengetahuan social,
berpotensi labil dan cenderung berubah-ubah, sedangkan badan-badan benda sebagai objek
materi ilmu pengetahuan alam berpotensi stabil dan cenderung tetap. Karena itu, teori ilmu
pengetahuan sosial cenderung berubah-ubah menurut dinamika eksistensi kehidupan manusia
dan masyarakat, dan teori ilmu pengetahuan alam cenderung bersifat tetap.
Kemudian, pada tingkat praktis fungsional, pluralitas ilmu pengetahuan justru
mendapatkan legalitas akademik. Karena pada tingkat ini, ilmu pengetahuan dituntut untuk
memberikan kontribusi praktis secara langsung terhadap upaya reproduksi demi kelangsungan
eksistensi kehidupan manusia. Pada tingkat ini, kebenaran teoretis potensial disusun dalam suatu
system tekhnologis, sehingga membentuk tekhnologi yang siap memproduksi barang dan jasa
sesuai dengan kebutuhan manusia dan masyarakat. Pada tingkat praktis fungsional ini, pluralitas
dalam hal perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan, tersatukan dalam suatu system
tekhnologi, yang semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan
eksistensi kehidupan.
Metafisika
Dalam bahasa Inggris berakar dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada dan ontos berarti
keberadaan, logos berarti pemikiran Lorens Bagus : 2000).
Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti ‘” a central part of metaphisics” (bagian
sentral dari metafisika) sedangkan metafisika diartikan sebagai that which comes after physics,
… the study of nature in general (hal yang hadir setelah fisika, … studi umum mengenai alam).
Berdasarkan asal katabya Metafisika dapat diartikan (Bahasa Yunani: μετά (meta) =
“setelah atau di balik”, φύσικα (phúsika) = “hal-hal di alam”) adalah cabang filsafat yang
mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi
keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah
sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa
ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika
menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan,