DINAMIKA PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG
PERIODE 1990 2009 Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi
Pertanian Dosen Pengampu : Prof. Drs. Waridin, M.Si., Ph.D
Disusun oleh: Fitria Dwi Ariesta 12020110120024
Muhammad Sahirul Alim 12020110130059 Fitri Bahari Emir Putra
Ramadhani 12020110130077 C2B009044
ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO 2012
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam
menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali
menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas
untuk mempertahankan eksistensi. Lahan juga dibutuhkan oleh hampir
semua kegiatan ekonomi, sehingga tak heran kelangkaanya meningkat
dengan pesat karena lahan merupakan sumber daya yang tak dapat
diperbarui. Fakta membuktikan bahwa diantara berbagai jenis sumber
daya, lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat strategis.
Masalah lahan mempunyai implikasi sosial ekonomi yang sangat luas
dan penuh komplikasi. Derivasi permasalahan yang terkait dengan
struktur penguasaan lahan tidak hanya menyangkut permasalahan
efisiensi produksi, tetapi juga aspek keadilan sosial. Penguasaan
dan penggunaan lahan mulai beralih fungsi seiring pertumbuhan
populasi dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini akhirnya
menimbulkan permasalahan kompleks akibat pertambahan jumlah
penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika
pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok
tanam, berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan.
Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan
bagi non pertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi
lahan. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang
serius. Implikasi alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali
dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam
jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Indonesia, negara
kaya sumber daya alam setelah lebih dari 20 tahun bergelut dengan
masalah pangan dengan mengerahkan berbagai sumberdaya, Indonesia
pada akhirnya mampu mencapai swasembada beras padatahun 1984.
Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pencapaian
swasembada beras tersebut telah diikuti oleh peningkatan peluang
bagi setiap rumah tangga untuk dapatmengkonsumsi beras dalam jumlah
yang mendekati tingkat kebutuhannya. Berkat intervensi pemerintah
melalui BULOG ketahanan pangan juga relatif terjamin dalam
pengertian fluktuasi musiman penawaran dan harga beras dapat
ditekan. Dua faktor kunci keberhasilan pencapaian swasembada beras
tersebut adalah: (1) meningkatnya produktivitas usahatani karena
perbaikan teknologi usahatani, dan (2) tersedianya anggaran
pemerintah yang cukup karena oil boom untuk membiayai berbagai
proyek dan program pengembangan teknologi usahatani serta proses
sosialisasinya di tingkat petani serta pengembangan infrastruktur
pertanian seperti irigasi, lembaga penyuluhan, dan sebagainya.
Dewasa ini, kedua faktor kunci tersebut di atas semakin melemah,
sehingga masalah pengadaan pangan khususnya beras kembali menjadi
salah satu isu pokok pembangunan nasional. Isu tersebut muncul
karena pertumbuhan produksi beras sejak tercapainya swasembada
ternyata tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan konsumsi,
sehingga impor beras terus meningkat sejak tahun 1987 dan pada
tahun 1998 volume impor beras diperkirakan sebesar 5,8 juta ton.
Disamping itu, peluang bagi peningkatan produksi pangan yang
mengandalkan pada peningkatan produktivitas usahatani juga semakin
sulit diharapkan akibat kejenuhan teknologi produksi beras. Untuk
memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, maka upaya
peningkatan kapasitas produksi tanaman pangan pun harus dilakukan
salah satunya adalah melalui pencetakan sawah baru dan peningkatan
jaringanirigasi telah dilakukan. Namun, upaya tersebut belum
memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan produksi pangan,
karena terbentur pada berbagai kendala teknis dan kendala anggaran.
Areal sawah baru yang dikembangkan terutama di luar Jawa ternyata
kurang produktif akibat kendala biofisik tanah sehingga dampak
perluasan areal baru tersebut tidak cukup berarti bagi peningkatan
produksi pangan nasional, padahal biaya investasi yang diperlukan
sangat mahal dan membutuhkan jangka waktu yang lama bagi pemantapan
ekosistem sawah baru tersebut. Di tengah perubahan struktur
perekonomian seperti sekarang ini, studi tentang dinamika
penguasaan lahan menjadi cukup penting, karena lahan sekarang bukan
lagi merupakan salah satu faktor produksi, melainkan sekarang lebih
sering juga menjadi komoditas sehingga konflik-konflik sosial yang
terjadi semakin rumit. Lahan dibutuhkan oleh hampir semua aktivitas
ekonomi. Program-program pemerintah tentunya membutuhkan dukungan
dari penelitian-penelitian semacam ini yang akan memberikan data
dan informasi yang dibutuhkan pemerintah sebagai implementasi dari
program pemererintah tersebut. Dalam paper ini kami akan mencoba
menganalisis dinamika penguasaan lahan di kabupaten Semarang. Kami
menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro yang mana terletak di
kabupaten Semarang tersebut. Untuk itu kami merasa mempunyai
tanggung jawab untuk peduli pada lingkungan sekitar kami agar
masyarakat yang hidup di lingkungan sekitar kampus Universitas
Diponegoro bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Dan juga kami
memilih komoditas padi sebagai objek penelitian adalah karena
berdasarkan studi pustaka menunjukan bahwa dampak dari konversi
lahan sawah di jawa selama periode 18
tahun(1981-1998) menyebabkan hilangnya produksi gabah sebesar
50,9 juta ton atau sekitar2,82 juta ton per tahun (jumlah
kehilangan ini sama dengan impor beras indonesia selama 1981-1997
sekitar 1,5-2,7 ton per tahun). Dengan adanya hasil ini, kami kira
penting untuk membahas bagaimana perkembangan produksi berasi
negeri kita selama ini dengan mengambil contoh perkembangan
produksi beras di kabupaten Semarang.
RUMUSAN MASALAH 1. Apa sajakah dampak dari alih fungsi lahan
yang sering terjadi belakangan ini? 2. Apa urgensi dari
pengendalian alih fungsi lahan? 3. Bagaimana keadaan dinamika
penguasaaan lahan di kabupaten Semarang perode 19902009? 4.
Bagaimana pengaruh rasio lahan padi terhadap produktivitas padi
kabupaten Semarang? 5. Bagaimana solusi yang ditawarkan dalam
menangani alih fungsi lahan pertanian tersebut?
TUJUAN Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ekonomi Pertanian dengan dosen pengampu Prof. Waridin sebagai media
penyaluran gagasan dan opini penulis menjadi referensi bagi
Pemerintah Daerah setempat yang bertugas dalam bidang
pertanian.
BAB II PEMBAHASAN
KAJIAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERDAHULU
Tanah dalam Produksi Pertanian Tanah atau lahan sebagai salah
satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yaitu
tempat dimana produksi berjalan dan dari mana hasil produksi ke
luar. Dalam pertanian, terutama di negara kita, faktor produksi
tanah mempunyai kedudukan yang paling penting. Hal ini terbukti
dari besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan
dengan faktor-fakor produksi yang lain, selain itu juga
bagaimanapun petani memasukan berbagai unsur modal ke dalam tanah
misalnya pupuk dan air yang sudah menyumbang pada kesuburan
tanahnya. Tanah merupakan satu faktor produksi seperti halnya modal
dan tenaga kerja dapat pula dibuktikan dari tinggi rendahnya balas
jasa (sewa bagi hasil) yang sesuai dengan permintaan dan penawaran
tanah itu dalam masyarakat dan daerah tertentu. Jelas disini bahwa
tanah tidak berbeda dengan modal biasa. Yang selalu dicarikan hasil
tertinggi oleh permiliknya. Tidak lah benar untuk menganggap bahwa
tanah bukan faktor poduksi anya karena tidak banyak terjadi jual
beli dan pemindahan hak milik tanah. Sebagai faktor produksi, tanah
mendapat bagian dari hasil produksi karena jasanya dalam produksi
itu. Pembayaran atas jasa tanah ini disebut dengan sewa tanah
(rent). Soal sewa tanah ini banyak mendapat perhatian dari para
ahli dan tulisan-tulisan mengenai itu secara teoritis banyak
ditemukan dalam literatur. Davida Ricardo, seorah ahli ekonomi
berkebangsaan Inggris dikenal sebagai salah seorang penulis
terkemukan dalam soal sewa tanah dengan teorinya tentang sewa tanah
differensial, dimana ditunjukan denga bahwa tinggi rendahnya sewa
tanah disebabkan oleh perbedaan tingkat kesuburan tanah, makin
subur tanah maka akan makin tinggi nilai sewa tanah tersebut.
Tinggi rendahnya sewa tanah ini maka akan berpengaruh juga terhadap
harga hasil komoditi yang diproduksikan dari tanah tersebut. Misal
jiga harga beras dari tanah tersebut makin naik, berarti harga sewa
tanah tersebut juga naik. Sewa tanah mempunyai nilai atau harus
dibayar karena memang sifat peranannya inelastis sempurna. Hal ini
disebabkan karena jumlah tanah di muka bumi ini adalah terbatas
selain itu juga tanah merupakan sumber daya yang tidak dapat
diperbarui (unrenewable resources). Hal ini akan menyebabkan
timbulnya kelangkaan yangdisebut dengan scarcity rent. Baik pada
differential rent maupun scarcity land faktor yang menonjol dan
yang mempunyai peranan penitng adalah bertambahnya jumlah
penduduk/manusia yang memerlukanya sedangkan disisi lain tanah
sendiri jumlahnya selalu tetap. Dengan berkembangnya perekonomian
maka kebutuhan manusia akan tanah tidaklah terbatas pada kebutuhan
untuk memproduksikan bahan makanan dan sandang tetapi juga untuk
perumahan dan untuk industri, jasa dan sebagainya. Oleh karena itu
sewa tanah kini sewa tanah tidak lagi ditentukan oleh faktorr
kelangkaan dan perbedaan kesuburan saja, tetapi kini juga oleh
harga komoditi yang diproduksikan dan pembayaran untuk keperluan
lain. Dapat diambilkan tanah tanah untuk industrialisasi misalnya
dapat menarik harga sewa yang lebih tinggi, karena nilai hasil
produksinya juga lebih tinggi. Memang tak bisa dipungkiri bahwa
proses industrialisasi, proses urbanisasi serta transformasi
struktural perekonomian kini merupakan faktor penting yang
mendorong kenaikan sewa dan harga tanah. Dengan berkembagnya
penduduk dan perekonomian maka nilai tanah pasti akan terus naik
dan tidak mungkin turun karena sekali lagi tanah merupakan
satu-satunya faktor produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia.
Degradasi dan Konservasi Tanah Tanah adalah salah satu faktor
produksi yang tahan lama sehingga biasanya tidak diadakan
depresiasi atau penyusutan, bahkan dengan perkembangan penduduk dan
perekonomian nilai tanah akan selalu mengalami kenaikan. Pernyataan
sebenranya tidak terlalu benar juga karena bagaimanapun juga tanah
yang dikerjakan secara terus menerrus akan berkurang juga tingkat
kesuburanya.` Ini juga yang disoroti oleh Mudrajad Kuncoro dalam
ekonomika pembangunan, menurutnya aktivitas aktivitas manusia
selanjutanya akan mempunyai eksternalitas. Salah satu dampaknya
adalah degradasi kualitas sumber daya alam. Degradasi ini terkait
dengan degradasi kawasan hutan, jenis tumbuhan, jenis tumbuhan,
tanah dan jenis satwa. Degradasi sumber daya alam tersebut juga
semakin diperparah dengan praktik kejahatan seperti illeggal
logging, illegal fishing, kerusakanm dan degradasi infrastuktur,
konflik penguasaan lahan, inkonsistensi tata ruang dan berbagai
keputusan yang kurang memperhatkan aspek
kelestarian sumber daya alam.
Pengalih fungsi lahan pertanian merupakan bagian dari
penyimpangan dalam pemanfaatan tata ruang, selama ini tata ruang
yang ada jarang dikendalikan secara optimal. Ini terjadi karena
selama ini memang perkonomian diserahkan pada mekanisme pasar
sehingga semuanya ditentukan oleh permintaan dan penawatan tanah,
akibatnya penglihan fungsi lahan benar benar tidak terkontrol.
Dalam mengatasi degradasi lahan tersebut disinilah letak pentingnya
konsevasi dilakukan. Konservasi berbeda dengan penggunaan tanah
secara ekoonmis. Pengertian ekonomis hanya membandingkan hasil dan
biaya, sedangkan konservasi lebih menekankan fungsi tanah secara
ekologis. Namun penggunaan tanah secara ekonomis dengan
mempertimbangkan dampak jangka panjang seperti AMDAL (Analisis
mengenai dampak lingkungan) akan berartipula konservasi. Konservasi
sendiri diartikan sebagai upaya mengurangi laju pengusahaan tanah
sekarang untuk memungkinkan pengussahaan yang lebih besar kemudian
hari. Bentuk bentuk konservasi ada berbagai macam salah satunya
adalah usaha penghijauan, sedangkan petani juga bisa mengadakan
rotasi tanaman dan usaha usaha konservasi lainya. (kajian pustaka
diatas sebagian besar berasal dari Mubyarto, Pengantar Ekonomi
Pertanian, 1977). Studi Studi Penelitian Terdahulu 1. 1) Dampak
Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Beras dan Kebijakan
Pengendalianya ( Bambang Irawan dan Supena Priyatno ). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mencari ukuran konversi lahan sawah dan
implikasinya terhadap produksi berasi nasional dan bagaimana usaha
pemerintah mengendalikan konversi lahan sawah tersebut. Hasil dari
penelitian ini adalahPengurangan lahan sawah (konversi) baik secara
nasional tomaupun menurut propinsi dan kabupaten menunjukkan angka
yang bervariasi. Dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan data
hasil Survey Pertanian (SP) diperoleh gambaran bahwa dalam kurun
waktu 18 tahun (19811998) di Jawa telah terjadi pengurangan lahan
sawah seluas 1 juta hektar atau rata-rata sekitar 55 ribu hektar
per tahun. Namun karena adanya kegiatan pencetakan lahan sawah
baru, maka luas lahan sawah yang tersedia di Jawa sebenarnya
menyusut sekitar 484 ribu hektar atau sekitar 27 ribu hektar per
tahun.
Kegiatan konversi lahan sawah cenderung menimbulkan penurunan
produksi per satuan lahan yang semakin besar dari tahun ke tahun,
sebaliknya pencetakan sawah cenderung memberikan dampak peningkatan
produksi per satuan lahan yang semakin kecil. Kecenderungan
demikian terjadi karena konversi lahan sawah sesmakin bergeser ke
daerah dengan teknologi usahatani yang cukup tinggi, sedangkan
pencetakan lahan sawah semakin bergeser ke daerah dengan teknologi
usahatani yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
ketersediaan sumberdaya alam (lahan dan air) yang potensial bagi
pencetakan sawah semakin terbatas. Dengan demikian, pada
kenyataannya bahwa penurunan produksi Padi tidak bisa dihindarkan.
Akibat konversi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18 tahun
(1981-1998) diperhitungkan secara akumulasi telah hilang sebesar
50,9 juta ton gabah atau sekitar 2,82 juta ton gabah per tahun.
Bila dihitung setara beras, maka kehilangan produksi pangan
tersebut adalah sekitar 1,7 juta ton beras pertahun. Jumlah
kehilangan produksi beras tersebut hampir sebanding dengan jumlah
impor beras pada tahun 1984-1997 yang berkisar 1,5 2,5 juta
tonberas per tahun. Artinya, apabila konversi lahan sawah dapat
ditekan, maka hal itu akan memberikan dampak yang cukup besar bagi
pangadaan beras nasional.
Upaya pengendalian konversi lahan sawah ini menjadi cukup
mendesak mengingat pertumbuhan produksi pada akhir-akhir ini
mengalami stagnasi akibat kendla kejenuhan teknologi. Sudah cukup
banyak upaya pemerintah untuk pengendalian konversi lahan sawah
ini. Namun pendekatan yang diterapkan baru sebatas pendekatan hukum
(law enfercement) yang masih banyak kelemmahannya. Sehingga
peraturan-peraturan tentang lahan belum mampu mengendalikan
kegiatan konversi lahan sawah di Jawa. Tiga kelemahan mendasar
adalah : (1) obyek lahan yang dilindungi dari kegiatan konversi
terutama ditentukan olehkondisi fisik lahan (contoh: irigasi
teknis) padahal kondisi fisik tersebut begitu mudah utuk
dimodifikasi dengan rekayasa tertentu; (2) Pertaturan-peraturan
yang bertujuan untuk mencegah konversi lahan secara umum lebih
bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sangsi yang jelas,
baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang dikenai
sangsi; (3) Kelemahankelemahan tersebut pada gilirannya membuka
peluang bagi aparat daerah tertentu untuk meraih keuntungan
pribadi dari kegiatan konversi lahan dengan dalih untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. 2) Struktur Penguasaan dan
Kelembagaan Lahan di Lahan Sub Optimal Implikasinya Bagi
Peningkatan Produksi Padi ( Saptana, Ashari dan Bambang Sayaka,
2007 ). Tujuan dari penelitian adalah mencoba mengemukakan struktur
penguasaan dan kelembagaan lahan di lahan sub optimal dan juga
implikasinya terhadap peningkatan produksi beras. Hasil dari
penelitian ini adalah lahan sub optimal memiliki tingkat kesuburan
tanah yang cukup baik namun memiliki kerterbatasan dalam
infrasuktur pendukungnya. Struktur penguasaan lahan baik pemilikan
dan penggarapan relatif tinggi dibandingkan dengan lahan sawah
irigasi teknis. Demikian juga dalam distribusi penguasaan lahannya,
memiliki ketimpangan yang rendah. Terjadi fenomena pergeseran
kelembagaan lahan pada lahan suboptimal dimana terjadi pergeseran
dari sistem bagi hasil ke sistem sewa, sedangkan di lura jawa
terjadi pergeseran dari sistem gadai ke sistem bagi hasil. 3)
Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia ( Supadi dan Sri
Heru Susilowati, 2004 ). Hasil dari penelitian ini adalah pengalih
fungsi lahan melalui jual beli yang diikuti dengan alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian meningkat pesat sejak pelita IV.
Dorongan tersebut juga diikuti dengan kenyataan bahwa nilai tambah
hasil non pertanian secara satuan luas lebih tinggi dari pada
pertanian. Alih fungsi lahan kearah penggunaaan yang lebih intensif
selalu diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan
tuntutan kualitas hidup masyarakat. Selama dasawarsa 1990 an secara
keseluruhan luas daerah areal pertanian meningkat, sedangakan luas
hutan menurun. namun di lain pihak pengelolaan daerah pertanian
tersebut masih minim, ini dibuktikan dengan masih banyaknya
sleeping land. Selama periode 1983-1993 proporsi penyusutan lahan
di Jawa mencapai1, 02 Juta ha (79, 31 %). Penyusutan lahan
pertanian telah menurunkan rata-rata pemilikan lahan dan
meningkatkan proporsi petani gurem. Tingkat partisipasi rumah
tangga dalam pemilikan lahan sawah selama periode 1994 1998
menunjukan terdapat peningkatan tingkat partisipasi rumah tangga
dalam pemilikanlahan sawah, sedangkan tingkat partisispasi lahan
sawah tegalas mengalami penurunan. Peningkatan partsipasi rumah
tangga lahan sawah diikuti dengan penurunan rata-rata luas
pemilikan lahan sawah
per rumah tangga. Fenomena ini menunjukan ketimpangan pengusaan
lahan sawah makin besar sedangkan ketimpangan penguasaan lahan
sawah tegalan mengecil. Semakin tinggi nilai komoditas yang
diusahakan, maka ketmpangan distribusi penguasaan lahan akan tinggi
juga, juga terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat
aksesebilitas suatu daerah yang akan meningatkan nilah lahan
daerah, selanjutnya juga berpotensi meningkatkan tingkat
ketimpangan penguasaan lahan daerah tersebut. 4) Struktur
Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga Tani ( Dewi K.S.
Swastika, Adimesra Djaulin dan Rachmat Ramli ). Penelitian ini
bertujuan untuk menunjukan kondisi penguasaan lahan dan distribusi
pendapatan petani di daerah pasang surut Kapuas dan Lahan Kering
Barito Selatan.
Hasil penelitian ini adalah di lahan pasang surut Basarang,
kabupaten Kapuas, luas pemilikan lahan ratarata 2.19 ha sawah
pasang surut dan sekitar 0.26 ha pekarangan. Dari sawah pasang
surut seluas 2.19 ha, baru sekitar 0.70 ha diusahakan untuk
pertanian. Rendahnya pemanfaatan lahan ini sebagian disebabkan oleh
keterbatasan tenaga kerja, modal usaha, dan kondisi lahan yang
berat akibat rusaknya sistem tata air yang ada
Ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan di daerah pasang
surut tergolong sedang. Hal ini ditunjukkan oleh gini indeks
masing-masing di daerah tersebut sebesar 0.42 dan 0.49. Ketimpangan
dalam pemilikan lahan lebih kecil dari penggarapan. Hal ini
disebabkan karena kemampuan petani menggarap lahan lebih beragam
dari pada pemilikan.
Di lahan kering Dusun Tengah, Barito Selatan, rata-rata
pemilikan lahan cukup luas, yaitu sekitar 1.93 ha lahan kabun untuk
karet, dan 1.33 ha lahan kosong untuk pekarangan dan tanaman
semusim. Ketimpangan pemilikan dan penggarapan lahan sangat rendah,
yang ditunjukkan oleh gini indeks berturutturut sebesar 0.28 dan
0.27.
Sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama, yaitu
masingmasing 63 persen dari total pendapatan rumah tangga di lahan
pasang
surut dan 90 persen dari total pendapatan rumah tangga di lahan
kering. Perbedaan kontribusi sektor pertanian terhadap total
pendapatan rumah tangga di kedua kabupaten lokasi penelitian
terutama disebabkan oleh perbedaan keragaman lapangan kerja di luar
sektor pertanian.
Pengeluaran rumah tangga petani baik yang berpendapatan rendah,
sedang, maupun tinggi sebagian besar di alokasikan untuk kebutuhan
pangan. Pangsa pengeluaran untuk pangan ini berkisar 65-74 persen
di lahan pasang surut dan 62-67 persen di lahan kering. Hal ini
menunjukkan bahwa rumah tangga petani baik di lahan pasang surut
maupun di lahan kering relatif belum mampu meningkatkan kualitas
hidup dalam hal sandang (pakaian), papan (rumah), pendidikan,
kesehatan dan kebutuhan sekunder lainnya. Hal ini juga menandakan
bahwa kemampuan petani dalam pemupukan modal bagi peningkatan mutu
usahtani masih rendah.
5) Analisis Dampak Alih fungsi Lahan Pertanian ke Non-Pertanian
di Kabupaten Pemalang ( Utami Wiji Prasetyani, 2010 ). Hasil dari
penelitian ini adalah Pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian ke
non pertanian di Kabupaten Pemalang masih banyak terjadi dan
kegiatan tersebut banyak yang tidak menggunakan perizinan. Sampai
saat ini proses pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke
pertanian masih banyak kendala.
6) Strategi Pengendailian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu
pada Partisipasi Masyarakat ( Muhammad Iqbal dan Sumaryanto
).Tujuan dari penelitian ini adalah penulis mencoba
merepresentasikan partisipasi masyarakat sebagai salah satu
strategi pengendalianalin alih fungsi lahan pertanian. Strategi
pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu
padapartisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan peran serta
aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry
point
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (fokus
analisis) perundang-undangan danperaturan yang ada. Namun perlu
digarisbawahi bahwa partisipasi masyarakat tidak akan terwujud bila
tidak diiringi dengan pendekatan dalam bentuk sosialisasi dan
advokasi. Hal demikian mengingat
masyarakat sendiri memiliki tipologi kemajemukan yang antara
lain dicirikan oleh perbedaan (stratifikasi) sosial dengan ikatan
kaidah, institusi, dan perilaku.
Pola yang bersifat penekanan atau bujukan (inducement)
seyogyanya dihindari dan digantikan dengan pendekatan yang
berlandaskan tipologi kemajemukan masyarakat diiringi dengan
pemahaman dan apresiasi terhadap kearifan lokal (local wisdom)
setempat. Dalam skala makro, salah satu pendekatan yang patut
dipertimbangkan adalah yang bersifat filosofis eksistensi lahan dan
manusia. Mengingat lebih gencarnya proses alih fungsi lahan di
Pulau Jawa, maka prioritas strategi pengendaliannya adalah
berlandaskan falsafah manusia mengikuti lahannya (uwong manut
tanahe). Salah satu maknanya, apabila penempatan dan pengelolaan
lahan diatur sedemikian rupa secara partisipatif, maka masyarakat
akan mengikuti aturan-aturan tersebut. Jadi, fokus utamanya adalah
penegakan (enforcement) perundang-undangan dan peraturan alih
fungsi lahan secara konsekuen. Sebaliknya, untuk wilayah di luar
Pulau Jawa dimana masyarakatnya relatif memiliki lahan lebih luas,
perlu dibenahi sumberdaya manusianya seiring penegakan
perundang-undangan dan
peraturan pengendalian alih fungsi lahan (tanah manut
uwonge).
METODE PENDEKATAN Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan
produktivitas padi kabupaten semarang sebagai variabel dependen,
sedangkan sebagai variabel independen dalam penelitian ini yaitu
rasio lahan padi kabupaten semarang dan luas kabupaten semarang.
Definisi Operasional Variabel 1. Produktivitas Padi Merupakan yang
mana produktivitas berarti tingkat produksi dibagi dengan lahan
panen padi Kabupaten Semarang. 2. Rasio lahan padi dan Luas
Kabupaten Semarang merupakan rasio dari perbandingan luas panen
padi kabupaten semarang dengan luas wilayah kabupaten Semarang.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dan mempunyai sifat berkala (time series). Data yang dipilih adalah
data lahan, produksi serta produktivitas padi Kabupaten Semarang
pada kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2009. Sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Situs Database
Departemen Pertanian Indonesia.
Metode Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam pengumpulan
data adalah melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan tehnik
untuk mendapatkan informasi melalui catatan, literatur, dokumentasi
dan lain . lain yang masih relevan dengan penelitian ini. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dalam bentuk sudah jadi dari Situs Departemen Pertanian Indonesia.
Data yang diperoleh adalah data dalam bentuk tahunan untuk
masing-masing variabel.
Metode Analisis Kami menggunakan analisis studi pustaka,
deskrptif dan analisi regresi. Analisis studi pustaka untuk
menjawab permasalah pada rumusan masalah pertama, kedua dan kelima.
Analisis studi deskrptif digunakan untuk menganalisis rumusan
masalah ketiga.
Hasil Pembahasan Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan
non pertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut
menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa
kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan,
maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih
fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan
kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan,
maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif
untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan
tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua,
peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di
sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa
pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga
mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum
rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih
fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: - Kepadatan
penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah
pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan
kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; -
Daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah
perkotaan; - Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya,
infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada
wilayah lahan kering; - Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman,
kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di
wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi
seperti itu ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
Semakin sedikitnya tanah pertanian agaknya mendapat perhatian
khusus, sehingga kemudian dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004 ditentukan bahwa
pencegahan konversi lahan pertanian dan kehutanan untuk kegiatan
non pertanian dan kehutanan merupakan salah satu langkah pokok
untuk terpeliharanya fungsi kawasan konservasi dan kawasan lindung;
berkurangnya lahan kritis pertanian dan kehutanan; berkurangnya
konflik atas tanah; dan berkembangnya kelembagaan masyarakat yang
mampu mengolah lahan secara terpadu. Alasan petani menjual lahannya
antara lain: - Karena melihat kondisi sawah yang tanahnya tidak
bisa diharapkan untuk berproduksi optimal; - Harga tanah di sekitar
lokasi meningkat pesat; - Kebutuhan ekonomi yang tidak bisa
dihindari, misalnya makan, sekolah, dan lain-lain. Alih fungsi
lahan yang semula untuk pertanian menjadi tanah non pertanian
adalah faktor utama dari semakin sedikitnya tanah pertanian. Selain
berkurangnya lahan untuk pertanian, dalam arti untuk menghasilkan
bahan-bahan pangan dan menyediakan lapangan pekerjaan sebagai
fungsi utama dari tanah pertanian tersebut, maka dapat diartikan
pula semakin berkurangnya tanah yang subur berakibat pada rusaknya
ekosistem, yaitu sebagai penyerap/penampung air hujan, pencegah
banjir dan erosi dan perlindung atas lingkungan. Semakin seringnya
banjir dan tanah longsor adalah salah satu akibat yang disebabkan
semakin bertambahnya tanah kritis, baik itu karena pengalihfungsian
tanah pertanian menjadi tanah non pertanian ataupun penatagunaan
tanah yang tidak tepat. Efek positifnya adalah semakin kuatnya
perputaran ekonomi masyarakat yang berimbas pada kemampuan daya
beli. Setelah kebutuhan pokok pangan dan sandang,
kebutuhan pokok berikutnya yang dicari adalah pemenuhan sarana
tempat tinggal. Pengembangan rumah tinggal oleh beberapa developer
bukan tanpa konsekuensi, karena kegiatan ini memaksa (walaupun
tidak 100 %) diversifikasi fungsi lahan pertanian di kabupaten
Semarang. Terkait dengan itu, Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa
setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan
mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana,
yaitu : 1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah
berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain
justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui
kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian
lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian. 2.
Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah
alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan
terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan
menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke
nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke
nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum
tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan
yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas. 3.
Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan
dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama
dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan
sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang
justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi
teknis menjadi non pertanian. Sehubungan dengan tiga kendala di
atas, tidak efektifnya peraturan yang telah ada, juga dipengaruhi
oleh: (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2) kurang kuatnya
koordinasi antar lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya
mekanisme implementasi tata ruang wilayah. Di samping itu, persepsi
pemerintah tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah
cenderung bias ke bawah (under estimate), sehingga dampak negatif
alih fungsi lahan sawah tersebut kurang dianggap sebagai persoalan
yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.
Dari Gambar 1 dapat diperhatikan bahwa terdapat tiga langkah
dalam mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian
yang bertumpu pada masyarakat yaitu: - Pertama, titik tumpu (entry
point) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi segenap
pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para
pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung
dengan proses alih fungsi lahan pertanian. - Kedua, fokus analisis
strategi pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan
terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrument hukum
(peraturan perundangundangan), instrumen ekonomi (insentif,
disinsentif, kompensasi) dan zonasi (batasanbatasan alih fungsi
lahan pertanian). Esensinya, sikap pandang pemangku kepentingan
seyogyanya berlandaskan inisiatif masyarakat dalam bentuk
partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan kebijakan,
sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. - Ketiga, sasaran
(goal) strategi pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih
fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan. Selanjutnya,
fokus perhatian terhadap eksistensi dan partisipasi pemangku
kepentingan dapat dicermati dengan metode analisis pemangku
kepentingan (stakeholder analysis). Analisis ini berhubungan dengan
penilaian kelembagaan dan analisis sosial dalam kerangka sosial
kelembagaan. Implementasinya, analisis pemangku kepentingan
merupakan kerangka logis (logical framework) rancangan kegiatan
partisipatif.
Berdasarkan hasil pencarian indikator dalam pertanian dengan
komoditi padi di kabupaten Semarang didapatkan jumlah luas panen,
produksi dan produktivitas tanaman pangan padi pada tahun 1990-2009
seperti tampilan grafik di bawah ini.
Jumlah Luas Panen Padi di kabupaten Semarang Tahun
1990-2009120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 1990 1991
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
2005 2006 2007 2008 2009 Luas Panen
Grafik 1
Jumlah Produksi Padi di kabupaten Semarang Tahun 1990-2009250000
200000 150000 100000 50000 0 Tahun 1991 1993 1995 1997 1999 2001
2003 2005 2007
Grafik 2
Jumlah Produktivitas Padi di kabupaten Semarang Tahun 1990200960
50 40 30 20 10 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun 2008
Grafik 3 Dari data yang diambil ditunjukkan bahwa pada keadaan
luas lahan padi di kabupaten Semarang tahun 2009 meningkat sangat
pesat sebesar 96.458 ha. Begitu juga terjadi pada jumlah produsi
padi di kabupaten Semarang pada tahun 2009 mengalami peningkatan
sebesar 202.887 ton. Namun, untuk kondisi jumlah produktivitas padi
di kabupaten Semarang terjadi peningkatan yang tinggi pada tahun
2007 sejumlah 51,97 Ku/Ha. Solusi yang ditawarkan dalam menangani
alih fungsi lahan pertanian tersebut yaitu (1) pengaturan tentang
kepemilikan dan penguasaan lahan; (2) peningkatan kesempatan kerja
non pertanian; (3) penciptaan sumber pendapatan berbasis non
pertanian; (4) program pengembangan agroindustri usaha peternakan
seperti unggas, ruminansia kecil dan komoditas pertanian
bernilaiekonomi tinggi yang bersifat hemat lahan; (5) pembangunan
non pertanian lainnya seperti industri kerajinan dan lain-lain.
Selain itu, perlu diperhatikan rata-rata luas pemilikan lahan
pertanian dan perlu pencegahan untuk pengurangan lahan pertanian di
masa mendatang. Program yang juga penting untuk memperbaiki
struktur penguasaan lahan adalah perluasan areal pertanian dan
mendorong mobilitas penduduk ke wilayah yang kepadatan agrarisnya
rendah.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN Alih fungsi lahan yang
semula untuk pertanian menjadi tanah non pertanian adalah faktor
utama dari semakin sedikitnya tanah pertanian. Selain berkurangnya
lahan untuk pertanian, dalam arti untuk menghasilkan bahan-bahan
pangan dan menyediakan lapangan pekerjaan sebagai fungsi utama dari
tanah pertanian tersebut, maka dapat diartikan pula semakin
berkurangnya tanah yang subur berakibat pada rusaknya ekosistem,
yaitu sebagai penyerap/penampung air hujan, pencegah banjir dan
erosi dan perlindung atas lingkungan. Ada tiga langkah dalam
mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
bertumpu pada masyarakat yaitu: 1. Titik tumpu (entry point)
strategi pengendalian adalah melalui partisipasi segenap pemangku
kepentingan; 2. Fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap
pandang pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan
kebijakan; 3. Sasaran (goal) strategi pengendalian adalah
terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras
dan berkelanjutan. Pada tahun 2009, didapatkan data keadaan luas
lahan padi dan jumlah produksi padi di kabupaten Semarang tahun
2009 meningkat sangat pesat, sedangkan pada tahun 2001 kedua
variable ini mengalami penurunan. Namun, untuk kondisi jumlah
produktivitas padi di kabupaten Semarang terjadi peningkatan yang
tinggi pada tahun 2007 dan penurunan dialami pada tahun 1991,
tetapi penurunan tidak terlalu terlihat. Solusi yang dapat
ditawarkan yaitu (1) pengaturan tentang kepemilikan dan penguasaan
lahan; (2) peningkatan kesempatan kerja non pertanian; (3)
penciptaan sumber pendapatan berbasis non pertanian; (4) program
pengembangan agroindustri usaha peternakan seperti unggas,
ruminansia kecil dan komoditas pertanian bernilaiekonomi tinggi
yang bersifat hemat lahan; (5) pembangunan non pertanian lainnya
seperti industri kerajinan dan lain-lain. Selain itu, perlu
diperhatikan rata-rata luas pemilikan lahan pertanian dan perlu
pencegahan untuk pengurangan lahan pertanian di masa mendatang.
Program yang juga penting untuk memperbaiki struktur penguasaan
lahan adalah perluasan areal pertanian dan mendorong mobilitas
penduduk ke wilayah yang kepadatan agrarisnya rendah.
REFERENSI Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto. 2007. Strategi
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi
Masyarakat, dalam jurnal Ekonomi Pertanian. Bogor: Pusat Analisis
Sosial dan Kebijakan Pertanian Sastraatmaja, Entang. 2006. Dilema
Konversi Rakyat, dalam kumpulan jurnal Pikiran Rakyat. Jakarta
Sudireja, Rija. 2007. Sulitnya Mempertahankan Areal dan Produksi
Padi, dalam kumpulan jurnal Pikiran Rakyat. Jakarta Supadi dan Sri
Hery Susilowati. 2004. DinamikaPenguasaan Lahan Pertanian di
Indonesia, dalam Icaser Working Paper. Jakarta: Departemen
Pertanian Http:// www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_6.htm.
Diunduh pada hari Rabu, 8 Mei 2012
LAMPIRAN
Sub Sektor Komoditi Level Propinsi Kabupaten/Kota Status Angka
Tahun Status Angka Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber
Data Luas Produksi Panen (Ton) (Ha) 39,507.00 170,601.00 39,107.00
167,766.00 40,508.00 183,920.00 40,543.00 178,716.00 35,608.00
156,507.00 40,157.00 178,532.00 40,032.00 179,652.00 38,222.00
171,270.00 35,507.00 160,683.00 33,119.00 150,527.00 33,383.00
164,297.00 29,970.00 146,345.00 35,095.00 177,207.00 30,537.00
158,445.00 32,457.00 165,768.00 33,333.00 169,618.00 34,941.00
177,296.00 32,862.00 170,787.00 33,216.00 166,409.00 96,458.00
202.887,00
: : : : : : : :
Tanaman Pangan Padi Kabupaten/Kota Jawa Tengah Kab. Semarang
Status Saat Ini 1990-1999 Angka Tetap
Departemen : Pertanian