MAKALAH HADITS DAN KEHUJJAHANNYA Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Qur’an Hadits Dosen Pengampu : Achmad Dahlan, Lc., M.A. Disusun Oleh : Ulfah Kholiliana Nefiyanti 14530049 JURUSAN ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR HADITS
MAKALAH
HADITS DAN KEHUJJAHANNYA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Al-Qur’an Hadits
Dosen Pengampu : Achmad Dahlan, Lc., M.A.
Disusun Oleh :
Ulfah Kholiliana Nefiyanti
14530049
JURUSAN ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2014 / 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah
SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula
sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari masa yang
penuh kejahiliyyahan menuju masa yang penuh dengan
keilmuan.
Makalah kami yang berjudul Hadist dan Kehujjahannya
ini, kami tulis dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Al-Qur’an/Hadist yang diampu oleh Achmad Dahlan,
Lc., M.A. dan sebagai wujud keperdulian kami untuk
masyarakat serta bukti pengamalan ilmu yang kami dapat.
Kami sangat berterima kasih kepada Beliau, karena
dengan Tugas yang diberikan ini, membuat kami semakin
terpacu untuk belajar lebih mendalam, terutama materi
yang berkaitan dengan makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa dalam makalah ini
masih terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang positif agar
kedepannya kami dapat menyusun makalah dengan lebih
baik lagi.
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Yogyakarta, 10 Desember
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................... i
DAFTAR ISI....................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................ 1
A. Latar Belakang.......................... 1
B. Rumusan Masalah......................... 2
C. Tujuan Penulisan........................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................ 3
A. Definisi Hadist......................... 3
B. Bagian-Bagian Dalam Hadist.............. 6
C. Terminologi Terkait Hadist.............. 8
D. Kehujjahan Hadist dan Hubungannya dengan Al-
Qur’an..................................... 14
BAB III PENUTUP.................................. 24
A. Kesimpulan.............................. 24
B. Saran................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara bahasa, hadits berarti baru, dekat, dan
kabar. Sedangkan menurut istilah, hadits berarti
segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan
ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad S.A.W.. Akan tetapi
para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits
hanya pada perkataan Nabi Muhammad S.A.W. yang
berkaitan dengan hukum, sedangkan apabila mencakup
pula perbuatan dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum, maka disebut dengan ”sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas,
menarik dibicarakan lebih dalam mengenai hal yang
berkaitan dengan hadits dan kehujjahan (kedudukan)
hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-
Qur’an.
Inti ajaran Islam dibangun di atas dua pondasi,
yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an merupakan
sumber hukum utama dalam Islam. Akan tetapi
kenyataannya ada beberapa perkara yang sedikit sekali
Al-Qur’an menjelaskannya atau secara global saja,
atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-
Qur’an. Salah satu contohnya adalah tentang tata cara
shalat yang tidak mungkin dipraktekan tanpa bantuan
dari hadits Nabi. Karena Al-Qur’an sendiri tidak
menyebutkan tata cara shalat itu dan Al-Qur’an hanya
menegaskan wajibnya shalat lima waktu saja.
Oleh karena itu, untuk memperjelas dan merinci
kemujmalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan
hadits. Imam Abu Hanifah pernah berkata: ”Tanpa hadits
tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur’an”.
Mempelajari Hadits Nabi Muhammad S.A.W. juga
mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana sabda
beliau “Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang
mendengar dari kami sebuah hadits kemudian menghafalnya dan
menyampaikannya…” (Abu Daud dan At-Tarmidzi).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadits?
2. Bagaimana bagian-bagian dalam hadits?
3. Bagaimana terminologi terkait hadits?
4. Bagaimana kehujjahan hadits dan hubungannya dengan
Al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahaui pengertian hadist
2. Mengetahui bagian-bagian dalam hadist
3. Mengetahui terminlogi terkait hadist
4. Mengetahui kehujjahan hadist dan hubungannya
dengan Al-Qur’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadist
1. Pengertian Hadits
Kata hadits berasal dari bahasa Arab, al-hadist
yang berarti hasil pembicaraan atau berita Nabi
Muhammad S.A.W.. Dalam bahasa Arab dapat dipakai
sebagai kata sifat, yang bermakna al-jadid (yang
baru), lawan dari al-qadim (yang lama). Sedangkan
secara istilah kata hadits bermakna komunikasi,
cerita, dan perbincangan baik berkaitan dengan
masalah keagamaan maupun keduniawian, bersifat
historis maupun kekinian.1
Definisi hadits secara terminologi disampaikan
oleh para ulama secara berbeda-beda yang dapat
dirangkum sebagai berikut :
a. Menurut ahli hadits (Muhadditsun)
Hadits yaitu segala riwayat yang berasal dari
Rasulullah S.A.W. baik berupa perkataan, perbuatn,
ketetapan (taqrir), sifat fisik, dan tingkah laku
Rasulullah S.A.W., baik sebelum diangkat menjadi
Rasul maupun sesudahnya.2
b. Ulama Ushul Fiqh/Ahli Hukum (Ushuliyyun)
Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad S.A.W., selain Al-Quran Al-
Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum
syara’ atau dapat dijadikan sebagai dalil hukum
syari’ah.3
1 Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 17.
2 Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 19.
3 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bukan Bintang, 1987), hlm. 20.
c. Ulama Fiqh (Fuqaha’)
Hadist adalah segala perbuatan yang
ditetapkan oleh Rasulullah S.A.W., namun
pelaksanaannya tidak sampai kepada tingkat wajib,
dapat ditinggalkan namun dipandang lebih baik dan
lebih utama (afdhal) untuk diamalkan.
d. Ulama Lain
Hadits adalah segala sesuatu yang berasal
dari sahabat Nabi Muhammad S.A.W. dan tabi’in.
Pendapat ini didasarkan pada adanya istilah hadits
marfu’ (hadist yang disandarkan kepada Nabi
S.A.W.), hadist mauquf (hadist yang disandarkan
hanya sampai kepada sahabat Nabi S.A.W.), dan
hadits maqtu’ (hadist yang disandarkan hanya sampai
kepada tabi’in).
2. Sunnah, Khabar dan Atsar
Ada istilah lain yang digunakan untuk
mengungkapkan makna yang sama dengan arti hadits,
yaitu sunnah, atsar, dan khabar. Kebanyakan para
ahli menggunakan istilah tersebut sebagai sinonim.
Meskipun demikian, ada sebagian ahli menggunakan
dalam makna yang berbeda. Mereka menggunakan kata
sunnah dan khabar semakna dengan istilah hadits dan
kata atsar untuk menunjukkan perkataan atau
keputusan para sahabat.
a. Pengertian Sunnah
Menurut bahasa sunnah merupakan jalan, arah,
peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau
sikap hidup.4 Dalam kitab Mukhtar As-Sihah,
disebutkan bahwa sunnah secara etimologis berarti
tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup,
baik yang terpuji maupun tercela. Menurut
istilah, para ulama juga berbeda-beda dalam
memberikan definisi terhadap sunnah:
a) Menurut Ulama Hadits (Muhadditsun)
Sunnah adalah segala apa yang menjadi
peninggalan Nabi Muhammad S.A.W. berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat (watak
budi atau fisik), atau tingkah laku Nabi
Muhammad S.A.W., baik sebelum masa kenabian
maupun sesudahnya. Dalam hal ini, menurut
mayoritas ulama, sunnah merupakan sinonim dari
hadits.
b) Menurut Ulama Ahli Hukum (Usul Fiqh)
Sunnah adalah segala perkataan yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. selain4 Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A.
Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 20.
Al-Qur’an, perbuatan, atau ketetapan beliau
yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum
syara’.5
c) Menurut Ahli Fiqh (Fuqaha’)
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi S.A.W.
yang belum sampai pada tingkatan fardlu atau
wajib.
b. Pengertian Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang
disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Sedangakan menurut istilah khabar yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi S.A.W. dan
selain beliau, sehingga mencakup hadits marfu’,
mauquf, dan maqtu’. Khabar lebih cenderung
sinonim dengan hadits, bahkan lebih luas dari
hadits.
c. Pengertian Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas/sisa
sesuatu. Para fuqaha’ memakai istilah atsar untuk
perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in
dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah, atsar
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada5 Imam Muhsin dkk., Al-Hadist (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 11.
selain Nabi Muhammad S.A.W. yang secara khusus
dinamakan hadits mauquf.
B. Bagian-Bagian Dalam Hadist
1. Rawi
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa
berarti ma irtafa’a minal al-ardhi (tanah yang meninggi).
Sedang menurut istialah adalah:
د م�ن ال�كلام ه ال�سن ل�ي� هى ا� ت� ن� م�ا ي��“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
Atau redaksi lain ialah:
ه ي� �ن ها م�عا وم ب�$ ق� ت� ى ن�( ي-�ث+ ال�ت� اظ1 ال�حد ل�ف ا5“Lafazh-lafazh hadis yang di dalamnya mengandung
makna-makna tertentu”.
Ada juga redaksi yang lebih silmpel lagi, yang
menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah
as-sanad). Dari semua pengertian di atas,
menunjukan, bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah
materi atau lafazh hadis itu sendiri.
2. Sanad
Kata Sanad merunurt bahasa adalah “sandaran”,
atau sesuatu yang ita jadikan sandaran. Dikatakan
demikian, karena hadist bersandar kepadanya.
Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan
pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby
mengatakan bahwa Sanad adalah:
ن ق� ال�مت� ي:� ار ع�ن ط�ر ن$ خ� الا�“Berita tentang jalan matan”.
Yang lain menyebutkan:
ن ال ال�موص�له� ل�لمت� س�لسله� ال�رج�$
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadist),
yang menyampaikan kepada matan hadist”
Ada juga yang menyebutan:
ول لوا ال�مت�ن ع�ن م�صدره الا5 ف� ن ن� ي-� س�لسله� ال�رواه� ال�د
“Silsialah para perawi yang menukilkan hadist dari
sumbernya yang pertama”.
3. Matan
Kata rawi secara bahasa berarti periwayatan.
Sedangkan menurut istilah ulumul hadist, rawi
adalah orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadist (naqil al-hadist).
Dalam penelitian hadits, terdapat cabang ilmu
yang khusus membahas tentang kondisi perawi hadits,
baik ditinjau dari sisi positif maupun sisi
negatif perawi hadits tersebut. Ilmu tersebut
dikenal dengan istilah “Ilmu Jarh dan Ta’dil”.
Sebagian ahli mengatakan bahwa ilmu Jarh dan Ta’dil
tersebut sebenarnya berasal dari ilmu Rijal Al-
Hadits.
Seorang rawi merupakan salah satu faktor
penting keabsahan sebuah hadits, karena jika sebuah
hadits berasal dari rawi yang tidak terpercaya,
bisa jadi itu bukanlah sebua hadits murni atau
asli, melainkan sebuah perkara yang dibuat-buat.
C. Terminologi Terkait Hadist
1. Istilah-Istilah Dalam Ilmu Hadist
a. Sanad adalah sejarah perjalanan matan atau
jalan yang menyampaikan kepada matan.
b. Matan ialah perkataan yang bersanad.
c. Rowi ialah orang yang meriwayatkan hadits
atau khobar.
d. Al-Mukhorrij ialah ahli hadits yang
mengeluarkan hadits-hadits yang berbeda sanadnya
dengan hadits-hadits dari kitab seorang ahli
hadits, tetapi tidak memenuhi standar sanadnya
penyusun kitab itu, seperti Abu Nu’aim mentakhrij
hadits-hadits dalam Shohih Bukhari dan Ahmad bin
Hamdan mentakhrij hadits-hadits dalam Shohih
Muslim. Hadits-hadits yang ditakhrij para
mukhorrij itu dikumpulkan dalam kitab yang
disebut Mustakhraj.
e. Al-Mudain ialah orang yang mengkodifikasi
(menyusun buku) hadits.
f. At-Thoriq ialah jalan datangnya hadits dari
seorang imam yang mendengarkan atau mengeluarkan
hadits.
g. Al-Muhaddits ialah orang yang ahli dalam
masalah hadits, mengetahui sanad-sanad, ilat-ilat
para perowi secara lengkap, mana yang rengking
atas dan bawah, memahami Kutubut Tis’ah, Mu’jam al
Baihaqi, dan Mu’jam at Thabrany, dan hafal sekurang-
kurangnya 1000 hadits dengan sanadnya. Di antara
imam-imamnya antara lain yaitu ‘Atho bin Robah.
h. Al-Hakim ialah seorang ahli hadits, mengetahui
setiap rowi dengan sejarah hidupnya, guru-
gurunya, dan sifat-sifatnya yang baik maupun yang
tercela. Sekurang-kurangnya dia hafal 300 ribu
hadits dengan sanadnya. Di antara imam-imamnya
adalah sebagai berikut:
- Ibnu Dinar, wafat 162 H.
- Laits bin Sa’ad, wafat 175 H.
- Imam Malik, wafat 179 H.
- Imam Syafi’I, wafat 204 H.
i. Al-Hafidz ialah ahli hadits yang lebih khusus
dari Al-Muhaddits. Sekurang-kurangnya hafal 100
ribu hadits beserta sanadnya. Di antara Imam-
imamnya adalah:
- Imam Al-Iraqi
- Imam Syarifuddin
- Ibnu Hajar Al-Asqolani
- Ibnu Daqiq Al-‘Id
j. Al-Hujjah ialah gelar bagi orang yang sanggup
menghafal 300 ribu hadits beserta sanadnya
seperti Al-Hakim, namun dari segi penguasaannya
terhadap ilmu hadits lebih umum dibandingkan
dengan Al-Hakim. Di antara imamnya:
- Hisyam bin Urwah, wafat 146 H.
- Abu Hudzaid Muhammad bin Walid, wafat 149 H.
- Muhammad Abdullah bin Amr, wafat 242 H.
k. Amirul mu’minin gelar khalifah bagi para
Muhadditsin. Disebut ‘Amirul Mu’minin karena mereka
perintis dalam menyebarkan sunnah Rasulullah
S.A.W di jamannya. Diantara para muhadditsin yang
mendapat gelar ini antara lain yaitu Syu’bah,
Sufyan At-Tsaury, Ishaq Ibn Rohawaih, Ahmad Ibn
Hanbal, Al-Bukhari, Ad-Darquthny, dan Muslim.
l. Musnid ialah orang yang meriwayatkan hadits
beserta sanadnya.
m. Musnad ialah kitab yang terkumpul di dalamnya
hadits-hadits yang diriwayatkan setiap sahabat.
Seperti Musnad Imam Ahmad.
n. Riwayat ialah perjalanan hadits atau khobar
dari Nabi S.A.W.
2. Cabang-Cabang Ilmu Hadist
a. Ilmu Rijal Al-Hadist
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam
kapasitas mereka sebagai perawi hadist ilmu ini
sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu
hadist, karena pada saat ini ada dua yaitu matan
dan sanad. Ilmu Rijal Al-Hadist memberikan
pengertian kepada persoalan khusus persoalan
seputar sanad.
b. Ilmu Al-Jarah wa Ta’dil
Ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti
keadilan dan kedhabitannya. Sehingga dapat
ditentukan siapa di antara perawi itu yang dapat
diterima atau ditolak hadsit yang
diriwayatkannya. Ilmu Al-Jarah wa Ta’dil ini
dikelompokan oleh sebagian ulama kedalam ilmu
hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada
sanad dan matan.
c. Ilmu Tarikh Ruwat
Ilmu untuk mengetahui para pwrawi hadist yang
berkaitan dengan usaha periwayatan mereka
terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan
pembahasannya secara mendalam pada aspek
kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam
periwayatan.
d. Ilmu Ilalil Hadist
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi
yang mencacatkan keshahihan hadist, seperti
mengatakan muttasil terhadap hadist munqati’,
menyebat hadist marfu’ kepada hadsit mauquf.
e. Ilmu Nasikh wa Mansukh
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan
yang tidak dapat dipertemukan dengan cara
menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan
sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang
datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang
dinamakan nasikh.
f. Ilmu Asbabi Wurudil Hadist
Ilmu yang menerangkan sebab Nabi menuturkan
sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu.
Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu
Hafash Umar Ibnu Muhammad Ibnu Rajak Al-Ukbary
dari murid Ahmad.
g. Ilmu Ghraib Al-Hadist
Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang
terdapat pada lafadz-lafadz hadist yang jauh dan
sulit dipahami, karena lafadz-lafadz tersebut
jarang digunakan. Sesudah berlalu masa sahabat,
yakni abad pertama dan para tabi’in pada tahun
150 H., mulailah bahasa Arab yang tinggi tidak
diketahui lagi umum. Satu-satu orang saja lago
yang mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah
para ahli mengumpul kata-kata yang dipandang
tidak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata
yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari
dalam sesuatu kitab dan mengsarahkannya.
h. Ilmu At-Tashif
Ilmu pengetahuan yang berusaha menanamkan tentang
hadist-hadist yang sudah diubah titik/syakalnya
atau bentuknya.
i. Ilmu Muktalif Al-Hadist
yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya
bertentangan atau berlawanan, kemudian ia
menghilangkan pertentangan tersebut atau
mengkompromikan antara keduanya, sebagaimana juga
ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit
difahami isi atau kandungannya dengan cara
menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta
menjelaskan hakikatnya.
j. Ilmu Talfiqiel Hadist
Ilmu yang membahaskan tentang cara mengumpulkan
antara hadist-hadist yang berlawanan lahirnya.
Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan
yang ‘Am atau mentaqyidkan yang mutlak atau
dengan memandang banyak kali terjadi. Ilmu ini
dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist, di antara
para ulama besar yang telah berusaha menuyusun
ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafi’i, Ibnu Qutaibah,
dan Ibnul Jauzy kitabnya bernama At-Tahqiq sudah
disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.
D. Kehujjahan Hadist dan Hubungannya dengan Al-Qur’an
1. Kehujjahan Hadits
Kehujjahan hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan
hadits yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum
(al-dalil al-syar’i) selain Al-Qur’an yang dibuktikan
dengan dalil-dalil syari’ah.
Para ulama sepakat bahwa hadits menempati
kedudukan kedua setelah Al-Qur’an. Meskipun di
dalam Al-Qur’an tidak pernah diterangkan bahwa
dasar hukum kedua adalah hadits. Hanya saja, konsep
yang menunjukkan kewenangan Nabi S.A.W dalam
melahirkan sumber hukum kedua (hadits) secara
langsung dari Al-Qur’an dengan menyinggung tentang
kepatuhan terhadap Rasulullah S.A.W., bahkan
merupakan suatu kewajiban mengikuti segala perilaku
Nabi S.A.W..6
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini
merupakan dalil-dalil serta kesepakatan ulama dalam
membuktikan hadits sebagai sumber hukum kedua
setelah Al-Qur’an :
a. Dalil Al-Qur’an
- Dalam Al-Qur’an, Allah telah menerangkan
kewajiban mempercayai dan menerima segala yang
disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk
dijadikan pedoman hidup. Di antara ayat-ayat yang
dimaksud tersebut yaitu:
“Allah sekali-sekali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan
Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di
antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka
bagimu pahala yang besar”. (Q.S. Ali Imran: 179)
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi
siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-
6 Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A.Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 25.
rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu
telah sesat sejauh-jauhnya” (Q.S. An-Nisa’: 136).
- Dalam Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan
kedudukan Nabi Muhammad S.A.W. Di antara ayat-
ayat yang dimaksud tersebut yaitu:
Sebagai pensyarah (penafsir) Al-Qur’an
Allah S.W.T. berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Zikru, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
(Q.S. An-Nahl: 44).
Sebagai pembuat hukum (legislator)
Allah S.W.T. berfirman:
“Nabi SAW menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari beban yang melilit mereka” (Q.S. Al-
A’raf: 157).
Sebagai teladan kaum muslimin
Allah S.W.T. berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mendambakan rahmat Allah S.W.T. dan kedatangan hari
kiamat dan dia selalu menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab:
21)
Wajib dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin
Allah S.W.T. berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk
ditaati dengan segala seijin Allah” (Q.S. An-Nisa: 64)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka” (Q.S. An-Nisa: 80).
b. Dalil Hadits
Nabi Muhammad S.A.W. bersabda:
"Ingat! Bahwa saya diberi Al-Qur’an dan yang seperti Al-
Qur’an (Hadits)" (H.R. Abu Daud).
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan
tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu
kitab Allah dan sunnahku” (H.R. Al-Hakim dan
Malik).
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku
dan sunnah khulafa ar-sasyidin (khalifah yang mendapat
petunjuk), berpagang tegulah kamu sekalian denganya”
(H.R. Abu Daud dan Ibn Majah).
c. Kesepakatan (Ijma’) shahabat
Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai,
menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang
terkandung di dalam hadits ternyata sejak
Rasulullah S.A.W. masih hidup (langsung dari
Nabi), sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’
Al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya tidak ada
yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang
tidak hanya memahami dan mengamalkan isi
kandungannya, akan tetapi bahkan mereka
menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya
kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber
hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan
peristiwa berikut:
Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia
pernah berkata:
“Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu
yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah
S.A.W., sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya”.
Saat Umar bin Khatab berada di depan Hajar
Aswad ia berkata
“Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya
saya tidak melihat Rasulullah S.A.W.
menciummu, saya tidak akan menciummu”.
Ali bin Abu Thalib berkata “Kami melihat
Rasulullah S.A.W. berdiri, lalu kami berdiri,
dan beliau duduk, kami pun duduk”.
d. Ijma Ulama
Imam Abu Hanifah berkata:
“Apabila Hadits itu shahih, maka itulah
madzhabku”.
“Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang
bertentangan dengan kitab Allah dan khabar dari
Rasulullah S.A.W., maka tinggalkanlah
pendapatku”.
Imam Malik berkata :
“Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang
salah dan terkadang benar, maka lihatlah
pendapatku, apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan
hadits maka ambillah. Setiap yang tidak sesuai
dengan Al-Qur’an dan hadits, tinggalkanlah”.
“Tidak seorangpun yang hidup setelah Nabi
S.A.W. kecuali sabdanya yang dibuat pegangan
dan semua pendapat ditinggalkan kecuali sabda
Nabi .SA.W.”.
e. Petunjuk Akal/ Ra’yu (logika)
Agama Islam yang diikuti oleh umat sekarang
ini adalah agama yang dibawa oleh utusan Allah
S.W.T. yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad
S.A.W.. Jika kita percaya kepada beliau sebagai
utusan Allah S.W.T., kitapun tentunya wajib
menaati segala peraturan yang dibawanya. Sebab
beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang
diterima dari Allah S.W.T., baik isi maupun
formulasinya dan kadang kala atas inisiatif
sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan.
Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil
ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang
tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak
dibimbing oleh ilham, tetapi selalu dalam
petunjuk dan bimbingan-Nya, sehingga hasil
ijtihad beliau tetap berlaku sampai ada nash
yang menasakhnya.
1. Hubungan dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup,
sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang
satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-
Qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat
ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu,
kehadiran hadist berfungsi sebagai sumber ajaran
kedua setelah Al-Qur’an untuk menjelaskan (bayan)
keumuman isi Al-Qur’an tersebut.
Sesuai firman Allah SWT:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan” (QS. An-Nahl:44)
Allah S.W.T. menurunkan Al-Qur’an agar dapat
dipahami oleh manusia, maka Rasulullah S.A.W.
diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-
cara melaksanakan ajaranya melalui hadist-
hadistnya.
Fungsi hadits sebagai penjelas (bayan) Al-
Qur’an dalam pandangan ulama berbeda-beda,
diantaranya:
a. Imam Malik bin Annas, menyebutkan ada lima
macam fungsi hadist terhadap Al-Qur’an, yaitu:
- Bayan At-Taqrir
- Bayan At-Tafsir
- Bayan At-Tafshil
- Bayan Al-Ba’ts
- Bayan At-Tasyri’
b. Imam Syafi’i menyebutkan ada lima fungsi
yaitu:
- Bayan At-Tafshil
- Bayan At-Takhshish
- Bayan At-Ta’yin
- Bayan At-Tasyri’
- Bayan An-Nasakh
Berikut ini merupakan fungsi hadits yang
disepakati oleh para ulama:
1. Bayan At-Ta’kid
Bayan Al-Ta’qid disebut juga Bayan Al-Taqrir
dan Bayan Al-Itsbat. Yang dimaksud dengan bayan
ini adalah menetapkan, memperkokoh/memperkuat,
dan mengungkapkan kembali isi/keterangan yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Contoh hadits yang
diriwayatkan Muslim:
طروا )رواه م�سلم( ف� ا5 ت�موه ف� ��ن ا را5 ذ صوم�وا وا� ت�موه ف� ��ن ا را5 ذ ا� ف�Dari Ibnu Umar ra. berkata, Rasulullah S.A.W.
telah bersabda: “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka
berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”
(H.R. Muslim)
Hadist ini Menguatkan ayat dalam Surah Al-
Baqarah ayat 185:
“Maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,
hendaklah ia berpuasa...” (Q.S. Al-Baqarah:185)
2. Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah hadist
berfungsi untuk menjelaskan secara pemerinci
(tafsil) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
bersifat global (mujmal), memberikan
batasan/persyaratan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an
yang bersifat mutlak dan mengkhususkan (takhsish)
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (shalat,
puasa, zakat, jual beli, nikah, qishahs, hudud,
dsb.)
a. Menjelaskan secara rinci terhadap ayat Al-
Qur’an:
Rasulullah S.A.W. bersabda:
ارى وم�سلم( ح ص�لى )رواه ال�ب$ ت�مون� ى ا5 ��ن ص�لوا ك�ما را5
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat” (H.R.
Bukhari). Hadist ini member rincian terhadap
ayat: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku'” Q.S. (Al-Baqarah: 43).
b. Memberi batasan (taqyid) terhadap ayat Al-
Qur’an:
Rasulullah S.A.W. bersabda: “Rasulullah S.A.W.
didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau
memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”. Hadist
ini memberi batasan terhadap ayat:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-
Maidah: 38).
c. Mengkhususkan (takhshish) keumuman ayat Al-
Qur’an:
Nabi S.A.W. bersabda: “Tidaklah orang Muslim mewarisi
dari orang kafir, begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang
muslim” (H.R. Bukhari). Hadist ini mengkhususkan
keumuman ayat: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagiaan
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan ...” (Q.S. An-Nisa’: 11).
3. Bayan At-Tasyri’
Bayan At-Tasyri’ adalah hadits berfungsi
menetapkan dan membentuk hukum yang tidak
terdapat di dalam Al-Qur’an. Contoh hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim:
“Bahwasannya Rasulullah S.A.W. telah mewajibkan zakat fitrah
kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’)
kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan Muslim” (H.R. Muslim)
Fungsi hadits yang tidak disepakati mayoritas
ulama:
1. Bayan An-Nasakh
Bayan An-Nasakh adalah mengubah/menghapus
suatu hukum/ketentuan yang terdahulu meskipun
jelas kemudian diganti dengan ketentuan yang
datang setelahnya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibhtal
(membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil
(memindahkan), dan taghyir (mengubah). Menurut
ulama Mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini
karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu
hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah
berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa
diamalkan lagi dan syari’ (pembuat syari’at)
menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk
selama-lamanya (temporal).
Jadi ketentuan yang datang kemudian tersebut
menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena
yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih
cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu
hukum (nasakh wa al-mansukh) harus memenuhi syarat-
syaratnya yang ditentukan, terutama
syarat/ketentuan adanya naskh dan mansukh.
Contoh:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Hadits ini menasakh
firman Allah S.W.T. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat
180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”
Sementara yang menolak naskh ini adalah Imam
Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun
naskh tersebut dengan hadits mutawatir, lalu
Mahdzab Zhahiriyyah dan Khawarij yang juga
menolaknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa
hadist merupakan salah satu pengangan umat Islam
setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber hukum
utama dalam Islam. Akan tetapi, kenyataannya ada
beberapa perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an
menjelaskannya atau secara global saja, atau bahkan
tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Al-
Qur’an yang masih global itu perlu adanya suatu
penjelas yang dapat memericinkannya agar dapat
diterima oleh umat Islam secara benar dan tepat.
Oleh karena itu, untuk memperjelas dan merinci
kemujmalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan
hadits. Imam Abu Hanifah pernah berkata: ”Tanpa hadits
tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur’an”.
Mempelajari hadits Nabi Muhammad S.A.W. juga
mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana sabda
beliau “Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang
mendengar dari kami sebuah hadits kemudian menghafalnya dan
menyampaikannya…” (Abu Daud dan At-Tarmidzi).
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis
miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta
kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang
bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan
makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis. Jakarta: Bukan Bintang.
'Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadis.
Bandung: Pustaka Hidayah.
Imam Muhsin, dkk. 2005. Al-Hadist. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya: Bina
Ilmu.
Niamules. 2014. Pengertian Rawi dan Proses Tranformasi Hadist
diakses dari http://rusunawablog.wordpress.com
pada tanggal 11-12-2014 pukul 09:53 WIB.