Top Banner
EKSPLOITASI ALAM : PROBLEM MODERNITAS DAN IKHTIAR MENUJU KESADARAN EKOLOGIS (TANGGAPAN ATAS KRISIS EKOLOGI DALAM TERANG FILSAFAT) I. Pendahuluan Ziarah peradaban manusia kini memasuki babak baru yang diberi nama modern bahkan postmodern. Atribut atau label (baca nama) ini tentunya lahir dari orang, kelompok, golongan, dan negara yang menyatakan dirinya sebagai pemilik otoritas peradaban manusia. Era modern ditandai dengan “kemajuan”. Kemajuan mengafirmasi transparansi dan menegasi kertertutupan. Dengan demikian dunia modern identik dengan keterbukaan. Alhasil babak baru peradaban manusia telah menghasilkan trend globalisasi. Praktis globalisasi dinilai sebagai perubahan kemajuan dari negara barat dan makin mencondongkan bahwa merekalah negara penguasa yang dapat mempengaruhi perkembangan dunia secara signifikan baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun teknologi (informasi dan transportasi) muktahir yang terkesan mempermudah interaksi antar negara bahkan benua. Globalisasi dapat dipahami sebagai internasionalilsasi yaitu gejala yang menjadi internasional, universaliasi (umum), liberalisasi (bebas), westernisasi (kebarat-baratan) dan deteritorialisasi yaitu tidak ada lagi jarak dan lokasi (Wardhani, 2012). Globalisasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana meningkatnya saling keterkaitan di antara masyarakat dan dimana 1
36

Makalah filsafat

Jan 23, 2023

Download

Documents

yansen putra
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah filsafat

EKSPLOITASI ALAM : PROBLEM MODERNITAS DAN IKHTIAR MENUJU KESADARAN EKOLOGIS

(TANGGAPAN ATAS KRISIS EKOLOGI DALAM TERANG FILSAFAT)

I. Pendahuluan

Ziarah peradaban manusia kini memasuki babak baru yang

diberi nama modern bahkan postmodern. Atribut atau label (baca

nama) ini tentunya lahir dari orang, kelompok, golongan, dan

negara yang menyatakan dirinya sebagai pemilik otoritas

peradaban manusia. Era modern ditandai dengan “kemajuan”.

Kemajuan mengafirmasi transparansi dan menegasi kertertutupan.

Dengan demikian dunia modern identik dengan keterbukaan. Alhasil

babak baru peradaban manusia telah menghasilkan trend

globalisasi. Praktis globalisasi dinilai sebagai perubahan

kemajuan dari negara barat dan makin mencondongkan bahwa

merekalah negara penguasa yang dapat mempengaruhi perkembangan

dunia secara signifikan baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun

teknologi (informasi dan transportasi) muktahir yang terkesan

mempermudah interaksi antar negara bahkan benua. Globalisasi

dapat dipahami sebagai internasionalilsasi yaitu gejala yang

menjadi internasional, universaliasi (umum), liberalisasi

(bebas), westernisasi (kebarat-baratan) dan deteritorialisasi

yaitu tidak ada lagi jarak dan lokasi (Wardhani, 2012).

Globalisasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana

meningkatnya saling keterkaitan di antara masyarakat dan dimana

1

Page 2: Makalah filsafat

kejadian yang terjadi di salah satu belahan dunia dapat

memberikan pengaruh yang semakin luas terhadap orang dan

masyarakat yang berada di belahan dunia lain (Smith & Baylis

2001).

 Globalisasi sebagai fenomena kompleks dan tidak stabil

tentu berwajah ganda. Implikasi positif dari globalisasi tak

dapat disangkal, kemajuan teknologi mempermudah dan mempercepat

masyarakat dalam aktivitasnya ketika ada mesin pengganti tenaga

manual. Akses informasi menjadi lebih mudah seakan tak ada

batasan dalam berinteraksi dengan siapapun, dimanapun dan

kapanpun karena jejaring sosial yang marak saat ini seperti

facebook, twitter, ym, chatroom dapat membawa kita berkomunikasi

langsung dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia. Dampak

negatifpun tak dapat dipungkiri. Globalisasi yang diwarnai dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan menyelusup masuk

mempengaruhi hampir setiap dimensi kehidupan manusia. Pada

tataran sosio-politik, globalisasi mampu merubah tatanan politik

dunia sesuai dengan perkembangan saat ini. Dalam aspek sosio-

ekonomi, globalisasi memuculkan perdagangan bebas yang

memungkinkan ekspansi para investor tanpa batas dan sekat.

Sedangkan dalam konteks sosial-budaya, westernisasi mendominasi

budaya lokal. Tragisnya, globalisasi dengan kecanggihan

teknologinya disinyalir bermuatan ideologi. Asumsi ini menjadi

benar ketika kehidupan masyarakat diwarnai dengan sikap dan

mental individualistis, materialistis, konsumtif dan

moneytheistis.

2

Page 3: Makalah filsafat

Lebih lanjut, globalisasi dengan kemajuan teknologinya turut

berpengaruh negatif terhadap keharmonisan alam atau lingkungan

hidup. Kemajuan teknologi mempengaruhi perlakuan manusia terhadap

alam. Kepemilikan teknologi mengakibatkan hubungan antara manusia

dan lingkungan hidupnya menjadi lebih mudah guna memenuhi

hasratnya (Admaja, 2012). Pencarian kenikmatan yang berlebihan

bisa memunculkan berbagai masalah lingkungan hidup berupa

eksploitasi alam berlebihan seperti pertambangan, penebangan

hutan, pemboman ikan dan pelbagai tindakan produksi industri

lainnya yang berdampak pada pencemaran udara dan air. Realitas

ini tentu berujung pada krisis ekologi yang secara riil menyata

dalam fenomena alam yang dirasa kurang teratur lagi. Perubahan

musim semakin sulit diprediksi, cuaca yang cukup ekstrim, suhu

bumi terus meningkat, permukaan air laut meningkat, es di kutub

mencair dan lapisan ozon menipis. Beraneka bencana datang

menerpa, penyakit baru datang bermunculan, longsor dan banjir

terjadi dan sumber mata air perlahan kering.

Bila dikaji pada referensi lain tentu banyak faktor yang

menyebabkan adanya ekploitasi alam atau lingkungan hidup. Akan

tetapi faktor “amnesia eksistensi” yang termanifestasi dalam cara

pandang yang terlampau antroposentris sebagai produk zaman

pencerahan/modern yang dipadu dengan penerapan ilmu ke dalam

teknologi menjadi causa prima adanya pengerukan terhadap alam.

Krisis ekologis dapat ditilik dari idealisme pencerahan sebagai

bunda modernitas. Pandangan yang mekanistis tentang dunia

menempatkan manusia sebagai yang superior, tuan atas alam lantas

3

Page 4: Makalah filsafat

tanpa kompromi mengekploitasi alam. Cita-cita pembebasan

modernitas berseberangan dengan fenonema keterbelengguan atau

keterlemparan manusia oleh problem pelik mengancam keharmonisan

alam (bdk. Tsunami Aceh dan bencana alam lainnya mendatangkan

korban jiwa). Dalam tulisan ini, dikedepankan refleksi etis

filofis tentang eksploitasi alam sebagai konsekuensi logis dari

cara pandang modern yang menghegemoni dalam cara pandang dan cara

tindak manusia. Serentak juga membangun kesadaran ekologis

sebagai bentuk reposisi cara pandang manusia terhadap alam.

II. Sekilas Tentang Eksploitasi Alam, Problem Modernitas dan

Ekologi

Pada bagian ini, penulis menguraikan secara singkat tentang

realitas eksploitasi, problem modernitas dan krisis ekologi

A. Eksploitasi dan Realitas dalam Kekinian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata

eksploitasi merujuk pada 1) pengusahaan secara besar-

besaran, pendayagunaan dan pemanfaatan untuk keuntungan

sendiri, pengisapan dan pemerasan (tentang tenaga manusia),

2) mengeksploitasi berarti mengusahakan, mendayagunakan

(perkebunan, tambang, dan sebagainya), memeras (tenaga orang

lain) dan mengeruk (kekayaan alam).

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa term

eksploitasi lebih bermuatan negatif, yakni pemberdayaan dan

pengusahaan dengan mengorbankan sesuatu yang lain (alam dan

manusia). Jika dilekatkan dengan alam, kata eksploitasi

dapat diberi batasan sebagai tindakan berupa pemanfaatan,4

Page 5: Makalah filsafat

pemerasan dan pengerukan alam untuk tujuan pribadi, kelompok

atau golongan tertentu. Dengan demikian eksploitasi alam

merupakan suatu bentuk pengrusakan alam melalui usaha

pertambangan, perkebunan yang bertendensi pada pengerukan

kekayaan alam dan pemerasan terhadap manusia di sekitarnya.

Pengusahaan besar-besaran dalam pertanian dan

pertambangan tentu membutuhkan modal dan legalisasi hukum.

Karena itu, aksi eksploitasi alam bermuara pada kepemilikan

modal dan otoritas orang dan atau kelompok tertentu dengan

memanfaatkan alam pada wilayah tertentu untuk keuntungan

pribadi atau kelompoknya. Bila dikaji secara jujur,

sebagaimana dikatakan Charlene Spetnak (dalam Evelyn,et.all,

2003) bahwa eksploitasi alam yang berdampak pada krisis

ekologi merupakan bentuk manifestasi liberalisasi ekonomi

dunia modern yang hadir bagai monster melalui dinamika

ekonomi politik yang semakin manipulatif, global dan

berorientasi konsumtif yang didasarkan pada perkembangan

yang serakah dan sekaligus kembali dengan pelbagai tradisi

yang semuanya mempunyai kekayaan kosmik yang dapat

ditawarkan dan dikeruk. Senada dengan itu, Magnis Suseno

(1993) menegaskan bahwa industrialisasi modern mengafirmasi

adanya pengerukan terhadap kekayaan alam. Bahkan lebih dari

itu, mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat termasuk gaya

hidupnya (way of life).

Liberisasi ekonomi tentu dimotori oleh kaum kapitalis

dalam perlindungan hukum legal hasil pemberian pemilik

5

Page 6: Makalah filsafat

otoritas publik pada negara tertentu. Dalam konteks negara

berkembang termasuk Indonesia, aksi kaum kapitalis (investor

asing) dalam bentuk usaha pertambangan dan perkebunan

sesungguhnya merupakan format penjajahan baru

(neokolonialisme). Dengan iming-iming dan janji manis untuk

kesejahteraan rakyat perusahaan internasional dalam kerja

sama dengan perusahaan nasional mengeruk secara perlahan

kekayaan alam Indonesia (tambang di Papua, Mataram dan

perkebunan dengan imbas penebangan hutan di Kalimantan dan

Sumatra didominasi oleh perusahaan asing). Akibatnya sumber

daya alam Indonesia menipis dan rakyat Indonesia tetap saja

menyandang gelar miskin. Lebih lanjut alam Indonesia menjadi

tidak bersahabat. Cerita bencana alam berupa longsor,

banjir, gagal panen dan kekurangan air menjadi fakta riil

yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Isu terakhir yang

berkembang bahwa Jakarta pada tahun 2030 akan tenggelam

(berita TV dalam tayangan On The Spot, chanel Trans 7 tanggal

29 Januari 2013).

B. Problem Modernitas

Term modernitas berasal dari kata dasar modern

(terbaru, mutakhir dan sikap, cara berpikir dan tindakan

sesuai denga tuntutan zaman). Kata modern kemudian mengalami

proses afiksasi menjadi modernitas yang menunjuk pada suatu

proses pergeseran sikap dan mentalitas masyarakat untuk

dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (KBBI, 2008).

Dengan demikian modernitas memberi tekanan secara khusus

6

Page 7: Makalah filsafat

pada muatan makna yang terkandung dalam kata modern yakni

cara pandang baru sesuai tuntutan zaman serentak merupakan

reaksi terhadap yang dianggap lama dan kurang relevan dengan

konteks kekinian.

Modernitas sebagai suatu cara pandang sebenarnya lahir

dari rahim filsafat barat yang merupakan suatu pergumulan

refleksi kritis terhadap realitas. Karena itu, modernitas

sepadan dengan kata lain dalam filsafat yaitu modernisme

yang merupakan gerakan yang bertujuan menafsir kembali

doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran baru

dalam filsafat, sejarah dan ilmu pengetahuan (Ibid). Dalam

periodisasi filsafat barat, filsafat modern muncul setelah

abad pertengahan (filsafat skolastik/ dark ages).

Dalam tinjauan historis, perkembangan filsafat barat

dibagi dalam tiga periode utama, yaitu; 1) Filsafat Klasik

(Yunani Kuno) yang menempatkan filsafat sebagai suatu

refleksi untuk menemukan hakikat terdalam dari realitas. Apa

yang menjadi dasar terdalam dari kenyataan fisik menjadi

bahan kajian metafisik filsafat klasik. Thales (+ 585 SM),

misalnya beranggapan bahwa air merupakan substansi utama

segala sesuatu atau dengan kata lain segala sesuatu berasal

dari air. Anaximenes menegaskan bahwa substansi segala

sesuatu adalah udara. Filsuf lain yang masuk dalam kategori

filsuf klasik adalah Sokrates, Plato dan Aristoteles. Pada

umumnya filsafat klasik memandang hal material dan metafisis

sebagai dasar dari realitas. 2) Filsafat abad

7

Page 8: Makalah filsafat

pertengahan/filsafat skolastik. Pengaruh dominan dari

kekristenan dalam peradaban Yunani-Romawi menjadi

karakteristik filsafat abad pertengahan. Refleksi filosofis

selalu bersanding dengan refleksi teologis (tentang Tuhan).

Filsafat dilihat sebagai pembantu teologi (ancilaeteologia).

Allah menjadi jawaban satu-satunya atas pertanyaan “apa”

untuk mencari sebab terdalam realitas. Iman menjadi jawaban

terhadap segala persoalan moral-epistemologis. Dengan

demikian rasio (akal budi) dilihat sebagai pembantu untuk

mempertanggungjawabkan iman. Peran akal budi sepertinya

tidak diberi ruang yang cukup. Kenyataan ini memunculkan

reaksi penolakan terhadap otoritas Gereja yang berlebihan.

Reaksi pertama muncul dari dalam kubu Gereja sendiri melalui

gerakan reformasi yang memperjuangkan otoritas akal budi

serentak menyerang dominasi Gereja yang berlebihan terhadap

sejarah peradaban manusia. Gerakan reformasi ini ditandai

dengan adanya kebangkitan ide-ide filsafat Klasik khususnya

ide humanistik, seperti Protagoras yang meilhat manusia

sebagai tolok ukur segal`a sesuatu. Kebangkitan ini dikenal

dengan nama zaman renaissance/ aufklarung atau pencerahan. Era

pencerahan inilah yang menjadi titik awal lahirnya babak

baru dalam filsafat, yaitu filsafat modern. 3) Filsafat

modern. Kekhasan filsafat modern adalah peran

intelektual/rasio/akal budi manusia menjadi referensi utama

pencarian kebenaran. Filsafat modern bercirikan pendewaan

terhadap ilmu pengetahuan, empirisme, rasionalisme,

8

Page 9: Makalah filsafat

antitradisi dan optimisme utopis akan kemampuan intelek

manusia. Pemikiran filsuf sekaligus ilmuwan seperti

Copernikus, Newton, dan Galileo senantiasa mendapat ruang

lebar aktualisasinya. Zaman modern memposisikan manusia dan

subyektivitasnya (refleksi Descartes: cogito ergo sum/ saya

berpikir maka saya ada atau maitress et posesseurs de la nature/

tuan-pemilik atas alam semesta) sebagai motor penggerak

perubahan. Pertanyaan “apa” beralih ke pertanyaan “mengapa.”

Filsafat modern yakin bahwa dunia, kosmos dapat dipahami

oleh akal budi manusia. Segala sesuatu yang abstrak

dikonkritkan dengan pembuktian logis. Zaman modern ini juga

ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan atau lazim

disebut revolusi ilmu pengetahuan yang kemudian

ditindaklanjuti dengan penerapan ilmu ke dalam teknologi.

Dengan demikian filsafat modern menjadi rahim lahirnya

superioritas manusia dengan segala kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologinya.

Modernitas sebagai nama lain modernisme merupakan

proses perkembangan kesadaran manusia berkaitan dengan cara

pandangnya terhadap dunia dan kosmos. Modernitas dengan

pendewaan terhadap subyektivitas dan intelek manusia membuka

peluang adanya cara pandang antroposentrik terhadap alam.

Antroposentrisme merupakan cara pandang yang melihat manusia

sebagai pusat dari sistem semesta. Manusia dengan

kepentingannya dilihat sebagai nilai tertinggi. Sedangkan

komponen lain dalam alam bernilai jika menjamin dan

9

Page 10: Makalah filsafat

menunjang kepentingan manusia (Keraf, 2006). Cara pandang

antroposentrik ini berimplikasi pada konsep melihat alam

sebagai obyek, alat dan sarana pemenuhan kebutuhan manusia.

Alam seakan tidak memiliki nilai dalam dirinya. Alam baru

bernilai jika manusia mengakui kemanfaatannya. Karena itu,

konsep ini menjadi ruang bagi adanya ekploitasi alam.

Selain itu, modernitas yang diwarnai dengan cara

pandang ilmu pengetahuan yang bersifat posivistik,

mekanistis dan reduksionis seakan memberi legitimasi adanya

eksploitasi terhadap alam. Cara pandang posivistik

mengedepankan pembuktian empiris, bahwa segala sesuatu

diakui sebagai kebenaran jika terbukti secara empiris/

indrawi/dapat diamati. Dengan demikian segala bentuk apriori

yang diterima benar dengan sendirinya ditolak. Ciri

mekanistik memaparkan seluruh alam semesta termasuk manusia

ibarat mesin yang dapat dianalisis terpisah terlepas dari

keseluruhannya. Ciri reduksionis berarti analisis realitas

yang kompleks disederhanakan hanya dalam satu aspek saja

tanpa memperhatikan keseluruhan secara holistic dan

komprehensif. Misalnya kajian terhadap manusia hanya dari

aspek tubuh, sedangkan aspek jiwa yang harus melekat dalam

tubuh diabaikan. Cara pandang ini bertumpu pada logika

Cartesian. Logika tersebut memberi dikotomi yang tegas

antara jiwa dan badan, subyek dan obyek, fakta dan nilai

(Barbour, 1973). Jika dikaitkan dengan cara pandang terhadap

10

Page 11: Makalah filsafat

alam, cara berpikir yang posivistik, mekanis dan reduksionis

berdampak pada legalnya eksploitasi alam.

C. Krisis Ekologi

Istilah ekologi diperkenalkan pertama kali oleh Haeckel

pada tahun 1866. Secara etimologis ekologi berasal dari tata

bahasa Yunani, oikos ( dunia, alam, rumah dan tempat tinggal)

dan logos (bicara, kata, omongan dan ilmu). Secara harafiah,

ekologi berarti ilmu tentang alam atau ilmu tentang mahluk

hidup dalam rumah tangganya (Chang, 2001). Secara umum,

kebanyakan orang mendefinisikankan ekologi sebagai ilmu

tentang hubungan antarorganisme dengan lingkungannya.

Ekologi merupakan salah satu cabang ilmu yang tergolong

baru. Ekologi diadopsi sebagai salah satu cabang ilmu

pengetahuan dilandasi pada kesadaran manusia akan pentingnya

menjaga relasi dengan lingkungan hidup sebagai penentu

kehidupan manusia.

Dalam perkembangannya, relasi manusia dengan lingkungan

hidup tampak retak. Penyebab keretakan boleh jadi manusia

dengan segala hasratnya. Melihat kerenggan ini maka muncul

istilah krisis ekologi. Ketidakharmonisan relasi manusia

dengan lingkungan melalui tindakan pengerukan, eksploitasi,

pengrusakan dan pencemaran dinamakan krisis ekologi. Lebih

lanjut dampak krisis ekologi tidak saja berpengaruh pada

berkurangnya sumber daya alam tetapi berujung pada

keterlemparan manusia dalam rumahnya sendiri. Dengan

11

Page 12: Makalah filsafat

demikian menjalin relasi baik dengan lingkungan hidup

identik dengan menjaga kehidupan manusia itu sendiri.

Ketika dikaji lebih dalam tentang penyebab krisis

ekologi, ditemukan bahwa sikap dan cara pandang manusia

terhadap alam yang didukung dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi merupakan sebab utama dan pertama

(causa prima). Cara pandang antroposenris (manusia menjadi

pusat semesta alam) menjadi legitimasi ilmiah bagi adanya

pemanfaatan alam secara berlebihan. Ilmu pengetahuan dengan

mengedepankan metode posivistik dan ciri berpikir yang

mekanis dan reduksionis turut menunjang deretan peluang

adanya penjamahan alam. Lebih dari itu pengaplikasian ilmu

ke dalam teknologi mau tidak mau mengharuskan alam sebagai

ruang satu-satunya untuk uji coba (sebut saja ketika

ditemukan bom dan nuklir, alam kota Nagasaki dan Hirosima

menjadi bukti empiris historis).

III. Implikasi Real Eksploitasi Alam dan Kesadaran Ekologis

Mengeksploitasi alam yang diafirmasi oleh cara pandang

antroposentris dan cirikhas ilmu pengetahuan posivistik,

reduksionis dan mekanistis sebagai produk modernitas membawa

beberapa implikasi diantaranya;

a. Bergesernya Tatanan Ekologi Modern

Pengusahaan besar-besaran melalui pertambangan dan

perkebunan tentu berdampak pada berubahnya tatanan ekologi.

Dampak langsung yang dapat dilihat, yaitu; pertama,

12

Page 13: Makalah filsafat

eksploitasi mempengaruhi kerusakan alam dalam skala besar.

Pertambangan sudah pasti mempengaruhi struktur-kesuburan

tanah, rusaknya ekosistem, dan hilangnya sumber mata air di

sekitar wilayah tambang. Selain itu, masuknya pertambangan

di wilayah hutan menyebabkan terjadinya alih fungsi hutan

dari penyangga dan penyeimbang iklim berubah menjadi sumber

terjadinya longsor. Kedua, rusaknya kondisi dan ekosistem

hutan. Usaha perkebunan besar-besaran menuntut adanya lahan

yang luas. Di Indonesia usaha perkebunan terjadi pada

wilayah yang hutannya masih luas seperti Kalimantan dan

Sumatra. Pembukaan lahan perkebunan tentu dimulai dengan

penebangan pohon secara besar-besaran. Akibat lanjutnya

habitat flora dan fauna terganggu, bahkan banyak fauna yang

harus mati dan berpindah habitat. Ketiga, rusaknya ekosistem

laut. Limbah industri pengolahan bahan mentah hasil

eksploitasi alam baik pertambangan maupun perkebunan akan

mempengaruhi ekosistem lautan dengan banyak kotoran atau

limbah yang dibuang ke laut.

b. Humanitas Modern

Selain berdampak secara langsung pada tatanan ekologi,

eksploitasi membawa bias negatif bagi manusia, diantaranya;

a) berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Polusi udara

dan air sebagai dampak lanjut kerusakan alam memungkinkan

lahirnya berbagai penyakit yang melanda manusia seperti

gangguan pernapasan, penyakit kulit, dan sebagainya.

Pencemaran udara sebagai buah dari kebakaran hutan, proses

13

Page 14: Makalah filsafat

produksi pabrik dan asap kendaraan menyebabkan manusia tidak

lagi menghirup oksigen yang segar. Air dalam tanah yang

dicemari limbah pabrik dan pertambangan mengakibatkan

manusia menikmati air kotor bahkan berujung pada kekurangan

air. Hal ini sangat terasa pada wilayah tempat pertambangan

dan pabrik diselenggarakan. b) berpengaruh terhadap

ketidakharmanisan kehidupan sosial budaya masyarakat (JPIC

OFM Indonesia, 2008). Bukti empiris menunjukkan bahwa

aktivitas pertambangan pada wilayah tertentu telah

mendatangkan konflik horizontal berkepanjangan

antarmasyarakat pemilik lahan sekitar tambang dan juga

konflik vertical antara pemerintah dengan masyarakat. Di

Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur misalnya, pertambangan

mengakibatkan adanya sengketa tanah antarmasyarakat di

sekitar lokasi tambang. Sengketa ini berujung pada tuntutan

terhadap pemerintah yang melegitimasi adanya aktivitas

pertambangan oleh investor asing. Selain itu, kebijakan

relokasi bagi korban tambang memungkinkan adanya difusi

kebudayaan. Benturan kebudayaan dan kebiasaan orang asli

dengan pendatang baru (korban tambang) sudah pasti terjadi.

c) berdampak pada lahirnya penjajahan ekonomi. Atas nama

pengentasan kemiskinan global, peningkatan derajat ekonomi

masyarakat dengan upah yang cukup tinggi dan memperkerjakan

penganggur pada negara berkembang, pemilik modal/ kaum

kapitalis negara maju melebarkan ekspansi bisnisnya di

negara berkembang. Hadirnya industri pertambangan dan

14

Page 15: Makalah filsafat

perkebunan asing di Indonesia diharapkan berpengaruh positif

pada penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Akan tetapi

dalam kenyataannya perusahaan asing yang beroperasi di

Indonesia justru tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal.

Data di lapangan menunjukkan tenaga kerja pada areal

pertambangan asing seperti yang terjadi di Manggarai, Flores

kebanyakan orang asing itu sendiri (Amerika, Jepang dan

China) sedangkan jumlah pekerja lokal sangat sedikit atau

terbatas (Ibid).

c. Kesadaran Ekologis ( Pendekatan Holistik Tentang Lingkungan

Hidup)

Eksploitasi alam yang berlebihan tentunya berujung pada

krisis ekologi. Realitas ini pada satu sisi merupakan

ancaman bagi peradaban manusia dan pada sisi lain menjadi

peluang untuk membangun kesadaran ekologis masyarakat.

Problem ekologis telah mendorong banyak orang untuk

melakukan refleksi etis filofis tentang sikap dan cara

pandang manusia terhadap alam. Ada beberapa gagasan yang

berkembang sebagai bentuk kesadaran ekologis, diantaranya;

1. Filsafat Ekologi (Ecosophy)

Konsep filsafat ekologi memposisikan manusia

sebagai bagian integral dari kosmos atau alam. Pola

relasi manusia dengan alam dipahami dalam terang

15

Page 16: Makalah filsafat

hirarki alam. Manusia sebagai ens rationale atau mahluk

rasional bertanggung jawab atas alam. Nasib manusia

tidak ditentukan oleh peran pengendali atas alam,

tetapi dalam kualitas kesadarannya menjaga keutuhan

alam. Karena itu, manusia perlu membebaskan diri dari

konsep antroposentrik dan mengakui keberagaman

aktivitas kehidupan termasuk alam yang mesti dihargai

dan dihormati. Filsafat ekologi atau ecoshopy dilihat

sebagai pengembangan pendekatan ekologi sebagai ilmu

dan filsafat sebagai pencarian kearifan. Tesis dasar

filsafat ekologi ialah kearifan mengatur hidup selaras

alam sebagai rumah tangga. Kearifan tersebut bertumpu

pada kesadaran bahwa segala sesuatu dalam alam semesta

ini memiliki nilai dalam dirinya sendiri (in se) dan

nilai tersebut melampui yang dimiliki oleh dan untuk

manusia (Mary Evelyn, 2003).

2. Etika Ekologi

Gagasan dasar etika ekologi, mengakui seluruh alam

semesta dengan segala isinya memiliki nilai instrinsik

(nilai alam dirinya sendiri). Secara ontologis, nilai

menunjuk kepada mutu dan kualitas yang membuat suatu

hal memiliki martabat, harkat dan derajat keagungan,

harga diri tertentu, dank arena itu, perlu dihargai

(Ceunfin, 2006). Nilai dapat muncul dari sesuatu itu

sendiri artinya sesuatu itu bernilai tidak bergantung

pada apresiasi dari subyek tertentu akan tetapi

16

Page 17: Makalah filsafat

merupakan sesuatu yang inheren dalam benda, barang atau

organisme. Nilai tersebut dinamakan nilai instrinsik.

Menurut Chang (2001), penerimaan akan nilai

instrinsik mengandung dua gagasan pokok yaitu; pertama,

setiap makluk hidup memiliki kebaikan dalam dirinya

sendiri. Kebaikan tersebut tidak bergantung pada

pengakuan dari luar, tetapi secara kodrati ada dalam

setiap benda atau barang. Kedua, setiap barang atau

benda bernilai dalam dirinya. Setiap barang memiliki

nilai instrinsik sebagaimana manusia mengakui dirinya.

Pengakuan terhadap adanya nilai dan kebaikan dalam

diri barang atau benda secara tegas menolak klaim

antroposentrisme yang melihat manusia sebagai pusat

alam semesta dan nilai setiap benda aka nada jika

manusia yang memberinya. Etika ekologi menegaskan bahwa

nilai bukan saja berkaitan dengan manusia sebagai homo

sociale tetapi juga dalam kaitan dengan manusia sebagai

makluk ekologis atau kosmologis. Dengan demikian

pengakuan akan adanya nilai instrinsik setiap organisme

mendorong manusia untuk membangun relasi harmonis

dengan alam. Alam tidak dilihat sebagai obyek yang

harus dikuras bahkan dirusakan tetapi menjadi sahabat

yang perlu dijaga keutuhannya.

Dalam pengembangan etika ekologi, ada dua kelompok

berpikir yang memperjuangkan adanya nilai instrinsik

dari komponen alam semesta dan serentak menolak17

Page 18: Makalah filsafat

pandangan yang antroposentiris. a) biosentrisme (Keraf,

2006). Kelompok berpikir ini memperjuangkan pentingnya

kehidupan (bios). Biosentrisme menegaskan bahwa setiap

kehidupan di dunia ini memiliki nilai moral yang harus

dilindungi atau diselamatkan. Nilai moral merupakan

keluhuran kehidupan pada setiap mahluk hidup tanpa

kecuali. Karena itu, biosentrime secara radikal

memperjuangkan adanya penghargaan yang sama terhadap

setiap mahluk hidup. Setiap makluk hidup selayaknya

mendapat pertimbangan moral pada level yang sama. Tidak

ada pembedaan penghargaan moral terhadap manusia dan

makluk lain bukan manusia. Biosentrisme menekankan

kehidupan sebagai pusat pertimbangan etis, bukan pada

kepentingan manusia. Pendukung biosentrisme ini tampak

dalam teori lingkungan hidup berpusat pada kehidupan

seperti yang dikemukakan oleh Albert Schweitzer, bahwa

kehidupan itu sakral dan setiap organisme menginginkan

hidup, sebagaimana manusia ingin tetap hidup. Jika

demikian maka setiap orang memiliki kewajiban moral

untuk menghormati kehidupan setiap makluk sedalam-

dalamnya. Tokoh lain Paul Taylor, menegaskan bahwa

kesadaran ekologis dengan berpijak pada pentingnya

kehidupan didasar pada empat (4) keyakinan utama yakni,

-) manusia merupakan makluk yang berasal dari komunitas

kehidupan di bumi yang sama dengan organisme yang lain

(hewan dan tumbuhan). -) spesies manusia bersaama

18

Page 19: Makalah filsafat

spesies lain di bumi merupakan bagian dari sistem yang

saling bergantungan sedemikian rupa, sehingga

kebertahanan dan perkembangbiakannya bergantung pada

relasi antarspesies di bumi. -) semua organisme

merupakan pusat kehidupan yang memilki tujuan sendiri.

-) manusia dalam dirinya sendiri tidak lebih unggul

dari makluk lain. Satu tokoh lain pendukung

biosentrisme ialah Aldo Leopold. Melalui teori the land ethic

(etika bumi), ia menegaskan beberapa hal; -) bumi atau

alam bukan sebagai alat atau objek yang mempunyai nilai

dan fungsi untuk kepentingan manusia. -) pemberlakuan

etika mencakup semua alam semesta. Karena itu,

komunitas moral tidak saja berlaku untuk manusia tetapi

melingkupi seluruh organisme dalam alam semesta.

b) ekosentrisme. Gagsan kelompok ini merupakan

lanjutan dari biosentrisme yang sama-sama menentang

konsep antroposentrisme. Ekosentrisme memperluas zona

pemberlakuan moralitas yang tidak hanya terbatas pada

segala yang hidup tetapi mencakup komunitas ekologis

seluruhnya, baik hayati maupun nonhayati (Aman, 2007).

Perluasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa secara

ekologis, makluk hidup dan benda-benda nonbiotis

lainnya merupakan satu kesatuan yang tak dapat

dipisahkan. Secara konkrit tindakan manusia yang

berakibat langsung merusak komponen abiotis/nonhayati

berdampak buruk pada komponen biotis, termasuk manusia.

19

Page 20: Makalah filsafat

Karena itu, semua komponen dalam alam, baik biotis

maupun nonbiotis membentuk mata rantai kehidupan dan

saling membutuhkan dalam suatu ekosistem. Lebih lanjut

pertimbangan moral sesungguhnya tidak saja terbatas

pada unsur biotis tetapi juga harus menyentuh unsur

nonbiotis. Salah satu penerus ekosentrisme adalah Arne

Naes dengan teorinya yang terkenal deep ecology (DE).

Prinsipnya DE menolak konsep antropossentrisme. Dua

gagasan utama DE, diantaranya; -) manusia dan

kepentingannya bukanlah ukuran dari segala sesuatu yang

lain. Manusia bukan pusat prinsip moral. Prinsip moral

DE ditujukan untuk semua komunitas ekologi. DE

merupakan etika praktis berupa gerakan yang menuntut

adanya perubahan paradigma dan tindakan manusia

terhadap alam. Berkaitan dengan etika praktis ini, DE

mengedepankan beberapa prinsip dasar yang dikenal

dengan platform DE (Admaja, 2012; cf Keraf, 2006)

Makluk hidup dan segala perkembangan manusia

memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai

tersebut tidak bergantung pada apakah berguna

atau tidak berguna bagi manusia.

Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk

kehidupan memiliki peran bagi perwujudan nilai

tersebut.

20

Page 21: Makalah filsafat

Manusia tidak memiliki hak untuk mereduksi

kekayaan dan keanekaragaman tersebut, kecuali

untuk memenuhi kebutuhan vital.

Perkembangan kehidupan manusia dan

kebudayaannya berjalan seiring dengan

penurunan yang cukup berarti dari jumlah

penduduk. Perkembangan kehidupan di luar

manusia membutuhkan penurunan jumlah penduduk

seperti itu.

Campur tangan manusia terhadap dunia di luar

manusia terlalu berlebihan dan situasi ini

semakin memburuk.

Perlu ada perubahan kebijakan yang dapat

mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi dan

ideologi. Dan kebijakan tersebut seyogianya

menghasilkan situasi yang berbeda dari

sekarang.

Perubahan ideologis terutama menyangkut

penghargaan terhadap kualitas kehidupan dan

bukan bertahan pada standar kehidupan yang

semakin meningkat. Akan muncul kesadaran akan

perbedaan antara besar dan megah.

Orang-orang yang menerima pokok-pokok

pemikiran itu mempunyai kewajiban secara

langsung atau tidak langsung untuk ikut ambil

21

Page 22: Makalah filsafat

bagian mewujudkan perubahan-perubahan yang

diperlukan.

Pandangan biosentrisme dan ekosentrisme dengan

para pendukungnya secara tegas menolak pandangan

antropsentisme dan mengedepankan cara pandang baru

terhadap alam dengan memposisikan komponen lain di luar

manusia dalam alam semesta sama dengan manusia. Karena

itu, etika ekologi memperjuangkan pentingnya

penghormatan yang mendalam terhadap lingkungan hidup.

3. Etika Ilmu Pengetahuan dan teknologi

Pengadilan inkuisisi Galileo selama kurang lebih

dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan

berpikir di Eropa, yang pada dasarnya menampilkan

pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-

nilai di luar bidang keilmuan dengan ajaran di luar

bidang keilmuan yang ingin menjadikan dirinya sebagai

dasar metafiisik ilmu. Dalam periode ini ilmuwan

meperjuangkan ilmu yang bebas nilai. Akhir pertarungan

dimenangkan oleh ilmuwan. Dengan demikian ilmu mendapat

otonomi, bebas dari pengaruh dogmatik dan pertimbangan

moral terbatas pada dasar metafisik keilmuan. Bersamaan

dengan itu, ilmu dengan leluasa mengembangkan dirinya.

Pengembangan ilmu dimulai dari tahap kontemplasi

berupa konsep-konsep ilmiah yang kemudian disusul

dengan penerapannya berupa teknologi. Dalam tahap ini,

ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala22

Page 23: Makalah filsafat

alam untuk tujuan pemahaman tetapi lebih jauh bertujuan

memanipulasi faktor-faktor yang berkaitan dengan gejala

tersebut untuk mengontrol seluruh prosesnya, misalnya

berbekal konsep tentang kaitan antara hutan gundul dan

banjir, ilmu mengembangkan tekhnologi untuk mencegah

banjir. Gejala seperti ini menurut Russell sebagai

bentuk peralihan perkembangan ilmu dari tahap

kontemplasi ke tahap manipulasi (Suriasumantri, 2001).

Dalam tahap manipulasi pertimbangan moral atau

etika berkaitan dengan dasar pragmatis atau kegunaan

ilmu pengetahuan dan teknologi (dasar aksiologi).

Berkaitan dengan dasar aksiologis ilmu pengetahuan dan

teknologi, ilmuwan memaparkan dua pendapat yang

berbeda. Kelompok pertama, menginginkan agar ilmu

bersifat netral terhadap nilai baik secara ontologis

maupun secara aksiologis. Ilmuwan bertugas untuk

memperoleh pengetahuan (teori) sedangkan penggunaannya

tergantung pada masyarakat; apakah ilmu itu digunakan

untuk kebaikan ataukah untuk hal yang buruk. Kelompok

kedua, menekankan bahwa ilmu netral terhadap nilai

metafisis keilmuan (dasar ontologisnya) sedangkan dalam

penggunaannya (dasar aksiologis) harus didasarkan pada

asas-asas moral/ etika. Dasar argumentasi kelompok

kedua diantaranya (Ibid);

Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara

destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan

23

Page 24: Makalah filsafat

adanya dua perang dunia yang menggunakan

teknologi keilmuan.

Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin

esoteric, sehingga ilmuwan hanya dapat

mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi

bila ada penyalahgunaan.

Ilmu telah berkembang dengan cepat dan

sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan

ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaannya

yang paling hakiki, seperti pada kasus

revolusi genetika dan perubahan social (social

engineering).

Berlandas pada tiga keyakinan di atas maka

kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmu

secara moral harus bertujuan untuk kebaikan

manusia tanpa merendahkan martabat dan hakekat

kemanusiaannya.

Merujuk pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa

kelompok Ilmuwan kedua yang mengembangkan etika dalam ilmu

pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangannya etika ilmu

pengetahuan dan teknologi menyata dalam beberapa

implementasi a) konsep teknohumanistik (teknologi berwajah

kemanusiaan). Gagasan teknohumanistik muncul ketika

teknologi buatan manusia melahirkan fakta dehumanisasi dan

kerusakan lingkungan hidup. Sebagaimana dikatakan Schumacher

(dalam Admaja, 2012) teknologi yang berwajah kemanusiaan

24

Page 25: Makalah filsafat

atau sistem produksi oleh massa adalah teknologi“... yang

tidak menyebabkan tangan dan otak menjadi tidak berguna,

tetapi membantunya menjadi lebih produktif daripada

sebelumnya”

Adapun ciri-ciri lengkapnya adalah sebagai berkut.

Sistem produksi oleh massa mengarahkan sumberdaya yang takternilai harganya yang dimiliki oleh semua umat manusia –otaknya yang cerdas dan tangannya yang terampil danmembantunya dengan alat-alat yang unggul. Teknologi produksi oleh massa –dengan menggunakan pengetahuan modern dan pengalaman yangterbaik – mendorong desentralisasi, selaras dengan hukumekologi, berhati-hati dalam menggunakan sumberdaya yanglangka, dan akan selalu melayani manusia, bukannya membuatmanusia menjadi mesin. Teknologi semacam itu saya sebutteknologi madya (intermediate technology), yang berarti bahwateknologi ini jauh lebih tinggi daripada teknologi primitifdari zaman purba, tetapi sebaliknya lebih sederhana, lebihmurah dan lebih bebas daripada super-teknologi,. Teknologiserupa itu dapat juga kita namai teknologi swasembada,teknologi demokrasi atau teknologi rakyat – suatu teknologiyang dapat menampung setiap orang, bukan teknologi yangmelulu untuk negara yang sudah kaya dan kuat (Ibid).

Schumacher menganjurkan bahwa teknologi yang lebih cocok

bagi negara sedang berkembang adalah teknologi berwajah

kemanusiaan. Pilihan ini tidak bisa dilepaskan dari

karakteristik yang melekat pada teknologi berwajah

kemanusiaan, yakni menunjukkan keunggulan daripada

teknologi produksi massal. Keunggulan yang paling penting

adalah tidak semata-mata karena mampu menampung tenaga

kerja yang banyak negara-negara berkembang sangat kaya akan

sumber daya manusia karena penduduknya banyak, tetapi yang

lebih penting adalah teknologi berwajah kemanusiaan –

25

Page 26: Makalah filsafat

sesuai dengan labelnya, tidak menyebabkan tangan dan otak

manusia menjadi tidak berguna, tetapi membantunya menjadi

lebih produktif daripada sebelumnya melalui pemberian

bantuan alat-alat yang unggul (bukan alat-alat zaman purba)

karena mendasarkan diri pada pengetahuan modern dan

pengalaman terbaik (Ibid).

b) teknoekologis. Konsep dasarnya ialah adanya teknologi

yang tepat guna, melindungi dan memperbarui ekosistem.

Metzner (dalam Admaja, 2012) menguraikan tentang

pentingnya perubahan zaman, yakni dari era industri ke era

ekologis. Era industri ditandai oleh adanya teknologi yang

bercorak ketergantungan pada bahan bakar fosil, teknologi

demi keuntungan, beban sampah berlebihan, eksploitasi dan

konsumerisme. Dalam rangka mewujudkan era ekologis maka

teknologi serupa itu harus dialihkan ke arah suatu teknologi

yang bercirikan ketergantungan pada sesuatu yang dapat

diperbarui, teknologi tepat guna, daur ulang, guna ulang,

melindungi dan memperbarui ekosistem.

c) Ekoluddisme (Ibid). Asumsi dasarnya bahwa teknologi

ciptaan manusia tidak selamanya berdampak positif bagi

manusia, tetapi juga berdampak negatif, termasuk di dalamnya

kerusakan lingkungan atau bahkan bisa menghancurkan

peradaban manusia, sebagaimana tercermin pada kasus bom atom

di Hirosima dan Nagasaki atau kasus teknologi nuklir

Chernobyl, dll. Karena itu, penerapan teknologi tingkat

tinggi guna memecahkan suatu masalah, justru memunculkan hal

26

Page 27: Makalah filsafat

yang sebaliknya, yakni sebagai bagian dari masalah –

memunculkan masalah, bukan bagian dari solusi suatu masalah.

Begitu pula teknologi transportasi yang berkembang sangat

pesat, di satu sisi memang memberikan peluang bagi manusia

untuk memecahkan masalah ruang dan waktu, namun dampak

negatifnya tidak bisa dihindarkan, yakni manusia diperbudak

oleh teknologi transportasi. Ekoluddisme sesungguhnya

tidak menolak teknologi, tetapi mengingatkan bahwa teknologi

tingkat tinggi harus disikapi secara hati-hati, karena tidak

selamanya mampu memecahkan masalah secara tuntas, tetapi

bisa sebaliknya, yakni memunculkan masalah bagi manusia.

Para penganut ekoluddisme lebih menyukai pengadopsian

teknologi yang lebih rendah agar dapat digunakan dan

dikontrol oleh orang biasa, dan secara langsung berkaitan

dengan kesejahteraannya.

4. Reposisi Manusia terhadap alam dalam pandangan Agama ;

Ekoteologi (Kristen), Mistisisme (Hindu) dan Budhisme.

Antroposentrisme dan pendekatan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang mekanistik dan reduksionis yang lahir dari

rahim modernitas merupakan salah satu legitimasi ilmiah bagi

superioritas manusia atas alam. Manusia ditempatkan pada

puncak tertinggi dalam hirarki ciptaan alam semesta. Manusia

merasa terpisah dari komponen alam yang lainnya. Bahkan

manusia tampil menjadi penguasa atas alam. Akibatnya

penjamahan atau eksploitasi alam berlebihan pun terjadi yang

berujung pada krisis ekologi berkepanjangan.

27

Page 28: Makalah filsafat

Upaya menanggulangi krisis ekologi tentu tidak cukup

hanya berhenti pada pembenahan praktek sosial, tetapi lebih

dari itu perlu memikirkan kembali cara pandang manusia

terhadap alam (reposisi manusia terhadap alam) sebagai

bentuk kesadaran ekologis. Karena itu, perlu diuraikan

pandangan agama, khususnya agama Kristen, Hindu dan Budha

berkaitan dengan cara pandang dan sikap manusia terhadap

alam.

Pertama, ekoteologi (Budi Kleden, 2009), merupakan salah

satu cabang ilmu teologi Kristen yang merefleksikan relasi

antara unsur-unsur dalam ekosistem alam dari perspektif

iman. Ekoteologi merupakan nafas baru teologi penciptaan

yang bersifat teosentris (Allah adalah awal dan akhir

seluruh ciptaan). Beberapa gagasan utama ekoteologi : 1)

melukis ulang kisah penciptaan dan tanggung jawab baru

manusia sebagai rekan Allah dalam menebus kerusakan alam.

Kisah penciptaan dilukis secara kosmosentris. Penciptaan

dimulai dengan kehadiran ciptaan bukan manusia (air,

daratan, udara, hewan dan tumbuhan ( penciptaan hari 1-5) )

kemudian disusul dengan ciptaan manusia. Ciptaan bukan

manusia memiliki kebaikan dan tingkat perkembangan dalam

dirinya sendiri tanpa campur tangan ciptaan manusia yang

hadir kemudian. Lukisan penciptaan menggambarkan pola relasi

lingkaran bukan hirarkis. Dalam tatanan penciptaan, manusia

diciptakan pada hari ke-6 (dalam ajaran dan tradisi Kristen

meyakini Allah menciptakan alam semesta termasuk manusia

28

Page 29: Makalah filsafat

selama 7 hari) setelah semua ciptaan lain diciptakan. Dengan

demikian dalam konstelasi penciptaan tersirat bahwa

keberlangsungan dan kebermaknaan ciptaan lain tidak

bergantung pada manusia. Uraian ini sekaligus menegasi atau

menyangkal pencitraan manusia sebagai tuan atas ciptaan yang

lain. 2) ekoteologi menolak pandangan tradisional yang

melihat penciptaan dalam bentuk hirarki (dari sederhana-

sempurna), di mana manusia sebagai puncak penciptaan.

Manusia ditempatkan berbeda dan terpisah dengan ciptaan yang

lain. Manusia merasa diri tuan atas alam, sehingga

ekploitasi terhadap alam menjadi wajar demi keberlangsungan

hidupnya. Ekoteologi dengan gagasan “Tuhan/Allah hadir nyata

dalam semua ciptaan”, menuntut bentuk relasi manusia dengan

alam sebagaimana halnya manusia berelasi dengan Pencipta

(Tuhan/Allah). Merusak alam identik dengan membunuh

Pencipta. Karena itu, eksistensi manusia tidak terpisah dari

alam, tetapi menyatu dengan alam dalam kapasitasnya sebagai

sesame ciptaan Allah. Manusia tidak lagi menjadi tuan atas

alam tetapi merupakan sahabat dalam bentuk relasi yang

saling membutuhkan.

Kedua, mistisisme Hindu (Admaja, 2012). Dalam konsep

mistisisme Hindu ditegaskan bahwa ada pararelisasi antara

tubuh manusia sebagai mikrokosmos dan alam semesta sebagai

makrokosmos. Kesejajaran bisa dilihat dari bahan bakunya,

yakni mikrokosmos atau tubuh manusia dan makrokosmos atau

alam semesta terbentuk oleh Panca Maha Bhuta, yakni tanah,

29

Page 30: Makalah filsafat

air, api, udara, dan eter. Di dalamnya ada jiwa universal,

yakni Brahman yang transendental, berimanensi baik dalam

makrokosmos maupun mikrokosmos sehingga Tuhan tidak saja

merupakan roh individu atau atman, tetapi sebagaimana

dikemukakan juga sebagai Jiwa Alam Semesta. Begitu pula

makhluk hidup lainnya, baik bahan baku maupun roh yang

menghidupinya sama dengan manusia di dalamnya juga terdapat

atman sebagai percikan dan Tuhan atau Brahman sehingga dalam

Agama Hindu dikenal ucapan “... Sarva bhuta kutumbhakam (semua

makhluk hidup adalah bersaudara)” (Wijaya dalam Admaja,

2012). Untuk menunjukkan adanya pararelisasi, kesinambungan

atau persaudaraan antara pepohonan dan manusia, menarik

dikemukakan ajaran yang terdapat dalam Brhadaranyaka Upanisad

sebagaimana dikutip Chapple, (dalam Admaja, 2012);

Seperti sebuah pohon hutan,Begitulah, pasti, manusia,Rambutnya adalah daun-daunan,Kulitnya kulit luar pohon,Dari kulitnya darah,Getah dari kulit [pohon] mengalir keluar,Darinya mengalir ketika ditusuk,Kucuran, seperti dari pohon bila ditebas,Potongan-potongan dagingnya adalah lapisan-lapisaan kayu,Serat adalah seperti otot, kuat,Tulang adalah kayu di dalam,Sumsum pun dibuat menyerupai inti kayu batang pohon.

Konsep pararelisasi mengandung makna imperatif kategoris

bahwa manusia berkewajiban untuk memperlakukan tubuhnya30

Page 31: Makalah filsafat

sendiri dan lingkungan alam dengan penuh rasa cinta, hormat,

dan kasih sayang. Dengan demikian perlakuan manusia terhadap

alam melalui tindakan menjarah dan merusak alam sama dengan

merusak diri sendiri sebab keberadaan manusia sejajar dengan

makluk bukan manusia dalam alam semesta.

Ketiga, Buddhisme. Konsep agama Budha tentang sikap

manusia terhadap alam tidak terlepas gagasan manusia

sebagai bagian integral dari alam semesta beserta isinya.

Dua kutipan berikut memuat secara detail tentang posisi

manusia di tengah alam semesta.

Pandangan Buddhis adalah bahwa manusia diciptakan danditopang hidupnya bukan oleh Tuhan yang satu, tetapi olehsemua unsur penyebab dan pengaruh serta segala hal disekelilingnya. Karena menikmati berkah saling ketergantungandan dukungan dari semua hal, pantaslah bagi manusia untukmelakukan semua hal yang dimampuinya untuk mengembalikanberkah ini dengan memperhatikan makhluk lain seramahmungkin. ... Karena dalam banyak hal lebih mulia daripadamakhluk lain, ... seharusnya manusia menjadi penjaga yangbaik dan bukan penindas yang tak kenal kasihan bagi mereka(Peccei dan Ikeda, dalam Admaja, 2012).

Lebih lanjut dalam puisi Budha yang dikutip Amstrong (Ibid);

Biarlah semua makhluk berbahagia!Lemah atau kuat, berkedudukan tinggi, menengah ataurendah,kecil atau besar, terlihat atau tak terlihat,dekat atau jauh, hidup atau akan dilahirkan –Semoga mereka semua bahagia sempurna!Jangan ada yang berbohong kepada siapa pun atau menghina siapa pundimana pun.

31

Page 32: Makalah filsafat

Semoga tidak ada yang mengharapkan celaka bagi orang lain lantaran marah atau benci!Marilah kita menghargai semua makhluk, seperti seorang ibu kepadaanak tunggalnya!Semoga pikiran penuh kasih mengisi seluruh dunia, di atas, di

bawah,di mana-mana – tanpa batas;cinta kita tidak mengenal rintangan –niat baik tanpa batas bagi seluruh dunia,tak terhalang, bebas dari kebencian atau permusuhan.Apakah kita sedang berdiri atau berjalan, duduk atau berbaring,Selama kita terjaga kita harus mengembangkan cinta inidalam hati kita.Inilah cara hidup paling mulia.

Dua kutipan di atas bermuatan makna bahwa manusia tidak saja

berkewajiban menyayangi makhluk hidup lainnya, tetapi juga

membiarkannya dalam suasana berkebahagiaan secara univeral.

Dengan demikian Buddhisme menginginkan adanya relasi

harmonis antarciptaan dalam alam semesta dan manusia

bertanggungjawab mutlak bagi keutuhan seluruh ciptaan dalam

kosmos/alam semesta.

IV.Penutup

Modernitas telah membawa manusia pada sebuah pembebasan,

khususnya otonomi ilmu pengetahuan. Realitas yang tak

terbantahkan bahwa peradaban manusia berhutang budi pada ilmu

pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia dapat dilakukan

dengan lebih cepat dan mudah. Selain itu, membawa kemudahan

32

Page 33: Makalah filsafat

bagi penciptaan dalam bidang-bidang yang menunjang kehidupan

manusia seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,

pendidikan dan komunikasi.

Dibalik semuanya itu, modernitas ternyata menyimpan

sejumlah persoalan sebagai akibat penempatan manusia sebagai

pusat segala sesuatu (etika antroposentrisme) dan cara pandang

ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat mekanistik dan

redusionistik. Modernitas dituding sebagai penyebab dasar

adanya eksploitasi alam yang berujung pada krisis ekologi

secara global. Fakta menunjukkan bahwa alam sepertinya tidak

bersahabat. Bukti empiris menunjukkan bahwa cerita banjir,

kebakaran hutan, dan berbagai kejadian tragis pengerukan alam

lainnya mewarnai berita media massa baik cetak maupun

elektronik.

Di tengah situasi seperti harapan akan keharmonisan alam

menjadi cita-cita bersama. Karena itu, upaya penanggulangan

tidak saja pada pembenahan praktek social, tetapi juga

pembenahan pada paradigma berpikir manusia dan pendekatan ilmu

pengetahuan. Refleksi etis, filosofis, ilmiah dan teologis

yang holistic merupakan keharusan mutlak demi pemulihan

komunitas alam yang memang dalam kekinian tidak bersahabat.

Sebagai catatan akhir berupa sentilan anjuran berhadapan

dengan krisis ekologi yang mengglobal; 1) memandang masalah

global sebagai masalah lokal. Secara tidak sadar, mayoritas

manusia terhipnotis oleh euphoria globalisasi. Akibatnya

manusia dalam kekinian, termasuk orang Indonesia tidak33

Page 34: Makalah filsafat

menyadari kearifan lokalnya. Dampak lanjutnya orang terlampau

memikirkan dampak global lantas lupa mengambil langkah konkrit

dalam konteks lokal. Mencairnya es di kutub utara, hendaknya

tidak direduksi menjadi tanggung jawab orang Eropa, tetapi

merupakan tanggung jawab lokal yang harus ditanggulangi. 2)

menghidupi kearifan lokal di tengah kemeriahan globalisasi.

Dominasi dunia barat menghipnotis manusia di dunia timur,

termasuk Indonesia lebih tertarik pada budaya dan pola pikir

barat kemudian melupakan identitas ketimuran. Konsep filsafat

timur yang senantiasa berbela rasa dengan alam menjadi rujukan

bersama dalam menggali kearifan lokal. Penguatan basis lokal

(cara pandang, kebiasaan,dan sikap lokal) merupakan salah satu

tindakan strategis membendung badai kerusakan global. Marilah

kita bertindak dalam kelokalan kita dan tetap menjadi pribadi

yang berwawasan global (act localy and think glabaly).

34

Page 35: Makalah filsafat

Daftar Pustaka

Admaja, N.B, 2012. Materi Kuliah Filsafat Ilmu. Undiksha :

Program Pascasarjana, Prodi Administrasi

Pendidikan, Semester I

Baylis, John & Smith, Steve (eds.) (2001), The Globalization of

World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.

Ceunfin, Frans. 2006. Materi Kuliah Etika. Maumere : STFK

Ledalero.

Chang, William. 2001. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta:

Kanisius.

Ian, G.Barbour (edit.), 1973. Western Man and Environmental Ethics.

California: Addision-Wesley Publishing

Company.

JPIC, OFM Indonesia. 2008. Mencegah Tanah Manggarai Hancur.

Jakarta : JPIC OFM Indonesia.

Kleden, Paul Budi. 2009. “Tanggapan Teologis atas Persoalan

Tambang di Flores dan Lembata” dalam Ales

Jebadu, ed. Pertambangan di Flores- Lembata : Berkah

atau Kutuk?. Maumere : Ledalero.

Keraf, A. Sony, 2006. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta : Kompas.

Suseno, Frans Magnis. 1993. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.

Yogyakarta : Kanisius.

Suriasumantri, S. Juju. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.

Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

35

Page 36: Makalah filsafat

Tucker, M. Evelyn, et.all. 2003. Agama, Filsafat dan Lingkungan

Hidup. Yogyakarta : Kanisius.

36