BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang berada di dalam dan atau di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang/penduduk meliputi Kelahiran, Kematian, Lahir mati, Perkawinan dan Perceraian, Pengakuan Anak, Pengesahan Anak, Pengangkatan Anak, Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan. Segala peristiwa penting tersebut harus dilaporkan dan dicatatatkan pada buku Register pada instansi pelaksana. Di Kota Banjarmasin sebagai Instansi Pelaksana untuk mencatatatkan peristiwa penting tersebut dilaksanakan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang
berada di dalam dan atau di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh
seseorang/penduduk meliputi Kelahiran, Kematian, Lahir mati, Perkawinan
dan Perceraian, Pengakuan Anak, Pengesahan Anak, Pengangkatan Anak,
Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan.
Segala peristiwa penting tersebut harus dilaporkan dan dicatatatkan
pada buku Register pada instansi pelaksana. Di Kota Banjarmasin
sebagai Instansi Pelaksana untuk mencatatatkan peristiwa penting
tersebut dilaksanakan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Banjarmasin.
Orang tua mempunyai kewajiban untuk melakukan pencatatan atas
kelahiran anaknya mengingat sebagai warga Negara, kelahiran seseorang
harus tercatat. Sesuai dengan hukum yang berlaku pencatatan ini
dilakukan dengan melalui suatu prosedur tertentu dan diarsipkan dalam
lembaran yang kemudian dikenal dengan nama “ Akta Kelahiran “. Akta
kelahiran ini pada dasarnya merupakan awal dimulainya pencatatan
terhadap diri seseorang dimata hukum di Indonesia. Seorang anak secara
pasti memerlukan status yang namanya tercantum dalam suatu akta
kelahiran bahwasanya dia adalah anak yang sah dari orang tua yang
nama-namanya tercantum pula dalam akta kelahiran tersebut.
1
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa dimana
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Anak juga merupakan tunas potensi dan generasi muda penerus cita-cita
hidup keluarga khususnya, dan masyarakat umumnya serta memiliki
peran strategis dalam menjamin kelangsungan kehidupan di masyarakat,
maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik maupun mental
penting juga adanya perlindungan untuk anak serta memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya yang jauh dari segala bentuk
diskriminasi.
Dalam pasal 27 Ayat ( 1 ) Undang-undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa “ Setiap kelahiran
wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya Peristiwa Kelahiran paling lambat 60 ( enam puluh ) hari
sejak kelahiran “. Selanjutnya pasal 27 Ayat ( 2 ) menyebutkan bahwa “
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada Ayat ( 1 ), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan
menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran “.
Bahwa berdasarkan Undang-undang tersebut para orang tua wajib
segera membuatkan Akta Kelahiran bagi anak mereka, hal ini sesuai
dengan isi Pasal 5 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “ Setiap anak berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan “.
Hak sipil akan seperti halnya akta kelahiran harus dimiliki oleh
setiap anak untuk memperoleh hak permulaan sebagai warga Negara
Indonesia. Dari catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI )
Propinsi Kalimantan Selatan, bahwa pada Tahun 2008 lalu tercatat lebih
dari 27 ribu anak usia 0 -5 Tahun di Kota Banjarmasin tidak
memiliki akta kelahiran dari total anak-anak pada waktu itu lebih dari
58 ribu jiwa. Hal tersebut menandakan bahwa orang tua kurang
memperhatikan hak sipil anak yang nantinya dikhawatirkan akan
2
mempersulit anak dalam menempuh kehidupan mendatang seperti dalam
hal pembagian hak waris, pendaftaran sekolah, pembuatan Kartu Tanda
penduduk, Kartu Keluarga dan lain sebagainya.
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi kebijakan penerbitan Akta Kelahiran pada
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin.
2. Faktor-faktor yang menjadi kendala Implementasi Kebijakan
penerbitan Akta Kelahiran pada Dinas Kependudukan dan pencatatan
Sipil Kota Banjarmasin.
1.3 Tujuan Penilitian
Berdasarkan Rumusan Masalah tersebut diatas, penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Ingin mengetahui Implementasi Kebijakan penerbitan Akta Kelahiran
pada Dinas kependudukan dan Pencatatan sipil Kota Banjarmasin.
2. Ingin mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kendala
Implementasi Kebijakan penerbitan Akta Kelahiran pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teori, untuk menambah wawasan keilmuan mengenai
implementasi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
pada umumnya dan pemerintah Kota Banjarmasin pada khususnya,
serta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
sebagai instansi yang melaksanakan impelementasi kebijakan tersebut.
Selain itu dapat juga mengetahui apakah kebijakan yang diterapkan
dapat memenuhi pelayanan publik menuju kepada pelayanan minimal.
3
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan evaluasi untuk meninlai implementasi kebijakan
pembuatan akta kelahiran pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Banjarmasin agar dapat dijadikan rekomendasi untuk
reformasi terhadap pelaksanaan pembuatan/penerbitan akta kelahiran.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan
2.1.1 Konsep Kebijakan
Sebelum memahami implementasi kebijakan alangkah baiknya perlu
ditinjau terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan itu sendiri. Dye
sebagaimana yang dikutip Islamy (1984) mendefinisikan apapun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Kebijakan
publik tersebut meliputi semua tindakan pemerintah dan bukan semata-mata
merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.
George C. Edwards III dan Ira Sharkansky sebagaimana yang dikutip
Islamy (1984) mengartikan kebijaksanaan negara yang hampir mirip dengan
definisi Thomas R. Dye tersebut di atas yaitu apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, kebijakan negara itu berupa
sasaran atau tujuan program-program pemerintah. Kebijakan negara itu
dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundang-
undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun
berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
David Easton sebagaimana yang dikutip Islamy (1984) memberikan arti
kebijakan negara sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa (sah) kepada
seluruh anggota masyarakat. Ditegaskan bahwa hanya pemerintahlah yang
secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tersebut diwujudkan
dalam pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat.
Dari pengertian kebijakan negara diatas dan dengan mengikuti paham
bahwa kebijakan negara itu harus mengabdi pada kepentingan masyarakat,
maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan negara itu
adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi
pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
5
2.1.2 Proses Kebijakan
Pada dasarnya proses kebijakan merupakan proses sosial, atau lebih tepat
lagi merupakan proses politik. Dikatakan proses sosial, karena proses
kebijakan melibatkan berbagai unsur masyarakat baik sebagai pelaku atau
objek kebijakan, dan proses itu sendiri banyak mempengaruhi perilaku dan
perkembangan situasi masyarakat. Dikatakan proses politik, karena para
pelaku dalam proses kebijakan menggunakan : kekuasaan yang dimiliki
untuk mempengaruhi arah dari proses kebijakan. Selain itu, proses ini
berlangsung dalam setting politik, administrasi, dan sosial tertentu, dan
merupakan bagian penting dari proses penyelenggaraan kehidupan
bernegara (Wahab, 1999). Proses kebijakan secara berurutan terdiri dari :
1. Penyusunan agenda kebijakan (Agenda Setting)
2. Formulasi kebijakan,
3. Adopsi kebijakan,
4. Implementasi kebijakan,
5. Evaluasi kebijakan (Dunn, 1999).
Penyusunan agenda kebijakan dimulai ketika para pelaku politik
menyadari adanya masalah publik yang memerlukan intervensi negara untuk
mengatasinya kemudian mengangkatnya sebagai isu publik. Kesadaran
demikian muncul mungkin karena keluhan masyarakat, liputan media
massa, tuntutan dari kelompok kepentingan, kelompok penekan, tokoh-
tokoh masyarakat, partai-partai politik atau dapat pula datang dari para wakil
rakyat di parlemen dan pejabat eksekutif. Formulasi kebijakan adalah proses
politik untuk menentukan tindakan publik apa yang dapat diambil
pemerintah untuk mengatasi masalah publik tertentu. Proses ini banyak
melibatkan pelaku yang memiliki otoritas politik untuk membuat kebijakan
publik, seperti anggota DPR dan pejabat eksekutif. Di sini negosiasi politik
berlangsung dan kompromi politik diupayakan. Ketika konsensus tercapai,
rancangan kebijakan pun dapat diratifikasikan atau diadopsi menjadi
kebijakan publik untuk selanjutnya diimplementasikan di lapangan.
6
Implementasi kebijakan adalah proses untuk mentransformasikan
keputusan ke dalam tindakan. Ada sejumlah kebijakan publik yang setelah
diputuskan akan terimplementasi dengan sendirinya. Perumusan dan
implementasi kebijakan sering tidak merupakan proses yang linear. Selama
proses implementasi berlangsung, sering terjadi perubahan keadaan yang
gagal diantisipasi oleh para pengambil kebijakan. Dalam hal ini
implementator seringkali dituntut untuk melakukan penyesuaian terhadap
tujuan, target, dan strategi kebijakan yang telah diputuskan sebelumnya.
Karena itu, proses implementasi tidak sekadar berisi rangkaian kegiatan
pelaksanaan, tetapi juga sarat dengan aktivitas pengambilan keputusan.
Suatu kebijakan dikatakan berhasil jika proses implementasi kebijakan
dapat mentransformasikan tujuan dan sasaran ke dalam hasil atau kinerja
kebijakan. Tidak semua kebijakan berakhir dengan keberhasilan, karena itu
setiap kebijakan memerlukan evaluasi. Proses evaluasi dapat dilakukan
secara vertikal oleh pimpinan eksekutif, secara internal oleh lembaga
implementasi, secara horisontal oleh lembaga-lembaga pengawas publik,
atau secara eksternal oleh parlemen, pers, akademisi, tokoh masyarakat,
lembaga donor serta masyarakat luas.
2.2 Implementasi Kebijakan
2.2.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan
proses kebijakan. Implementasi kebijakan tidak hanya sekedar bersangkut
paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi melainkan lebih dari
itu, ini menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa memperoleh apa
saja dari suatu kebijakan.
Menurut Islamy (1994) kebanyakan kebijakan negara itu berbentuk
peraturan perundang-undangan dan lainnya berupa pelbagai macam
ketentuan, ketetapan atau sejenis dengan itu, sehingga memerlukan proses
implementasi untuk menampakan hasil (output) dan masalah implementasi
7
kebijakan tersebut tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil
kebijakan tersebut tetapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau
dampak yang akan nampak pada pelaksanaan kebijakan tersebut.
Lebih rinci, Mazmanian dan Sabatier sebagaimana pendapat Wahab (1997)
merumuskan proses implementasi kebijakan negara sebagai berikut :
Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,
biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, putusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara
tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk
menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini
berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya
diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian
output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan-keputusan
tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata---baik
yang dikehendaki atau tidak---dari out tersebut, dampak keputusan
sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan,
dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk
melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/peraturan
yang bersangkutan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi implementasi kebijakan
adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-
tujuan atau sasaran kebijakan negara diwujudkan sebagai outcome (dampak)
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah. Sebab itu fungsi
implementasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu kebijakan
negara disebut policy delivery system (sistem penyampaian/penerusan
kebijakan negara) yang biasa terdiri dari cara-cara atau sarana tertentu yang
dirancang/didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.
8
Menurut Wahab (1997) dalam implementasi khususnya yang melibatkan
banyak organisasi/instansi pemerintah atau berbagai tingkat strutktur
organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang,
yakni : (1) pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat) ;
(2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery) ; (3) aktor-aktor
perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapa program-
program itu ditujukan yakni kelompok-kelompok sasaran (target group).
Dalam penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan dari dua sudut
pandang, yakni memandang proses implementasi dari sudut pandang
pemrakarasa atau pembuat kebijakan dan dari sudut pandang pejabat-pejabat
pelaksana di lapangan.
Implementasi kebijakan menurut Gridle (1980) ditentukan oleh content
(isi) kebijakan dan konteks implementasi. Ide dasar Grindle adalah setelah
kebijakan ditransformasikan menjadi implementasi kebijakan, namun tidak
begitu saja berjalan mulus, tergantung pada implementability (kemampuan
mengimplementasikan) dari suatu program yang dapat dilihat pada content
(isi) dan konteks implementasi kebijakan. Isi kebijakan mencakup : (1)
kepentingan yang berpengaruh pada kebijakan, (2) jenis manfaat yang akan
dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat
kebijakan, (5) siapa pelaksana program dan (6) sumber daya yang
dikerahkan. Kebijakan menyangkut banyak kepentingan yang saling berbeda
lebih sulit diimplementasikan dibandingkan dengan yang menyangkut
sedikit kepentingan.
Konteks implementasi mencakup : (1) kekuasaan kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, (3)
kepatuhan dan daya tanggap. Lebih lanjut, Lane (1995) Merumuskan
implementasi kebijakan sebagai berikut : Implementation = F (Policy,
Outcome, Formatur, Implementator, Initiator, Time). Dengan demikian
implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh kualitas kebijakan itu
sendiri, dampak yang diperoleh, kepentingan para pembuat kebijakan,
inisiator dan waktu yang tepat untuk mengimplementasikan suatu kebijakan.
9
Konsep implementasi tersebut juga menentukan keterlibatan aktor dalam
proses implementasi. Aktor tersebut dapat dibedakan menjadi inisiator,
formator dan implementator. Aktor-aktor yang ditentukan dalam politik
seharusnya lebih berperan sebagai inisiator dan formator kebijakan sebab
proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut
badan-badan adminisitratif yang melaksanakan program melainkan pula
menyangkut jaringan kekuatan politik yang mempengaruhi semuah pihak
yang terlibat.
Selanjutnya, proses implementasi ini berperan besar dalam mencapai
hasil seperti yang diharapkan dengan apa yang senyatanya terjadi atau
dicapai (Implementation Gap). Hal ini dipengaruhi oleh apa yang disebut
oleh Ilham sebagaimana yang dikutip oleh Wahab (1997) sebagai
Implementation Capacity diartikan sebagai kemampuan suatu organisasi
atau aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa
sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan
dalam dokumen formal dapat tercapai. Kenyataannya, kebijakan pemerintah
sebenarnya memiliki resiko untuk gagal. Kegagalan kebijakan ini oleh
Hogwood dan Gun (Wahab, 1997) dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu :
1. Non Implementation, mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Keadaan ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti kerja sama, penguasaan permasalahan ataupun
wilayah permasalahan yang diluar jangkauan kewenangan.
2. Unsuccesful Implementation, kebanyakan disebabkan oleh faktor
eksternal yang ternyata tidak menguntungkan.
Kebijakan memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor-faktor :
pelaksanaannya jelek (bad execution), atau kebijakan itu sendiri memang
jelek (bad policy), atau kebijakan itu bernasib jelek (bad luck).
2.2.2 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Implementasi Kebijakan
Tujuan utama dari otonomi daerah adalah berkembangnya daerah
dengan kemandirian mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan-
10
urusan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, sesuai dengan konsep
otonomi yang diperluas seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.
Menurut Kaho (1997), agar pemerintah daerah dapat melaksanakan
kewenangan yang diserahkan kepadanya, maka ada beberapa tolok ukur
yang harus diperhatikan :
1. Manusia pelaksananya harus baik;
2. Keuangan harus cukup baik;
3. Peralatannya harus cukup baik;
4. Organisasi dan manajemennya harus baik.
Faktor pertama, yaitu pelaksananya harus baik, karena manusia
merupakan pelaku dan penggerak dalam proses kegiatan pemerintahan.
Smith (1985) mengungkapkan : “Political decentralization is usually
assumed to entail democracy” (Desentralisasi politik biasanya diasumsikan
memerlukan demokrasi), maka para pengambil keputusan merupakan orang-
orang yang dipilih mewakili kepentingan komunitas lokalnya. Orang-orang
yang dipercayai oleh komunitas tentunya orang-orang yang mampu
melakukan dialog mengenai kewenangan daerahnya dengan pemerintah
pusat. Dalam kaitannya dengan manusia pelaksana yang baik, Teune (1995)
Menjelaskan ada 3 bentuk pengujian yaitu : (1) Locally elected official and
separation power; pejabat politis pemerintahan lokal harus dapat
mengekspresikan secara bebas kewenangan yang lebih besar terutama dalam
memformulasikan dan mengimplementasikan suatu kebijakan, (2) Local
autonomy; bagaimana pejabat pemerintah lokal membangun konflik dengan
pemerintah proses demokrasi, (3) Capacity to generate resources;
kewenangan menggali berbagai sumber keuangan daerah. Lebih lanjut
Morgan et al (1996) menyebutkan : “...middle manager in local government
perform four task that are central to the effective funcitioning of their
organization : (1) interpret and represent their work unit interest; (2) lend
or secure assistencev (mereformulasikan atau mengimplementasikan
11
kebijakan pemerintah pusat), (3) develop organizational relationships; (4)
leverage other time (mengelola waktu)”.
Faktor kedua adalah keuangan yang baik, hampir tidak ada kegiatan
pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang
yang tersedia, makin banya pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang
dapat dilaksanakan. Demikian juga semakin baik pengelolanya semakin
berdayaguna pemakaian keuangan tersebut.
Keuangan daerah merupakan salah satu unsur yang penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemenuhan kepentingan
masyarakat setempat. Guna mencapai hal tersebut diperlukan pengelolaan
keuangan daerah yang mantap dan sempurna, yang pada hakekatnya
merupakan perwujudan administrasi keuangan daerah.
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, Sumodiningrat (1997)
menyebutkan terdapat empat faktor dalam mekanisme pengelolaan
keuangan daerah antara lain : mekanisme perencanaan, mekanisme
penyaluran dan pencairan bantuan, mekanisme pengembangan dan
pelestarian serta mekanisme pelaporan. Disamping itu untuk mendorong
kemampuan keuangan daerah yang lebih besar dalam membiayai seluruh
urusan rumah tangga daerah, diperlukan kebijaksanaan di bidang
pengembangan institusi dan pengelolaan (manajemen keuangan daerah),
pengelolaan adalah merupakan usaha penyempurnaan lembaga keuangan
daerah (Tambunan, 1996).
Sehubungan dengan ini keuangan daerah merupakan salah satu faktor
yang penting dalam mengukur secara nyata kemampuan daerah dalam
melaksanakan otonomi. Menurut Kaho (1997) salah satu kriteria penting
untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya adalah kemampuan “self-supporting” dalam
bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan daerah
merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah
dalam melaksanakan otonominya.
12
Berkaitan dengan kepentingan di atas, pentingnya posisi keuangan daerah
menurut Mawhood (1983) bahwa : “decentralization can only succed when
the local authorities have sufficient financial resourcers to carry out their
responsibilities” (desentralisasi hanya dapat berhasil bilamana daerah
mempunyai kewenangan terhadap sumber daya keuangan yang cukup untuk
melaksanakan tanggung jawabnya). Lebih tegas lagi Teune (1995)
Menyebutkan : “frees localities from government by providing alternatives
for resources finance and support; the resources other decentralization”
(kebebasan daerah untuk menggali sumber daya keuangan, yang berarti
dukungan keuangan untuk terlaksananya desentralisasi).
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk menciptakan pemerintahan
daerah yang baik yang dapat melaksanakan tugas otonominya dengan baik,
maka faktor keuangan ini mutlak diperlukan. Ini berarti, dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau
uang. Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya
daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula, dalam hal ini
daerah dapat memperoleh melalui pendapatan asli daerah (PAD)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Faktor ketiga adalah peralatan yang cukup dan baik. Pengertian peralatan
di sini adalah setiap benda atau alat yang dapat dipergunakan untuk
memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintahan daerah.
Faktor keempat adalah organisasi dan manajemen yang baik. Organisasi
yang dimaksud adalah organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang
terdiri dari satuan-satuan organisasi beserta segenap pejabat, kekuasan,
tugasnya dan hubungannya satu sama lain, dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Sementara yang dimaksudkan dengan manajemen adalah proses
manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerja sama, sehingga
tujuan yang telah ditentukan benar-benar tercapai (Kaho, 1997).
13
BAB III
GAMBARAN UMUM
3.1 Profil Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
merupakan salah satu lembaga teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah
Kota Banjarmasin yang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas,
Badan, Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarmasin yang mempunyai
Tugas Pokok melaksanakan urusan rumah tangga daerah dibidang
Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Dilihat dari Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin merupakan unit kerja yang perlu
penanganan secara khusus dan professional, karena menyangkut masalah
Administrasi kependudukan dengan menggunakan Sistem SIAK yang
disajikan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan Pemerintahan dan
Pembangunan.
Dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah untuk
menyelenggarakan tugas Pemerintahan dan Pembangunan secara baik dan
benar (good governance) serta mendorong tumbuhnya instansi
Pemerintah yang akuntabel, sehingga beroperasi secara efesien, efektif
dan responsive terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya dalam
memberikan masukan dan umpan balik bagi yang berkepentingan untuk
dasar pengambilan keputusan dan peningkatan kinerja Instansi
Pemerintah.
14
3.2 Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi
3.2.1 Struktur orgsnisasi
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin menurut Peraturan Daerah
Nomor 15 Tahun 2008 terdiri dari :
a. Kepala Dinas
b. Sekretaris,
- Kepala Sub Bagian Perencanaan
- Kepala Sub Bagian Keuangan
- Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
c. Kepala Bidang Administrasi Kependudukan,
- Kasi Identitas Penduduk
- Kasi Mobilitas Penduduk
d. Kepala Bidang Catatan Sipil,
- Kasi Kelahiran, Pengakuan Anak dan Kematian
- Kasi Perkawinan, Pengesahan Anak dan Perceraian
e. Kepala Bidang Data dan Informasi
- Kasi Pengolahan dan Penyimpanan Data
- Kasi Pelayanana dan Informasi
-
3.2.2 Tugas Pokok dan Fungsi
a. Tugas Pokok
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin adalah melaksanakan urusan rumah tangga daerah
dibidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
b. Fungsi
Dalam menjalankan Tugas pokok tersebut Dinas
Kependudukan dan pencatatan Sipil mempunyai fungsi, sebagai
berikut :
15
1. Perumusan Kebijaksanaan teknis sesuai dengan kebijaksanaan
yang ditetapkan Walikota berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku,
2. Penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan
kegiatan pendaftara dan pencatatan penduduk,
3. Pemberian nomor Induk Kependudukan,
4. Pendaftaran dan Penerbitan Kartu Keluarga,
5. Pendaftaran dan Penerbitan Kartu Tanda Penduduk,
6. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Kelahiran,
7. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Perkawinan,
8. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Perceraian,
9. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Kematian,
10. Pendaftaran dan Penerbitan Akta Pengakuan Anak dan
Pengesahan Anak,
11. Pencatatan Mutasi Penduduk,
12. Pengelolaan Data Penduduk,
13. Penyelenggaraan Penyuluhan
14. Melaksanakan Ketatausahaan Dinas,
15. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan dan ditetapkan
oleh Walikota.
3.3 Visi dan Misi
Visi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin
adalah “ TERWUJUDNYA TERTIB ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN MELALUI PELAYANAN PRIMA “
Sedangkan Misi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Banjarmasin adalah :
a. Meningkatkan kemampuan aparatur dalam bidang Administrasi
Kependudukan,
b. Memberikan pelayanan kepada masyarakat secara benar, mudah dan
cepat,
16
c. Menyelenggarakan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem
informasi Administrasi Kependudukan ( SIAK ) secara tertib, terpadu
dan berkelanjutan,
d. Mengupayakan terbangunnya Database Kependudukan,
e. Membangun pemahaman masyarakat terhadap arti penting tertib
Administrasi Kependudukan.
17
BAB IV
PEMBAHASAN MASALAH
4.1 Implementasi Kebijakan Penerbitan Akta Kelahiran
Kepemilikan akta kelahiran adalah sebagai wujud pemenuhan
kewajiban orang tua terhadap anak. Karena itu setiap kelahiran wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 ( Enam Puluh ) hari sejak
kelahiran.
Penerbitan akta kelahiran pada Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin saat ini mengacu kepada Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan dan
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Banjarmasin.
Ada 2 kategori Akta Kelahiran yaitu akta kelahiran umum dan
akta kelahiran istimewa. Akta kelahiran umum diberikan kepada anak
usia 0 s/d 2 bulan. Sedangkan akta kelahiran istimewa diberikan kepada
anak usia 2 bulan keatas dan seterusnya.
Berdasarkan pasal 27 Ayat ( 1 ) Undang-undang No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahawa “ Setiap
kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di
tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 ( enam puluh )
hari sejak kelahiran.
Selanjutnya pada pasal 32 Ayat ( 1 ) disebutkan bahwa “