TUGAS FARMASI FORENSIK PENERAPAN SAIN FARMASI (EPIDEMIOLOGI DAN PERANCANAAN PRODUK) PADA PPIC DI INDUSTRI FARMASI OLEH KELOMPOK 14 ADE BUDIHENDRAWAN (1408515045) BAGUS NYOMAN SUGIASTANA (1408515046) MITA ANGGRENI (1408515047) PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER JURUSAN FARMASI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TUGAS FARMASI FORENSIK
PENERAPAN SAIN FARMASI (EPIDEMIOLOGI DAN PERANCANAAN PRODUK)
PADA PPIC DI INDUSTRI FARMASI
OLEH
KELOMPOK 14
ADE BUDIHENDRAWAN (1408515045)
BAGUS NYOMAN SUGIASTANA (1408515046)
MITA ANGGRENI (1408515047)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
Gelgel W, 10/03/14,
Nilai 85Struktur sdh memanuhi ketentuanSebaiknya ditingkatkanpenulisasnnya
BAB I
TINJAUAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.1. Perundang-undangan yang Mendasari PPIC, Unit perencanaan produksi
Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan suatu fundamental
dari semua hukum yang berlaku di Indonesia. Tujuan negara Indonesia tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 yakni pada alinea keempat dimana salah satunya menyebutkan tujuan
negara adalah untuk “memajukan kesejahteraan umum”. Kesejahteraan umum yang dimaksud
pada pembukaan UUD 1945 adalah bahwa negara menjamin hak asasi setiap warganya untuk
mendapatkan penghidupan yang layak termasuk hak untuk memperoleh kesehatan. Berdasarkan
UUD tahun 1945 Pasal 28D (1) dan 28H (1) setiap orang berhak atas perlindungan dan
memperoleh pelayanan kesehatan, demikian halnya juga dalam UU No.8 tahun 1990 tentang
Perlindungan Konsumen (pasal 4a, 7d, dan 8 (1)) yang mendasari industri farmasi memberikan
produk yang aman dan dapat mendukung pelayanan kesehatan. Beberapa perundang-undangan
yang mendasari produksi di industri farmasi khususnya perencanaan produksi maupun
pengendalia persediaan (PPIC) adalah UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (pasal 1 (4), 98
dan 108 (1)), PP No. 51 t ahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (pasal 1(1), 2(1), 5, 7(1), 8,
9(3), dan 10), Kepmenkes No 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang tentang pedoman
penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular
terpadu. Permenkes No. 1799/Menkes/Per/xii/2010 tentang Industri Farmasi (pasal 3 dan 15),
Permenkes No. 377/Menkes/Per/v/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Apoteker
dan Angka Kreditnya (pasal 3 dan 5), dan HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang
Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik. Dari perundang-undangan tersebut industri farmasi
memiliki dasar hukum yang mengikat kegiatan proses produksi hingga diperolehnya suatu
produk. Dimana persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah industri farmasi, yaitu memiliki
sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab.
1.1.1 Apoteker Sebagai Penanggung Jawab Industri Farmasi
Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, pekerjaan
kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus memiliki Apoteker penanggung jawab.
Dimana berdasarkan pada pasal 2 “Pekerjaan Kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu” dalam hal ini tenaga kesehatan
yang bertanggung jawab adalah Apoteker. Permenkes RI No. 1799/MENKES/PER/XII/2010
tentang Industri Farmasi, dikatakan bahwa Apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing
sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu.
Gambar 1. Struktur Organisasi Industri Farmasi
Apoteker yang menjadi manajer PPIC membuat perencanaan produksi obat, pengawasan
stock bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi. Apoteker sebagai manajer R & D (Unit
pengembangan produk) memberikan pengarahan dalam pelaksanaan pembuatan formulasi obat
baru dan pengembangan obat yang sudah ada. Jika terjadi kegagalan dalam produksi,
mendiskusikannya dengan bagian produksi dan Quality Control untuk mencari penyebab dan
mencari jalan keluar. Sedangkan apoteker sebagai manajer Registrasi bertanggung jawab atas
registrasi produk baru atau produk varian untuk didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan
Makanan dengan bekerja sama dengan departemen R & D, Pengawas Mutu dan Produksi.
Kualifikasi yang diharapkan dari masing-masing manajer (penanggung jawab) masing-
masing bagian adalah Ilmu manajemen farmasi, epidemiologi, farmasi forensik dibutuhkan untuk
pelaksanaan dalam bidang PPIC. Adapun ilmu-ilmu farmasi tersebut dapat menunjang tujuan
dari PPIC yaitu perencanaan dan pengendalian proses produksi sehingga dapat berjalan seefisien
mungkin dan dapat menghasilkan output produk obat yang sesuai dengan permintaan pasar,
menghadirkan produk obat yang diminati pasar sehingga perusahaan dapat menghasilkan produk
dengan syarat kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan kapasitas dan laju produksi yang pasti
serta jadwal pengiriman yang tepat. Penanganan Material memastikan bahwa material harus
tersedia sesuai dengan waktu dan kebutuhan. Dikatakan efisien karena pemenuhan material harus
memperhatikan biaya yang dikeluarkan. Membuat jadwal perencanaan produksi, adapun hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pertimbangan perencanaan produksi meliputi jumlah orderan
yang diterima, permintaan customer, kapasitas produksi, formulasi produk untuk mengetahui
jumlah dan jenis bahan yang dibutuhkan untuk produksi, perhitungan kebutuhan bahan baku
yang dibutuhkan dan perkiraan jumlah produk yang akan diproduksi.
1. PPIC
Landasan hukum untuk bagian PPIC di Industri Farmasi diatur oleh peraturan perundang-
undangan, yaitu :
Permenkes Nomor 377/menkes/per/v/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional
Apoteker dan Angka Kreditnya pasal 5, yaitu dalam industry farmasi perlu membuat
rencana produksi dengan berpedoman pada rencana sales marketing, membuat rencana
pengadaan, memantau inventory baik untuk proses produksi maupun stock yang ada
digudang, menghitung standard yield berdasarkan realisasi produksi tiap tahun dan
melakukan evaluasi. Dari penjabaran peraturan perundang-undangan diatas, tupoksi
apoteker di bagian PPIC (Production Planning and Infentory Control) yakni :
Memantau kegiatan pengadaan oleh bagian Purchasing dan memastikan kondisi
tempat penyimpanan persediaan sesuai dengan pedoman CPOB
Menyusun Rencana Anggaran Belanja Perusahaan (RABP)
Mampu menyusun strategi produksi berdasarkan forecasting departemen
marketing dengan kapasitas produksi perusahaan dan menerapkan dalam
rencana produksi dan kebutuhan bahan tahunan
Menyusun rencana produksi dan kebutuhan bahan periodik dalam bentuk jadwal
atau schedule bulanan, mingguan, dan harian
Memantau jalannya pelaksanaan proses produksi dan bertanggung jawab dalam
dokumentasi seluruh kegiatan produksi dan pengendalian persediaan.
Memantau semua persediaan pada proses produksi, stok persediaan yang ada di
gudang maupun yang didatangkan.
2. Epidemiologi
Kepmenkes RI No 430/MENKES/SK/IV/2007 tentang pedoman penyelenggaraan sistem
surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular terpadu. Penyakit
merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Upaya pemberantasan penyakit
menular, KLB dan keracunan, serta penanggulangan penyakit tidak menular diperlukan
sistem surveilans epidemiologi dan kerjasama antara kabupaten/kota, propinsi, nasional
dan internasional Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan
efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Sumber data yang diperoleh dan
jenis penyakit data melaui sumber data puskesmas, rumah sakit, laboratorium, kejadian
luar biasa penyakit dan keracunan dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesma sentinel
dan rumah sakit sentinel.
1.1.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
CPOB atau Cara Pembuatan Obat yang Baik merupakan bagian dari sistem pemastian mutu
(Quality Asurance/ QA) yang mengatur dan memastikan obat diproduksi dan mutunya
dikendalikan secara konsisten sehingga produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu
yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaan produk disamping persyaratan lainnya
(misalnya persyaratan izin edar), sehingga produk tersebut aman dikonsumsi dan diterima oleh
masyarakat. Penerapan CPOB di industri farmasi dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
kesalahan dalam proses produksi obat sehingga tidak membahayakan jiwa manusia
(Priyambodo, 2008).
Berdasarkan Peraturan KBPOM RI Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) menyatakan bahwa dokumentasi
yang jelas sangat penting untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang
relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan
yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, dokumen
produksi induk/formula pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus
bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting,
dokumen yang diperlukan antara lain:
1. Spesifikasi
Hendaklah tersedia spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan produk jadi yang disahkan
dengan benar dan diberi tanggal; jika perlu, hendaklah juga tersedia spesifikasi bagi produk
antara dan produk ruahan.
a. Spesifikasi Bahan Awal
Spesifikasi bahan awal hendaklah mencakup, di mana diperlukan:
i) deskripsi bahan, termasuk:
nama yang ditentukan dan kode referen (kode produk) internal;
rujukan monografi farmakope, bila ada;
pemasok yang disetujui dan, bila mungkin, produsen bahan;
standar mikrobiologis, bila ada;
ii) petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan;
iii) persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan;
iv) kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan; dan
v) batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian kembali.
b. Spesifikasi Bahan Pengemas
Spesifikasi bahan pengemas hendaklah mencakup, dimana diperlukan:
i) deskripsi bahan, termasuk
nama yang ditentukan dan kode referen (kode produk) internal;
rujukan monografi farmakope, bila ada;
pemasok yang disetujui dan, bila mungkin, produsen bahan;
standar mikrobiologis, bila ada;
spesimen bahan pengemas cetak, termasuk warna;
ii) petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan;
iii) persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan;
iv) kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan; dan
v) batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian kembali.
c. Spesifikasi Produk Antara dan Produk Ruahan
Spesifikasi produk antara dan produk ruahan hendaklah tersedia, apabila produk tersebut
dibeli atau dikirim, atau apabila data dari produk antara digunakan untuk mengevaluasi
produk jadi. Spesifikasi hendaklah mirip dengan spesifikasi bahan awal atau produk jadi,
sesuai keperluan.
d. Spesifikasi Produk Jadi
Spesifikasi produk jadi hendaklah mencakup:
a) nama produk yang ditentukan dan kode referen (kode produk);
b) formula/komposisi atau rujukan;
c) deskripsi bentuk sediaan dan uraian mengenai kemasan, termasuk ukuran kemasan;
d) petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan;
e) persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan;
f) kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan khusus, bila diperlukan; dan
g) masa edar/simpan.
2. Dokumen Produksi
Dokumen yang esensial dalam produksi adalah:
a) Dokumen Produksi Induk yang berisi formula produksi dari suatu produk dalam bentuk
sediaan dan kekuatan tertentu, tidak tergantung dari ukuran bets;
b) Prosedur Produksi Induk, terdiri dari Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur
Pengemasan Induk, yang masing-masing berisi prosedur pengolahan dan prosedur
pengemasan yang rinci untuk suatu produk dengan bentuk sediaan, kekuatan dan
ukuran betsspesifik. Prosedur Produksi Induk dipersyaratkan divalidasi sebelum
mendapat pengesahan untuk digunakan; dan
c) Catatan Produksi Bets, terdiri dari Catatan Pengolahan Bets dan Catatan Pengemasan
Bets, yang merupakan reproduksi dari masing-masing Prosedur Pengolahan Induk dan
Prosedur Pengemasan Induk, dan berisi semua data dan informasi yang berkaitan
dengan pelaksanaan produksi dari suatu bets produk. Kadang-kadang pada Catatan
Produksi Bets, prosedur yang tertera dalam Prosedur Produksi Induk tidak lagi
dicantumkan secara rinci.
3. Dokumen Produksi Induk
Dokumen Produksi Induk yang disahkan secara formal hendaklah mencakup nama, bentuk
sediaan, kekuatan dan deskripsi produk, nama penyusun dan bagiannya, nama pemeriksa
serta daftar distribusi dokumen dan berisi hal sebagai berikut:
a) informasi bersifat umum yang menguraikan jenis bahan pengemas primer yang harus
digunakan atau alternatifnya, pernyataan mengenai stabilitas produk, tindakan
pengamanan selama penyimpanan dan tindakan pengamanan lain yang harus dilakukan
selama pengolahan dan pengemasan produk;
b) komposisi atau formula produk untuk tiap satuan dosis dan untuk satu sampel ukuran
bets;
c) daftar lengkap bahan awal, baik yang tidak akan berubah maupun yang akan mengalami
perubahan selama proses;
d) spesifikasi bahan awal;
e) daftar lengkap bahan pengemas;
f) spesifikasi bahan pengemas primer;
g) prosedur pengolahan dan pengemasan;
h) daftar peralatan yang dapat digunakan untuk pengolahan dan pengemasan;
i) pengawasan selama-proses pengolahan dan pengemasan; dan
j) masa edar/simpan.
4. Prosedur Pengolahan Induk
Prosedur Pengolahan Induk yang disahkan secara formal hendaklah tersedia untuk tiap
produk dan ukuran bets yang akan dibuat. Prosedur Pengolahan Induk hendaklah
mencakup:
a) nama produk dengan kode referen produk yang merujuk pada spesifikasinya;
b) deskripsi bentuk sediaan, kekuatan produk dan ukuran bets;
c) daftar dari semua bahan awal yang harus digunakan, dengan menyebutkan masing-
masing jumlahnya, dinyatakan dengan menggunakan nama dan referen (kode produk)
yang khusus bagi bahan itu; hendaklah dicantumkan apabila ada bahan yang hilang
selama proses;
d) pernyataan mengenai hasil akhir yang diharapkan dengan batas penerimaan, dan bila
perlu, tiap hasil antara yang relevan;
e) pernyataan mengenai lokasi pengolahan dan peralatan utama yang harus digunakan;
f) metode atau rujukan metode yang harus digunakan untuk mempersiapkan peralatan kritis
pengolahan, pengemasan dan distribusi dilakukan sesuai dengan prosedur tertulis atau
instruksi dan dicatat atau dikomentasikan
2. Semua proses produksi kritis divalidasi
3. Studi validasi dilakukan sesuai dengan protokol yang telah ditetapkan. Sebuah laporan
tertulis yang meringkas hasil pencatatan dan kesimpulan disiapkan, dievaluasi, disetujui,
dan dijaga untuk selalu memenuhi persyaratan validasi setiap menjalankan proses
produksi
4. Perubahan proses produksi, sistem, peralatan, atau bahan yang dapat mempengaruhi
kualitas produk dan atau proses produksi ulang divalidasi sebelum pelaksanaan
5. Setiap penyimpangan dari instruksi atau prosedur harus dihindari. Jika penyimpangan
terjadi, teknisi ahli menyelidiki dan menulis laporan yang menggambarkan
penyimpangan, penyelidikan, alasan untuk disposisi, dan kegiatan tindak lanjut yang
diperlukan. Laporan ini disetujui departemen QC dan rekamannya dipelihara .
6. Cek pada hasil dan rekonsiliasi kuantitas dilakukan pada tahap yang sesuai dari proses
untuk memastikan bahwa hasil berada dalam batas yang dapat diterima .
7. Penyimpangan dari hasil yang diharapkan dicatat dan diselidiki .
8. Akses ke area produksi dibatasi untuk personil yang ditunjuk .
9. Produk non - obat dapat dibuat atau dikemas / diberi label di daerah atau dengan
peralatan yang juga digunakan untuk produksi produk farmasi .
10. Sebelum operasi produksi dimulai , prosedur dilakukan dan didokumentasikan dalam
memastikan bahwa pekerjaan daerah dan peralatan yang bersih dan bebas dari bahan
baku, produk, residu, label , atau dokumen tidak diperlukan untuk operasi saat ini untuk
mencegah kontaminasi silang
11. Pada setiap tahap produksi, produk dan bahan-bahan terlindung dengan baik dari
mikroba dan kontaminasi lainnya .
12. Dalam proses kegiatan pengendalian yang dilakukan dalam daerah produksi tidak
menimbulkan resiko bagi kualitas produk .
13. Alat ukur secara teratur diperiksa akurasi dan presisinya, dan catatan pemeriksaan
tersebut dipertahankan
14. Pada setiap saat selama proses, semua bahan, kontainer besar, peralatan dan kamar
utama digunakan diberi label atau diidentifikasi dengan indikasi produk atau bahan yang
sedang diproses, meliputi kekuatan, nomor batch, dan tahap produksi yang sedang
berlangsung .
15. Bahan dan produk yang ditolak secara jelas ditandai dan disimpan secara terpisah dalam
area terbatas atau dikendalikan oleh suatu sistem yang menjamin bahwa bahan atau
produk dikembalikan ke vendor atau tempat yang tepat dimana dilakukan pengolahan
ulang atau dimusnahkan. Tindakan yang dilakukan dicatat .
16. Setelah diterima, bahan baku, bahan kemasan, obat-obatan in-process (setengah jadi),
dan obat-obatan bulk dicatat, didokumentasikan, diberi label dan ditahan di karantina
sampai dirilis oleh departemen QC.
17. Prosedur ditetapkan untuk memastikan identitas isi setiap kontainer. Kontainer tiap
sampel diambil dan diidentifikasi .
18. Untuk setiap pengiriman, semua kontainer diperiksa integritas paket dan segel dan untuk
memverifikasi bahwa informasi sesuai yang diminta, catatan pengiriman dan label
vendor sesuai pertujuan.
19. Kerusakan kontainer, bersama dengan masalah lain yang mungkin mempengaruhi
kualitas material dicatat , dilaporkan ke departemen QC , dan diselidiki .
20. Setelah diterima, kontainer dibersihkan dan bila perlu diberi label dengan data yang
ditentukan .
21. Label untuk obat bulk, obat in process , bahan baku , dan bahan kemasan harus memiliki
informasi berikut:
a. Nama yang ditunjuk dan, jika berlaku, kode atau nomor referensi material;
b. Nomor batch tertentu yang diberikan oleh vendor dan diterima oleh penanggung
jawab produksi atau pengemas / pelabelan ;
c. Status isi ( misalnya dalam proses karantina, uji, dirilis, ditolak, dikembalikan
atau ditarik ) muncul pada label ketika sistem manual yang digunakan
d. Tanggal kadaluwarsa atau tanggal penggunaan (beyond date) jika diperlukan
pengujian ulang; dan
e. Tahap pembuatan bahan dalam proses, jika berlaku.
Catatan: Ketika sistem penyimpanan yang digunakan sepenuhnya terkomputerisasi,
sistem cadangan tersedia dalam kasus kegagalan sistem untuk memenuhi persyaratan
penafsiran.
22. Bahan baku yang didispensikan dan diverifikasi oleh teknisi ahli, mengikuti prosedur
tertulis, untuk memastikan bahwa bahan-bahan ditimbang atau diukur dengan. Bahan
baku disegel dan disimpan dalam kondisi konsisten dengan kondisi penyimpanan sesuai
persyaratan untuk bahan itu
PPIC mengeluarkan Manufacturing Order (MO) sebagai perintah produksi kepada
departemen Produksi beserta Material Requirement Document (MRD) yang ditujukan untuk
gudang sebagai permintaan barang untuk kegiatan produksi. Setelah barang ditimbang oleh pihak
dispensary, bagian gudang mengeluarkan Manufacturing Issue (MI) yang selanjutnya diserahkan
ke Departemen Produksi. Setelah produksi selesai, obat jadi dikirim ke gudang obat jadi dengan
dokumen Manufacturing Receipt (MR) sebagai pernyataan Pengiriman Hasil Produksi (PHP).
Distributor memesan obat jadi dengan Purchase Order (PO) distributor. Akuntan membuat Sales
Order (SO) berdasarkan PO dan gudang mengeluarkan Delivery Order (DO) sebagai dokumen
pengeluaran barang, kemudian barang pesanan dikirim ke distributor. Alur tahapan kerja PPIC
ini dapat digambarkan sebagai berikut (Ernawati, 2009):
Gambar 2. Alur Tahapan Kerja PPIC
Bagian dispensary bertugas melakukan penimbangan dengan jadwal penimbangan yang
disesuaikan dengan jawal produksi. Dokumen-dokumen penimbangan antara lain:
1. Manufacturing Order (MO) dan Material Requirement Document (MRD)
2. Batch Production Record (BPR)
3. Label Penimbangan
Bahan baku yang akan ditimbang oleh bagian dispensary terlebih dahulu harus released
QC. Penimbangan bahan aktif dilakukan terakhir setelah semua bahan selesai ditimbang, dengan
tujuan agar tidak ada kontaminasi dari bahan aktif ke bahan yang lainnya. Untuk produk steril,
penimbangan dilakukan di bawah Laminar Air Flow (LAF) (Ernawati, 2009).
A. Perencanaan Produksi
Perencaaan produksi adalah upaya penjabaran hasil ramalan kebutuhan produksi (forecast
demand) menjadi rencana produksi yang layak dilakukan. Forecasting dibutuhkan untuk
memperkirakan kebutuhan bahan baku, produk, tenaga kerja, maupun kebutuhan lain sebagai
respons terhadap perubahan permintaan (pasar). Ramalan kebutuhan produksi (forecast demand)
mengacu data historis proses produksi yang telah dilakukan (aktivitas rutin produksi), kebutuhan
pasar berdasarkan pendekatan epidemiologi, rencana bisnis, dan blanket order dari instansi
tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi perencanaan produksi dapat dilihat pada Gambar 3
(Priambodo, 2008).
Forecasting adalah seni dan ilmu untuk memprediksi peristiwa masa depan, ini
melibatkan data-data masa lalu yang kemudian memproyeksikannya ke masa depan yang
diproses melalui model matematis (Seto dkk., 2004). Forecasting memiliki tiga sub bagian
penting yang berperan didalamnya. Bagian pertama adalah sub bagian keuangan (Finance dan
Accounting) digunakan sebagai dasar perencanaan budget dan control biaya. Bagian kedua
adalah bagian marketing yang berfungsi untuk perecanaan produk baru, kompensasi armada
penjualan, dan lain-lain. Bagian ketiga adalah bagian produksi yang berfungsi untuk membuat
keputusan process selection (buat/beli), perencanaan kapasitas, lay out fasilitas produksi,
perencanaan produksi dan pengendalian persediaan (inventory control). Sasaran pokok dari
perencanaan produksi, antara lain:
1. ketepatan waktu dalam memenuhi janji (permintaan) pelanggan
2. kecepatan waktu penyelesaian pesanan (permintaan) pelanggan
3. berkurangnya biaya produksi
4. new product launching dan divestment (write off) produk-produk lama berjalan lancar
(teratur) (Priambodo, 2008).
Metode penyusunan forecast demand ada dua yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.
Metode kualitatif merupakan metode subyektif, artinya besarnya angka penjualan ditetapkan
berdasarkan asumsi dan estimasi. Biasanya metode ini digunakan untuk produk baru yang akan
diluncurkan ke pasaran. Sedangkan metode kuantitatif didasarkan atas data-data penjualan masa
lalu yang kemudian di olah dengan berbagai metode statistic (Priambodo, 2008).
Metode kuantitatif sangat beragam dan setiap teknik memiliki sifat, ketepatan dan biaya
tertentu yang harus dipertimbangkan. Metode kuantitatif dapat dibagi dalam metode formal,
metode deret waktu, dan metode kasual. Metode kuantitatif formal didasarkan atas prinsip-
prinsip statistik yang memiliki ketepatan tinggi atau dapat meminimalkan kesalahan, lebih
sistematis dan lebih popular dalam penggunaannya. Oleh karena itu dalam menggunakan metode
kuantitatif tersebut terdapa tiga kondisi yang harus dipenuhi antara lain:
1. Tersedianya informasi tentang masa lalu (data historis produksi)
2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam angka numerik
3. Adanya asumsi bahwa beberapa pola masa lalu akan terus berlanjut
Metode peramalan secara Time series atau sering disebut Metode “Deret Waktu” atau
“Deret Berkala” didasarkan pada assumsi bahwa besarnya permintaan yang akan datang dapat
diprediksi dari besarnya permintaan pada masa lalu. Langkah penting dalam menggunakan
metode peramalan waktu adalah dengan mempertimbangkan jenis pola data. Pola data dapat
dibedakan menjadi 4 jenis siklus dan trend, yaitu ;
1. Pola horizontal, terjadi bilamana data berfluktuasi disekitar nilai rata-rata konstan
2. Pola musiman, terjadi bilamana deret permintaan dipengaruhi oleh faktor musiman
(epidemiologi)
3. Pola siklus, terjadi bilamana dipengaruhi fluktuasi ekonomi jangka panjang (siklus bisnis)
4. Pola trend, terjadi bilamana kenaikan/penurunan permintaan didasarkan pada trend
ekonomi pasar yang berlangsung.
Perencanaan produksi dan bahan, terbagi menjadi Rencana Produksi Tahunan, yang kemudian
di-breakdown ke dalam Rencana Produksi Periodik (misalnya semester atau triwulan).
Selanjutnya Rencana Produksi Periodik di-break down lagi menjadi Rencana Produksi Bulanan,
Mingguan dan Harian (Priyambodo, 2008). Proses kegiatan PPIC berdasarkan Priambodo (2008)
pada dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses Kegiatan PPIC
Berdasarkan skema pada Gambar 3, dapat diketahui lingkup kerja dari bagian PPIC. PPIC
bertugas membuat rencana produksi dan kebutuhan tahunan berdasarkan ramalan kebutuhan
(forecast) tahunan yang telah disusun oleh departemen marketing. Rencana produksi dan
kebutuhan tahunan yang yang telah dibuat digunakan untuk menyusun RABP. Rencana produksi
dan kebutuhan bahan tahunan dibuat dengan skala lebih kecil menjadi rencana periodik (bulanan,
mingguan, dan harian) dengan melihat kemampuan produksi dan kapasitas mesin yang dimiliki.
Setelah rencana periodik dibuat, PPIC menyusun jadwal atau schedule kegiatan produksi dan
pengadaan bahan baku. PPIC memberikan perintah kepada departemen produksi untuk memulai
proses produksi berdasarkan jadwal yang telah dibuat. PPIC juga memberikan permintaan bahan
kepada bagian Purchasing untuk menyiapkan bahan yang dibutuhkan untuk proses produksi.
Proses produksi dan ketersediaan bahan baku dibawah kendali PPIC agar produk dapat selesai
tepat waktu dan tidak terjadi overstock maupun understock bahan baku selama produksi
berlangsung.
B. Pengendalian Persediaan
Tujuan utama pengendalian persediaan yaitu mengamankan persediaan (tidak overstock
maupun understock sehingga memperlancar proses produksi), melaporkan secara tepat dalam
laporan keuangan, dan dapat menghadapi fluktuasi harga. Pentingnya pengendalian persediaan
yaitu untuk mengantisipasi adanya unsur ketidakpastian permintaan, ketidakpastian pasokan dari
supplier, dan ketidakpastian tenggang waktu (lead time). Persediaan dapat dikelompokkan dalam
lima kategori, antara lain sebagai berikut:
a. Bahan Baku (Raw Materials Stock)
b. Bagian Produk atau parts yang dibeli (Purchased Parts/Component Stock)
c. Bahan-bahan Pembantu/ Perlengkapan (Supplies Stock)
d. Barang setengah jadi/dalam proses (Work in Process / Progess Stock)
e. Barang jadi (Finished Goods Stock) (Priyambodo, 2008).
1.2.1 Unit Perencanaan Produk
Perencanaan produksi berhubungan dengan penentuan volume, ketepatan waktu
penyelesaian, utilitas kapasitas, dan perencaan beban. Rencana produksi dalam hal ini
harus terkoordinasi dengan perencanaan perusahaan. Ada bebrpa tipe perencaan produksi
meliputi :
a. Perencaan tahunan seperti : menerima original forecast dari bagian marketing,
melakukan analisa pareto (ABC) berdasarkan kebijakan manajemen berupa berapa
banyak barang yang akan disimpan digudang, membuat perencaana tahunan obat jadi,
memebuat perencanaan pembelian tahunan untuk bahan baku dan bahan kemas.
b. Perencanaan bulanan seperti : menerima rolling forecast dari bagian marketing,
menerima laporan sales dan stock dari distributor, membuat produksi bulanan untuk
3 bulan mendatang dan membagi kesemua bagian pada akhir bulan untuk rencana
produksi 3 bulan mendatang tersebut.
1.2.2 Epidemiologi
Pelaksanaan Surveilans Terpadu Penyakit Bersumber Puskesmas, Rumah Sakit dan
Laboratorium
a) Data Surveilans Terpadu Penyakit diperoleh dari data harian pelayanan
kesehatan yang disusun dalam sistem perekaman data yang ditetapkan oleh
masing-masing unit pelayanan.
b) Puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium mengirimkan data Surveilans
Terpadu Penyakit bulanan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Puskesmas
dan rumah sakit juga mengirimkan data pemantauan wilayah setempat (PWS)
penyakit potensial KLB mingguan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pengumpulan dan pengolahan
data tersebut, dan mengirimkan data bulanan STP ke Dinas Kesehatan Propinsi.
Dinas Kesehatan Propinsi melakukan pengumpulan dan pengolahan data
surveilans tersebut, dan mengirimkan ke Ditjen PPM & PL Depkes .
c) Masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes
melakukan analisis dan penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan peta yang
bermakna secara epidemiologi, menarik kesimpulan dan menyusun rekomendasi
serta mendistribusikannya kepada unit-unit yang membutuhkannya.
Pelaksanaan Surveilans Terpadu Penyakit Bersumber Puskesmas Sentinel
a) Data Surveilans Terpadu Penyakit diperoleh dari data harian pelayanan
kesehatan yang disusun dalam sistem perekaman data yang ditetapkan oleh
masing-masing Puskesmas Sentinel
b) Puskesmas Sentinel mengirimkan data Surveilans Terpadu Penyakit bulanan
serta data PWS penyakit potensial KLB mingguan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Puskesmas Sentinel juga mengirimkan data Surveilans
Terpadu Penyakit bulanan tersebut ke Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen
PPM&PL Depkes.
c) Masing-masing Puskesmas Sentinel, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes melakukan analisis dan
penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan peta yang bermakna secara
epidemiologi, menarik kesimpulan dan menyusun rekomendasi serta
mendistribusikannya kepada unit-unit yang membutuhkannya.
Pelaksanaan Surveilans Terpadu Penyakit Bersumber Rumah Sakit Sentinel
a) Data Surveilans Terpadu Penyakit diperoleh dari data harian pelayanan
kesehatan yang disusun dalam sistem perekaman data yang ditetapkan oleh
masing-masing Rumah Sakit Sentinel
b) Rumah Sakit Sentinel mengirimkan data Surveilans Terpadu Penyakit bulanan,
Puskesmas dan Rumah Sakit serta data PWS penyakit potensial KLB mingguan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Rumah Sakit Sentinel juga
mengirimkan data Surveilans Terpadu Penyakit bulanan tersebut ke Dinas
Kesehatan Propinsi dan Ditjen. PPM & PL Depkes.
c) Masing-masing Rumah Sakit Sentinel, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes melakukan analisis dan
penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan peta yang bermakna secara
epidemiologi, menarik kesimpulan dan menyusun rekomendasi serta
mendistribusikannya kepada unit-unit yang membutuhkannya.
Gambar 4 Alur distribusi data surveilans terpadu penyakit
BAB II
TINJAUAN KOMPETENSI
2.1. Ilmu Manajemen Farmasi
Manajemen adalah suatu proses kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan dengan menggunakan ilmu dan seni demi tujuan organisasi (Seto
dkk, 2008). Dalam memulai proses produksi, hal yang paling penting untuk dilakukan adalah
membuat perencanaan, pengendalian dan penanganan material. Sistem produksi diperlukan
Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan (Production Planning and Inventory
Control/PPIC. Adapun tujuan dari PPIC adalah perencanaan dan pengendalian proses produksi
sehingga dapat berjalan seefisien mungkin dan dapat menghasilkan output produk obat yang
sesuai dengan permintaan pasar, menghadirkan produk obat yang diminati pasar sehingga
perusahaan dapat menghasilkan produk dengan syarat kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan
kapasitas dan laju produksi yang pasti serta jadwal pengiriman yang tepat. Alur perencanaan
produksi di industry farmasi :
2.1.1. Sistem perencanaan produk obat
Perencanan produk obat dibuat oleh apoteker di PPIC berdasarkan forecast marketing
yang dibuat oleh Departement Marketing. Dari data forecast marketing PPIC membuat
production planning dan production schedule. Dari production planning dan Production
schedule diketahui jenis dan jumlah material yang akan digunakan untuk kegiatan produksi.
2.1.2. Sistem perhitungan kebutuhan produk obat
Epidemiologi yakni berdasarkan penyebaran penyakit dan pola pengobatan penyakit
yang terjadi dimasyarakat. Penyakit merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Upaya
pemberantasan penyakit menular, KLB dan keracunan, serta penanggulangan penyakit tidak
menular diperlukan sistem surveilans epidemiologi dan kerjasama antara kabupaten/kota,
propinsi, nasional dan internasional. kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada program penyelenggara kesehatan.
2.1.3. Analisa penghitungan jenis dan jumlah kebutuhan bahan baku obat
Analisa penghitungan jenis dan jumlah kebutuhan bahan baku obat dapat dilakukan
dengan metode analisa pareto (ABC). Analisis Pareto dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan
volume persediaan secara keseluruhan dan nominal (rupiah) dari setiap item barang. Langkah-
langkah untuk menentukan kelompok A, B dan C:
Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan cara kuantum
bahan baku x harga obat
Tentukan rankingnya mulai dari dana terbesar sampai terkecil
Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan
Hitung kumulasi persennya
Bahan baku Obat kelompok A termasuk dalam kumulasi 70%
Bahan baku Obat kelompok B termasuk dalam kumulasi > 70% s/d 90%
Bahan baku Obat kelompok C termasuk dalam kumulasi > 90% s.d 100%.
Untuk mengontrol persediaan barang di gudang maka dilakukan buffer stock yaitu bahan
baku atau produk jadi yang harus tersedia, untuk produk pareto atau fast moving (kelas A), buffer
stock dilakukan minimal 2 bulan penggunaan, sedangkan untuk produk yang bukan pareto atau
slow moving (kelas B,C) dilakukan minimal 1 bulan penggunaan. Buffer stock biasanya 10%
dari pemesanan bahan awal. Dalam penyediaan bahan baku selain mempertimbangkan jenis dan
jumlah dari bahan yang akan dipesan juga mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk
menyediakan bahan baku agar proses produksi dapat berjalan tepat waktu
2.1.4. RABP (rencana anggaran belanja perusahaan)
Dari perencanaan tersebut, PPIC memperkirakan anggaran untuk pembelian bahan baku
obat biaya pemesanan, biaya pengiriman sampai bahan baku diterima. Sehingga PPIC dapat
membuat RABP (Rencana Anggaran Belanja Perusahaan). Rancangan kebutuhan bahan baku
disesuaikan dengan prinsip farmakoekonomi, total cost efective dengan pemanfaatan biaya
minimal dengan mutu bahan baku yang maksimal.
2.1.5. Merencanakan kapasitas waktu produksi yang optimal
PPIC (Production Planing Inventory Control) sebagai otak produksi atau central produksi
diharapkan mampu mengatasi masalah yang dihadapi oleh perusahan baik yang berhubungan
dengan pemenuhan permintan, pemasaran produk, kepuasan pelangan dan persaingan serta mutu
produk yang dihasilkan. Dengan demikian aktifitas perencanan produksi yang terkait dengan
tingkat persedian bahan baku maupun produk jadi, tingkat besarnya kapasitas tenaga kerja
maupun kapasitas mesin dan peralatan produksi harus dihitung berapa besarnya biaya tersebut
yang terkandung pada setiap unit produk yang diproduksi. Selain itu PPIC harus mendeteksi
secara cermat setiap kegiatan produksi yang dapat menimbulkan pemborosan atau
ketidakefisienan biaya dalam melakukan perencanan agregat (agregate planing).
Agregate planing adalah penentuan jadwal dan waktu alokasi beberapa sumber daya yang
sifatnya tidak tetap seperti tenaga kerja dan persedian guna memenuhi permintan konsumen
untuk jangka waktu menengah yaitu antara 3 sampai 18 bulan yang akan datang. Pembuatan
agregat planing ini perlu dilakukan mengingat sumber daya yang ditetapkan perusahan dalam
jangka panjang seperti mesin dan bangunan yang tidak dapat segera dirubah. Sedangkan
permintan konsumen dari waktu ke waktu cenderung berfluktuasi, sehinga untuk memenuhi
permintan konsumen tersebut diperlukan penyesuaian jumlah sumber daya lainya yang sifatnya
tidak tetap. Diharapkan dengan adanya penyesuaian beberapa sumber daya ini, operasional
perusahan menjadi lebih efektif dan fluktuasi pengunan sumber daya dapat ditekan serta standard
kinerja yang telah ditetapkan dan dapat dipenuhi. Sebagai akibat adanya agregate planing maka
keputusan dan kebijaksanan harus berkaitan dengan lembur, pencarian karyawan, pemberhentian
sementara, serta tingkat persedian. Agregate planing tidak hanya menentukan tingkat keluaran
yang direncanakan tetapi juga bauran sumber masukan yang tepat yang harus digunakan.
Efektifitas pelaksanan agregat planing pada bidang produksi memilki karakteristik
sebagai berikut:
a) Horizon waktu sekitar 12 bulan, dengan memperbaiki rencana secara berkala.
b) Tingkat agregate permintan akan produk terdiri dari satu atau beberapa kategori
dengan asumsi bahwa permintan berfluktuasi, tidak pasti atau musiman.
c) Kemungkinan adanya perubahan variabel pasokan (suplai) dan permintan.
d) Keanekan sasaran manajemen yang mungkin mencakup persedian yang rendah,
hubungan pekerja yang baik, biaya yang rendah keluwesan untuk meningkatkan
tingkat keluaran mendatang, dan layanan yang baik kepada pelangan.
e) Fasiltas diangap tetap dan tidak dapat diperluas.
Strategi pokok agregate planing dalam menerapkan agregate planing diperlukan
beberapa strategi untuk memenuhi sebagai berikut:
a) Meratakan angkatan kerja.
Dengan strategi yang benar-benar merata, tingkat keluaran (output) pada waktu
biasa akan konstan. Karena itu variasi dalam permintan harus diserap dengan meng-
gunakan persedian, lembur, pekerja sementara, subkontrak perjanjian kerja sama,
atau salah satu dari opsi mempengaruhi permintan.
b) Mengejar permintan dengan mengunakan angkatan kerja.
Dengan strategi pengejaran murni, tingkat angkatan kerja diubah guna memenuhi
permintan. Dalam hal ini tidak perlu menyimpan persedian atau mengunakan
variabel lain yang tersedia bagi agregate planing. Kedua strategi tersebut ekstrem
karena satu strategi tidak mengadakan perubahan dalam angkatan kerja, sedangkan
yang satu lagi mengubah angkatan kerja secara langsung sesuai dengan perubahan
permintan.
Pengunan tenaga kerja dan mesin
Pengunaan mesin dan tenaga kerja adalah untuk mengukur hubungan antara tenaga kerja
dan mesin, guna melihat adanya kemungkinan- kemungkinan untuk memperbaiki pengunan
tenaga kerja dan mesin sehinga dapat dipergunakan sefektif mungkin. Adapun perbaikan
tersebut dilakukan dengan cara melakukan analisa yang mengunakan prosentase pengunan
tenaga kerja dan mesin, analisa siklus kerja serta siklus yang realistis. Jika kegiatan kerja
manusia mem- perlihatkan kegiatan kerja mesin maka kedua unsur tersebut harus
digambarkan dengan suatu skala waktu yang sama. Besarnya jumlah waktu yang digunakan
selama para pekerja melakukan kegiatan produktif disebut pengunan tenaga kerja, sedangkan
pengunan mesin merupakan besarnya jumlah waktu yang ada selama mesin dipergunakan
sesuai rencana. Waktu proses produksi adalah waktu proses yang harus dilakukan dengan
benar menurut syarat-syarat standar teknik (tidak termasuk waktu pemuatan dan
pembongkaran muatan).
Tujuan dari semua pengukuran dalam pengunaan tenaga kerja dan mesin adalah untuk
menentukan jumlah kembalinya semua sumber-sumber tenaga kerja dan mesin yang paling
efektif dan efisien, yang disesuaikan dengan kebijaksanan pimpinan perusahan. Biasanya
ukuran yang paling penting dan sering digunakan adalah biaya produksi per unit/satuan.
meskipun demikian kadang biaya yang timbul karena kurangnya pengunan atau under
utilzation dapat merupakan biaya yang cukup besar, maka diperlukan adanya kebijaksanan
manajemen yang tepat terutama untuk pengawasan teknik dan pengerjan kilat.
Untuk merencanakan produksi dan mengawasi apa yang akan didapat dari program
produksi perlu ditetapkan standar yang aktual. Angka perbandingan standar dan actual akan
membutuhkan penganalisan lebih detail dan tindakan-tindakan yang perlu diambil oleh
manajemen. Kemungkinan ini dapat terjadi jika manajemen berkeinginan mempercepat kerja
yang berbeda dengan standar, dalam hal ini manajer menentukan target.
BAB III
RANGKUMAN TUPOKSI DAN KOMPETENSI
Perundang-undangan-UUD 1945-UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
-UU No.36 tentang kesehatan
-PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
- Kepmenkes No 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular terpadu.
-Kepmenkes No. 1799/Menkes/Per/xii/2010 tentang Industri Farmasi
-Kepmenkes No. 377/Menkes/Per/v/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Apoteker dan Angka Kreditnya
-Peraturan KBPOM No. HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 Tentang Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik
Tupoksi
Memantau kegiatan pengadaan oleh bagian Purchasing dan memastikan kondisi tempat penyimpanan persediaan sesuai dengan pedoman CPOB
Menyusun Rencana Anggaran Belanja Perusahaan (RABP)
Mampu menyusun strategi produksi berdasarkan forecasting departemen marketing dengan kapasitas produksi perusahaan dan menerapkan dalam rencana produksi dan kebutuhan bahan tahunan
Menyusun rencana produksi dan kebutuhan bahan periodik dalam bentuk jadwal atau schedule bulanan, mingguan, dan harian
Memantau jalannya pelaksanaan proses produksi dan bertanggung jawab dalam dokumentasi seluruh kegiatan produksi dan pengendalian persediaan.
Memantau semua persediaan pada proses produksi, stok persediaan yang ada di gudang maupun yang didatangkan
SciencePPICa. Produksi berdasar
kebutuhan/permintaan (demand) dengan kapasitas produksi
b. Kegiatan departemen produksi dan purchasing dikendalikan oleh PPIC
c. Produk harus tepat waktu di tangan konsumen
d. Resiko overstock atau understock bahan baku harus seminimal mungkin
e. Prosedur produksi, uji, penyimbanan bahan baku, pelacakan, pelabelan, pengeluaran, pengolahan, pengemasan dan distribusi harus ditetapkan
f. Setiap kegiatan produksi, uji, penyimbanan bahan baku, pelacakan, pelabelan, pengeluaran, pengolahan, pengemasan dan distribusi harus didokumentasikan
g. Semua proses validasi kritis harus Perencanaan produksi :
a. Perencanaan tahunanb. Perencanaan bulanan
Epidemiologi Pelaksanaan Surveilans Terpadu
Penyakit Bersumber Puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium
Pelaksanaan Surveilans Terpadu Penyakit Bersumber Puskesmas Sentinel
Pelaksanaan Surveilans Terpadu Penyakit Bersumber Rumah Sakit Sentinel
Pharmaceutical science1. Manajeman farmasi : PPIC2. Farmasi forensik : PPIC, Unit Perencanaan , dan Epidemiologi
DAFTAR PUSTAKA
BPOM. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta.
BPOM. 2009. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta.
Ernawati. 2009. Laporan Praktek Kerja Profesi Farmasi Industri di PT. PradjaPharin (Prafa) Citeureup Bogor. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Health Canada. 2009. Good Manufacturing Practices (GMP) Guidelines. Edisi 2009 Versi 2. Canada: Health Products and Food Branch Inspectorate
Helmi, Syafrizal. 2009. Perencanaan dan Pengendalian Persediaan. Tersedia di: http://shelmi.com/2009/05/05/perencanaan-dan-pengendalian-persediaan/. [Diakses tanggal 13 November 2012]
Presiden RI a. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Presiden RI b. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Negara Republik Indonesia.