I. Ekosistem Lamun (Seagrass) Lamun (sea grass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup terendam di dalam laut. Umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dimana hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska, dan cacing (Bengen 2011). Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery ground), tepat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988) dan fungsinya sebagai penyerap 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. Ekosistem Lamun (Seagrass)
Lamun (sea grass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang
hidup terendam di dalam laut. Umumnya membentuk padang lamun yang luas di
dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi
pertumbuhannya. Hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air
yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Lamun merupakan ekosistem yang tinggi
produktivitas organiknya, dimana hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan,
krustasea, moluska, dan cacing (Bengen 2011).
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki
kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas
tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati.
Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai
padang lamun (seagrass bed). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang
lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva
(nursery ground), tepat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan
penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang,
sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988) dan fungsinya
sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue
carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe 2009). Padang lamun
di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000 km2 dan berperan penting di ekosistem
laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya
(Nontji 2009).
Pada sistem klasifikasi, lamun berada pada Sub kelas
Monocotyledoneae, kelas Angiospermae. Dari 4 famili lamun yang
diketahui, 2 berada di perairan Indonesia yaitu Hydrocharitaceae dan
Cymodoceae. Famili Hydrocharitaceae dominan merupakan lamun yang tumbuh
di air tawar sedangkan 3 famili lain merupakan lamun yang tumbuh di laut.
Hal yang penting dalam adaptasi reproduksi lamun adalah hidrophilus
yaitu kemampuannya untuk melakukan polinasi di bawah air. Yang membedakan
1
antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Lamun
memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang
menyalurkan nutrien, air, dan gas.
Gambar 1. Ekosistem Padang Lamun dan Morfologi Lamun
Faktor-faktor pembatas yang menjadi penghalang bagi pertumbuhan
lamun adalah diantaranya dapat di lihat pada Tabel 1.
No Faktor Pembatas Pengaruh yang diberikan1. Cahaya (10 – 20%) - Fotosintesis
Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus,
Calamus, dan lain-lain.
Biota pada Ekosistem Mangrove
a. P. Rambut (di Teluk Jakarta) dan P. Dua (di Teluk Banten), merupakan
“bird sanctuary” dan juga habitat kalong (Pteropus vampyrus),
b. Primata: monyet (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristatus) dan
bekantan (Nasalis larvatus).
12
c. Hewan karnivora yaitu kucing mangrove (Felis viverrina), luwak
(Paradoxurus hermaphrodites) dan garang-garang (Herpestes javanicus).
d. Amphibi (katak) dan reptil (ular, biawak dan buaya).
Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa
sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar fauna
mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna
laut. Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus
salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi
oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh
Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura. Para
peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna
hutan mangrove.
Fungsi Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memiliki sejumlah fungsi penting, baik dalam skala
lokal maupun nasional. Banyak nelayan, petani dan penduduk pedesaan hidupnya
bergantung pada ekosistem mangrove, untuk memenuhi berbagai keperluan, baik
berupa produk kayu (misalnya kayu bangunan, kayu bakar, dan arang kayu),
maupun hasil non-kayu (seperti bahan makanan, atap rumah, pakan ternak,
alkohol, gula, obat-obatan dan madu). Mangrove dapat juga dimanfaatkan sebagai
sumber penghasil tannin (FAO 1994). Nilai ekonomi hutan mangrove di Teluk
Kotania Provinsi Maluku, pada tahun 1999 mencapai Rp. 64,8 milyar atau Rp.
60,9 Juta/ha, (Supriadi & Wouthuyzen 2005).
Ekosistem mangrove mendukung konservasi keanekaragaman hayati,
dengan menyediakan tempat tinggal, tempat berkembang biak, tempat pengasuhan
anak dan tempat mencari makan berbagai jenis hewan. Termasuk beberapa
golongan hewan yang terancam kepunahan, mulai dari golongan reptil, amphibi,
aves, dan mamalia. Ekosistem mangrove dapat juga melindungi ekosistem
terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) (FAO 2007).
Fungsi penting lain dari ekosistem mangrove adalah kedudukan
ekosistem mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan ekosistem laut dan
13
darat. Hutan mangrove menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar, terutama
bentuk seresah. Seresah mangrove merupakan sumber bahan organik penting
dalam rantai makanan di dalam hutan mangrove. Seresah tersebut akan
mengalami dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme. Hasil dekomposisi ini
akan menjadi sumber nutrisi fitoplankton dalam kedudukannya sebagai produsen
primer, dan kemudian zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber
energi utama, dalam kedudukakannya sebagai konsumen primer. Zooplankton
akan dimakan oleh crustaceae dan ikan-ikan kecil, selanjutnya jenis-jenis ini
merupakan sumber energi bagi tingkat yang lebih tinggi dalam rantai makanan.
Bahan organik yang dihasilkan oleh hutan mangrove, akan memberikan
sumbangan pada rantai makanan di perairan pantai dekat hutan mangrove,
sehingga perairan pantai disekitar hutan mangrove mempunyai produktivitas yang
tinggi (Lear & Turner, 1977). Berbagai jenis ikan baik yang komersial maupun
non-komersial juga bergantung pada keberadaan ekosistem mangrove (FAO
2007).
Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung dan
ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang hidup di
mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di hutan
mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda dan musim
kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area mangrove.
Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor penting yang
menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini. Contoh jenis ikan
yang menghuni ekosistem mangrove yaitu Chanos chanos, Scatophagus argus,
Stigmatogobius sadanundio, Oryzias javanicus, Mystus gulio, dan Zenarchopterus
buffonis. Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu
dari sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk
lubang dalam tanah dan dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan sirip
pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah dengan sirip
tersebut. Beberapa jenis ikan gelodok antara lain, Periophthalmodon schlosseri,
Periophthalmus novemradiatus, dan Boleophthalmus boddarti (Setiawan et al,
2002).
14
Gambar 6. Aliran materi pada ekosistem mangrove
Gambar 7. Rantai makanan ekosistem mangrove
15
III. Peranan Mangrove dan Lamun sebagai Carbon Sink (Penyerap Karbon)
Seiring meningkatnya taraf hidup umat manusia, emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) meningkat dengan tajam karena meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil
(BBF) sejak revolusi industri. Apabila tidak ada upaya untuk menekan emisi
GRK, maka diperkirakan dalam waktu 100 tahun (tahun 2100) atau bisa lebih
cepat, konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO2 akan mencapai dua kali lipat,
menyebabkan peningkatan suhu global dan tinggi muka air laut. Naiknya muka air
laut akan mempersempit luas daratan dan menenggelamkan beberapa negara
kepulauan kecil, termasuk Indonesia, sementara itu peningkatan suhu global akan
mengarah pada perubahan iklim. Pemerintah Indonesia menunjukkan
kesunguhannya untuk dapat berpartisipasi dalam rangka memerangi perubahan
iklim.
REDD merupakan salah satu strategi yang diterapkan Indonesia dalam
melawan pemanasan global pada COP 2007 di Nusa Dua Bali. Dimana negara
berkembang yang berhasil melakukan upaya pencegahan konversi dan degradasi
(mitigasi) hutan akan mendapat bantuan dan insentif dari negara maju dan dapat
melakukan perdagangan karbon (carbon credit purchase) (Dutschke et al. 2008).
Menurut Badan Konservasi Sumber Daya Alam (2005), Carbon offset,
merupakan jasa lingkungan yang memberikan kontribusi dalam upaya mencegah
dampak negatif perubahan iklim, dimana melalui Mekanisme Pembangunan
Bersih (Clean Development Mecchanism, CDM) di bawah Protocol Kyoto,
berdasarkan kajian sementara bahwa Indonesia mempunyai potensi yang sangat
besar untuk dapat bersaing dalam pasar dunia untuk pengurangan karbon.
Salah satu cara dimana manusia dapat beradaptasi terhadap perubahan
iklim adalah dengan cara menjaga ekosistem pantai lebih tangguh dan sehat, tidak
hanya untuk saat ini tetapi untuk masa yang akan datang. Pantai yang luas dibatasi
oleh hutan mangrove, dilindungi oleh hamparan rawa payau dan padang lamun
serta terumbu karang yang sehat.
Hutan mangrove memiliki fungsi dan peranan penting dalam kehidupan
umat manusia baik sebagai fungsi ekologis maupun sebagai fungsi mitigasi dalam
16
mengabsorbsi CO2. Fungsi ekologis hutan angrove meliputi: (a) Pencegah abrasi
pantai; (b) Sebagai nursery ground, feeding ground, spawning ground; (c)
Sebagai surface runoff; (d) Sebagai penghasil sejulah besar detritus.
Hutan mangrove merupakan bagian dari blue carbon yaitu salah satu
sumber karbon dari ekosistem pesisir dan lautan dan berperan penting dalam
mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan emisi CO2 yang merupakan gas
rumah kaca. Proses fotosintesis pada tumbuhan dapat merubah karbon anorganik
(CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar
ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer
sebagai CO2. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar
bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu hutan mangrove lebih berfungsi
sebagai penyerap karbon (carbon sink) dibandingkan dengan sumber karbon
(carbon source). Fakta ilmiah menunjukkan dimana ekosistem pesisir dan lautan
mampu menyerap emisi CO2 atmospherik ± 42%, ekosistem terestrial sekitar 56%
dan lainnya (Cook 2010).
Hasil penelitian Twilley et al. (1992) menunjukkan bahwa kawasan pesisir
tropika adalah wilayah yang secara biogeokimia paling aktif dan
mempresentasikan carbon sink potensial yang penting di biosfir ini. Laju
produktivitas akumulasi biomassa dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor-faktor
global seperti posisi (latitude) dan faktor lokal seperti hidrologi. Penyimpanan
carbon dalam bimassa angrove diperkirakan mencapai 4,03 Pg C (Peta=1015) dan
70% berada di pesisir dengan posisi lintang dari 0o-10o. Rata-rata produksi kayu
adalah 12,08 Mg ha-1th-1 (Mega=106) dimana nilai ini ekuivalen dengan 0,16 Pg C
th-1 yang tersimpan dalam biomassa mangrove. Sementara itu, karbon yang
terkumpul dalam sedimen adalah 0,02 Pg C th-1.
Rosot karbon (carbon sink) merupakan media atau tempat penyerapan dan
penyimpanan karbon dalam bentuk bahan organik, vegetasi hutan, laut dan tanah
(CIFOR 2009). Distribusi biomassa mangrove di kawasan tropis menunjukkan
nilai yang lebih tinggi pada area yang lebih rendah. Terdapat variasi dari biomassa
mangrove pada ketinggian yang sama. Potensi biomassa maksimum pada 10o dan
35o adalah berkisar antara 100 dan 400 Mg ha-1. Twilley et al (1992)menemukan
17
bahwa dengan meningkatnya salinitas, nilai parameter struktural dan fungsional
akan menurun.
Padang lamun di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000 km2 dan berperan
penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota
perairan lainnya (Nontji 2009). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang
lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva
(nursery ground), tepat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan
penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang,
sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philips dan Menez 1988) dan fungsinya
sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau dikenal dengan istilah blue
carbon dan digunakan untuk proses fotosintesis (Kawaroe 2009).
Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin
ekosistem ini tetap terjaga, diperkirakan kerusakan padang lamun di Indonesia
telah mencapai 30-40%. Sekitar 60% padang lamun di pesisir Pulau Jawa telah
mengalai gangguan berupa kerusakan dan pengurangan luas yang diduga akibat
pengaruh aktivitas manusia (Fortes 1994 dalam Nontji 2009).
Kehidupan di laut berpotensi membantu pencegahan pemanasan global
melalui peran tumbuhan laut. Tumbuhan laut dapat menyerap 2 milliar ton
karbondioksida dari atmosfer setiap tahun, dan sebagian besar yang bertanggung
jawab akan hal itu adalah plankton walaupun penyerapan oleh plankton ini hanya
sebagian kecil yang diendapkan ke dasar laut sebagai penyimpan karbon. Lain
halnya dengan ekosistem pantai terutama padang lamun, meskipun seluruhnya
hanya mencakup kurang dari 1 persen dari luasan dasar laut samudra, namun
dapat menyimpan lebih dari separuh karbon yang terkubur di dasar laut.
Tumbuhan laut diperkirakan mengikat sekitar 1.650 juta ton karbondioksida per
tahun – kurang lebih separuh dari emisi dari kegiatan transportasi global – hingga
menjadikan tumbuhan laut merupakan carbon sinks yang paling besar di bumi ini.
Akan tetapi kini kapasitasnya untuk menyerap emisi karbon berada dalam
ancaman: habitatnya semakin hilang (habitat loss) dengan laju sekitar 7 persen per
tahun, atau sampai 15 kali lebih laju dari yang dialami hutan-hujan tropis.
18
Penyerapan karbon di lautan dunia tersimpan dalam bentuk sedimen yang
berasal dari mangrove, salt marshes, dan padang lamun. Blue carbon ini tersimpan
sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang
hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun karena mengalami pencucian.
Walaupun biomas tumbuhan laut jika dibandingkan dengan tumbuhan darat hanya
sekitar 0,05%, tetapi siklus karbon yang terjadi di laut jika dijumlahkan selama
setahun hampir sama bahkan lebih dibandingkan dengan tumbuhan darat.
Sehingga hal ini menunjukkan efisiensi tumbuhan laut sebagai carbon sinks
(Kawaroe 2009).
Aliran karbon dioksida (CO2) dari udara melewati muka air laut
merupakan fungsi dari kelarutan (solubility) CO2 di dalam air laut dan dikenal
sebagai solubility pump. Jumlah CO2 terlarut di air laut adalah utamanya
dipengaruhi oleh kondisi fisika-kimia (suhu air laut, salinitas, total alkalinitas) dan
proses biologi (produktivitas primer) yang terjadi di laut. Melalui proses
pertukaran gas, CO2 ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi
dissolved inorganik carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus menerus karena
laut tidak jenuh oleh kandungan CO2 jika dibandingkan atmosfer. Proses ini
sangat efisien terjadi di wilayah dengan posisi lintang tinggi (temperate) karena
kelarutan CO2 sangat efisien pada kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini,
CO2 di atmosfer dalam jumlah banyak akan terlarut dan tersimpan sehingga tidak
menjadi gas rumah kaca di atmosfer. Produktivitas primer di laut sangat
ditentukan oleh keberadaan CO2 untuk melakukan proses fotosintesis utamanya
oleh fitoplankton dan proses ini dikenal sebagai biological pump. Bersama dengan
solubility pump, proses biological pump akan berjalan dan mengendapkan karbon
(carbon sinks) di dasar laut (Kawaroe 2009).
Padang lamun sebagai vegetasi ekosistem pesisir bersama sama dengan
mangrove dan hutan di darat merupakan pusat keanekaragaman (hot spot) yang
menyediakan fungsi penting dan bernilai yaitu sebagai karbon sinks seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi pengurangan luasan habitat pesisir
empat kali lebih cepat dibandingkan dengan hutan dan rata-rata pengurangannya
juga mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga disebabkan karena masyarakat
19
lebih banyak menerima informasi tentang keberadaan, keuntungan dan fungsi
hutan jika dibandingkan dengan vegetasi ekosistem pesisir. Kurangnya perhatian
masyarakat tentang vegetasi ekosistem pesisir bisa juga disebabkan karena masih
berorientasi darat dan tidak terlihatnya vegetasi pesisir ini secara kasat mata
sehingga sepertinya tidak berperan di dalam kehidupan. Perubahan pola pikir ini
menjadi salah satu tanggung jawab di dalam pemberdayaan masyarakat pesisir
dan targetnya adalah bukan saja masyarakat pesisir tetapi semua masyarakat
Indonesia dan dunia.
20
PENUTUP
Salah satu cara dimana manusia dapat beradaptasi terhadap perubahan
iklim adalah dengan cara menjaga ekosistem pantai lebih tangguh dan sehat, tidak
hanya untuk saat ini tetapi untuk masa yang akan datang. Pantai yang luas dibatasi
oleh hutan mangrove, dilindungi oleh hamparan rawa payau dan padang lamun
serta terumbu karang yang sehat dapat bertahan lebih baik terhadap gempuran
fenomena kenaikan muka laut, gelombang badai, pengasaman, rob dibanding
pantai sempit dengan kontruksi beton disisi daratan dan rusaknya hutan mangrove
dan hamparan padang laun dan terumbu karang di bagian lautnya.
Habitat pantai terbukti dapat mengembalikan areal ekosistem karbon biru
yang telah hilang terutaa aspek ekologi. Pemulihan tersebut dapat mengembalikan
jasa-jasa penting seperti kemampuan untuk meningkatkan kadar oksigen terlalut
dalam perairan pantai, membantu memulihkan stok ikan global serta melindungi
pesisir dari badai bencana cuaca ekstrim. Saat bersamaan, habitat pantai pun dapat
menghentikan penyusutan dan degradasi penyerap karbon alami penting sehingga
berkontribusi terhadap emisi karbondioksida dan mitigasi perubahan iklim jangka
panjang. Negara diseluruh penjuru dunia yang memiliki perairan dangkal yang
luas, berpeluang mengeksplorasi mitigasi emisi karbondioksida melalui upaya
perlindungan dan pemulihan ekosistem penyerap karbon biru yang dimilikinya.
Dengan demikian strategi win-win setara dengan strategi untuk melindungi dan
memulihkan kapasitas penyerapan karbon pada hutan hujan tropis yang dapat
mebantu negara memenuhi komitmen Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman
Hayati dan Perubahan iklim. Maka mulailah peduli pada peran penting Sang
Penyerap Karbon Biru demi masa depan bumi kita yang lebih baik.
21
DAFTAR PUSTAKA
Bengen,D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Bengen, D. G. 2011. Struktur dan Dinamika Ekosistem Pesisir Dan Laut . Bahan Kuliah Evaluasi Ekosistem Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana SPL S3 IPB.
[CIFOR] Centre for International Forestry Research. 2009. REDD Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan iklim dan REDD. CIFOR. Bogor.
Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cremer Publ. Leutherhausen, Germany.
[FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome : FAO, Rome.
FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Fortes, M. D. 1990. Seagrass: A Resources Unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education Series 2, ICLARM, Manila, Phillipines.
Kawaroe, M. 2009. Perspfektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.
Kusmana C. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mangrove secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Mastaller M. 1997. Mangroves: The Forgotten Forest between Land and Sea. Tropical Press Sdn.Bhd., Kuala Lumpur.
Nontji, A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosiste Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.
Nybakken,J.W. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Gramedia, Jakarta.
22
Phillips, R. C. And Menez, E. G. 1988. Seagrass. Smithsonian Contributions to the Marine Sciences, No. 34. Smithsonian Institute Press, Washington, D. C.
Setiawan, Ahmad Dwi, Ari Susilowati dan Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas; Studi Kasus Mangrove. UNS Press. Semarang.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Spalding M, F Blasco, C Field. 1997. World mangrove atlas. The International Society for Mangrove Ecosystems, Okinawa. 178 p.
Tangke, Umar. 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi, Rehabilitasi). Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate). Volume 3 Edisi 1 (Mei 2010). Hal 9-20.
Tomlinson CB. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge Tropical Biology Series, Cambridge University Press, Cambridge, New York, U.S.
Twilley, R. R., Chen, R. H., & Hargis, T., 1992. Carbon sinks in angrove forests and their implication to the carbon budget of tropical coastal ecosystems. Water Air Soil Pollut. 64, 265-288.
Zulkifli. 2000. Sebaran Spasial Komunitas Perifiton dan Asosiasinya dengan Lamun di Perairan Teluk Pandan Lampung Selatan. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.