Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam membicarakan masalah “Hadis dan Orientalis”, maka
tidak jauh dari cara-cara orang barat (orientalis) yang mempunyai
intelektualisme dalam mempelajari ilmu keislaman dalam rangka
mencari kelemahan dari islam itu sendiri.
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Allah Swt. “banyak
diantara ahlul kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu
setelah kamu beriman menjadi kafir kembali karena rasa dengki dalam diri mereka,
setelah kebenaran jelas bagi mereka. Apabila kita melihat ayat tersebut
sudah jelaslah bahwa kaum orientalis tersebut menginginkan kita
mengikuti mereka dengan berbagai cara baik dari segi ekonomi,
sosial, budaya maupun dari segi keyakinan beragama seperti yang
akan dijelaskan kemudian.
Oleh Karena itu kita sebagai umat islam harus
berhati-hati terhadap mereka karena mereka mempunyai banyak cara
dalam memperjuangkan agar kita sebagai umat islam tidak lagi
mengakui islam sebagai agama dan keyakinan kita bahkan dalam
menghancurkan islam.
Salah satu cara mereka (orientalis) dalam melemahkan
atau menghancurkan keyakinan umat islam yaitu dengan mencari
kelemahan dari hadits-hadits nabi, dan tokoh-tokoh yang paling
fundamental dalam eksisnya hadits ini, mengapa ?, hal ini
1 | P a g e
Page 2
dikarenakan hadits nabi merupakan salah satu sumber kedua dari
ajaran islam setelah al-Qur’an.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian orientalis?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan orientalis?
3. Apa pengertian hadits nabawi?
4. Bagaimana asumsi orientalis terhadap hadits nabawi dan
bantahan untuk asumsi mereka?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian orientalis.
2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan orientalis.
3. Untuk mengetahui pengertian hadits nabawi.
4. Untuk mengetahui asumsi orientalis terhadap hadits dan
bantahan untuk asumsi mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Orientalis
Orientalis berasal dari kata orient, bahasa perancis, yang
secara harfiah bermakna timur dan secara geografis bermakna dunia
belahan timur dan secara etnologis bermakna bangsa-bangsa di
timur. Kata “orient” itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa,
termasuk bahasa inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang
2 | P a g e
Page 3
bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang
lingkupnya.1
Orientalisme adalah paham mengenai masalah-masalah timur
khususnya tentang negeri Arab dan Islam. Kaum orientalis adalah
para terpelajar yang menjadikan “agama Islam, kebudayaan Islam,
negeri dan bahasa arab” sebagai objek studi mereka. Lawan dari
orientalisme adalah occidentalisme yang berarti penelitian dan
pengertian mengenai agama, kebudayaan, dan negeri Barat.
Dalam kamus bahasa Indonesia orientalisme adalah ilmu
pengetahuan tentang ketimuran atau tentang kebudayaan ketimuran.
Adapun orientalis adalah ahli bahasa, kesusastraan, dan
kebudayaan bangsa-bangsa Timur (Asia).
Selain itu masih banyak lagi pendapat yang dikemukakan para
pakar tentang pengertian orientalisme, diantaranya:
a. Menurut Rudi Paret, orientalis jerman yang lahir pada tahun
1901, orientalisme adalah ilmu ketimuran (‘ilmu al-syarq)
atau ilmu tentang dunia timur (‘ilmu al-‘alam al-syarqiy)
b. Menurut A.J. Arberry. Dalam menggunakan Kamus Oxford untuk
mendefinisikan orientalis, yaitu orang yang mendalami
berbagai bahasa dan sastra dunia timur.
c. Menurut Maxime Rodinson, istilah orientalisme muncul dalam
bahasa Perancis tahun 1799 dan dalam bahasa Inggris tahun
1838. Orientalisme ini lahir untuk memenuhi kebutuhan
mewuudkan satu cabang pengetahuan khusus untuk mengkaji1Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang 1995) H 1
3 | P a g e
Page 4
dunia timur. Radinson menambahkan bahwa kebutuhan ini amat
mendesak, agar terwujud orang-orang spesialis yang siap
untuk menerbitkan berbagai majalah,mendirikan berbagai
universitas, dan berbagai departemen ilmiah.
d. Menurut Edward sa’id, kritikus orientalisme terkenal ini
menyatakan orientalisme adalah bidang pengetahuan atau ilmu
yang mengantarkan pada pemahaman dunia timur secara
sistematis sebagai suatu objek yang dapat dipelajari,
diungkapkan, dan diaplikasikan.
e. Menurut Ahmad Abdul Hamid, dalam kitabnya Ru’yah Islamiyah
li Al-Istisyraq, orientalisme adalah studi-studi akademis
yang dilakukan oleh orang-orang Barat yang kafir –khususnya
Ahli Kitab- terhadap Islam dan kaum muslimin, dari berbagai
aspeknya.
f. Menurut Dr. Muthabaqani, orientalisme adalah segala sesuatu
yang bersumber dari orang-orang Barat, yaitu dari orang-
orang Eropa dan Amerika, berupa studi-studi akademis yang
membahas masalah-masalah Islam dan kaum muslimin, di bidang
aqidah, syariah, social, politik, pemikiran, dan seni.2
Secara umum bisa didefinisikan bahwa orientalis adalah
“sekelompok orang atau golongan yang berasal dari skepti-negara
dan ras yang berbeda-beda, yang menkonsentrasikan diri dalam
berbagai kajian ketimuran, khususnya dalam hal keilmuan,
peradaban, dan agama, khususnya Negara Arab, Cina, Persia, dan
India.” Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini identik
2Zeid B Smeer, Ulumul Hadits, (Malang:UIN Press 2008) H 155-156
4 | P a g e
Page 5
ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan
untuk melakukan studi terhadap Islam dan bahasa Arab.3
2.2 Sejarah dan Perkembangan Orientalis
Tidak diketahui secara pasti, siapa orang Barat pertama yang
mempelajari orientalisme dan kapan waktunya. Satu hal yang bisa
dipastikan, bahwa sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia
bermaksud mempelajari Islam, menerjemahkan al-Qur’an, dan buku-
buku berbahasa Arab kedalam bahasa mereka serta berguru kepada
ulama-ulama Islam berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat,
kedokteran, dan metafisika. Para pendeta yang datang ke
Andalusia, diantaranya adalah:
a. Gebbert, seorang pendeta Perancis yang terpilih sebagai
pemimpin gereja Roma tahun 999 M selepas belajar di berbagai
perguruan di Andalusia dan kembali ke negaranya.
b. Pendeta Petrus (1092-1156)
c. Pendeta Gerrardi Krimon (1114-1187)
Sekembalinya para pendeta tersebut ke negaranya masing-
masing, mereka menyebarkan kebudayaan Arab dan buku-buku karangan
ulama-ulama terkenal Islam. Kemudian mereka mendirikan sekolah-
sekolah yang khusus mengkaji Islam, semisal madrasah Islam
Badawiy dan sekolah-sekolah islam lainnya yang mempelajari karya-
karya ulama Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Tidak ketinggalan mereka mendirikan universitas di Barat dan
3 Hasan rauf, Orientalisme dan misionarisme, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2007) H 3-4
5 | P a g e
Page 6
menjadikan buku-buku karangan ulama Islam sebagai rujukan utama
dan sumber yang asli kurang lebih selama 6 abad. Hasilnya, sejak
saat itu orang-orang yang concern mempelajari Islam dan bahas Arab
begitu banyak dan tidak terputus hingga al-Qur’an dan sebagian
buku-buku baik itu ilmu umum maupun ilmu agama diterjemahkan ke
dalam bahasa mereka sendiri.
Menjelang abad ke 18 yaitu abad dimana orang-orang Barat
menguasai dunia Islam dan menguasai kerajaan-kerajaannya para
pemikir Barat mulai menyebarkan paham orientalisme melalui
jurnal-jurnal yang diterbitkan di seluruh penjuru Negara dan
kerajaan Barat. Mereka mengubah makhthuthath (kepticis)
bertanggung jawab atau bahkan mencurinya dari perpustakaan-
perpustakaan umum dan memindahkannya ke perpustakaan di Negara
mereka. Jika dihitung, kepticis-literatur arab yang langka yang
pindah ke perpustakaan Eropa sampai awal abad 19 jumlahnya telah
mencapai 250.000 jilid dan terus menerus bertambah jumlahnya
hingga saat ini.
Pada tahun 1873 digelar muktamar orientalis pertama di
Paris. Muktamar serupa terus diselenggarakan sebagai wadah
pertemuan para orientalis dan wadah pengkajian isu-isu terhangat
dunia Timur baik dari sisi perkembangan keagamaan maupun
peradaban dunia Timur. Dengan demikian, orientalisme merupakan
gerakan yang telah mengakar lama dan terus berkembang merongrong
dunia Islam hingga detik ini.
6 | P a g e
Page 7
Sebagian peneliti berpendapat, sulit menentukan kapan awal
munculnya orientalisme. Sebagian lain berpendapat, bahwa awal
munculnya orientalisme pada permulaan abad 11 Masehi. Sebagaimana
disebutkan diatas, untuk menemukan serta menentukan tahun awal
munculnya orientalisme ini adalah suatu hal yang sulit, walaupun
sebagian pakar peneliti berpendapat awal mula munculnya pada
permulaan abad sebelas Masehi.
Akan tetapi pendapat yang lebih kuat dan yang paling akurat
menurut Dr. Hasan Abdul Rauf dan Dr. Abdurrahman Ghirah,
orientalisme muncul di Andalusia (Spanyol) pada abad ke tujuh
Hijriah, ketika kaum salibis Spanyol menyerang kaum muslim. Kala
itu, Alfons, raja Konstatinopel, memerintahkan seseorang yang
bernama Michael Scott untuk melakukan penelitian terhadap
disiplin ilmu-ilmu yang ada pada kaum muslim Andalusia. Segera
Scott mengumpulkan beberapa orang pendeta yang direkrut dari
beberapa kampong dekat kota Thalitha guna memulai proyek
penerjamahan dari buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa
Perancis. Setelah rampung, Scott menyerahkan salinan terjemahan
tersebut kepada raja Sicilia untuk kemudian sang raja
menghadiahkannya kepada Universitas Paris. Demikian juga
pemimpin keuskupan Thalitha, Raymond Laol, melakukan hal yang
sama, sangat bersemangat dalam proyek transliterasi karya-karya
ulam Islam Andalusia.
Seiring berjalannya waktu, orang-orang Eropa telah
mendapatkan kekayaan khazanah intelektual berupa buku-buku
7 | P a g e
Page 8
terjemahan dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu tentang
ketuhanan, kedokteran, arsitektur, astronomi, dsb. Terlebih
setelah mereka mendapatkan hak paten, berkembang di Eropa
berbagai pencetakan untuk buku-buku Islam yang dijadikan
referensi pemelajaran di berbagai sekolah dan universitas di
Eropa.
Selain pendapat yang dikemukakan di atas, ada juga peneliti
yang mengatakan bahwa orientalisme muncul pada abad ketiga
belas, di sebagian Negara-negara Eropa. Akan tetapi hal itu
disinyalir hanya merupakan usaha individu saja yang memang telah
dimulai pada abad-abad sebelumnya.
Para sejarahwan kepti sepakat bahwa gerakan orientalisme
mulai menyebar di Eropa secara pasti pasca-fase yang disebut
fase rekonsilisi agama, hal ini dibenarkan berdasarkan
kesaksian-kesaksian sejarah di Belanda, Denmark dan lainnya.
Setelah berlalunya fase rekonsiliasi agama, orang-orang
Eropa yang beragama Protestan dan Katolik merasa perlu untuk
kembali menjelaskan buku-buku agama mereka sendiri. Mereka pun
melirik studi-studi arab dan Islam, dengan melakukan
penerjemahan dan mengambil manfaat dari buku karya-karya ulama
islam yang dipegang mereka, maka berkembang orientalisme dan
berperan dalam bidang ekonomi, politik, di samping tetap berada
dalam tujuan utamanya yaitu mempersiapkan para misionaris dalam
rangka melayani tujuan-tujuan mereka.
8 | P a g e
Page 9
Bisa disimpulkan, merupakan hal yang sulit untuk menetapkan
tahun awal munculnya orientalisme dan para pengusungnya. Namun
bisa dipastikan bahwa perhatian orang-orang Barat terhadap dunia
Timur dan peradaban Islam telah merupakan hal yang sangat
mengakar sejak dulu.
Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor yang
menyebabkan munculnya gerakan orientalisme dikarenakan
pergulatan dua dunia yaitu antara Islam dan Nasrani di Andalusia
dan Sicilia. Di samping juga imbas perang Salib secara khusus
menjadi pemacu orang-orang Eropa melakukan pengkajian terhadap
dunia Islam. Dengan demikian bisa disimpulkan, sejarah
orientalisme pada fase pertama adalah sejarah tentang pergulatan
agama dan keptic antara dunia Barat yang diwakili Nasrani pada
abad pertengahan dengan dunia Timur yang diwakili Islam. Selain
itu, kuat dugaan bahwa penyebaran Islam secara pesat di Timur
dan di Barat juga menjadi salah satu penarik perhatian dunia
Barat terhadap agama Islam. Selain kegagalan pasukan Salib dalam
meruntuhkan Islam menjadi pendorong mereka concern terhadap
kebudayaan Islam. Jadi, pendapat yang paling kuat adalah
munculnya orientalisme ketika Islam menyebar dan berkembang di
Andalusia, mencapai masa kejayaan dan kegemilangan.
Pada permulaan abad 13 Hijriyah (akhir abad 18 Masehi),
para orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan
wajah baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan
9 | P a g e
Page 10
orientalisme dari tujuan misionaris kepada arah penelitian
ilmiah saja.
Berkembanglah di berbagai kota di Eropa seperti London,
Paris, Leiden, dan St. Petersburg kuliah-kuliah yang mempelajari
bahas Timur seperti Arab, Persia, Turki, dan Urdu. Tujuan awal
mereka dari kuliah-kuliah ini tiada lain dalam rangka memperluas
kekuasaan kolonialisme dengan cara memperalat para ahli-ahli
dalam urusan tata Negara Islam.
Hasilnya, banyak pelajar Islam yang terkecoh, turut menimba
ilmu di sana, mengikuti kuliah-kuliah di Eropa, mendengarkan apa
yang para orientalis itu sampaikan di bangku kuliah, sehingga
pada akhirnya berubah pola kept generasi Islam di Eropa terhadap
Islam itu sendiri.
Kemudian para orientalis itu mampu mengembangkan strategi
dan wajah baru ke area dan lembaga-lembaga keilmuan, seperti
yang telah mereka lakukan di lembaga-lembaga bahasa di Mesir,
lembaga-lembaga ilmu di Damaskus dan lembaga-lembaga ilmu di
Bagdad.
Sampai sekarang telah berdiri yayasan-yayasan keagamaan,
politik dan ekonomi di Barat yang hidup atas sokongan bantuan
kerajaan dan para pemimpin masa lalu, berupa dana bantuan
terhadap kegiatan orientalisme, lahan-lahan garapan serta
beasiswa-beasiswa yang diberikan secara Cuma-Cuma kepada
mahasiswa yang mau terjun dan menggeluti bidang orientalisme
ini. Demi melakukan kegiatan orientalisme dan demi mewujudkan
10 | P a g e
Page 11
cita-citanya ini, mereka curahkan segalanya. Dan disesalkan
lagi, Negara-negara penjajah itu pun mendirikan yayasan di
Negara-negara Islam, walaupun hal tersebut sah-sah saja, akan
tetapi perlu diketahui, sesungguhnya tujuannya yang hakiki
adalah demi membantu usaha penjajahan dari para misionaris
Katolik dan Protestan.
Selain tujuan yang telah disebutkan itu, terdapat pula
tujuan-tujuan yang lainnya. Diantaranya adalah:
a. Tujuan Agama: Tujuan ini merupakan salah satu tujuan
terpenting orientalisme. Para pemuka Kristen melancarkan
orientalisme guna mendiskriditkan Islam (tasywih al-Islam)
agar orang-orang Kristen menjauhkan diri dari Islam (tanfir
an-nashara min al-islam).
b. Tujuan Ilmiah: Orang-orang Eropa yang mulai bangkit di
abad ke-16 membutuhkan banyak inspirasi untuk
kebangkitannya. Karena itulah, mereka mengkaji berbagai
penemuan ilmiah yang ditemukan kaum muslimin dalam
berbagai bidang pengetahuan.
c. Tujuan Ekonomi: Pada saat Eropa mengalami kebangkitan
ilmiah, pemikiran, dn keptic, mereka membutuhkan bahan-
bahan mentah bagi industrinya dan sekaligus membutuhkan
pasar-pasar baru untuk menjual produksinya yang
melimpah. Dari sinilah, negeri-negeri Islam seperti
negeri-negeri Arab, Afrika Utara, dan Asia, merupakan
sasaran empuk bagi mereka.
11 | P a g e
Page 12
d. Tujuan politik: Orientalisme tidak dapat secara polos
kita anggap terpisah dari imperialism Barat. Bahkan
keduanya saling menunjang satu sama lain. Orientalisme
adalah pelayan kepticism.
e. Tujuan Budaya: Penyebaran budaya Barat merupakan salah
satu tujuan utama orientalisme. Selain menyebarkan
budaya, para orientalis juga menyebarkan paham Barat,
seperti nasionalisme dan sekularisme di negeri-negeri
Islam.4
2.3 Definisi Hadits
Hadits secara etimologis adalah al-jadid dan al-akhbar (baru dan
berita).5 Menurut istilah syari’at, penggunaan istilah hadits
juga sangat beragam sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
Disebabkan adanya perbedaan dalam disiplin keilmuan, maka
muncullah berbagai definisi yang berbeda tentang hadits. Dengan
kata lain, munculnya perbedaan definisi tersebut terjadi karena
adanya perbedaan tinjauan dan objek kajian sesuai dengan latar
belakang keilmuan masing-masing.
Pertama, dari sudut pandang muhadditsun. Para ahli hadits
mensinonimkan makna hadits dengan sunnah, yaitu: segala riwayat
yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku beliau, baik
4Ibid, H 158-1605Ibid, H 2
12 | P a g e
Page 13
sebelum diangkat menjadi rasul (seperti tahannut beliau di gua
Hira’) maupun sesudahnya.6
Ahli hadits memandang Rasulullah sebagai manusia sempurna
(kepti kamil) atau pribadi pilihan Allah yang mana seluruh perilaku
dan perjalanan hidup beliau adalah patut untuk dijadikan teladan
utama. Rasulullah adalah uswah hasanah yang harus diteladani oleh
setiap umat Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat
al-ahzab ayat 21. Karena itu, dalam kerangka menjadikan nabi
sebagai uswah hasanah ini, muhadditsun juga mengikutkan segala
perilaku Muhammad SAW, sejak sebelum beliau diangkat menjadi
Nabi/Rasul. Oleh karena itu, ulama hadits berusaha meliput
sebanyak mungkin riwayat yang berkenaan dengan Rasulullah, tidak
hanya yang berkenaan dengan aspek kept, namun juga menceritakan
keadaan beliau, sifat-sifat dan kebiasaan, bahkan hingga gambaran
dan performa fisik beliau sekalipun.
Selanjutnya, beranjak ke definisi dari sudut pandang
Ushuliyyun. Para ulama ahli ushul fiqh, juga mensinonimkan
pengertian hadits dan sunnah. Menurut mereka Al-sunnah adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an,
berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau, yang
dapat dijadikan sebagai dalil kept syari’ah.7
Jika dalam pandangan muhadditsun Rasulullah adalah kepti
sentral, beda halnya dalam pandangan ulama ushul yang
berkonsentrasi pada dalil kept, mereka menempatkan Rasulullah6Umi sumbulan, Kajian kritis ilmu hadits, (Malang: UIN-Maliki Press 2010) H 67 Ibid, H 7
13 | P a g e
Page 14
sebagai musyarri’ (pembuat undang-undang). Oleh karena itu, istilah
sunnah dibatasi pengertiannya pada perkataan, perbuatan dan
ketetapan beliau sepanjang yang dapat dijadikan dalil syara’.
Meskipun demikian, dengan pembatasan ini para ulama’ ushul tidak
berarti menolak cakupan makna hadits atau sunnah yang
didefinisikan oleh kalangan muhadditsun.
Adapun Fuqaha’ mereka tidak memberikan definisi secara khusus
tentang pengertian hadits. Namun mereka memberikan definisi
sunnah, yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu bentuk atau
sifat kept yang lima (al-ahkam al-khamsah). Para fuqaha’
mendefinisikan sunnah sebagai segala perbuatan yang ditetapkan
oleh Rasulullah, namun pelaksanaannya tidak sampai kepada tingkat
wajib.8
Dengan kata lain, para fuqaha’ mendefinisikan sunnah sebagai
segala sesuatu yang pelaksanaannya dapat ditinggalkan namun
dipandang lebih baik dan lebih utama untuk diamalkan. Adapun
ulama’ fiqih yang mengkaji masalah bentuk atau sifat kept
mengenai perbuatan perbuatan manusia, menggunakan istilah sunnah
untuk menyatakan salah satu dari sifat kept dari perbuatan
manusia tersebut. Sunnah adalah salah satu dari sifat kept yang
lain, yakni wajib, mubah, makruh, dan haram. Dalam artian
tersebut bisa disimpulkan bahwa terma sunnah, merupakan sebutan
dari salah satu kept yang lima (al-ahkam al-khomsah).
8 Ibid, H 8
14 | P a g e
Page 15
Dari berbagai definisi hadits dan sunnah, terutama
perspektif muhadditsun dan ushuliyyun, tidak seorang ulama-pun
yang mengajukan definisi hadits dan sunnah sebagai segala
perkataan, perkataan dan ketetapan nabi, tetapi selalu
mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan dan
ketetapan yang disandarkan kepada nabi. Dalam konteks ini, para
ulama selalu memberikan kata “yang disandarkan” (ma udzifa/ma
usnida), “yang dinukil” (ma nuqila), “yang diriwayatkan” (ma
ruwiya), “yang bersumber” (ma sudira), dan sebagainya. Tentunya hal
ini berbeda dengan ketika mereka mendefinisikan al-Qur’an, yang
semuanya sepakat bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, bukan kalam
yang disandarkan kepada Allah.
2.4 Asumsi Orientalis terhadap Hadits
Orientalisme bukanlah paham monolitik, karena itu ia tidak
bisa dijelaskan secara tunggal. Menurut Sahiron Syamsuddin,
secara umum kajian orientalisme terhadap islam khususnya hadits
dapat dipetakan menjadi tiga asumsi, yakni asumsi keptic, asumsi
non-skeptis dan asumsi middle ground berikut tokoh-tokoh pendukung
beserta teori-teori yang dibangunnya. Pemetaan ini berdasarkan
concern dan pendekatan para orientalis terhadap Islam. 9
1. Asumsi Skeptis
Asumsi Skeptis adalah asumsi/persepsi yang meragukan
otentisitas hadits Nabi. Di antara orientalis yang dapat
dikategorikan memiliki asumsi demikian terhadap hadits
9 Ibid, H 169
15 | P a g e
Page 16
adalah Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, HA.Juynboll, Michael
Cook dan Eckatt Stetter. Berikut akan dipaparkan tiga
orientalis yang disebutkan di awal.
a. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalahseorang orientalis kenamaan, yang
lahir di Hongaria tahun 1850. Orientalis yang merupakan
keturunan dari keluarga Yahudi ini belajar di Budapest,
Berlin dan Leipzig. Di samping itu, ia juga belajar Islam
ke timur tengah, yakni ke syiria dan belajar kepada
Syaikh Thahir al-Jazairi pada tahun 1873, Palestina dan
sempat ‘nyantri’ di Mesir untuk belajar ke sejumlah
syaikh di al-Azhar selama setahun (1873-1874).
Sepulangnya dari al-Azhar, ia diangkat sebagai guru besar
di universitas Budapest. Orientalis yang meninggal pada
tahun 1921 ini menulis banyak karya ilmiah yang
dipublikasikan dalam bahas Jerman, Inggris, Prancis dan
Arab. Di antara karya monumentalnya adalah
Muhammadanische Sudien, dapat disebut sebagai karya master
peace yang menjadi rujukan utama dalam penelitian hadits
barat.
Goldziher menganggap bahwa hadits Nabi bukanlah
representasi kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi
atas tendensi-tendensi masa awal perkembangan masyarakat.
Dengan kata lain, hadits adalah tradisi masyarakat Arab.
Dalam penilaian Goldziher hadits bukanlah sumber
terpercaya bagi masa awal-awal Islam, namun hanya menjadi
16 | P a g e
Page 17
sumber yang sangat bernilai bagi dogma, konflik dan
perhatian Muslim belakangan yang telah menyebarkan
hadits. Dasar dari anggapan tersebut adalah “bukti-bukti”
yang menunjukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad II
dan III H, adalah masyarakat yang belum memiliki
kemampuan yang cukup untuk memahami dogma-dogma
keagamaan, memelihara ritus keagamaan dan mengembangkan
doktrin yang kompleks. Kebudayaan islam pada waktu itu
pun masih bersifat secular. Dasar lain dari adanya
anggapan tersebut adalah kelangkaan peninggalan tertulis
yang secara nyata menunjukkan bahwa hadis dipelihara
dengan sadar secara tertulis “diturunkan” dari generasi
ke generasi, hingga sampai pada permulaan abad II
Hijriyah.10 Skeptisisme Goldziher ini kemudian diadopsi
oleh Leone Caetani dan Henri Lammens, dengan menyatakan
bahwa kepti semua riwayat tentang kehidupan Nabi adalah
meragukan (apocryphal). Pendapat ini kemudian diperkuat
sejumlah sarjana Barat lainnya yang juga menolak hadits
sebagai sumber otentik bagi rekonstruksi sejarah Nabi dan
sejarah perkembangan awal Islam abad pertama hijriah,
yakni John Wansbrough, Patricia Crone dan Michael Cook.
b. Joseph Schacht
Joseph Schacht adalah seorang orientalis yang lahir di
Ratibor, Silesia Jerman (kini menjadi wilayah Polandia)
pada tanggal 15 Maret 1902. Karirnya sebagai orientalis
10 Badri khaeruman, Otentisitas Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2004), H 246-247
17 | P a g e
Page 18
diawali dengan belajar filologi klasik, semitik, teologi
dan bahasa-bahasa timur di universitas Berslaw dan
universitas Leipzig, hingga mencapai gelar doctor ketika
berumur 21 tahun dengan predikat summa cumlaude. Dia
adalah seorang ahli dan peneliti masalah ketimuran di
Departemen Penerangan Inggris, setelah menikahi gadis
Inggris pada tahun 1939. Karya-karyanya antara lain
adala: 1) The Origins of Muhammad Jurisprudence, an Introduction ti
Islamic Law; 2) Pre Islamic Background and Early Develompemnt of
Jurisprudence.
Kontribusi terpenting Schacht di bidang hokum Islam
adalah hadits dalam orientasi studinya terhadap hokum
Islam. Pemikiran Schacht tentang hadits adalah dalam
bingkai pemikirannya tentang pembentukan kept Islam.
Asumsi-asumsi Schacht tentang Hukum Islam adalah:
pertama, Hukum Islam bukanlah seperangkat norma yang
diwahyukan, melainkan sebagai fenomena historis yang
memiliki kaitan yang demikian erat dengan realitas
social; kedua, jika kept islam merupakan realitas
historis, maka sumbernya (baca: hadits) juga merupakan
akibat dari proses perkembangan historis. Oleh sebab itu,
ia berdiskusi panjang tentang perkembangan historis
istilah sunnah sebagai kebiasaan masyarakat sebagai
pembimbing moralitas yang telah digunakan sejak Arab pra
Islam yang diadopsi oleh Arab Islam; ketiga, adopsi
tradisi non-Islam semakin berkembang ketika territorial
18 | P a g e
Page 19
Islam mencapai wilayah diluar jazirah Arab, sejak era
khulafaur rasyidin dan era umayyah; keempat, pengangkatan
hakim-hakim era Umayyah ditengarai mendorong upaya
penyandaran keputusan berdasarkan landasan-landasan yang
lebih otoritatif, yakni sunnah dari Nabi; kelima,
Munculnya kelompok ahli hadits ternyata justru menjadi
justifikasi bagi berkembangnya aliran fiqih, yang
disandarkan kepada generasi masalalu. Dan dari sinilah
timbulnya teori “Projecting Back”. Teori ini mengandaikan
bahwa sanad yang pada mulanya lahir dalam pemakaian yang
sederhana, dikembangkan dan diproyeksikan ke belakang
sedemikian rupa sehingga terjadi pengadaan sanad pada
generasi yang lebih awal/tua, dengan tujuan agar berita
tertentu memiliki kekuatan yang lebih otoritatif. Dengan
demikian, hadits tidak turut (bersama al-Qur’an membentuk
hokum Islam), karena hadits tidak berasal dari Nabi
tetapi dibuat pada pertengahan abad ke-2 H.
c. G.H.A. Juynboll
Tokoh orientalis yang bernama lengkap Gautier H.A.
Juynboll ini lahir di Leiden, Belanda pada tahun 1935.
Kepakarannya dalam bidang sejarah perkembangan hadits,
dapat disejajarkan dengan James Robson, Fazlur Rahman, MM
Azami dn Michael Cook. Ia adalah seorang peneliti dan
daily visitor di perpustakaan Universitas Leiden untuk
meneliti hadits, serta pengajar di berbagai universitas
di Belanda. Teorinya yang terkenal adalah Common Link,
19 | P a g e
Page 20
yang sebenarnya merupakan pengembangan dan elaborasi dari
gagasan Joseph Schacht. Teori ini dibangun berdasarkan
beberapa asumsi: pertama, semakin banyak jalur
periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau
yang meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang
periwayat dan periwayatannya memiliki klaim kesejarahan;
kedua, periwyatan yang dianggap sebagai Common Link (CL)
bertanggung jawab atas jalur tunggal yang kembali kepada
otoritas tertua, sahabat atau nabi, berikut perkembangan
teks yang terjadi di dalamnya; ketiga, posisi CL adalah
sebagai originator (pencetus) atau fabricator (pemalsu) isnad
dan matan hadits yang kemudian disebarkan kepada sejumlah
muridnya. Adapun cara kerja dari teori Common Link ini
adalah:
1) Menentukan hadis yang diteliti
2) Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis
3) Menghimpun seluruh isnad hadis
4) Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad
dalam satu bundle (Pohon sanad)
5) Mendeteksi Common Link, periwayatan yang dinilai
paling bertanggung jawab atas penyebaran hadis.
Berdasarkan teori yang dikembangkan itu pula, Juynboll
berkesimpulan bahwa hadis-hadis yang termuat di dalam
kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, belum tentu
hadis itu otentik dan memiliki klaim kesejahteraan yang
pasti. Bahkan dalam karyanya yang khusus membahas asal-
20 | P a g e
Page 21
usul dan perkembangan hadis, ia menyatakan bahwa tidak
ada satupun metode yang layak dipegang dan digunakan
untuk menentukan secara pasti apakah suatu hadis itu
otentik atau tidak.
2. Asumsi non-skeptis
Asumsi non-skeptis merupakan lawan dan kebalikan dari
asumsi keptic, yakni asumsi yang tidak meragukan otentisitas
hadis-hadis Nabi SAW. Di antara tokoh pendukung asumsi ini
adalah Nabia Abbot, seorang guru besar di Universitas
Chicago, USA. Abbot memiliki pandangan yang justru
bertentangan dengan para orientalis keptic di atas. Ia
memiliki suatu kesimpulan bahwa terdapat bukti-bukti konkrit
yang menunjukkan adanya pencatatan dan penulisan hadis sejak
kurun pertama hijriah, yakni sejak rasulullah SAW masih
hidup. Ia berpendapat bahwa sejak awal dalam Islam telah ada
tradisi tulis menulis selain al-Qur’an. Oleh karena itu,
adalah tidak benar pendapat yang menytakan bahwa hadis
adalah bentuk pemalsuan dalam Islam. Bahkan dalam
penelitiannya, Abbot mendapatkan kesimpulan bahwa banyak
data sejarah yang menghimpun informasi tentang karya-karya
generasi awal islam yang bersumber dari berbagai kitab,
meskipun informasi dimaksud belum tentu didukung adana
manuskrip. Dengan demikian, tradisi tulis-menulis, termasuk
di dalamnya penulisan hadis Nabi, merupakan penopang tradisi
lisan yang berkembang pada masyarakat Arab era itu.
3. Asumsi Middle Ground
21 | P a g e
Page 22
Asumsi Middle Ground merupakan asumsi yang menengahi dua
teori yang berlawanan tersebut (keptic dan non-skeptis).
Asumsi ini diwakili oleh Harald Motzki, seorang Profesor
Hadis di Universitas Nijmegen Belanda. Sebenarnya, disamping
Motzki juga ada orientalis yang mengoreksi pandangan para
orientalis sebelumnya yang dinilai terlalu tajam dank eras.
Di antaranya adalah John Burton, orientalis asal Inggris,
yang berpendapat bahwa menolak seluruh hadis dan
menganggapnya semuanya palsu adalah sikap yang keliru.
Namun, kritik dan revisi yang dinilai paling signifikan
terhadap teori yang dikemukakan para orientalis dimajukan
oleh Motzki ini. Ia mengkritik asumsi keptic Schchat dan
Junynboll dengan mengatakan bahwa otentisitas hadis terbukti
terjadi sejak abad ke-1 H. Bagi Motzki, al-Qur’an dan hadis
sudah dipelajari sejak abad kedua Hijriah, atau bahkan sejak
nabi Muhammad Saw masih hidup, dan para fuqaha Hijaz
terbukti telah menggunakan hadis-hadis sejak abad pertama
Hijriah. Berdasarkan hasil analisisnya atas isnad maupun
matan hadis yang terdapat dalam kitab Mushannaf karya ‘Abd
al-Razzaq al-Shan’ani (w.211 H/826 M), Motzki berkesimpulan
bahwa kecil sekali kemungkinan terjadinya keberagaman data
periwayatan itu merupakan hasil pemalsuan yang terencana.
Menurutnya, sanad dan matan hadis-hadis dalam kitab tersebut
layak dipercaya. Dengan demikian, Motzki sepakat dengan
Coulson, yang mengusulkan agar para orientalis membalik
tesis Schacht dari via negative menjadi via positive. Jika Schacht
22 | P a g e
Page 23
menyatakan bahwa semua hadis harus dianggap tidak otentik
hingga terbukti sebaliknya, maka harus dibalik menjadi:
“semua hadis harus dianggap otentik, kecuali jika terbukti
ketidak-otentikannya”.
Jika Schacht dan Juynboll menilai CL sebagai
pemalsu/pemula hadis, maka bagi Motzki CL adalah penghimpun
hadis yang sistematis pertama, yang merekam dan
meriwayatkannya ke dalam kelas-kelas murid regular, dan dari
kelas-kelas itulah sebuah system belajar yang terlembaga
berkembang. Ketika menjawab pertanyaan mengapa seorang CL
hanya mengutip satu jalur saja, ia menjelaskan beberapa hal:
pertama, mereka hanya meriwayatkan versi hadis yang
diterima; kedua, mereka menganggap versi yang diriwayatkan
tersebut sebagai jalur yang paling terpercaya; ketiga,
mungkin bahwa para CL menambah informan yang palin cocok
apabila mereka lupa informan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, jalur tunggal (Single Strand) bagi Motzki adalah:
pertama, sebenarnya tidak mesti hanya ada satu jalur
periwayata; kedua, jalur tunggal berarti bahwa CL ketika
meriwayatkan hadis dari koleksinya hanya menyebutkan satu
jalur riwayat, yakni versi yang paling diketahui dan dinilai
paling otoritatif; ketiga, mungkin ada versi lain yang tidak
sempat terkumpul atau menghilang karena CL tidak sempat
menerima atau menyampaikannya, atau karena versi tersebut
tidak dikethui di masa / tempat CL.
23 | P a g e
Page 24
Teori Motzki diatas mendapatkan tanggapan dan respon
yang beragam, baik yang menolak maupun yang mendukung. Di
antara yang menolak tori Motzki adalah Irene Schneider. Ia
berpendapat bahwa Motzki gagal mengakui bahwa CL telah
meamsulkan hadis bersama satu / beberapa jalur riwayat. Bagi
Schneider, mustahil pesan nabi yang orisinil telah
diriwayatkan oleh CL sejak awal, karena praktik semaca, itu
tidak ditemukan pada masa awal-awal islam. Adapun di antara
tokoh yang mendukung teori Motzki adala Gregor Schoeler.
Schoeler memperkuat tesis Motzki tersebut, dengan mengatakan
bahwa CL tidak harus dipahami sebagai pemalsu hadis.
Contohnya adalah hadis tentang al-ifk, yang memiliki CL al-
Zuhri, ia membuktikan bahwa CL al-Zuhri (w.124) benar-benar
informan (guru) daru ‘Urwahibn al-Zubair (w.94) dan dia
tidak memalsukannya.
2.5 Bantahan Ulama’ Terhadap Asumsi Orientalis
1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Beberapa pakar hadits seperti Prof. Dr. Musthofa as
Siba’iy, Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib dan Prof. Dr. M.
Musthofa al Azhami menyanggah pendapat Ignaz Goldziher yang
menyatakan bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah
yang muncul pada awal pertumbuhan Islam. Menurut ketiga
ulama ini pendapat Goldziher lemah dari sisi metodologisnya
maupun kebenaran materi sejarahnya. Alasan mereka adalah
24 | P a g e
Page 25
karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada
bukti-bukti sejarah.
Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan
bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatatan
hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies
in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and
Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits
bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: Pertama, masa nabi
hidup. Kedua, masa wafat nabi sampai masa Ummayah. Ketiga,
pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran
ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi
hadits kedalam buku-buku fiqh.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa
kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam
mendiskusikan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan
hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum,
mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh
dari 47 hadis yang diklaim berasal dari Nabi sebagiannya
tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan
hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang
didiskusikan.
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami
menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang
memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya.
Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi
al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafadz hadis saja.
25 | P a g e
Page 26
Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri
dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan
dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu
belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak
pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun
dari wafatanya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri
sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti
itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk
mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai
menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan
kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul
Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak
ilmiah.
Argumen lain yang juga meruntuhkan teori Goldziher
adalah teks hadis iru sendiri. Sebagaimana termaktub dalam
kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan
isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji
dapat dilakukan di al-Quds (yurussalem) yang ada hanya
isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan
hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat
pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher
agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif
sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati.
Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi
sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan.
Penjelasan argumentative telah disajikan oleh Subkhi as
26 | P a g e
Page 27
Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada
matan.
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph
Schacht sebagaiman yang dia gagas dalam teori Projecting
Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Scacht adalah bahwa dia
keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabu dan kitab-
kitab fiqh sebagai dasar postulat atau asumsi penyusunan
teori itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy
serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadikan
sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran
hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk
meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman
pada kitab-kitab hadis.
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah
melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan
sanad abu hurairah, abu shalih, suhail, dan seterusnya,
yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis
bisa dipalsukan begitu saja. Sementara teori Argumenta e
Silentionya Schacht dikritik oleh Ja’fr Ishaq Anshari dalm
buku beliau: The Authenticity of Tradition, A Critique of
Joseph Schacht’s Argument e Silention, begitu pula Azami
dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan
Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa
Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam
27 | P a g e
Page 28
bukunya Schacht mengecualikan teorinya itu terhadap
referensi yang berasal dari dua generasi di belakang
syafi’i, kenyataanya Schacht justru menggunakan Muwatha’nya
Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu
adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah
suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri
dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan 1) belum
mencakup seluruh hadis yang ada 2) lebih menekankan pada
aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunan
hadis 3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan
kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah
melakukan verifikasi berdasarkan empak koleksi hadis: al-
Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar
karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa
ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang
tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan.
Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’
karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-
Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda.
Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu
Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syatibi, walaupun
al-Atsar asy-Syatibi ini lebih muda daripada al-Atsar Abu
Yusuf. Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadits ini
paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta
e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis
28 | P a g e
Page 29
untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain
faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli
hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu
tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena
tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun
hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran
fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta
diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu,
seringkali penyebutan sebuah hadis untuk mendukung berbagai
doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya,
mereka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan
dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam
faktanya hadis-hadis tersebut ada.
Disamping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya
sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa
awal hadis itu dicacat oleh perawi, disebabkan pengarangnya
menghapus atau menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak
menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan
Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum
adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada
hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam
lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi. Kemudian untuk
membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis lain,
khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka
M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui
penelitian sejarah, khusunya sejarah hadis. Azami melakukan
29 | P a g e
Page 30
penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat
dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah
milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah
Suhail) adalah murid Abu hurairah shahabat Nabi Saw. Naskah
Suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi
Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang
ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah). Termasuk jumlah dan
domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang
ketiga, jumlah perowi berkisar 20 sampai 30 orang,
sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan,
antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman.
Sementara teks hadis yang mereka riwyatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan
teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad
Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan
pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu
huku, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini
dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis
itu memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw melalui
jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan
juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah
buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan
atau ucapan yang datang dari Rasul Saw sebagai seorang Nabi
dan panutan umat Islam.
3. Bantahan untuk Jyunboll
30 | P a g e
Page 31
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para
sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori Common link-
nya. Diantaranya yang menanggapinya adalah Azami, baginya
teori Common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun
ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung
menyimpulkan bahwa metode Common link dan semua metode yang
dihasilkan tidak relevan. Bagi Azami, teori Common link
banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya,
jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri,
yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis
pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya
oleh para kritikus hadis, maka tidak ada alasan untuk
menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli
hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatn hadis
secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi,
itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis
pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika
seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad,
maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat
sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan
sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang
dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya
hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan
31 | P a g e
Page 32
karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga
tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata orientalis diartikan dengan berbagai macam
definisi, namun dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa
orientalis adalah dunia ketimuran yang dijadikan objek
oleh para ilmuwan atau peneliti. Salah satu bidang yang
dikaji para orientalis adalah Hadits. Mereka merasa
sangat perlu untuk mengkaji dan menelitinya, karena itu
salah satu bagian penting yang ada di dunia Timur. Adapun
arti dari hadits adalah segala riwayat yang berasal dari
Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan
(taqrir), sifat fisik dan tingkah laku beliau, baik sebelum
diangkat menjadi rasul (seperti tahannut beliau di gua
Hira’) maupun sesudahnya.
Sikap dan asumsi orientalis terhadap hadits itu
bermacam-macam, yaitu: Skeptis, non-skeptis, dan middle
ground. Diantara orientalis skeptis adalah Ignaz
Goldziher, Joseph Schacht, dan Jyunboll. Mereka
mengutarakan teori yang berbeda-beda untuk melemahkan
hadis, namun teori-teori itu dibantah oleh para pakar
11 http://www.scribd.com/doc/51632844/Kritik-Orientalis-Terhadap-Hadits, aksespada 15-06-2014
32 | P a g e
Page 33
hadis, diantaranya: Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy, Prof.
Dr. ‘Ajjaj al Khatib dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami.
3.2 Saran
Demikian makalah yang kami buat, kami menyadari
pasti masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena
itu kami sangat mengharap masukan dan kritikan dari para
pembaca.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kami
khususnya, dan bagi para pembaca umumunya. Dan mudah-
mudahan makalah ini bisa menjadi salah satu inspirasi
bagi para pembaca dalam mengkaji ilmu hadis terutama yang
berhubungan dengan orientalis, dan juga sebagai motivasi
untuk membuat makalah yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Khaeruman, Badri. (2004). Otentisitas Hadis. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rauf, Hasan. (2007). Orientalisme dan misionarisme. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Smeer, Zaid B. (2008). Ulumul Hadits. Malang: UIN Press.
Sou’yb, Joesoef. (1995). Orientalisme dan islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang.
33 | P a g e
Page 34
Sumbulan, Umi. (2010). Kajian kritis ilmu hadits. Malang:
UIN-Maliki Press.
http://www.scribd.com/doc/51632844/Kritik-Orientalis-
Terhadap-Hadits, akses pada 15-06-2014
34 | P a g e