MAKALAH KEWARGANEGARAAN Masyarakat Madani Solusi Mewujudkan Pemerintahan Yang Lebih Baik Disusun Oleh : Ardi Firmansyah 41213110041 PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MERCUBUANA
MAKALAH KEWARGANEGARAAN Masyarakat Madani Solusi Mewujudkan Pemerintahan Yang Lebih Baik
Disusun Oleh :
Ardi Firmansyah
41213110041
PROGRAM SARJANA TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MERCUBUANA
i
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Kewarganegaraan dengan judul “Masyarakat Madani Solusi Mewujudkan Pemerintahan Yang Lebih Baik” di Program Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Mercubuana
Terima kasih disampaikan kepada Ibu Yayah Salamah, S.Pd, M.si selaku dosen mata kuliah Kewarganegaraan yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah makalah ini disusun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan
Jakarta,
Maret 2015
Ardi Firmansyah
41213110041
ii
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………… i 2. Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………. ii 3. Bab I Pendahuluan
Latar Belakang ……………………………………………………………………………….. 1 4. Bab II Pembahasan
a. Pengertian Masyarakat Madani ………………………………………………………… 2 b. Masyarakat Madani Dalam Sejarah ………………………………………………………… 2 c. Karakteristik Masyarakat Madani ………………………………………………………… 3 d. Konsep Masyarakat Madani ……………………………………………………………………. 7 e. Masyarakat Madani Di Indonesia ………………………………………………………… 10 f. Hubungan Masyarakat Madani Dan Negara …………………………………………….. 13 g. Tatanan Pemerintahan yang Beretika
Melalui Perspektif Masyarakat Madani ………………………………………………………………. 17 h. Reformasi Birokrasi di Indonesia
Berkepribadian Masyarakat Madani ………………………………………………………… 19 5. Bab III Penutup
Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………. 28 6. Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………………. 29
1
Bab I
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh
oleh peradaban maju atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani
terdapat negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota Ilahi
dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab lawan dari pada masyarakat komunitas
yang masih liar. Adapun masyarakat madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah saw.
yang artinya juga sama dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru
(maju), lawan dari masyarakat madani adalah masyarakat atau komunitas yang masih
mengembara yang disebut badawah atau pengembara (badui).
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada
simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September
1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa
masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih
jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah
sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Menurut Quraish Shibab,
masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka,
yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat
selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma‟ruf) dan mencegah kemunkaran.
Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena
mereka menjalankan amar ma‟ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish
Shihab, 2000, vol.2: 185).
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam
mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah
mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
2
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT
memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba‟ ayat
15: Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
B. Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat
madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba‟, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Dimana keadaan
masyarakatnya saat itu sesuai al-Quran, mendiami suatu negeri yang baik, subur, dan
nyaman. Negeri yang indah itu merupakan wujud kasih sayang Allah SWT kepada
masayarakat saba‟. Karena itu Allah memerintahkan masyarakat saba‟ untuk bersyukur
kepada Allah yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW
beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur
masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,
menjadikan Al-Qur‟an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan
bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya.
3
C. Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi
dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara
dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-
masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,
yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan
yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.
4
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan
oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas
pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia, sekalipun pembentukan akhlak masayarakt dapat dilakukan
berdasarkan nilai nilai kemanusiaan semata, tetapi kerelatifitasan manusia
membuat konsap akhlak juga terbatas pada kerelatifan. Untuk itu, aspek
ketuhanan dalam aplikasi akhlak dapat memotivasi manusia untuk berbuat tanpa
menggantungkan reaksi serupa dari pihak lain.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-
kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi
kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.
Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa
udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari
poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di
negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada
beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara
demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai
civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut
menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
5
1). Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2). Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas
kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3). Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4). Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-
lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan
bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5). Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap
saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6). Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7). Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar
mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak
ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi
manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses
mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi
sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
a) Sentralisme versus lokalisme.
Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang
sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke
6
dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa
memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
b) Pluralisme versus rasisme.
Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam
masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya,
yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka
dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis,
pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme
menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman
adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap
potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu
kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi
oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior
dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap
dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala
kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok
tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu
lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan
terhadap lembaga lainnya.
c) Elitisme dan communalisme.
Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial
berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-
potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-
kesempatan yang ada dalam masyarakat.
7
D. Konsep Masyarakat Madani
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural
merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus
menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak
individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak
tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai
masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa
secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil,
agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari
bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik
asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan
sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam
membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah
kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan
merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan
sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu
bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan
instumental (lih. Gellner:1996).
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani
sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara
langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru
banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai
landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat
Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur
oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara.
Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda
dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama
dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan
sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota
8
Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7).
Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama
sekali.
Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi
jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar
ummatnya leluasa menjalankan syari‟at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai
dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam
setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani
adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun
tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang
terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan
masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan
menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw.
beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah
sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam
mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari
karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian
melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian
solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan
perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar
dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan kami, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani.
9
Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi
suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya
merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat
Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan.
Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan
umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan
motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam
keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit
akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan
(ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas
sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai
sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak
semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga
mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan
saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah
Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam
firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An‟am ayat 108.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan
istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi
dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah
terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi
(surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
10
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya
sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut
menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
E. Masyarakat Madani di Indonesia
1. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru yang
didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan asumsi Orde Lama. Kedua regim
didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima,
sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru
tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas untuk mendukung program pembangunan
ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung
IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yang sangat besar
peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang
mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi rakyat untuk memberi makna
terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan
percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan
memilik efek positif juga pada lapisan rakyat bawah.
Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha
memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru
membentuk Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yang tidak bersifat ideologis dan
lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya maka Golkar merupakan partai
politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan nantinya sebagai pendukung regim
Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang
memiliki jalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Militer ini
menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi dan para teknokrat.
Kemenangan Golkar tidak lepas dari kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan
pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin politiknya
melakukan kampanye terselubung. Suatu cara yang ditentang berbagai partai politik,
terutama Partai NU yang menjadi saingannya. Golkar berhasil menguasai mayoritas kursi
parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung regim Orde Baru
dan sebaliknya berusaha membatasi pengaruh partai politik. Keluar Keputusan MPR tahun
11
1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai di aras
kabupaten. Kemudian keluar kebijakan deideologisasi pada tahun 1973 yang
menggabungkan partai-partai politik kedalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung
dalam PPP; sedangkan partai-partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU
No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai
politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar (Sitompul, 1989:
127).
Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan
melakukan intervensi dalam pemilihan ketua sehingga citra parpol menjadi menurun di
mata rakyat. Intervensi merupakan suatu yang sangat lumrah karena kedua partai politik
PPP dan PDI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi berbagai unsur yang
membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat
dan rakyat menjadi apatis terhadap politik.
Meskipun pembangunanisme telah menghasilkan angka pertumbuhan ekeonomi
sebesar rata-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980,
namun angka kemiskinan masih relatif tinggi, angka pengangguran meningkat, dan yang tak
kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat.
Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan
manfaatnya bahkan merugikan rakyat. Hal ini disebabkan ideologi developmentalisme yang
telah dielaborasi menjadi program-program pembangunan ini memiliki karakter menindas
buruh dan rakyat untuk kepentingan kaum borjuis.
Nasib rakyat yang tertindas kurang mendapatkan perhatian secara memadai karena
partai politik tidak dapat mengagresikan Media massa sulit melakukan kritik terhadap
pemerintah
Militer terlibat juga dalam kegiatan ekonomi dan melakukan kerjasama dengan para
konglomerat sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap nasih rakyat
2. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang relatif
memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari
masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman
Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk
12
melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena
mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik
tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang
ada.
UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168)
mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi pengaruh
ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di
hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi
kemasyarakat dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan
sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan
pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki
kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
3. Kelahiran Civil Society
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan
“tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi,
1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak
sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di
kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-
negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan
dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah
Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke
khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus
Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia
dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik.
Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas
tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep
masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu
sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai
dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan
pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam
13
memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid
Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU
1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).
F. Hubungan Masyarakat Madani dan Negara
Dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim
menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika
kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa
disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum
(Azizi, 2000: 87).
Kalau kita melihat secara jeli masyarakat madani yang diciptakan Nabi berbentuk
suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan masyarakat
madani berati menjadikan kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti yang terjadi di
Amerika. Kesan tersebut muncul karena konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep
negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang
muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar
itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):
…the state as an association between the members of a society rather than as the
personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique
among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of
the state as an association between all members of a society means ascribing to it
supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social
arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is
to be a genuine association between all members of the community, it follows that
its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal
line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled.
Dari penjelasan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern
mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the
relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait
dengan tema kedua itu, yaitu;
14
…how government should ralate to the private, individualist world of civil society
organised around commodity production, individual exchange and money; what
policies and puposes it should pursue and how the general interest should be
defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be
regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a
sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful
effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing
lines in modern liberalism.
Hegel dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi
berkembangknya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua
warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu
bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya;
melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu
melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).
Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut
konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi
politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan
kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan
suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi
yang mempunyai delapan karakteristik (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:
(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3)
the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to
compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we
would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making
government policies depend on votes and other expressions of preference.
Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu
bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.
15
Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan
pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern.
Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara,
walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang
diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi,
2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk
dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia
mitos dan dunia modern.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil
Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep
Masyarakat madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus
tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu
Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu dengan
tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep
masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan
pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus
turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah
muak dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung
oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak
Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua
Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati
kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu
terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian
pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI
untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani
mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena
mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang
hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin
bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau
16
melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam
berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap
demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik
dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk
menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama
pelembagaan politik, disamping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses
pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah
dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka,
dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah
mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum,
dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan kerusuhan sosial yang sering
membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta
hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum
yang masih belum memuaskan.
Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau
dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai
komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama,
yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi
Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara
(1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv).
Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut
memprakarsai berdirinya suatu lembagai yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang
dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antar agama. Gus Dur, seperti
kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada
pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama (Effendi,
1999).
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem
tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yang dulu menjadi
komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi
“negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan
dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti
17
yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18
dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi
komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan
sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren
Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang
demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara
hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan
rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
G. Tatanan Pemerintahan yang Beretika Melalui Perspektif Masyarakat Madani
Permasalahan kebobrokan pemerintah menurut kacamata MM adalah karena sudah
tidak ada etika. Selain itu karena adanya penindasan globalisasi terhadap negara-negara
berkembangan yang dari segi filosofi dan budaya belum siap. Perbedaan ini harus segera
ditanggulangai dengan etika dan perubahan konsep pemerintahan. Dua hal yang perlu
menjadi perhatian dalam upaya menanggapi tantangan globalisasi yang telah merusak etika-
moral masyarakat (Azizy A. Q., 2004, p. 32), yaitu: (1) Menumbuhkan kesadaran kembali
tentang tujuan hidup menurut agama, (2) Mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat di
dunia, baik formalitas administrative sesuai ketentuan yang ada di dunia sendiri maupun
hakiki yang mempunyai konsekuensi akherat kelak (konsep akuntabilitas).
Definisi Masyarakat Madani, berarti masyarakat yang beradab, berakhlaq mutlak dan
berbudi pekerti luhur, merupakan sebuah peradaban yang lahir di kota Madinah (nama kota
inipun diambilkan dari istilah madani-tamaddun, yang aslinya bernama Yatsrib). Peradaban
tersebut mulai dibentuk setelah lahirnya piagam Madinah (AZIZAH, 2009). Karakteristik
Umum tatanan masyarakat madani, sebagaimana yang tersirat dalam Piagam Madinah
(AZIZAH, 2009), maka dapat ditemukan dalam 10 prinsip pembangunan masyaraakat yaitu:
1. Kebebasan agama.
2. Persaudaran seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap solidaritas yang tinggi
terhadap sesama.
3. Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama.
18
4. Saling membantu dan semua orang punya kedudukan yang sama sebagai anggota
masyarakat.
5. Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara.
6. Persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara.
7. Penegakan hukum.
8. Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan kebenaran.
9. Perdamaian.
10. Pengakuan hak atas setiap orang/individu.
Dari kesepuluh prinsip di atas, dapat dikerucutkan menjadi lima aspek karakteristik
Masyarakat madani, (Swiyanto & Muslihin, 2004), yaitu :
o Ruang Publik Yang Bebas
Maksudnya adalah wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara harus mempunyai kebebasan untuk
menyampaikan aspirasinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
o Demokratisasi
Untuk menumbuhkan demokritisasi dibutuhkan kesiapan anggoata masyarakat berupa
kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Mekanisme demokrasi antar komponen
bangsa, terutama pelaku politik praktis merupakan bagian yang terpenting menuju
masyarakat madani. Keberadaan masyarakat madani hanya dapat ditunjang oleh negara
yang demokratis.
o Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan
sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam
masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati
pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat lain yang
berbeda.
o Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk
disertai sikap tulus yang bahwa kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat
Tuhan. Tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan sebangun dalam segala
19
segi. Semangat pluralitas yang dibangun, selain karena nilai kemasyarakatan, juga didorong
oleh adanya perintah Tuhan untuk saling bertoleransi antarsesama masyarakat meskipun
lain agama. Selain itu juga ditambah dengan tidak adanya pembedaan status/derajat di
mata tuhan kecuali dari sisi iman dan taqwanya.
o Keadilan sosial
Dalam hal ini adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan
kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tiap-tiap warga
negara memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah (penguasa).
H. Reformasi Birokrasi di Indonesia Berkepribadian Masyarakat Madani
Di dalam kenyataan, tidak ada satu pun system social dan system pemerintahan yang
benar-benar steril dari praktik KKN, karena akan selalu berbenturan dengan individu-
individu yang menginginkan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan/kepentingannya
sendiri, meskipun dengan kesadaran penuh bahwa tindakannya tidak dibenarkan (Dwiyanto,
2006). Oleh karena itu upaya yang perlu dikembangkan adalah kewaspadaan dan terus
menerus mengadakan perubahan-perubahan demi terwujudnya kesesuaian system dengan
karakter bangsa. Termasuk perubahan system social menuju system masyarakat madani ini
merupakan salah satu upaya yang tidak luput dari kekurangan. Meskipun demikian
setidaknya dapat mengurangi atau meminimalisir tindak KKN yang semakin merajalela ini.
Untuk mewujudkan system pemerintahan yang berkepribadian masyarakat madani, maka
perlu ditempuh melalui dua langkah, yaitu langkah internal dan langkah eksternal
(Hardjapamekas, 2003).
1. Langkah internal:
a. Meluruskan Orientasi
Orientasi Birokrasi Pemerintahan perlu diluruskan untuk melayani masyarakat. Sebagaimana
diuraikan dalam pembahasan etika birokrasi, orientasi seseorang sangat menentukan etika
seseorang. Oleh karena itu untuk menghasilkan etika birokrasi yang bermoral jujur, sopan
dan disiplin maka selain berorientasi kepada pimpinan, para birokrat perlu berorientasi
kepada pelayanan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai stakeholder,
yang bukan hanya menikmati pelayanan, namun juga ikut bertanggungjawab terhadap
20
kualitas pelayanan tersebut. Masyarakat wajib ikut mengawasi para birokrat baik dari segi
perumusan/perencanaan, implementasi sampai dengan tahap evaluasi. Dengan adanya
sinergi antara pemerintah dengan masyarakat, maka pemerintah akan semakin hati-hati
dalam bertindak.
b. Memperkuat Komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa
disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan
menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat
perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak
memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
c. Pertanggungjawaban Sosial (social accountability)
- Tanggungjawab Individual
Para birokrat harus bertanggungjawab atas amanat yang telah diberikan oleh warga negara
dengan baik. Wujud dari tanggung jawab tersebut adalah bekerja secara professional,
dimana bekerja sesuai dengan jabatan dan tugasnya.
Selanjutnya dalam pelaksanaan menjalankan tugas, para birokrat perlu mengembangkan
prinsip berbuat baik. Prinsip ini perlu diterapkan, terutama bagi para birokrat pelayan
public, seperti memberikan pelayanan yang mudah, murah, cepat, tepat waktu, serta tidak
berbelit-belit. Sedangkan bagi para birokrat perumus kebijakan, prinsip sikap baik juga perlu
dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan. Artinya, dalam merumuskan sebuah solusi,
harus benar-benar untuk memikirkan kesejahteraan umat (orang banyak). bukan hanya
untuk kepentingan pribadi dan golongan saja.
- Tanggungjawab Sosial (Akuntabilitas Kinerja, Sustainability)
netralitas birokrasi digantikan dengan etika structural, dimana birokrasi termasuk bagian
dari proses politik yang bertanggungjawab atas segala perilaku dan kebijakan yang telah
diambil melalui discretion power nya. Selain itu dengan pemahaman etika structural, maka
sensifitas birokrasi akan dapat ditingkatkan, karena pertanggungjawaban atas setiap
perilaku bukan hanya atas nama lembaga, namun juga atas nama perseorangan (individual)
birokrat (Dwiyanto, Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika,
1997).
21
d. Membangun Kultur Baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja
berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan
pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara
terbuka, serta jelas kode etiknya
e. Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi
kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan
lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
f. Memperkuat Payung Hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum
yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan. Dalam konteks
MM (Masyarakat Madani), hokum yang dapat dijadikan landasan birokrasi antara lain
Hukum Adat, Hukum Agama, Hukum Formal dan Hukum Kemasyarakatan (Sosial). Dengan
keempat hokum ini, motivasi para birokrat dalam menjalankan tugas bukan hanya karena
takun dengan sanksi formal saja, melainkan karena kesadaran bahwa tugas ini merupakan
amanah yang harus diemban dan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akherat.
Hokum adat dan hokum social pun akan memberikan sebuah sanksi moral kepada birokrat
yang berperilaku menyimpang.
g. Peningkatan Kualitas SDM
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai
sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan
sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen
kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan
peningkatan kesejahteraan.
Peningkatan kualitas SDM juga harus disertai dengan peningkatan moral dan etika agar para
birokrat mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan bagi warganya.
Salah satunya adalah prinsip menghargai diri sendiri. Prinsip ini bagi para birokrat sangat
22
perlu, tetapi harus hati-hati dalam penerapannya. Prinsip hormat terhadap diri sendiri bagi
birokrat adalah sebatas kebutuhan birokrat agar tidak dianggap remeh dan rendah bagi
warga masyarakat. Setelah melaksanakan kewajibannya melayani warga, maka adalah “hak”
bagi mereka untuk mendapatkan imbalan jasa sesuai dengan tugas dan jabatannya.
Tujuannya adalah agar eksistensinya sebagai birokrat tetap terjaga dengan baik dan mereka
tetap bersemangat dalam melayani masyarakat (karena tidak merasa diperas tenaganya
seperti halnya budak). Namun selain itu, dengan prinsip hormat terhadap diri sendiri juga
perlu diterapkan dalam ranah moral, yakni sebagai makhluk yang berbudi pekerti, maka
seorang birokrat harus menghargai dirinya dengan jalan selalu berpegang pada kepribadian
moral yang baik dalam menjalankan tugasnya.
Sebagai bangsa yang religius, seharusnya tindakan tidak terpuji KKN di lingkungan birokrasi
pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan membuktikan lain. Birokrasi
pemerintah, mulai tingkat elite sampai pada aparatur di tingkat bawah, memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk melakukan KKN. Yang berbeda hanyalah porsi dan caranya
saja. Perilaku KKN berawal dari keserakahan materi, kemudian berkembang menjadi
kelainan-kelainan yang sifatnya bukan saja perilaku korup di lingkungan birokrasi
pemerintah, tetapi persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kedua belah
pihak dengan mengorbankan kepentingan negara.
Demikian pula proses nepotisme yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah, yang
mengakibatkan permasalahan negara dewasa ini tidak mampu diatasi oleh birokrasi
pemerintah sendiri. Sebagai contoh praktek nepotisme dalam menduduki posisi strategis
menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Mereka tidak lagi berpikir bagaimana
memperbaiki negara ini, tetapi bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan cara
mengangkat orang-orang yang dapat mendukung dan loyal terhadap dirinya. Untuk
mencegah hal tersebut diperlukan pembetukan watak etika dan moral birokrasi pemerintah.
Sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan kepentingan umum dan kebutuhan
masyarakat yang tersingkirkan (Gie, 2003).
Beberapa sikap kepribadian moral yang kuat yang harus dipegang teguh oleh para birokrat
tersebut antara lain: Kejujuran, nilai keotentikan, kesediaan untuk bertanggungjawab,
kemandirian moral, keberanian moiral, kerendahan hati, realistic dan kritis. Sebagaimana
yang disampaikan oleh mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dalam menanggapi masalah
23
korupsi dan Rekening milik PNS Muda, bahwa saat ini pemerintah membutuhkan pegawai
negari sipil atau PNS yang jujur dan waras. “Jujur” dan “waras” tersebut hanya dapat dimiliki
oleh orang yang memiliki hati nurani.
h. Debirokratisasi & Desentralisasi
Reformasi birokrasi perlu diawali dengan langkah debirokratisasi, mengingat beban negara
yang semakin melambung tinggi, dan sebagian besar hanya habis untuk menggaji para
birokrat. Sedangkan sebagaimana yang terjadi di lapangan, kinerja para birokrat kurang
dimaksimalkan, lebih banyak yang menganggur di kantor daripada bekerja melayani
mayarakat, bahkan ada yang ditemukan sedang belanja di supermarket. Tahun 2012
pemerintah bakal menggelontorkan anggaran gaji PNS sebesar 215,7 Triliun (terjadi
kenaikan 32,9 Triliun/ 18%). Selain pemborosan, dengan jumlah pegawai yang tidak
proporsional mengakibatkan kekosongan kerja, dan justru akan menimbulkan konflik
diantara birokrat.
Langkah debirokratisasi ini perlu ditempuh pemerintah dengan tujuan ganda, yakni:
Pertama, mengurangi intervensi birokrasi dalam proses pembangunan ekonomi sehingga
pertumbuhannya dapat berlangsung secara lebih cepat dan lebih wajar. Kedua, merupakan
tujuan jangka panjang, adalah menciptakan kapasitas administrasi/birokrasi yang lebih
mampu melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berdimensi peningkatan kualitas
manusia dan kualitas masyarakat (Effendi, 2010).
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, reformasi birokrasi perlu melakukan:
a) Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai. Karena
selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus
terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal,
maka power sharing mudah dilakukan tapi reventte sharing lebih sulit dilakukan.
b) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak
urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai
pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
24
2. Langkah Eksternal:
a. Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara
yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama
dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut
diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan
tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan
contoh kepada bawahan dan masyarakat.
b. Memperkuat Posisi Penegak Hukum
Indonesia sebenarnya telah memiliki lembaga yang berwenang untuk mengawasi para
pejabat negara dari tindakan korupsi. Meskipun terbilang masih muda, tetapi sudah cukup
baik, yakni secara kelembagaan, negara Indonesia sudah memiliki lembaga yang sah
mengurusi tindak pidana korupsi. Sedangkan dari sisi kinerja, lembaga KPK ini masih terlihat
kurang kuat. Terbukti masih banyak tindak pidana korupsi yang belum mampu terungkap.
Apalagi kasus akhir-akhir ini justru ada salah satu diantara anggota KPK yang terjerat kasus
pidana korupsi. Oleh karena itu untuk lebih menjamin status independency KPK, perlu
diperkuat posisinya di mata hokum dan masyarakat.
c. Partisipasi dan sinergitas dan Kompetisi Global
Berdasarkan konsep MM, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu adanya
sinergitas diantara empat bagian, yaitu community (masyarakat), government (pemerintah),
business (usaha perekonomian atau pengusaha), dan voluntary (organisasi/gerakan
kedermawanan atau LSM). Masing-masing bagian berporos pada satu wadah berupa
individual, bertanggungjawab untuk menemukan nilai-nilai yang berbeda dalam rangka “The
search for the good life” (menemukan kehidupan yang baik).
OSDMM (Organisasi Sumber Daya Masyarakat Madani) di Indonesia aalah sub-golonagn
lembaga swadaya masyarakat “tradisional”, yakni lembaga-lembaga yang menurut rumusan
klasik terlibat dalam proses memperkuat masyarakat madani dalam menghadapi
pemerintah dan golongan elit yang berkuasa (Hadiz, 1999, p. 5). Organisasi ini adalah
organisasi yang bersifat swasta dan non-pemerintah, disamping bersifat independen dan
25
nirlaba, juga menjalankan kegiatan-kegiatan yang mempunyai lingkup nasional atau meliputi
bagian besar dari negara Beberapa dari mereka bergelut di bidang ekonomi, politik, dan
hak-hak asasi manusia.
Dengan adanya OSDMM ini, ada beberapa kemanfaatan yang dapat diperoleh, yakni:
pertama, control social masyarakat terhadap pemerintah lebih efektif, karena selain
memiliki kekuatan dan jalan, mereka lebih ahli dalam berdialog. Dengan adanya control
yang lebih maksimal, birokrat akan semakin berhati-hati dalam bertindak curang. Kedua,
partisipasi pelayanan public pun secara otomatis dapat lebih optimal karena setiap OSDMM
memiliki agenda kegiatan yang bersangkutan langsung dengan masyarakat. Ketiga, OSDMM
merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan masyarakat. Masyarakat madani adalah
masyarakat yang cerdas dan beretika. Oleh karena itu dengan semakin berkembangnya
OSDMM merupakan sebuah pembuktian nyata dari meningkatnya pengetahuan masyarakat
tentang lingkungan sesuai dengan organisasi yang diikutinya. Keempat, OSDMM
mempermudah pemerintah dalam memilah-milah kebijakan, yakni dalam menentukan skala
prioritas dan penyaluran dananya. Sehingga tidak akan terjadi lagi yang namanya “salah
sasaran”
d. Demokratisasi
- kebebasan social (social freedom) - Ruang Publik
kebebasan berpendapat dan berkumpul sebagaimana tercantum dalam undang-undang
adalah cerminan daripada penghargaan atas nilai pluralism bangsa. Sebagaiman kita ketahui
bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan dari sisi
budaya telah melahirkan kemajemukan hokum adat. Kemajemukan status social ekonomi
melahirkan kemajemukan cara pandang, kedudukan dan mata pencaharian. Hal ini akan
menimbulkan penindasan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Sedangkan
praktik di lapangan, birokrat mayoritas diisi oleh para kaum kuat, sedangkan kaum lemah
hanya sebagai penonton. Dengan adanya kebebasan social, maka masyakat akan leluasa
menyampaikan aspirasi dan control nya terhadap pemerintah.
- Keadilan Serta Kesamaan Hak Dan Kewajiban (Equality)
Birokrasi yang adil adalah yang mampu memanfaatkan segala sesuatu baik itu kekayaan,
kesempatan dan kekuasaan sesuai dengan hakikatnya diciptakan, jangan dikurangai dan
26
jangan menambah. Dengan prinsip ini maka tidak ada yang namanya korupsi dalam
birokrasi.
Kekuasaan yang diberikan warga kepada birokrat untuk mengurusi pelayanan umum
seharusnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini maka keadilan berdampak
pada keadilan social, yakni birokrasi yang adil adlah yang mampu memberikan pelayanan
kepada warganya dengan baik. Birokrat harus mampu memperlakukan warganya dengan
sama, tidak membeda-bedakan status social dan kekayaan. Dengan prinsip ini maka tidak
akan terjadi suap-menyuap atau pun nepotisme.
Dalam konteks yang lain, prinsip keadilan membicarakan who gets what (Utomo, 2007).
Artinya siapakah yang layak mendapatkan sesuatu itu dan apa yang layak diperoleh
seseorang. Dalam hal ini contoh terdekat adalah masalah kenaikan gaji para PNS, yang
masih menjadi permaslahan public, maka sebaiknya siapakah yang lebih pantas menerima
kenaikan gaji itu? Masyarakat atau birokrat? Berikutnya apa seharusnya yang diperoleh
masyarakat dari para birokrat?
- Demokratisasi Anggaran – Poor Budget dan Bantuan Subsidi
sementara ini, pemerintah kurang adil dalam membuat kebijakan terkait anggaran negara.
Bagaimana mungkin akan menanggulangi kemiskinan kalau sebesar 60% hingga 70%
anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparat (belanja rutin). Sisanya
sebesar 30% hingga 40% digunakan untuk belanja masyarakat public dengan komposisi 30%
biaya tidak langsung (administrative), 70% untuk belanja langsung ke masyarakat (20%
plafon politik, 10% plafon ADD, dan 70% plafon sektoral).
Berbeda dengan anggaran pro poor, anggaran yang dibuat bukan untuk melayani kaum
miskin, tetapi untuk memenuhi hak dasar kaum miskin. Sehingg sebelum dipenuhi maka
anggaran sebesar apapun akan terus diusahakan hingga terpenuhi. Karena tujuannya adalah
memenuhi, maka dalam penganggarannya pun masyarakat banyak terlibat, sehingga sesuai
dengan harapan. Berikut adalah bentuk keadilan social dalam bidang anggaran dana negara:
27
Aspek
Anggaran Konvensional
Anggaran Pro Poor
Peruntukan
Melayani Kaum Miskin tidak
selalu diutamakan, bahkan
residu
Pemenuhan hak dasar
(khusus kaum miskin)
Manfaat/hasil
Berdasarkan kepentingan
actor yang terlibat
Sesuai kebutuhan kaum
miskin
Aktor yang memutuskan
Aparat pemerintah
Pelibatan masyarakat miskin
Proses Kebijakan
Condong teknokratis, kurang
transparan dan partisipatif
Mementingkan transparansi
dan partisipasi
Sumber: Haerudin (Waidi, Sudjipto, & Bahagijo, 2008)
28
Bab III
PENUTUP
Kesimpulan
Gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21
Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena
baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi
sehingga pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap
demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan
tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main
Kalau kita menerjemahkan civil society dengan referensi model pemerintahan Nabi
Muhammad SAW periode Madinah maka kita tahu bahwa Nabi bertindak juga sebagai
kepala negara. Hal ini menunjukkan tidak perlu mempertentangkan antara negara dengan
masyarakat madani. Contohnya Gus Dur yang menjadi pelopor strategi Islam budaya, kini
dalam jabatan sebagai presiden harus menciptakan pemerintahan yang demokratis supaya
masyarakat madani juga berkembang pesat.
Tatanan pemerintah Indonesia semakin tidak karuan dengan adanya demokratisasi.
Perpaduan model administrasi negara yang tidak berkarakter bangsa ternyata membuat
kinerja para birokrat tidak semakin efektif, melainkan memperluas lahan untuk melakukan
tradisi-tradisi kurang etis. Sebuah pernyataan dalam media massa bahwa “birokrasi selalu
diidentikan dengan korupsi” menjadi cerminan tentang kebobrokan birokrasi Indonesia.
Seiring dengan hal tersebut pluralism masyarakat Indonesia menuntut adanya birokrasi
yang bukan hanya mampu menjalankan tugas dengan baik, melainkan mampu memuaskan
masyarakat sebagai warga negara dan stakeholder. Dalam hal ini system social yang
diterapkan di Indonesia dirasa kurang tepat, dan perlu alternative lain seperti Sistem Sosial
Masyarakat Madani (MM) yang dikembangkan dibeberapa negara berkembang dan negara
Eropa Timur.
Birokrasi yang beretika dan bermoral merupakan modal awal bagi tatanan baru atau
reformasi pemerintahan Indonesia. Di samping mengembangkan etika sebagai langkah
internal, serta penguatan payung hukum dan peningkatan kualitas SDM, dari sisi eksternal
juga perlu ada perubahan, antara lain pengembangan nilai-nilai Pluralisme & Demokrasi,
Kesamaan Hak dan Partisipasi & Sinergitas.
29
Daftar Pustaka Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27 Februari 1999.
Abdurrahman, Moeslim. 1999. Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat
madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999.
Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat
Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi
dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-
Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi
dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic
Revolution in Iran. New York and London: New York University Press.
AZIZAH, N. (2009). Civil Society di Indonesia. Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Pamekasan.
Azizy, A. Q. (2004). melawan Globalisasi-Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani) (Cetakan V ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
--------------. (2000). Masyarakat Madani Antara Cinta dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Dwiyanto, A. (2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
--------------. (1997). Pemerintah yang Efisien, Tanggap dan Akuntabel; Kontrol atau Etika.
Jurnak Kebijakan Administrasi Publik , 1-14.
--------------. (2008). Reformasi Birokrasi Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Effendi, S. (2010). Beberapa Hambatan Pelaksanaan Debirokratisasi dan Deregulasi untuk
Pembangunan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Gie, K. K. (2003). Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan Kinerja