I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penduduk Indonesia menurut sensus yang telah dilakukan pada tahun 2010 oleh Biro Pusat Stastisik tercatat sebanyak 234.000.000 jiwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan tingkat kualitas hidup yang sangat beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya terutama ditinjau dari penggunaan sumber daya alam yang ada. Jumlah penduduk Indonesia meningkat sebesar 13,44% (27.735.405 jiwa) dibandingkan dengan tahun 2000, (Anonimus, 2010a) Sementara jumlah penduduk dunia berjumlah 5.868.638.152 jiwa menurut data International Data Base (IDB) Biro Sensus Amerika Serikat. Jumlah penduduk tersebut akan membutuhkan pendayagunaan sumber daya alam sebagi penopang kehidupan. Penggunaan sumber daya alam pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehingga kehidupan dapat berlangsung dengan baik. Kebutuhan hidup manusia selalu berhubungan dengan tingkat peradabannya, semakin tinggi tingkat peradaban manusia maka penggunaan sumber daya alam akan semakin tinggi. Tingginya peradaban manusia menyebabkan banyaknya aktivitas manusia dalam penggunaan sumber daya alam di muka bumi untuk menjaga pemenuhan kebutuhan hidup. Aktivitas manusia tersebut menyebabkan terjadinya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penduduk Indonesia menurut sensus yang telah dilakukan pada tahun 2010
oleh Biro Pusat Stastisik tercatat sebanyak 234.000.000 jiwa yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia dengan tingkat kualitas hidup yang sangat beragam
antara satu daerah dengan daerah lainnya terutama ditinjau dari penggunaan
sumber daya alam yang ada. Jumlah penduduk Indonesia meningkat sebesar
13,44% (27.735.405 jiwa) dibandingkan dengan tahun 2000, (Anonimus, 2010a)
Sementara jumlah penduduk dunia berjumlah 5.868.638.152 jiwa menurut data
International Data Base (IDB) Biro Sensus Amerika Serikat. Jumlah penduduk
tersebut akan membutuhkan pendayagunaan sumber daya alam sebagi penopang
kehidupan.
Penggunaan sumber daya alam pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia sehingga kehidupan dapat berlangsung dengan baik.
Kebutuhan hidup manusia selalu berhubungan dengan tingkat peradabannya,
semakin tinggi tingkat peradaban manusia maka penggunaan sumber daya alam
akan semakin tinggi.
Tingginya peradaban manusia menyebabkan banyaknya aktivitas manusia
dalam penggunaan sumber daya alam di muka bumi untuk menjaga pemenuhan
kebutuhan hidup. Aktivitas manusia tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi
emisi enam gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global (global
warming) yaitu karbondioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksa fluorida, HFC
dan PFC seperti disimpulkan oleh kelompok peneliti di bawah naungan Badan
Peserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Panel Antar Pemerintah Tentang Perubahan
Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC). Salah satu
penyumbang terbesar karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil (fosil
fuel) seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam yang juga merupakan sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui, (Anonimus, 2010b).
Sementara itu menurut Anonimus (2010c), budidaya ternak menjadi salah
satu kontributor paling signifikan bagi masalah lingkungan yang paling serius saat
ini. Dengan meningkatnya kesejahteraan maka penduduk dunia mengkonsumsi
lebih banyak daging dan produk susu setiap tahunnya. Produksi daging global
diproyeksikan lebih dari dua kali lipat, dari 229 juta ton pada tahun
1999/2001 menjadi 465 juta ton pada tahun 2050, sementara konsumsi susu
diperkirakan naik hingga 580-1043 juta ton. Sektor peternakan tumbuh lebih cepat
dari sektor pertanian lainnya. Sektor ini memberikan mata pencaharian bagi
sekitar 1,3 miliar orang dan memberikan kontribusi sekitar 40 persen terhadap
pertanian global. Banyak petani miskin di negara-negara berkembang yang masih
menganggap ternak sebagai sumber energi yang penting dan sumber pupuk
organik untuk tanaman mereka. Bidang peternakan menghasilkan 37 persen dari
semua metana yang dihasilkan oleh manusia, dimana metana mempunyai efek
pemanasan 23 kali lebih kuat dari CO2. Metana tersebut sebagian besar dihasilkan
oleh sistem pencernaan hewan pemamah biak (ternak ruminasia). Selain itu
peternakan juga menghasilkan 64 persen amonia yang secara signifikan
menghasilkan hujan asam.
Penggunaan sumber daya alam khususnya bahan bakar fosil dan budidaya ternak
ruminansia yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia menjadi
salah satu pemicu terbentuknya gas rumah kaca. Gas rumah kaca yang terbentuk
menyebabkan terjadinya pemanasan global.
Pemasanan global yang terjadi saat ini telah banyak membawa dampak
negatif bagi kehidupan manusia seperti menyebabkan iklim tidak stabil,
peningkatan suhu permukaan laut, suhu global akan cenderung meningkat,
gangguan ekologis serta berdampak pada kehidupan sosial dan politik. Oleh
karena hal tersebut maka perlu dilakukan berbagai cara ataupun upaya-upaya yang
sistematis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk menghambat terjadinya
pemanasan global yang telah diikrarkan dalam “Protokol Kyoto” tahun 1997
adalah mengurangi emisi gas rumah kaca. Bioenergi menjadi salah satu cara yang
dapat dikembangkan sebagai sumber energi alternatif energi ramah lingkungan
dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal
dan terbatas.
Menurut berbagai hasil studi yang telah dilakukan, penggunaan energi
terbarukan dapat menghemat energi sekitar 10% hingga 30%, (Sumiarso , 2010).
Pertumbuhan permintaan energi di Indonesia terus bertambah, bahkan dalam
2
kurun waktu 10 tahun pertumbuhannya mencapai 7%, dimana sektor yang paling
mempunyai andil besar dalam pertumbuhan ini yaitu sektor industri karena sektor
ini merupakan konsumen utama energi. Pemenuhan kebutuhan energi ini hampir
semuanya dipenuhi oleh bahan bakar fosil seperti minyak, gas dan batubara.
Untuk menekan permintaan energi yang sangat besar tersebut diperlukan
pencarian energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di segala sektor
seperti sektor rumah tangga, industri dan sektor transportasi yang salah satunya
adalah bioenergi. Bioenergi selain dapat dihasilkan dari tanaman yang memang
sengaja dibudidayakan untuk produksi bioenergi juga dapat diusahakan dari
pengolahan limbah yang dihasilkan dari aktivitas kehidupan manusia. Penggunaan
bioenergi dari limbah peternakan selain dapat mengurangi emisi gas efek rumah
kaca, juga mengurangi masalah lingkungan dan meningkatkan nilai dari limbah
itu sendiri. Dan salah satu limbah yang dihasilkan dari aktifitas kehidupan
manusia adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang terdiri dari feses, urin, gas
dan sisa makanan ternak.
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk
ternak, dll. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses,
Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang
meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap
metanogenik (FAO, 1978). Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan
organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi
sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada
tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada
tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam.
Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat,
propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida,
hidrogen dan amoniak. Sedangkan pada tahap metanogenik adalah proses
pembentukan gas metan. Sebagai ilustrasi dapat dilihat salah satu contoh bagan
perombakan serat kasar (selulosa) hingga terbentuk gasbio (Gambar 2).
Sedangkan bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase di atas
terdiri dari :
1. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa
organik menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik,
CO2, H2, H2S.
2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam
organik, dan senyawa netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat
dan hidrogen.
13
3. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-
asam lemak dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri
pembentuk metan antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan
Methanosarcina.
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar
alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak
tanah dan gas alam (Houdkova et al., 2008). Biogas juga sebagai salah satu jenis
bioenergi yang didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan
organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun
hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Hambali et
al., 2007). Gas metan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan
Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan
14
proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas metan ini pertama kali
ditemukan oleh Alessandro Volta pada tahun 1776. Hasil identifikasi gas yang
dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham
tahun 1868 murid Louis Pasteur dan Tappeiner tahun 1882 adalah orang pertama
yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan.
Gas ini berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah
biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi
melalui proses anaerobik digestion (Pambudi, 2008). Biogas yang terbentuk dapat
dijadikan bahan bakar karena mengandung gas metan (CH4) dalam persentase
yang cukup tinggi. Komponen biogas tersajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komponen penyusun biogas
Jenis Gas PersentaseMetan (CH4) Karbondioksida (CO2)Air (H2O)Hidrogen sulfide (H2S)Nitrogen (N2)Hidrogen
50-7030-400,3Sedikit sekali1- 25-10
Sumber : Bacracharya et al., 1985
Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas
setara dengan 60 – 100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas
dibandingkan dengan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan
Aplikasi 1m3 Biogas setara dengan 1 m3 biogas
Elpiji 0,46 kg Minyak tanah 0,62 literMinyak solar 0,52 literKayu bakar 3,50 kg
Sumber : Wahyuni, 2008
Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat
menjawab kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah
dari pupuk cair dan padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi
efek rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif dapat
mengurangi penggunaan kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha
penebangan hutan, sehingga ekosistem hutan terjaga. Biogas menghasilkan api
biru yang bersih dan tidak menghasilkan asap.
15
Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi
biogas peternakan ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangkan
dunia peternakan sapi di Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik,
kenaikan harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak
solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber
energi elternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Nurhasanah et
al., 2006).
Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun
2010 di Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari
skala kecil menjadi skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang
koperasi susu, peternakan sapi pedaging melalui kemitraan dengan perkebunaan
kelapa sawit dan sebagainya. Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku
biogas secara kontinyu dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi biogas.
Pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas
mendukung konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan dapat dicapai.
2.4. Pengolahan Limbah Peternakan Sapi Menjadi Biogas
Menurut Anonimus (2010d), pengolahan limbah peternakan sapi menjadi
biogas pada prinsipnya menggunakan metode dan peralatan yang sama dengan
pengolahan biogas dari biomassa yang lain. Adapun alat penghasil biogas secara
anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. Pada akhir abad ke-19, riset untuk
menjadikan gas metan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada
masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris
dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk
menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan harganya
yang murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan.
Tetapi, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah
dan selalu tersedia selalu ada. Oleh karena itu, di India kegiatan produksi biogas
terus dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini, negara berkembang lainnya, seperti
China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini telah melakukan berbagai riset
16
dan pengembangan alat penghasil biogas. Selain di negara berkembang, teknologi
biogas juga telah dikembangkan di negara maju seperti Jerman.
Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan
proses fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa
udara) oleh bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan. Menurut Haryati (2006),
proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses
pemecahan bahanorganik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri
asidogenik pada kondisi tanpa udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam
limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan
sampah organik rumah tangga. Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom
C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas metan yang dihasilkan
kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan organik yang
bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah
yang sebagian besar terdiri dari kotoran dan potongan-potongan kecil sisa-sisa
tanaman, seperti jerami dan sebagainya serta air yang cukup banyak.
Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N,
temperatur, keasaman juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum
yaitu pada temperatur sekitar 32 – 35°C atau 50 – 55°C dan pH antara 6,8 dan 8 .
Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah bahan organik dengan adanya air
menjadi energi gas.
Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerobik juga
memberikan beberapa keuntungan lain yaitu menurunkan nilai COD dan BOD,
total solid, volatile solid, nitrogen nitrat dan nitrogen organic, bakteri coliform dan
patogen lainnya, telur insek, parasit, dan bau.
Menurut Haryati (2006), pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses
yaitu:
1. Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah
larut dan pemecahan bahan organik yang komplek menjadi sederhana
dengan bantuan air (perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk
monomer).
2. Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana)
yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi
17
bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula
sederhana tadi yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan
sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan ammonia.
3. Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas
metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini yang akan
mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfida.
Tahapan proses tersebut di atas berlangsung dalam digester yang
dirancang seseuai dengan kebutuhan tergantung jumlah sapi yang ada. Digester
tersebut kemudian dirangkaikan dalam instalasi biogas yang utuh sehingga dapat
berfungsi dengan baik. Model digester yang paling umum digunakan adalah
model cina (FAO, 1978) seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Digester Fixed Dome Model Cina
Hasil identifikasi terhadap model digester yang telah dilakukan oleh
Widodo et al., 2009 dari Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen
Pertanian melalui studi literature, konsultasi teknis dan kunjungan lapang
diperoleh kesimpulan bahwa digester tipe fixed dome (China Type) dipilih untuk
dapat dikembangkan di Indonesia. Model cina dikembangan oleh karena beberapa
alasannya adalah:
1. umur ekonomis dapat mencapai 20-25 tahun,
18
2. terbuat dari bahan-bahan lokal,
3. konstruksi berupa dome sehingga mampu menahan beban baik di dalam
maupun di atas permukaan tanah,
4. konstruksi terdapat dibawah permukaan tanah sehingga kestabilan suhu
5. bahan didalam digester dapat terjamin,
6. penghematan penggunaan lahan,
7. operasional alat mudah dilakukan,
8. perawatan relatif mudah dan murah.
Model digester yang telah dikembangan dan cocok untuk diterapakan sesuai
dengan jumlah sapi yang dipelihara sekitar 5 – 6 ekor per rumah tangga petani.
Skema gambar digester untuk 5 -6 ekor sapi se[erti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Model Digester untuk 5 – 6 ekor Sapi
Digester dapat dibuat dari bahan plastik Polyetil Propilene (PP), fiber glass
atau semen, sedangkan ukuran bervariasi mulai dari 4 – 35 m3. Cara
Pengoperasian Unit Pengolahan (Digester) Biogas seperti terjabar dalam Seri
Bioenergi Pedesaan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian Tahun 2009
sebagai berikut :
19
Buat campuran kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 2 (bahan
biogas). Masukkan bahan biogas ke dalam digester melalui lubang
pengisian (inlet) hingga bahan yang dimasukkan ke digester ada sedikit
yang keluar melalui lubang pengeluaran (outlet), selanjutnya akan
berlangsung proses produksi biogas di dalam digester.
Setelah kurang lebih 8 hari biogas yang terbentuk di dalam digester sudah
cukup banyak. Pada sistem pengolahan biogas yang menggunakan bahan
plastik, penampung biogas akan terlihat mengembung dan mengeras
karena adanya biogas yang dihasilkan. Biogas sudah dapat digunakan
sebagai bahan bakar, kompor biogas dapat dioperasikan.
Pengisian bahan biogas selanjutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu
sebanyak kira-kira 10% dari volume digester. Sisa pengolahan bahan
biogas berupa sludge secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran
(outlet) setiap kali dilakukan pengisian bahan biogas. Sisa hasil
pengolahan bahan biogas tersebut dapat digunakan sebagai pupuk
kandang/pupuk organik, baik dalam keadaan basah maupun kering.
Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau
digunakan langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator
listrik, patromas biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur dan lain
sebagainya.
Keseluruhan langkah tersebut terjadi dalam instalasi biogas yang telah
dibangun sesuai dengan kondisi dan kemampuan dana yang dimiliki. Instalasi
biogas tersusun mulai dari diegester, penampungan gas serta pipa aliran hingga ke
perlatan yang menggunakan biogas. Instalasi biogas terlihat seperti pada Gambar
5 .
Jika dilihat analisa dampak lingkungan terhadap lumpur keluaran (slurry)
dari digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal
dan perbandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah
cair BOD/COD = 0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K
(0,41%) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos
(referensi: N (1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%) (Widodo et al., 2006).
20
Berdasarkan hasil penelitian, hasil samping pupuk ini mengandung lebih
sedikit bakteri patogen sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah, terutama
untuk konsumsi segar (Widodo et al., 2006).
Gambar 5. Instalasi Biogas
21
III. PENGGUNAAN BIOGAS LIMBAH SAPI MENGURANGI PEMAKAIAN BAHAN BAKAR FOSIL DAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN
Pada umumnya peternak sapi di Indonesia mempunyai rata- rata 2 – 5 ekor
sapi dengan lokasi yang tersebar tidak berkelompok. Sehingga penanganan
limbahnya baik itu limbah padat, cair maupun gas seperti feses dan urin maupun
sisa pakan dibuang ke lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran.
Pengolahan limbah secara sederhana hanya dengan pemanfaatannya sebagai
pupuk organik.
Diketahui sapi dengan bobot 450 kg menghasilkan limbah berupa feses
dan urin lebih kurang 25 kg per ekor per hari. Dan apabila tidak dilakukan
penanganan secara baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran
lingkungan udara, tanah dan air serta penyebaran penyakit menular. Sehingga
sangat diperlukan usaha untuk mengurangi dampak negatif dari kegiatan
peternakan sapi salah satunya dengan melakukan penanganan yang baik terhadap
limbah yang dihasilkan melalui biogas.
Hasil biogas dari rata 3 – 5 ekor sapi tersebut setara dengan 1-2 liter
minyak tanah/hari. Dengan demikian keluarga peternak yang sebelumnya
menggunakan minyak tanah untuk memasak bisa menghemat penggunaan minyak
tanah 1-2 liter/hari. Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi alternatif
sangat memungkinkan untuk diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga
bahan bakar minyak yang makin mahal dan kadang-kadang langka
keberadaannya. Besarnya potensi Limbah biomassa padat di seluruh Indonesia
seperti kayu dari kegiatan industri pengolahan hutan, pertanian dan perkebunan;
limbah kotoran hewan, misalnya kotoran sapi, kerbau, kuda, dan babi juga
dijumpai di seluruh provinsi Indonesia dengan kualitas yang berbeda-beda.
Teknologi biogas adalah suatu teknologi yang dapat digunakan dimana
saja selama tersedia limbah yang akan diolah dan cukup air. Di negara maju
perkembangan teknologi biogas sejalan dengan perkembangan teknologi lainnya.
Untuk kondisi di Indonesia, teknologi biogas dapat dibangun dengan kepemilikan
kolektif dan dipelihara secara bersama. Seperti yang dicanangkan oleh Direktorat
Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen
22
Pertanian Republik Indonesia melalui program Pengembangan Biogas Ternak
bersama Masyarakat (BATAMAS) yang dimulai pada tahun 2006.
Beberapa alasan mengapa biogas belum popular penggunaannya di
kalangan peternak atau kalaupun sudah ada banyak yang tidak lagi beroperasi,
yaitu kurang sosialisasi, teknologi yang diterapkan kurang praktis dan perlu
pemeliharaan yang seksama dan kurangnya pengetahuan para petani tentang
pemeliharaan digester.
Teknologi biogas dapat dikembangkan dengan input teknologi yang
sederhana dengan bahan-bahan yang tersedia di pasaran lokal. Energi biogas juga
dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga; kotoran cair dari peternakan
ayam, babi; sampah organik dari pasar, industri makanan dan sebagainya.
Disamping itu usaha lain yang dapat bersinergi dengan kegiatan ini adalah
peternakan cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat
menghasilkan ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan
limbah cairnya sebagai bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung
juga dapat berkembang, seperti industri bata merah, industri kompor gas, industri
lampu penerangan, pemanas air dan sebagainya. Sehingga pengembangan
teknologi biogas secara langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat
menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis
pengolahan hasil pertanian dapat memberikan multiple effect dan dapat menjadi
penggerak dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan
untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada
produk-produk olahan yang di proses dengan menggunaan green energy.
Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau
digunakan langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik,
patromas biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur, dan lain sebagainya.
Pengembangan biogas ini memiliki lima manfaat dan solusi permasalahan limbah
sekaligus (Anonimus, 2010e). Manfaat tersebut antara lain adalah :
1. Alternatif pengelolaan dan pemanfaatan limbah peternakan. Dengan
biogas ini, maka masalah lingkungan akibat limbah ternak selain dapat
teratasi juga dapat dimanfaatkan secara lebih produktif
23
2. Langkah antisipasi konkret dari terjadinya krisis energi fosil di tingkat
daerah maupun nasional. Bila pemanfaatannya di berbagai daerah di
Indonesia digalakkan dan dilestarikan, khususnya daerah yang tidak
memiliki sumber daya energi fosil, maka biogas ini akan sangat
membantu sekali dalam mengurangi pengeluaran warga terhadap
kebutuhan minyak tanah atau gas elpiji yang harganya semakin
melambung tinggi.
3. Praktik keterampilan (life skill) dan pengetahuan para peneliti maupun
warga masyarakat. Pengembangan biogas ini dengan sendirinya
merupakan sebuah ajang peningkatan kapasitas bagi para peneliti dan
warga masyarakat di bidang IPTEK. Keterampilan dan pengetahuan yang
diperoleh dari pengembangan ini pun nantinya dapat dijadikan bekal
hidup mereka dan sebagai sumber energi alternatif yang ramah
lingkungan.
4. Pengembangan biogas ini bisa digunakan sebagai sarana penelitian untuk
dikembangkan lebih lanjut dan atau direplikasi di berbagai daerah atau
perkotaan yang mengalami krisis energi. Proyek biogas ini membuka
peluang terjadinya sebuah perbaikan secara terus-menerus bagi
kesempurnaan proyek energi terbarukan di masa depan.
5. Pengembangan biogas ini bisa dimanfaatkan sebagai kampanye edukasi
aksi nyata dalam menyikapi isu pemanasan global akibat naiknya gas
rumah kaca (GRK) di atmosfer. Setidaknya, biogas ini dapat menjadi
jawaban dari komunitas lokal terhadap berbagai tawaran untuk
mengurangi naiknya gas rumah kaca (GRK) dari negara-negara maju dan
berkembang.
Di samping itu, manfaat atau usaha lain yang dapat bersinergi dengan
adanya pengembangan biogas ini adalah peternakan cacing untuk pakan
ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan ampas tahu yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai bahan input produksi
biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti industri bata
merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air, dan
sebagainya. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun
24
tidak langsung diharapkan dapat mengurangi ketergantungan akan bahan bakar
fosil, mengurangi pencemaran lingkungan, menciptakan lapangan kerja baru di
pedesaan maupun di perkotaan serta sekaligus menjadi salah satu langkah untuk
mengurangi pengangguran.
Pemanfaatan limbah peternakan menjadi biogas akan mengurangi
pencemaran lingkungan. Kotoran ternak sapi yang mengandung gas metan akan
berkurang karena diproses dalam digester sehingga dapat digunakan sebagai
bahan bakar. Dengan demikian konsentrasi gas metan yang dikeluarkan ke udara
disekitar wilayah peternakan akan berkurang sehingga pada akhirnya mengurangi
konsentrasi gas metan sebagai salah satu penyebab gas rumah kaca. Disisi lain
lingkungan hidup disekitar wilayah peternakan akan terjaga dari bau kotoran
ternak. Dengan memanfaatkan kotoran ternak maka pada wilayah-wilayah
peternakan tertentu dimana kotoran bisa saja terbuang disembarang tempat tidak
akan terjadi.
25
IV. STRATEGI DAN UPAYA PEMANFAATAN BIOGAS LIMBAH TERNAK SAPI
Pemanasan global (global warming) telah menjadi masalah yang sangat
mengancam bagi kehidupan manusia di muka bumi yang salah satunya
disebabkan emisi gas efek rumah kaca akibat pemakaian bahan bakar fosil seperti
minyak bumi, batu bara dan gas alam yang juga merupakan sumber daya yang
terbatas. Oleh karena itu, telah menyebabkan tuntutan ke pencarian sumber energi
yang lebih ramah lingkungan dan bersifat dapat diperbaharui (renewable energi)
sesuai dengan kesepakatan dalam Protokol Kyoto tentang pengurangan emisi gas
efek rumah kaca.
Biogas yang berasal dari limbah usaha peternakan sapi berupa kotoran
ternak sapi beserta sisa pakan dapat dijadikan salah satu jenis sumber energi
alternatif (bioenergi) untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil dan mengurangi resiko pencemaran lingkungan. Dan memberikan hasil
sampingan berupa pupuk cair dan padat.
Indonesia memiliki prospek teknologi biogas cukup baik sejalan dengan
program pemerintah tentang peningkatan kebutuhan susu dan swasembada daging
tahun 2010, yang cukup memungkinkan penyediaan bahan baku biogas.
Widodo et al., 2006 mengemukakan, upaya pemanfaatan limbah ternak
untuk biogas memliki beberapa keunggulan antara lain sebagai berikut :
1. Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran
udara (bau).
2. Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang
dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.
3. Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi
kegiatan rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan
peternak.
4. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas
untuk menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum
memiliki akses listrik.
26
5. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkan kegiatan ini
sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean Development
Mechanism).
Strategi untuk lebih memasyarakatkan penggunaan limbah ternak sebagai
sumber bahan baku biogas dapat diselaraskan dengan Program Pembangunan
Pedesaan yang berkelanjutan serta dengan memantapkan Program BATAMAS
yang diadopsi oleh masing-masing pengambil kebijakan di daerah.
Pembinaan kepada kelompok-kelompok peternak dapat diintensipkan
terutama untuk memanfaatkan limbah peternakan melalui bantuan pembangunan
unit-unit instalasi biogas pada masing-masing daerah yang memiliki potensi
populasi sapi yang terbanyak. Pembangunan unit instalasi biogas percontohan
tersebut kemudian dapat disosialisasikan kepada seluruh masyarakat sehingga
muncul keinginan dari masyarakat untuk membangun instalasi biogas sendiri
setelah melihat keberhasilan dan keuntungan penggunaan biogas dari limbah
peternakan tersebut.
Pemanfaatan limbah peternakan untuk penggunaan biogas perlu
disosialisasikan kepada masyarakat sehingga pemahaman tentang upaya
mengurangi penggunaan energi fosil serta pencemaran lingkungan akibat usaha
peternakan dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat. Selanjutnya akan timbul
kesadaran dan keinginan dari masyarakat yang berusaha di bidang peternakan
untuk menggalakkan penggunaan biogas dari limbah peternakan sapi.
Agar pengembangan biogas sebagai salah satu energi alternatif dan
langkah mengurangi pencemaran dari peternakan bisa berjalan lebih baik serta
dipergunakan oleh masyarakat, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh
yaitu :
1. Setiap wilayah Provinsi maupun Kabupaten membangun pusat
percontohan (pilot proyek) pembangunan instalasi biogas skala
pedesaan senbagai pemicu agar dapt dilihat dan dicontoh oleh
masyarakat
2. Program penyuluhan tentang pemanfaatan biogas dari limbah
peternakan perlu disusun serta disampaikan oleh intansi yang
membidangi peternakan maupun pembangunan desa sehingga
27
pemahaman masyarakat tentang biogas lebih jelas dan baik.
Pemahaman tersebut akan mendorong masyarakat untuk membangun
instalasi biogas sendiri.
3. Perlu untuk memberikan atau menyalurkan dana program
pembangunan instalasi biogas pada wilayah-wilayah yang
memerlukan sehingga terjadi percepatan pemasyarakatan pemanfaatan
biogas oleh masyarakat.
Langkah – langkah tersebut dapat dilakukan secara bertahap maupun
simultan pada daerah dengan potensi pemanfaatan limbah kotoran ternak sebagai
penghasil biogas. Pembangunan pilot proyek sangat berperan dalam menunjukkan
contoh nyata bagi masyarakat. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat dengan
melihat dan mengalami langsung terhadap contoh penggunaan biogas akan lebih
kuat dan berkesan sehingga timbul keinginan untuk membuat sendiri.
Pada wilayah yang belum mengenal dan belum ada contoh diperlukan
upaya penyuluhan tentang pemanfaatan biogas. Pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang biogas dari limbah kotoran sapi akan lebih baik dari
sebelumnya sehingga minat dan keinginan masyrakat timbul untuk menggunakan
biogas.
Sementara itu diperlukan juga dukungan pemerintah untuk menyediakan
dana baik secara hibah maupun kredit lunak. Program ini dapat dijalankan pada
wilayah yang sudah mengenal penggunaan biogas namun masih terhambat maslah
dana. Apabila dukungan pemerintah dapat dilakukan dengan baik maka
percepatan pemasyarakatan biogas dari kotoran sapi akan terjadi.
28
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2010a. Publikasi Provinsi data Agregat SP 2010 http://www.bps.go.id/aboutus.php?hasilSP2010=1 . (dikunjuingi 10 November 2010)
_________, 2010b. Bahan Bakar Fosil. http://www. bolg.indonesia.com/blog- archives-1122-52.html (dikunjungi 13 November 2010)
_________, 2010c. Peternakan adalah Ancaman Utama bagi Lingkungan. http: //www.oneearthmedia.net/ind/?p=557 . (dikunjungi 5 November 2010)
_________, 2010d. Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan.http://www. rudyct.tripod.com/sem2_023/Kel4_ sem1_023.ht (dikunjungi 5 November 2010)
__________, 2010e. Sepuluh Faktor Sukses Pemanfaaatn Biogas Kotoran ternak. http://www.agribisnis.deptanm.go.id/layanan.inf (dikunjungi 11 November 2010)
Bajracharya, T.R., A. Dhungana., N. Thapaliya dan G. Hamal. 1985. Purification and Compression of Biogas : Research Experience. Journal of The Institute of Engineering 7 (1) : 1 – 9.
Chantalakhana, Ch and P. Skunmun. 2002. Sustainable Smallholder Animal System in the Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok.
Chang C, T.G Sommerfeldt dan T. Entz. 1988. Long Term Annual Manure Applications Increase Soil Organic Matter and Nitrogen and Decrease Carbon to Nitrogen Ratio. Soil Science Social American Journal 52: 1668- 1672.
Crutzen P J, I Aselman and W. Seiler. 1986. Methane Production by Domestic
Animals, Wild Ruminant, Other Herbivorous Fauna, and Humans. Tellus 38B:271-284.
Departemen Pertanian. 2009. Pemanfaatan Limbah dan Kotoran Ternak Menjadi Energi Biogas. Seri Bioenergi Pedesaaan. Direktorat Jenderal Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2006 “Pokok-pokok Pikiran dan Permasalahan Pemanfaatan Biofuel”. Makalah pada Seminar Nasional Biofuel “Implementasi Biofuel sebagai Energi Alternatif Tgl 3 Juni 2006, Jakarta. Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi.
Departemen Pertanian. 2006. Pengembangan Biogas Ternak Bersama Masyarakat (BATAMAS). Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Jakarta.
Dyer, L A. 1986. Beef Cattle. p 325-330. In Cole and Brander (Ed).: Ecosystem of The World 21-Bioindustrial Ecosystem. Elsevier, New York.
FAO. 1978. China: Azolla Propagation and Small-Scale Biogas Technology. Roma.
Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB, Bogor. (tidak diterbitkan)
Hambali, E., S. Mujdalipah., A.H. Tambunan., A.W. Pattiri dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Harahap F M, Apandi dan S Ginting. 1978. Teknologi Gasbio. Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Haryati, T., 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Jurnal Wartazoa 6(3) : 160 – 169.
Houdkova L., J. Boran., J. Pecek and P. Sumpela. 2008. Biogas-A Renewable Source of Energy. Journal of Thermal Science 12(4) : 27 -33.
Lingaiah V. and P Rajasekaran . 1986. Biodigestion of Cowdung and Organic Wastes Mixed with Oil Cake in Relation to Energy. Agricultural Wastes 17(1986): 161-173.
Maramba F D. 1978. Biogas and Waste Recycling. Maya Farm. Manila.
Mulyani, A. dan I. Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi Pengembangan Komoditas Penghasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (1) : 31 – 41.
Nurhasanah, A., T.W. Widodo., A. Asari dan E. Rahmarestia. 2006. Perkembangan Digester Biogas di Indonesia. http://www.mekanisasi.litbang.go.id . (dikunjungi 10 November 2010).
Pambudi, N.A.2008. Pemanfaatan Biogas sebagai Energi Alternatif. http://www.dikti.org/?q=node/99 (dikunjungi 4 November 2010).
Setiawan, A.I. 2008. Memanfaatkan Kotoran Ternak Solusi Masalah Lingkungan dan Pemanfaatan Energi Alternatif. Penebar Swadaya. Jakarta.
Simamora S. 1989. Pengelolaan Limbah Peternakan (Animal Waste Management). Teknologi Energi Gasbio. Fakultas Politeknik Pertanian IPB. Bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P dan K. Jakarta
Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soeharsono, 2002. Anthrax Sporadik Tak Perlu Panik. Dalam Kompas, 12 September 2002, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/12/iptek/anth29.htm (dikunjungi 2 November 2010).
Sumiarso, L. 2010. Penggunaan Energi Terbarukan Hemat 10-30%. http://www.esdm.go.id/news-archives (15 November 2010).
Suryahadi, A R Nugraha, A Bey, dan R Boer. 2000. Laju Konversimetan dan Faktor Emisi Metan pada Kerbau yang diberi Ragi Tape Lokal yang Berbeda Kadarnya yang Mengandung Saccharomyces cerevisiae. Ringkasan Seminar Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Wahyuni, S. 2008. Biogas. Penebar Swadaya. Jakarta
Widodo, T.W., A. Nurhasanah., A. Asari dan A. Unadi. 2006. Pemanfaatan Energi Biogas untuk Mendukung Agribisnis di Pedesaan. http://www.mekanisasi.litbang.go.id (3 November 2010).
Wibowomoekti P S. 1997. Kandungan Salmonella spp. dari Limbah Cair Rumah Pemotongan Hewan (Studi Kasus RPH Cakung, Jakarta). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. (tidak diterbitkan)