1 PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN OTENTIK DALAM RANGKA MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF U N I V E R S I T A S P E N D I D I K A N G A N E S H A U N D I K S H A D E P A R T E M E N P E ND I DI K A N N A S I O N A L OLEH A.A. ISTRI N. MARHAENI Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar tanggal 8-9 Desember 2007 UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2007
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN
OTENTIK DALAM RANGKA MENCIPTAKAN
PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF
UN
IVERS
ITAS PENDIDIKAN G
ANESH
A
UNDIKSHA
DE
PA
R
TEMEN PENDIDIKAN NASIO
NA
L
OLEH
A.A. ISTRI N. MARHAENI
Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum dan Pembelajaran
Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar tanggal 8-9
Desember 2007
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA
2007
2
PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN OTENTIK DALAM
RANGKA MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN
PRODUKTIF
Oleh
A.A.I.N. Marhaeni1
1. PENDAHULUAN
Laporan UNESCO (Delors, dkk. 1996) telah menetapkan empat pilar pendidikan
sebagai landasan pendidikan era global, yaitu: (1) learning to know, yakni peserta didik
mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik menggunakan
pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta
didik menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to
live together, yakni peserta didik menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga
diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia.
Laporan itu juga mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa
depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based
tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai
kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh
dengan saling ketergantungan.
Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada
pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tradisional yang sangat
berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, seperti
disebutkan di atas, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang
diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini
adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan
oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan
konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran
1 Dosen S1 Pendidikan Bahasa Inggris dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja
3
mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan
menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000).
Tindak lanjut pertama dari orientasi tersebut sudah tentu adalah reorientasi pada
kurikulum; dari kurikulum tradisional yang cenderung subject-matter oriented menuju
kepada competency-based. Sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi, maka
pembelajaran harus berpusat pada peserta didik dan bersifat kontekstual. Model-model
pembelajaran inovatif yang berbasis kompetensi dan asesmen otentik menjadi tulang
punggung untuk menyukseskan kurikulum berbasis kompetensi.
2. PEMBELAJARAN YANG BERPUSAT PADA PESERTA DIDIK
Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (untuk
selanjutnya, dalam makalah ini akan digunakan istilah asingnya yaitu Student-Centered
Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada saat orang-orang mulai
meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif
dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri.
Dibawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di
Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Para
pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menganggap bahwa
peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi bila diisi oleh guru (teori Tabula
rasa). Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah
peserta didik.
John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas
adalah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak guru untuk
menggunakan masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh peserta didik, sebagai bahan
pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah
pembelajaran yang memuat masalah-masalah nyata yang sedang dihadapi, tidak tentang
hal-hal yang abstrak bagi peserta didik. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan
learning by doing.
SCL dilandasi oleh paham konstruktivisme. Konstruktivisme berarti bahwa peserta
didik membangun (to construct) pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai
konstruktivisme bukanlah berbicara tentang suatu teknik tertentu dalam pembelajaran,
melainkan kita berfikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua
4
kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu aktif (active) dan makna (meaning) (Elliott, dkk,
2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan sebagai berikut:
“Peserta didik tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan
mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan,
memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan
yang ada padanya, dan kebutuhannya. Peserta didik menambahkan informasi yang diperlukannya tidak
selalu dari materi yang disediakan guru. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena peserta didik harus
melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi
dirinya “(p. 15, terjemahan oleh penulis makalah).
Belakangan, berbagai interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan
itu terwujud pada peserta didik; ada yang mengatakan bahwa peserta didik itu sendiri
mampu membangunnya, tapi ada pula yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan
terjadi dalam interaksi sosial seperti teman sebaya, dan keluarga. Yang pertama diwakili
oleh J. Piaget, yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yang sesuai dengan yang telah ada
sebelumnya; dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada
dalam skema (pengetahuan yang tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak,
Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi
sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled individuals).
Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan
dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai.
Berdasarkan hakikat SCL tersebut di atas, maka dapat dilihat perbedaan antara SCL
dengan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berorientasi pencapaian materi
(Teacher-centered, content-oriented/TCCO), sebagai berikut:
Teacher Centered Student-Centered Learning
Pengetahuan ditransfer dari guru ke
peserta didik
Peserta didik secara aktif mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan yang
dipelajarinya
Peserta didik menerima pengetahuan
secara pasif
Peserta didik secara aktif terlibat didalam
mengelola pengetahuannya
Lebih menekankan pada penguasaan
materi
Penguasaan materi dan juga mengembangkan
karakter peserta didik (life-long learning)
Biasanya memanfaatkan media tunggal Multimedia
Fungsi guru sebagai pensuplai
informasi utama dan evaluator
Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan
bersama dengan peserta didik
Proses pembelajaran dan asesmen
dilakukan secara terpisah
Terpadu dan berkesinambungan
Menekankan pada jawaban yang benar
saja
Menekankan pada pengembangan pengethuan.
Kesalahan menunjukkan proses belajar dan
dapat digunakan sebagai salahsatu sumber
belajar
5
Cocok untuk pengembangan ilmu
dalam satu disiplin saja
Untuk pengembangan ilmu interdisipliner
Iklim belajar lebih individual dan
kompetitif
Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif,
suportif, dan kooperatif
Proses pembelajaran hanya terjadi pada
peserta didik
Peserta didik dan guru belajar bersama dalam
mengembangkan, konsep, dan keterampilan
Perkuliahan mengambil porsi waktu
terbanyak
Perkuliahan dan berbagai kegiatan lain dalam
proses belajar
Penekanan pada ketuntasan materi Penekanan pada pencapaian target kompetensi
Penekanan pada cara pembelajaran
yang dilakukan oleh guru
Penekanan pada bagaimana cara peserta didik
belajar. Penekanan pada problem-based learning
dan skill competency
Sumber: Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi,
Ditjen Dikti Depdiknas, 2005.
3. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Contextual Teaching and Learning)
Dibawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap dapat
menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yang bermakna, bukan
pendidikan yang membebani hidup) adalah pembelajaran yang bersifat kontektual (dikenal
dengan istilah Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL).
CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran
dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara
pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai
anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja.
CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat
menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran
demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan
peserta didik untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang
terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan
tersebut.
Bagi peserta didik, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada
pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada
proses pembelajaran tradisional tersebut, peserta didik diharapkan untuk memahami dan
menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca
materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada
guru. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara
abstrak, oleh karena itu banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar.
6
Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota
yang bermutu.
Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau ‘a need-to-know basis’ masih tetap
diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu
lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada peserta
didik hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat
nanti diperlukan.
Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu
metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata. Dalam
CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip
apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah konsep (yang lebih berkaitan
dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut dengan
cognitive apprenticeship.
Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih peserta didik dalam
menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum
pembelajaran dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus
dicapai peserta didik, (2) menunjukkan manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3)
memberi peluang untuk keberagaman cara belajar peserta didik.
Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak,
memahami konsep, dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Terkait dengan konsep keberagaman tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified
learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi
namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan, tetapi
metode-metode yang berpusat pada peserta didik (student-centered) seperti metode
inkuiri dan metode kooperatif akan lebih membantu peserta didik mengembangkan
kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu dilakukan differentiated teaching
strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana peserta didik mendapat
peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang
dimiliki masing-masing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence
dari Gardner, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang
dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut (dalam belajar dan bekerja)
besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya tersebut
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
7
Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005).
Pemberdayaan peserta didik dapat dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara
pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya peserta
didik dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation ( penyampaian),
yaitu kesempatan untuk peserta didik terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai
pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat
kediri-sendiri), yaitu kegiatan dimana peserta didik dapat membandingkan kemampuan
dan keterampilannya dengan ahli di bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi,
berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong peserta didik untuk mencoba
menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri.
Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi
dalam melakukan pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT,
yaitu: relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring.
a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari
dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian peserta didik
pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal
itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.
b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan
sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan
bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi
demikian merupakan strategi pasif, artinya, peserta didik tidak secara
aktif/langsung mengalaminya.
c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks
yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali
dapat membuat peserta didik mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu
tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan contoh
yang sangat kontekstual dimana peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya
seperti dalam dunia nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung
(firsthand experience) seperti magang.
d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana peserta didik belajar berbagi (sharing)
dan berkomunikasi dengan peserta didik lain. Pembelajaran kooperatif merupakan
salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil
8
adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik
dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah
kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap
anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa
teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini.
e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya
adalah, peserta didik belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam pembelajaran ini antara
lain adalah pemecahan masalah (problem solving).
4. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
Secara praktis dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pembelajaran
inovatif adalah pembelajaran yang memiliki perspektif berpusat pada peserta didik.
Dengan demikian, pembelajaran inovatif bukanlah sesuatu yang sifatnya baru, yang
berbeda betul dengan pembelajaran konvensional yang selama ini dilakukan. Sepanjang
pembelajaran yang dilakukan tersebut menganut prinsip-prinsip berpusat pada peserta
didik, maka pembelajaran tersebut dapat disebut pembelajaran inovatif tidak peduli apakah
pembelajaran tersebut telah dilakukan secara konvensional. Dengan demikian, sangat
mungkin kita memiliki pengajar yang sesungguhnya telah inovatif sejak lama.
Beberapa model pembelajaran yang relevan dengan SCL adalah cooperative
learning, problem-based learning, project-based learning, group discussion, contextual
learning, role play and simulation, discovery learning, self-directed learning, dan
collaborative learning. Namun, perlu dicatat disini bahwa model-model pembelajaran di
atas seringkali overlap satu sama lain, baik dari segi istilah yang digunakan maupun dalam
praktek pelaksanaan pembelajarannya. Istilah contextual learning sebagai suatu model
pembelajaran disini disejajarkan dengan problem-based learning, padahal di dalam CTL
itu sendiri, problem-based learning yang intinya adalah problem solving merupakan
bagian penting dari CTL. Kadangkala penggunaan istilah juga menunjukkan penekanan
dari model dimaksud. Misalnya, dalam problem-based learning penekanannya adalah
problem atau masalah. Dalam model ini pembelajaran dimulai dengan menampilkan
masalah dihadapan peserta didik, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran berikutnya
diarahkan untuk memecahkan masalah tersebut. Sementara itu dalam CTL, penekanan ada
pada otentisitas pembelajaran, yaitu bahwa pembelajaran itu harus nyata sesuai dengan
9
apa yang terjadi sehari-hari, dimana didalamnya sangat mungkin ada kegiatan pemecahan
masalah. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, sangat mungkin dilakukan secara
berkelompok, thus dengan demikian, berarti juga dilakukan pembelajaran kooperatif.
Contoh lain, dalam model kooperatif, yang ditonjolkan adalah kegiatan kerja
kelompoknya, yang diharapkan berdampak pada pengembangan pilar learning to live
together secara optimal. Oleh sebab itu, meskipun nama tetap diperlukan, namun dalam
pemilihan model yang akan digunakan, guru perlu mendasarkan pada tujuan pembelajaran
(kompetensi dasar dan indikator) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
a. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning/PBL)
Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham
konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar dan
pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam pemerolehan informasi dan
pengembangan pemahaman tentang topik-topik, peserta didik belajar bagaimana
mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah,
mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi
mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam
pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends,
1997), yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang
berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu,
dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi peserta
didik), (2) guru membantu peserta didik mengklarifikasi masalah dan menentukan
bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar,
informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu
peserta didik menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan
dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4)
pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-
lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua peserta didik, guru, bila perlu
melibatkan administrator dan anggota masyarakat).
10
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan peserta
didik dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter
pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing
dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses
pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja peserta didik,
bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping,
peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang
sudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan
dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah
kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated
learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi
keragaman peserta didik.
Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase:
Fase 1. Orientasi pada masalah
Pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang
diperlukan, dan mendorong peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan
masalah yang dipilihnya sendiri.
Fase 2. Perencanaan dan Pengorganisasian
Pengajar membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
Fase 3. Investigasi mandiri dan berkelompok
Pengajar mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi, melakukan
eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi.
Fase 4. Pengembangan dan Penampilan artefak/karya
Pengajar membimbing peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak
yang sesuai, seperti laporan, video, dan model; Pengajar juga membantu peserta didik
untuk saling menginformasikan pekerjaan mereka
Fase 5. Analisis dan evaluasi proses penyelesaian masalah
11
Pengajar membantu peserta didik untuk merefleksikan investigasi dan proses-
proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.
b. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan model-
model lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur tugas
dan struktur penghargaan (reward) yang lain dari yang lain. Peserta didik diharapkan
bekerja dalam kelompok, dan penghargaan diberikan baik secara kelompok maupun
individual.
Munculnya pembelajaran kooperatif didasari oleh konsep-konsep belajar
demokratis, aktif, kooperatif, dan penghargaan terhadap perbedaan (karena itu sering
dipakai dalam pembelajaran multikultural).
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah timbulnya efek akademik yang dibarengi
oleh efek pengiring seperti kemampuan bekerjasama, penghargaan terhadap eksistensi
orang lain, dan lain-lain.
Sintaks pembelajaran kooperatif adalah tugas dalam kelompok-kelompok kecil,
dan terdiri dari enam fase:
(1) menetapkan tujuan pembelajaran,
(2) transfer informasi melalui presentasi atau pemberian bahan bacaan,
(3) pembentukan kelompok,
(4) pelaksanaan tugas dan pemberian bimbingan,
(5) evaluasi hasil kerja kelompok, dan
(6) menentukan hasil belajar individu maupun kelompok.
Beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang sering digunakan adalah STAD
(Student Team Achievement Division), Jigsaw, Think-Pair-Share, dan Group
Investigation. Dalam Jigsaw, misalnya, peserta didik dibagi menjadi 5-6 kelompok
heterogen. Materi diberikan dalam bentuk teks, dan setiap anggota suatu kelompok
bertugas mempelajari sebagian dari keseluruhan materi. Pada saat dilakukan jigsaw,
anggota dari semua tim yang membaca materi yang sama berkumpul untuk berdiskusi
tentang materi tersebut. Setelah itu, setiap orang kembali ke kelompok/timnya semula.
Mereka ini menjadi expert dalam materi yang dipelajari, dan bertugas mengajari anggota
timnya. Ilustrasi berikut dapat memperjelas konsep Jigsaw di atas (sumber: Arends, 1997).
12
5. ASESMEN OTENTIK/ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI
Asesmen yang relevan adalah jenis-jenis asesmen yang gayut dengan ciri peserta
didik aktif membangun pengetahuan, hingga terbentuk kompetensi seperti yang ditetapkan
dalam setiap mata kuliah. Jenis-jenis asesmen berbasis kompetensi meliputi asesmen