-
5/26/2018 makalah lahan rawa
1/20
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
JURUSAN TEKNIK SIPILFAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS RIAUKampus
Bina Widya KM. 12,5 Simpang Baru - Pekanbaru
MAKALAH PLB
Lahan RawaTeknik SipilUniversitas Riau
DISUSUN OLEH:
ANDI WIJAYA (1107114365)ARI VERA INDRA (1107111953)
NOPEMBER TONI (1107111965)
KELAS A
DOSEN PEMBIMBING:
Ir Siswanto ,MT
APRIL 2014
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
2/20
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan
kesehatan dan kesempatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan
makalah
Pengembangan Lahan Basah ini.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pandangan kepada
teman-teman
mahasiswa tentang fungsi ekologis lahan rawa.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing Ir Siswanto MT
yang
telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan
makalah ini. Dan
juga kepada teman-teman yang berperan penting dalam penyelesaian
makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa menyelesaikan makalah ini masih
terdapat banyakkekurangan dan kesalahan. Untuk itu, penyusun
mengharapkan masukan dan kritikan
yang sifatnya membangun dalam penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa
dan
penulis di kemudian hari.
Pekanbaru, April 2014
Penyusun
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
3/20
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR
ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
..................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN.....................................................................................
BAB III KESIMPULAN
......................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
4/20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan rawa terluas di kawasan tropika
dengan
bahan sedimen yang terdiri atas tanah mineral, tanah gambut,
atau kombinasi
keduanya. Diperkirakan rawa yang ada di Indonesia layak untuk
budidaya
pertanian. Lahan rawa yang cocok untuk budidaya tanaman umumnya
adalah
yang bebas dari pirit minimal di zona perakaran, dan gambut
tipis yang tetap
bersifat hidrofilik. Lahan rawa merupakan lahan alternatif
untuk
pengembangan pertanian. Lahan rawa terdiri atas lahan pasang
surut dan lahan
lebak. Sejarah pemanfaatan rawa dilatarbelakangi oleh kondisi
kekurangan
pangan yang dialami Indonesia pada masa-masa awal
kemerdekaan
Lahan rawa (lebak dan pasang surut) memiliki potensi besar
untuk
dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi
pertanian
kedepan yang menghadapi tantangan makin kompleks, terutama
untuk
mengimbangi penciutan lahan subur maupun peningkatan
permintaan
produksi, termasuk ketahanan pangan dan pengembangan
agribisnisPemanfaatan lahan rawa masih sangat terbatas akibat
keterbatasan
teknologi dan varietas. Untuk memanfaatkan lahan rawa tersebut,
diperlukan
teknologi yang dapat menghadapi permasalahan serius.
1.2 Rumusan Masalah
Hal-hal yang dibahas di dalam makalah ini yaitu :
a. Pengertian lahan rawab. Klasifikasi wilayah rawa
c. Luas lahan rawa
d. Potensi Lahan Rawa
e. Upaya Peningkatan Produktivitas Lahan Rawa
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
5/20
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lahan Rawa
Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi
terus-
menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta
mempunyai ciri-
ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis.
Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan
antara
daratan dan perairan, selalu tergenang sepanjang tahun atau
selama kurun waktu
tertentu, genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena
drainase yang
terhambat.
Indonesia memiliki lahan rawa terluas di kawasan tropika
dengan
bahan sedimen yang terdiri atas tanah mineral, tanah gambut,
atau kombinasi
keduanya. Luas total lahan rawa belum dapat diidentifikasi
secara pasti, ada
yang menyebut luas lahan gambut Indonesia 34 juta ha, dan ada
yang
mengatakan 27,7 juta ha. Diperkirakan rawa yang layak untuk
budidaya
pertanian sekitar 6 - 7 juta ha. Lahan rawa yang cocok untuk
budidaya tanaman
umumnya adalah yang bebas dari pirit minimal di zona perakaran,
dan gambut
tipis yang tetap bersifat hidrofilik. Rawa yang tidak cocok
untuk dikembangkanumumnya berupa gambut tebal dan tanah sulfat
masam/berpirit pada jeluk yang
dangkal.
Ekosistem lahan rawa bersifat rapuh yang rentan terhadap
perubahan
baik oleh karena alam (kekeringan, kebakaran, kebanjiran) maupun
karena
kesalahan pengelolaan (reklamasi, pembukaan, budidaya intensif).
Jenis tanah
di kawasan rawa tergolong tanah bermasalah yang mempunyai
beragam
kendala. Misalnya, tanah gambut mempunyai sifat kering tak balik
dan mudah
ambles. Tanah gambut mudah berubah menjadi bersifat hidrofob
apabila
mengalami kekeringan. Gambut yang menjadi hidrofob tidak dapat
lagi
mengikat air dan hara secara optimal seperti kemampuan semula.
Selain itu,
khusus tanah suffidik dan tanah sulfat masam mudah berubah
apabila
teroksidasi. Lapisan tanah (pirit) yang teroksidasi mudah
berubah menjadi
sangat masam (pH 2-3) dan meningkatnya kelarutan.
Ekosistem lahan rawa memiliki sifat khusus yang berbeda
dengan
ekosistem lainnya. Lahan rawa dibedakan menjadi lahan rawa
pasang surut dan
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
6/20
lahan rawa non pasang surut (lebak). Lahan rawa pasang surut
adalah lahan
yang airnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut atau sungai,
sedangkan lahan
lebak adalah lahan yang airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang
turun di
wilayah setempat atau di daerah lainnya disekitar hulu.
Pengembangan lahan rawa mempunyai banyak keterkaitan dengan
lingkungan yang sangat rumit karena hakekat rawa selain
mempunyai fungsi
produksi juga fungsi lingkungan. Apabila fungsi lingkungan ini
menurun maka
fungsi produksi akan terganggu. Oleh karena itu perencanaan
pengembangan
rawa harus dirancang sedemikian rupa untuk memadukan antara
fungsi lahan
sebagai produksi dan penyangga lingkungan agar saling
menguntungkan atau
konpensatif. Rancangan semacam inilah yang memungkinkan untuk
tercapainya
pertanian berkelanjutan di lahan rawa.
Fungsi air di lahan rawa antara lain:
a) sebagai tandon air di musim hujan, terutama di rawa
belakang
(backswamp);
b) sebagai pelepas air secara perlahan lahan bilamana sumber air
hujan/debit
air sungai menurun di musim kemarau (aliran dari rawa belakang
ke
sungai);
c) untuk mempertahankan suasana reduksi bilamana aliran lateral
dalam tanah
(seepage) sangat lambat. Di daerah rawa yang belum direklamasi,
fungsi ini
berjalan sangat bagus. Kelebihan air akan mengalir ke luar rawa
melalui
aliran permukaan yang terakumulasi dalam saluran alami sempit
yang
melebar ke arah sungai.
Pengelolaan air di lahan rawa dapat diartikan sebagai
pemanfaatan air
secara tepat untuk keperluan domestik, meningkatkan produksi
tanaman, antara
lain untuk kebutuhan evapotranspirasi, pembuangan kelebihan air,
mencegah
terbentuknya bahan toksik dan melindi elemen toksik yang
terjadi, serta
mencegah penurunan muka tanah. Pengelolaan air ini sebetulnya
mencakup
kuantitas dan kualitas yang diinginkan oleh tanaman yang
dibudidayakan dan
rumah tangga.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
7/20
2.2 Klasifikasi Wilayah Rawa
Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi
peralihan
antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di
depresi, dan
cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di
dataran banjir
sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka
tersebar di dataran
rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan
rawa yang
tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi,
umumnya sempit
atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang
terdapat di
dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun
yang
menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara
sungai-sungai
besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.Pada kedua
wilayah terakhir ini, karena posisinya bersambungan
dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat
dominan. Di bagian
muara sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan,
dan ke arah hulu
atau daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan
semakin jauhnya
jarak dari laut. Berdasarkan pengaruh air pasang surut,
khususnya sewaktu
pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran
sungai di bagian
bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona.
Klasifikasi zona-
zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al.
(1992), dan agak
mendetail oleh Subagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut
adalah:
Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau
Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar
Zona Ill : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut
2.2.1 Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian
daratan
yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar,
dan pulau-
pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian
pantai ini, dimana
pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering
kali disebut
sebagai tidal wetlands, yakni lahan basah yang dipengaruhi
langsung oleh
pasang surut air laut/salin.
Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin
danair payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di
Sumatera Selatan, Jambi,
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
8/20
dan Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan
sepanjang sungai
besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke
dalam. Wilayah
ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya
mengandung
garamgaram yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan
salin, dan tidak
sesuai untuk lahan pertanian.
Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke
arah
hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu
bagian muara
sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air
pasang dan
surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air
asin/salin dapat
mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun,
apabila
relative sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin
hanya mencapai
jarak 5-10 km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke
arah daratan
Pulau Delta, atau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak
masuknya air pasang
dapat mencapai sekitar 4-5 km.
2.2.2 Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar
Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke
arah
hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai
bagian bawah,
namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah
hulu sungaI. Di
wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah
laut, bertemu
dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam
sehari ( semi
diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air
asin/salin, yang
dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai
sendiri. Walaupun
begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai
oleh masih
adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai.
Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh
adanya
musim hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh
volume air
sungai yang meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air
pasang ke
daratan kirikanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak
jangkauan air pasang
ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang
dibawa air
pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir
sungai.
Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama
ber-abad-abad
akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural
levee), yang jelas
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
9/20
terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena
pengaruh pasang
surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar.
Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik
turunnya air
sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada
jarak tertentu
berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut
yang terlihat pada
gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II
dari pantai,
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai
dan kelak-kelok
sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai
contoh, kota
Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa,
tetapi relative
sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di
muara Anjir Talaran
di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan
Selatan, yang
berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut
relatif masih agak
kuat.
Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim
kemarau
pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60
km, S.
Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara
sungai. Di
Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan
65 km, dan
S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S.
Mamberamo: 30 dan 8
km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan
S. Digul (barat
Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai
(Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).
2.2.3 Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang
surut
Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman,
dan
dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada
lagi. Oleh
karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman,
atau rawa non-
pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai
bagian
tengah pada sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi
dan dataran
banjir (floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda
umur
geologisnya, sampai dataran banjir bermeander (meandering
floodplains),
termasuk bekas aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah
danau oxbow
(oxbow lakes) pada sungai-sungai besar yang lebih tua
perkembangannya.
Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar
musiman,
yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai
besar.
Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan,
"verval"
sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah,
sehingga
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
10/20
aliran sungai melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang
dari muara,
mengakibatkan air sungai seakan-akan "berhenti" (stagnant),
sehingga
menimbulkan genangan banjir yang meluas. Tergantung dari letak
dan posisi
lahan di landscape, genangan dapat berlangsung dari sekitar satu
bulan sampai
lebih dari enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang
ditandai dengan
berkurangnya curah hujan, genangan air banjir secara
berangsur-angsur akan
surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau
berikutnya.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
11/20
2.3 Luas Lahan Rawa
Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup
intensif.
Dari ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya
lahan rawa
pasang surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, dan
Lampung) telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara
tahun 1969-1980
dalam rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan
Pasang
Surut), Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik
(sekarang,
Departemen Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk
wilayah
lahan rawanya, kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau
oleh proyek
LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning Project) Pusat
Penelitian
Tanah (sekarang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian),
antara
tahun 1986-1990.
Di Papua, baru wilayah di sekitar Merauke, yakni daerah S.
Digul-
Kabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-Pantai Kasuari, seluas
3,7 juta ha
sudah dipetakan pada tingkat tinjau oleh Pusat Penelitian Tanah
untuk
pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985, 1986).
Wilayah
rawa lainnya, seperti di sekitar Teluk Berau-Bintuni, dan di
pantai utara pulauantara Nabire dan Sarmi belum pernah diteliti
tanahnya. Tim peneliti
Nedeco/Euroconsult-Biec yang melakukan Nationwide study of
coastal and
nearcoastal swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya
pada tahun
1982-1984, diperkirakan pernah meneliti sebagian lahan rawa,
khususnya di
pantai selatan Pulau Papua ini. Selama pelaksanaan P4S antara
tahun 1969-
1984, lahan rawa di Papua belum sempat tertangani oleh
pemerintah pusat.
Oleh karena tidak lengkapnya data dan informasi lahan rawa,
maka
data luas lahan rawa di Indonesia belum dapat ditentukan secara
lebih pasti dan
akurat. Luas lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi
yang dilakukan
oleh beberapa peneliti atau instansi lain, menunjukkan luas
lahan rawa yang
bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 1.1
Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi
(1977),
yaitu sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak.
Data ini kemudian
digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum
(Direktorat
Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan
rawa.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
12/20
Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama
dengan
Direktorat Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum
melaksanakan studi
nasional lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya
(Papua), tidak
termasuk pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga
pulau tersebut
sebesar 23,5 juta ha.
Selanjutnya, Subagyo et al. (1990) dalam Studi ''wetsoils"
di
Indonesia, memperoleh luas lahan basah, termasuk lahan sawah di
empat pulau
besar plus Maluku sebesar 43.124.250 ha. Apabila dikurangi luas
lahan sawah
di lima pulau/kepulauan tersebut, seluas 4.027.102 ha (data BPS,
2000), maka
diperoleh luas lahan rawa seluas 39.097.148 ha.
Studi yang lebih mendetail dilakukan Nugroho et al. (1991)
untuk
menentukan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai
di Indonesia.
Dengan menggunakan peta dasar "Tactical Ploatage Chart" (TPC)
berskala
1:500.000 yang berjumlah 49 lembar, dan berbagai sumber
informasi, utamanya
dari Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), peta-peta satuan lahan dan
tanah P.
Sumatera dan LREP-I 1990, peta-peta sistem lahan dan RePPProT
1991, dan
berbagai peta tanah dari dokumentasi Puslittanah dan Agroklimat,
diperoleh
luas lahan rawa 33.413.560 ha.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
13/20
2.5 Potensi Lahan Rawa
Dari segi ekonomi lahan rawa mempunyai keragaman lingkungan
fisik, sifat dan watak tanah, kesuburan tanah, dan tingkat
produktivitas lahan.
Sebagai akibatnya keragaman hasil produksi tanaman dan
pendapatan petani
akan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya,
terlebih lagi
apabila terdapat perbedaan dalam pemberian masukan, teknologi
budidaya dan
pengelolaan lahan. Lahan rawa berpotensi menjadi alternatif yang
potensial
diusahakan, umumnya untuk bidang pertanian.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
14/20
Pemanfaatan hutan rawa utamanya lahan gambut untuk
pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan menghadapi
kendala
yang cukup berat, terutama dalam mengelola dan
mempertahankan
produktivitas lahan. Keberhasilan pengembangan lahan gambut di
suatu wilayah
tidak menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan berhasil
pula.
Pemanfaatan lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan
karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah.
Berkurang atau
hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas
lingkungan,
bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta kekeringan dan
kebakaran
pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran untuk mengatasi
banjir, dan
pembuatan saluran baru untuk mempercepat pengeluaran air
justru
menimbulkan dampak yang lebih buruk,yaitu lahan pertanian di
sekitarnya
menjadi kering dan masam, tidak produktif, dan akhirnya menjadi
lahan tidur,
bongkor, dan mudah terbakar. Hutan rawa gambut mempunyai nilai
konservasi
yang sangat tinggi dan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi
hidrologi,cadangan
karbon, dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan
lingkungan dan
kehidupan satwa. Jika ekosistemnya terganggu maka intensitas dan
frekuensi
bencana alam akan makin sering terjadi, bahkan lahan gambut
tidak hanya
dapat menjadi sumber CO2, tetapi juga gas rumah kaca lainnya
seperti metana
(CH4) dan nitrousoksida (N2O).
Pengembangan lahan gambut untuk pertanian menghadapi banyak
kendala, antara lain: (1) tingkat kesuburan tanah rendah, pH
tanah masam,
kandungan unsur hara NPK relatif rendah, dan kahat unsur mikro
Cu, Bo, Mn
dan Zn; (2) penurunan permukaan tanah yang besar setelah
di-drainase; (3) daya
tahan (bearing capa-city) rendah sehingga tanaman pohon dapat
tumbang, dan;
(4) sifat mengkerut tak balik, yang dapat menurunkan daya
retensi air dan
membuatnya peka erosi.Sehubungan dengan hal itu, pemanfaatan
lahan gambut
untuk pertanian pada awalnya memerlukan investasi yang
besar.
Potensi dan Kesesuian Lahan Rawa Gambut untuk Pertanian
Potensi lahan gambut untuk pengembangan pertanian
dipengaruhi
oleh kesuburan alami gambut dan tingkat manajemen usaha tani
yang
diterapkan. Produktivitas usaha tani lahan gambut pada tingkat
petani, dengan
input rendah sampai sedang, berbeda dengan produktivitas lahan
gambut
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
15/20
dengan tingkat manajemen tinggi yang biasanya diterapkan oleh
swasta atau
perusahaan besar. Tanaman yang dapat digunakan untuk
memanfaatkan lahan
rawa gambut misalnya :
a. Padi Sawah
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah tanah
bergambut (teballapisan gambut 20-50 cm) dan gambutdangkal
(0,5-1,0
m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m). Lahan rawa
gambut
dengan ketebalan lebih dari 2 m tidak sesuai untuk padi; tanaman
tidak
dapat membentuk gabah karena kahat unsur mikro, khususnya
Cu.
b. Tanaman Palawija, Hortikultura, dan Tanaman Lahan Kering
Semusim
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman pangan semusim
adalah gambut dangkal dan gambut sedang (ketebalan gambut 1-2
m).
Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun
terlalu dalam
dan turun secara drastis, serta mencegah terjadinya gejala
kering tak balik,
penurunan permukaan gambut yang berlebihan danoksidasi lapisan
yang
mengandung bahan sulfidik (pirit).
Penggunaan lahan rawa pasang surut yang bertopografi datar
untuk
tanaman pangan lahan kering umumnya dengan menerapkan sistem
surjan. Dalam sistem ini, lahan secara bersamaan dimanfaatkan
untuk
padi sawah (pada tabukan) dan tanaman lahan kering (pada
pematang).Tujuan utamanya adalah untuk memanfaatkan lahan
secara
optimal melalui pengelolaan air yang tepat. Pengembangan
surjan
memberikan keuntungan komparatif berupa: (1) produksi lebih
stabil,
terutama untuk tanaman padi; (2) pengelolaan tanah dan
pemeliharaan
tanaman lebih murah; (3) intensitas tanaman lebih tinggi; dan
(4)
kemungkinan diversifikasi lebih besar.Pembuatan surjan di lahan
rawa
perlu memperhatikan beberapa faktor, yaitu kedalaman lapisan
bahan
sulfidik (pirit), tipe luapan air, ketebalan gambut, dan
peruntukan lahan
atau jenis komoditas yang akan dikembangkan.
c. Tanaman Tahunan/Perkebunan
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman
tahunan/perkebunan
adalah yang memiliki ketebalan gambut 2-3 m. Beberapa tanaman
yang
dapat tumbuh baik adalah lain, karet, kelapa sawit, kopi, kakao,
rami dan
sagu. Seperti pada tanaman semusim, pengelolaan air pada
tanaman
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
16/20
perkebunan perlu diperhatikan dengan seksama. Pengeluaran air
secara
berlebihan akan menyebabkan gambut menjadi kering dan
berpotensi
mudah terbakar. Untuk menjaga keseimbangan ekologis,
kedalaman
saluran drainase untuk tanaman karet disarankan sekitar 20 cm
dan untuk
tanaman kelapa sawit maksimal 80 cm. Pada lahan rawa gambut
dengan
ketebalan lebih dari 3 m, tanpa input dan manajemen tingkat
tinggi,
tanaman tidak produktif. Pemanfaatan lahan gambut dalam, lebih
dari 3
m, untuk pengembangan pertanian menghadapi berbagai kendala,
terutama pada tingkat manajemen rendah sampai sedang.
Pertumbuhan
tanaman terganggu karena kesuburan tanah rendah dan kahat unsur
hara
mikro, di samping kesulitan dalam mendesain saluran drainase.
Tanaman
perkebunan, seperti kelapa sawit, masih dapat dikembangkan pada
lahan
rawa gambut yang tidak terlalu dalam bila disertai dengan
pengelolaan air
yang memadai dan pemberian amelioran.
2.6 Upaya Peningkatan Produktivitas Lahan Rawa
Produktivitas lahan rawa dapat ditingkatkan melalui
pendekatan
varietas, pengelolaan hara dan air serta penataan lahan. Bila
dilakukan
optimalisasi lahan rawa dengan teknologi inovasi baru khusus
untuk lahan rawa.
Untuk meningkatkan produktivitas pertanian di lahan rawa
diperlukan
pendekatan yang holistik menyangkut aspek perbaikan agrofisik
lahan (tanah,
air, dan tanaman) dan kemampuan sosial ekonomi (modal,
kelembagaan, dan
adaibudaya). Keragaman hasil yang dicapai pertanian lahan rawa
cukup
memadai walaupun masih beragam akibat keberagaman dari sifat
agrofisik
lahan (tipologi lahan, tipe luapan, mintakat perairan),
teknologi pengelolaan,
dan penggunaan masukan (input) seperti varietas, kapur, pupuk,
dan lainnya.
Produktivitas tanaman yang dapat dicapai di lahan rawa
tergantung
pada tingkat kendala dan ketepatan pengelolaan. Namun seperti
pada umumnya
petani, penanganan pasca panen, termasuk pengelolaan hasil masih
lemah,
terkait juga dengan pemasaran hasil yang terbatas sehingga
diperlukan
dukungan kelembagaan yang baik dan profesional serta komitmen
pemerintah
propinsi/kabupaten dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan
petani rawa.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
17/20
Selain tanaman pangan (padi, palawija, dan umbi-umbian) dan
perkebunan (karet, kelapa, kelapa sawit), beberapa tanaman
sayur-mayur (kubis,
tom at, selada, dan cabai) dan buah-buah seperti rambutan, yang
memadai
dengan pengelolaan yang baik.
Pengelolaan secara hati-hati dari berbagai aspek sangat
diperlukan
untuk mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa. Teknologi
pengelolaan lahan
rawa meliputi :
(1) Pengelolaan air;
Pengelolaan air yang tepat merupakan kunci keberhasilan
pengelolaan lahan rawa.
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air
dibedakan menjadi :
a. pengelolaan air makro yaitu penguasaan air pada tingkat
kawasan
reklamasi dan
b. pengelolaan air mikro, yaitu pengaturan air pada tingkat
tersier dan
petak petani.
(2) Pengolahan tanah;
a. biasanya tanah mineral di lahan rawa itu lembek atau
sudah
melumpur di waktu lahan digenangi.
b. oleh karena itu petani biasanya hanya menggunakan tajuk
atau
melaksanakan pengolahan tanah minimum. Namun ada lahan yang
telah lama dibuka biasanya tanahnya telah mengeras membentuk
bongkah-bongkah.
(3) ameliorasi dan pemupukan;
(4) Pola tanam ;
(5) Pemberantasan hama dan penyakit;
a. hama dan penyakit ini mampu mengagalkan panen sampai
100%.
Karenanya pengendalian hama dan penyakit untuk menjaga
produktivitas sangat diperlukan.
b. faktor penting teknis produksi untuk meningkatkan
produktivitas
sawah di lahan rawa adalah pengendalian hama dan penyakit.
Kondisi
lahan rawa yang panas dan lembab sangat cocok bagi
perkembangan
hama dan penyakit tanaman. Hama-hama penting di sawah rawa
adalah
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
18/20
tikus, wereng coklat dan penggerek batang untuk padi dan
penggerek
polong untuk kedelai.
(6) Panen dan pasca panen.
Pemanfaatan lahan rawa yang bijak serta pengelolaan yang serasi
dengan
karakteristik, sifat dan perilakunya serta didukung oleh
pembangunan prasarana
fisik (terutama tata air), sarana, pembinaan sumberdaya manusia
dan penerapan
teknologi spesifik lokasi diharapkan dijadikan dasar
pengembangan lahan rawa
secara lestari dan berwawasan lingkungan. Konsep pemanfaatan
rawa sebaiknya
berupa pengubahan peruntukan tanpa harus mengubah fungsi
rawanya. Kalau
mengubah fungsi (tandon air) rawa, maka rawa menjadi lahan
kering (tadah
hujan) yang kualitas lahan keringnya tidak sama dengan lahan
kering bentukan
alam.
Permasalahan yang selama ini ditemui dalam pemanfaatan lahan
rawa untuk pertanian adalah:
1) sistem tata air yang belum terkendali,
2) rendahnya tingkat kesuburan tanah,
3) masalah biologi berupa gangguan hama, penyakit dan gulma,
4) masalah sosial ekonomi seperti tenaga kerja, keterbatasan
modal, tingkat
pendidikan, pemberdayaan petani, kelembagaan, status tanah,
tenaga
penggarap, koordinasi, serta sarana dan prasarana yang kurang
memadai.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
19/20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Indonesia memiliki lahan rawa terluas, hal ini dapat
dimanfaatkan
karena lahan rawa merupakan lahan alternatif untuk dikembangkan
khususnya di
bidang pertanian. Lahan rawa memiliki potensi yang sangat besar
untuk
dimanfaatkan, hal ini dapat dilihat dari sifat dan karakteristik
lahan rawa yang
merupakan lahan peralihan diantara sistem daratan maupun sistem
perairan, sepanjang
tahun atau dalam waktu yang panjang dalam setahun selalu
tergenang air, permukaanair tanahnya dangkal, topografinya relatif
datar, dan sebagian besar lahan dipengaruhi
oleh pasang surut air laut.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
lahan rawa
harus dengan pengelolaan yang baik dan secara hati-hati dari
berbagai aspek untuk
mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa. Teknologi pengelolaan
lahan rawa
meliputi :
(1) pengelolaan air;
(2) pengolahan tanah;
(3) ameliorasi dan pemupukan;
(4) pola tanam;
(5) pemberantasan hama dan penyakit;
(6) panen dan pasca panen.
-
5/26/2018 makalah lahan rawa
20/20
DAFTAR PUSTAKA
http://henggarrisa.wordpress.com/2012/11/29/sekilas-tentang-rawa/
http://faulinamilianieali.blogspot.com/2012/01/produktivitas-lahan-rawa.html
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian, Departemen
Pertanian, 2006