POTENSI EKONOMI MIKROALGAE Chlorella sp. DAN Spirulina sp. Tugas Makalah Botani Ekonomi Disusun oleh: Andesita Ryanesia Dewi 140410110016 Devi Ayu Lestari 140410110028 Athena Dinanty 140410110067 Fatharani Rayhannisa 140410110069 Septiani Gartini 140410110078 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2014
25
Embed
Makalah Ekonomi Mikroalgae (Chlorella sp & Spirulina sp)_Kelompok 1.pdf
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
POTENSI EKONOMI MIKROALGAE Chlorella sp. DAN Spirulina sp.
Tugas Makalah Botani Ekonomi
Disusun oleh:
Andesita Ryanesia Dewi 140410110016
Devi Ayu Lestari 140410110028
Athena Dinanty 140410110067
Fatharani Rayhannisa 140410110069
Septiani Gartini 140410110078
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikroalga adalah alga berukuran mikro yang biasa dijumpai di air tawar
dan air laut. Mikroalga merupakan spesies uniseluler yang dapat hidup soliter dan
berkoloni. Berdasarkan spesiesnya, ada berbagai macam bentuk dan ukuran
mikroalga. Tidak seperti tanaman tingkat tinggi, mikroalga tidak memiliki akar,
batang, dan daun. Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang
memiliki kemampuan untuk menggunakan sinar matahari dan karbondioksida
untuk menghasilkan biomassa.
Keanekaragaman mikroalga sangatlah tinggi, diperkirakan terdapat
200.000-800.000 spesies mikroalga yang ada di Bumi. Namun baru sekitar 35.000
spesies saja yang telah terindentifikasi. Sel-sel mikroalga tumbuh dan berkembang
pada media air, itu sebabnya mikroalga memiliki tingkat efisiensi yang lebih
tinggi dalam hal penggunaan air, karbondioksida, dan nutrisi lainnya bila
dibandingkan dengan tanaman tingkat tinggi.
Dalam biomassa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang sangat
bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat. Persentase
keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Dengan adanya
komponen bahan tersebut, mikroalga juga dapat dijadikan bahan alternatif
makanan bagi manusia. Salah satu jenis mikroalga yang sudah banyak dikenal
ialah Spirulina dan Chlorella dari kelompok Cyanophyceae.
Mikroalga mempunyai kandungan lipid sekitar 50-60% dan protein
sebanyak 70%, selain itu mikroalga juga mempunyai kandungan karbohidrat yang
mencapai 40% (Chisti, 2007). Dengan kandungan lipid yang tinggi tersebut, maka
mikroalga berpotensi sebagai sumber energi atau bahan bakar nabati melalui
proses ekstraksi dan esterifikasi. Dengan kandungan protein yang cukup tinggi
dan kandungan senyawa aktif tinggi, maka mikroalga mempunyai potensi sebagai
sumber food supplement melalui proses ekstraksi. Sedangkan karbohidrat
berpotensi menjadi bioethanol.
Spirulina sp. mengandung pigmen biru yang umum disebut phycocyanin
(Kozlenko & Henson, 1998 dalam Arlyza, 2005). Phycocyanin mempunyai
kandungan yang cukup signifikan sebagai antioksidan, melindungi fungsi hati,
dan membuang senyawa radikal (Weil, 2000). Oleh karena itu phycocyanin sangat
luas digunakan dalam bidang kesehatan, pewarnaan makanan dan kosmetik.
Chlorella , memiliki kandungan memiliki kandungan minyak sebesar 28-32%
sehingga sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai salah satu bahan baku
pembuatan biodiesel.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa identifikasi masalah
yang membatasi penulisan makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana cara distirubusi mikroalgae Chlorella sp. dan Spirulina
sp.
2. Bagaimana cara pembudidayaan Chlorella sp. dan Spirulina sp.
3. Apa saja kangdungan metabolit sekunder yang dimiliki Chlorella
sp. dan Spirulina sp.
4. Potensi ekonomi apa saja yang dimiliki Chlorella sp. dan
Spirulina sp.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui distirubsi,
pembudidayaan, serta kandungan metabolit sekunder dari Chlorella sp. dan
Spirulina sp. yang bermanfaat dan berpotensi secara ekonomi.
BAB II
ISI
2.1 Distribusi Mikroalga
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), menyatakan bahwa terdapat
empat kelompok mikroalga antara lain: diatom (Bacillariophyceae), alga hijau
(Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae) dan alga biru (Cyanophyceae).
Penyebaran habitat mikroalga biasanya di air tawar (limpoplankton) dan air laut
(haloplankton), sedangkan sebaran berdasarkan distribusi vertikal di perairan
meliputi plankton yang hidup di zona euphotik (ephiplankton), hidup di zona
disphotik (mesoplankton), hidup di zona aphotik (bathyplankton) dan yang hidup
di dasar perairan atau bentik (hypoplankton) (Eryanto et.al, 2003).
2.2 Budidaya Mikroalga
Sebagian besar mikroalga menggunakan cahaya dan karbon dioksida
(CO2) sebagai sumber energi dan sumber karbon (organisme photoautotrophic).
Pertumbuhan optimum mikroalga membutuhkan temperatur air berkisar 15-30˚C.
Media pertumbuhan juga harus mengandung elemen anorganik yang berfungsi
dalam pembentukan sel, seperti nitrogen, phospor, dan besi. Beberapa penelitian
telah dilakukan untuk mengembangkan teknik, prosedur dan proses produksi
mikroalga dalam jumlah besar. Open ponds system dan photobioreactor system
merupakan teknik budidaya mikroalga yang paling sering digunakan (Ariyanti
dan Handayani, 2007).
2.2.1 Open Ponds
Gambar 1. Raceway open pond dilapangan
Sumber: Google Image
Open ponds merupakan sistem budidaya mikroalga tertua dan paling
sederhana. Sistem tersebut sering dioperasikan secara kontinyu. Umpan segar
(mengandung nutrisi termasuk nitrogen, phosphor, dan garam inorganic)
ditambahkan didepan paddlewheel dan setelah beredar melalui loop-loop
mikroalga tersebut dapat dipanen dibagian belakang dari paddlewheel.
Paddlewheel digunakan untuk proses sirkulasi dan proses pencampuran mikroalga
dengan nutrisi. Beberapa sumber limbah cair dapat digunakan sebagai kultur
dalam budidaya mikroalga. Pemilihan sumber limbah cair tersebut berdasarkan
pemenuhan kebutuhan nutrisi dari mikroalga. Mikroalga laut dapat menggunakan
air laut atau air dengan tingkat salinitas tinggi sebagai media kultur.
Biaya operasional sistem open ponds lebih rendah dibandingkan dengan
sistem photobioreactor, namun sistem tersebut memiliki beberapa kelemahan.
Open ponds merupakan sistem kolam terbuka sehingga mengalami evaporasi akut
dan penggunaan karbon dioksida (CO2) menjadi tidak efisien. Produktivitas
mikroalga juga dibatasi oleh kontaminasi dari alga atau mikroorganisme yang
tidak diinginkan.
2.2.2 Photobioreactor
(a) (b)
Gambar 2. (a) Instalasi flat photobioreactor, (b) Instalasi tubular
photobioreactor
Sumber: Google Image
Photobioreactor dikembangkan untuk mengatasi permasalahan
kontaminasi dan evaporasi yang sering terjadi dalam sistem open pond. Sistem
tersebut terbuat dari material tembus pandang dan umumnya diletakkan di
lapangan terbuka untuk mendapatkan cahaya matahari. Pada dasarnya,
photobioreactor terdapat dalam dua jenis, plate dan tubular. Photobioreactor
tubular lebih sesuai digunakan di lapangan terbuka.
Pada dasarnya, terdapat dua tipe photobioreactor, yaitu tipe flat plate dan
tipe tubular. Apabila dibandingkan, tipe tubular lebih cocok untuk aplikasi di luar
ruangan karena luasnya permukaan untuk proses iluminasi. Namun, flat plate
photobioreactor juga sering digunakan karena tipe ini dapat meratakan intensitas
penyinaran sehingga sel yang dihasilkan memiliki densitas yang lebih tinggi. Tipe
plate-flat photobioreactor lebih disukai karena: (i) konsumsi energi lebih rendah
dan kapasitas transfer massa tinggi; (ii) efesiensi fotosintetis tinggi; dan (iii) tdak
terdapat ruang yang tidak terkena cahaya. Desain dari tipe ini juga beragam mulai
dari tipe gelas hingga PVC transparan dan tebal. Photobioreactor memiliki rasio
luas permukaan dan volume yang besar. Produktivitas mikroalga menggunakan
photobioreactor dapat mencapai 13 kali lipat total produksi dengan menggunakan
sistem open raceway pond.
Tabel 2. Perbandingan antara penggunaan sistem open pond dengan sistem
photobioreactor. (Harun, R., dkk., 2010)
2.3 Pemanenan Mikroalga
Teknik yang banyak diaplikasikan untuk proses pemanenan mikroalga
adalah flokulasi, sentrifugasi, dan filtrasi (Ariyanti dan Handayani, 2007). Proses
flokulasi dapat digunakan sebagai tahap awal untuk mempermudah proses
selanjutnya. Mikroalga memiliki muatan negatif, sehingga untuk membentuk flok
dibutuhkan flokulan kationik seperti Al2(SO
4)3, FeCl
3, dan Fe
2(SO
4)3. Filtrasi
adalah metode pemanenan yang terbukti paling kompetitif dibandingkan dengan
teknik pemanenan yang lain. Jenis filtrasi yang dapat digunakan adalah dead end
filtration, mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, filtrasi bertekanan, dan filtrasi aliran
tangensial.
Sentrifugasi
Sentrifugasi merupakan proses pemisahan yang menggunakan gaya
sentrifugal sebagai driving force untuk memisahkan padatan dan cairan. Proses
pemisahan ini didasarkan pada ukuran partikel dan perbedaan densitas dari
komponen yang akan dipisahkan.
Flokulasi
Flokulasi adalah proses dimana partikel zat terlarut dalam larutan
membentuk agregat yang disebut flok. Proses flokulasi terjadi saat partikel zat
terlarut saling bertumbukan dan menempel satu sama lain. Bahan kimia yang
biasa disebut flokulan ditambahkan ke dalam sistem untuk membantu proses
flokulasi.
Filtrasi
Metode pemisahan ini melibatkan media yang permeabel untuk
melewatkan cairan sekaligus menahan padatan sehingga kedua komponen ini
terpisah. Proses filtrasi memerlukan pressure drop untuk mendorong cairan
melewati media filter. Pressure drop yang umum digunakan adalah gravitasi,
vakum, tekanan atau sentrifugal. Namun proses filtrasi tidak cocok untuk operasi
pemanenan mikroalga yang memiliki ukuran sel yang kecil seperti spesies
Dunaliella. Kultur mikroalga dan retentat hasil proses filtrasi dipompakan ke
modul filter. Filtrat dialirkan ke proses selanjutnya, sedangkan retentat
dikembalikan lagi ke tangki umpan sehingga lama kelamaan mikroalga dalam
tangki akan semakin terkonsentrasi.
2.4 Kandungan Metabolit Sekunder
2.4.1 Karakteristik Spirulina sp.
Spirulina merupakan mikroalga yang mengandung protein tinggi
sekitar 50-70% dan sumber mikronutrien (Phang, et al., 2000). Pada
tahun 1976, Spirulina platensis sengaja dipilih sebagai sumber makanan
masa depan oleh International Association of Applied Microbiology.
Beberapa sumber bahan pangan seperti jamur dan bakteri
mikroorganisme mempunyai kadar protein yang sangat tinggi sehingga
disebut sebagai protein sel tunggal (PST). Spirulina adalah jenis
cyanobacteria atau bakteri yang mengandung klorofil dan dapat bertindak
sebagai organisme yang bisa melakukan fotosintesis untuk membuat
makanan sendiri. Bentuknya spiral (Gambar 1), mengandung fikosianin
tinggi sehingga warnanya cenderung hijau biru. Spirulina dapat tumbuh
dengan baik di danau, air tawar, air laut, dan media tanah. Spirulina juga
memiliki kemampuan untuk tumbuh di media yang mempunyai alkalinitas
tinggi, (pH 8,5–11), dimana mikroorganisme lainnya tidak bisa tumbuh
dengan baik dalam kondisi ini (Kebede dan Ahlgren, 1996). Suhu
terendah untuk Spirulina platensis untuk hidup adalah 15oC, dan
pertumbuhan yang optimal adalah 35 - 40oC.
Gambar 1. Spirulina dilihat dari mikroskop (Sciento.uk, 2014)
2.4.2 Kandungan Nutrisi
Spirulina memiliki beberapa karakteristik serta kandungan nutrisi
yang cocok sebagai makanan fungsional. Protein, asam lemak esensial,
vitamin, mineral, dan klorofil serta fikosianin adalah komponen yang
terkandung di dalam Spirulina. Diyakini juga bahwa Spirulina bisa
bertindak sebagai produk makanan penyembuh atau obat.
A. Mineral
Jumlah mineral esensial yang terkandung dalam Spirulina hampir
sekitar 3 - 7%. Mineral - mineral initerakumulasi di dalam mikroalga dan
berasal dari mineral yang terkandung dalam media pertumbuhan dan
juga dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan pH. Sharma dan Azees (1988)
menyatakan bahwa bioakumulasi kobalt dan seng dipengaruhi oleh suhu
media yang berbeda. Sementara itu Gabbay, Tel dan Gresshoff (1993)
mencatat bahwa Spirulina dalam air laut terakumulasi natrium dan klorida
dalam jumlah tinggi.
B. Protein
Spirulina mengandung protein tinggi sekitar 55 -70%. Protein ini
merupakan suatu senyawa kompleks yang kaya akan asam amino esensial,