BAB I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG Semua orang pasti pernah
mendapat musibah baik pada jiwa, harta, atau keluarganya. Sudah
menjadi takdir Allah bahwa semua orang pasti merasakan yang namanya
musibah baik kecil maupun besar. Musibah yang menimpa semua manusia
pasti atas kehendak Allah. Umat manusia yang Allah berikan musibah
bukan berarti Allah swt. ingin menyusahkan hamba-Nya tersebut.
Allah swt. memberikan musibah kepada hamba-Nya karena ingin
menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan hamba-Nya tersebut.
Seorang hamba yang sabar ketika mendapat musibah maka Allah akan
menghapus sebagian kesalahannya. Namun, apabila hamba tersebut
tidak sabar menanggung penderitaan maka jelas hanya penderitaan
yang bertambah berat. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang
yang telah dipaparkan maka muncullah beberapa permasalahan yang
akan dibahas. Adapun permasalahan yang perlu dibahas antara lain:
a) Apa pengertian Musibah ? b) Berapa lama masa berkabung wanita
yang kematian suami ? c) Bagaimana larangan berdandan bagi wanita
janda selama berkabung ?
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH Dari rumusan masalah tersebut maka
tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai antara lain: a. Untuk
mengetahui pengertian musibah. b. Untuk mengetahui lama masa
berkabung wanita yang kematian suami. c. Untuk mengetahui larangan
berdandan bagi wanita janda selama berkabung.
BAB II PEMBAHASANA. Pengertian Musibah Musibah itu menurut
bahasa berarti bala dan malapetaka. Sedangkan menurut pengertian
istilah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Maraghi berikut
ini:
. Musibah itu ialah segala sesuatu yang menyakiti manusia, pada
jiwa, harta atau keluarganya, sedikit atau banyak."1 Adanya musibah
dari Allah swt. pada manusia, adalah sebagai peringatan-Nya, agar
manusia tidak banyak salah atau tidak menempuh jalan yang salah,
supaya manusia terhindar dari neraka. Ini Tersirat dan tersurat
dalam beberapa ayat Al-Quranul Karim. Di antaranya firman Allah
swt. dalam surah Al-Araf, ayat 168:
168. Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa
golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya
ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (ni`mat) yang
baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali
(kepada kebenaran). Dalam surah Ar-Rum (30) Ayat 41, Allah
berfirman:1
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi I, Juz 2, hlm. 21.
041. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar). Berdasarkan ayat-ayat tersebut
bilamana kita ditimpa musibah, maka segera merenungkan kesalahan
yang pernah dilakukan, baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun
hak sesama manusia,terutama orang tua, tetangga, dan sesama muslim.
Ini penting sekali, agar kita tidak mengambinghitamkan orang lain,
atau makhluk halus yang menjurus pada syirik. Sabar dalam Musibah
adalah Menghapus Dosa
: . : . Dari Aisyah r.a., istri Nabi (Muhammad) saw., beliau
berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada suatu musibah yang
menimpa orang muslim, melainkan Allah akan menghapuskan dosanya
karena musiah itu termasuk duri yang menusukinya. (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim).2 Dalam hadis lain dijelaskan sebagai
berikut:
2
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Luluu wal Marjan II, hlm. 989.
: . Dari Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah r.a., dari Nabi
saw., beliau bersabda: Tiada menimpa orang muslim kepayahan, tidak
pula penyakit, kesusahan, kesedihan, kesakitan dan duka cita,
termasuk sakit karena duri yang menusukinya, melainkan Allah
mengampuni dosadosanya karena musibah itu. (Diriwayatkan Al-Bukhari
dan Muslim).3 Hadis tersebut dikutip dari Al-Luluu wal Marjan no.
1223-1664.
Pengertian Kata 1. 2. 3. Kaffara berarti menghapuskan atau
mengampuni. Syaukah berarti duri, seperti duri kayu. Yasyaaku itu
bentuk majhul (pasif) dari Syaaka, Yasyuuku, Syaukan, yang berarti
menusuk atau menyucuk. 4. 5. 6. 7. 8.3
Nashab berarti kepayahan atau keletihan. Washab berarti sakit
yang teru- menerus, atau penyakit menaun. Hammun jamaknya Hummun
berarti susah, niat dan cita-cita. Huznun berarti duka cita atau
susah hati. Adzan berarti kesakitan, kemelaratan dan bahaya.
Ibid.
9.
Ghammun berarti berduka cita atau kesedihan hati.
10. Khaththaaya berarti beberapa kesalahan, jamak dari Khathiah.
Pelajaran yang Terkandung dalam Hadis Tersebut Dalam kedua hadis di
atas terkandung pelajaran penting, yaitu: 1. 2. Setiap Musibah yang
menimpa manusia, selalu ada hikmahnya. Di antara hikmah musibah
itu, bahwa Allah akan menghapus dosa orang yang ditimpa musibah
itu. 3. Dalam kedua hadis tersebut, terkandung pengertian bahwa
adanya musibah yang ditimpakan oleh Allah kepada manusia di dunia
ini, adalah dalam rangka kasih sayang-Nya, bukan
karenakekejaman-Nya. 4. Anjuran untuk bersifat sabar dalam
menghadapi cobaan Allah swt., tidak perlu terlalu susah dan putus
asa karena musibah tersebut. Musibah di dunia membawa rahmat bagi
orang yang tabah Banyak hadis yang menjelaskan demikian: Di
antaranya hadis berikut ini:
. . Jika Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, maka Allah
mempercepat penyiksaan baginya di dunia ini, dan jika Allah
menghendaki kejelekan bagi hamba-Nya, maka Allah menahan dulu
penyiksaan karena dosa-dosanya, sehingga Allah akan menuntutnya
pada hari Kiamat.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ath-Thabrani
dan Al-Baihaqi, dari Abdullah bin Mughfil Al-Anshari r.a.).4
: : : ( ). . Dari Anas r.a., beliau berkata: Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
berfirman: Apabila Aku menguji hamba-Ku, dengan kebutuhan dua
matanya, lalu dia sabar, maka Aku akan menggantikannya dengan surga
karena kebutaan kedua matanya itu. (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari).
Kata Al-Bukhari, bahwa yang Allah maksudkan dengan Habibataih
itu, adalah Ainaihi (dua matanya).5 Kesabaran inilah yang menjadi
syarat utama penghapusan dosa karena ditimpa musibah itu. Apabila
orang tidak sabar menanggung penderitaan karena musibah itu, maka
jelas hanya penderitaan yang bertambah berat. Sebagai bukti sabar
itu, adalah tidak mengambinghitamkan orang, tidak pergi kedukun
ramal nasib, atau kepada dewa dan makhluk halus atau mejic, tetapi
segera ingat akan Allah dan sadar bahwa semuanya termasukdirinya
adalah milik Allah, dan semuanya akan kembali kepada Allah swt. Ini
berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat155-156:
4 5
Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin, Al-Bayan wat Tarif I, hlm.
123. An-Nawawi, Riyadhush Shalihin, hlm. 27.
155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar, 156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"
Sesungguhnya kami/kita milik Allah, dan sesungguhnya kita pasti
kembali kepada-Nya. Ucapan demikian itu disertai doa, agar Allah
swt. Menggantikan kesusahan musibah itu dengan yang lebih baik.
Cara semacam itu dianjurkan oleh Rasulullah saw. dalam hadis
berikut ini:
: : : . . Dari Ummi Salamah r.a., sesungguhnya dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada seorang hamba yang
ditimpa musibah, lalu dia mengucapkan: Sesungguhnya kita milik
Allah dan sesungguhnya kita pasti kembali kepada-Nya. Ya, Allah
berilah ganjaran pahala dalam musibahku, dan gantikanlah bagiku
yang lebih baik dari musibah ini, melainkan Allah memberikan
ganjaran pahala dalam musibahnya, dan Dia menggantikan baginya yang
lebih baik daripadanya.
(Diriwayatkan oleh Muslim).6
Bahkan orang yang sabar menghadapi musibah itu akan mendapatkan
sesuatu yang lebih baik lagi dari itu. Itu sesuai dengan janji
Allah sendiri; Sebagaimana dijelaskan dalam surah AlBaqarah,
ayat157:
157. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk. Puncak dari berkat dan rahmat Allah baginya,
adalah kebahagian dalam surga kelak, di samping kebahagiaan di
dunia. Ini berdasarkan hadis Qudsi berikut ini:
: : . . . : : : . . Dari Abu Musa r.a., beliau berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Apabila anak seseorang meninggal dunia,
maka Allah swt. Bertanyan kepada para malaikat-Nya: Apakah kamu
telah mencabut nyawa anak hamba-Ku? Lalu mereka menjawab: Ya. Lalu
Allah bertanya lagi: Apakah kamu mencabut nyawa buah hatinya?
Mereka menjawab: Ya. Allah bertanya lagi:6
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I, hlm. 199.
Apakah kata hamba-Ku itu? Mereka menjawab: Dia memuji engkau,
dan mengucapkan: Innaalillaahi wa innaailaihi Raajiuun. Lalu Allah
berfirman: Bangunkanlah bagi hamba-Ku itu suatu rumah dalam surga.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ahmad, Al-Baihaqi, Ath-Thayalisi
dan Ath-Thabrani).7 Dalam hadis Qudsi yang lain Allah swt.
berfirman:
. . Apabila Aku sudah menimpakan kepada seseorang hamba dari
hamba-hamba-Ku suatu musibah pada badan, harta atau anaknya,
kemudian dia menghadapinya dengan kesabaran yang bagus (sempurna),
maka Aku malu kepadanya menegakkan timbangan baginya pada hari
Kiamat kelak, atau membuka catatan amalnya, (Diriwayatkan oleh
Al-Qudhai, Ad-Dailami).8 Kesabaran itu menjadi salah satu syarat
utama untuk mencapai kesuksesan dalam perjuangan hidup ini.
Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Ali Imran, ayat 200:
7 8
K.H.M.Ali Usman dkk, Hadis Qudsi, hlm. 419. Ibid, hlm. 101.
200. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan
negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung B.
Masa Berkabung Wanita yang Kematian Suami Setiap orang ditimpa
musibah merasa susah, tetapi tidak boleh menjadikan kita putus asa
dari rahmat Allah, karena bilamana kita renungkan betul, maka dalam
musibah itu terdapat rahmat Allah sat.; Sebagaimana sudah
dijelaskan dalam ayat 157 surah Al-Baqarah dan beberapa hadis yang
telah dikutip sebelumnya. Juga dijelaskan dalam hadis Qudsi berikut
ini:
: . . . Allah Tabarak wa Taala berfirman: Wahai, hamba-hamba-Ku,
Aku telah memberikan karunia kepadamu, dan Aku telah meminta utang
kepadamu. Barang siapa yang memberikan kepada-Ku sedikit dari apa
yang telah Aku berikan kepadanya dengan suka rela, niscaya Aku
percepat balasannya sekarang juga (di dunia); Barang siapa yang Aku
ambil dari dia sesuatu yang telah Aku berikan kepadanya dengan
paksaan, dan dia sabar, serta ikhlas karena Allah, maka Aku
wajibkan baginya berkat dan rahmat-Ku, dan Aku menulis dia termasuk
di antara orang-orang yang mandapat petunjuk, dan Aku membolehkan
dia memandang kepada-Ku,
(Diriwayatkan oleh Rafii dari Abu Hurairah).9 Semua ayat dan
hadis yang sudah dikutip itu mewajibkan kita untuk tabah menghadapi
musibah, tidak boleh terlalu berduka cita, bilamana kita ingin
bahagia dunia dan akhirat. Masa berkabung wanita yang kematian
suami, adalah 4 bulan 10 hari; sedangkan selainnya hanya boleh
berkabung selama 3 hari. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa
hadis berikut ini:
: : : : : . . Dari Zainab binti Abu Salamah r.a., beliau
berkata: saya masuk ke tempat Ummu Habibah r.a., istri Nabi saw.,
tatkala ayahnya, Abu Susyan bin Harb r.a. meninggal, lalu dia
meminta minyak wangi yang kuning, yang biasa digunakan atau
selainnya, lalu dia meminta hambanya untuk meminyakinya, kemudian
dia menggosokkannya pada dua pipinya; Kemudian dia berkata:9
Ibid, hlm. 29.
Demi Allah, saya tidak membutuhkan lagi pada harum-haruman ini;
Hanya saja saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Di atas mimbar
tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat,
berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari-tiga malam,
kecuali atas kematian suaminya, boleh empat bulan sepuluh hari.
Kata Zainab r.a., kemudian saya masuk ke tempat Zainab binti Jahasy
r.a., tatkala saudaranya meninggal; Lalu dia minta minyak wangi,
lalu dia mengusapkannya pada badannya, seraya berkata: Demi Allah,
saya tidak membutuhkan lagi pada haruman seperti ini; Hanya saja
saya mendengar Rasulullah saw. berkhotbah di atas mimbar: Tidak
halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat,
berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari-tiga malam,
kecuali atas kematian suaminya, maka boleh empat bulan sepuluh
hari. (Muttafaq alaih).10
Hadis tersebut sesuai dengan kurikulum terbaru, hanya salah
nomornya saja. Dalam petunjuk kurikulum tertulis no. 1771, tetapi
sebenarnya no. 1781 dalam kitab Riyadush Shalihin. Pengertian Kata
1. Tuwuffiya, artinya dimatikan, bentuk majhul (pasif), dari
Tawaffaa-yatawaffaa- yang berarti wafat (mati). 2. Thiibun, berarti
haruman atau wangian, bagus, lezat, dan manis, tetapi dalam hadis
ini dalam pengertian harum atau wangi. 3. 4. Shufrah, berarti
kuning. Khaluuqun, adalah suatu macam minyak wangi yang banyak
unsur kunyitnya, sehingga tampak kuning. 5. Dahana, berarti
meminyaki (kepala misalnya) dengan minyak.
10
An-Nawawi, Op cit, hlm. 483-484.
6. 7. 8.
Jariyah, berarti budak perempuan (pembantu). Massa, Yamassu,
berarti menyentuh, atau menjamah. Aaridhun berarti sebelah pipi.
Aari dhaihaa berarti dua belah pipinya. Jadi, sama dengan khaddun
(pipi).
9.
Tuhiddu, dari Ahadda-Yuhiddu berarti membatasi, mengasah
sehingga tajam, dan berkabung, dengan pengertian tidak boleh
berwangi-wangi, menghiasi diri, lebih-lebih berpacaran selama idah
wafat.
10. Daat dari Daa Yadu, yang berarti memanggil, menyerukan,
memohon, berdoa, mengundang, tetapi dalam hadis ini berarti
meminta. Pelajaran yang Terkandung dalam Hadis Tersebut Dalam hadis
tersebut terkandung beberapa pelajaran penting yang harus
diperhatikan oleh semua orang muslim, terutama kaum wanita. 1.
Setiap keluarga pasti akan mengalami musibah kematian, dan pasti
merasa berduka cita karena kematian keluarga, terutama orangtua,
anak atau lainnya. 2. Masa berkabung bagi kematian selain suami,
hanya tiga hari-tiga malam saja. Lebih dari itu sudah lepas masa
berkabung keluarga. 3. Masa berkabung bagi istri yang kematian
suaminya, selama empat bulan sepuluh hari, yaitu selama masa
idahnya yang sudah ditetapkan dalam surah Al-Baqarah ayat 234. 4.
Dalam ketentuan masa berkabung selama 4 bulan 10 hari itu
terkandung hikmah yang dalam sekali bagi istri, yaitu untuk
menghindari tuduhan yang menyusahkan istri, lebih-lebih dalam suatu
peristiwa kematiannya tidak wajar. C. Larangan Berdandan bagi
Wanita Janda Selama Berkabung
Banyak hadis yang melarang wanita janda untuk mempercantik diri
selama berkabung. Di antaranya:
: . . . Dari Ummu Athiyyah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda: Tidak boleh seseorang itu berkabung atas kematian
seseorang lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya,
maka masa berkabungnya empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu
dia tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali kain kembang
warna gelap, tidak boleh dia bercelak mata, tidak boleh memakai
wangi-wangian, kecuali bilamana dia bersih, maka boleh memakai
sepotong kecil wangian semacam kapur barus, dan kayu gaharu.
(Muttafaq alaih).11
Hadis ini menurut susunan matan riwayat Muslim. Dalam riwayat
Abu Dawud, dan An-Nasai, ada tambahan: Tidak boleh berpacaran, dan
riwayat An-Nasai: Tidak boleh bersisir. Penjelasan: Ash-Shonani
menjelaskan pengertian kata dalam hadis tersebut sebagai
berikut:
11
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, hlm. 234-235.
1. Huruf La di depan fiil Mudhari itu bisa dianggap La-nafi,
yang berarti tidak, dan fiil Mudhari dibaca rafak dan bisa La-nahi,
yang berarti jangan, dan fiil Mudhari dijazamkan. Saya memilih cara
pertama. 2. Mashbugh berarti dicelup dengan warna-warni. Ini
meliputi semua celupan dengan warna apa saja, selain yang
dikecualikan dalam kalimat hadis tersebut. 3. Taktahilu, berarti
bercelak. Jumhur ulama melarang wanita yang bercelak mata, selama
masa berkabung, berdasarkan hadis tersebut. 4. Nubdzah, berarti
sepotong (sekarat). 5. Qasthun, berarti semacam wangi-wangian dan
ada yang mengartikan kayu cendana. 6. Azhfar, menurut Imam
An-Nawawi berarti kayu gaharu yang harum. Menurut beliau, bahwa
Qasthun dan Azhfar , keduanya adalah dua macam kayu yang terkenal
dengan kayu gaharu.12 Hadis tersebut menguatkan hadis sebelumnya,
yang melarang wanita yang ditinggal mati suaminya, untuk bersolek
atau berdandan, agar terhindar dari tuduhan yang merusak nama
baiknya.
12
Ash-Shonani, Op cit, hlm. 201-202.
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Musibah itu menurut bahasa berarti
bala dan malapetaka. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Maraghi berikut ini:
. Musibah itu ialah segala sesuatu yang menyakiti manusia, pada
jiwa, harta atau keluarganya, sedikit atau banyak." Adanya musibah
dari Allah swt. Pada manusia, adalah sebagai peringatan-Nya, agar
manusia tidak banyak salah atau tidak menempuh jalan yang salah,
supaya manusia terhindar dari neraka. Bilamana kita ditimpa
musibah, maka segera merenungkan kesalahan yang pernah dilakukan.
Kesabaran menjadi syarat utama penghapusan dosa karena ditimpa
musibah itu. Apabila orang tidak sabar menanggung penderitaan
karena musibah itu, maka jelas hanya penderitaan yang bertambah
berat.
B. Saran
Tidak ada satu pun manusia yang tidak pernah ditimpa musibah dan
tidak ada satu pun manusia yang tidak punya kesalahan. Allah swt.
memberikan cobaan kepada hambanya, sebenarnya bukan untuk menyiksa
hamba tersebut di dunia, tapi salah satu cara Allah swt. menghapus
sebagian dosa atau kesalahan hambanya tersebut agar siksaan di
Akhirat berkurang. Oleh karena itulah, marilah kita berusa untuk
bisa bersabar ketika mendapat musibah agar sebagian dari kesalahan
yang pernah kita kerjakan diampuni. Khilaf melakukan kesalahan
sudah menjadi fitrah umat manusia. Namun, bukan berarti kita terus
larut dalam kekhilafan tersebut. Kita harus terus berusaha menjadi
lebih baik dan berusaha bersabar ketika mendapat musibah agar
sebagian kesalahan yang pernah kita perbuat Allah swt. ampuni
dengan asbab kesabaran kita menghadapi musibah sebagaimana isi
makalah ini. Demikianlah saran yang dapat saya sampaikan
mudah-mudahan makalah ini bermanfaaat bagi pembaca maupun
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi I Juz 2. An-Nawawi. Riyadhush
Shalihin. Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Baqi, Muhammad
Fuad Abdul. Al-Luluu wal Marjan II. Ibrahim bin Muhammad bin
Kamaluddin. Al-Bayan wat Tarif I. Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir
I. Muhammad, H. Abu Bakar. 1997. Hadis Tarbawi. Surabaya: Karya
Abditama. Usman, K.H.M. Ali, dkk. Hadis Qudsi.