Top Banner
MAKALAH KEWARGANEGARAAN Masyarakat Madani Solusi Mewujudkan Pemerintahan Yang Lebih Baik Disusun Oleh : Ardi Firmansyah 41213110041 PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA
32

MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

Apr 05, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

MAKALAH KEWARGANEGARAAN Masyarakat Madani Solusi Mewujudkan Pemerintahan Yang Lebih Baik

Disusun Oleh :

Ardi Firmansyah

41213110041

PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR

UNIVERSITAS MERCUBUANA

Page 2: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

i

Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.

Makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Kewarganegaraan dengan judul “Masyarakat Madani Solusi Mewujudkan Pemerintahan Yang Lebih Baik” di Program Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Mercubuana

Terima kasih disampaikan kepada Ibu Yayah Salamah, S.Pd, M.si selaku dosen mata kuliah Kewarganegaraan yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.

Demikianlah makalah ini disusun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan

Jakarta,

Maret 2015

Ardi Firmansyah

41213110041

Page 3: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

ii

DAFTAR ISI

1. Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………… i 2. Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………. ii 3. Bab I Pendahuluan

Latar Belakang ……………………………………………………………………………….. 1 4. Bab II Pembahasan

a. Pengertian Masyarakat Madani ………………………………………………………… 2 b. Masyarakat Madani Dalam Sejarah ………………………………………………………… 2 c. Karakteristik Masyarakat Madani ………………………………………………………… 3 d. Konsep Masyarakat Madani ……………………………………………………………………. 7 e. Masyarakat Madani Di Indonesia ………………………………………………………… 10 f. Hubungan Masyarakat Madani Dan Negara …………………………………………….. 13 g. Tatanan Pemerintahan yang Beretika

Melalui Perspektif Masyarakat Madani ………………………………………………………………. 17 h. Reformasi Birokrasi di Indonesia

Berkepribadian Masyarakat Madani ………………………………………………………… 19 5. Bab III Penutup

Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………. 28 6. Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………………. 29

Page 4: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

1

Bab I

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh

oleh peradaban maju atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani

terdapat negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota Ilahi

dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab lawan dari pada masyarakat komunitas

yang masih liar. Adapun masyarakat madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah saw.

yang artinya juga sama dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru

(maju), lawan dari masyarakat madani adalah masyarakat atau komunitas yang masih

mengembara yang disebut badawah atau pengembara (badui).

Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil

society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada

simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September

1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa

masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih

jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah

sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan

antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut Quraish Shibab,

masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka,

yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat

selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma‟ruf) dan mencegah kemunkaran.

Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena

mereka menjalankan amar ma‟ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish

Shihab, 2000, vol.2: 185).

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara

kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak

meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam

mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah

mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

Page 5: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

2

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT

memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba‟ ayat

15: Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman

mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka

dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah

kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang

Maha Pengampun”.

B. Masyarakat Madani Dalam Sejarah

Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat

madani, yaitu:

1) Masyarakat Saba‟, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Dimana keadaan

masyarakatnya saat itu sesuai al-Quran, mendiami suatu negeri yang baik, subur, dan

nyaman. Negeri yang indah itu merupakan wujud kasih sayang Allah SWT kepada

masayarakat saba‟. Karena itu Allah memerintahkan masyarakat saba‟ untuk bersyukur

kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka

2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW

beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama

Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur

masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,

menjadikan Al-Qur‟an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin

dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan

bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang

dianutnya.

Page 6: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

3

C. Karakteristik Masyarakat Madani

Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam

masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi

dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara

dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena

keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-

masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim

totaliter.

6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu

mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan

berbagai ragam perspektif.

8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,

yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan

yang mengatur kehidupan sosial.

9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun

secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.

10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat

mengurangi kebebasannya.

Page 7: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

4

11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan

oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas

pihak lain yang berbeda tersebut.

12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.

13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan

terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan

untuk umat manusia.

14. Berakhlak mulia, sekalipun pembentukan akhlak masayarakt dapat dilakukan

berdasarkan nilai nilai kemanusiaan semata, tetapi kerelatifitasan manusia

membuat konsap akhlak juga terbatas pada kerelatifan. Untuk itu, aspek

ketuhanan dalam aplikasi akhlak dapat memotivasi manusia untuk berbuat tanpa

menggantungkan reaksi serupa dari pihak lain.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah

sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan

kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-

kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi

kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.

Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa

udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari

poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di

negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada

beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya

democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara

demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai

civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut

menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:

Page 8: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

5

1). Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam

masyarakat.

2). Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)

yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas

kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.

3). Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain

terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

4). Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-

lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan

bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.

5). Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap

saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6). Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga

ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7). Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan

kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar

mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.

Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak

ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi

manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses

mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).

Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi

sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

a) Sentralisme versus lokalisme.

Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang

sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke

Page 9: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

6

dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa

memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.

b) Pluralisme versus rasisme.

Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam

masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya,

yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka

dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis,

pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme

menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman

adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap

potensi manusia.”

Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu

kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi

oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior

dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,

organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap

dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala

kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok

tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu

lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan

terhadap lembaga lainnya.

c) Elitisme dan communalisme.

Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial

berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang

yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-

potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-

kesempatan yang ada dalam masyarakat.

Page 10: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

7

D. Konsep Masyarakat Madani

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk

meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural

merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus

menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak

individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak

tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai

masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa

secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil,

agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.

Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari

bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik

asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan

sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam

membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah

kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan

merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan

sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu

bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan

instumental (lih. Gellner:1996).

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani

sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara

langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru

banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai

landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat

Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur

oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara.

Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda

dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama

dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan

sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota

Page 11: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

8

Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7).

Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama

sekali.

Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi

jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar

ummatnya leluasa menjalankan syari‟at agama di bawah suatu perlindungan hukum.

Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai

dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam

setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani

adalah Alquran.

Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun

tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang

terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan

masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan

menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.

Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw.

beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah

sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam

mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).

Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari

karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian

melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian

solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan

perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar

dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.

Dalam pandangan kami, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani.

Page 12: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

9

Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah

keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi

suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya

merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat

Al-Hujurat (49) ayat 13.

Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan.

Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan

umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan

motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam

keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).

Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit

akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan

(ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas

sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.

Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim

maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai

sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.

Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak

semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga

mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan

saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah

Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam

firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An‟am ayat 108.

Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan

istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi

dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah

terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi

(surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).

Page 13: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

10

Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya

sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut

menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.

E. Masyarakat Madani di Indonesia

1. Latar belakang Kehidupan Politik

Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru yang

didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan asumsi Orde Lama. Kedua regim

didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima,

sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru

tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas untuk mendukung program pembangunan

ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung

IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yang sangat besar

peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang

mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi rakyat untuk memberi makna

terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan

percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan

memilik efek positif juga pada lapisan rakyat bawah.

Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha

memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru

membentuk Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yang tidak bersifat ideologis dan

lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya maka Golkar merupakan partai

politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan nantinya sebagai pendukung regim

Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang

memiliki jalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Militer ini

menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi dan para teknokrat.

Kemenangan Golkar tidak lepas dari kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan

pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin politiknya

melakukan kampanye terselubung. Suatu cara yang ditentang berbagai partai politik,

terutama Partai NU yang menjadi saingannya. Golkar berhasil menguasai mayoritas kursi

parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung regim Orde Baru

dan sebaliknya berusaha membatasi pengaruh partai politik. Keluar Keputusan MPR tahun

Page 14: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

11

1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai di aras

kabupaten. Kemudian keluar kebijakan deideologisasi pada tahun 1973 yang

menggabungkan partai-partai politik kedalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung

dalam PPP; sedangkan partai-partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU

No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai

politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar (Sitompul, 1989:

127).

Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan

melakukan intervensi dalam pemilihan ketua sehingga citra parpol menjadi menurun di

mata rakyat. Intervensi merupakan suatu yang sangat lumrah karena kedua partai politik

PPP dan PDI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi berbagai unsur yang

membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat

dan rakyat menjadi apatis terhadap politik.

Meskipun pembangunanisme telah menghasilkan angka pertumbuhan ekeonomi

sebesar rata-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980,

namun angka kemiskinan masih relatif tinggi, angka pengangguran meningkat, dan yang tak

kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat.

Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan

manfaatnya bahkan merugikan rakyat. Hal ini disebabkan ideologi developmentalisme yang

telah dielaborasi menjadi program-program pembangunan ini memiliki karakter menindas

buruh dan rakyat untuk kepentingan kaum borjuis.

Nasib rakyat yang tertindas kurang mendapatkan perhatian secara memadai karena

partai politik tidak dapat mengagresikan Media massa sulit melakukan kritik terhadap

pemerintah

Militer terlibat juga dalam kegiatan ekonomi dan melakukan kerjasama dengan para

konglomerat sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap nasih rakyat

2. Latar belakang Kehidupan Ormas

Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang relatif

memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari

masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman

Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk

Page 15: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

12

melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena

mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik

tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang

ada.

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168)

mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi pengaruh

ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di

hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi

kemasyarakat dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan

sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan

pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki

kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

3. Kelahiran Civil Society

Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan

“tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi,

1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak

sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di

kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-

negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan

dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah

Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke

khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus

Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia

dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik.

Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas

tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep

masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu

sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai

dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan

pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam

Page 16: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

13

memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid

Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU

1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

F. Hubungan Masyarakat Madani dan Negara

Dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim

menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika

kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa

disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum

(Azizi, 2000: 87).

Kalau kita melihat secara jeli masyarakat madani yang diciptakan Nabi berbentuk

suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan masyarakat

madani berati menjadikan kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti yang terjadi di

Amerika. Kesan tersebut muncul karena konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep

negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang

muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar

itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):

…the state as an association between the members of a society rather than as the

personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique

among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of

the state as an association between all members of a society means ascribing to it

supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social

arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is

to be a genuine association between all members of the community, it follows that

its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal

line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled.

Dari penjelasan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern

mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the

relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait

dengan tema kedua itu, yaitu;

Page 17: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

14

…how government should ralate to the private, individualist world of civil society

organised around commodity production, individual exchange and money; what

policies and puposes it should pursue and how the general interest should be

defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be

regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a

sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful

effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing

lines in modern liberalism.

Hegel dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi

berkembangknya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua

warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu

bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya;

melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu

melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).

Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut

konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi

politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan

kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan

suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi

yang mempunyai delapan karakteristik (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3)

the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to

compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we

would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making

government policies depend on votes and other expressions of preference.

Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu

bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.

Page 18: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

15

Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan

pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern.

Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara,

walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang

diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi,

2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk

dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia

mitos dan dunia modern.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil

Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep

Masyarakat madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus

tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu

Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu dengan

tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep

masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan

pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus

turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah

muak dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung

oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak

Asasi Manusia (HAM).

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua

Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati

kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu

terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian

pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI

untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani

mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena

mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang

hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin

bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau

Page 19: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

16

melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam

berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap

demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik

dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk

menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama

pelembagaan politik, disamping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses

pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah

dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka,

dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah

mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum,

dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan kerusuhan sosial yang sering

membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta

hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum

yang masih belum memuaskan.

Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau

dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai

komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama,

yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi

Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara

(1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv).

Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut

memprakarsai berdirinya suatu lembagai yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang

dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antar agama. Gus Dur, seperti

kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada

pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama (Effendi,

1999).

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem

tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yang dulu menjadi

komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi

“negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan

dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti

Page 20: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

17

yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18

dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi

komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan

sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren

Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang

demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara

hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan

rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).

G. Tatanan Pemerintahan yang Beretika Melalui Perspektif Masyarakat Madani

Permasalahan kebobrokan pemerintah menurut kacamata MM adalah karena sudah

tidak ada etika. Selain itu karena adanya penindasan globalisasi terhadap negara-negara

berkembangan yang dari segi filosofi dan budaya belum siap. Perbedaan ini harus segera

ditanggulangai dengan etika dan perubahan konsep pemerintahan. Dua hal yang perlu

menjadi perhatian dalam upaya menanggapi tantangan globalisasi yang telah merusak etika-

moral masyarakat (Azizy A. Q., 2004, p. 32), yaitu: (1) Menumbuhkan kesadaran kembali

tentang tujuan hidup menurut agama, (2) Mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat di

dunia, baik formalitas administrative sesuai ketentuan yang ada di dunia sendiri maupun

hakiki yang mempunyai konsekuensi akherat kelak (konsep akuntabilitas).

Definisi Masyarakat Madani, berarti masyarakat yang beradab, berakhlaq mutlak dan

berbudi pekerti luhur, merupakan sebuah peradaban yang lahir di kota Madinah (nama kota

inipun diambilkan dari istilah madani-tamaddun, yang aslinya bernama Yatsrib). Peradaban

tersebut mulai dibentuk setelah lahirnya piagam Madinah (AZIZAH, 2009). Karakteristik

Umum tatanan masyarakat madani, sebagaimana yang tersirat dalam Piagam Madinah

(AZIZAH, 2009), maka dapat ditemukan dalam 10 prinsip pembangunan masyaraakat yaitu:

1. Kebebasan agama.

2. Persaudaran seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap solidaritas yang tinggi

terhadap sesama.

3. Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama.

Page 21: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

18

4. Saling membantu dan semua orang punya kedudukan yang sama sebagai anggota

masyarakat.

5. Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara.

6. Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara.

7. Penegakan hukum.

8. Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan kebenaran.

9. Perdamaian.

10. Pengakuan hak atas setiap orang/individu.

Dari kesepuluh prinsip di atas, dapat dikerucutkan menjadi lima aspek karakteristik

Masyarakat madani, (Swiyanto & Muslihin, 2004), yaitu :

o Ruang Publik Yang Bebas

Maksudnya adalah wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh

terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara harus mempunyai kebebasan untuk

menyampaikan aspirasinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.

o Demokratisasi

Untuk menumbuhkan demokritisasi dibutuhkan kesiapan anggoata masyarakat berupa

kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Mekanisme demokrasi antar komponen

bangsa, terutama pelaku politik praktis merupakan bagian yang terpenting menuju

masyarakat madani. Keberadaan masyarakat madani hanya dapat ditunjang oleh negara

yang demokratis.

o Toleransi

Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan

sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam

masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati

pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat lain yang

berbeda.

o Pluralisme

Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk

disertai sikap tulus yang bahwa kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat

Tuhan. Tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan sebangun dalam segala

Page 22: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

19

segi. Semangat pluralitas yang dibangun, selain karena nilai kemasyarakatan, juga didorong

oleh adanya perintah Tuhan untuk saling bertoleransi antarsesama masyarakat meskipun

lain agama. Selain itu juga ditambah dengan tidak adanya pembedaan status/derajat di

mata tuhan kecuali dari sisi iman dan taqwanya.

o Keadilan sosial

Dalam hal ini adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan

kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tiap-tiap warga

negara memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan

oleh pemerintah (penguasa).

H. Reformasi Birokrasi di Indonesia Berkepribadian Masyarakat Madani

Di dalam kenyataan, tidak ada satu pun system social dan system pemerintahan yang

benar-benar steril dari praktik KKN, karena akan selalu berbenturan dengan individu-

individu yang menginginkan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan/kepentingannya

sendiri, meskipun dengan kesadaran penuh bahwa tindakannya tidak dibenarkan (Dwiyanto,

2006). Oleh karena itu upaya yang perlu dikembangkan adalah kewaspadaan dan terus

menerus mengadakan perubahan-perubahan demi terwujudnya kesesuaian system dengan

karakter bangsa. Termasuk perubahan system social menuju system masyarakat madani ini

merupakan salah satu upaya yang tidak luput dari kekurangan. Meskipun demikian

setidaknya dapat mengurangi atau meminimalisir tindak KKN yang semakin merajalela ini.

Untuk mewujudkan system pemerintahan yang berkepribadian masyarakat madani, maka

perlu ditempuh melalui dua langkah, yaitu langkah internal dan langkah eksternal

(Hardjapamekas, 2003).

1. Langkah internal:

a. Meluruskan Orientasi

Orientasi Birokrasi Pemerintahan perlu diluruskan untuk melayani masyarakat. Sebagaimana

diuraikan dalam pembahasan etika birokrasi, orientasi seseorang sangat menentukan etika

seseorang. Oleh karena itu untuk menghasilkan etika birokrasi yang bermoral jujur, sopan

dan disiplin maka selain berorientasi kepada pimpinan, para birokrat perlu berorientasi

kepada pelayanan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai stakeholder,

yang bukan hanya menikmati pelayanan, namun juga ikut bertanggungjawab terhadap

Page 23: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

20

kualitas pelayanan tersebut. Masyarakat wajib ikut mengawasi para birokrat baik dari segi

perumusan/perencanaan, implementasi sampai dengan tahap evaluasi. Dengan adanya

sinergi antara pemerintah dengan masyarakat, maka pemerintah akan semakin hati-hati

dalam bertindak.

b. Memperkuat Komitmen

Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa

disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan

menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat

perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak

memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.

c. Pertanggungjawaban Sosial (social accountability)

- Tanggungjawab Individual

Para birokrat harus bertanggungjawab atas amanat yang telah diberikan oleh warga negara

dengan baik. Wujud dari tanggung jawab tersebut adalah bekerja secara professional,

dimana bekerja sesuai dengan jabatan dan tugasnya.

Selanjutnya dalam pelaksanaan menjalankan tugas, para birokrat perlu mengembangkan

prinsip berbuat baik. Prinsip ini perlu diterapkan, terutama bagi para birokrat pelayan

public, seperti memberikan pelayanan yang mudah, murah, cepat, tepat waktu, serta tidak

berbelit-belit. Sedangkan bagi para birokrat perumus kebijakan, prinsip sikap baik juga perlu

dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan. Artinya, dalam merumuskan sebuah solusi,

harus benar-benar untuk memikirkan kesejahteraan umat (orang banyak). bukan hanya

untuk kepentingan pribadi dan golongan saja.

- Tanggungjawab Sosial (Akuntabilitas Kinerja, Sustainability)

netralitas birokrasi digantikan dengan etika structural, dimana birokrasi termasuk bagian

dari proses politik yang bertanggungjawab atas segala perilaku dan kebijakan yang telah

diambil melalui discretion power nya. Selain itu dengan pemahaman etika structural, maka

sensifitas birokrasi akan dapat ditingkatkan, karena pertanggungjawaban atas setiap

perilaku bukan hanya atas nama lembaga, namun juga atas nama perseorangan (individual)

birokrat (Dwiyanto, Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika,

1997).

Page 24: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

21

d. Membangun Kultur Baru

Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja

berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan

pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara

terbuka, serta jelas kode etiknya

e. Rasionalisasi

Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi

kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan

lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-

perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.

f. Memperkuat Payung Hukum

Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum

yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan. Dalam konteks

MM (Masyarakat Madani), hokum yang dapat dijadikan landasan birokrasi antara lain

Hukum Adat, Hukum Agama, Hukum Formal dan Hukum Kemasyarakatan (Sosial). Dengan

keempat hokum ini, motivasi para birokrat dalam menjalankan tugas bukan hanya karena

takun dengan sanksi formal saja, melainkan karena kesadaran bahwa tugas ini merupakan

amanah yang harus diemban dan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akherat.

Hokum adat dan hokum social pun akan memberikan sebuah sanksi moral kepada birokrat

yang berperilaku menyimpang.

g. Peningkatan Kualitas SDM

Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai

sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan

sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen

kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan

peningkatan kesejahteraan.

Peningkatan kualitas SDM juga harus disertai dengan peningkatan moral dan etika agar para

birokrat mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan bagi warganya.

Salah satunya adalah prinsip menghargai diri sendiri. Prinsip ini bagi para birokrat sangat

Page 25: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

22

perlu, tetapi harus hati-hati dalam penerapannya. Prinsip hormat terhadap diri sendiri bagi

birokrat adalah sebatas kebutuhan birokrat agar tidak dianggap remeh dan rendah bagi

warga masyarakat. Setelah melaksanakan kewajibannya melayani warga, maka adalah “hak”

bagi mereka untuk mendapatkan imbalan jasa sesuai dengan tugas dan jabatannya.

Tujuannya adalah agar eksistensinya sebagai birokrat tetap terjaga dengan baik dan mereka

tetap bersemangat dalam melayani masyarakat (karena tidak merasa diperas tenaganya

seperti halnya budak). Namun selain itu, dengan prinsip hormat terhadap diri sendiri juga

perlu diterapkan dalam ranah moral, yakni sebagai makhluk yang berbudi pekerti, maka

seorang birokrat harus menghargai dirinya dengan jalan selalu berpegang pada kepribadian

moral yang baik dalam menjalankan tugasnya.

Sebagai bangsa yang religius, seharusnya tindakan tidak terpuji KKN di lingkungan birokrasi

pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan membuktikan lain. Birokrasi

pemerintah, mulai tingkat elite sampai pada aparatur di tingkat bawah, memiliki

kecenderungan yang tinggi untuk melakukan KKN. Yang berbeda hanyalah porsi dan caranya

saja. Perilaku KKN berawal dari keserakahan materi, kemudian berkembang menjadi

kelainan-kelainan yang sifatnya bukan saja perilaku korup di lingkungan birokrasi

pemerintah, tetapi persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kedua belah

pihak dengan mengorbankan kepentingan negara.

Demikian pula proses nepotisme yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah, yang

mengakibatkan permasalahan negara dewasa ini tidak mampu diatasi oleh birokrasi

pemerintah sendiri. Sebagai contoh praktek nepotisme dalam menduduki posisi strategis

menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Mereka tidak lagi berpikir bagaimana

memperbaiki negara ini, tetapi bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan cara

mengangkat orang-orang yang dapat mendukung dan loyal terhadap dirinya. Untuk

mencegah hal tersebut diperlukan pembetukan watak etika dan moral birokrasi pemerintah.

Sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan kepentingan umum dan kebutuhan

masyarakat yang tersingkirkan (Gie, 2003).

Beberapa sikap kepribadian moral yang kuat yang harus dipegang teguh oleh para birokrat

tersebut antara lain: Kejujuran, nilai keotentikan, kesediaan untuk bertanggungjawab,

kemandirian moral, keberanian moiral, kerendahan hati, realistic dan kritis. Sebagaimana

yang disampaikan oleh mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dalam menanggapi masalah

Page 26: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

23

korupsi dan Rekening milik PNS Muda, bahwa saat ini pemerintah membutuhkan pegawai

negari sipil atau PNS yang jujur dan waras. “Jujur” dan “waras” tersebut hanya dapat dimiliki

oleh orang yang memiliki hati nurani.

h. Debirokratisasi & Desentralisasi

Reformasi birokrasi perlu diawali dengan langkah debirokratisasi, mengingat beban negara

yang semakin melambung tinggi, dan sebagian besar hanya habis untuk menggaji para

birokrat. Sedangkan sebagaimana yang terjadi di lapangan, kinerja para birokrat kurang

dimaksimalkan, lebih banyak yang menganggur di kantor daripada bekerja melayani

mayarakat, bahkan ada yang ditemukan sedang belanja di supermarket. Tahun 2012

pemerintah bakal menggelontorkan anggaran gaji PNS sebesar 215,7 Triliun (terjadi

kenaikan 32,9 Triliun/ 18%). Selain pemborosan, dengan jumlah pegawai yang tidak

proporsional mengakibatkan kekosongan kerja, dan justru akan menimbulkan konflik

diantara birokrat.

Langkah debirokratisasi ini perlu ditempuh pemerintah dengan tujuan ganda, yakni:

Pertama, mengurangi intervensi birokrasi dalam proses pembangunan ekonomi sehingga

pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih wajar. Kedua, merupakan

tujuan jangka panjang, adalah menciptakan kapasitas administrasi/birokrasi yang lebih

mampu melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berdimensi peningkatan kualitas

manusia dan kualitas masyarakat (Effendi, 2010).

Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, reformasi birokrasi perlu melakukan:

a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai. Karena

selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus

terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal,

maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan.

b) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak

urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai

pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.

Page 27: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

24

2. Langkah Eksternal:

a. Komitmen dan keteladanan elit politik

Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara

yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama

dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut

diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan

tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan

contoh kepada bawahan dan masyarakat.

b. Memperkuat Posisi Penegak Hukum

Indonesia sebenarnya telah memiliki lembaga yang berwenang untuk mengawasi para

pejabat negara dari tindakan korupsi. Meskipun terbilang masih muda, tetapi sudah cukup

baik, yakni secara kelembagaan, negara Indonesia sudah memiliki lembaga yang sah

mengurusi tindak pidana korupsi. Sedangkan dari sisi kinerja, lembaga KPK ini masih terlihat

kurang kuat. Terbukti masih banyak tindak pidana korupsi yang belum mampu terungkap.

Apalagi kasus akhir-akhir ini justru ada salah satu diantara anggota KPK yang terjerat kasus

pidana korupsi. Oleh karena itu untuk lebih menjamin status independency KPK, perlu

diperkuat posisinya di mata hokum dan masyarakat.

c. Partisipasi dan sinergitas dan Kompetisi Global

Berdasarkan konsep MM, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu adanya

sinergitas diantara empat bagian, yaitu community (masyarakat), government (pemerintah),

business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan voluntary (organisasi/gerakan

kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian berporos pada satu wadah berupa

individual, bertanggungjawab untuk menemukan nilai-nilai yang berbeda dalam rangka “The

search for the good life” (menemukan kehidupan yang baik).

OSDMM (Organisasi Sumber Daya Masyarakat Madani) di Indonesia aalah sub-golonagn

lembaga swadaya masyarakat “tradisional”, yakni lembaga-lembaga yang menurut rumusan

klasik terlibat dalam proses memperkuat masyarakat madani dalam menghadapi

pemerintah dan golongan elit yang berkuasa (Hadiz, 1999, p. 5). Organisasi ini adalah

organisasi yang bersifat swasta dan non-pemerintah, disamping bersifat independen dan

Page 28: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

25

nirlaba, juga menjalankan kegiatan-kegiatan yang mempunyai lingkup nasional atau meliputi

bagian besar dari negara Beberapa dari mereka bergelut di bidang ekonomi, politik, dan

hak-hak asasi manusia.

Dengan adanya OSDMM ini, ada beberapa kemanfaatan yang dapat diperoleh, yakni:

pertama, control social masyarakat terhadap pemerintah lebih efektif, karena selain

memiliki kekuatan dan jalan, mereka lebih ahli dalam berdialog. Dengan adanya control

yang lebih maksimal, birokrat akan semakin berhati-hati dalam bertindak curang. Kedua,

partisipasi pelayanan public pun secara otomatis dapat lebih optimal karena setiap OSDMM

memiliki agenda kegiatan yang bersangkutan langsung dengan masyarakat. Ketiga, OSDMM

merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan masyarakat. Masyarakat madani adalah

masyarakat yang cerdas dan beretika. Oleh karena itu dengan semakin berkembangnya

OSDMM merupakan sebuah pembuktian nyata dari meningkatnya pengetahuan masyarakat

tentang lingkungan sesuai dengan organisasi yang diikutinya. Keempat, OSDMM

mempermudah pemerintah dalam memilah-milah kebijakan, yakni dalam menentukan skala

prioritas dan penyaluran dananya. Sehingga tidak akan terjadi lagi yang namanya “salah

sasaran”

d. Demokratisasi

- kebebasan social (social freedom) - Ruang Publik

kebebasan berpendapat dan berkumpul sebagaimana tercantum dalam undang-undang

adalah cerminan daripada penghargaan atas nilai pluralism bangsa. Sebagaiman kita ketahui

bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan dari sisi

budaya telah melahirkan kemajemukan hokum adat. Kemajemukan status social ekonomi

melahirkan kemajemukan cara pandang, kedudukan dan mata pencaharian. Hal ini akan

menimbulkan penindasan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Sedangkan

praktik di lapangan, birokrat mayoritas diisi oleh para kaum kuat, sedangkan kaum lemah

hanya sebagai penonton. Dengan adanya kebebasan social, maka masyakat akan leluasa

menyampaikan aspirasi dan control nya terhadap pemerintah.

- Keadilan Serta Kesamaan Hak Dan Kewajiban (Equality)

Birokrasi yang adil adalah yang mampu memanfaatkan segala sesuatu baik itu kekayaan,

kesempatan dan kekuasaan sesuai dengan hakikatnya diciptakan, jangan dikurangai dan

Page 29: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

26

jangan menambah. Dengan prinsip ini maka tidak ada yang namanya korupsi dalam

birokrasi.

Kekuasaan yang diberikan warga kepada birokrat untuk mengurusi pelayanan umum

seharusnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini maka keadilan berdampak

pada keadilan social, yakni birokrasi yang adil adlah yang mampu memberikan pelayanan

kepada warganya dengan baik. Birokrat harus mampu memperlakukan warganya dengan

sama, tidak membeda-bedakan status social dan kekayaan. Dengan prinsip ini maka tidak

akan terjadi suap-menyuap atau pun nepotisme.

Dalam konteks yang lain, prinsip keadilan membicarakan who gets what (Utomo, 2007).

Artinya siapakah yang layak mendapatkan sesuatu itu dan apa yang layak diperoleh

seseorang. Dalam hal ini contoh terdekat adalah masalah kenaikan gaji para PNS, yang

masih menjadi permaslahan public, maka sebaiknya siapakah yang lebih pantas menerima

kenaikan gaji itu? Masyarakat atau birokrat? Berikutnya apa seharusnya yang diperoleh

masyarakat dari para birokrat?

- Demokratisasi Anggaran – Poor Budget dan Bantuan Subsidi

sementara ini, pemerintah kurang adil dalam membuat kebijakan terkait anggaran negara.

Bagaimana mungkin akan menanggulangi kemiskinan kalau sebesar 60% hingga 70%

anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparat (belanja rutin). Sisanya

sebesar 30% hingga 40% digunakan untuk belanja masyarakat public dengan komposisi 30%

biaya tidak langsung (administrative), 70% untuk belanja langsung ke masyarakat (20%

plafon politik, 10% plafon ADD, dan 70% plafon sektoral).

Berbeda dengan anggaran pro poor, anggaran yang dibuat bukan untuk melayani kaum

miskin, tetapi untuk memenuhi hak dasar kaum miskin. Sehingg sebelum dipenuhi maka

anggaran sebesar apapun akan terus diusahakan hingga terpenuhi. Karena tujuannya adalah

memenuhi, maka dalam penganggarannya pun masyarakat banyak terlibat, sehingga sesuai

dengan harapan. Berikut adalah bentuk keadilan social dalam bidang anggaran dana negara:

Page 30: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

27

Aspek

Anggaran Konvensional

Anggaran Pro Poor

Peruntukan

Melayani Kaum Miskin tidak

selalu diutamakan, bahkan

residu

Pemenuhan hak dasar

(khusus kaum miskin)

Manfaat/hasil

Berdasarkan kepentingan

actor yang terlibat

Sesuai kebutuhan kaum

miskin

Aktor yang memutuskan

Aparat pemerintah

Pelibatan masyarakat miskin

Proses Kebijakan

Condong teknokratis, kurang

transparan dan partisipatif

Mementingkan transparansi

dan partisipasi

Sumber: Haerudin (Waidi, Sudjipto, & Bahagijo, 2008)

Page 31: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

28

Bab III

PENUTUP

Kesimpulan

Gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21

Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena

baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi

sehingga pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap

demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan

tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main

Kalau kita menerjemahkan civil society dengan referensi model pemerintahan Nabi

Muhammad SAW periode Madinah maka kita tahu bahwa Nabi bertindak juga sebagai

kepala negara. Hal ini menunjukkan tidak perlu mempertentangkan antara negara dengan

masyarakat madani. Contohnya Gus Dur yang menjadi pelopor strategi Islam budaya, kini

dalam jabatan sebagai presiden harus menciptakan pemerintahan yang demokratis supaya

masyarakat madani juga berkembang pesat.

Tatanan pemerintah Indonesia semakin tidak karuan dengan adanya demokratisasi.

Perpaduan model administrasi negara yang tidak berkarakter bangsa ternyata membuat

kinerja para birokrat tidak semakin efektif, melainkan memperluas lahan untuk melakukan

tradisi-tradisi kurang etis. Sebuah pernyataan dalam media massa bahwa “birokrasi selalu

diidentikan dengan korupsi” menjadi cerminan tentang kebobrokan birokrasi Indonesia.

Seiring dengan hal tersebut pluralism masyarakat Indonesia menuntut adanya birokrasi

yang bukan hanya mampu menjalankan tugas dengan baik, melainkan mampu memuaskan

masyarakat sebagai warga negara dan stakeholder. Dalam hal ini system social yang

diterapkan di Indonesia dirasa kurang tepat, dan perlu alternative lain seperti Sistem Sosial

Masyarakat Madani (MM) yang dikembangkan dibeberapa negara berkembang dan negara

Eropa Timur.

Birokrasi yang beretika dan bermoral merupakan modal awal bagi tatanan baru atau

reformasi pemerintahan Indonesia. Di samping mengembangkan etika sebagai langkah

internal, serta penguatan payung hukum dan peningkatan kualitas SDM, dari sisi eksternal

juga perlu ada perubahan, antara lain pengembangan nilai-nilai Pluralisme & Demokrasi,

Kesamaan Hak dan Partisipasi & Sinergitas.

Page 32: MAKALAH KEWARGANEGARAAN PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA

29

Daftar Pustaka Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27 Februari 1999.

Abdurrahman, Moeslim. 1999. Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat

madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999.

Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat

Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi

dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-

Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi

dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic

Revolution in Iran. New York and London: New York University Press.

AZIZAH, N. (2009). Civil Society di Indonesia. Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Pamekasan.

Azizy, A. Q. (2004). melawan Globalisasi-Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan

Terciptanya Masyarakat Madani) (Cetakan V ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

--------------. (2000). Masyarakat Madani Antara Cinta dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Dwiyanto, A. (2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

--------------. (1997). Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika.

Jurnak Kebijakan Administrasi Publik , 1-14.

--------------. (2008). Reformasi Birokrasi Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Effendi, S. (2010). Beberapa Hambatan Pelaksanaan Debirokratisasi dan Deregulasi untuk

Pembangunan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Gie, K. K. (2003). Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan Kinerja