BAB I PENDAHULUAN Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan imam Ahmad bin Hambal, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebahagian besar umat Islam. Bagi ilmuwan, selain imam mazhab yang empat tersebut, juga dikenal seperti imam Daud Az-Zhahiri, imam Ibnu Hazm, imam Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah dan imam mujtahid lainnya. Akan tetapi untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas.bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazhab saja. Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak fanatik kepada satu mazhab. Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya. Di 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Para imam mujtahid seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan imam
Ahmad bin Hambal, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebahagian besar umat
Islam. Bagi ilmuwan, selain imam mazhab yang empat tersebut, juga dikenal
Imamiyah dan imam mujtahid lainnya. Akan tetapi untuk mengetahui pola
pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas.bahkan ada yang
cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu atau karena ilmu yang
diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazhab saja.
Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi
jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat
pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari
alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak
fanatik kepada satu mazhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-
kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan
pendapatnya. Di bawah ini akan dikemukakan tokoh imam mazhab Ibnu Hazm
berdasarkan pada pola pemikiran dan dasar-dasar istinbath hukum-hukum imam
mazhab tersebut.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil Singkat Ibnu Hazm
Nama lengkap Ibnu Hazm adalah ‘Ali bin Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn
Ghalib ibn Shalih ibn Khallaf ibn Ma’dan ibn Sufyan ibn Yazid. Ia dilahirkan
pada tanggal 7 November 994 M bertepatan dengan hari akhir bulan Ramadhan
384 H, yaitu pada waktu sesudah terbit fajar sebelum munculnya matahari pagi
‘idul fitri di Cordova, Spanyol. Ia meninggal dunia pada tanggal 20 Sya’ban 456
H atau 15 Agustus 1064 M.
Kalangan penulis klasik maupun kontemporer memakai nama singkatnya
yang popular adalah Ibnu Hazm, dan terkadang dihubungkan dengan panggilan
Al-Qurthubi atau Al-Andalusia sebagai penisbatan kepada tempat kelahirannya,
Cordova dan Andalus. Sebagaimana sering pula dikaitkan dengan sebutan Al-
Zahiri sehubungan dengan aliran fiqh dan pola pikir Al-Zahiri yang dianutnya.
Sedang Ibnu Hazm sendiri memanggil dirinya dengan Ali atau Abu Muhammad
sebagaimana ditemukan dalam karya-karya tulisnya.
Ibnu Hazm berketurunan Persia, kakeknya Yazid adalah orang Persia,
kemudian memeluk agama islam setelah ia menjalin hubungan dan melakukan
sumpah setia kepada Yazid ibn Abu Sufyan; saudara kandung Mu’awiyyah
khalifah pertama Bani Umayyah. Dengan jalan sumpah setia ini, ia dan
keluarganya (Bani Hazm) dimasukkan dalam satu Quraisy, sekalipun nenek
moyangnya berbangsa Persia. Kemudian kakeknya beserta keluarga Bani
Umayyah bersama-sama pindah ke Andalusia dan mendirikan kekuasaan disana,
keluarga bani Hazm lalu tinggal di mantalisyam, suatu kota kecil yang merupakan
pemukiman orang Arab di Andalusia; dimana mereka hidup dengan kemewahan
dan kedudukan yang amat terhormat. Karena itulah Ibnu Hazm dan keluarganya
memihak kepada Bani Umayyah.
2
Dari sini disimpulkan bahwa Ibnu Hazm sudah menjadi ahli di bidang
hadits terlebih dahulu sebelum kemudian menjadi ahli fiqh. Pada mulanya Ibnu
Hazm belajar fiqh mazhab Maliki sebagai mazhab yang banyak dianut oleh
masyarakan Andalusia kala itu, dia belajar kitab karangan imam Malik yang
terkenal yaitu al-Muwattha’ kepada Ahmad bin Duhun (Mufti Cordova), sehingga
benar-benar menguasai fiqh Imam Malik.disamping belajar fiqh mazhab maliki
dipelajari juga kita Syafi’I yang mengkritik Imam malik dalam masalah Usul dan
Furu’ yaitu ikhtilaf al-Malik. Dari pengalaman inilah dia pindah dari mazhab
Maliki ke mazhab Syafi’I, pemahamannya terhadap mazhab syafi’I membuat dia
kagum terhadap prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam Syafi’I sehingga
menjadikannya orang yang fanatik berpegang teguh pada mazhab tersebut. Ibnu
Hazm kembali tidak puas, akhirnya Ibnu Hazm berpindah mazhab dan lebih
condong kepada mazhab Zhahiriyyah dengan imamnya Daud bin Ali bin Khalaf
al-Asbuhani. (202 – 270 H) 1.
Ibnu Hazm juga belajar di Madrasah Andalisiyyah yang mengajarkan fiqh
dengan metode pembahasan yang berpedoman pada atsar (riwayat sahabt) dalam
berijtihad. Tokoh-tokoh ulama yang mengajar di madrasah ini banyak menulis
buku-buku yang berharga dan berpengaruh bagi pemikiran Ibnu Hazm seperti
kitab-kitab di bidang hadits, Ahkam Al-Qur’an, tarikh dan fiqh karya Qasim ibn
Asbagh al-Qurthubi. Ahmad ibn Khalid, dan Muhammad ibn aiman.
Ibnu Hazm dikenal dengan ilmunya yang luas. Ia tidak hanya dikenal
sebagai seorang muhaddits dan fiqh, namun ia juga adalah seorang yang ahli di
berbagai bidang seperti Ushul fiqh, sastra Arab, sejarah, mantiq, filsafat, ilmu
kalam, dan ilmu perbandingan agama.2
B. Prinsip-prinsip yang beliau pegang
Dia seorang penghafal hadits, dia mengetahui dengan mendalam keadaan
para perawi. Ia seorang tokoh fiqh yang menhidupkan fiqh zhahiri atau
1 Ibnu Hazm, Al-Ushul wa Al-Furu’, Daar Nahdhah Al-Ilmiyyah, (Cairo 1978), hlm.52 Rahman Alwi, Metode Mazhab al-Zahiri alternative Menyongsong Modernitas, Cet.1,
(Jakarta:gaung Persada Press, 2005), hlm. 38
3
menghidupkan ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Ia memperlihatkan bahwa Alquran
dan cakupannya dapat menampung setiap peristiwa hukum di setiap tempat dan
masa. Walaupun mengembangkan mazhab zhahiri, namun bukan peniru Daud.
Tetapi Minhaj Daudlah satu-satunya minhaj yang hanya mengungkapkan hukum
dari Alquran dan as-Sunnah, tanpa menggunakan qiyas atau takwil, tentulah dia
memilih jalan Dhahiri. Dia meninggalkan segala pendapat yang selain zahir
Alquran dan as-Sunnah walaupun imam besar yang mengatakannya. Dia
mendebat ahli-ahli falsafah. Semua ulama semasanya mengakui hal ini.3
Itulah sebabnya Ibnu Hazm memilih mazhab zhahiri karena dalam mazhab
ini tidak ada orang yang ditaklidi. Mazhab ini adalah mazhab al-Kitab, as-Sunnah
dan Ijma’ sahabat. Masing-masing tokoh mazhab ini langsung membina
mazhabnya, tanpa bertaklid kepada seorang imam.
Terlintas kesan bahwa pemahaman keagamaan pada diri Ibnu Hazm pasti
tidak berpedoman kepada kemampuan nalar akal, padahal pada kenyataannya,
Ibnu Hazm menjadikan akal sebagai asas dan pedoman dalam pemikiran
keislamannya. Ibnu Hazm meyakini bahwa apapun perintah, larangan dan
kebolehan yang diizinkan Allah SWT harus berpedoman kepada nash, tidak boleh
ada upaya untuk melakukan ta’wil (pemahaman secara metaforis) maupun ta’lil
(pencarian ‘illat atau motivasi hukum).
Maka semua nash al-Qur’an dan hadits baik yang berkaitan dengan aqidah
maupun yang berkaitan dengan hukum, menurutnya harus dipahami sesuai arti
lahirnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm tidak bertaklid kepada seorangpun bahkan
minhaj ini adalah minhaj badahi Dharuri. Berdasarkan minhaj ini, yaitu
keharusan mengikuti al-Qur’an, mengikuti as-Sunnah dan mengikuti Ijma’
sahabat. Maka Ibnu Hazm mengharamkan taklid dan mengajak para ulama
mencengah taklid dalam segala bidang agama, ‘amaliyah dan ‘ilmiyah. Ibnu
Hazm berpendapat bahwa taklid itu bid’ah. Ibnu Hazm menetapkan bahwasannya
3 Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet 1, (Semarang : Pustaka rizki Putra, 1997), hlm. 553
4
para sahabat dan para tab’in telah berijma’ untuk tidak membolehkan seseorang,
mengambil segala pendapat seseorang imam tanpa menyaring dan membahas
pendapat-pendapat itu.4
C. Metode istinbath yang beliau gunakan
Metode yang diterapkan oleh Ibnu Hazm dalam usaha mengistinbatkan
suatu permasalahan hukum seperti telah diungkapkan, sebagai sumber dan
rujukan utamanya senantiasa berpulang kepada makna literal dari pada nash-nash.
Jika sekiranya ia tidak menemukan sesuatu ketentuan hukum dari ketiga sumber,
yaitu al-Qur’an, al-Sunnah serta al-Ijma’ sahabat pada khususnya, maka
selanjutnya barulah ia menggunakan suatu prinsip sistem istinbath, yang
dinamakannya dengan istilah al-Istishab.5 Dan teori-teori yang berhubungan
dengan sumber-sumber hukum tersebut menurut ibnu Hazm, adalah sebagai
berikut :
1. Alquran
Yaitu sumber yang paling pokok dalam syariah, sumber-sumber yang lain
pun merujuk padanya. Adapun kedudukan Alquran adakala sudah dipahami dari
konteks kalimatnya sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan dari Hadits, dan
adakalanya pula membutuhkan penjelasan dari Hadits. Seperti penjelasan ayat
yang mujmal yang membutuhkan perincian, semisal ayat tentang salat, puasa,
zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadits. Dan penjelasan Alquran ini
kadangkala jelas bisa langsung difahami dan adapula yang tidak langsung bisa
memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai terhadap hal
tersebut. Allah Swt berfirman:
تعلمون ال كنتم ان الذكر أهل فسألوا
4 Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab,…,hlm.3135 Ibnu Hazm, Al-Ihkam Fi usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’Atif, 1978, hlm.76, dan
Muhammad Abu Zahrah, Tarekh Al-Mazahib Al-Islamiyyah, Dar Al-Fikr Al-Araby, Cairo, 1952, hlm. 592.
5
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak
mengetahui ” (an Nahl: 43 dan al Anbiya: 7).
Ibnu Hazm berkomentar tentang penjelasan Alquran ini. “penjelasan
terhadap al Quran ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan yang
lain akan samar yang menyebabkan seeorang cepat memahami dan sebagian yang
lain akan lambat memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang
menjelaskannya. Dari hal inilah akan muncul perbedaan pemahaman”.
Ibnu Hazm juga mengingkari adanya kontraversi antara ayat-ayat al Quran
dengan berkata: “Sungguh benar tidak ada kontraversi dan perselisihan dalam
Alquran. Bukti terhadap hal itu adanya al Quran sebagai wahyu, sekiranya kita
jumpai kontraversi dalam al Quran berarti kita juga akan menjumpai perselisihan,
sedangkan Allah Swt telah menafikan perselisihan di dalamnya melalui
firmanNya:
: النساء ( كثيرا اختالفا فيه لوجدوا عندغيرالله من كان (82ولو
“Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an-Nisa: 82).
Berdasarkan pada keterangan ini, maka Ibnu Hazm menyatakan bahwa al-
Qur’an dari segi banyaknya terbagi kepada tiga bagian :
a) Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan bayan lagi baik al-Qur’an
maupun hadits.
b) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur’an sendiri
c) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Sunnah (hadits).6
2. Al-Sunnah.
Sumber kedua menurut Ibnu Hazm adalah al-Sunnah, yaitu meliputi
perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW. Alquran dan al-Sunnah adalah
6 Rahman Alwi, Metode mazhab Al-Zahiri Alternatif menyongsong Modernitas,…,hlm.74
6
dua sumber hukum yang saling melengkapi, keduanya mempunyai kekuatan yang
sama dalam menetapkan hukum, dan sumbernya satu yaitu Allah SWT.
Sunnah qauliyyah yang terdiri dari awamir dan nawahi harus diambil
zahirnya, bahwa perintah menunjukkan kepada kewajiban dan larangan
menunjukkan kepada keharaman, semuanya menuntut untuk dilakukan dengan
segera kecuali ada hal lain yang menunjukkan kebalikannya. Sunnah fi’liyah Nabi
tidak menunjukkan kepada arti wajib tapi sunnah, karena perbuatan Nabi adalah
merupakan qudwah, kecuali perbuatan-perbuatan yang menjelaskan kepada
perintah, seperti perbuatan Nabi yang sebelumnya atau sesudahnya terdapat nash
tentang perbuatan Nabi tersebut. Sedang Taqrir Nabi menunjukkan pada ibahah.
Sunnah Mutawatirah menurut Ibnu Hazm tanpa membatasi jumlah perawi,
asalkan perawi terjamin dari perbuatan dosa, hal tersebut karena tidak ada dalil
yang membatasi jumlah perawi. Jika sebuah hadits sampai pada derajat mutawatir,
maka harus diamalkan dan dapat menjadi hujjah. Sedangkan sunnah ahad,
“manaqalu al-wahid ‘an al-wahid” hingga sampai kepada Rasulullah SAW, harus
diterima jika diriwayatkan oleh orang yang tsiqah. Keberadaan hadits mauquf dan
mursal ditolak oleh Ibnu Hazm sebagai hujjah, hal tersebut karena menurut Ibnu
Hazm tidak semua sahabat Nabi adalah orang yang adil, bahkan di antara mereka
ada yang murtad dan munafik. Namun menurut Ibnu Hazm kedua jenis hadits
tersebut dapat diterima menjadi hujjah jika ada ijma’ yang sah terhadap makna
hadits tersebut. Al-Sunnah yang mutawatir dan ahad menurut Ibnu Hazm dapat
menasakh Al-Qur’an, namun nasakh hanya terjadi pada masa Rasulullah, maka
ketika Rasulullah wafat dan wahyu berhenti, tidak mungkin terjadi nasakh
kembali. Karena untuk menasakh suatu hukum sebuah nash diperlukan nash yang
lain, dan nash tersebut terputus dengan wafatnya Nabi. Jika seandainya sebuah
nasakh baru diketahui setelah wafatnya nabi, bukan berarti nasakh tersebut terjadi
setelah wafatnya Nabi.7
Mengenai khususnya al-Sunnah ini, Ibnu hazm memandangnya sebagai
salah satu nash yang ikut membina syari’at, meskipun kehujjahannya sebenarnya
di ambil dari al-Qur’an itu sendiri. Hal ini tidak berbeda apa yang dimaksudkan
7 Ibnu Hazm, Al-Ihkam Fi usul Al-Ahkam, Jilid I, Maktabah’Atif, …, hlm.518
7
oleh Imam Syafi’I dalam memandang Alquran dan al-Sunnah, yaitu dua hal yang
satu sama lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan, dan keduanya
(alquran dan al-Sunnah) disebut sebagai “nusus”.8
3. Ijma’
Sumber pokok ketiga dalam berinsibath menurut Ibnu hazm adalah Ijma’
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ adalah hujjah kebenaran
yang meyakinkan di dalam agama islam.9 Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya
dari zhahir beberapa ayat:
a) Surat An-Nisa’ : 115
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu10 dan kami
masukkan ia ke dalam jahanamitu seburuk-buruknya tempat kembali “.
b) Surat Ali Imran: 103
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai”.
c) Surat Al-Anfal :46
8 Muhammad Abu Zahrah, Tarekh Al-Mazahab al-Islamiyyah, op.cit, hlm. 5879 Ibid,…,hlm. 52510 Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
8
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
d) Surat An-Nisa’: 82
“kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.
Keempat ayat tersebut menurut Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya
tentang kehujjahan ijma’. Dan mencela perbedaan karena perbedaan mengarah
kepada perpecahan, dalam agama hanya ada dua hal, ijma’ atau ikhtilaf, dan kita
harus mengambil Ijma’.11 Dan ijma’ yang menjadi hujjah adalah ijma’ para
sahabat Rasulullah SAW, berdasarkan :
a) Karena Ijma’ yang demikian (para sahabat) tidak diperselisihkan oleh
siapapun, maka kesepakatan (Ijma’) para sahabat tanpa ada perbedaan adalah
Ijma’yang qath’I, sahih.
b) Karena Agama Islam telah sempurna (Al-Maidah : 3), sehingga tidak boleh
hukumnya menambah-nambah sesuatu yang telah sempurna. Untuk
mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT harus melalui Rasul-Nya,
dan para sahabat Rasul adalah mereka yang selalu bersama, melihat dan
mendengerkan ajaran Rasul tentang keinginan Allah SWT, maka Ijma’
merekalah Ijma’ yang wajib diikuti.12
c) Ijma’ yang demikian adalah Ijma’ yang berdasarkan nash Alquran dan al-
Sunnah. Hal tersebut karena para sahabat hidup pada masa Rasulullah dan
banyak belajar dari beliau, maka menurut Ibnu Hazm, apa yang mereka
sepakati adalah Ijma’ yang wajib diikuti, karena Ijma’ tersebut dinukil dari