Asas Praduga Tak Bersalah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Kelas B Indah Banjarsari / 1306380872 Miranti Verdiana / 1306406934 Nadia Oktaviana / 1306381055 Sofia Ardiani / 1306450273 Syariful Alam / 1306450140
Asas Praduga Tak Bersalah
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Kelas B
Indah Banjarsari / 1306380872
Miranti Verdiana / 1306406934
Nadia Oktaviana / 1306381055
Sofia Ardiani / 1306450273
Syariful Alam / 1306450140
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam
karena atas izin dan kehendakNya makalah ini dapat kami
selesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun yang kami bahas
dalam makalah ini ialah mengenai asas praduga tak bersalah di
dalam hukum beracara.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang
dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan mengenai hal yang
berkaitan dengan penulisan makalah ini. Kami menyadari akan
kemampuan kami yang masih kurang. Dalam makalah ini kami sudah
berusaha semaksimal mungkin, tetapi kami yakin makalah ini masih
banyak kekurangan. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari orang-orang di sekitar kami, sehingga kendala-
kendala yang kami hadapi dapat teratasi. Untuk itu kami
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H.,
M.H. dan Pak Wahyu Andrianto S.H., M.H. selaku pengajar mata
kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik membangun
demi memperbaiki diri kami dalam pembuatan makalah untuk
kedepannya. Harapan kami makalah ini dapat menjadi referensi bagi
kami sendiri untuk mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar
makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.
Jakarta, 7 September 2015
i
Daftar Isi
Kata Pengantari
Daftar Isi ii
I. Pendahuluan1
1.1 Latar Belakang1
1.2 Rumusan Masalah2
1.3 Tujuan Penulisan 2
II. Isi 3
2.1 Latar Belakang Asas Praduga Tak Bersalah3
2.2 Pengertian Asas Praduga Tak Bersalah6
2.3 Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Hukum Peradilan Tata
Usaha13
III. Penutup15
3.1 Kesimpulan15
Daftar Referensi17
ii
BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Untuk dapt melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya,
badan-badan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum
yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang akan
terjadi jika kaedah-kaedah hukum yang telah diadakan tidak
ditaati atau dilanggar oleh masyarakat. Adapun kaedan hukum
yang demikian itu dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formil,
yaitu kaedah hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan
sesuatu perkara ke muka suatu badan peradilan dan bagaimana
Hakim memberi putusan.
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, membedakan antara empat
lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan
wewenang mengadili perkara-perkara tertentu, dan meliputi
badan-badan peradilan/pengadilan tingkat pertama dan tingkat
banding. Dalam hal Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
di Indonesia sejak tahun 1986 telah memiliki Peradilan Tata
Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha
Negara bersama-sama dengan Peradilan Agama dan Peradilan
Militer merupakan Peradilan Khusus mengadili perkara-perkara
tertentu atau mengenai golongan tertentu. Sedangkan
Pengadilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya,
baik mengenai perkara pidana, maupun perkara perdata.
Keempat lingkungan peradilan tersebut berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Undang-Undang Dasar 1945 juga mengatur adanya Peradilan Tata
Usaha Negara, sebagaimana dalam Pasal 24 ayat (2) yang
berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan bukan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkunga peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”.
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sangatlah mendasar
dalam sebuah negara hukum dan di samping itu sebagai
intitusi perlindungan terhadap warganegara dari sikap tindak
administrasi negara yang sewenang-wenang. Di sisi lain
perlindungan pula bagi administrasi negara dalam menjalankan
tugas dan fungsinya.. Terkait hal tersebut, maka jelas
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan
memiliki asas-asas dalam melakukan penegakan hukum, salah
satunya adalah asas praduga tak bersalah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah latar belakang asas praduga tak bersalah?
2. Apa yang dimaksud asas praduga tak bersalah?
3. Bagaimana penerapan asas praduga tak bersalah dalam Hukum
Tata Usaha Negara?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1) Mengetahui latar belakang adanya asas praduga tak
bersalah
2) Mengetahui pengertian asas praduga tak bersalah dalam
hukum acara di Indonesia
3) Mengetahui penerapan asas praduga tak bersalah sebagai
asas hukum acara di Indonesia
Bab 2
Isi
2.1 Latar Belakang Asas Praduga Tak Bersalah
a. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum. Suatu negara yang berdasarkan atas hukum
harus menjamin persamaan setiap individu, termasuk
kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya.
Kedudukan dan hubungan individu dengan negara menurut
teori negara hukum Sudargo Gautama bahwa “…..dalam suatu
negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaaan negara
terhadap perseorangan, negara tidak maha kuasa. Negara
tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara
terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Untuk mewujudkan
cita-cita negara hukum, adalah syarat mutlak bahwa rakyat
juga sadar dengan hak-haknya dan siap sedia untuk membela
hak-haknya.1
Scheltema menyatakan bahwa unsur-unsur dari sebuah negara
hukum adalah2:
a. Kepastian hukum
b. Persamaan
1 Sudargo Gauatama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983),hlm 3.
2 Scheltema, De Rechstaat, sebagaimana dikutip oleh M. Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 70.
c. Demokrasi
Philipus M. Hadjon mengemukakan ciri-ciri negara hukum
sebagai berikut3:
a. Adanya UUD atau kosntitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat
b. Adanya pembagian kekuasaan negara
c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat
Dari dua pendapat ahli tersbeut mengenai negara hukum,
menunjukan dengan jelas bahwa ide sentral dari negara
hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia yang bertumpu pada prinsip persamaan dan
kebebasan.
Menurut Jimly Asshiddiqie mengemukakan 13 ciri penting
sebuah negara hukum yang salah satunya adalah
perlindungan hak asasi manusia, dimana adanya perlindugan
konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan
hukum bagi tuntutan penegaknya melalui proses hukum yang
adil merupakan pilar penting dalam negara hukum. Jika
dalam suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau
dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang
ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka
3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm 76.
negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai
negara hukum dalam arti yang sesungguhnya4
Pengertian Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”. Selanjutnya dalam Pasal 4 disebutkan
bahwa HAM adalah hak yang melekat sejak manusia itu lahir
sehingga merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun.
Manusia diciptakan Sang Pencipta dilengkapi dengan
haknya. Oleh karena itu, hak yang melekat pada jati diri
manusia sangat mendasar atau asasi. Hak asasi manusia
sangat fundamental dimana bahwa manusia dilahirkan
merdeka dan memiliki hak yang sama. Sebagai manifestasi
dari hak yang sama itu adalah asas bahwa manusia harus
dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan. Dari uraian
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa asas praduga tak
bersalah berakar dari Hak Asasi Manusia yang bersifat4 Jimly Asshiddiqie, Prinsip Pokok Negara Humum, http://www.jimly.com/pemikiran/view/11 dalam Hermawan Sulistyo, et.al., Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Society, (Jakarta: Pensil 324, 2009), hlm 40.
universal. Pengaturan suatu asas, dalam hal ini praduga
tak bersalah sebagai HAM, untuk menegakan dan
melindunginya sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis.5 Disamping itu, asas ini disebutkan dalam
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan
dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak
pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan.
Asas praduga tak bersalah sebagai Hak Asasi Manusia juga
diakui oleh Prof. Andi Hamzah (Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Trisakti) bahwa praduga tidak bersalah adalah
hak-hak tersangka sebagai manusia dan harus diberikan.
b. Menurut Oemar Seno Adji, asas praduga tak bersalah
merupakan prinsip yang penting dalam hukum acara, karena
prinsip praduga tak bersalah menyatakan bahwa seseorang
tertuduh harus dipandang tidak bersalah hingga terbukti
kesalahannya. Asas ini mengandung unsur kepercayaan
terhadap seseorang dalam hukum, dan merupakan suatu
penolakan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dalam
suatu Negara yang berpendapat bahwa seseorang itu
dipandang salah hingga terbukti bahwa ia tidak bersalah.6
5Amelda Yunita,Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Proses Peradilan Pekara Tindak Pidana Terorisme. Tesis Program Magister Ilmu Hukum FHUI, (Jakarta: Program Pasca Sarjana, 2011), hlm 36.6 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm 40.
Herbert L. Packer dalam bukunya The Limit of Criminal Sanction
memperkenalkan dua pendekatan untuk mengenal atau
memahami macam-macam penyelenggaraan peradilan pidana,
yaitu Crime Control Mode dan Due Process Model. Dalam Crime
Control Mode (CCM) didasarkan atas anggapan bahwa
penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk
menindas perilaku kriminal sebab dalam hal ini yang
diutamakan adalah ketertiban umum dan efisiensi dan pada
dasarnya berlaku apa yang disebut praduga bersalah.
Kemudian dalam Due Process Model (DPM) terdapat suatu konsep
perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan
dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Jadi, proses
kriminal harus dapat dikendalikan untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan dalam rangka memaksimalkan
efisiensi. Dalam DPM berlaku praduga tak bersalah.7
Freidmann juga menyatakan bahwa asas praduga tidak
bersalah menjadi bagian dari due process of law, telah
melembaga dalam proses peradilan dan kini telah melembaga
pula dalam kehidupan sosial. Pandangan ini menyebabkan
penghormatan akan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam
rangka pelaksanaan asas ini, bukan hanya menjadi
kewajiban aparatur penegak hukum, tetapi juga menjadi
kewajiban bagi semua orang, semua pihak yang menjadi
7 Ansori Sabuan, Syarifuddin Pettanesse, Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, edisi I, (Bandung : Angkasa, 1990), hlm 6.
stakeholder kehidupan sosial.8 Selanjutnya pernyataan ini
didukung pula oleh pendapat Mardjono Reksodiputro bahwa
unsur-unsur dalam asas praduga tak bersalah ini adalah
asas utama perlindungan hak warga negara melalui proses
hukum yang adil (due process of law) yang mencakup sekurang-
kurangnya:9
a. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari
pejabat negara
b. Bahwa pengadilan lah yang berhak menentukan salah
tidaknya terdakwa
c. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh
bersifat rahasia)
d. Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan
jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-
penuhnya.
2.2 Pengertian Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah dapat diartikan bahwa setiap
orang yang dituntut karena melakukan suatu pelanggaran
pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu pengadilan
8 Kumpulan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana, Laboratorium Pusat Data Hukum Fakultas Hukum Universitas UAJY, Yogyakarta, 2007.
9 Mardjono Reksodiputro, Hak-Hak Tersangka Dalam KUHAP Sebagai Bagian Dari Hak-Hak Warganegara (Civil Right), dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1995), hlm 17.
yang terbuka, dan ia dalam sidang itu diberi segala
jaminan yang perlu untuk pembelaannya.Jadi, seseorang itu
baru dapat dianggap bersalah jika telah dibuktikan
kesalahannya itu melalui sidang pengadilan.
Sebelum kesalahan seseorang dibuktikan melalui proses
pembuktian di persidangan, ia wajib dianggap tidak
bersalah. Inilah yang disebut sebagai asas praduga tak
bersalah, yang sebenarnya merupakan suatu perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, dimana asas ini telah
dicantumkan dalam Universal Declaration of Human Rights article
11 yang berbunyi “Setiap orang yang dituntut karena
disangka melakukan suatu pelanggaran hukum dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum
dalam suatu pengadilan yang terbuka, dimana dia
memperoleh semua jaminan yang diperlukannya untuk
pembelaannya.
Selain itu, asas ini juga ditemukan didalam International
Covenant on Civil and Political Right 1966 artikel 14 point 2 yaitu
“Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan
menurut hukum”. Singkatnya, setiap orang berhak untuk
dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti
secara sah dalam sidang yang mengadili perkaranya,
barulah setelah melalui pemeriksaan dalam suatu
pengadilan dan kesalahannya dapat dibuktikan serta
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT)
telah dijatuhkan maka asas praduga tak bersalah menjadi
gugur.
Dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman secara tersurat dicantumkan dalam Pasal 8 ayat
(1) yang menyatkan bahwa, “Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di
depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas tersebut
juga disebut dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yaitu pada bagian
Penjelasan Umum Butir 3 c, yang menyatakan bahwa “Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan
atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tepat.10
Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa “Apabila
seorang terdakwa mengakui terus terang kesalahannya,
belum tentu ia harus dihukum. Pengakuan terdakwa harus
berdasar pula atas kebenaran. Mengenai hal ini, juga
telah ditegaskan oleh undang-undang bahwa “Keterangan
10Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana, cet. 2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm 192.
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.11”.
Jadi, walaupun seseorang itu mengakui kesalahannya, belum
cukup bagi hakim untuk menyatakan bahwa ia bersalah,
apalagi jika seseorang itu belum diperiksa melalui sidang
pengadilan.
Pengertian Asas Praduga Tidak Bersalah Menurut Nico
Keijzer dalam buku Mien Rukmini yaitu bahwa tersangka
dianggap tidak bersalah dalam arti kasus yang sebenarnya.
Hal ini terkait penyidikan, penangkapan dan penahanan.
Pengertian Asas Praduga Tidak Bersalah tidak berkaitan
dengan fakta-fakta, tetapi berkaitan dengan peraturan-
peraturan dan prosedur yang pokok dalam proses peradilan
pidana. Dikatakan bahwa tersangka/terdakwa tidak atau
belum dianggap bersalah dan tidak harus membuktikan
ketikdakbersalahannya sendiri, tetapi nanti ditentukan
oleh pengadilan yang adil, yang memberi kesempatan kepada
mereka untuk membela dirinya sendiri dan mereka ini harus
diperlakukan sama sebagaimana orang tidak bersalah.12
11 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 189 ayat (4).
12Rukmini Mien, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm 244.
Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis
yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan
“prinsip akusatur” atau accusatory procedure (accusatorial system).
Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa
dalam setiap tingkat pemeriksaan:
1. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena
itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai
harkat martabat dan harga diri
2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator
adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan
tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan
ditujukan.13
Dalam konsep praduga tak bersalah, yang menjadi pokok
permasalahannya adalah bersalah menurut hukum. Contohnya;
bila ada orang gila membunuh perawatnya, secara hukum
orang gila tersebut tidak bersalah. Pengakuan terhadap
asas praduga tak bersalah ini dalam hukum acara pidana
yang berlaku di negara kita adalah dimaksudkan untuk:
a. Memberikan perlindungan dan jaminan terhadap
seseorang yang disangka melakukan tindak pidana
(tersangka) atau telah dituduh melakukan tindak
pidana (tertuduh) dalam proses pemeriksaan perkara
pidana agar jangan sampai diperkosa hak asasinya
13Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm 40.
b. Untuk memberikan arah dan pedoman bagi para petugas
penegak hukum yang melakukan pemeriksaan perkara
sekaligus membatasi tindakannya dalam melaksanakan
pemeriksaan.14
Selain dua point diatas, Prof. Andi Hamzah juga
menyebutkan tujuan dari asas praduga tak bersalah yaitu
“Untuk mencari dan atau mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan.15”
Asas praduga tak bersalah dan pengaturannya dalam Hukum
Acara Perdata secara yuridis tidak disebut dalam HIR/Rbg
sedangkan KUHAP mengatur mengenai asas praduga tak
bersalah. Oleh karena itu, asas praduga tak bersalah
lebih dikenal dalam perkara pidana. Namun, pada dasarnya
sebagai asas umum hukum acara, asas praduga tak bersalah14 S. Tanusubroto, SH, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: CV. ARMICO, 1989), hlm. 19-20.
15Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 18.
juga dikenal dalam perkara perdata, mengingat dasar
filosofis lahirnya asas praduga tidak bersalah, yaitu
persamaan di depan hukum dan realisasi hukum yang
diberikan hakim melalui putusannya dianggap sebagai
kebenaran.
Realisasi penerapan asas praduga tidak bersalah dalam
perkara perdata didasarkan ketentuan Pasal 118 ayat (1)
HIR/124 ayat (1) Rbg yang mengharuskan gugatan diajukan
kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat, dikenal
dengan asas actor sequitor forum rei. Berdasarkan asas ini,
seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke
Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat karena
tergugat belum tentu bersalah atau gugatan si penggugat
belum tentu dikabulkan oleh pengadilan. Asas actor sequitor
forum rei yang terkandung dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/124
ayat (1) Rbg menginginkan agar si tergugat tetap
dihormati dan diakui hak-haknya selama belum terbukti
kebenaran gugatan penggugat dalam bentuk putusan yang
sudah berkekuatan hukum tetap, oleh karena itu, tergugat
tidak dapat dipaksa untuk berkorban demi kepentingan
pihak penggugat yang tidak tinggal sekota dengan si
tergugat. 16
16E. Nurhaini Butarbutar, Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan dan Pengaturannya dalam Hukum Acara Perdata, 2011, hlm 476, http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/175 diakses pada tanggal 5 September 2015 pukul 20:50.
Penyimpangan atas asas tersebutdapat dilakukan apabila
tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang nyata atau
tidak dikenal, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri
tempat tinggal penggugat. Apabila gugatan mengenai benda
tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan
Negeri tempat benda itu berada sesuai dengan asas forum
rei sitae. Apabila ada perjanjian yang memuat pilihan
hukum, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat hukum yang dipilih.
Asas actor sequitor forum rei ini berkaitan dengan asas
persamaan di depan hukum yang terkandung dalam Pasal 4
ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang. Berdasarkan asas persamaan ini, maka
semua manusia dipandang sama sehingga harus diperlakukan
sama.
Asas persamaan dalam hukum acara perdata dikenal dengan
asas audi et alteram partem. Asas persamaan dalam audi et alteram
partem memberi kesempatan kepada tergugat untuk menjawab
gugatan dari penggugat baik dalam bentuk eksepsi, bahkan
dalam bentuk rekonvensi atau gugat balik. Penggugat juga
diberi kesempatan untuk menjawab jawaban tergugat dalam
bentuk replik dan sebagainya tergugat dapat menjawab
replik dengan mengajukan duplik. Menurut Prof. DR.
Sudikno Mertokusumo, S.H.17 asas audi et alteram partem
merupakan asas dimana Hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila
pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan
untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu juga berarti
bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang
yang dihadiri kedua belah pihak. Dalam acara jawab-
menjawab ini hakim harus mendengar secara bersama-sama
peristiwa yang diajukan oleh kedua pihak.
Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara
perdata, dapat juga direalisasikan berdasarkan asas actori
in cumbit probation dalam hal pembuktian. Dalam perkara
perdata, yang wajib membuktikan adalah para pihak, bukan
hakim. Hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk
mengajukan alat-alat bukti, atau hakimlah yang membebani
para pihak dengan pembuktian. Menurut Pasal 163 HIR/Pasal
283 Rbg dan Pasal 1865 KUH Perdata, apabila salah satu
pihak mengemukakan peristiwa atau membantah peristiwa,
maka pihak tersebut harus membuktikan peristiwa atau
bantahannya dalam persidangan. Ketentuan dalam Pasal 163
HIR/Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUH Perdata, memberikan
kewenangan bagi hakim, untuk membagi beban pembuktian
antara penggugat atau tergugat yang harus membuktikan.
Asas inilah yang dikenal dengan asas actori in cumbit probation,
17 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009), hlm 14.
siapa yang mengajukan suatu gugatan maka dia wajib
membuktikan. Ini berarti bahwa dalam perkara perdata,
yang wajib membuktikan atau mengajukan alatbukti adalah
penggugat. Penggugat wajib membuktikan peristiwa atau
gugatan yang diajukannya. Dalam hal ini, tergugat
tetapdianggap tidak bersalah sehingga tidak dibebani
beban pembuktian kecuali apabila tergugat mengajukan
bantahan, maka ia wajib membuktikan bantahannya. Risiko
beban pembuktian adalah apabila salah satu pihak yang
dibebani dengan pembuktian tidak dapat membuktikan, maka
ia harus dikalahkan. Apabila penggugat tidak dapat
membuktikan peristiwa yang diajukannya, maka ia harus
dikalahkan, sebaliknya apabila tergugat tidak dapat
membuktikan bantahannya, maka ia juga harus dikalahkan.
Lalu, di dalam peradilan Tata Usaha Negara juga
diberlakukan asas praduga tak bersalah seperti yang
dikenal dalam hukum acara pidana. Di mana seorang pejabat
Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah di dalam
membuat suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang menyatakan ia salah di dalam membuat suatu keputusan
Tata Usaha Negara atau dengan kata lain suatu Keputusan
tata Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak melawan
hukum) sebelum adanya putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menyatakan keputusan tersebut
tidak sah (melawan hukum). Sehingga digugatnya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan menyebabkan
tertundanya pelaksanaan keputusan tersebut.18
Jadi, asas praduga tak bersalah ini dikenal dalam hukum
acara di Indonesia, baik dalam hukum acara pidana, hukum
acara perdata, maupun hukum acara peradilan tata usaha
negara. Di dalam hukum acara pidana yang sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah
memberikan harapan baru dalam bidang penegakan hukum di
Indonesia karena lebih mengatur perlindungan terhadap
keluhuran harkat dan martabat manusia Indonesia dibanding
dengan HIR yang mana belum memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia
sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum.19
Secara umum dikatakan bahwa fungsi dari suatu undang-
undang acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan
negara dalam bertindak terhadap warga negaranya.
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum acara pidana
melindungi para tersangka dan terdakwa terhadap tindakan
penegak hukum dan pengadilan yang melanggar hukum
tersebut.20 Sebab, dalam proses peradilan pidana,
tersangka dan terdakwa tentunya merupakan pihak yang
sangat rentan mengalami penyalahgunaan kewenangan yang
18 Notohamidjoyo, Masalah Keadilan, (Semarang: Tirta Amerta, 1971), hlm 8.19Amelda Yunita, Op.Cit., hlm 41.20Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hlm 25.
dilakukan oleh penegak hukum. Maka dari itu, penegak
hukum harus benar-benar mampu melaksanakan kewenangannya
dengan benar sehingga kewenangan yang telah diberikan
oleh undang-undang tidak disalahgunakan.
2.3 Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Hukum
Peradilan Tata Usaha
Negara
Dalam Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.21
Dalam hal ini, gugatan adalah permohonan yang berisi
tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan dan
Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1 (ayat) 4.
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat
oleh orang atau badan hukum perdata.22
Penerapan asas praduga tak bersalah tentunya juga berlaku
dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan, tidak jarang
terjadi bahwa dalam kasus-kasus tertentu, suatu
“penetapan tertulis” yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara mempunyai akibat hukum yang
merugikan rakyat perorangan ataupun suatu badan hukum
perdata, sehingga timbullah Sengketa Tata Usaha Negara.
Melalui lembaga gugat, sengketa Tata Usaha Negara dapat
diselesaikan di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara.23
Dengan demikian, sebagai contoh penerapan asas praduga
tak bersalah dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara adalah ketika seseorang (X) yang memiliki rumah di
suatu daerah sejak tahun 2000, kemudian pada tahun 2015
dibangun sebuah Rumah Sakit yang jaraknya tidak berjauhan
dari rumah X mengeluarkan limbah rumah sakit yang tidak
dikelola secara bertanggung jawab sehingga menyebabkan
air di wilayah tersebut menjadi tercemar dan hal ini
mengganggu kesehatan dari X. Dalam kasus ini, X berhak
22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 1 (ayat) 5 & 6.
23 Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata UsahaNegara (Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993).
untuk menggugat Badan yang telah mengeluarkan Surat Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) terhadap rumah sakit tersebut.
Namun, selama Badan tersebut belum masuk ke tahap
pemeriksaan pengadilan dan belum diputus bersalah dan
berkekuatan hukum tetap oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara, maka Badan tersebut tidak boleh dianggap
bersalah. Itulah salah satu contoh dari asas praduga tak
bersalah dalam peradilan Tata Usaha Negara.
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Asas praduga tak bersalah ini dikenal dalam hukum acara di
Indonesia (pidana, perdata, maupun peradilan tata usaha
Negara). Indonesia sebagai Negara hukum mengakui dan
memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang
bertumpu pada prinsip persamaan dan kebebasan. Sebagai
manifestasi dari hak yang sama itu adalah manusia harus
dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan. Asas praduga tak
bersalah tercantum di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM pasal 18 bahwa setiap orang yang ditangkap,
ditahan dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak
pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan.
Selain itu asas praduga tak bersalah juga tercantum didalam
Universal Declaration of Human Rights artikel 11 bahwa
“Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu
pelanggaran hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang
terbuka, dimana dia memperoleh semua jaminan yang
diperlukannya untuk pembelaannya”.
Selain Hak Asasi Manusia, asas praduga tak bersalah juga tak
dapat dipisahkan dari penyelenggaran proses peradilan pidana
yaitu Due Process Model (Herbert L. Packer) atau Due Process
of Law (Friedman) dimana dalam hal ini terdapat suatu konsep
yaitu perlindungan hak individual (seseorang tidak boleh
dikatakan sebagai pelaku tindak pidana apabila belum ada
putusan) dan pembatasan kekuasaan (penguasa tidak boleh
menuduh seseorang adalah pelaku tindak pidana, hanya putusan
yang berkekuatan hukum tetaplah yang dapat menentukan apakah
orang tersebut pelaku tindak pidana atau bukan). Jadi, asas
praduga tak bersalah merupakan suatu asas dimana
tersangka/terdakwa belum dianggap bersalah sampai adanya
suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan bahwa
tersangka atau terdakwa tersebut bersalah.
Daftar Referensi
Peraturan Perundang-undangan
Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha
Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Buku
Azhary, M. Tahir, Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Gauatama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung:
Alumni, 1983.
Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha
Negara), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2009.
Mien, Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak
Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung: Alumni, 2003.
Notohamidjoyo, Masalah Keadilan, Semarang: Tirta Amerta, 1971.
Prodjohamidjojo, Martiman, Komentar Atas KUHAP Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia, 1995.
Sulistyo, Hermawan et.al., Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan
Civil Society, Jakarta: Pensil 324, 2009.
Sabuan, Ansorie et.al., Hukum Acara Pidana, edisi I, Bandung :
Angkasa, 1990.
Senoadji, Oemar, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,
1980.
Tanusubroto, S., Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung:
Armico, 1989.
Makalah / Karya Ilmiah
Kumpulan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta:
Laboratorium Pusat Data Fakultas Hukum Universitas UAJY,
2007.
Yunita, Amelda, “Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam
Proses Peradilan Pekara Tindak Pidana Terorisme”. Tesis,
Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2011.
Media Massa / Internet
Butarbutar, E. Nurhaini, Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan
dan Pengaturannya dalam
Hukum Acara Perdata, http:/ / dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id /
index.php / JDH / article / view / 175, tanggal 3 September 2011.